Anda di halaman 1dari 11

Ketimpangan Sosial terhadap Penguasaan Tanah di Pedesaan Jawa Barat Abad ke-19

Septiana Ardhian Wahyuningtyas 3111419080

Program Studi Ilmu Sejarah Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial

Universitas Negeri Semarang

Abstrak

Dalam kehidupan bermasyarakat, pasti sangat sulit memisahkan diri dari stratifikasi sosial
karena terdapat kelas-kelas dalam masyarakat yang diakibatkan oleh beberapa faktor.
Ketimpangan munculnya kelas-kelas masyarakat pedesaan di Jawa Barat di abad ke-19 ini
disebabkan karena penguasaan tanah. Dalam kacamata sosial, masyarakat Jawa Barat pada
abad ini bukan termasuk dalam masyarakat yang homogen namun lebih terdeferensiasi secara
kompleks dalam penguasaan terhadap lahan yang dimiliki. Secara umum pembagian stratifikasi
sosial di desa dibagi menjadi dua bagian yang sama-sama saling menguntungkan (mutualisme)
yaitu kelas yang memiliki tanah( pemilik tanah) dan kelas masyarakat yang tidak mempunyai
lahan atau tanah.

Kata kunci : Masyarakat Jawa Barat, Stratifikasi sosial, tanah

Abstract

In social life, it must be very difficult to separate oneself from social stratification because there
are classes in society which are caused by several factors. The imbalance in the emergence of
rural community classes in West Java in the 19th century was due to land control. From a social
perspective, the people of West Java in this century are not included in a homogeneous society
but are more complex in terms of control over their land. In general, the division of social
stratification in the village is divided into two mutually beneficial parts (mutualism), namely the
class who owns the land (land owner) and the class of people who do not own land or land.

Key words: West Java society, social stratification, land


Latar Belakang

Indonesia sebagai negara agraris tentunya sumber daya tanah adalah hal yang berarti bagi
masyarkat. Penguasaan tanah di masyarakat Jawa barat bermakna kultural jadi bukan hanya
memiliki makna sebagai sumber pencaharian bahkan maknanya cenderung berpengertian
magis, bahkan cenderung magis. Hal seperti ini yang membuat masyarakat berspekulasi bahwa
persoalan tentang tanah merupakan persoalan hubungan masyarakat dengan tanah. Faktanya ,
persoalan penguasaan tanah berkaitan dengan segala macam aspek kehidupan misalnya sosial,
ekonomi, dan politik.

Pada abad ke-19 hubungan penguasa tradisional pribumi dan pihak kolonial Belanda
menunjukan dua gejala yang saling bertolak belakang. Di satu pihak kekuasaan kolonial semakin
luas, di sisi lain kekuasaan pribumi semakin lemah. Hubungan kekuasaan kolonial ini memiliki
pengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan. Misalnya dalam bidang politik, penguasa
kolonial memiliki pengaruh yang cukup kuat karena intervensi yang intensif dalam berbagai
persoalan intern pribumi, pihak Belanda sudah masuk dalam malah promosi, mutasi, serta
rotasi para pejabat. Hal ini yang menyebabkan adanya ketergantungan terhadap pemerintah
kolonial sehingga kebebasan semakin lemah. (Wahyono, 2017)

Dalam bidang ekonomi, pemerintah kolonial mengatur segala urusan mulai dari tanah hingga
tenaga kerja. Petani-petani diberikan mandate untuk mengelola sebagaian tanah untuk
ditanami tanaman-tanaman ekspor dan diwajibkan memberikan tenaga secara paksa kepada
pemerintah kolonial. Manusia sebagai mahluk sosial dalam kehidupan bermasyakat tentunya
tidak bisa terlepas dari stratifikai sosial (status yang memiliki tingkatan-tingkatan). (Aji, 2015)

Fenomena semacam ini sudah melekat dalam kehidupan manusia sejak zaman dahulu.
Ketimpangan selalu ada dalam beberapa aspek kehidupan begitu juga dalam hal penguasaan
tanah, ketimpangan yang terjadi di abad 19 ini pada umumnya memiliki keterkaitan dengan
kemilikan tanah, karena penguasaan tanah adalah penentu stratifikasi sosial pemiliknya. Artikel
ini akan membahas tentang ketimpangan sosial terhadap penguasaan tanah di pedesaan Jawa
Barat abad ke-19. Bagaimana ketimpangan sosial tersebut dapat terjadi? Bagaimana kelas-kelas
sosial yang muncul di pedesaan Jawa Barat? Semua permasalahan tersebut akan dijawab di
artikel ini.

