Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Ujian Akhr Semester Gasal
Mata Kuliah : Sejarah Sosial Indonesia
GENTA RAMADHAN
17/409983/SA/18750
DEPARTEMEN SEJARAH
2019
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sebelum abad ke-20, tanah merupakan sumber vital bagi kerajaan yang berkuasa. Bagi
kerajaan, tanah merupakan sumber pendapatan dan legitimasi politik agar para kawula (rakyat)
dibuat tunduk olehnya. Hal ini berlaku dalam hukum keraton Kasultanan bahwa Sultan
memiliki kewenangan penuh atas kepemilikkan tanah. Akibatnya praktik feodalisme
membudaya di daerah Vorstelanden.1
1
Meskipun Kerajaan Mataram Islam telah mengalami disintegrasi akibat Perjanjian Giyanti, Kompeni
membiarkan eksistensi Vorstelanden sebagai daerah swapraja dan tradisi feodalistik keraton masih eksis berjalan.
Namun, pada praktiknya pemerintah Kolonial Belanda mengintervensi dalam kebijakan raja-raja yang ditaklukan.
Lihat selengkapnya terkait sejarah kelahiran Vorstenlanden pada Abdul Wahid, “Dualisme Pajak di Jawa :
Administrasi Pajak Tanah di Wilayah Vorstelanden pada masa Kolonial, 1915-1942, dalam Lembaran Sejarah,
Vol. 12 No. 1, 2017, hlm. 35-37 dan praktik sistem feodalisme keraton dalam Abdul Rozak, Membongkar Mitos
Keistimewaan Yogyakarta, (Yogyakarta : IHE Press), 2003, hlm. 58-60.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, persoalan yang diangkat antara lain. Mengapa
Kasultanan melakukan reorganisasi agraria pada 1917 ? Startegi apa saja yang dilakukan
pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menyelesaikan persoalan status Sultan Ground
? Apa perbedaaan dampak dari reorganisasi agraria yang berlangsung pada 1917 dan 1960 di
DIY ?
BAB II
PEMBAHASAN
2
M. Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI & XVII, (Yogyakarta : Kurnia Kalam Sejahtera).
1995, hlm. 27-28.
3
Nur Aini Setiawati, “Pemilikkan dan Penguasaan Tanah Kasultanan Yogyakarta Setelah Reorganisasi
Tanah 1917”, Vol.4 No. 1 : Lembaran Sejarah, 2001, hlm. 106.
Sementara itu, masyarakat Yogyakarta menganut sistem feodalisme. Pelapisan sosial
masyarakat Yogyakarta terbagi atas empat kelas menurut hak dan kewajiban atas tanah. Kelas
pertama, dipegang oleh Sultan beserta keluarganya selaku penguasa keraton di Yogyakarta.
Kedua, bangsawan keraton dan birokrat penting keraton merupakan masyarakat high class
memiliki tanah apange. Ketiga, abdi dalem atau priyayi menduduki golongan kelas menengah.
Kadangkala mereka memiliki rumah namun tidak memiliki tanah dan pekarangan rumah
meskipun umumnya mereka memiliki rumah dan pekarangan. Mereka ini sering disebut loyalis
keraton. Keempat, kelompok rakyat jelata yang tinggal di luar lapisan inti keraton. Mereka
bekerja di sektor informal dan tidak memiliki hak milik atas tanah dan rumah.4
Menurut sudut pandang hukum keraton, praktik sewa tanah di Yogyakarta ditentukan
oleh Sultan. Secara teknis, sewa tanah hanya boleh dioperasikan ketika menyandang status
lungguh atau apanage.5 Raja memberikan tanah lungguh kepada patuh6. Kemudian, patuh
memberikan kepercayaan pengelolaan tanah kepada bekel. Lalu, bekel7 memerintahkan kepada
rakyat untuk mengelola tanah milik raja. Ketika masa panen tiba, rakyat harus membayar hasil
bumi kepada bekel sebesar seperlima dari hasil tanaman rakyat. Belum lagi, pajak lain yang
dibebankan kepada rakyat yang dianggap menyengsarakan. Siklus ini terus berjalan hingga
reorganisasi agraria diberlakukan.8
Adapun ketentuan sewa tanah kepada orang-orang Belanda dan Timur Asing dibahas
lebih khusus. Sejak kekalahan Perang Diponegoro, Belanda mengintervensi kebijakan politik
keraton sebagai konsekuensi Perang Jawa yang benar-benar merugikan kraton. Pihak kraton
terpaksa menghibahkan sebagian tanah milikknya untuk pembangunan fasilitas umum, seperti
infrastruktur kereta api sebagai tanah Gubernumen.
