Anda di halaman 1dari 6

Perkebunan Besar, Moralitas Politik, dan Keadilan Sosial: 1

Oleh: Endriatmo Soetarto2

Kilas Balik Sejarah Komunitas Desa dan Perkebunan: Catatan Tambahan

1. Membaca buku “Hidup Bersama Raksasa’ (Tania LI dan Pudjo Semedi) semakin mendalam
keprihatinan saya dan banyak kalangan tentunya terhadap problematika dan tragedi yang
terjadi atas kehadiran (baca pendudukan) ‘perkebunan besar’ (big plantation) sawit dalam
hal ini dan komplikasinya atas sendi-sendi kehidupan masyarakat tempatan (lokal/desa)
yang semakin dalam. Apalagi disadari derita dan pengorbanan masyarakat tersebut (petani,
pekerja, dan warga desa pada umumnya) telah mendera mereka sejak masa lampau yang
panjang…bahkan sejak zaman pra kolonial. Perlu pembingkaian ulang atas dampak
kebijakan pemberian konsesi perkebunan besar yang lewat buku ini digambarkan secara
lengkap, rinci, dan kritis. Disodorkannya pelukisan antropologis-sosiologis atas apa dan
bagaimana prahara sosial dan kemanusiaan membekap komunitas lokal dengan
pendudukan industri besar sawit yang pada gilirannya berdampak pula di aras supralokal
ekses-ekses yang mematahkan janji-janji pembangunan (modernisasi) itu sendiri.
2. Krisis serupa ini bahkan menyeret gerbong aneka masalah klasik pembangunan, konsentrasi
kekuasaan dan sumberdaya pada segelintir orang, ketimpangan sosial, dan penghancuran
ekologis. Pada titik inilah sekali lagi buku ‘Hidup Bersama Raksasa’ merangkai masalah
dan risiko yang akan dan sedang dihadapi bangsa dan negara dewasa ini dan di masa
mendatang. Tragedi Perkebunan besar adalah puncak gunung es dari banyak problematik
yang menyertai berbagai sektor pembangunan lainnya. Di tingkat kebijakan negara yang
tinggal hanyalah gemuruh pembangunanisme yang disponsori negara monolitik yang
menyisakan bangunan politik oligarkis. Oligarki bertahan sebagai persekutuan antara
kepentingan politik birokratis dan modal besar-yang awalnya dipelihara oleh rezim Soeharto
dalam kerangka politik otoritarian-tapi ternyata masih bisa berjaya dalam alam
demokratisasi.
3. Patut dicatat baik pada tipe masyarakat persawahan maupun perkebunan yang hidup di
negeri ini menyisakan tragedi yang dalam, dimana pada masyarakat yang disebut pertama,
mengikuti dasar tesis Carl Wiffogel (1975) tentang Despotisme Timur (Oriental Despotism)
yang menyatakan bahwa tuntutan organisasional dan tenaga kerja yang diciptakan oleh
masyarakat hidrolik (hydraulyc societies) cenderung menciptakan pemerintahan
despotik. Terlepas setuju atau tidak dengan argumentasi deterministik dari Witfogel
tersebut adalah benar bahwa sistem irigasi yang kompleks menuntut investasi tenaga kerja
yang besar, dan setidak-tidaknya akan berhubungan dengan kekuasaan yang terpusat
(Kartodirdjo, Suryo, 1991).
4. Sementara Ihwal perkembangan sejarah perkebunan di Indonesia dalam hal ini, tidak
dapat dipisahkan dari sejarah perkembangan kolonialisme, kapitalisme, dan modernisasi
khususnya. Kita bisa telusuri dari sejarah kerajaan-kerajaan di luar Jawa, seperti Maluku
(Ternate, dan Tidore) yang semula mengandalkan surplus tanaman kebun. Selanjutnya kita
mengenali bagaimana praktik-praktik lanjutan atau invasi penguasa kolonial yang
menjadikan perkebunan besar kelak sebagai sandaran mengeruk surplus dengan cara yang
