Anda di halaman 1dari 72

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia dijajah Belanda ±350 tahun lamanya, hingga akhirnya
merdeka pada tahun 17 Agustus 1945. Dalam masa penjajahan
tersebut, Pemerintah Belanda berhasil merumuskan dan mendirikan
hukum serta peraturannya sendiri yang berlandaskan tujuan serta cita-
cita pemerintahan asing, sehingga pada saat Indonesia mendapatkan
kemerdekanya, bangsa Indonesia mendapatkan banyak peninggalan
produk-produk hukum di antaranya adalah hukum yang mengatur
tentang pertanahan. Tanah-Tanah yang ditinggalkan oleh
Pemerintahan Hindia Belanda adalah,
1. Hak Erfpacht untuk perusahaan kebun besar seluas lebih dari satu
juta hektar;
2. Hak Konsesi untuk perusahaan kebun besar seluas lebih dari satu
juta hektar pula;
3. Hak Eigendom, hak opstal dan hak erfpacht untuk perumahan atas
kurang lebih 200.000 bidang.
Menurut Profesor Boedi Harsono dalam bukunya Hukum Agraria
Indonesia,Sejarah Pemebntukan Undang-Undang Pokok Agraria, isi
dan Pelaksanaanya ia memberikan definisi tanah partikelir sebagai
berikut1,
“Tanah hak eigendom yang mempunyai sifat dan corak istimewa.
Yang membedakan dari tanah-tanah hak eigendom lainnya ialah
adanya hak-hak pada pemiliknya, yang bersifat kenegaraan, yang

1
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2013), h.95

1
2

dahulu disebut landheerjlijke rechten, yang kemudian


diIndonesiakan menjadi “hak-hak pertuanan”
Pemerintah Indonesia menganggap perlu mengganti produk-produk
hukum peninggalan Hindia Belanda dengan produk hukumnya sendiri
yang sesuai dengan cita-cita dan jiwa bangsa Indonesia, sehingga
satu demi satu, hukum barat dicabut dan digantikan dengan hukum
Indonesia, salah satunya adalah penghapusan tanah partikelir yang
merupakan produk hukum barat melalui Undang-Undang no.1 Tahun
1958 Tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir. Dikarenakan sifat
Tanah Partikelir yang sangat individualistis maka tanah partikelir
dianggap tidak sesuai dengan Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar
1945 yang menyatakan bahwa,
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”
Penghapusan tanah partikelir tersebut tidak dilakukan tanpa
memikirkan pemegang hak karena terhadap bekas pemegang hak
harus diberikan ganti rugi. Di dalam Undang-Undang tersebut
dijelaskan bahwa masih terdapat banyak tanah-tanah partikelir yang
walaupun sudah dihapus namun masih belum mendapatkan ganti rugi
dalam bentuk apapun. Perlu diingat bahwa tanah partikelir biasanya
merupakan tanah yang sangat luas dan lebar sehingga sangat mahal
harganya.
Indonesia sebagai negara hukum mempunyai unsur-unsur sebgai
berikut,
1. Menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia;
2. Adanya pemisahan kekuasaan;
3. Pemerintahan dilakukan/dilaksanakan dengan Undang-Undang;
4. Ada peradilan administrasi yang menyelesaikan permasalahan
rakyat dengan pemerintah;
3

Dalam rangka pemenuhan perlindungan terhadap hak asasi


manusia dan menunjukan bahwa Indonesia memanglah negara
hukum, pemerintah melindungi bekas pemegang hak tanah partikelir
sebagaimana dimaksud Pasal 28D Undang-Undang Dasar 1945 yang
menyatakan bahwa,
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dimuka hukum”
Pemerintah mengganggap pemberian ganti rugi terhadap tanah-tanah
partikelir yang dihapus adalah merupakan sebuah hak asasi mendasar
sebagai warga negara Indonesia, terlebih lagi, tanah merupakan
sumber kekayaan bagi siapapun yang memilikinya, sehingga tidak
dapat semena-mena hak seseorang terhadap kekayaanya dirampas
begitu saja tanpa ada kompensasi apapun.
Untuk memudahkan invetarisasi tanah-tanah partikelir yang belum
diganti rugi maka Pemerintah menerbitkan Buku Daftar Tanah Tanah
Partikelir dan Eigendom yang Luasnya Lebih dari Bouw yang Terkena
Undang-Undang Nomor 1/1958 oleh BPN pada tahun 1978 dan 1996.
Dalam buku di atas, masih terdapat lebih dari 50 bidang tanah yang
belum diberikan ganti rugi pada tahun 1996 yang tanahnya terletak di
berbagai pelosok Indonesia. Di dalam buku tersebut salah satunya
adalah bekas pemilik tanah Eigendom Verponding No.125322, yang
hingga saat ini belum juga diberikan kompensasi dalam bentuk apapun
sesuai dengan buku tersebut dan juga keterangan ahli waris pada
tahun 2017. Pada saat ini, Tanah Eigendom Verponding 12532 yang
luasnya 30000Ha telah di tempati berbagai pihak dengan hak maupun
hanya secara fisik yang mengakibatkan kesemrawutan akan status
status bidang tanah di lokasi tersebut sehingga berdasarkan
pertimbangan di atas penulis merasa diperlukanya pengkajian dan
penelitian secara yuridis terhadap tanggung jawab Pemerintah

2 Badan Pertanahan Nasional, Daftar Tanah Tanah Partikelir dan Eigendom yang

Luasnya Lebih dari Bouw yang Terkena Undang-Undang Nomor 1/1958, 1996, h.15.
4

terhadap tanah Eigendom Verponding 12532 tersebut dengan judul


“Tanggung Jawab Pemerintah Terhadap Bekas Subyek Pemegang
Hak Atas Tanah Eigendom Verponding 12532 Yang Terdaftar Dalam
Buku Daftar Tanah-Tanah Partikelir Dan Eigendom Yang Luasnya
Lebih dari 10 Bouw Yang Terkena Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1958”

B. Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas terdapat dua masalah,
1. Bagaimanakah status tanah bekas Eigendom yang belum diberi
ganti rugi berdasarkan Buku Daftar Tanah Tanah Partikelir dan
Eigendom yang Luasnya Lebih dari 10 Bouw yang Terkena
Undang-Undang Nomor 1/1958?
2. Bagaimanakah tanggung jawab Pemerintah terhadap subyek
pemegang hak tanah partikelir Eigendom Verponding No.125323?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Memberikan gambaran status tanah bekas Eigendom Daftar Tanah
Tanah Partikelir dan Eigendom yang Luasnya Lebih dari 10 Bouw
yang Terkena Undang-Undang Nomor 1/1958.
2. Menggambarkan tanggung jawab Pemerintah terhadap subyek
pemegang hak tanah partikelir Eigendom Verponding No.125324

3 Ibid., h.4.
4 Ibid.
5

D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah, selain untuk mencapai tujuan
penelitian adalah untuk memberikan manfaat yang teoritis maupun
praktis.
1. Manfaat Teoritis, yaitu untuk,
a. Memberikan sumbangan ilmiah terhadap ilmu pendidikan
terutama dalam bidang hukum pertanahaan;
b. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pratkisi hukum di
Indonesia
c. Memberikan refrensi untuk penelitian-penelitian yang akan
datang.

2. Manfaat Praktis, yaitu untuk,


a. Untuk memperluas dan mempertajam ilmu penulis, terutama
dalam bidang pertanahan
b. Untuk dijadikan refrensi terhadap penelitian-penelitian lain.

E. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Penelitian ini apabila ditinjau dari tipenya merupakan penelitian
Yuridis Normatif. Yaitu tinjauan hukum/yuridis yang menggunakan
data primer yang berupa wawancara dan data sekunder yaitu data-
data yang diperoleh dari badan pustaka atau literatur baik Bahan
Hukum Primer dan Sekunder.

2. Sifat Penelitian
Ditinjau dari sifatnya penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif analitis yang bertujuan untuk menggambarkan akibat
hukum berlakunya Undang-Undang no.1 Tahun 1958 tentang
Penghapusan tanah-tanah partikelir terhadap penguasaan tanah
dengan hak Eigendom Verponding 12532.
6

3. Data dan Sumber Data


Penelitian ini dilakukan dengan mengadakan wawancara serta
studi kepustakaan dengan meneliti bahan-bahan berupa buku-buku
atau literatur-literatur, seperti:
a. Bahan hukum primer, merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif berupa peraturan perundang-undangan5. Yang
digunakan dalam penelitian ini adalah,
1) Undang-Undang nomor 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan
Tanah Tanah Partikelir
2) Undang-Undang nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria
3) Undang-Undang nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah
4) Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1960 Tentang
Pelaksanaan ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria
5) Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 1958 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Penghapusan Tanah
Partikelir
6) Daftar Tanah-Tanah Partikelir dan Eigendom Yang luasnya
lebih dari 10Bouw yang terkena Undang-Undang nomor
1/1958
Dan pertauran lain yang berkaitan dengan permasalahan
penelitian ini.
Penelitian ini juga akan menggunakan wawancara dengan
beberapa ahli hukum serta Kantor Badan Pertanahan Nasional
Jakarta Pusat yang dinilai akan dapat memberikan pemahaman
dan konsep yang ada dalam data sekunder.

5 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenada Media Group, 2006),

h.141.
7

4. Pengumpulan Data
Pengumpulan data akan dilakukan melalui studi kepustakaan
dan wawancara. Studi kepustakaan akan dilakukan di tempat-
tempat seperti, perpustakaan Universitas Trisakti serta
perpustakaan maupun sumber lain seperti internet. Sedangkan
wawancara akan dilakukan dengan dua nara sumber yang
dianggap dapat memberikan pendalaman dalam masalah yang di
teliti yaitu, Prof. Arie Hutagalung SH MH, sebagai guru besar
hukum Agraria, dan subyek pemilik hak.

5. Analisis Data
Analisis Data adalah proses mengatur urutan data,
mengorganisasikanya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan
uraian dasar6. Analisis data yang akan dilakukan adalah analisis
data kualitatif yaitu, penelitian yang digunakan untuk menyelidiki,
menemukan, menggambarkan maupun menjelaskan kualitas dari
pengaruh sosial yang tidak dapat dijelaskan, diukur atau
digambarkan melalui pendekatan kuantitatif.7

6. Cara Penarikan Kesimpulan


Kesimpulan yang akan digunakan di penelitian ini dilakukan
berdasarkan metode penalaran deduktif. Penalaran deduktif adalah
cara menarik kesimpulan khusus dari hal-hal yang bersifat umum.

F. Kerangka Konseptual
Kerangka konsepsional adalah kerangka yang menggambarkan
hubungan antara konsep-konsep khusus yang menjadi arti dan

6 Moleong, Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: PT. remaja Rosdakarya,

2000).
7 Saryono, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Alfabeta, 2010).
8

berkaitan dengan istilah yang ingin diteliti.8 Maka berikut adalah hal-hal
yang harus digambarkan terlebih dahulu,
1. Tanah Partikelir menurut Undang-Undang nomor 1 Tahun 1958
tentang Penghapusan Tanah Tanah Partikelir, tanah partikelir
merupakan tanah Eigendom di atas mana pemiliknya sebelum
Undangundang ini berlaku, mempunyai hak-hak pertuanan
(landheerlijke rechten) dan/atau Tanah Eigendom yang luas nya
melebihi 10 Bouw/0.7Ha.
2. Hak pertuanan di sini merupakan kewenangan kepada pemilik
tanah, yang disebut tuan tanah, hak-hak istimewa yaitu,
a. Hak untuk mengangkat atau mengesahkan pemilihan serta
memperhentikan kepala-kepala kampong atau desa dan kepala-
kepala umum
b. Hak untuk menuntut kerja paksa atau memungut uang
pengganti kerja paksa dari penduduk,
c. Hak mengadakan pungutan-pungutan, baik yang berupa uang
atau hasil tanah dari penduduk
d. Hak untuk mendirikan pasar-pasar, memungut biaya pemakaian
jalan dan penyeberangan,
e. Hak-hak yang menurut peraturan-peraturan lain dan/ atau adat
setempat.
3. Hak Menguasai Negara merupakan hak tingkatan tertinggi yang
diberikan kepada Negara sebagai oraganisasi kekuasaan seluruh
rakyat Indonesia berdasarkan ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3
Undang-Undang Dasar 45.
4. Hak Penguasaan tanah merupakan suatu hubungan hukum konkrit
antara orang atau badan hukum dengan tanah sebagai obyeknya
yang memberikan serangkaian hak dan kewajiban kepada
pemegang hak.

8 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: Universitas Indonesia,

2012), h. 132.
9

5. Ganti Rugi merupakan kompensasi yang diberikan kepada bekas


pemegang hak atas tanah akibat dihapusnya tanah partikelir yang
sebelumnya dimiliki dalam bentuk yang telah ditetapkan dalam
Pasal 8 UU no.1 Tahun 1958 yaitu,
a. Sejumlah uang, berdasarkan perhitungan harga hasil kotor
setahun, rata-rata selama lima tahun terakhir sebelum 1942,
dikurangi 40% sebagai biaya usaha, kemudian dikalikan angka
8« (delapan setengah),
b. Hak, bantuan dan/atau keleluasaan lain.

G. Sistematika Penulisan
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan tentang latar belakang,
permasalahan pokok, tujuan penelitian, metode
penelitian, kerangka konsepsi serta sistematika
penulisan.

BAB II : KAJIAN PUSTAKA TENTANG TANAH PARTIKELIR


Bab ini akan diuraikan hak hak atas tanah dari jaman
Hindia Belanda serta serta menguraikan hubungan-
hubungan konsep penguasaan tanah sebelum dan
sesudah berlakunya UUPA.

BAB III : DESKRIPSI OBYEK PENELITIAN


Bab ini akan menguraikan mengenai segala aspek
yuridis maupun fisik bekas tanah Eigendom
Verponding 12532.

BAB IV : ANALISIS DATA


10

Bab ini akan menganalisa dan menghubungkan data


antara ketentuan yang berlaku terhadap bekas tanah
partikelir Eigendom Verponding 12532.