4
Nur Aini Setiawati, ibid, hlm. 107-108.
5
Tanah apanage atau lungguh adalah tanah hibah dari raja kepada keluarga dan pembantu raja dan abdi
dalem sebagai imbalan atas status sosial, prestasi kerja, dan profesi mereka dalam birokrasi keraton.
6
Patuh adalah kelompok masyarakat yang memiliki hubungan dengan bupati.
7
Bekel diartikan sebagai bupati desa.
8
Ni’matul Huda, “Beberapa Persoalan dalam Penyelesaian Status Hukum Tanah Bekas Swapraja di
Daerah Istimewa Yogyakarta, Vol. 7 No. 13, 2000, hlm. 92.
9
Ni’matul Huda, ibid, hlm. 92-93.
Reorganisasi Agraria ala Belanda
10
Abdul Rozaki. et.al, Ibid, hlm. 37.
11
Nur Aini Setiawati, op.cit, hlm. 115.
12
Pemberlakuan reorganisasi Agraria di Surakarta secara rinci bisa dilihat dari Soegijanto Padmo,
“Reorganisasi Agraria di Surakarta pada 1918 dan Akibatnya Petani dan Perusahaan Belanda”, No. 8 : Humaniora,
1998, hlm. 72-81. Simpulan dari artikel Padmo ialah kebijakan reorganisasi agraria tidak berbeda jauh dengan
implementasi kebijakan agaria di Yogyakarta meskipun memiliki dampak yang beragam.
13
Abdul Rozaki, et.al, Ibid, hlm. 60-61.
Kemudian Rijksblad Kasultanan 1918 No. 16 telah disahkan sebagai awal pelaksanaan
reorganisasi agraria. Dengan demikian, rakyat memperoleh keadilan atas kepemilikkan tanah.
Begitu juga bagi perusahaan perkebunan yang berhak memperoleh hak sewa tanah setelah
mengalami penolakkan izin menyewa tanah kepada raja. Konsekuensinya, rakyat boleh
menjual atau menggadai, memberikan tanah pada orang lain, dan mewariskan kepada generasi
selanjutnya. Apabila tejadi peralihan hak maka kalurahan memiliki wewenang untuk
menentukan sikap untuk mengesahkan. Oleh karena itu, hak anganggo tidak bisa dicabut
kecuali dipakai untuk kepentingan publik dengan kompensasi yang sepadan.14
Selanjutnya pada tahun 1925 merupakan puncak dari reorganisasi agraria. Sultan
menetapkan perubahan sistem pemilikkan tanah. Reorganisasi ini memberikan makna
perubahan yang signifikan kepada sistem pemilikkan tanah dari tanah milik Sultan, tanah milik
priyayi, dan abdi dalem kini harus dialihkan kepada penduduk. Tidak sampai di situ, sistem
apange dihapus, pembentukan kelurahan sebagai unit administrasi, pemberian hak penggunaan
tanah yang jelas kepada penduduk, dan sebagainya juga diberlakukan. Otomatis, politik
pemerintah kolonial Belanda berhasil memperlemah kekuasaan bangsawan selaku pemegang
lungguh. 15
Reorganisasi agraria sejatinya membuka peluang rakyat untuk memperoleh hak milik
atas tanah Sultan. Secara tidak langsung, rakyat merasa berhutang budi kepada pemerintah
kolonial Belanda meskipun masing-masing mereka memiliki kepentingan yang berbeda.
Rakyat menginginkan tanah menjadi hak miliknya, sedangkan pemerintah kolonial
menginginkan keberlanjutan praktik komersialisasi ekonomi di Yogyakarta atas izin Sultan.
Kepentingan ini berfokus kepada pajak perkeretapian dan fungsi residensi untuk pemukiman
orang Eropa di Yogyakarta.16
14
Ibid, hlm. 64-65.
