Anda di halaman 1dari 13

JALAN PANJANG KEBIJAKAN REFORMASI AGARIA DI YOGYAKARTA, 1917-1960

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Ujian Akhr Semester Gasal
Mata Kuliah : Sejarah Sosial Indonesia

GENTA RAMADHAN
17/409983/SA/18750

DEPARTEMEN SEJARAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS GADJAH MADA

2019
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sebelum abad ke-20, tanah merupakan sumber vital bagi kerajaan yang berkuasa. Bagi
kerajaan, tanah merupakan sumber pendapatan dan legitimasi politik agar para kawula (rakyat)
dibuat tunduk olehnya. Hal ini berlaku dalam hukum keraton Kasultanan bahwa Sultan
memiliki kewenangan penuh atas kepemilikkan tanah. Akibatnya praktik feodalisme
membudaya di daerah Vorstelanden.1

Memasuki abad ke-20, Pemerintah Hindia Belanda mendesak Kasultanan untuk


memberlakukan reorganisasi agraria pada 1917. Proses reorganisasi ini berjalan hingga tahun
1925. Salah satu poin penting dari kebijakan tersebut adalah rakyat Jogja memperoleh atas hak
milik atas tanah di samping memiliki hak pakai. Perusahaan perkebunan juga memperoleh izin
sewa tanah. Dengan demikian, praktik feodalisme Kasultanan sudah tidak berlaku lagi dan
tergantikan oleh hukum perdata kolonial.

Setelah pergantian rezim kolonial menuju republik, kebijakan agraria nasional


mengalami perubahan yang signifikan. UU No. 3 Tahun 1946 merupakan produk hukum
agraria Indonesia pertama secara tegas menghapus status tanah perdikan. Kemudian,
Yogyakarta baru memperoleh status daerah keistimewaan dari pemerintah pusat dalam UU No.
10 Tahun 1950 dan turut membantu pemerintah pusat dalam menyelesaikan sengketa agraria
di Yogyakarta. UU No. 5 Tahun 1960 merupakan puncak dari reorganisasi agraria Indonesia
yang menyatakan bahwa semua kekayaan yang terkandung di dalamnya termasuk tanah
dikelola oleh negara. Pemerintah Indonesia memiliki kepentingan ini karena tanah merupakan
berpotensi sebagai sumber pendapatan negara dan sekaligus sumber konflik sosial. Oleh karena
itu, pemerintah menetapkan suatu regulasi agraria agar tercipta keadilan dan kesejahteranan
sosial bagi masyarakat Indonesia sesuai dengan amanah Pasal 33 ayat 3.

1
Meskipun Kerajaan Mataram Islam telah mengalami disintegrasi akibat Perjanjian Giyanti, Kompeni
membiarkan eksistensi Vorstelanden sebagai daerah swapraja dan tradisi feodalistik keraton masih eksis berjalan.
Namun, pada praktiknya pemerintah Kolonial Belanda mengintervensi dalam kebijakan raja-raja yang ditaklukan.
Lihat selengkapnya terkait sejarah kelahiran Vorstenlanden pada Abdul Wahid, “Dualisme Pajak di Jawa :
Administrasi Pajak Tanah di Wilayah Vorstelanden pada masa Kolonial, 1915-1942, dalam Lembaran Sejarah,
Vol. 12 No. 1, 2017, hlm. 35-37 dan praktik sistem feodalisme keraton dalam Abdul Rozak, Membongkar Mitos
Keistimewaan Yogyakarta, (Yogyakarta : IHE Press), 2003, hlm. 58-60.
Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, persoalan yang diangkat antara lain. Mengapa
Kasultanan melakukan reorganisasi agraria pada 1917 ? Startegi apa saja yang dilakukan
pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menyelesaikan persoalan status Sultan Ground
? Apa perbedaaan dampak dari reorganisasi agraria yang berlangsung pada 1917 dan 1960 di
DIY ?

BAB II

PEMBAHASAN

Implementasi Teori Vorstedomein dalam Hukum Agraria Kasultanan Yogyakarta.