1
Disampaikan pada acara launching dan bedah buku ‘Hidup Bersama Raksasa’ karya Tania Murray li dan Pujo
Semedi, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakuktas Ekologi Manusia IPB, Bogor
`18 November 2022.
2
Dosen Departermen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia IPB. Bogor.
primitif sehingga menggerus nilai-nilai peradaban yang paling berharga, mencakup abai atas
hak-hak dasar warga komunitas tempatan/lokal dalam hal ini.
5. Sebagai sistem perekonomian pertanian baru, perkebunan besar jelas membawa dampak
perubahan penting terhadap kehidupan masyarakat tanah jajahan. Hal ini disebabkan
perkembangan perkebunan di negeri jajahan tersebut berkaitan erat dengan proses
kolonisasi dan awal berlangsungnya modernisasi. Ciri pokok hubungan kolonial kala itu
pada dasarnya berpangkal pada prinsip dominasi, eksploitasi, diskriminasi, dan
dependensi. Diskriminasi ini menyangkut diskriminasi ras atau etnis. Perspektif kolonial
superioritas-inferioritas mendasari prinsip diskriminasi. Dalam piramida sosial yang
terbentuk kemudian petani, pekerja, dan warga desa menempati alas dasar paling bawah
dari susunan masyarakat yang terbentuk. Sebaliknya pihak pengusaha-pemodal, dan kuasa
birokrasi yang dipegang orang asing menjadi bagian dari pemuncak piramida sosial.
6. Orientasi lingkungan perkebunan yang lebih tertuju ke dunia luar-seberang lautan, niscaya
menjadikan dirinya ibarat perekonomian kantong (enclave economics) yang bersifat dualistis
(dualistic economics). Perkebunan digambarkan menciptakan sektor perekonomian modern
di tengah-tengah lingkungan komunitas dengan sektor perekonomian berciri ‘tradisional’
atau ‘subsisten’. Pada gilirannya hubungan perekonomian yang terbentuk merangkai
sistem penyerahan wajib, leveransi atau kontingensi sebagai karakter pokoknya.
Perjanjian antara VOC dan Mataram dari tahun 1677 sampai dengan 1755 misalnya telah
menyudutkan Mataram, menjadi negara penyerah leveransi dan kontingensi yang besar
kepada VOC, baik dalam bentuk komoditi perdagangan maupun uang melalui kepala
pribumi yang diakuinya Menarik untuk dicatat cara pemerintahan tidak langsung (indirect
rule) yang dijalankan VOC serupa itu pada hakekatnya mirip, atau malahan meniru cara
pemerintahan yang dijalankan raja-raja di Nusantara terhadap daerah kekuasaannya
(Kartodirdjo, Suryo, 1991).
7. Lintasan sejarah perkebunan kolonial juga ditandai oleh sistem tanam paksa 1830-1870.
Sistem tanam paksa yang dalam perumusannya merupakan penyatuan antara sistem
penyerahan wajib yang diberlakukan dalam sistem eksploitasi dari masa VOC ditambah lagi
dengan sistem pajak tanah. Dengan sistem tanam paksa ini rakyat pedesaan
dipertahankan sekuatnya hanya sebagai kumpulan rumahtangga produksi dan
dihindarkan dari rumahtangga uang (cash).
8. Ada 2 (dua) hal pokok sebagai dampak sistem tanam paksa. Pertama sistem ini telah
mencampuri sistem pemilikan tanah penduduk pedesaan. Kedua, sistem tanam paksa
melakukan pengerahan tenaga kerja berskala besar yang telah membebani penduduk
desa, karena tidak ada imbalan upah. Selain itu praktik keseluruhan kerja yang dibutuhkan
digerakkan dengan sistem kerja paksa yang sangat berat.
9. Agrarische Wet 1870: Sejak diberlakukannya Agrarische Wet 1870, pengusaha-pengusaha
