Anda di halaman 1dari 7

Penulisan sejarah bertema kriminalitas dan perbanditan masih terbilang jarang

jumlahnya. Dua buku yang akan dibahas dalam penulisan ini sekiranya dapat dijadikan
gambaran bagaimana sejarah kriminalitas dan perbanditan ditulis.
Buku pertama berjudul Jawa, Bandit-Bandit Pedesaan; Studi Historis 1850-
1942 karya Prof. Dr. Suhartono W. Pranoto. Fokus masalah yang dibahas dalam tulisan
ini adalah kemunculan perbanditan di pedesaan terutama di daerah sekitar perkebunan
yang disebabkan oleh adanya berbagai desakan dan tekanan dari perkebunan.
Perkebunana memiliki jiwa kapitalis dan dengan jiwa kapitalis itu berusaha menguras
sampai habis kekayaan di pedesaan tanpa member tetes ke bawah yaitu kesejahteraan
petani. Jiwa kapitalis telah menelan kekayaan petani berupa tanah dan tenaga kerja.
Kehidupan petani menjadi makin lemah dan mereka hidup di bawah garis subsistensi.
Keadaan makin parah bila dalam waktu yang sama terjadi bencana alam, banjir,
kekeringan, dll. Kelaparan dan kematian menjadi hal biasa di pedesaan.
Secara spasial, buku ini menceritakan perbanditan di tiga daerah yaitu
Keresidenan Banten dan Batavia di Jawa Barat, Yogyakarta dan Surakarta atau
Vorstenlanden di Jawa Tengah, dan Keresidenan Pasuruan dan Probolinggo di Jawa
Timur. Tiga daerah itu dianggap oleh penulis sebagai daerah yang representatif untuk
mewakili dinamika perbanditan karena di tempat-tempat tersebut terdapat tanah-tanah
partikelir dan perkebunan yang menjadi lahan subur bagi perbanditan.
Adapun aspek temporal yang diambil adalah 1850-1942. Tahun tersebut diambil
karena Tanam Paksa yang dimulai tahun 1830 sudah berdampak negatif dalam
masyarakat.sejak tahun itu, perbanditan berkembang dan mendapat tempat baik di tanah
partikelir maupun di perkebunan. Tahun 1942 digunakan sebagai batas akhir karena
penelitian ini melihat perkembangan perbanditan pedesaan sampai dengan berakhirnya
Pemerintah Hindia Belanda.
Perbanditan pedesaan lebih tepat dianggap sebagai respon terhadap ekspansi dan
eksploitasi pedesaan melalui perluasan perkebunana. Setelah terjadi perluasan
perkebunan maka perubahan sosial di pedesaan sampai pada masyarakat terbawah tidak
dapat dihindari. Bagaimanapun juga, menurut Prof. Suhartono, latar belakang sosio-
ekonomi dan perubahan sosio-politik selalu menjadi pengamatan di dalam menjelaskan
perbanditan pedesaan. Oleh karena itu, Prof Suhartono menggunakan beberapa
pendekatan dalam melakukan penelitian perbanditan ini.
Pendekatan yang pertama yaitu pendekatan sosio-politik. Pendekatan sosio-
politik digunakan untuk menjelaskan rekanan politik pada lembaga tradisional yang
sudah tidak otonom lagi. Kehidupan petani yang selalu berada di bawah garis
subsistensi membuktikan sangat rendahnya pendapatan yang tidak sebanding dengan
pengeluaran. Dominasi budaya asing atau budaya kolonial merasa berhak secara legal
beroperasi dalam masyarakat. Oleh karena itu, perbanditan yang mewakili aspek budaya
Jawa mencari jalan keluar dengan bergerak di bawah tanah. Pendekatan yang kedua
yaitu pendekatan sosio ekonomi. Pendekatan ini digunakan untuk menjelaskan sebab
utama munculnya perbanditan. Perbanditan adalah satu respon petani yang diwujudkan
dalam bentuk protes. Protes petani terhadap adanya perluasan perkebunan. Timbulnya
perkebunan dan tanah-tanah partikelir di Jawa adalah babak baru bagi ekonomi
perkebunan. Dengan kata lain, terjadi perubahan perekonomian yang semula didominasi