Sejarah berlakunya teori Vorstedomein di Yogyakarta berawal dari hasil perjanjian


Giyanti. Perjanjian Giyanti berlaku pada tanggal 13 Februari 1755 yang menandakan awal
disintegrasi Mataram secara teritori dan politik. Kesultanan Mataram dipecah menjadi dua,
yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat setelah mengalami
pemberontakan Trunojoyo dan Adipati Anom yang mempercepat proses delegitimasi
kekuasaan Mataram.2 Meskipun demikian, Sultan memiliki hak milik (domein) atas tanah
bagian barat Kerajaan Mataram dan rakyat (kawula) hanya mempunyai hak pakai (anggaduh)
atas tanah. Adapun status politik Kasultanan masih bersifat absolut dan pewarisan kekuasaan
raja masih bersifat genealogis.

Menurut konsep Jawa, pola wilayah Kasultanan Yogyakarta cenderung memakai


kosmologi Jawa seperti lingkaran anak panah. Daerah Kutanegara merupakan daerah tempat
tinggal keluarga raja dan bangsawan keraton. Kemudian wilayah Negara Agung merupakan
daerah sekitar Kutanegara. Daerah ini terdapat tanah lungguh milik para bangsawan keraton.
Kemudian wilayah ini terus meluas menjadi Mancanegara dan Pesisir. Wilayah ini merupakan
wilayah kekuasaan para bupati dan mereka menaruh loyalitas kepada raja dalam bentuk
penyerahan pajak. Atau boleh jadi wilayah ini merupakan vassal dari kerajaan tersebut.3

2
M. Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI & XVII, (Yogyakarta : Kurnia Kalam Sejahtera).
1995, hlm. 27-28.
3
Nur Aini Setiawati, “Pemilikkan dan Penguasaan Tanah Kasultanan Yogyakarta Setelah Reorganisasi
Tanah 1917”, Vol.4 No. 1 : Lembaran Sejarah, 2001, hlm. 106.
Sementara itu, masyarakat Yogyakarta menganut sistem feodalisme. Pelapisan sosial
masyarakat Yogyakarta terbagi atas empat kelas menurut hak dan kewajiban atas tanah. Kelas
pertama, dipegang oleh Sultan beserta keluarganya selaku penguasa keraton di Yogyakarta.
Kedua, bangsawan keraton dan birokrat penting keraton merupakan masyarakat high class
memiliki tanah apange. Ketiga, abdi dalem atau priyayi menduduki golongan kelas menengah.
Kadangkala mereka memiliki rumah namun tidak memiliki tanah dan pekarangan rumah
meskipun umumnya mereka memiliki rumah dan pekarangan. Mereka ini sering disebut loyalis
keraton. Keempat, kelompok rakyat jelata yang tinggal di luar lapisan inti keraton. Mereka
bekerja di sektor informal dan tidak memiliki hak milik atas tanah dan rumah.4

Menurut sudut pandang hukum keraton, praktik sewa tanah di Yogyakarta ditentukan
oleh Sultan. Secara teknis, sewa tanah hanya boleh dioperasikan ketika menyandang status
lungguh atau apanage.5 Raja memberikan tanah lungguh kepada patuh6. Kemudian, patuh
memberikan kepercayaan pengelolaan tanah kepada bekel. Lalu, bekel7 memerintahkan kepada
rakyat untuk mengelola tanah milik raja. Ketika masa panen tiba, rakyat harus membayar hasil
bumi kepada bekel sebesar seperlima dari hasil tanaman rakyat. Belum lagi, pajak lain yang
dibebankan kepada rakyat yang dianggap menyengsarakan. Siklus ini terus berjalan hingga
reorganisasi agraria diberlakukan.8

Menurut Notoyudo, penggunaan tanah Kasultanan Yogyakarta sebelum 1914 dapat


dikelompokkan, yaitu : (1) tanah Keprabon, (2) tanah untuk Gubernemen, (3) tanah untuk
orang Belanda dan Tionghoa dengan hak eigendom, (4) tanah golongan, (5) tanah kasentanan
khusus kepada kerabat kraton dengan hak pakai, (6) tanah pekarangan Bupati, (7) tanah
kebonan, (8) tanah rakyat biasa, dan (9) tanah maosan dalem.9

Adapun ketentuan sewa tanah kepada orang-orang Belanda dan Timur Asing dibahas
lebih khusus. Sejak kekalahan Perang Diponegoro, Belanda mengintervensi kebijakan politik
keraton sebagai konsekuensi Perang Jawa yang benar-benar merugikan kraton. Pihak kraton
terpaksa menghibahkan sebagian tanah milikknya untuk pembangunan fasilitas umum, seperti
infrastruktur kereta api sebagai tanah Gubernumen.