perkebunan Belanda dan negara Eropa lainnya mendapatkan jumlah keuntungan yang luar
biasa dengan berlandaskan pada Kolonial super profit. Istilah ini mengacu pada kondisi
akumulasi modal luar biasa dari investasi modal asing yang mendapatkan tenaga kerja
dengan jam kerja yang panjang dan upah yang rendah. Di samping itu, pihak pemodal tidak
perlu menanggung beban pembangunan infrastruktur seperti fasilitas transportasi dan
komunikasi. Semuanya dibiayai oleh pemerintah yang diambil dari pungutan pajak oleh
pemerintah terhadap penduduk negeri jajahan (Achdian, 2008:20).
10. Masa Pendudukan Jepang banyak aspek yang bisa dikupas. Karya Anderson membahas ‘The
Problem of Rice’ yang membahas betapa serius masalah pangan yang timbul sehubungan
dengan kebijakan perberasan rezim kolonial Jepang yang telah sangat memperberat
kehidupan rakyat sehari-hari. Memang sejarah mencatat kebijakan-kebijakan pendudukan
Jepang senyatanya lebih terarah kepada massa rakyat daripada kelas elit kota, sementara
manipulasi terhadap kelas penguasa tak lebih dari sekedar sarana untuk mendapatkan
kontrol atas massa (Mc Coy, 1980).
11. Hal paling penting yang bisa dicatat sekali lagi atas pendudukan Jepang 1942-1945 ini
adalah kontrol terhadap produksi pangan. Kebijakan terhadap petani untuk melakukan
penyerahan secara paksa dari hasil sebagian panen mereka kepada pemerintah tetap
dijalankan, sebagaimana masa-masa sebelumnya. Tenaga manusia direkrut untuk bekerja
bagi ‘negara’ di bawah sebutan romusha dan pemasok tenaga ini yang terbesar ialah
masyarakat pedesaan. Jutaan manusia direkrut yang membawa akibat serius tidak hanya
dalam pengertian aspek-aspek kemanusiaan, tetapi juga dalam arti berkurangnya tenaga
kerja di pedesaan (Kurasawa, 1982).
12. Era kemerdekaan, Sejarah perkembangan Industri perkebunan sawit di Indonesia dapat
dibagi dalam dua fase utama. Yaitu fase dominasi pemerintah (berkisar antara 1970-1998)
yang karakternya ditandai bermunculannya perkebunan-perkebunan sawit rakyat (plasma) ,
dan fase dominasi pasar (1999-sampai dengan sekarang) yang dicirikan dengan liberalisasi
pasar industri sawit dan merajainya perkebunan-perkebunan korporasi. (Gatt et al 2015).
Liberalisasi industri sawit telah meningkatkan luasan perkebunan hampir 700 persen , dari 1,
8 juta hektar pada tahun 1994 menjadi 14, 3 juta hektar pada tahun 2018 (Ditjenbun, 2017).
13. Gambar mendasar rezim ekstraktif yang menyertai liberalisasi industri perkebunan sawit
di negeri ini tidak saja melahirkan ketimpangan penguasaan tanah, tapi juga menimbulkan
semacam suatu konsolidasi kekuasaan kelas, diantaranya melalui accumulation by
dispossession. Suatu bentuk akumulasi melalui pengambilan barang (semacam
‘penjarahan’). Jadi ini berbeda samasekali dengan praktik akumulasi modal melalui
produksi, perdagangan dan perluasan konsumsi (Harvey, 2003, 2005). Wujud kesejarahan
perkebunan besar sebagai rezim ekstraktif seperti alih kepenguasaan lahan, penggusuran
atau penaklukan kaum tani, kerjasama pengusaha dan penguasa untuk melanggengkan upah
buruh murah, dan sebagainya merupakan doktrin supra ekonomi rezim ekstraktif
kapitalisme perkebunan sawit. Artinya operasi perusahaan-perusahan besar industri kelapa
sawit tidak pernah terbangun dan hidup tanpa kekerasan (Mulyanto, 2010).