BAB V : PENUTUP
Bab ini merupakan bagian akhir dari seluruh kegiatan
penulisan yang berisikan kesimpulan dan saran.
11

BAB II
KAJIAN PUSTAKA TENTANG TANAH PARTIKELIR

A. Sistem Pertanahan Hindia Belanda


Pada saat penjajahan Belanda sudah terdapat sistem hukum yang
mengatur mengenai permasalahan pertanahan di Indonesia karena
konkordansi hukum yang dipengaruhi oleh politik agraria kolonial.
Sebelum tahun 1870, yang mengatur mengenai masalah-masalah
pertanahan pada saat itu adalah Pasal 62 Regerings Reglement yang
diciptakan pada tahun 1854 yang diubah menjadi Pasal 51 Indische
Staatsregeling pada tahun 1925 yang berisikan 3 ayat yaitu9,
“1.Gubernur Jenderal tidak boleh menjual tanah
2. Dalam larangan di atas tidak termasuk tanah-tanah yang tidak
luas, yang diperuntukan bagi perluasan kota dan desa serta
pembangunan kegiatan-kegiatan usaha kerajinan
3. Gubernur Jenderal dapat menyewakan tanah menurut ketentuan
yang ditetapkan dengan ordonansi. Tidak termasuk yang boleh
disewakan adalah tanah-tanah kepunyaan orang-orang pribumi
asal pembukaan hutan, demikian juga tanah-tanah yang sebagai
tempat penggembalan umum atau atas dasar lain merupakan
kepunyaan desa.”

Peraturan ini berlaku hingga tahun 1870, di mana dibuat undang-


undang yang merupakan tambahan dari Pasal 62 Regerings
Reglement , yaitu Agrarische Wet yang diundangkan pada tahun 1870
dalam S1870-55
Regerings Reglement dan Agrarische Wet timbul akibat dari
desakan desakan pengusaha swasta besar pada saat itu yang merasa
sangat kesulitan untuk melakukan usaha-usaha nya terutama di
bidang perkebunan/agraria di tengah marakanya pelaksanaan cultuur-
stelsel (tanam paksa) yaitu sebuah peraturan yang dikeluarkan

9 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang

Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2013), h.34.

9
12

oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Boschpada tahun 183010


yang mengharuskan setiap desa untuk menanam tanaman untuk
ekspor. Pada saat itu, pilihan seorang pengusaha yang ingin
melakukan usaha perkebunan adalah untuk memiliki hak eigendom
dengan bidang tanah yang luas, yang dapat dikategorikan sebagai
tanah partikelir, atau menyewa tanah Pemerintah dengan jangka waktu
yang sangat terbatas, namun, selain dari jangka waktu yang terbatas
dan hak yang tidak kuat, menyewa tanah Pemerintah menutup
kemungkinan pengusaha untuk menjaminkan tanahnya, karena hak
sewa tersebut tidak dapat dijadikan hyoptheek.
Pada awalnya menyewa tanah Pemerintah bukanlah sebuah
masalah, namun seiring berjalanya waktu dan menyebar luasnya
usaha perkebunan, tanah Pemerintah yang dapat disewa semakin
sedikit jumlahnya dan hingga akhirnya tidak ada lagi penyewaan pada
tahun 1839. Para pengusahapun mulai kehabisan pilihan, karena
Pemerintah tidak lagi melakukan penyewaan tanah dan menyewa
tanah yang sudah diusahakan oleh rakyat bukanlah pilihan karena
secara tegas dilarang dalam Bijblad nomor 148, yang menyatakan
bahwa penjualan maupun persewaan tanah rakyat kepada nonpribumi
dilarang, sehingga satu-satunya cara untuk tetap melakukan usaha
perkebunan adalah dengan melakukan perjanjian bagi hasil dengan
petani/rakyat setempat, namun, para pengusaha enggan melakukan
perjanjian bagi hasil di karenakan resiko yang sangat besar apabila
petani/rakyat wanprestasi serta kurang adanya jaminan terhadap
perjanjian tersebut11. Menginggat hal-hal tersebut, maka untuk
mengatasi hal ini dikeluarkanlah Regerings Reglement (terutama
Pasal 3), yang memungkinkan Pemerintah dalam hal ini Gubernur
Jendral menyewakan kembali tanah-tanah yang ada.

10https://id.wikipedia.org/wiki/Cultuurstelselm
11Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2013), h.36.
13

Dibuatnya Regerings Reglement tersebut hanyalah sebuah


permulaan, karena pada tahun 1870 dikeluarkan Agrarische Wet yang
bertujuan khusus untuk membuka dan memperluas kesempatan
pengusaha-pengusaha terutama yang berasal dari Belanda untuk
melakukan usaha perkebunan di Hindia Belanda. Agrarische Wet
menambahkan 5 ayat12 baru terhadap Pasal 62 Regerings Reglement
yaitu,
“1. Menurut ketentuan yang ditetapkan dengan ordonansi, diberikan
tanah dengan hak erfpacht selama waktu tidak lebih dari 7 tahun
2. Gubernur Jenderal menjaga jangan sampai terjadi pemberian
tanah yang melanggar hak-hak rakyat pribumi
3. Gubernur Jenderal tidak boleh mengambil tanah-tanah
kepunyaan rakyat asal pembukaan hutan yang digunakan untuk
keperluan sendiri, demikian juga tanah-tanah yang sebagai tempat
pengembalaan umum atau atas dasar lain merupakan kepunyaan
desa, kecuali untuk kepentingan umum berdasarkan Pasal 133
atau untuk keperluan penanaman tanaman yang diselenggarakan
atas perintah penguasa menurut peraturan yang bersangkutan,
semuanya dengan pemberian ganti kerugian yang layak
4. Tanah yang dipunyai oleh orang-orang pribumi dengan hak pakai
pribadi yang turun-temurun (hak milik adat) atas permintaan
pemiliknya yang sah dapat diberikan kepadanya dengan hak
eigendom dengan pembatasan pembatasan yang diperlukan
sebagai yang ditetapkan dengan ordonansi dan dicantumkan dalam
surat eigendomnya yaitu yang mengenai kewajibanya terhadap
Negara dan desa yang bersangkutan, demikian juga mengenai
kewenanganya untuk menjualnya kepada non-pribumi
5. Persewaan atau serah pakai tanah oleh orang orang pribumi
kepada non-pribumi dilakukan menurut ketentuan yang diatur
dengan ordonansi”

Sekarang dengan adanya Regerings Reglement di mungkinkan


untuk Gubernur Jendral/Pemerintah untuk memberikan hak Erfpacht
sehingga para pengusahapun tidak perlu khawatir akan kewenaganya
yang terbatas ataupun jangka waktu yang singkat di karenakan hak
erfpacht memberikan kewenangan yang sama dengan hak eigendom
dan jangka waktunya 75 tahun. Hak erfpacht juga merupakan subyek

12 Ibid., h. 12.
14

dari lembaga jaminan hypotheek sehingga para pengusaha dapat


menjaminkan haknya sesuai dengan keperluanya. Agrarische Wet juga
memberikan kesempatan kepada pengusaha untuk melakukan sewa
terhadap tanah rakyat yang mana sebelumnya hubunganan sewa
menyewa tersebut merupakan hal yang terlarang.
Agar Agrarische Wet dapat dijalankan sesuai yang diharapkan
Pemerintah Hindia Belanda, maka diciptakan sebuah peraturan
pelaksaanaan yaitu Agrarisch Besluit yang diundangkan dalam
S.1870-118. Agrarisch Besluit pada awalnya hanya berlaku di Jawa
dan Madura namun seiring berjalanya waktu diperluas hingga luar
pulau Jawa dan Madura melalui S.1875-119a. Agrarisch Besluit
merupakan peraturan yang sangat penting bagi Pemerintah Hindia
Belanda saat itu karena di dalam Pasal 1 Agrarisch Besluit, terdapat
suatu asas yang di kenal dengan Domein Verklaring yang
menyatakan bahwa semua tanah yang pihak lain tidak dapat
membuktikan sebagai hak eigendomnya, adalah milik Negara.13
Fungsi dari Domein Verklaring disini adalah sebagai14,
“1. Sebagai landasan hukum bagi Pemerintah yang mewakili Negara
sebagai pemilik tanah, untuk memberikan tanah dengan hak-hak barat
yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam
rangka Domein Verklaring, pemberian tanah dengan hak eigendom
dilakukan dengan cara pemberian tanah dengan hak eigendom
dilakukan dengan cara pemindahan hak milik Negara kepada
penerima tanah, hal ini di karenakan pada jaman Hindia Belanda,
negara bertindak bukan sebagai penguasa namun sebagai pemilik
tanah.
2. Di bidang pembuktian pemilikan. Apa yang dinyatakan dalam Pasal
1 Agrarisch Besluit bukanlah hal baru, karena sudah ada ketentuannya
dalam Pasal 519 dan 520 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Setiap bidang tanah selalu ada yang memiliki dan Kalau tidak dimiliki
oleh perorangan atau badan hukum, maka negaralah yang menjadi
pemiliknya.”

13 Ibid., h.42.
14 Ibid., h.43.
15

Berdasarkan fungsi-fungsi di atas maka tidak heran apabila Domein


Verkrlaring dianggap ‘memperkosa’ hak-hak rakyat pribumi, karena
ketentuan-ketentuan pembuktian dalam Agrarisch Besluit dibuat
terbalik dengan asas Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
berlaku. Dalam Hukum Perdata sesuai dengan Pasal 1865, beban
pembuktian dipertanggungjawabkan kepada pihak yang melakukan
tuduhan atau gugatan sedangkan dalam Agrarisch Besluit pihak
tergugatlah yang harus membuktikan lain.
Dalam masa jajahan Hindia Belanda, Pemerintah bertindak sebagai
pemilik tanah-tanah sehingga Pemerintah bebas melakukan
sesukanya terhadap sebuah bidang tanah. Bidang-bidang tanah
tersebut dapat diberikan hak di atasnya maupun dipindah tangankan
kepada pihak lain secara keseluruhan dengan suatu hak atas tanah.
Pada masa tersebut, telah ada berbagai macam hak atas tanah yang
tunduk dibawah berbagai macam sistem hukum, tidak semua orang
tunduk pada hukum yang sama. Hal ini dikenal sebagai hukum yang
sifatnya dualistik, yang berarti terdapat dua sistem hukum yang berlaku
di saat yang bersamaan yaitu Hukum Eropa dan Hukum Adat. Para
penduduk tunduk pada hukum perdata yang berbeda-beda yang
ditentukan berdasarkan oleh golonganya sesuai dengan Pasal 163
Indische Staatsregeling yaitu15,
“1. Golongan Eropa
a. Semua orang belanda
b. Semua orang yang berasal dari eropa yang tidak termasuk
orang-orang Belanda.
c. Semua orang jepang
d. Semua orang yang berasal dari tempat lain yang tidak termasuk
apa yang disebut dalam (1) dan (2),yang di negaranya
mempunyai hukum keluarga yang azasnya sama dengan
hukum Belanda.
e. Anak dari mereka yang disebut dalam (2) dan (3) yang
dilahirkan di Indonesia secara sah atau menurut Undang-
undang diakui,dan turunan mereka selanjutnya.”

15https://butew.com/2018/01/22/penggolongan-penduduk-indonesia-pada-masa-

pemerintahan-kolonial-belanda/
16

Terhadap golongan ini yang berlaku adalah Burgerlijk Wetboek


(B.W) dan Wetboek van Koophandel (W.v.K) termasuk Undang-
Undang lain yang dikeluarkan berdasarkan hukum belanda sesuai
dengan ketentuan Pasal 131 ayat 2 Indische Staatsregeling
2. Golongan Pribumi
Setiap orang yang merupakan pribumi asli Indonesia atau pihak
lain yang meleburkan diri menjadi golongan pribumi. Terhadap
Golongan ini, hukum yang berlaku adalah hukum perdata adat
masyarakat setempat sesuai Pasal 131 Indische Staatsregeling.
3. Golongan Timur Asing
Golongan ini adalah setiap orang yang tidak termasuk dalam
golongan eropa namun juga tidak masuk dalam golongan pribumi.
Golongan ini dibagi lebih lanjut menjadi dua golongan yaitu, Timur
Asing TiongHoa dan Timur Asing non-Tionghoa. Terhadap
masyarakat Timur Asing non-Tionghoa, yang berlaku terhadap
mereka adalah hanya sebagian dari Hukum Perdata Belanda, yaitu
mengenai hak kekayaan dan hukum waris saja, sedangkan sisanya
diatur menurut adat mereka masing-masing. Bagi masyarakat
Timur Asing Tionghoa yang berlaku terhadap mereka adalah
Hukum Perdata Belanda.”16

Dalam Burgerlijk Wetboek yang merupakan hukum perdata bagi


golongan eropa dan setiap golongan yang ingin tunduk padanya,
terdapat berbagai macam hak atas tanah untuk berbagai keperluan
yang berkonsepsi individualistik yang berarti bahwa pemberian hak
atas tanah diberikan keluasan seluas dan sebebas bebasnya
sepanjang tidak melanggar ketentuan undang-undang ataupun hak
orang lain dan semata-mata digunakan untuk memenuhi keinginan
sang pemilik tanah secara pribadi. hak-hak tersebut ialah,
1. Hak Eigendom (Pasal 570 Burgerlijk Wetboek)
“Hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan
leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu
dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bertentangan
dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan
oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkanya, dan tidak
mengganggu hak orang lain; kesemuanya itu dengan tidak
mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak demi
kepentingan umum berdasarkan atas ketentuan undang-undang
dan dengan pembayaran ganti rugi”

16 Indische Staatsregeling, Pasal 163


17

Hak Eigendom mempunyai unsur yang membedakanya dengan


hak lain yaitu17,
a. Hak untuk menuntut tanah di pengadilan dari pihak ketiga;
b. Hak Sempurna;
c. Hak induk dari hak kebendaan lainya;
d. Hak atas benda kepunyaan sendiri;
e. Kekuasaan untuk menikmati hasil dari tanah tersebut;
f. Kekuasaan untuk menguasai

2. Hak Erfpacht (Pasal Burgerlijk Wetboek)


“Hak kebendaan untuk menikmati sepenuhnya akan kegunaan
suatu barang tak bergerak milik orang lain, dengan kewajiban
akan membayar upeti tahunan kepada si pemilik sebagai
pengakuan akan kepemilikanya, baik berupa uang, atauapun
berupa hasil atau pendapatan.”

Hak Erfpacht mempunyai unsur tersendiri yaitu18,


a. Memungkinkan seseorang menyewa tanah milik negara selama
75 tahun;
b. Dapat dipindahtangankan;
c. Hanya dapat diberikan di atas tanah yang dikuasai oleh negara;
d. Pemegang hak dengan pemegang hak eigendom dapat
mengadakan perjanjian yang isinya menyimpang dari ketentuan
dalam BW.

Hak Erfpacth juga digolongkan menjadi beberapa jenis seperti,


a. Hak Erfpacht untuk perkebunan dan pertanian besar dengan
maksimum luas tanah mencapai 500 bouw dengan harga sewa
maksimum lima florint per bouw;
b. Hak Erfpacht untuk perkebunan dan pertanian kecil yang
diberikan kepada masyarakat eropa yang miksin atau
masyarakat yang merupakan bagian dari suatu perkumpulan
Hindia Belanda. Tanah yang diberikan maksimum 25 bouw
dengan harga sewa maksimum satu florint per bouw.