15
Nur Aini Setiawati, op.cit, hlm. 117
16
Ibid, hlm. 117-118
menyatakan dukungan terhadap pemerintah Indonesia. Bahkan dalam agenda pemindahan
ibukota, Sultan HB IX bersedia menghibahkan tanah keraton miliknya untuk difungsikan
sebagai pusat pemerintahan Republik Indonesia. Republik membutuhkan lingkungan
pemerintahan yang kondusif untuk memberikan keyakinan kepada bangsa lain bahwa
Indonesia pantas memperoleh statusnya sebagai negara merdeka. Demikian pula Yogyakarta
yang membutuhkan legitimasi bahwa Kasultanan loyal kepada Republik. Oleh karena itu,
Yogyakarta berhasil memainkan peranan penting dalam strategi mempertahankan eksistensi
status Kasultanan dan politik Indonesia.17
Oleh karena itu, organisasi massa dan kalangan hukum mendesak Presiden Soekarno
agar segera mencabut hukum kolonial. Akan tetapi, tuntutan ini tidak bisa dilaksanakan dengan
segera karena gejolak politik Indonesia semakin memanas, sehingga prioritas untuk memenuhi
tuntutan ini harus ditunda terlebih dahulu. Demikian juga, hukum agraria yang menjadi pokok
pembahasan hukum pasca kolonial, pemerintah secara bertahap menetapkan peraturan-
peraturan agraria parsial sebelum Undang Undang Pokok Agraria disahkan.
Salah satu produk hukum Indonesia adalah UU No. 13/1946 tentang penghapusan tanah
perdikan. Tanah perdikan merupakan tanah bebas pajak dari pemberian raja kepada seseorang
yang memberikan kontribusi positif kepada kerajaan. Namun, pada masa Revolusi status tanah
perdikan resmi dicabut atas persetujuan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat. Alasan
utamanya ialah tanah perdikan merupakan kepanjangan sistem feodalisme yang mana secara
17
Sri Margana, Farabi Fakih, dkk, Gelora di Tanah Raja : Yogyakarta pada Masa Revolusi 1945-1949 :
Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, 2017, hlm. 3-6.
18
Noer Fauzi, Petani & Penguasa : Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar), 1999, hlm. 53-55.
yuridis tidak wajib membayar pajak kepada negara. Atas dasar keadilan, status tanah perdikan
dicabut dan dikenakan pajak berdasarkan ketentuan yang berlaku.19
2. Perda DIY No. 10 tahun 1954 tentang putusan desa kemudian diperbaharui dalam Perda
DIY No. 3 tahun 1956
3. Perda DIY No. 11 tahun 1954 tentang peralihan hak milik perseorangan atas tanah
4. Perda DIY No. 12 tahun 1954 tentang tanah yang sah hak milik perseorangan tanah 22
Namun pada pelaksanaannya, pemerintah DIY masih mengacu hukum agraria kolonial
untuk menyelesaikan persoalan agraria. Adapun kendala penyelesaian status hukum tanah
kraton Yogyakarta pasca kolonial disebabkan berbagai faktor, yaitu kerancuan hukum dan
peraturan, status tanah, administrasi pertanahan kurang akurat, ketidakjelasan status
kelembagaan keraton, dan dominasi pengaruh budaya keraton terhadap alam pikir masyakarat
Yogyakarta.23
19
UU No. 13 Tahun 1946 tentang Penghapusan Desa-Desa Perdikan.
20
Hendra F. Isnaeni, “Reforma Agraria” https://historia.id/politik/articles/reforma-agraria-DOnV6
21
Menurut Pasal ayat 1, Daerah Istimewa Yogyakarta mengurus dua belas urusan yang ditentukan oleh
undang-undang. Kemudian, Pasal 4 ayat 2 merupakan penjelasan dari ayat 1 yang terlampir pada Lampiran A,
salah satunya Bab III Urusan Tanah. Secara terang, bab ini menjelaskan hak dan wewenang pemerintah DIY
dalam urusan agraria. Hadisuprapto. Ikhtisar Perkembangan Hukum Tanah Daerah Istimewa Yogyakarta,
(Yogyakarta : Karya Kencana), 1977, hlm. 17-18.
22
Hadisuprapto, ibid, hlm. 18.
23
Ni’matul Huda, op.cit, hlm. 101-104.
tanah nasional yang menjamin keadilan dan kesejahteraan sosial. Maka tidak heran mengapa
kata ‘tanah ini milik negara/domeinverklaring’ menjadi dominan dalam UUPA. Dengan
demikian, ketentuan hukum agraria kolonial resmi dicabut.24
Salah satu poin penting dalam UUPA ialah perubahan ketentuan hak eigendom, hak
erfpacht, dan hak opstal. Hak eigendom atas tanah dalam undang-undang tersebut menjadi hak
milik si pemilik tanah. Adapun hak eigendom milik negara asing dikonversi menjadi hak pakai
dan berlangsung selama-lamanya. Kemudian hak erfpacht besar berlaku sebagai hak guna
maksimal 20 tahun. Terakhir, hak opstal dikonversi menjadi hak guna bangunan dalam jangka
waktu maksimal 20 tahun.25
24
Ibid, hlm. 24.