Perkebunan, Moralitas Politik, dan Problem Keadilan Sosial

14. Dalam konteks ini istilah ‘Manusia dan Pendudukan Perkebunan Sawit’; yang ditulis Li dan
Semedi (2022) menjadi semakin menarik karena mengingatkan dan sekaligus,
menyadarkan kita bahwa raksasa perkebunan sawit beroperasi tidak hanya di sekitar
lingkungan kita, tetapi sesungguhnya tiap-tiap diri kita justru hidup lekat bersamanya’
(dampak kerusakan ekologis, gejolak kerusuhan sosial, dan aneka krisis lainnya tentu
sering berimbas luas melampaui batas-batas teritorial perkebunan sawit itu sendiri).
Namun sudah barang tentu Komunitas sosial yang langsung terkait dengan perkebunan
sawit dalam hal ini tentu saja sangat merasakan bagaimana peningkatan kontrol kekuasaan
dan sekaligus mobilisasi sosial dilakukan khususnya untuk memenuhi kebutuhan tenaga
kerja yang produktif namun murah. Kemiskinan ekonomi dan ketidaknyamanan psikologis
berjalan seiring dengan meningkatnya penderitaan warga yang di sana-sini bisa memantik
terjadinya kerusuhan petani yang masif.
15. Menjadi urgen buat kita membahas moralitas politik, sesuatu yang dianggap normatif bagi
penyelenggaraan kenegaraan. Memang bisa timbul pertanyaan ‘apa gunanya’?. Dalam
prakata karyanya ‘Filsafat Hukum’ Hegel mencemooh mereka yang mau
‘mengkonstruksikan negara sebagaimana seharusnya’. Cemoohan ini berkumandang terus
dalam skeptisime para politisi, teknokrat, praktisi kemasyarakatan terhadap kaum
intelektual yang berdiri di pinggir dan mempermaklumkan prinsip-prinsip mereka yang
barangkali luhur, tapi jauh dari realitas, abstrak, moralistik, dan tidak dapat dipakai. Akan
tetapi betapa pun tepatnya kritik terhadap kaum intelektual, kritik tersebut tidak
menghilangkan hak bahkan kewajiban untuk mempertanyakan legitimasi kekuasaan dalam
menjalankan kebijakan ekonomi-politik di ranah publik. Penguasa harus bersedia
memperlihatkan perbuatannya tidak hanya enak dan berguna buat dia, melainkan benar,
dalam arti, dapat dipertahankan secara argumentatif berhadapan dengan klaim-klaim
alternatif.
16. Fakta bahwa kehidupan manusia sejak semula bergerak dalam lingkungan sosial yang
normatif, tidak berarti bahwa lingkungan itu harus diterima saja. Lingkungan itu terus
menerus diwujudkan oleh keputusan-keputusan manusia -manusia yang bersangkutan dan
mereka wajib mempertanggunjawabkan keputusan-keputusan tersebut. Tuntutan
pertanggunganjawaban itu bukanlah ciptaan etika politik, melainkan masyarakat sendiri.
Tuntutan itu memang dapat didiamkan saja, tetapi tidak akan pernah pergi (Suseno, 2014).
17. Ada satu pertanyaan penting yang mesti dijawab sejak awal Sampai dimana ‘proyek
Indonesia’ kita ini masih akan terus disandarkan dan diandalkan pada skema pembangunan
perkebunan-perkebunan besar sebagai penggerak utamanya yang telah kita saksikan
bersama-sama dampaknya yang luas dan dalam itu. `Buku ‘Hidup- bersama Raksasa
sepertinya ibarat bunyi gong yang dipukul begitu keras sehingga menghentak kita semua
tentang urgensi diskusi kita pagi ini ihwal isu perkebunan besar (sawit khususnya) dan
bagaimana meletakkan posisinya dalam ‘proyek Indonesia ke depan’.
18. Sebagaimana telah banyak diulas dan digambarkan oleh pemerintah dalam hal ini
bagaimana ekonomi sawit punya kontribusi sehingga sejak tahun 2008 Indonesia sudah
menjadi produsen terbesar di dunia (Mc. Carthy 2010),. Tercatat pada tahun 2017, produksi
minyak sawit Indonesia berkontribusi sebesar 54 % dalam konsumsi global Iskandar 2018),
Bahkan Indonesia telah menjadi penguasa dalam pasar minyak nabati dunia dan cenderung
terus meningkat. Dominasi kelapa sawit dalam pasar minyak nabati dunia tidak dapat
dilepaskan dari nilai kompetitifnya harga minyak sawit akibat produktivitas yang jauh