17 Waskito, Hadi Arnowo, Pertanahan, Agraria dan Tata Ruang, (Jakarta: KENCANA,
2017), h.10.
18
Waskito, Hadi Arnowo, Pertanahan, Agraria dan Tata Ruang, (Jakarta: KENCANA,
2017), h.10.
18

c. Hak Erfpacht untuk dibuat pekarangan atau rumah tinggal.


Maksimum luas tanah yang diberikan adalah 50 bouw.

3. Hak Optsal (Pasal 711 Burgerlijk Wetboek)


“Hak kebendaan untuk mempunyai gedung-gedung, bangunan-
bangunan dan penanaman di atas perkarangan orang lain”

Hak Opstal mempunyai ciri dan sifat sebagai berikut19,


a. Dibatasi oleh jangka waktu baik jangka waktu tertentu maupun
yang tidak ditentukan;
b. Mempunyai Hak retensi, yang berarti bahwa apabila hak opstal
telah berakhir maka pemegang hak mendapatkan uang
pembayaran dari pemegang hak eigendom;
c. Dengan berakhirnya hak opstal, bekas pemegang hak tetap
mempunyai bangunan dan tanaman yang diusahakanya;
d. Tidak diberikan untuk perusahaan pertanian hanya untuk
tanaman lunak

4. Hak Gebruik (Pasal 818 Burgerlijk Wetboek)


“Hak pakai dan hak mendiami, diperoleh dan berakhir dengan
cara yang sama seperti hak pakai hasil.”

Selain hak tanah-tanah barat diatas atas, Pemerintah Hindia Belanda


pada saat itu juga mengakui beberapa hak-hak adat seperti,20,

1. Yasan (yoso)
Tanah seseorang yang diberikan berdasarkan Kenyataan bahwa
ialah orang yang pertama kali membuka/menggerjakan tanah
tersebut.

19Op.Cit hal.16
20Waskito, Hadi Arnowo, Pertanahan, Agraria dan Tata Ruang, (Jakarta: KENCANA,
2017), h.12.
19

2. Tanah Kesultanan
Tanah yang dimiliki oleh Keraton Yogyakarta dan tidak diberikan
kepada pihak manapun baik penduduk maupun Pemerintah
Daerah, sehingga penggunaan tanah Kesultanan perlu izin dari
Keraton Yogyakarta. Dalam lingkungan kekuasaan Kesultanan
berlaku pula asas Domein Verkraling.
3. Grant
Hak atas tanah yang diberikan kepada bangsa asing oleh Sultan
Deli yang merupakan raja pada saat itu. Terdapat tiga jenis Grant
yaitu,
e. Grant Sultan, hak yang diberikan oleh Sultan Deli kepada
kawula swapraja untuk mengusahakan sebuah bidang tanah.
Hak ini didaftarkan di Kantor Pejabat Pamong Praja.
f. Grant Controleur, hak yang diberikan oleh Sultan Deli kepada
kawula yang bukan swapraja untuk mengusahakan tanah
tersebut. Hak ini seringkali dirubah menjadi Hak opstal atau
erfpacht dan di juga harus didaftarkan di Kantor Controleur.
g. Grant Deli Maatschappij, hak yang diberikan Sultan Deli kepada
Deli Maatschappij (perseroan) untuk melakukan pengurusan
dan pembagian tanah kepada pihak ketiga.
4. Hak Gogolan, hak yang dipunyai atas tanah pertanian milik
bersama (komunal), dan para pemilik setempat memperoleh bagian
masing-masing untuk menggarap secara bergilir dengan syarat
tertentu.
5. Hak Bengkok, tanah milik desa yang idberikan kepada pamong
desa selama menjabat.
6. Hak Titisoro, ha katas tanah yang dipunyai suatu desa yang
dilelang kepada siapapun yang ingin mengarapnya.
7. Hak atas druwe, hak milik yang berlaku di lingkungan masyarakat
adat Bali.
20

8. Hak Pesini, hak milik yang berlaku di lingkungan masyarakat


minahasa
9. Perdikan, tanah bebas pajak.

Pemerintah Hindia Belanda juga menciptakan berbagai macam hak


atas tanah Eigendom baru yang tidak diatur dalam Burgerlijk Wetboek
seperti Agrarisch Eigendom (Pasal 51 ayat 71 Indische Staatsregeling)
dan juga Landerijenbezitrecht. Agrarisch Eigendom merupakan tanah
hak milik adat atau masyarakat pribumi setempat yang oleh mereka
telah dimohonkan pengakuan kepada ketua pengadilan Negeri dimana
bidang tanah tersebut berada, sedangkan Landerijenbezitrecht atau
tanah partikelir merupakan tanah eigendom yang mempunyai ciri
khusus yaitui mempunyai hak ke-negaraan/pertuanan (landheerlijke
rechten).

B. Tanda Bukti Hak Penguasaan Tanah Hindia Belanda


Dengan berlakunya Teori Domein pada masa penjajahan Hindia
Belanda maka tanda bukti hak sangatlah penting bagi
pemilik/penguasa tanah apabila ia ingin tetap mempunyai hak atas
tanah tersebut sehingga diadakan pendaftaran tanah sebagai Legal
Cadastre, yang menurut Boedi Harsono ialah,
“Suatu rangkaian kegiatan, yang dilakukan oleh Negara/Pemerintah
secara terus menerus dan teratur berupa pengumpulan keterangan
atau data tertentu mengenai tanah-tanah tertentu yang ada di wilayah-
wilayah tertentu, pengolahan, penyimpanan dan penyajianya bagi
kepentingan rakyat, dalam rangka memberikan jaminan kepastian
hukum di bidang pertanahan termasuk penertiban tanda buktinya dan
pemeliharannya.”21

Pertanyaan berikutnya dalam hal ini adalah apa yang didaftarkan?


Dalam bidang pertanahan di kenal 2 sistem pendaftaran yaitu
pendaftaran akta dan pendaftaran hak. Pemerintah Hindia Belanda

21 Ibid., h.72
21

pada saat itu menerapkan sistem pendaftaran akta, yang berarti


bahwa yang didaftarkan ke kantor pertanahan adalah akta yang
berisikan data yuridis tanah (perbuatan hukum, hak, penerima hak, hak
apa yang dibebankan) dan dalam hal ini Kantor Pertanahan bersifat
pasif. Bersifat pasif disini diartikan bahwa Kantor Pertanahan tidak
melakukan tindakan-tindakan untuk memastikan kebenaran data yang
diterima.
Dalam melakukan kegiatan penyelenggaraan pendaftaran tanah
untuk memberikan kepastian hukum dalam bidang pertanahan, maka
diperlukanlah surat bukti hak yang membuktikan bahwa benar
seseoranglah yang mempunyai tanah tersebut melalui suatu sistem
publikasi sehingga dalam bidang pertanahan dikenal dua sistem
publikasi yaitu, sistem publikasi negatif dan sistem publikasi positif.
Seperti yang diketahui sebelumnya, Pemerintah Hindia Belanda
menerapkan sistem pendaftaran Akta, maka sistem publikasi dalam
suatu sistem pendaftaran akta akan selalu berupa sistem pendafaran
negatif. Dalam sistem pendaftaran negatif, dengan didaftarkannya akta
akta yang berisikan data yuridis tidak secara otomatis memberikan hak
kepada yang mendaftarkan, karena dalam sistem ini yang menentukan
timbul atau tidaknya hak adalah sah atau tidaknya perbuatan hukum
yang dilakukan untuk memperoleh tanah yang didaftar karena dalam
sistem ini berlaku asas Nemo plus Juris. Asas ini menyatakan bahwa
seseorang tidak dapat memindahkan suatu hak yang melebihi apa
yang ia miliki. Mengingat hal-hal di atas maka biasanya negara yang
menganut sistem ini tidak menjamin kebenaran data yang telah
dipublikasikan, karena sangat sulit untuk mengetahui secara pasti
apakah perpindahan tangan yang berkali-kali dari satu pemilik ke
pemilik lain adalah sah secara hukum, namun untuk menanggulangi
ketidakpastian tersebut, Pemerintah Hindia Belanda menerapkan
lembaga Acquisitive Verjaring sesuai dalam Pasal 1955 dan 1963
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa,
22

Pasal 1955 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata


“Untuk memperoleh hak milik atas sesuatu diperlukan bahwa
seseorang menguasainya secara terus menerus, tak terputus-
putus, tak terganggu di muka umum dan secara tegas sebagai
pemilik.”

Pasal 1964 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata


“Siapa yang dengan itikad baik, dan berdasarkan suatu alas hak
yang sah, memperoleh suatu benda tak bergerak, suatu bunga,
atau memperoleh hak milik atasnya, dengan jalan daluwarsa,
dengan suatu penguasaan selama dua puluh tahun. Siapa yang
dengan hak milik, menguasainya selama tiga puluh tahun,
memperoleh hak milih, dengan tidak dapat dipaksakan untuk
mempertunjukan alas haknya”

Juga secara kenyataanya, tidak banyak pendaftaran hak barat


yang dilakukan pada saat itu, sehingga masyarakat dapat
mempercayai kebenaran datanya22, namun sayangnya, pendaftaran
hak tanah adat tidak selengkap hak barat.
Tujuan dari pendaftaran tanah bukan hanya sebagai Legal
Cadastre, yaitu sebagai jaminan kepastian hukum di bidang
pertanahan, ada tujuan lain pendaftaran tanah yaitu Fiscal Cadaster,
pendaftaran tanah untuk keperluan pemungutan pajak oleh
Pemerintah. Untuk kepentingan membayar pajak-pajak tersebut, maka
diterbitkan surat-surat pajak untuk kemudahan pembayaran pajak.
Surat-surat ini berbeda bentuknya, disesuaikan dengan jenis hak atas
tanah nya. Untuk hak atas tanah barat, yang menjadi surat pajak nya
ada Verponding Eropa, dan untuk hak milik adat di wilayah Gemeentee
yang menjadi surat pajaknya adalah Verponding Indonesia sedangkan
untuk tanah hak Milik adat luar wilayah Gemeentee surat pajaknya
adalah pajak bumi. Sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung
No.34/K/Sip/1960 surat-surat di atas bukan merupakan tanda bukti

22 Ibid., h.82.
23

hak, namun surat-surat tersebut dapat dijadikan sebuah petunjuk


mengenai siapakah pemilik suatu tanah.23

C. Sistem Hukum Indonesia


Setelah mencapai kemerdekaan pada tahun 17 Agustus 1945,
Indonesia masih belum mempunyai hukum pertanahannya sendiri,
sehingga pada tahun 1948 para pendiri bangsa mulai melakukan
rancangan untuk membuat hukum agraria yang baru. Hal ini baru
terealisasi pada tanggal 24 September 1960, hari dimana Undang-
Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok
Agraria (UUPA) diundangkan. UUPA dianggap perlu berdasarkan
pertimbangan sebagai berikut24:
a. “Bahwa di dalam Negara Republik Indonesia yang susunan
kehidupan rakyatnya, termasuk pereknomoianya, terutama masih
bercorak agraris, bumi, air dan ruang angkasa, sebagai karunia
Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting
untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur;
b. Bahwa hukum agraria yang masih berlaku sekarang ini sebagian
tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintahan
jajahan dan sebagian dipengaruhi olehnya, hingga bertentangan
dengan kepentingan rakyat dan Negara di dalam menyelesaikan
revolusi nasional sekarang ini serta pembangunan semesta;
c. Bahwa hukum agraria tersebut mempunyai sifat dualisme, dengan
berlakunya hukum adat di samping hukum agraria yang
didasarkan atas hukum barat;
d. Bahwa bagi rakyat asli hukum agraria penjajahan itu tidak
menjamin kepastian hukum”

23 Subekti Tamara J, Kumpulan Putusan Mahkamah Agung Mengenai Hukum Adat


(Jakarta: Gunung Agung, 2013), h.153.
24
Undang-Undang no.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria
24

Sehingga berdasarkan pertimbangan tersebut UUPA bertujuan


untuk25,
a. “Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agrarian
nasional yang akan merupakan alat untuk membawakan
kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan
rakyat, terutama rakyat tani dalam rangka masyarakat yang adil
dan makmur
b. Meletakan dasar-dasar untuk megadakan kesatuan dan
kesederhanaan dalam hukum pertanahan
c. Meletakan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum
mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.”

Sebagai langkah awal, UUPA secara tegas mencabut peraturan


peraturan sebagai berikut26,
a. “Seluruh Pasal 51 Indische Staatsgreling termasuk juga
Agrarische Wet
b. Semua Domein Verkraling dari Pemerintah Hindia Belanda
c. Peraturan mengenai hak Agrarisch Eigendom
d. Pasal-Pasal dalam buku II Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata sepanjang mengenai bumi, air dan ruang angkasa serta
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.”

Dengan berlakunya UUPA, maka berubah pula penguasaan hak


atas tanah yang ada serta konsepsi yang dianut oleh hukum tanah
nasional. Hukum tanah yang sebelumnya berlandaskan konsepsi
individual liberal Hindia Belanda dihapus dan digantikan oleh
konsepsi komunalistik religius yang bersumber langsung dari
Hukum Adat sepanjang memenuhi syarat yang ada dalam sesuai
dengan pasal 5 UUPA27 yang menyatakan,
“Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa
ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas
persatuan bangsa dengan Sosialisme Indonesia serta dengan
peraturan peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang ini dan
dengan peraturan perundangan lainya, segala sesuatu dengan
mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.”

25 Ibid
26Boedi Harsono, Op.Cit., h.134.
27 Undang-Undang no.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria
25

Konsepsi komunalistik religius memungkinkan penguasaan


tanah secara individual melalui hak atas tanah namun secara
bersamaan mengandung unsur kebersamaan didalamnya.
Komunalistik dalam hal ini berarti bahwa semua tanah di dalalm
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah tanah
bersama yang apabila bersatu menjadi bangsa Indonesia dan
konsep religius mengakui bahwa tanah dan kekayaan alam lainya
yang ada merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa. Dalam
konsep UUPA yang menganut Komunalistik Religius dapat
disimpulkan bahwa memang ada suatu hak bersama masyarakat
Indonesia yang disebut Hak bersama yang dikenal dengan Hak
Bangsa Indonesia, yang merupakan hak tertinggi di Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Hak Bangsa tercantum dalam Pasal
1 UUPA28 yang menyatakan bahwa,

“Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari


seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari
seluruh rakyat Indondesia yang telah bersatu sebagai bangsa
Indonesia”

Hal ini dijelaskan dalam Penjelasan Umum UUPA yang


memberi penjelasan akan hak bangsa yaitu,
“Bahwa bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah republik
Indonesia yang kemerdekaanya diperjuangkan secara
keseluruhan,menjadi hak pula dari bangsa Indonesia, jadi tidak
semata-mata menjadi hak dari para pemiliknya saja.”