4
Nur Aini Setiawati, ibid, hlm. 107-108.
5
Tanah apanage atau lungguh adalah tanah hibah dari raja kepada keluarga dan pembantu raja dan abdi
dalem sebagai imbalan atas status sosial, prestasi kerja, dan profesi mereka dalam birokrasi keraton.
6
Patuh adalah kelompok masyarakat yang memiliki hubungan dengan bupati.
7
Bekel diartikan sebagai bupati desa.
8
Ni’matul Huda, “Beberapa Persoalan dalam Penyelesaian Status Hukum Tanah Bekas Swapraja di
Daerah Istimewa Yogyakarta, Vol. 7 No. 13, 2000, hlm. 92.
9
Ni’matul Huda, ibid, hlm. 92-93.
Reorganisasi Agraria ala Belanda

Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memiliki keunikan tersendiri dibanding


propinsi lain di Indonesia, terutama masalah pertanahan yang masih dikelola oleh keluarga
kraton. Sebelum abad ke-20, teori vorstedomein menjadi dominan karena pameo “sangisoring
langit, salumahing bumi”. Singkatnya, tanah dan hak properti lainnya milik raja dan
masyarakat hanya menikmati hak pakai tanah, bukan hak milik.10 Namun, semuanya berubah
karena inteversi politik yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda karena desakan
pengusaha perkebunan dan menciptakan kepastian hukum agraria. Oleh karena pemerintah
kolonial Belanda secara tegas melucuti konsep vorstedomein milik kraton. Hal ini dilakukan
karena tanah Sultan tidak memiliki ketentuan hukum yang jelas yang mengatur jual beli, sewa
menyewa, hibah tanah, dan seterusnya.11

Amanah dari Undang-Undang Agraria 1870 menjadi alasan utama pemerintah


mengakhiri praktik feodalisme di Yogyakarta. Landasan hukum kolonial ini menjelaskan
bahwa pemerintah kolonial Belanda melakukan reorganisasi agraria dengan tujuan menghapus
sistem apange. Selain itu, pemerintah kolonial Pada tahun 1914 reorganisasi agraria mulai
diberlakukan di Surakarta12 dan pada tahun 1918 reorganisasi agraria juga diberlakukan di
Yogyakarta. Maksud dari reorganisasi tersebut adalah :

1. Menghapus sistem apange yang sudah terang menyengsarakan rakyat


2. Pembentukan kelurahan-kelurahan sebagai pelaksana tugas administrasi dan pembuat
register untuk mencatat keberadaan tanah
3. Memberikan hak milik komunal (hak andarbe) untuk kelurahan dan hak anganggo
kepada rakyat secara turun temurun
4. Memberikan hak atas tanah berupa sewa tanah kepada pengusaha perkebunan
(ondernemen) selama 50 tahun. Pemberian atas tanah ini diatur dalam Vorstelands
Grondhuur Reglement Staatblad 1819 No. 20. Meskipun sementara, para pengusaha
perkebunan bergembira karena setidaknya mendapat izin menyewa tanah dari
pemeritah kolonial Belanda.13