melebihi minyak nabati lainnya.Tak heran, sawit menjadi komoditas strategis bagi
perekenomian negara , sebab Indonesia mampu mengekspornya sebesar 24, 3 juta ton pada
tahun dengan nilai ekonomi mencai USD 16,2 milyar (Ditjenbun 2017,BPS, 2016).
19. Namun apa arti semua itu dibandingkan persoalan fundamental yang ditimbulkan oleh
pendudukan perusahaan besar industri sawit pada kelompok-kelompok masyarakat
tempatan yang menjadi korban tragedi yang ditimbulkannya. Paradoks the sovereign ban
(Barkan, 2013 dalam Li dan Semedi, 2022) yang melihat ada pengecualian hukum dan
pengabaian atas sekelompok masyarakat dibenarkan ketika hal ini vital bagi keamanan
orang-orang yang berkuasa. Bahkan seperti yang dikatakan filsuf Agamben kutipan yang
termuat pula dalam buku yang sama, kelompok masyarakat korban ini masuk dalam kriteria
homo sacer: semacam orang-orang mantan pemilik tanah dan pekerja tua yang sakit tanpa
mata pencarian ini sehingga layak dibunuh atau dibiarkan mati , tapi kemudian mereka
tidak diakui sebagai pengorbanan karena hidup mereka dianggap tidak bernilai ekonomi
maupun moral.
20. Hemat saya penting untuk membawa persoalan pendudukan perusahaan besar industri
sawit dalam kerangka isu yang lebih luas menyangkut Keadilan Sosial, ‘Reforma Agraria’,
dan Otonomi Daerah/Desentralisasi’. Ketiganya perlu dibaca dalam satu napas. Dua konsep
‘keadilan sosial’ dan ‘kesejahteran sosial’ yang bermula dari perumusan Pancasila , dan UUD
1945 perlu secara konsisten dimuat dalam produk-produk hukum dan kebijakan turunannya.
Konstitusi yang mendukung keadilan berarti membahas keterbukaan struktural dan
lapisan masyarakat dan hal ini berkaitan dengan ‘Tata Transfomasi’ Masyarakat, bukan
hanya sekedar membahas ‘Tata Negara’ yang menjadi ciri umum konstitusi yang
konvensional.
21. Disadari kompetisi dan konflik antara pusat dan daerah, laki-laki dan perempuan , lapisan
bawah dan lapisan menengah/atas dan atau antar kelompok keagamaan tak bisa lepas dari
ketegangan, Tarik-menarik kepentingan, negosiasi antar pihak bisa berkembang menjadi
semacam arena. Dengan kata lain pendefinisian dan pelaksanaan keadilan sosial berada
kerangka hubungan kekuasaan (power relation) berkaitan dengan redistribusi sumber-
sumber kesejahteraan maupun inklusi nilai dan simbol identitas kelompok-kelompok.
22. Singkatnya keadilan sosial vertikal bersifat multi dimensi berkaitan dengan redistribusi dan
inklusi dalam bidang politik (lebih partisipatoris), bidang ekonomi (kemungkinan
peningkatan kepemilikan oleh buruh, konsumen, komunitas), budaya (aktualisasi nilai dan
simbol kelompok) maupun bidang sosial (kesempatan mobilitas vertikal). Keadaan yang
lebih adil akan membuat masyarakat Indonesia bagian bawah (termasuk generasi yang
mendatang) `menjadi lebih terinklusi sehingga mereka merasakan sebagai bagian dari
Indonesia. Semboyan Bhineka Tunggal Ika akan dapat mempersatukan keragaman vertikal
karena adanya keterbukaan vertikal, bukan hanya terbatas pada persatuan bagi keragaman
horizontal maupun regional (Sujatmiko, 2006).
23. Keadilan Regional (lewat Reforma Agraria dan otonomi Daerah/Desentralisasi) yang
semula sering dinarasikan dapat membahayakan keutuhan NKRI sebenarnya juga tidak
terlepas dari ketidakmauan pusat untuk melakukan redistribusi pada daerah-daerah yang
kaya sumberdaya alam (Soetarto, 2010). Keadilan sosial dalam arti inklusi dan keterwakilan
maupun kesempatan bagi kelompok mayoritas dalam lapisan bawah (petani, buruh, dan
sektor informal) masih sangat dibutuhkan. Pengembangan indikator yang mencoba
mengukur keadilan sosial dalam hal ini menjadi urgen karena dapat membantu
menyelesaikan perdebatan konseptual dan membantu merencanakan, memantau dan
mengevaluasi pelaksanaan keadilan.