Ketimpangan dalam sejarah

Di Indonesia desa dianggap sebagai wujud tertua dari pola desentralisasi. Sebab desa
merupakan suatu yang menjadi tempat tinggal oleh penduduk yang memiliki kewajiban
membayarkan pajak, dalam perkembangannya desa manjadi sebuah badan hukum yang
memiliki hak untuk memerintah dan mengatur sendiri, termasuk tanahnya sendiri yang
segalanya itu ditujukan untuk rakyat yang tinggal di sana.

Dalam konteks pemerintah kolonial, desa dijadikan sebagai sebuah sumber mendapatkan
tenaga kerja dan tanah sebagai tempat yang digunakan untuk menanam berbagai tanaman
misalnya kopi dan gula, tanah merupakan sumber utama penghasilan dan sebagai sumber mata
pencaharian para petani di Jawa Barat. Penduduk desa yang mempunyai banyak tanah
diharuskan membayar pajak, namun bisa diganti dengan kerja wajib di perkebunan .

Pada saat Raffles memerintah, diterapkan sistem pemerintahan langsung yang menjadikan
kepala dusun (kades) untuk manrik pajak masyarakat, sementara di tingkat Kabupaten saat itu
banyak kepala daerah (bupati) yang bekerja untuk penguasa kolonial. Namun kebijakan ini
dinilai kurang tepat kemudian diterapkanlah culturstelsel, dengan mengubah cara memerintah
dengan tidak langsung. Dengan begitu pihak kolonial tidak perlu memakai kekuatan militer
untuk menaklukan pribumi. Jadi perekrutan tenaga kerja dan pengadahan tanah yang nantikan
akan ditanami kopi dan gula dilakukan dengan memakai pengaruh penguasa pribumi misalnya
kepala desa(kades), dan bupati.

Kebijakan culturstelsel ini sangat merugikan desa-desa yang ada di Jawa, untuk memiliki tenaga
kerja yang cukup, pihak kolonial memaksa mengganti hak kepemilikan yang semua hak milik
individual menjadi hak milik bersama. Lewat kepala desa, kolonial memiliki akses untuk
mendapat tanah dan tenaga kerja yang diinginkan. Selain itu karen pihak kolonial ingin
meningkatkan hasil tanaman ekspornya, mereka terus memperluas tanah dengan cara
membuka banyak lahan baru yang bisa saja merusak lingkungan. Namun pemerintah kolonial
tidak peduli dengan hal tersebut, mereka terus berupaya untuk membuka lahan-lahan baru
dengan tujuan guna menanam kopi dan gula. Karena pembukaan lahan baru inilah
menyebabkan harus adanya tenaga kerja.

Sumber tentang penguasaan tanah pada abad 19 di Jawa Barat sangat minim sehingga sangat
sulit meneliti hal ini. Keterangan tentang kepemilikan tanah baru diperoleh sekitar pertengahan
abad 19 pada saat pemerintah kolonial sadar bajwa data penduduk dan penguasaan tanah
merupakan hal yang penting. Meskipun tujuan sebenarnya adalah untuk menarik pajak dan
penerapan kerja wajib bukan untuk memberi hak-hak masyarakat atas tanahnya.

Menurut Boomgard 1993 dan Burger 1960 menyatakan jauh sebelum penguasa asing
hadir,pola masyarakat Jawa memang sederhana. Mereka berusaha menerapkan sistem
pertanian subsisten yang hanya menghasilkan produk untuk dikonsumsi secara pribadi. Sumber
daya tanah pada waktu itu relative tidak memiliki Batasan maksudnya masyarakat Jawa Barat
dapat memiliki (berkuasa) sebanyak-banyaknya tanah tanah sebanyak yang mampu dikerjakan
sendiri.