Pengertian diatas mengakibatkan bahwa seluruh hak yang ada,


bersumber langsung maupun tidak langsung kepada Hak Bangsa.
Tidak di mungkinkanya Hak Bangsa untuk dikelola/atur oleh rakyat
Indonesia secara pribadi maupun secara bersama-sama maka
penyelanggaranya dan pengelolaan Hak bangsa diberikan kepada

28
Ibid hal.24
26

Negara pada tingkat tertinggi yang berlaku sebagai organisasi


kekuasaan seluruh rakyat Indonesia. Dalam menjalankan tugasnya
mengelola hak bangsa, Negara diberikan berbagai kewenangan
yang dimuat dalam Pasal 2 ayat 2 UUPA29, yaitu,

a. “Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,


persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa
tersebut;
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatanperbuatan hukum yang mengenai
bumi, air dan ruang angkasa.”

Dalam hirarki penguasaan tanah berdasarkan hukum tanah


nasional/UUPA, dibawah hak menguasai negara, terdapat suatu
hak yang diakui UUPA yang disebut hak ulayat. Hak ulayat adalah
sebuah kewenangan yang juga memberikan kewajiban yang
diberikan kepada suatu masyarakat hukum adat, yang
berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan
masyarakat tersebut. Para pendiri bangsa mengakui keberadaan
adanya masyarakat-masyarakat hukum adat, yang telah
mempunyai hukumnya masing-masing sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 18B ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945,

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan


masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Keratuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang”.

29 Ibid hal.25
27

Pelaksanaan Hak Ulayat haruslah sesuai dengan Pasal 330 UUPA


yang menyatakan,

“Dengan meningat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2


pelaksanaan hak ulayat dan hak hak yang serupa itu dari
masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataanya masih
ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan
nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa
serta tidak boleh bertentangan degan Undang-Undang dan
peraturan-peraturan lain yang lebiht tinggi”

Sesuai dengan konsep UUPA yang komunalistik religius, maka


diketahui bahwa kepemilikan/penguasaan tanah yang bersifat
pribadi yang bersumber langsung (hak primer) maupun tidak
langsung (hak sekunder) dari Hak Bangsa Indonesia yang
pelaksanaanya dilimpahkan kepada Negara, sehingga dalam
UUPA telah diciptakan hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki
seseorang yang dicantumkan dalam Pasal 16 ayat 1UUPA yaitu31,

“Hak atas tanah sebagai dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1 ialah:


a. Hak milik;
b. Hak guna-usaha;
c. Hak guna-bangunan;
d. Hak pakai;
e. Hak sewa;
f. Hak membuka tanah;
g. Hak memungut hasil hutan;
h. Hak hak lain yang tidak termasuk dalam hak tersebut diatas”

Berdasarkan pasal 16 UUPA, hak-hak utama pertanahan


Indonesia ialah a – d dan diantara hak tersebut, hak individu terkuat
ialah Hak milik yang diatur dalam pasal 20 – 27 UUPA, yang antara
lain menyatakan sebagai berikut,

30 Ibid hal 26.


31 Ibid
28

“Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang


dapat dipunyai orang atas tanah, dengan meningat ketentuan
dalam Pasal 6”

Hak milik tidak dapat diberikan kepada semua subyek, dalam pasal
21 UUPA sudah ditentukan siapa saja yang dapat diberikan hak
milik yaitu,
1. “Warganegara Indonesia;
2. Badan hukum yang telah di tetapkan oleh Pemerintah, dengan
syarat tertentu;
3. Orang asing yang memperoleh Hak milik setelah berlakunya
UUPA baik dengan cara mewarisi tanpa wasiat, percampuran
harta perkawinan atau pihak yang sebelumnya mempunyai hak
milik namun kehilangan kewarganegaraanya;”

Hak Guna Usaha diatur dalam pasal 28 – 34 UUPA dan


merupakan hak yang diberikan kepada seseorang yang ingin
mengusahakan tanah yang dikuasai oleh negara untuk kepentingan
pertanian, perikanan dan/atau perternakan dengan jangka waktu
paling lama 25 tahun yang dapat diperpanjang lagi selama 25
tahun, namun untuk perusahaan yang besar, dapat diberikan
selama 35 tahun. Hak guna usaha hanya dapat diberikan untuk
bidang-bidang tanah yang luasnya minimal 5 hektar dan apabila
melebihi 25 hektar maka harus digunakan investasi modal yang
layak dan teknik yang digunakan harus sesuai dengan
perkembangan teknologi global. Pihak yang boleh mendapatkan
hak guna usaha ialah,
1. “Warganegara Indonesia;
2. Badan hukum yang didirkan berdasarkan hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia.”
Hak guna bangunan diatur dalam pasal 35 – 40 UUPA, dan
diberikan kepada pihak yang ingin mendirikan sebuah bangunan
diatas tanah baik miliknya sendiri maupun diatas tanah kepunyaan
orang lain. Jangka waktu kepemilikan bangunan tersebut ialah 30
29

tahun dan dapat diperpanjang maksimal 20 tahun. Pihak yang


dapat diberikan hak guna bangunan ialah,
a. “Warganegara Indonesia;
b. Badan hukum yang didirkan berdasarkan hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia”
Selain ketiga hak diatas, terdapat juga yang dinamakan hak
pakai, yaitu suatu hak yang memberikan kewenangan kepada
pemegang hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari
tanah Negara atau tanah yang dimiliki pihak lain dengan syarat-
syarat tertentu yang diperjanjikan antara pemberi hak dan penerima
hak pakai. Hak pakai diatur dalam pasal 41- 43 UUPA dan dalam
pasal tersebut diatur pula pihak mana saja yang dapat diberikan
hak pakai yaitu,
1. “Warganegara Indonesia;
2. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
3. Badan hukum yang didirkan berdasarkan hukum Indonesia
dan berkedudukan di Indonesia;
4. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di
Indonesia.”

Dengan adanya hak-hak baru yang telah diciptakan oleh


UUPA, maka hak-hak barat yang diatur dalam Burgerlijk Wetboek
dan peraturan Hindia Belanda lainya dikonversikan menjadi hak-
hak yang ada dalam UUPA sesuai dengan ketentuan yang ada
dalam dictum ke-II UUPA yang menyatakan diantara lain bahwa,
a. hak eigendom diubah menjadi hak milik sepanjang memenuhi
syarat menjadi pemegang hak milik
b. hak erfapcht untuk perkebunan besar menjadi Hak guna usaha
dengan jangka waktu maksimal 20 tahun dan untuk perkebunan
kecil dihapuskan haknya;
c. Hak opstal dan erfpacht untuk perumahan berubah menjadi hak
guna bangunan dengan jangka waktu 20 tahun.
30

D. Tanda Bukti Hak Penguasaan Tanah Indonesia


Tanda bukti penguasaan bidang-bidang tanah di Indonesia
berdasarkan hukum Nasional diatur sebagaimana dicitakan oleh pasal
19 UUPA,

“1. Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan


Pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut
ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2. Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal ini meliputi:
a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah;
b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat”32

Pada tahun 1961, untuk memenuhi Pasal 19 ayat 1 UUPA,


dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah no.10 tahun 1961 tentang
Pendaftaran Tanah yang kemudian diganti dengan Peraturan
Pemerintah no.24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang
diselenggarakan dengan tujuan untuk menjamin kepastian hukum di
bidang pertanahan (legal cadastre). Dalam peraturan pemerintah ini,
dijelaskan dalam Pasal 1 ayat 20 bahwa yang dikatakan sebagai surat
tanda bukti hak adalah sertifikat. Dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 32
bahwa sertifikat merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai data
fisik dan data yuridis yang termuat didalam sertifikat tersebut
sepanjang data-data tersebut sesuai dengan data-data yang teralmpir
dalam buku tanah tanah yang bersangkutan. Data yuridis merupakan
data-data yang memberikan keterangan mengenai status hukum tanah
yang didaftar sedangkan data fisik adalah data-data yang memberikan
keterangan mengenai letak, batas dan luas suatu bidang tanah yang
didaftar, yang semuanya dimasukan dalam sertifikat.
Berbeda dengan pada saat penjajahan Hindia Belanda,
pendaftaran tanah pada masa kemerdekaan tidak menganut sistem
pendaftaran dan publikasi yang sama. Dalam PP no.24 tahun 1997,

32 Undang-Undang nomor 5 Tahun 1960 Tentang UUPA, Pasal 19


31

sistem pendaftaran yang dianut adalah sistem pendaftaran hak


(registration of titles), yang terlihat dengan diterbitkanya buku tanah
sebagai dokumen yang memuat data yuridis dan data fisik serta
diterbitkanya sertifikat sebagai surat tanda bukti hak yang kuat dan
sistem publikasi yang dianut adalah sistem publikasi negative dengan
unsur positif. Sistem publikasi negatif dengan mengandung unsur
positif berarti bahwa Negara menjamin kebenaran data-data yang
dipublikasikan/disajikan selama belum dibuktikan lain oleh pihak
manapun, sesuai dengan pasal 19 ayat 2 huruf C UUPA yang
menyatakan bahwa sertifikat merupakan tanda bukti hak yang kuat
dan bukan pembuktian yang sempurna.

E. Tanah Partikelir dan Perkembanganya

1. Pra-Kemerdekaan
Tanah partikelir sendiri pertama kali diatur pada zaman
Hindia Belanda dalam S. 1926-121. Peraturan tersebut dibuat
untuk memenuhi keinginan Gubernur Jenderal yang mengambil
alih tanah rakyat pribumi dan memberikanya kepada golongan
timur asing terutama Golongan Tionghoa dalam bentuk tanah
partikelir, yaitu tanah eigendom yang mempunyai hak-hak
khusus/pertuanan. Hak pertuanan ini bersifat tidak terbatas
yang di antara lain berupa33,
1) “Hak untung mengangkat atau mengesahkan pemilihan
serta memberhentikan kepada desa;
2) Hak untuk menuntut kerja paksa dari penduduk;
3) Hak untuk mengadakan pungutan, baik berupa uang atau
hasil tanah dari penduduk;
4) Hak untuk mendirikan pasar, memungut biaya pemakaian
jalan dan penyebrangan;
5) Hak untuk mengharuskan penduduk tiga hari sekali
memotong rumput bagi keperlua tuan tanah partikelir;

33 Boedi Harsono, Op.Cit., h.96.


32

6) Hak lainya-lainya yang sederajat dengan (i) – (iv).34”

Selain ke 6 hal di atas, sesuai dengan UU no. 1 tahun 1958,


Tanah eigendom yang luasnya lebih dari 10 Bouw yang dimiliki
seseorang atau sebuah badan hukum, juga dianggap sebagai
tanah partikelir.
Terdapat 2 jenis tanah partikelir, yaitu tanah kongsi dan
tanah usaha. Tanah Kongsi merupakan tanah partikelir yang
dimiliki langsung dengan hak usaha oleh golonga Timur Asing,
sedangkan tanah usaha adalah tanah partikelir yang dipunyai
oleh rakyat35
Seiring dengan berjalannya waktu, kewenangan yang
melekat pada pemilik tanah partikelir dianggap terlalu kuat yang
mengakibatkan banyak pemilik tanah yang menyalahgunakanya
yang mengakibatkan tersiksanya para penduduk yang tinggal di
dalam tanah tersebut, sehingga, pada tahun 1910, secara
berangsur-angsur Pemerintah Hindia Belanda pada saat itu
mulai membeli kembali tanah partikelir yang tersebar di Pulau
Jawa dan Ujung Pandang.36. Pembelian kembali tanah partikelir
bukan upaya satu-satunya Pemerintahan saat itu, Pemerintah
Hindia Belanda juga mengeluarkan peraturan yaitu, Pasal 2
ayat 1 Regerings Reglement 1854 jo. Pasal 51 ayat 1 Indische
Staatsregeling yang melarang Gubernur Jendral Hindia Belanda
untuk memberikan tanah partikelir baru.37 Dikeluarkan juga
peraturan-peraturan yang membatasi kewenangan pemilik
tanah partikelir dan juga mengatur hubungan tuan tanah
partikelir dengan “rakyat”-nya, seperti Reglement omtrent de

34 Ibid.
35 Ibid.
36 Ibid.
37 Ibid.
33

particuliere landreijen bewesten de Cimanuk op Java yang


dimuat dalam S. 1912-422.38
Usaha Pemerintah Hindia Belanda untuk membeli kembali
semua tanah partikelir yang sudah diberikan tidak dapat
terwujud hingga Indonesia Merdeka pada 17 Agustus 1945 dan
usaha pembelian Pemerintah Hindia Belanda terhenti dan
berakhir dengan bubarnya NV Javasche Particuliere Landerijen
Maatschappij, perusahaan yang didirkan oleh Pemerintah
khusus untuk membeli kembali tanah partikelir, pada 13
Desember 1951. Berdasarkan penjelasan Pasal 8 Undang-
Undang no.1 tahun 1958 upaya Pemerintah Hindia Belanda
untuk membeli kembali tanah partikelir hanya menghasilkan
kembalinya 469,506ha dari jumlah total 498,429ha (~96.5%),
sehingga masih tersisa sekitar 17,000ha terhitung tahun 1949.