Terimakasih

Rujukan

Gardono Sujatmiko , Iwan (2006), Keadilan Sosial dalam Masyarakat Indonesia dalam Restorasi
Pancasila: Mendamaikan Politik Identitas Dan Modernitas, Prosiding Peringatan Hari Lahir
Pancasila, Kampus FISIP UI, Depok, 2006.
Soetarto, Endriatmo (2006), Pancasila dan Pembaharuan Agraria: Falsafah, Refleksi, dan Aksi
Menuju Masyarakat Agraris yang Berkeadilan Sosial , dalam Restorasi Pancasila: Mendamaikan
Politik Identitas Dan Modernitas, Prosiding Peringatan Hari Lahir Pancasila, Kampus FISIP UI,
Depok, 2006.

Li, Tania, Pujo Semedi (2022), Hidup Bersama Raksasa, Marjin Kiri, Jakarta.

Kartodirdjo, Sartono, Djoko Suryo (1991), Sejarah Perkebunan Di Indonesia, Kajian Sosial
Ekonomi, Penerbit Aditya Media, Yogyakarta.
Kurasawa, Aiko (1993), ` Mobilisasi dan Kontrol: Studi Tentang Perubahan Sosial Di Perdesaan
Jawa, Yayasan Karti Sarana dan Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.

Chandra, Tri Aprianto (2016), Perjuangan Landreform Masyarakat Perkebunan, STPN Press,
Yogyakarta.

BoprasUniversity Pres M, Saturnino Marc Edelman, Cristobal Kay (ed, 201O), Gerakan-Gerakan
Agraria Transnasional, STPN Press, Sajogyo Institute.

Mulyanto, Dede (2010), Kapitalisme: Perspektif Sosio-Historis, Penerbit Buku Ultimus, Bandung

Suseno, Franz Magnis (2016), Etika Politik, Prinsip Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia, Jakarta.

Bakhtiar Irfan, Diah Suradiredja, Hery Santoso, Wiko Saputra (ed, 2019), Hutan Kita Bersawit:
Gagasan Penyelesaian untuk Perkebunan Kelapa Sawit dalam Kawasan Hutan, Kehati, Jakarta.

Harvey, David (2003), The New Imperialism: Accumulatrion by Dsposseion, Oxford University
Press.NY.

Borras Jr et al (2012), Land Grabbing and Global Capitalist Accumulation, Key Future in Latin
America, Canadian Journal of Development Studies.

Deininger K, Zegarra E, Lavandez I (2003), Determinants and Impacts of Rural Land Market
Activity : Evidence from Nicaragua, World Development 31 (8)

Makki, Geisler, C (2011), Development by Dispossesion: Land Grabbing as New Enclosures in


Contemporary Ethiopia. Paper Presented at The International Conference on Global Land
Grabbing

Levien. M (2012), The Land Question: Special Economic Zones and The Political Economy of
Dispossesion in India, Journal of Peasant Studies

Levebre, H (1991) The Production of Space, Basil Blackwell, Inc, Cambridge, USA

Anda mungkin juga menyukai