oleh perekonomian tradisional kemudian digantikan oleh perekonomian yang
didominasi tanaman perdagangan (commercial corps).
Perluasan perkebunan ini mempunyai dua sisi, di satu pihak bagaimana
perkebunan itu mengelola manajemen perkebunan agar memperoleh keuntungan
sebesar-besarnya. Di sisi lain, dominasi perkebunan itu mendesak perekonomian
tradisional yang merupakan soko guru kehidupan petani. Desakan perkebunan itu tidak
hanya secara fisik mengatur perkebunan itu agar efisien tetapi juga menyangkut
masalah institusional yang menjadi wadah kehidupan masyarakat pedesaan. Kedua hal
itu secara simultan merongrong eksistensi kehidupan masyarakat pedesaan.
Kemudian, munculnya tanah-tanah partikelir juga memunculkan patron baru.
Hubungan patron-klien antara raja dan rakyat yang terhubung melalui hubungan
kawula-gusti digantikan oleh patron baru , di mana kedudukan raja digantikan oleh para
penyewa tanah. Pada dasarnya, patron lama mendapatkan pajak dan upeti secara
tradisional dalam volume pasar local dan konsumsi kerajaan. Penyewa tanah sebagai
patron baru memanfaatkan tanah dan tenaga kerja yang sudah disewanya dengan
mengeksploitasi secara maksimal. Patron baru memanfaatkan kelembagaan yang telah
ada untuk memperkuat kuasa dan wibawanya serta guna mendapatkan produksi sebesar-
besarnya. Dengan demikian, maka keuntungan diperoleh dengan pengeluaran biaya
produksi biaya produksi yang lebih rendah.
Kebijaksanaan politik yang dilakukan penyewa adalah dengan mengeluarkan
peraturan yang diperkuat oleh sanksi pidana yang dilegalisasikan oleh pemerintah.
Dengan demikian penyewa mendapat perlindungan dari pemerintah sehingga setiap
tindakan dianggap legal dan mengandung sanksi. Selain itu, penyewa tanah juga
mencaplok dua faktor produksi yang utama yaitu tanah dan tenaga kerja. Dengan
dikuasainya tanah dan tenaga kerja oleh penyewa tanah, maka desa kehilangan sumber
daya alam dan manusia.
Sementara itu, bagi penyewa tanah, pencaplokan tanah dan tenaga kerja petani
merupakan keharusan dan kelangsungan hidupnya. Hanya dengan menguasai tanah
yang digarap, penyewa dapat hidup. Selain itu, penyewa harus menciptakan cara baru
mengelola tanah pertanian. Oleh karenanya, tanah-tanah itu diusahakan untuk tanaman
pasar Eropa yang keuntungannya jauh lebih banyak disbanding dengan tanaman pangan
atau tanaman tradisional.
Pendekatan yang ketiga yaitu sosio-antropologis. Pendekatan ini digunakan
untuk menganalisis struktur masyarakat. Hal ini perlu diketahui dari struktur mana
golongan sosial di masyarakat kolonial itu menempati kedudukan sosial yang dominan
dan memiliki superioritas tinggi dan di pihak lain adanya golongan sosial yang
berkedudukan rendah dan merasa inferior. Dalam berbagai segi, bagaimana struktur
dominan itu menguasai masyarakat pedesaan.
Dengan demikian, terlihat dua struktur masyarakat, yaitu struktur masyarakat
tradisional dan kolonial. Struktur kolonial ini kemudian mendominasi dalam lembaga
tradisional. Dominasi kolonial ini pun meresap bahkan ke dalam segi cultural yang
sudah mengakar lama. Dengan kata lain, kekuatan eksternal itu mampu
mendisorganisasikan lembaga masyarakat yang telah ada.
Kekuatan eksternal itu menimbulkan reaksi masyarakat pedesaan. Di dalam
masyarakat kolonial itu sendiri tidak member tempat bagi ketidakpuasan masyarakat
dan mau menampungnya. Oleh karena itu, wajar jika masyarakat mencari jalan keluar
dengan kekuatan fisik untuk mengendalikan kulturnya yang telah didominasi dan tidak