10
Abdul Rozaki. et.al, Ibid, hlm. 37.
11
Nur Aini Setiawati, op.cit, hlm. 115.
12
Pemberlakuan reorganisasi Agraria di Surakarta secara rinci bisa dilihat dari Soegijanto Padmo,
“Reorganisasi Agraria di Surakarta pada 1918 dan Akibatnya Petani dan Perusahaan Belanda”, No. 8 : Humaniora,
1998, hlm. 72-81. Simpulan dari artikel Padmo ialah kebijakan reorganisasi agraria tidak berbeda jauh dengan
implementasi kebijakan agaria di Yogyakarta meskipun memiliki dampak yang beragam.
13
Abdul Rozaki, et.al, Ibid, hlm. 60-61.
Kemudian Rijksblad Kasultanan 1918 No. 16 telah disahkan sebagai awal pelaksanaan
reorganisasi agraria. Dengan demikian, rakyat memperoleh keadilan atas kepemilikkan tanah.
Begitu juga bagi perusahaan perkebunan yang berhak memperoleh hak sewa tanah setelah
mengalami penolakkan izin menyewa tanah kepada raja. Konsekuensinya, rakyat boleh
menjual atau menggadai, memberikan tanah pada orang lain, dan mewariskan kepada generasi
selanjutnya. Apabila tejadi peralihan hak maka kalurahan memiliki wewenang untuk
menentukan sikap untuk mengesahkan. Oleh karena itu, hak anganggo tidak bisa dicabut
kecuali dipakai untuk kepentingan publik dengan kompensasi yang sepadan.14

Selanjutnya pada tahun 1925 merupakan puncak dari reorganisasi agraria. Sultan
menetapkan perubahan sistem pemilikkan tanah. Reorganisasi ini memberikan makna
perubahan yang signifikan kepada sistem pemilikkan tanah dari tanah milik Sultan, tanah milik
priyayi, dan abdi dalem kini harus dialihkan kepada penduduk. Tidak sampai di situ, sistem
apange dihapus, pembentukan kelurahan sebagai unit administrasi, pemberian hak penggunaan
tanah yang jelas kepada penduduk, dan sebagainya juga diberlakukan. Otomatis, politik
pemerintah kolonial Belanda berhasil memperlemah kekuasaan bangsawan selaku pemegang
lungguh. 15

Reorganisasi agraria sejatinya membuka peluang rakyat untuk memperoleh hak milik
atas tanah Sultan. Secara tidak langsung, rakyat merasa berhutang budi kepada pemerintah
kolonial Belanda meskipun masing-masing mereka memiliki kepentingan yang berbeda.
Rakyat menginginkan tanah menjadi hak miliknya, sedangkan pemerintah kolonial
menginginkan keberlanjutan praktik komersialisasi ekonomi di Yogyakarta atas izin Sultan.
Kepentingan ini berfokus kepada pajak perkeretapian dan fungsi residensi untuk pemukiman
orang Eropa di Yogyakarta.16

Menuju Pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1960

Tanggal 17 Agustus 1945 merupakan awal pembentukan Indonesia. Pendek kata,


Indonesia resmi menjadi negara yang berdaulat. Pada saat yang sama, muncul instansi
pemerintah yang masih seumur jagung yang sedang mengurus persoalan primer bangsa
Indonesia. Dalam situasi genting ini, Sultan Hamengku Buwono IX beserta birokrat keraton

14
Ibid, hlm. 64-65.
15
Nur Aini Setiawati, op.cit, hlm. 117
16
Ibid, hlm. 117-118
menyatakan dukungan terhadap pemerintah Indonesia. Bahkan dalam agenda pemindahan
ibukota, Sultan HB IX bersedia menghibahkan tanah keraton miliknya untuk difungsikan
sebagai pusat pemerintahan Republik Indonesia. Republik membutuhkan lingkungan
pemerintahan yang kondusif untuk memberikan keyakinan kepada bangsa lain bahwa
Indonesia pantas memperoleh statusnya sebagai negara merdeka. Demikian pula Yogyakarta
yang membutuhkan legitimasi bahwa Kasultanan loyal kepada Republik. Oleh karena itu,
Yogyakarta berhasil memainkan peranan penting dalam strategi mempertahankan eksistensi
status Kasultanan dan politik Indonesia.17

Masa-masa Revolusi Nasional (1945-1949) merupakan momen yang tepat untuk


menjungkirbalikkan tatanan hukum kolonial dan sistem feodalisme yang sudah mapan. Kata
“revolusi” ialah perubahan yang cepat dan radikal serta berdampak luas terhadap tatanan
masyarakat. Demikian juga perubahan tatanan hukum kolonial menuju hukum nasional,
tuntutan rakyat Indonesia harus dipenuhi. Ada tiga alasan penting mengapa perubahan ini harus
dilakukan, yakni peraturan hukum kolonial tidak relevan dengan jiwa masyarakat Indonesia,
sistem dualisme hukum memicu ketidakpastian hukum, dan dasar falsafah hukum liberal-
kapitalis tidak cocok dengan falsafah masyarakat Indonesia.18