Pembagian kelompok masyarakat Jawa pada masa tersebut dibagi menjadi dua bagian yakni
penguasaan hak milik individu dan komunal. Keduanya muncul bersama. Hak penguasa tanah
komunal hadir saat sejumlah penduduk mmebuka lahan hutan dan dimanfaatkan dengan
bergilir. Jadi masyarakat hanya mempunyai hak pakai bukan hak milik, sedangkan tanah milik
perorangan muncul saat seorang membuka lahan baru dan digunakan untuk kepentingan
individu.

Di daerah Priangan hakatas tanah Sebagian besar merupakan hak atas indiividu (milik pribadi),
hanya wilayah Ciamis yang memiliki penguasaan tanah komunal. Persoalannya yakni
penguasaan tanahlah yang menentukan kelas sosial di Priangan. Hanya masyarakat desa yang
memiliki tanahlah yang boleh dan mendapat hak demokrasi untuk menentukan kepada desa.
Meskipun penduduk tersebut baik namun jika tidak memiliki tanah ia tidak berhak mengikuti
pemilihan kepala desa.
Kepemilikan tanah komunal lebih di wilayah Cirebon. Di Cirebon dikenal tanah atas jabatan (
bengkok ) yang mencapai ¼ atau 1/3 luas sawah desa. Masuknya pemerintah kolonial Belanda
mengubah struktur penguasaan tanah. Kebijakan Pareangerstelsel yang diterapkan wemajibkan
para petani untuk mnenam kopi di wilayah Priangan.

Ketimpangan penguasaan tanah sudah terjadi sebelum adanya penguasaan asing karena
sebelumnya masyarakat sudah memiliki kelas-kelas sosial atas penguasaan tanah. Pertama,
kelompok besar petani yang tidak memiliki tanah (tunakisma) para petani di kelas ini biasanya
menumpang di lahan tanah milik oranglain. Kelas kedua merupakan kelas para petani yang
memiliki penguasaan atas tanah utamanya yang memegang sikep tanah milik pejabat desa.
Yang terakhir adalah kelas milik para pamong desa tapi bukan yang menguasasi tanah desa
sebagai upah sudah bekerja di pemerintahan. Ketimpangan tersebut semakin menjadi-jadi
Ketika pemerintah kolonial mengambil alih tanah milik rakyat.

Seperti telah disebutkan di atas, berbagai daerah di Jawa Barat dilakukan penerapan kebijakan
pemerintah kolonial. Contohnya di Priangan dilakukan kebijakan penanaman kopi wajib,
dengan adanya kerja wajib terdapat pemungutan pajak atas tanah dan tanaman, dan
penerapan kebijakan lainnya yang merugikan dan memberatkan bagi penduduk yang memiliki
tanah hal ini menyebabkan banyakk pemilik tanah memilih meninggalkan tanahnya daripada
harus membayar pajak dan sebagainya yang dianggap berat .kemudian tanah tersebut diambil
alih dan terjadilah penguasaan tanah oleh elit-elit desa.

Penelitian dalam Mindere Welvaart menghasilkan data statistic yang mengungkapkan adanya
timpang dalam penguasaan tanah di Jawa Barat. Disebutkan bawa 51% tunakisma terdapat di
Jawa Barat. Total yang mempunyai tanah adalah 67 % keluarga di antaranya hanya menguasai (
0,7hektar ), lalu disisi lain terdapat 7 % keluarga memiliki tanah 4,2hektar. Namun perlu
dijelaskan Kembali bahwa faktanya, banyak keluarga di pedesaan Jawa Barat yang memiliki
banyak tanah. Misalnya di Priangan, tercatat terdapat sekitar 559 keluarga yang menguasai
tanah diatas 30 bau pada 1905. Jumlah tersebut naik menjadi 1226 keluarga pada th1925.
Kemudian tercatat di Kabupaten Bandung dari 189325 keluarga yang terdaftar hanya 31 % saja
yang memiliki tanah ( lahan ). (Suhendar, 1995)
Pada era kemerdekaan, fenomena ketimpangan tanah dan kurangnya lahan pertanian tidak
terdapat perkembangan, luas rata- rata pemilikan tanah perkapita di Jawa hanya 0,170 hektar
pada th 1940 dan lalu mengalami penurunan di angka 0,162 hektar di tahun 1951. Dalam hal ini
luas rata-rata telah menderong para penduduk untuk mengambil alih tanah-tanah atau
perkebunan yang ditelantarkan ditinggalkan saat masa-masa perang kemerdekaan.