diberi hak hidup. Dengan demikian, maka terjadilah konflik antara kekuatan Kolonial
yang memaksa mendominasi struktur dan kultur tradisional (offensive) dan perbanditan
yang berusaha mengubah struktur dominan atau membuangnya. Konflik tersebut
berbuah protes. Bentuk protes yang dilakukan oleh bandit-bandit di pedesaan di ketiga
daerah berbeda-beda. Di daerah Banten dan Batavia perbanditan pedesaan yang
merupakan resistensi terhadap penghisapan tuan-tuan tanah partikelir baik orang
Belanda maupun Cina merupakan bentuk resistensi yang dominan. Di Yogyakarta dan
Surakarta perbanditan pedesaan didominasi oleh kecu yang menolak dominasi
agroindustri pemerintah maupun swasta, sedangkan di Pasuruan dan Probolinggo
resistensi itu diwujudkan dalam bentuk pembakaran tebu.
Dari pembahasan dalam buku ini mengenai perbanditan di pedesaan Jawa dapat
diambil kesimpulan bahwa ketiga bentuk resistensi yang menurut kaca mata kolonial
dan perkebunan disebut perbanditan merebak di pedesaan di tempat domisili petani.
Tumpang tindihnya lokasi perkebunan dan sawah di pedesaan sebenarnya merupakan
refleksi perebutan Lebensraum yang berarti perebutan kepentingan yang merupakan
hidup-matinya dua golongan yang berbeda interesnya. Pihak perkebunan yang
merupakan tangan-tangan kapitalis itu dalam menjalankan eksploitasinya mendapat
bantuan dan legalitas dari pemerintah, sehingga dalam setiap usaha dan tindakan selalu
menang. Jadi, secara yuridis, perkebunan mendapat bantuan pemerintah, sedang
sesungguhnya keduanya mendapat keuntungan dari eksploitasinya terhadap petani.
Karena itulah petani merasa bahwa mereka dirugikan oleh persekongkolan dan berusaha
untuk mendapat kembali hak-haknya yang telah diserobot oleh perkebunan.
Pemerintah kolonial tidak pernah dapat menuntaskan masalah perbanditan
karena perbanditan dipandang sebagai gerakan pengganggu keamanan yang tidak
membahayakan kehidupan usaha, tetapi sekedar merugikan meskipun keberadaan
perbanditan itu cukup menjengkelkan. Hal tersebut merupakan kegagalan pemerintah
kolonial karena perbanditan berlanjut terus, hal tersebut disebabkan oleh kondisi
ekonomi petani yang makin buruk dan kehidupan institusinya yang tidak diberi hak
hidup.
Karya kedua berkenaan dengan perbanditan yaitu tulisan Julianto Ibrahim dalam
bukunya berjudul Bandit dan Pejuang di Simpang Begawan; Kriminalitas dan
Kekerasan Masa Revolusi di Surakarta. Tema ini dipilih karena Surakarta memiliki
masa yang penting yaitu masa revolusi. Penulis buku ini, Julianto Ibrahim, dengan
mengutip kalimat George Larson, dikatakan bahwa beberapa kerusuhan dan
pembunuhan yang terjadi di Surakarta tidak bia dilepaskan oleh suatu masa yang sangat
menentukan bagi daerah ini, yaitu revolusi kemerdekaan Indonesia. Pada awal revolusi,
meskipun bertentangan dengan kehendak semula dari pemerintah pusat yang mau
membentuk sebuah daerah istimewa, baik Kasunanan maupun Mangkunegaran dilucuti
dari otonomi pemerintahannya dan sesudah kemerdekaan dicapai masuk menjadi bagian
dari Jawa Tengah. Masa revolusi di Surakarta merupakan masa pergolakan sebab kota
ini menjadi pusat kegiatan komunis, perang antarkelas, penculikan, dan kekacauan
umum yang merembes ke bagian-bagian lain di Jawa dan mempengaruhi jalannya
revolusi Indonesia. Kegiatan-kegiatan radikal di Surakarta inilah yang mempercepat
golongan kiri untuk menggulingkan pemerintah nasional pada 1946 dan 1948. Suatu
warisan kerusuhan, kemerosotan sosial, dan radikalisme selanjutnya menghantui