Oleh karena itu, organisasi massa dan kalangan hukum mendesak Presiden Soekarno
agar segera mencabut hukum kolonial. Akan tetapi, tuntutan ini tidak bisa dilaksanakan dengan
segera karena gejolak politik Indonesia semakin memanas, sehingga prioritas untuk memenuhi
tuntutan ini harus ditunda terlebih dahulu. Demikian juga, hukum agraria yang menjadi pokok
pembahasan hukum pasca kolonial, pemerintah secara bertahap menetapkan peraturan-
peraturan agraria parsial sebelum Undang Undang Pokok Agraria disahkan.

Salah satu produk hukum Indonesia adalah UU No. 13/1946 tentang penghapusan tanah
perdikan. Tanah perdikan merupakan tanah bebas pajak dari pemberian raja kepada seseorang
yang memberikan kontribusi positif kepada kerajaan. Namun, pada masa Revolusi status tanah
perdikan resmi dicabut atas persetujuan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat. Alasan
utamanya ialah tanah perdikan merupakan kepanjangan sistem feodalisme yang mana secara

17
Sri Margana, Farabi Fakih, dkk, Gelora di Tanah Raja : Yogyakarta pada Masa Revolusi 1945-1949 :
Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, 2017, hlm. 3-6.
18
Noer Fauzi, Petani & Penguasa : Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar), 1999, hlm. 53-55.
yuridis tidak wajib membayar pajak kepada negara. Atas dasar keadilan, status tanah perdikan
dicabut dan dikenakan pajak berdasarkan ketentuan yang berlaku.19

Selanjutnya, pemerintah Indonesia menetapkan serangkaian kebijakan agraria, yakni


Panitia Agraria Yogya pada 1948. Akan tetapi, kebijakan ini gagal terlaksana karena peristiwa
kudeta PKI Madiun yang dipimpin oleh Musso.20 Setelah periode pengakuan kedaulatan,
Yogyakarta secara hukum memperoleh status daerah istimewa dari pemerintah Indonesia
dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1950 dan ditambah dengan Undang-Undang No. 19 tahun
1950. Otomatis, urusan agraria dialihkan kepada pemeritah propinsi DIY. Setidaknya, hal ini
memberikan keyakinan bahwa pemerintah DIY mampu menyelesaikan persoalan Sultan
Ground.21

Selanjutnya DIY menetapkan aturan hukum tanah dengan peraturan-peraturan yakni :


1. Perda DIY No. 5 tahun 1954 tentang hal-hal atas tanah

2. Perda DIY No. 10 tahun 1954 tentang putusan desa kemudian diperbaharui dalam Perda
DIY No. 3 tahun 1956

3. Perda DIY No. 11 tahun 1954 tentang peralihan hak milik perseorangan atas tanah

4. Perda DIY No. 12 tahun 1954 tentang tanah yang sah hak milik perseorangan tanah 22

Namun pada pelaksanaannya, pemerintah DIY masih mengacu hukum agraria kolonial
untuk menyelesaikan persoalan agraria. Adapun kendala penyelesaian status hukum tanah
kraton Yogyakarta pasca kolonial disebabkan berbagai faktor, yaitu kerancuan hukum dan
peraturan, status tanah, administrasi pertanahan kurang akurat, ketidakjelasan status
kelembagaan keraton, dan dominasi pengaruh budaya keraton terhadap alam pikir masyakarat
Yogyakarta.23

Setelah lima belas tahun Indonesia merdeka, Presiden Soekarno memberlakukan


Undang-Undang Pokok Agraria yang dikenal sebagai UU No. 5/1960. Pelaksanaan UUPA itu
berdasarkan amanah dari UUD 1945 Pasal 33 ayat 3. UUPA merupakan suatu produk hukum