Data statistic 1957 mencatat sekitar 10.000 keluarga di Jawa Barat memiliki tanah diatas
5hektar. Namun dilain sisi. Sebagiannya lagi hanya memiliki tanah dibawah 0,5hektar, juga
beberapa hasil penelitian mikro menunjukan hal serupa. Penelitian yang dilakukan di Cibodas
Kabupaten Bandung mendapat catatan bahwa terdpaat 69% tunakisma di Cibodas dan
sedangkan yang memiliki tanah hanya 23 %. Luas tanah yang dimilikipun kebanyakan hanya
kurang dari 1 ha.(Suhendar, 1995)

Penguasaan Tanah di Jawa Barat

dari gambaran diatas kita dapat menarik kesimpulan bahwa kelas-kelas atau pembagian
masyarakatan berdasarkan kepemilikan tanah dibagi menjadi dua macam penguasaan tanah
yakni secara individual dan secara komunal. Kemudian datangnya pemerintahan kolonial
menjadikan banyak perubahan dalam pola penguasaan tanah di Indonesia khususnya di daerah
Jawa Barat. Awalnya pembagian tanah hanya atas individu dan komunal atas pemerintah
kolonial ditambah dengan adanya tanah partikelir.

Tanah Komunal

Wilayah yang menerapkan sistem penguasaan ini adalah karesidenan Cirebon. Istilahnya pun
bervariasi ada yang menyebut kesikepan, sawah desa(kanomeran), dan kacacahan. Selain itu
wilayah Cirebon juga menganal istilah bengkok (tanah desa) yang pendapatannya masuk
kedalam kas desa. Meski begitu, Cirebon juga dikenal dengan penguasaan tanah peroragan
(tanah yasan). Jadi penguasaan tanah di karesidenan Cirebon cukup bervariasi.

Abad 20 awal, sudah terjadi ketetapan untuk penguasaan tanah di wilayah, jadi yang
mempunyai hak sikep dapat menguasasi tanah itu hingga akhir hidupnya. Pemegang sikep
berikutnya ditetapkan berdasarkan hasil musyawarah desa yang, karena tanah sikep bukan
merupakan warisan. Hasil musyawarah desa ini nantinya akan menentukan seorang tangkong
(orang yang berjasa kepada desa, yang berhak menguasai tanah sikep ).

Tanah Partikelir

Saat Raffles memerintah, saat itu Pemerintah Kolonial Inggris sedang dalam masalah keuangan

(krisis) oleh karena itu Raffles mengambil kebijakan untuk menjual beberapa tanah di Jawa. Hal

inilah yang menyebabkan adanya penjualan tanah kepada para partikelir, tanah-tanah di Jawa

Barat banyak yang dijual kepada partikelir seperti daerah purwakarta dan Tangerang. Lahan

teluas partikelir jatuh kepada P en T Land seluas 2.129 km ². Tanah partikelir ini polanya seperti

Pemerintah dalam pemerintah. Karena mereka nantinya memilih seorang yang disebut dengan

demang, dan asistennya, kemudian memilih seorang mantri dan sebagainya. Kemudian di

masa-masa pendudukan Jepang dan masa revolusi Indoneisa banyak sekali penduduk Indonesia

khususnya daerah Jawa Barat yang melakukan pembukaan lahan dengan liar misalnya

pembukaan lahan untuk perkebunan. Pemerintah kemudian membuat ketetapan bahwa

penduduk yang telah memiliki hak milik (menguasai) tanah atau lahan tersebut dari zaman

kolonial akan menjadi pemilik baru dan dapat menguasai, serta mengelola tanah tersebut di

zaman pemerintah Jepang.