2. Pasca-Kemerdekaan
Kemerdekaan Indonesia dan berubahnya struktur
pemerintahan tidak membuat upaya untuk menghapuskan
tanah partikelir berhenti begitu saja, Pemerintah tetap
mengupayakan dibeli kembalinya tanah partikelir yang tersisa
karena tanah partikelir dianggap tidak sesuai dengan asas
keadilan sosial rakyat Indonesia, mamun di karenakan tidak
adanya kesepakatan mengenai harga, seringkali proses
pembelian kembali berakhir tanpa hasil yang memuaskan,
sehingga pada tanggal 24 Januari 1958, dikeluarkan Undang-
undang No. 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah
Partikelir, yang secara tegas menghapus seluruh tanah partikelir
yang tersisa/ada dalam Pasal 3 Undang-Undang tersebut yang
menyatakan bahwa,

38 Ibid.
34

“Sejak mulai berlakunya Undang-undang ini demi


kepentingan umum hak-hak pemilik beserta hak-hak
pertuanannya atas semua tanah-tanah partikelir hapus dan
tanah-tanah bekas tanah partikelir itu karena hukum
seluruhnya serentak menjadi tanah Negara.”39

Menurut pendapat Prof. Arie Hutagalung, dibuatkanya


Undang-Undang no.1 tahun 1958 adalah karena alasan
berikut,
“Undang-Undang no.1 tahun 1958 diciptakan untuk
memudahakn pemerintah Republik Indonesia untuk
melikuidasi tanah-tanah partikelir yang pada saat itu
dilakukan hanya berdasarkan kesepakatan dan hasilnya
seperti yang diketahui tidaklah memuaskan karena sering
terjadi perbedaan pendapat mengenai harga, maka dengan
berlakunya Undang-Undang no.1 tahun 1958 tentang
Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir maka demi hukum
tanah partikelir menjadi tanah negara. Dengan demikian,
Pemerintah memiliki bargaining power yang lebih kuat
dibandingkan pemilik tanah partikelir.”

Selain itu, UU no.1 tahun 1958 memperluas arti dari tanah


partikelir dengan menganggap tanah eigendom yang lebih dari
10 bouw sebagai tanah partikelir. Menurut Boedi Harsono,
alasan mengapa tanah eigendom biasa yang luas dianggap
sebagai tanah partikelir adalah sebagai berikut,
“Alasan mengapa tanah-tanah eigendom biasa yang seluas itu
turut dihapuskan juga ialah bahwa tidak mudah dan tidak selalu
mungkin untuk dapat membuktikan adanya hak-hak pertuanan.
Lain dari itu, adanya tanah-tanah eigendom yang luasnya lebih
dari 10 bouw menyalahi ketentuan yang disebut dalam Pasal 8
Agrarisch Belsuit dan maksud serta jiwa Pasal 51 ayat 2
Indische Staatsregeling”

Seperti yang dijelaskan sebelumnya terdapat dua jenis tanah


partikelir, baik Tanah usaha yaitu bagian tanah partikelir yang
dipunyai oleh rakyat yang diberikan secara Cuma-Cuma oleh

39Undang-Undang No.1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir,


Pasal 3
35

pemilik tanah dan dapat disertai syarat kepada penduduk yang


diberikan hak usaha dan tanah kongsi yaitu hak usaha yang
dimiliki oleh golongan timur asing, terhadap hak usaha dan
kongsi ini maka apabila pemiliknya merupakan seorang Warga
Negara Indonesia, maka ia mendapatkan ganti rugi dari
pemerintah namun apabila pemilik hak usaha tersebut adalah
orang asing, maka ia mempunyai waktu satu tahun untuk
melepaskan hak tersebut kepada seorang warga negara
Indonesia atau kepada Negara, yang apabila ia lalai
melakukanya maka hak usaha menjadi batal dan tanahnya
menjadi tanah negara, dan ia hanya diberikan hak yang sifatnya
sementara seperti hak sewa.

Tanah partikelir tersebut secara hukum berubah menjadi


tanah negara berdasarkan pertimbangan sebagai berikut40,
1. “Bahwa adanya lembaga tanah partikelir dengan hak-hak
pertuanannya di dalam wilayah Republik Indonesia, adalah
bertentangan dengan azas dasar keadilan sosial yang
dijunjung tinggi oleh masyarakat dan Negara;
2. Bahwa untuk kebulatan kedaulatan dan kewibawaan
Negara, demi kepentingan umum lembaga tersebut harus
dihapuskan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya;
3. Bahwa usaha likwidasi yang dijalankan hingga sekarang,
melalui kata sepakat antara Pemerintah dan pemilik-pemilik
tanah partikelir atas dasar kebijaksanaan, ternyata tidak
membawa hasil yang memuaskan;
4. Bahwa peraturan-peraturan yang mengenai pencabutan
hak, sebagai tercantum dalam Onteigeningsordonnantie (S.
1920 - 574) dan peraturan-peraturan tentang Pengembalian
tanah-tanah partikelir menjadi tanah Negara (S. 1911 - 38
jis S. 1912 - 480 dan S. 1912 - 481) tidak cukup untuk dapat
mencapai likwidasi tanah-tanah itu secara integral dalam
waktu yang singkat;
5. Bahwa berhubung dengan itu diperlukan suatu Undang-
undang khusus
6. Bahwa tanah-tanah eigendom yang luasnya lebih dari 10
Bouw perlu diturut sertakan dalam likwidasi tersebut di atas,

40
Ibid
36

karena bertentangan dengan maksud dan jiwa dari


ketentuan dalam Pasal 51 ayat 2 Indische Staatsregeling
(S. 1925 - 417) jo Pasal 8 Agrarisch Besluit (S. 1870 - 18)”

Namun, Undang-Undang ini tidak melepas tanggung jawab


Pemerintah begitu saja, di karenakan undang-undang ini juga
mengharuskan Pemerintah memberikan ganti rugi (likuidasi)
yang cepat dan mudah yang dapat dijamin layak bagi yang
berkepentingan. Tanah mana saja dan bentuk ganti rugi atau
likuidasi yang dapat dilakukan dijelaskan dalam Pasal 8 UU
no.1 Tahun 1958 yang menyatakan sebagai berikut,
Pasal 8 UU No.1 Tahun 1958
1) “Kepada pemilik tanah partikelir yang di maksudkan dalam
Pasal 3 diberikan ganti-kerugian yang dapat berupa:
a) Sejumlah uang, berdasarkan perhitungan harga hasil
kotor setahun, rata-rata selama lima tahun terakhir
sebelum 1942, dikurangi 40% sebagai biaya usaha,
kemudian dikalikan angka 8<< (delapan setengah),
b) Hak, bantuan dan/atau keleluasaan lain
2) Atas bagian-bagian tanah partikelir yang pada mulai
berlakunya undang-undang ini tidak digunakan atau
diusahakan oleh pemiliknya, karena alasanalasan yang tidak
dapat dibenarkan oleh Menteri Agraria, tidak diberikan ganti-
kerugian.
3) Pembayaran ganti-kerugian tersebut pada ayat 1 sub a
Pasal ini dapat dilakukan secara berangsur, paling lama lima
tahun dan dalam hal ini kepada pemilik diberikan bunga
menurut Undang-undang
4) Ganti kerugian tersebut di atas ditetapkan dengan keputusan
Menteri Agraria menurut ketentuanketentuan yang diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
5) Keputusan Menteri Agraria mengenai penetapan ganti-
kerugian tersebut mempunyai kekuatan mengikat dan tidak
dapat dimintakan bandingan kepada badan pemerintahan
yang lebih tinggi atau badan pengadilan.”

Ganti rugi wajib diberikan kepada pemegang hak bekas


tanah partikelir di karenakan penghapusan tanah partikelir pada
dasarnya merupakan suatu bentuk pencabutan hak,
37

sebagaimana di maksud dengan Pasal 26 ayat 2 dan Pasal 27


ayat 1 U.U.D.S. yang menyatakan,
Pasal 26 ayat 2: “Seorangpun tidak boleh dirampas miliknja
dengan semena-mena.”
Pasal 27 ayat 1: “Pentjabutan hak milik untuk kepentingan
umum atas sesuatu benda atau hak tidak dibolehkan,
ketjuali dengan mengganti kerugian dan menurut aturan-
aturan undang-undang.”

Pencabutan hak ialah pengambilalihan ha katas tanah oleh


negara dengan tujuan untuk kepentingan umum, yang
mengakibatkan ha katas tanah menjadi hapus, bukan karena
pemilik melakukan kesalahan namun karena memang karena
tanah tersebut dibutuhkan41. Pencabutan hak juga mengandung
dua pengertian pokok yang pertama ialah bahwa pemerintah
memerlukan tanah tersebut untuk menjalankan kepentingan
umum dan yang kedua adalah bahwa Pemerintah terbatas
anggaranya untuk membayar, sehingga terdapat unsur paksaan
dalam pencabutan hak42. Pencabutan hak tidak dapat dilakukan
secara semena-mena harus terdapat syarat-syarat yang
dipenuhi sebagai berikut,
1. Tanah yang dicabut harus digunakan untuk kepentingan
umum;
2. Lokasi tanah yang digunakan sangat dibutuhkan dan
lokasinya tidak dapat dipindahkan lagi;
3. Adanya pemberian ganti rugi

Seiring berjalannya waktu, ganti rugi yang ditetapkan dalam


Pasal 8 Undang-Undang no.1 Tahun 1958, dianggap sudah
tidak lagi realistis, sehingga pada tahun 1966 dikeluarkan
Keputusan Deputi Menteri Kepala Departemen Agraria Nomor

41
Mudakir Iskandar Syah, Pembebasan Tanah dan Reklamasi Untuk Pembangunan
Kepentingan Umum (Jakarta: Jala Permata Askara),
42
AP Parlindungan, Pencabutan dan Pembebasan Hak Atas Tanah Suatu Studi
Perbandingan (Bandung: Mandar Maju 1990)
38

SK.15/Depag/1966 tanggal 14 Mei Tahun 1966 tentang


Pedoman Penetapan Mengenai Ganti Rugi Kepada Bekas
Pemilik Tanah Partikelir dan Peruntukan Tanahnya, yang
menyatakan perubahan sebagai berikut,
1. “Ganti rugi uang dengan perhitungan 20% dari harga umum
atas tanah yang dapat diterimanya, harga umum sebanyak-
banyaknya Rp.1000,- per Hektar;
2. Diberikan hak atas tanah dengan klasifikasi sebagai berikut,
a. Untuk Warganegara Indonesia –
1) Tanah perumahaan diberikan Hak milik;
2) Tanah pertanian diberikan hak milik;
3) Tanah perkebunan diberikan hak guna usaha (25
hektar)
b. Untuk Badan hukum Indonesia –
1) Tanah perumahaan diberikan hak guna bangunan;
2) Tanah pertanian diberikan hak guna usaha
3) Tanah perkebunan diberikan hak guna usaha
c. Untuk Warganegara asing atau Badan hukum asing
1) Tanah perumahaan diberikan hak pakai;
2) Tanah pertanian diberikan hak pakai;
3) Tanah perkebunan diberikan hak pakai.”

Tetapi pada tahun 1997, keputusan ini dicabut dengan


Keputusan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 13 Tahun 1997 Tentang Peniadaan Ganti Rugi Atas Tanah-
Tanah yang terkena Undang-Undang no.1 Tahun 1958. Keputusan
tersebut berisikan enam hal yaitu,
“PERTAMA : Meniadakan pemberian ganti rugi bagi bekas
pemilik/ahli waris tanah-tanah yang telah menjadi tanah negara
sejak tanggal 24 Januari 1958 berdasarkan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1958 dan Peraturan Pemerintah Nomor 18
Tahun 1958.
KEDUA : Mencabut Keputusan Deputi Menteri Kepala
Departemen Agraria Nomor SK. 15/Depag/1966 tanggal 14 Mei
1966 dan Surat Edaran Direktur Jenderal Agraria tanggal 31
Oktober 1973 Nomor Dir.10/202/10/73 dan menyatakan
Keputusan dan Surat Edaran dimaksud tidak berlaku lagi.
KETIGA : Mencabut surat-keputusan surat-keputusan yang
telah diterbitkan oleh Pemerintah tentang kesediaan untuk
memberikan ganti rugi kepada bekas pemilik tanah partikelir
dan tanah-tanah eigendom yang lebih dari 10 bouw dan
39

menyatakan surat-keputusan surat-keputusan tersebut tidak


berlaku lagi.
KEEMPAT : Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal
ditetapkan, dengan ketentuan semua peraturan yagn berlaku
sebelumnya yang bertentangan dengan ketentuan keputusan
ini, dinyatakan tidak berlaku lagi.
KELIMA : Pelaksanaan lebih lanjut dengan dikeluarkannya
Surat Keputusan ini agar dilaksanakan oleh Kepala Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi dan Kepala
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya yang bersangkutan.
KEENAM : Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan
dengan ketentuan dapat ditinjau kembali apabila ternyata
terdapat kekeliruan.” 43

Pertimbangan dikeluarkanya keputusan ini adalah karena


alasan-alasan sebagai berikut,
1. “Bahwa yang diberikan ganti-rugi hanyalah kepada pemilik
atau pengguna bidang tanah partikelir dengan cara yang
dibenarkan oleh Undang-Undang;
2. Pemberian ganti rugi dalam Undang-Undang no.1 tahun
1958, tidak lagi dapat direalisasikan sehingga perhitungan
ganti rugi yang baru adalah berdasarkan Keputusan Deputi
Menteri Kepala Departemen Agraria Nomor
SK.15/Depag/1966 tanggal 14 Mei Tahun 1966, namun
keputusan ini juga dianggap sudah tidak lagi sesuai;
3. Bahwa hingga saat dikeluarkanya Keputusan Menteri
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Tentang
Peniadaan Ganti Rugi Atas Tanah-Tanah yang terkena
Undang-Undang no.1 Tahun 1958, 39 tahun sejak
dikeluarkanya Undang-Undang no.1 tahun 1958, masih
banyak bekas pemegang hak partikelir yang belum
mendapatkan ganti rugi sehingga hal tersebut dianggap
sudah melampaui batas jangka waktu pemberian ganti rugi
atau dengan kata lain sudah kadaluarsa.”

Keputusan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan


Nasional Nomor 13 Tahun 1997 tidak berlaku lama, karena
pada tahun 1999, Keputusan tersebut dicabut oleh Keputusan
Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional no.12
tahun 1999 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Negara

43
Keputusan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Tentang Peniadaan
Ganti Rugi Atas Tanah-Tanah yang terkena Undang-Undang no.1 Tahun 1958
40

Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 13 Tahun


1997 tentang Peniadaan Ganti Rugi Atas Tanah Tanah Yang
Terkena Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958 dengan alasan
sebagai berikut44,

“Bahwa Keputusan Menteri Negara Agararia/Kepala Badan


Pertanahan Nasional Nomor 13 Tahun 1997 tanggal 29
September 1997 tentang Peniadaan Ganti Rugi Atas Tanah-
tanah yang Terkena Undang-undang Nomor 1 Tahun 1958
bertentangan dengan ketentuan dalam Undangundang Nomor 1
Tahun 1958 tersebut”
Pada kenyatanya, walaupun telah diwajibkan diberikan ganti
rugi oleh Pemerintah kepada bekas pemilik tanah partikelir,
masih banyak tanah bekas pemilik tanah partikelir yang belum
juga mendapatkan haknya dan ketidakjelasan akan
dibayarkanya/diberikanya ganti rugi tersebut dengan alasan
yang beragam. Hal ini dapat disimpulkan dengan diterbitkanya
Buku Daftar Tanah Tanah Partikelir dan Eigendom yang
Luasnya Lebih dari Bouw yang Terkena Undang-Undang
Nomor 1/1958 yang diterbitkan oleh BPN pada tahun 1978 dan
1996. Buku tersebut dikeluarkan dengan tujuan agar dapat
digunakan sebagai dasar penelitian dan penyelesaian lebih
lanjut baik mengenai obyek maupun subyek haknya, namun
pada kenyataanya, buku daftar tersebut masih terdapat banyak
kesalahan mengenai data yuridis maupun data fisik bidang-
bidang tanah yang ada dalam buku daftar tersebut.