19
UU No. 13 Tahun 1946 tentang Penghapusan Desa-Desa Perdikan.
20
Hendra F. Isnaeni, “Reforma Agraria” https://historia.id/politik/articles/reforma-agraria-DOnV6
21
Menurut Pasal ayat 1, Daerah Istimewa Yogyakarta mengurus dua belas urusan yang ditentukan oleh
undang-undang. Kemudian, Pasal 4 ayat 2 merupakan penjelasan dari ayat 1 yang terlampir pada Lampiran A,
salah satunya Bab III Urusan Tanah. Secara terang, bab ini menjelaskan hak dan wewenang pemerintah DIY
dalam urusan agraria. Hadisuprapto. Ikhtisar Perkembangan Hukum Tanah Daerah Istimewa Yogyakarta,
(Yogyakarta : Karya Kencana), 1977, hlm. 17-18.
22
Hadisuprapto, ibid, hlm. 18.
23
Ni’matul Huda, op.cit, hlm. 101-104.
tanah nasional yang menjamin keadilan dan kesejahteraan sosial. Maka tidak heran mengapa
kata ‘tanah ini milik negara/domeinverklaring’ menjadi dominan dalam UUPA. Dengan
demikian, ketentuan hukum agraria kolonial resmi dicabut.24

Salah satu poin penting dalam UUPA ialah perubahan ketentuan hak eigendom, hak
erfpacht, dan hak opstal. Hak eigendom atas tanah dalam undang-undang tersebut menjadi hak
milik si pemilik tanah. Adapun hak eigendom milik negara asing dikonversi menjadi hak pakai
dan berlangsung selama-lamanya. Kemudian hak erfpacht besar berlaku sebagai hak guna
maksimal 20 tahun. Terakhir, hak opstal dikonversi menjadi hak guna bangunan dalam jangka
waktu maksimal 20 tahun.25

Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta baru melaksanakan amanah UUPA


seutuhnya pada tanggal 23 September 1983. Pelaksanakan UUPA di Yogyakarta baru
diberlakukan berdasarkan Keppres No. 33 / 1984. Kemudian dari peraturan ini, Pemerintah
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta membentuk peraturan daerah (perda) DIY No. 3 Tahun
1984 untuk menindaklanjuti implementasi UUPA. Akibatnya, peraturan perundangan
sebelumnya harus dicabut antara lain ;

1. Rijksblaad Kasultanan No. 16 dan 18 tahun 1918


2. Rijksblaad Kasultanan No. 11 tahun 1928 jo. 1931 No. 2 dan Rijksblaad Paku Alaman
No. 13 tahun 1928 jo. No. 1/1931.
3. Rijksblaad Kasultanan No. 23 tahun 1925 dan Rijksblaad Paku Alaman No. 25 tahun
1925.
4. Peraturan Daerah No. 5, 10, 11 tahun 1954
5. Peraturan Daerah No. 11 tahun 1960 jo. Peraturan Daerah No 5 tahun 1960.
6. Peraturan Daerah No. 5 tahun.1954 tentang hak-hak atas tanah.
7. Peraturan Daerah No. 10 tahun 1955 tentang pelaksanaan keputusan desa
8. Peraturan Daerah No. 11 tahun 1954 tentang peralihan hak milik perseorangan turun
temurun atas tanah.26

24
Ibid, hlm. 24.
25
Ibid, hlm. 27.
26
Umar Kusumoharyono. “Eksistensi Tanah Kasultanan (Sultan Ground) setelah berlakunya UU No. 5/
1960”, Yustisia edisi Nomor 68, 2006, hlm. 4-5.
Oleh karena itu, peraturan mengenai pertanahan DIY akan terhapus dengan sendirinya
karena harus berpedoman kepada UUPA. Namun, kewenangan DIY tentang agraria tetap
dipertahankan. Artinya, pemerintah DIY memiliki peraturan khusus di bidang agraria, yaitu :

1. Tanah yang tunduk pada peraturan Rijksblad Kasultanan dan Pakualaman ialah
tanah yang dimiliki oleh pihak keraton
2. Tanah yang tunduk pada peraturan daerah yaitu tanah yang dimiliki dengan hak
perseorangan turun temurun dan hak andarbee atau anggaduh
3. Tanah yang tunduk pada UUPA, yaitu tanah yang dikuasai oleh masyarakat
golongan Eropa atau Timur Asing.27

Singkatnya, tanah milik keraton merupakan tanah yang diatur oleh Rijksblad
Kasultanan dan Pakualaman yang mana aturan teknis pertanahan diatur oleh kebijakan keraton.
Adapun tanah perseorangan dan hak andarbee milik pemerintah daerah Yogyakarta. Hanya
tanah milik Eropa dan Timur Asing menjadi pelaksana UUPA. Hal ini bermaksud untuk
mempertahankan status quo keraton meskipun secara politik dan pemerintah administratif
diampu oleh pemerintah daerah Yogyakarta hingga kini.