Tanah Individual

Daerah Banten dan Priangan memiliki banyak penguasaan tanah individual. Menurut catatatn
tahun 1921 dalam Residen Priangan tahun (Arsip Nasional). Sedikit yang mengetahui dan
menerapkan tanah jabatan. Hanya dilakukan di sedikit wilayah di Jawa Barat diantaranya adalah
wilayah Cimahi, dan Damaraja. Contohnya tanah desa (bengkok) yang memiliki luas sekitar 2h.a
masih dipertahankan dengan tujuan agar apparat desa dapat mendapatkan penghasilan
tambahan dari tanah tersebut. Di priangan pola kepemilikan tanah pribadi (individual ) tertanda
kepemilikan tanah atau lahan yang luas namun di Banten jarang sekali ada penguasaan tanah
yang luas seperti di Priangan.

Kelas-kelas dalam penguasaan tanah di Jawa Barat

Kelas- kelas sosial yang ada di pedesaan Jawa Barat beragam, tidak hanya antara sikep dan
numpang. Namun stratifikasi atas penguasaa terhadap tanah ini beraneka-ragam jenis dan
pembagiannya. Kelas-kelas tersebut diantaranya kraman, penglindung, ngelindung, somahau,
prejoko, mora kaki atau merkaki, kaki-kaki, dan rondo calok.(Wahyono, 2017)

Kraman merupakan seorang petani yang cocok , tinggal sendiri, menjadi kepala keluarga dan
oleh karena itu Ia memiliki peran langsung dalam pertanian. Namun dalam kraman ini terdapat
perbedaan umur, sehingga kraman dibagi lagi menjadi tiga yaitu kraman tua, kraman tengah,
dan kraman baru. Tingkatan kraman berdasarkan usia, jadi kraman tua yang memiliki posisi
tertinggi disini, misalnya dalam pembagian tanah dalam tiap tahun, kraman tua lah yang diberi
tanah yang baik, kraman tengah diberi yang sedang, dan kraman baru diberikan tanah dibawah
standar milik kraman tua dan tengah. Kelas ini merupakan kelas tertinggi dalam penguasaan
tanah di Jawa, karena seorang yang berada di kelas ini memiliki hak untuk ikut serta
memonopoli atas tanah komunal namun mereka tetap harus mengerjakan kerja wajib baik
diluar ataun diluar desanya.

Penglindung merupakan petani yang berasal dari golongan kraman namun perbedaanya adalah
mereka memiliki tugas dan pelayanan kepada kepala desanya. Penglindung sudah tidak lagi
memiliki hak ikut serta dalam tanah sebagai seorang kraman hal itu dilakukan dengan tujuan
agar kerja wajib yang ia kerjakan berkurang, selain itu penglindung juga memberi Sebagian
tanahnya untuk dikerjakan oranglain namun tetap hak milik tanah tersebut ada di dalam hak
penglindung. Dan penggarap tanah tersebut tetap diberikan kerja wajib.

Ngelindung merupakan orang yang bukan dalam ikatan keluarga namun dapat bekerja, para
ngelindung ini biasanya sudah menikah, namun belum memiliki rumah jadi mereka
menumpang kepada kraman. Sebagai imbalan karena telah diberi tumpangan, para ngelindung
inilah yang membantu menggarap lahan kraman, dan menggantilkan kerja wajib kraman,
apabila sedagng berhalangan. Serta ngelindung ini tidak memiliki hak atas tanah

Somahaus merupakan seorang yang kurang lebih posisinya sama dengan ngelindung namun,
somahus ini masih memiliki hubungan keluarga atau kerabat dengan kraman. Tugas mereka
sama yaitu membantu kraman dalam mengelola tanahnya namun somahus ini hanya terjadi
sekitar 1-3th saja.