Kesalahan atau ketidaksesuaian buku daftar dengan


kenyataan, mengakibatkan proses pemberian ganti rugi
sebagaimana dicitakan oleh Undang-Undang no.1 Tahun 1958
tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir menjadi sangat
44
Keputusan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional no.12 tahun 1999
tentang Pencabutan Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 13 Tahun 1997 tentang Peniadaan Ganti Rugi Atas Tanah Tanah Yang
Terkena Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958
41

lamban dan sulit di karenakan terjadinya perbedaan pendapat


yang tidak kunjung berakhir antara Pemerintah dan subyek
bekas pemegang tanah partikelir.
42

BAB III
DESKRIPSI OBYEK PENELITIAN

Bidang tanah yang diteliti dalam bab ini adalah tanah dengan surat
pajak Eigendom Verponding No.12532 baik dari segi fisik maupun yuridis.

A. Sejarah Penyimpanan Data

Seluruh surat-surat untuk membuktikan kepemilikan Eigendom


Verponding no.12532 didapatkan dari keterangan ahli waris
Pemilik terakhir tanah Eigendom Verponding no.12532 Ombov
Dovie (pribumi) yang dikuatkan dengan keterangan Lurah
dengan kronologis sebagai berikut,

1. Sekitar tahun 1939 ketika Jepang masuk Asia termasuk


Indonesia, Ombov Dovie mengkhawatirkan akan keamanan
aset-asetnya sehingga ia memberikan aset tersebut kepada
anak dan cucunya yang bernama Niri, Marsiah dan Sofia;

2. Anak dan cucu yang diberikan akte/surat oleh Ombov Dovie


menitipkan surat-surat tersebut kepada Lurah kabupaten
Sudimara pada tahun 1990 yaitu Manif;

3. Pada saat Ombov Dovie meninggal pada tahun 1941,


semua asset berupa surat-surat tanah Ombov Dovie
dikembalikan Manif kepada salah seorang anak Ombov
Dovie pada tahun 1996 bernama H.M Niri;

4. H.M Niri kemudian menyerahkan surat-surat yang ada


kepada anaknya bernama H.M Djaelani Niri, yang mulai
melakukan pengurusan terhadap tanah bekas Eigendom
Verponding no.12532;
43

5. H.M Djaelani Niri mulai aktif mengurus surat-surat Eigendom


Verponding no.12532 sejak tahun 2007 s/d tahun 2013, dan
dalam pengurusanya ia mengikut sertakan anaknya yang
bernama Hendy Mulyadi, sebelum akhirnya meninggal dunia
pada tahun 2014;

6. Hendy Mulyadi pada saat penulisan ini, adalah pihak yang


melakukan pengurusan terakhir atas surat-surat Eigendom
Verponding no.12532.

7. Pada semasa Ombov Dovie hidup ia menyerahkan


bebarapa asset tanah Eigendom Verponding no.12532
kepada Yan Leonardus Versluis yang merupakan rekan
bisnis perkebunanya dan masih dipegang oleh ahli warisnya
bernama Ir. Lanjar Widadi.

8. Pada saat ini, Ir. Lanjar Widadi dan Hendy Mulyadi telah
bergabung untuk melakukan pengurusan bersama.

B. Kronologis Data Yuridis

Data-data yuridis yang didapatkan diperoleh melalui surat-


surat yang tersedia serta ditambah dengan keterangan ahli
waris bekas pemegang hak atas tanah Eigendom Verponding
no.12532 yang dibuat pada tanggal 28 Maret 2017 di hadapan
Aparatur Sipil Negara pada kelurahan Kampung Bali,
Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Ahli waris sejumlah 47
orang yang memberikan keterangan telah ditetapkan oleh
pengadilan bahwa mereka memang benar merupakan ahli waris
sah almarhum Ombov Dovie yang telah meninggal pada tahun
1941 silam, berdasarkan Penetapan Pengadilan Agama
Tigaraksa Nomor 0631/Pdt.P/2014/PA.Tgrs tertanggal 22
44

Desember 2014 (Lampiran 1) dan surat keterangan dari


Kelurahan Sudimara Barat, kecamatan Ciledug, Kota
Tangerang Tanggal 15 September 2014 (Lampiran 2).

Berdasarkan observasi surat-surat dan berdasarkan


pengakuan yang tersedia, tanah Eigendom Verponding
No.12532, terakhir kali dimiliki oleh Almarhum Ombov Dovie
yang membeli bidang tanah tersebut dari Saleh Abdat di
hadapan Notaris Thomas Bunyamin Van Soest di Batavia
tertanggal 1 Desember 1935, yang terletak di Provinsi Jawa
Barat, Kediaman Batavia, Kabutpaten Cornelis, Distrik
Kebayoran, Wilayah Pemnangan, Djati Timoer, yang sekarang
dikenal dengan Jalan Jatibaru, Kampung Bali, Kecamatan
Tanah Abang Jakarta Pusat, yang dibuktikan berdasarkan Acte
Van Eigendom, yang dalam isi akte tersebut terdapat dua
bidang tanah yang diperjualbelikan yang merupakan satu
kesatuan dalam Acte Van Eigendom yang sama yaitu tanah
dengan Eigendom Verponding 7557 dan 12532. Eigendom
Verponding no. 12532 setelah dibeli dari Saleh Abdat telah
dikonversi menjadi tanah milik Adat yang di buktikan dengan
Kikitir Padjak Boemi Desa, Desa Petamburan, Distrik Tanah
Abang, Karesidenan Batavia Tahun 1938, tetapi dalam Daftar
Buku Tanah-Tanah Partikelir Dan Eigendom Yang Luasnya
Lebih dari 10 Bouw Yang terkena Undang-Undang Nomor
1/1958, pemilik terakhir yang tercantum dalam buku tersebut
adalah JatiTimur (Kotapraja), sehingga jelas disini terdapat
sebuah ketidakcocokan pemilik terakhir antara buku yang
dikeluarkan oleh BPN dan pernyataan ahli waris yang telah
dikuatkan oleh Lurah setempat, tetapi terdapat persamaan
antara keterangan ahli waris dan buku BPN yaitu bahwa tanah
45

bekas Eigendom Verponding no.12532 belum pernah di


selesaikan ganti-ruginya.

Saat ini, akte-akte yang disebut diatas masih dalam


penguasaan ahli waris dan masih dalam bentuk yang baik.
Untuk Acte van Eigendom dan surat pajaknya Verponding
no.12532, telah dilakukan uji forensik terhadap tinta dan kertas
yang digunakan oleh Laboratorium forensic (puslabfor) Badan
Reserse Kriminal Polisi Republik Indonesia (Bareskrim Polri)
untuk menyatakan bahwa memang benar Acte van Eigendom
tersebut dibuat pada jaman yang sesuai dengan yang di
terangkan dalam aktenya, dan juga telah dilakukan
penerjemahan secara resmi terhadap Acte van Eigendom oleh
penerjemah tersumpah dari Departemen Luar Negeri.

Pada saat penulisan karya ilmiah ini berdasarkan


http://peta.bpn.go.id/, tanah bekas Eigendom Verponding
no.12532 telah dikuasai oleh berbagai pihak dengan berbagai
status hak dan telah terbagi menjadi bidang-bidang tanah yang
lebih kecil. Bidang-bidang tanah tersebut dikuasai dengan hak
guna bangunan dan beberapa hak milik serta hak pakai, namun
terdapat sebagian besar bidang tanah yang belum terdaftar.

C. Kronologis Data Fisik

Bidang tanah dengan surat pajak Eigendom Verponding


no.12532 sesuai dengan Daftar Buku Tanah-Tanah Partikelir
Dan Eigendom Yang Luasnya Lebih dari 10 Bouw Yang terkena
Undang-Undang Nomor 1/1958, mempunyai luas tanah
30000Ha. Pada saat pembelian tanah dari pemilik sebelumnya,
sesuai dengan pengakuan ahli waris, bidang tanah Eigendom
Verponding no.12532 masih kosong dan belum ada bangunan,
46

namun seiring berjalanya waktu, banyak penduduk yang mulai


menduduki tanah Eigendom Verponding no.12532 untuk
membuat tempat tinggal. Pada saat penulisan penelitian ini,
tanah yang dulunya merupakan Eigendom Verponding
no.12532, sudah dipenuhi bangunan-bangunan baik resmi yang
didirkan oleh perusahaan maupun bangunan kumuh yang
didirikan penduduk setempat. Batas-batas bidang tanah
Eigendom Verponding no.12532 sudah tidak lagi terlihat
dikarenakan padatnya bangunan-bangunan yang ada.

D. PT. Kantor Tata Usaha Versluis


Pada tahun 1952, didirkan sebuah perusahaan yang dinamakan
Administratie Kantoor Versluis NV berdasarkan Surat Ketetapan
Menteri Kehakiman RI No.JA.5/114/10 Tanggal 4 September 1952.
Pada tahun 2006, Administratie Kantoor Versluis NV, melakukan
perubahaan terhadap nama perusahaanya menjadi PT. Kantor
Tata Usaha Versluis yang perubahaanya dilakukan dihadapn
Notaris dan diberikan persetujuan dari Departemen Hukum dan
HAM RI no.C18335 HT. 01.04.th 2006. Dengan status perusahaan
sebagai Perseroan Terbatas, maka PT. Kantor Tata Usaha Versluis
hanya dapat melakukan kegiatan yang tertera dalam anggaran
dasar dan hal ini bersifat imperaktif45 Sesuai dengan anggaran
dasarnya, PT. Kantor Tata Usaha Versluis pendirian PT tersebut
adalah untuk menyimpan dan menginventarisir data kepemilikan
tanah eigendom, erfpacht, dan opstal milik Warga Negara
Indonesia juga melakukan pengelolaan sewa-menyewa tanah dan
bangunan bekas tanah eigendom, erfpacht dan opstal dalam
wilayah Provnisi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa
timur. Dalam menjalankan perushaan, pada prakteknya PT. Kantor

45 M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas (Jakarta:Sinar Grafika,2016) h.61


47

Tata Usaha Versluis sering diberikan surat kuasa oleh pemilik


tanah untuk melakukan hal-hal sebagai berikut46:
a. Menyimpan data kepemilkan dari tanah bekas hak barat;
b. Mengelola tanah bekas hak barat
c. Menyewakan tanah dan/atau bangunan bekas hak barat
d. Menguasai tanah bekas hak barat
e. Mengatur pendapatan dari tanah dan/atau bangunan
bekas hak barat
f. Menerima pendapatan atau keuntungan peralihan hak
atas tanah dan/atau bangunan

46Sachrizal Niqie Supriyono, “Keterlibatan Perseroan Terbatas Versluis Dalam Transaksi


Tanah Bekas Hak Barat” (Studi Wilayah Hukum Kota Batu, Program Studi Kenotariatan
Universitas Brawijaya, Malang, 2016)
48

BAB IV
ANALISIS OBYEK PENELITIAN

A. Status Tanah bekas Eigendom Verponding no.12532

Dalam penelitian terhadap bekas tanah Eigendom Verponding


no.12532 terdapat perbedaan pendapat mengenai siapakah
pemegang hak atas tanah terakhir sebelum diberlakukanya Undang-
Undang no.1 tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah
Partikelir. Apakah tanah terakhir dimiliki oleh Ombov Dovie sesuai Acte
van Eigendom dan Eigendom Verponding no.12532 atau Kotapraja
sebagaimana dilampirkan dalam Buku Daftar Tanah Tanah Partikelir
dan Eigendom yang Luasnya Lebih dari Bouw yang Terkena Undang-
Undang Nomor 1/1958? Juga terdapat permasalah lain yang telah
dipaparkan dalam bab sebelumnya yaitu hingga saat penulisan
penelitian ini, belum terdapat ganti rugi dalam bentuk apapun
sebagaimana yang dimandatkan oleh Undang-Undang no.1 tahun
1958, kepada pihak manapun, maka yang pertama kali harus
ditentukan terlebih dahulu adalah siapa pemilik terakhir tanah tersebut.
Sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang no.1 tahun 1958, yang
dikatakan sebagai pemilik tanah partikelir ialah,
1. “Barangsiapa yang dalam surat eigendom, yang dibuat menurut
peraturan-peraturan yang berlaku, tercatat sebagai pemilik
tanah partikelir itu;
2. Barangsiapa dengan alat-alat pembukti yang sah dapat
membuktikan, bahwa ia berhak atas tanah partikelir itu sebagai
pemilik.”