Surakarta yang menjadi markas utama dari partai komunis di Jawa Tengah sebagaimana
terlihat pada peristiwa tahun 1965.
Berbeda dengan tulisan Prof. Suhartono yang memfokuskan pada bandit-bandit
pedesaan dalam 92 tahun, maka Julianto Ibrahim memfokuskan masalahnya pada
kriminalitas yang muncul selama masa revolusi, waktu yang singkat dan cepat. Oleh
karenanya, Julianto Ibrahim menggunakan konsep revolusi sosial dan konflik politik. Ia
menggunakan definisi dari Anthony Reid yang mengatakan bahwa revolusi sosial
adalah gerakan spontan dari bawah, mengambil bentuk yang serupa di beberapa daerah
yang berbeda-beda, akan tetapi tanpa koordinasi apapun antara daerah yang berbeda-
beda itu. Dengan demikian, revolusi sosial penuh dengan pergolakan dan konflik di
dalam masyarakat sebagaimana yang diistilahkan oleh Sartono Kartodirdjo sebagai
zaman gégéran yang penuh dengan pergolakan dengan srobotan, gedoran maupun
pendaulatan.
Revolusi sosial dan kriminalitas yang terjadi di Surakarta disebabkan oleh tiga
hal, yaitu kekecewaan zaman kolonial Belanda, ketertekanan zaman Jepang, dan
kebingungan pada masa awal revolusi. Dari revolusi sosial maka muncul konflik politik.
Konflik ini terjadi antara pemerintah yang dipimpin oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir
yang berkedudukan di Yogyakarta dengan kelompok oposisi golongan kiri yang
dipimpin oleh Tan Malaka. Kelompok oposisi menentang pemerintahan Sjahrir karena
dianggap bertentangan dengan cita-cita bangsa Indonesia dalam kerangka NKRI.
Mereka menduga pembentukan daerah istimewa Surakarta dan sistem pemerintahan
yang parlementer akan membawa Indonesia menjadi negara federasi yang terpecah-
belah. Maka muncullah gerakan protes dalam bentuk revolusi fisik. Gerakan protes
yang dilakukan oleh kelompok oposisi melahirkan tindakan kekerasan dan penculikan.
Di sisi lain, terjadinya revolusi sosial yang cepat dimanfaatkan oleh kelompok
kriminal yang disebut bandit. Ketertarikan bandit dalam revolusi adalah adanya
fenomena protes sosial. Bagi kaum kriminal atau bandit, revolusi dianggap sebagai
kesempatan yang lebih baik untuk melakukan kejahatan. Namun demikian, antara
kekerasan yang dilakukan pejuang dan kriminalitas yang dilakukan oleh bandit berdasar
pada tujuan yang berbeda. Menurut Sartono, pejuang melakukan kekerasan dengan
tuntutan mengganti penguasa tradisional dengan tokoh-tokoh yang dikehendaki rakyat,
sedangkan kaum criminal melakukan kejahatan berdasarkan kepentingan pribadi.
Senada dengan yang dikatakan oleh Sartono, Eisenstadt menegaskan bahwa kekerasan
pada masa revolusi merupakan bagian dari perjuangan politik yang terus menerus,
sedangkan kejahatan merupakan bentuk dari apa yang disebut “kegaduhan sibernitas”,
yaitu situasi yang menandakan adanya gangguan-gangguan pada hubungan yang tertib
di antara setiap perilaku atau sistem dengan lingkungannya.
ANALISIS KRIMINALITAS DAN PERBANDITAN
Berdasarkan Dua Buku: Bandit-Bandit Pedesaan Jawa; Studi Historis 1850-1942 Karya
Suhartono W. Pranoto dan Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan; Kriminalitas
dan Kekerasan Masa Revolusi di Surakarta Karya Julianto Ibrahim

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Sosial Ekonomi


Asuhan Awaludin Nugraha, M. Hum.

Oleh:
Ayu Septiani
1804 2010 0001

UNIVERSITAS PADJADJARAN
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI ILMU-ILMU SASTRA
BIDANG KAJIAN UTAMA ILMU SEJARAH
2011

Anda mungkin juga menyukai