Prejoko merupakan seorang anak laki-laki kraman yang berumur sekitar 16tahuan-an atau
lebih. Mereka bisa juga masuk kedalam kelas golongan somahaus.

Mura kaki atau merkaki merupakan seorang kepala desa yang sudah selesai tugasnya;
dongkolan ( mantan pegawai ). Mereka dapat ikut serta dalam menentukan keputusan untuk
tanah namun posisinya masih berada dibawah kraman.Dan juga selama mereka diberi
kebebasan untuk melakukan kerja wajib selama 2-3tahun. Seperti kraman, dapat diajak
bermusyawarah dalam permasalahan-permasalahan dalam pemerintahan desanya termasuk
dalam konteks kewajiban dan hak-hak.

Kaki-kakiadalah seorang yang sudah memasuki usia 60an. Mereka sudah dibebaskan dari segala
kerja wajib namun mereka juga sudah tidak bisa ikut andil dalam pengelolaan tanah.

Rondo calok merupakan janda krama yang memiliki (prejoko). Mereka diberikan hak untuk ikut
serta mengelola tanah namun dengan komposisi setengah dari yang didapat oleh kraman
dalam tanah (sawah) kelas tuga, meski begitu jika rondo colok ini memiliki lahan yang didapat
dari warisan ataupun lahan pembukaan yang pertama, maka hak itu dapat di alihkan kepadanya
bila rondocalok siap mengelola tanah tersebut. (Wahyono, 2017)
Simpulan

Masyarakat pedesaan di Jawa Barat dalam penguasaan tanah ini terbagi kedalam beberapa
kelompok atau terbagi kedalam kelas-kelas sosial. Kelas-kelas tersebut memiliki beragam istilah
yang mungkin berbeda antara daerah satu dengan daerah yang lain. Kelas-kelas tersebut pada
hakikatnya memang bersifat kaku.

Atas penguasaan tanah yang timpang ini terdapat perbedaan antar kelas masyarakat, seperti
hak untuk berdemokrasi. Di pedesaan Jawa Barat awal abad ke19 ini hanya orang-orang yang
memiliki hak istimewalah yang dapat mengikuti pemilihan kepala desa. Dapat disimpulkan
bahwa Sebagian besar penguasaan tanah di pedesaan Jawa Barat bersifat komunal. Tanah
komunal ini dapat digarap oleh mereka yang diberi hak menggarap oleh kepala desa atau lurah
desanya. Namun mereka yang memiliki hak menggarap tanah komunal ini tetap berkewajiban
melaksanakan kerja wajib.

Secara umum desa memiliki fungsi utama sebagai penghasil tenaga kerja(masyarakat) yang
nantinya tenaga kerja ini bermanfaat untuk menanam tanaman ekspor seperti kopi dan gula .
secara tidak langsung, untuk mendapatkan tenaga kerja tersebut, desa membuka tanah
komunal untuk dibagi kepada masyarakatnya kemudian, karena semakin banyak desa memberi
dan membuka tanah komunal, maka semakin banyak pula penduduknya yang menggarap tanah
tersebut. Secara otomatis akan banyak pula penduduk yang memiliki kewajiban kerja wajib.

Tingginya angka pertambahan penduduk di awal abad ke19 tidak sejalan dengan luas tanah
yang dimiliki di daerah Jawa. Oleh karena itu terjadilan kemunduran di masyarkat atau oleh
Geerts disebut sebagai sebuah inovolusi karena yang terjadi adalah kemunduran bukan
kesejahteraan penduduk.
Daftar Pustaka

Aji, R. H. S. (2015). Stratifikasi Sosial dan Kesadaran Kelas. Salam: Jurnal Sosial Dan Budaya Syar-
I, 2(1).

Suhendar, E. (1995). Ketimpangan Penguasaam Tanah di Jawa Barat.

Wahyono, E. (2017). Stratifikasi Sosial pada Masyarakat Pedesaan di Jawa Abad ke-19. Seminar
Nasional Riset Inovatif, 305–312.

Anda mungkin juga menyukai