Berdasarkan Acte van Eigendom dan Eigendom Verponding


no.12532, nama yang tercantum dalam surat-surat tersebut adalah
atas nama Ombov Dovie, sehingga apabila berdasarkan Pasal 2
Undang-Undang no.1 Tahun 1958 maka pemiliknya ialah Ombov
Dovie. Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa hingga saat penulisan
penelitian ini, surat-surat bidang tanah Eigendom Verponding
49

no.12532 masih ada dalam tangan ahli waris. Pada sebelum


dikeluarkanya Peraturan Pemerintah no.10 tahun 1961 tentang
Pendaftaran Tanah, sistem yang berlaku adalah sistem pendaftaran
akta sebagaimana telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, sehingga
dalam sistem pendaftaran akta, apabila telah terjadi jual-beli antara
pihak, maka pihak terakhir (pembeli) harus menyimpan surat-surat
yang berkaitan dengan bidang tanah yang diperjual-belikan tersebut.
Sebagai pihak terakhir yang memegang surat-surat Acte van
Eigendom dan Eigendom Verponding no.12532, ahli waris Ombov
Dovie, telah melakukan serangkaian uji laboratorium untuk
memastikan keaslian surat-surat yang ada, dan uji laboratorium telah
menyatakan bahwa memang benar surat tersebut adalah asli.
Permasalahanya sekarang ialah Buku Daftar Tanah Tanah
Partikelir dan Eigendom yang Luasnya Lebih dari Bouw yang Terkena
Undang-Undang Nomor 1/1958 menyatakan bahwa pemilik terakhir
adalah Kotapraja, yang berarti antara tahun 1935 dimana dilakukan
jual beli dari Saleh Abdat kepada Ombov Dovie hingga dengan tahun
dikeluarkanya Buku Daftar Tanah Tanah Partikelir dan Eigendom yang
Luasnya Lebih dari Bouw yang Terkena Undang-Undang Nomor
1/1958 yang pertama pada tahun 1978, telah dilakukan suatu
pemindahan hak dari Ombov Dovie kepada Kotapraja yang dapat
dibuktikan dengan suatu akte otentik, namun hingga saat penulisan
penelitian ini, penulis belum menemukan fakta bahwa telah dilakukan
suatu pemindahan hak oleh Ombov Dovie kepada pihak lain.
Berdasarkan fakta tersebut, maka penulis berpendapat bahwa untuk
pembuktian kepemilikan terakhir Eigendom Verponding no.12532
berlaku ketentuan dalam Pasal 1865 Burgerlijk Wetboek yang
menyatakan,
“Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu
hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun
membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu
50

peristiwa, diwajibkan membuktikanya adanya hak atau peristiwa


tersebut”

Dengan kata lain, sebelum dibuktikan bahwa telah terjadi


pemindahan hak dari pemilik terakhir, yakni Ombov Dovie kepada
pihak lain, maka pemilik terakhir dapat dikatakan adalah Ombov
Dovie berdasarkan Acte van Eigendom dan Eigendom Verponding
no.12532 yang saat ini dipegang oleh Ahli Waris Ombov Dovie.
Yang harus ditentukan sekarang ialah, siapa yang dianggap ahli
waris yang dapat menerima ganti rugi tanah partikelir yang dimiliki
oleh Ombov Dovie. Dalam hukum waris perdata, terdapat suatu
asas yang menyatakan bahwa pada detik seseorang meninggal,
maka pada detik itu juga segala hak dan kewajiban yang meninggal
beralih kepada ahli warisnya. Berdasarkan Burgerlijk Wetboek,
yang dianggap sebagai ahli waris ialah pihak yang memiliki
hubungan sedara sebagaimana dimaksud Pasal 832 atau pihak
yang ditunjuk berdasarkan surat wasiat sebagaimana diatur dalam
Pasal 874. Hingga dilakukanya penelitian ini, belum ditemukan
adanya surat wasiat yang ditulis oleh Ombov Dovie serta dikuatkan
dengan Penetapan Pengadilan Agama Tigaraksa Nomor
0631/Pdt.P/2014/PA.Tgrs tertanggal 22 Desember 2014 yang
menyatakan bahwa selama hidupnya Ombov Dovie tidak pernah
membuat surat wasiat apapun, sehingga ahli waris yang berhak
ialah ahli waris yang dimaksud dalam Pasal 832 Burgerlijk
Wetboek,

“Menurut Undang-undang yang berhak untuk menjadi ahli waris


ialah, para keluarga sedarah, baik sah, maupun luar kawin dan si
suami atau istri yang hidup terlama, semua menurut peraturan
tertera dibawah ini. Dalam hal, bilamana baik keluarga sedara,
maupun yang hidup terlama di antara suami istri tidak ada, maka
segala harta peninggalan si yang meninggal, menjadi milik Negara
yang mana berwajib untuk melunasi segala utangnya, sekedar
harga harta peninggalan mencukupi untuk itu.”
51

Keluarga sedarah Ombov Dovie telah ditentukan


berdasarkan Penetapan Pengadilan Agama Tigaraksa Nomor
0631/Pdt.P/2014/PA.Tgrs tertanggal 22 Desember 2014, sehingga
pihak-pihak yang namanya terdapat dalam penetapan tersebut
adalah merupakan ahli waris Ombov Dovie. Ahli waris yang telah
disebutkan dalam Penetapan tersebut sebagai ahli waris
mempunyai tiga pilihan terhadap harta waris yaitu,

1. Menolak warisan –

Penolakan harus dilakukan secara tegas dengan suatu


pernyataan tertulis kepada panitera pengadilan negeri di tempat
warisan tersebut terbuka, dalam hal warisan ditolak maka ahli
waris tersebut tidak mendapatkan Activa dan Pasiva dari
pewaris

2. Menerima Warisan –

Ahli waris mewarisi seluruh activa dan pasiva dari pewaris. Ahli
waris dalam hal ini dapat menerima warisan baik secara diam-
diam dan secara tegas. Secara diam-diam berarti ahli waris
telah menggunakan menikmati warisan, dan secara tegas
berarti ahli waris menyatakan kehendaknya secara tertluis
kepada panitera pengadilan negeri bahwa ia menerima warisan
secara penuh.

3. Menerima secara boedel –

Ahli waris hanya bertanggung jawab atas hutang-hutang


pewaris sebeas activa yang ada pada warisan sehingga ahli
waris tidak usah menanggung pembayaran hutang pewaris.
Untuk menerima warisan secara boedel harus dinyatakan
52

secara tegas kepada panitera pengadilan negeri tempat warisan


terbuka.

Sehingga dalam kasus ini, hanyalah Ahli waris yang namanya


tercantum dalam Penetapan Pengadilan Agama Tigaraksa Nomor
0631/Pdt.P/2014/PA.Tgrs tertanggal 22 Desember 2014 dan tidak
menggunakan haknya untuk menolak sebagaimana dimaksud
pasal 1045 Burgerlijk Wetboek, dan menerima warisan sebagai ahli
waris baik secara penuh (activa dan pasiva), maupun secara
boedel yang dapat mendapatkan ganti rugi dari Pemerintah.
Hal berikutnya yang harus dilakukan analisis adalah status
bidang tanah bekas Eigendom Verponding no.12532. Sesuai
dengan Undang-Undang no.1 tahun 1958 tentang Penghapusan
Tanah-Tanah Partikelir, secara jelas dinyatakan dalam Pasal 3
bahwa,
“Sejak mulai berlakunya Undang-undang ini demi kepentingan
umum hak-hak pemilik beserta hak-hak pertuanannya atas
semua tanah-tanah partikelir hapus dan tanah-tanah bekas
tanah partikelir itu karena hukum seluruhnya serentak menjadi
tanah Negara.

Yang dilakukan Undang-Undang no.1 tahun 1958 dengan


merubah status tanah Eigendom Verponding no.12532 menjadi
tanah Negara merupakan bentuk dari sebuah pencabutan hak,
yaitu sebuah pengambilalihan hak atas tanah oleh negara dengan
tujuan untuk kepentingan umum, yang mengakibatkan hak tanah
menjadi hapus47 yang terjadi bukan karena pemilik tanah
melakukan suatu kesalahan sebagaimana ditegaskan dalam
penjelasan Pasal 3 Undang-Undang no.1 tahun 1958, sehingga
penulis berpendapat bahwa dalam hal ini untuk menentukan
apakah penghapusan yang dilakukan Undang-Undang no.1 tahun
1958 sah atau tidak dapat dilakukan dengan cara melihat syarat
47Mudakir Iskandar Syah, Pembebasan Tanah dan Reklamasi Untuk Pembangunan
Kepentingan Umum (Jakarta: Jala Permata Askara), h.3
53

sahnya pencabutan hak sesuai Undang-Undang no. 1 tahun 1961


tentang pencabutan hak yaitu,
1. Dilakukan apabila benar-benar dibutuhkan untuk
kepentingan umum;
2. Dilakukan berdasarkan tata cara yang diatur oleh Undang-
Undang;
3. Diberikan ganti rugi yang sesuai/layak.
Dalam kasus ini, syarat kesatu dan kedua sudah di penuhi,
karena tanah partikelir dianggap tidak sesuai dengan tujuan dan
cita-cita rakyat Indonesia sehingga penghapusan tanah Partikelir
sudah benar dilakukan demi kepentingan umum dan
penghapusanyapun dilakukan berdasarkan Undang-Undang no.1
tahun 1958. Untuk syarat ketiga, hingga saat penulisan ini, belum
ada ganti rugi dalam bentuk apapun kepada pihak manapun yang
berkaitan dengan kepemilikan tanah bekas Eigendom Verponding
no.12532, namun, walaupun belum diberikan ganti rugi hal tersebut
tidak menunda jalanya pencabutan hak dan penguasaanya,
sehingga pada saat berlakunya Undang-Undang no.1 tahun 1958
status bidang tanah bekas Eigendom Verponding no.12532 adalah
tanah negara walaupun belum diberikan ganti rugi.
Pada saat penulisan penelitian ini, seperti yang sudah diuraikan
dalam bab sebelumnya, sudah terdapat banyak pihak yang
menguasai tanah yang dulunya bekas Eigendom Verponding
no.12532, dan penguasaan tanah tersebut, sepanjang dilakukan
permohonan hak kepada Badan Pertanahan Nasional dan telah
diterbitkan sertifikat tanah adalah sah, namun disisi lain terdapat
banyak pihak yang menguasai bagian bidang tanah bekas
Eigendom Verponding no.12532 hanya secara fisik, sehingga hal
tersebut adalah ilegal dan dapat diberlakukan ketentuan dalam
Undang-Undang no.51 tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian
Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya. Dalam Undang-
54

Undang no.51 tahun 1960 dinyatakan bahwa,


pemakaian/pengunaan tanah tanpa izin dari pemilik tanah atau
kuasanya adalah hal yang dilarang dan apabila tetap dilakukan,
maka dapat dikenakan denda sebesar Rp.5000 atau kurungan
penjara maksimal tiga bulan, selain itu juga Undang-Undang
tersebut memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah
untuk melakukan tindakan tindakan yang dianggap perlu untuk
menertibkan okupasi illegal tersebut sesuai dengan Pasal 3 ayat 1,
“Penguasa Daerah dapat mengambil tindakan-tindakan untuk
menyelesaikan pemakaian tanah yang bukan perkebunan dan
bukan hutan tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah, yang
ada didaerahnya masing-masing pada suatu waktu.”

Pemerintah dalam melaksanakan tindakan-tindakan sebagaimana


diatur dalam Undang-Undang no.51 tahun 1960 dihimabu oleh
Menteri Agraria melalui surat tanggal 4 mei 1962 no. Sekr 9/2/4
untuk menggunakan kebijaksanaan sebagai berikut48,

1. “Tanah-tanah perkebunan, kehutanan dan lain-lainya yang


dikuasai langsung oleh Negara yang telah dipakai untuk
kepentingan Pemerintah supaya tetap terjamin, misalnya
untuk perluasan kota, bangunan-bangunan pemerintah,
lapangan olahraga untuk umum dan sesama itu.
2. Tanah-tanah perkebunan, kehutanan dan lain-lainya yang
dikuasai langsung oleh Negara, yang telah diduduki oleh
rakyat untuk perumahan atau perkampungan supaya tetap
terjamin, baik pun perumahan.perkampungan itu tetap di
tempat masing-masing atau pun dikelompok-kelompokan
sedemikian rupa hingga merupakan perkampungan yang
teratur baik, dengan usaha penukaran dengan tanah lain,
agar kompleks kompleks tersebut tidak terganggu satu sama
lain.
3. Tanah-tanah perkebunan, kehutanan dan lain-lainya,
yangdikuasai langsung oleh Negara, yang telah dipakai
rakyat untuk usaha peratanian, terutama yang ditanami
bahan makanan, jangan diadakan perubahan sebelum
tanamanya dipanen; apabila tanah-tanah tersebut memang

48
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2013), h.116
55

masuk rencana perluasan usaha perkebuna/kehutanan lagi,


maka pelaksaanaanya agar ditempuh dengan jalan
kebijaksanaan musyawarah antara pihak-pihak yang
bersangkutan untuk membentuk unit-unit yang eknomis bagi
perkebunan/kehutanan dan untuk mencarikan kemungkinan
tempat lain bagi rakyat.
4. Tanah-tanah perkebunan, kehutanan, dan lain-lainya yang
dikuasai langsung oleh Negara yang telah digarap oleh
rakyat, lagi pula tidak akan dipergunakan lagi oleh
pemerintah atau instansi yang berkepentingan, pada
dasarnya akan dijadikan tanah pertanian dan dibagikan
kepada rakyat untuk meningkatkan produksi pertanian rakyat
sambal memperbaiki sosial-ekonominya.
5. Mengingat akan hal yang tersebut pada ayat di atas, maka
kalau perlu supaya meninjau kembali areal tanah-tanah yang
dipakai oleh rakyat dan yang dipakai oleh
instansi/perkebunan/kehutanan yang bersangkutan, agar
semua tanah digunakan secara tepat dan sesuai dengan
kepentingan nasional.”

B. Tanggung Jawab Pemerintah Terhadap Bekas Pemegang


Eigendom Verponding no.12532

Dalam kasus ini, tanggung jawab pemerintah bersifat mutlak sesuai


dengan ketentuan dalam Pasal 8 Undang-Undang no.1 Tahun 1958.
Tanggung jawab Pemerintah atas dihapusnya tanah-tanah partikelir
adalah terhadap pihak berikut,

1. Pemilik tanah partikelir

Terhadap pemilik tanah partikelir pada awalanya bentuk dan


jumlah tanggung jawabnya sudah ditentukan berdasarkan
Undang-Undang no.1 tahun 1958 yaitu,

a) “Sejumlah uang, berdasarkan perhitungan harga hasil


kotor setahun, rata-rata selama lima tahun terakhir
sebelum 1942, dikurangi 40% sebagai biaya usaha,
kemudian dikalikan angka 8<< (delapan setengah),
b) Hak, bantuan dan/atau keleluasaan lain49”

49 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958 Tentang Penghapusan Tanah-Tanah


Partikelir, Pasal 8
56

Namun, seperti yang telah diuraikan pada bab sebelumnya,


Keputusan Deputi Menteri Kepala Departemen Agraria
Nomor SK.15/Depag/1966 tanggal 14 Mei Tahun 1966
tentang Pedoman Penetapan Mengenai Ganti Rugi Kepada
Bekas Pemilik Tanah Partikelir dan Peruntukan Tanahnya
telah menggantikan tata cara pemberian ganti rugi menjadi
sebagai berikut,
1. “Ganti rugi uang dengan perhitungan 20% dari harga umum
atas tanah yang dapat diterimanya, harga umum sebanyak-
banyaknya Rp.1000,- per Hektar;
2. Diberikan hak atas tanah dengan klasifikasi sebagai berikut,
a. Untuk Warganegara Indonesia –
1) Tanah perumahaan diberikan Hak milik;
2) Tanah pertanian diberikan hak milik;
3) Tanah perkebunan diberikan hak guna usaha (25
hektar)
b. Untuk Badan hukum Indonesia –
1) Tanah perumahaan diberikan hak guna bangunan;
2) Tanah pertanian diberikan hak guna usaha
3) Tanah perkebunan diberikan hak guna usaha
c. Untuk Warganegara asing atau Badan hukum asing –
1) Tanah perumahaan diberikan hak pakai;
2) Tanah pertanian diberikan hak pakai;
3) Tanah perkebunan diberikan hak pakai.”