25
Ibid, hlm. 27.
26
Umar Kusumoharyono. “Eksistensi Tanah Kasultanan (Sultan Ground) setelah berlakunya UU No. 5/
1960”, Yustisia edisi Nomor 68, 2006, hlm. 4-5.
Oleh karena itu, peraturan mengenai pertanahan DIY akan terhapus dengan sendirinya
karena harus berpedoman kepada UUPA. Namun, kewenangan DIY tentang agraria tetap
dipertahankan. Artinya, pemerintah DIY memiliki peraturan khusus di bidang agraria, yaitu :
1. Tanah yang tunduk pada peraturan Rijksblad Kasultanan dan Pakualaman ialah
tanah yang dimiliki oleh pihak keraton
2. Tanah yang tunduk pada peraturan daerah yaitu tanah yang dimiliki dengan hak
perseorangan turun temurun dan hak andarbee atau anggaduh
3. Tanah yang tunduk pada UUPA, yaitu tanah yang dikuasai oleh masyarakat
golongan Eropa atau Timur Asing.27
Singkatnya, tanah milik keraton merupakan tanah yang diatur oleh Rijksblad
Kasultanan dan Pakualaman yang mana aturan teknis pertanahan diatur oleh kebijakan keraton.
Adapun tanah perseorangan dan hak andarbee milik pemerintah daerah Yogyakarta. Hanya
tanah milik Eropa dan Timur Asing menjadi pelaksana UUPA. Hal ini bermaksud untuk
mempertahankan status quo keraton meskipun secara politik dan pemerintah administratif
diampu oleh pemerintah daerah Yogyakarta hingga kini.
27
Abdul Rozaki, op.cit, hlm, 68-69
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Di sisi lain, pemerintah kolonial Belanda juga melakukan intervensi politik kraton
sebagai konsekuensi dari Perang Jawa. Bagi kraton, Perang Jawa merupakan prahara besar
yang menandakan kekuasaan politik mereka dipasung meskipun secara kultural dan
pemerintahan kraton masih diberi status otonom. Seiring berjalannya waktu, pemerintah
kolonial Belanda mendesak kepada kraton agar reorganisasi agraria diberlakukan karena
desakan pengusaha perkebunan yang dijamin oleh Undang-Undang Agraria 1870 dan sistem
apange mernyengsarakan rakyat. Praktis, budaya feodalisme kraton kini dilumat oleh hukum
kolonial Belanda.
Perbedaan dampak yang ditimbulkan dari reorganisasi agraria 1917 dan 1960 cukup
jelas. Reorganisasi agraria 1917 merupakan kepentingan pemerintah kolonial Belanda
menjalani amanah Undang-Undang Agraria 1870 yang dikenal sebagai periode open door
policy. Selain itu, pemerintah juga mempriotaskan penghapusan sistem apange yang jelas
menyengsarakan rakyat meskipun bagi pemerintah kolonial bukan menjadi priotas utama.
Reorganisasi agraria dimaknai sebagai kemenangan politik kolonial Belanda dalam usaha
melucuti kekuasaan bangsawan keraton atas sistem kepemilikkan tanah. Peristiwa ini dimaknai
sebagai akhir feodalisme keraton dan awal periode privatisasi tanah di Yogyakarta.
Abdul Wahid, “Dualisme Pajak di Jawa : Administrasi Pajak Tanah di Wilayah Vorstelanden
pada masa Kolonial,” 1915-1942, dalam Lembaran Sejarah, Vol. 12 No. 1, 2017, hlm. 28-47
Fauzi, Noer. Petani & Penguasa : Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia, Yogyakarta
: Pustaka Pelajar, 1999,
Harun, M. Yahya, Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI & XVII, Yogyakarta : Kurnia Kalam
Sejahtera). 1995.
Margana, Sri, Farabi Fakih, dkk, Gelora di Tanah Raja : Yogyakarta pada Masa Revolusi
1945-1949 : Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, 2017, hlm. 72-81.
Padmo, Soegijanto, “Reorganisasi Agraria di Surakarta pada 1918 dan Akibatnya Petani dan
Perusahaan Belanda”, No. 8 : Humaniora, 1998, hlm. 72-81.
Rozaki, Abdul. dkk, Membongkar Mitos Keistimewaan Yogyakarta, Yogyakarta : IHE Press,
2003
Setiawati, Nur Aini, “Pemilikkan dan Penguasaan Tanah Kasultanan Yogyakarta Setelah
Reorganisasi Tanah 1917”, Vol.4 No. 1 : Lembaran Sejarah, 2001, hlm 105-120.
Website