27
Abdul Rozaki, op.cit, hlm, 68-69
BAB III

PENUTUP

Simpulan

Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya bahwa teori Vorstedomein sebelum


Reorganisasi Agraria tahun 1917 masih menikmati masa-masa kejayaan. Dengan demikian,
seorang raja memiliki kewenangan penuh atas tanah. Namun, rakyat jelata harus menerima
kenyataan bahwa mereka hanya memperoleh hak pakai tanah karena menguatnya supremasi
feodalisme keraton. Belum lagi kehadiran sistem tanah apange dan para bekel menjadi awal
penderitaan rakyat yang sangat eksploitatif, namun mereka tidak memiliki kuasa untuk
mengadakan perlawanan.

Di sisi lain, pemerintah kolonial Belanda juga melakukan intervensi politik kraton
sebagai konsekuensi dari Perang Jawa. Bagi kraton, Perang Jawa merupakan prahara besar
yang menandakan kekuasaan politik mereka dipasung meskipun secara kultural dan
pemerintahan kraton masih diberi status otonom. Seiring berjalannya waktu, pemerintah
kolonial Belanda mendesak kepada kraton agar reorganisasi agraria diberlakukan karena
desakan pengusaha perkebunan yang dijamin oleh Undang-Undang Agraria 1870 dan sistem
apange mernyengsarakan rakyat. Praktis, budaya feodalisme kraton kini dilumat oleh hukum
kolonial Belanda.

Reorganisasi Agraria 1917 merupakan awal kebebasan rakyat dan pengusaha


perkebunan yang mengelola tanah Sultan. Rakyat Jogja memperoleh hak milik tanah di
samping menyandang hak pakai. Adapun pengusaha perkebunan memperoleh izin menyewa
tanah selama lima puluh tahun. Secara tidak langsung, rakyat berhutang budi kepada
pemerintah kolonial Belanda karena telah membebaskan mereka dari jeratan feodalisme kraton
melalui sistem apange dan kerja wajib lainnya. Namun sejatinya tujuan pemerintah kolonial
Belanda melakukan hal demikian karena desakan dari pengusaha perkebunan dan menata ulang
ketentuan hukum agraria milik kraton yang masih belum jelas.

Setelah Indonesia merdeka, pemerintah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)


dibentuk menurut UU No. 3 tahun 1950 atas peran aktif membantu dan mempertahankan
Republik. Pendek kata, provinsi DIY juga memiliki wewenang untuk menyelesaikan persoalan
regional, salah satunya urusan agraria. Saat itu pemerintah DIY masih berupaya menyelesaikan
masalah status tanah Sultan yang masih menerapkan kebijakan hukum kolonial. Salah satu
strategi pemerintah ialah membentuk empat peraturan daerah yang berhubungan dengan
agraria. Namun, penyelesaian status tanah Sultan masih menggunakan kebijakan lama
sehingga menimbulkan kerancuan yang berujung ketidakpastian hukum agraria.

Selanjutnya, masa pemberlakuan Undang-Undang Pokok Agraria yang lebih dikenal


UU No. 5 tahun 1960. Pengesahan UUPA menjadi titik penting karena peraturan ini berlaku
secara nasional dan menjadi acuan membuat peraturan turunan di bidang agraria selanjutnya.
Peraturan ini memberikan makna bahwa pemerintah DIY seharusnya mengacu kepada UUPA
jika membuat kebijakan pertanahan selanjutnya. Namun, pada pelaksanaannya kewenangan
DIY masih berlaku sehingga muncul peraturan khusus milknya selain UUPA. Poin penting
yang ditekankan ialah tanah yang diatur oleh Rijksblad Kasultanan dan Pakualaman menjadi
milik kraton. Tujuannya ialah mempertahankan status quo politik kraton bidang agraria
meskipun saat ini birokrasi administrasi pemerintah didominasi oleh pemerintah daerah
Yogyakarta.

Perbedaan dampak yang ditimbulkan dari reorganisasi agraria 1917 dan 1960 cukup
jelas. Reorganisasi agraria 1917 merupakan kepentingan pemerintah kolonial Belanda
menjalani amanah Undang-Undang Agraria 1870 yang dikenal sebagai periode open door
policy. Selain itu, pemerintah juga mempriotaskan penghapusan sistem apange yang jelas
menyengsarakan rakyat meskipun bagi pemerintah kolonial bukan menjadi priotas utama.
Reorganisasi agraria dimaknai sebagai kemenangan politik kolonial Belanda dalam usaha
melucuti kekuasaan bangsawan keraton atas sistem kepemilikkan tanah. Peristiwa ini dimaknai
sebagai akhir feodalisme keraton dan awal periode privatisasi tanah di Yogyakarta.

Sementara kebijakan Undang-Undang Pokok Agraria yang dikenal UU No. 5 tahun


1960 merupakan revolusi hukum agraria Indonesia dengan slogan ‘tanah milik negara’.
Undang-undang ini menjadi simbol akhir kejayaan hukum agraria kolonial yang dinilai tidak
adil dalam implementasi undang-undang agraria. Salah satu poin penting dalam UUPA ialah
perubahan jangka waktu hak erfpacht, hak eigendom, dan hak opstal. Hak erfpacht dan hak
opstal dipakai sebagai hak pakai dan hak guna tanah maksimal dua puluh tahun. Seharusnya,
pemerintah DIY manut terhadap ketentuaan UUPA. Namun karena bermaksud
mempertahankan status quo politik agraria keraton, maka bekas tanah milik orang-orang Eropa
dan Timur memilih mengikuti ketentuan UUPA. Adapun urusan hak milik perseorangan dan
hak andarbee atau anggaduh menjadi kewenangan pemerintah daerah Yogyakarta
Daftar Pustaka

Buku, Artikel, dan Jurnal.

Abdul Wahid, “Dualisme Pajak di Jawa : Administrasi Pajak Tanah di Wilayah Vorstelanden
pada masa Kolonial,” 1915-1942, dalam Lembaran Sejarah, Vol. 12 No. 1, 2017, hlm. 28-47

Fauzi, Noer. Petani & Penguasa : Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia, Yogyakarta
: Pustaka Pelajar, 1999,

Hadisuprapto. Ikhtisar Perkembangan Hukum Tanah Daerah Istimewa Yogyakarta,


Yogyakarta : Karya Kencana, 1977.

Harun, M. Yahya, Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI & XVII, Yogyakarta : Kurnia Kalam
Sejahtera). 1995.

Kusumoharyono, Umar. “Eksistensi Tanah Kasultanan (Sultan Ground) setelah berlakunya


UU No. 5/ 1960”, Yustisia edisi Nomor 68, 2006, hlm. 1-5.

Margana, Sri, Farabi Fakih, dkk, Gelora di Tanah Raja : Yogyakarta pada Masa Revolusi
1945-1949 : Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, 2017, hlm. 72-81.

Padmo, Soegijanto, “Reorganisasi Agraria di Surakarta pada 1918 dan Akibatnya Petani dan
Perusahaan Belanda”, No. 8 : Humaniora, 1998, hlm. 72-81.

Rozaki, Abdul. dkk, Membongkar Mitos Keistimewaan Yogyakarta, Yogyakarta : IHE Press,
2003

Setiawati, Nur Aini, “Pemilikkan dan Penguasaan Tanah Kasultanan Yogyakarta Setelah
Reorganisasi Tanah 1917”, Vol.4 No. 1 : Lembaran Sejarah, 2001, hlm 105-120.

UU No. 13 tahun 1946

Website

Hendra F. Isnaeni, “Reforma Agraria” https://historia.id/politik/articles/reforma-agraria-


DOnV6 diakses pada 11 November 2019 pukul 10.12

Anda mungkin juga menyukai