Permasalahanya sekarang ialah apakah dapat sebuah


Keputusan Menteri menggantikan sesuatu yang sudah diatur oleh
Undang-Undang? Berdasarkan teori jenjang norma (stufentheorie)
yang diciptakan oleh Hans Kelsen, ia berpendapat bahwa norma
hukum berjenjang dan berlapis-lapis, yang berarti norma yang lebih
rendah kedudukanya dalam sebuah hirarki hukum, bersumber pada
norma yang lebih tinggi, dan seterusnya, hingga pada norma yang
tidak dapat ditelusuri lebih lanjut, yang disebut norma dasar
(Grundnorm). Norma dasar dalam teori ini berlaku sebagai suatu
norma tertinggi dalam suatu sistem/hirarki norma yang merupakan
57

gantungan dari norma yang ada dibawahnya, yang ditentukan


terlebih dahulu oleh masyarakat.50
Stufentheorie yang diciptakan oleh Hans Kelsen di kembangkan
lebih lanjut oleh muridnya yang bernama Hans Nawiasky. Ia
mengeluarkan sebuah teori yang mendukung teori Hans Kelsen
yaitu die Theorie vom Stufenordnung der Rechtsnormeni (Hierarki
Norma Hukum Negara). Dalam teorinya Hans Nawiasky
menyatakan bahwa selain adanya jenjang-jenjang dan lapisan yang
menciptakan sebuah hierarki hukum, ia juga berpendapat bahwa
norma hukum disuatu negara adalah berkelompok-kelompok dan
kelompok-kelompok tersebut terdiri dari empat kelompok besar
yaitu,
1. Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara) –
Peraturan hukum tertinggi yang dianggap “pre-supposed” atau
dengan kata lain sudah diterima sebagai sesuatu yang sangat
dasar yang tidak dapat diperdebatkan lagi yang merupakan
suatu hipotesa fiktif yang diciptakan berdasarkan persetujuan
masyarakat.
2. Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar Negara) –
Aturan yang bersifat pokok yang hanya berisikan garis besarnya
saja, sehingga diperlukan produk hukum dibawahnya yang
harus mengatur secara lebih rinci lagi.
3. Formell Gesetz (Undang-Undang) –
Aturan atau produk hukum yang lebih terperinci dan mengatur
hal yang sifatnya lebih konkret dibandingkan aturan dasar
negara.
4. Verordnung & Autonome Satzung (Aturan pelaksana & Aturan
otonom) –
Peraturan yang berfungsi sebagai pelaksanaan dan
penyelenggaraan dari ketentuan undang-undang.

50 Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan 1 (Jakarta:PT Kanisius,2007),h.41


58

Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, penerapan teori-


teori Hans Kelsen dan Hans Nawiasky dituangkan dalam Pancasila
sebagai Grundnorm dan Undang Undang no.12 tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang dalam pasal
7 menyatakan bahwa hierarki hukum Negara Kesatuan Republik
Indonesia adalah,
“(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai


dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).”51

Dalam Undang-Undang nomor 12 tahun 2011, agar tidak terjadi


perbedaan penafsiran antara Keputusan yang bersifat individual,
konkrit dan einmalig (sekali selesai) dengan Keputusan yang
bersifat sebagai regels (mengatur) dan yang mengikat secara
umum, dibuatkan ketentuan dalam Pasal 100 yang menyatakan,

“Semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan


Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, atau keputusan pejabat
lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 yang sifatnya
mengatur, yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini
berlaku, harus dimaknai sebagai peraturan, sepanjang tidak
bertentangan dengan UndangUndang ini.”

Keputusan Menteri atau dalam Undang-undang ini Peraturan


Menteri, tidak disebut secara tegas dalam Pasal 7 Undang-Undang

51
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-Undangan,
Pasal 7
59

nomor 12 tahun 2011 namun dalam Pasal 8 ayat 1 yang dinyatakan


bahwa,
“Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang
ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung,
Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi
Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi
yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau
Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang
setingkat.”52

Namun, agar dapat memiliki kekuatan hukum yang mengikat


harus dipenuhi terlebih dahulu syarat dalam Pasal 8 ayat 2 yaitu,
1. Diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi;
2. Dibentuk berdasarkan kewenangan;
Dalam kasus ini, Keputusan Deputi Menteri Kepala Departemen
Agraria Nomor SK.15/Depag/1966 dikeluarkan tidak berdasarkan
perintah Undang-Undang. Undang-Undang no.1 tahun 1958
tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partieklir dalam Pasal 8
memang menyatakan bahwa pemberian ganti rugi ditetapkan
dengan keputusan Menteri Agraria, namun yang dimaksud disini
adalah prosedur pemberian ganti rugi, bukan cara perhitungan
ganti ruginya, dengan kata lain, keputusan yang dimaksud disini
adalah keputusan dalam arti beschikking bukan regels. Cara
perhitungan ganti rugi sudah secara tegas dinyatakan caranya
dalam Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang no.1/1958, sehingga
berdasarkan die Theorie vom Stufenordnung der Rechtsnormeni
dan Stuffentheorie, Keputusan Deputi Menteri Kepala Departemen
Agraria Nomor SK.15/Depag/1966 adalah tidak dibenarkan, maka
dengan mengingat hal tersebut, perhitungan dan bentuk ganti rugi

52
Ibid. Pasal 8
60

yang berlaku sekarang adalah sebagaimana ditulis dalam Pasal 8


ayat 1 Undang-Undang no.1 tahun 1958 yaitu,
“a. Sejumlah uang, berdasarkan perhitungan harga hasil kotor
setahun, rata-rata selama lima tahun terakhir sebelum 1942,
dikurangi 40% sebagai biaya usaha, kemudian
b. Hak, bantuan dan/atau keleluasaan lain”

Professor Arie Hutagalung SH., MLi, guru besar fakultas hukum


Universitas Trisakti dan Universits Indonesia pada saat
diwawancari dikantor nya Arie Hutagalung & Partners mengenai
permasalahn yang dihadapi memberikan pendapat sebagai
berikut53,
“Di Indonesia memang sering terjadi tumpang tindih antara
peraturan Undang-Undang dan peraturan yang ada dibawahnya,
sehingga hal tersebut bukanlah hal yang baru. Dalam keadaan
dimana terjadi perbedaan antara suatu Undang-Undang dan
peraturan yang dibawahnya, baik itu peraturan pemerintah
maupun suatu Keputusan Menteri, maka yang berlaku adalah
Undang-Undang dikarenakan posisinya yang lebih tinggi dalam
hierarki perundang-undangan, tetapi bukan Peraturan Pemerintah
atau Keputusan Menteri tersebut tidak berlaku sepenuhnya,
peraturan-peraturan tersebut tetaplah berlaku hanya saja pasal-
pasal yang bertentangan dengan Undang-Undang atau peraturan
yang lebih tinggi tidak diberlakukan. Dalam kasus ini, yang
digunakan ialah Pasal 8 Undang-Undang no.1 Tahun 1958
tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir.”

2. Pihak yang memiliki hak diatas tanah partikelir


Selain pemilik tanah partikelir, para pihak yang mempunyai hak
diatas tanah partikelir yang dihapus juga mendapatkan ganti rugi
sebagaimana dinyatakan dalam Penjelasan Umum III angka 7,
“Undang-undang ini memuat juga ketentuan-ketentuan
tentang hak-hak mereka yang *1724 turut tersangkut oleh
penghapusan tanah-tanah partikelir itu, misalnya hak-hak
desa atas tanah-tanah partikelir yang pada saat
penghapusan itu merupakan tanah usaha, hak-hak para
penyewa tanah kongsi, para pemegang hak

53
Arie Hutagalung, wawancara dengan penulis, Arie Hutagalung & Partners, Jakarta, 23
Januari 2019
61

erfdiensbaarheid, vruchtgebruik, gebruik, bewoning erfpacht,


opstal dan lain-lainnya.”

Sama seperti yang sudah dijelaskan diatas, ganti rugi


kepada pihak yang memiliki hak diatas tanah partikelir dapat
berupa hak atas tanah atau sejumlah uang yang dianggap layak
sesuai dengan haknya, namun untuk pihak yang mempunyai
jaminan seperti hypotheek yang dibebankan terhadap suatu hak
yang ada diatas tanah partikelir tersebut,terhapus secara hukum
dengan dihapuskanya tanah partikelir itu sendiri sebagaimana yang
dijelaskan dalam Undang-Undang no.1 tahun 1958,
“Mengenai hypotheek dan oogstverband (yang dengan hapusnya
tanahtanah partikelir dan hak-hak pemiliknya menjadi hapus juga
karena hukum) pasal 9 menentukan, bahwa sesuai dengan pasal
40 Onteigendingsordonnantie (S. 1920 - 47A) pemegangnya tidak
berhak atas ganti-kerugian tersendiri. Ia hanya dapat menuntut
pembayaran dari jumlah ganti kerugian yang diterima oleh pemilik,
akan tetapi tuntutan itu dapat diajukannya dengan tidak perlu
menunggu saat piutangnya dapat ditagih.”

Pemberian ganti rugi dalam Pasal 8 dilakukan berdasarakan


Peraturan Pemerintah No.18 Tahun 1958 Tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir terutama
Pasal 2 sebagai berikut54,
“(1) Tanah-tanah partikelir ditegaskan satu demi satu oleh Menteri
Agraria dengan surat keputusan, yang menjelaskan namanya,
letaknya, luasnya dan sedapat mungkin keterangan-keterangan
kadaster lainya serta nama dan alamat pemiliknya
(2) Surat keputusan Menteri Agraria tersebut diatas diumumkan
dalam berita Negara dan disampaikan kepada pemilik tanah
partikelir yang bersangkutan dengan perantaraan juru sita.
Turunanya disampaikan kepada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah-
Tanah bersangkutan.
(3) Keberatan-Keberatan atas penegasan termaksud dalam ayat 1
pasal ini disampaikan kepada Menteri Agraria oleh pemiliknya
dalam waktu satu bulan sesudah tanggal penyerahan surat
keputusan yang bersangkutan kepadanya oleh juru sita dan oleh

54
Peraturan Pemerintah No.18 Tahun 1958, Pasal 2
62

pihak lain yang berkepentingan dalam waktu satu bukan sesudah


tanggal dimuatnya surat keputusan tersebut dalam Berita Negara
(4) Terhadap keberatan-keberatan tersebut di atas Menteri Agraria
mengambil keputusan yang mengikat dengan menyatakan alasan-
alasanya. Keputusan itu disampaikan kepada yang berkepentingan
sebagai surat tercatat sedang turunanya dikirimkan kepada Kepala
Kantor Pendaftaran Tanah yang bersangkutan.
(5) Sesudah menerima turunan keputusan Menteri Agraria
termaksud dalam ayat 4 di atas yang menyatakan bahwa tanah
yang bersangkutan benar tanah partikelir atau pemberitahuan dari
Menteri Agraria, bahwa setelah lampau waktu satu bulan
termaksud dalam ayat (3) di atas tidak ada yang menyampaikan
sesuatu keberatan, maka Kepala Kantor Pendaftaran Tanah yang
bersangkutan segera mencatat tanah yang ditegaskan itu sebagai
tanah Negara, dengan menyebut tanggal dan nomor surat
keputusan penegasanya.”

Namun pada tahun 1963, terdapat sedikit perubahan


terhadap ayat (2) dan (3) dari Pasal 2 diatas yang diganti oleh
Peraturan Pemerintah 37 tahun 1963 tentang Perubahan Peraturan
Pemerintah no.18 Tahun 1958, menjadi,

“(2) Surat Keputusan Menteri Pertanian/Agraria tersebut pada ayat


(1) pasal ini diumumkan melalui surat kabar yang terbit atau
beredar dalam daerah tempat letak tanah yang bersangkutan dan
disampaikan kepada pemiliknya dengan perantaraan Kepala
Agraria Daerah atau penjabat lain yang ditunjuk didalam surat
keputusan itu. Turunannya disampaikan kepada Kepala Kantor
Pendaftaran Tanah yang bersangkutan.
(3) Keberatan terhadap penegasan termaksud pada ayat (1) pasal
ini dapat dikemukakan kepada Menteri Pertanian/Agraria oleh
pemiliknya didalam waktu satu bulan sesudah surat keputusan
yang bersangkutan diserahkan kepadanya atau oleh pihak lain
yang berkepentingan didalam waktu satu bulan sesudah tanggal
dimuatnya surat keputusan tersebut didalam surat kabar, sebagai
yang ditentukan pada ayat (2) diatas.”

Dikarenakan pemberian ganti rugi bekas tanah partikelir


dihitung berdasarkan hasil kotor setahun, maka terdapat
kemungkinan perhitungan hasil kotor tersebut tidak dapat diperoleh
secara akurat dari pemilik tanah atau terdapat perbedaan pendapat
mengenai hasil yang dihasilkan tanah partikelir tersebut, maka
63

dalam Pasal 10 Peraturan Pemerintah no. 18 tahun 1958


menyatakan dalam pasal 10 ayat 2 sebagai berikut55,
“(2) Apabila ganti kerugian itu berupa uang, sedang angka-angka
mengenai hasil tanah tidak dapat diperoleh dari bekas pemilik, atau
angka-angka itu oleh Menteri Agraria tidak dapat diterima sebagai
angka-angka yang benar, maka ganti kerugian itu ditetapkan atas
dasar perbandingan dengan bekas tanah-tanah partikelir yang
menurut pendapat Panitia Kerja dan Kepala Kantor inspeksi Agraria
yang bersangkutan keadaanya sama atau paling mendekati
keadaan tanah untuk mana ganti kerugian itu harus ditetapkan
dan/atau atas dasar keterangan di atas sumpah dari saksi-saksi
yang dapat dipercaya.”

Peraturan Pemerintah no.18 tahun 1958 menegaskan


kembali bahwa likuidasi atau pemberian ganti rugi kepada pemilik
tanah-tanah partikelir harus dilakukan dalam waktu yang sesingkat-
singkatnya dalam Penjelasan Umumnya sebagai berikut,
“Sesuai dengan maksud Undang-Undang no.1 tahun 1958 maka
likuidasi tiap tanah partikelir itu akan diselesaikan di dalam waktu
yang sesingkat-singkatnya, tetapi dengan tetap tidak mengabaikan
hak-hak dari pihak-pihak yang berkepentingan, tidak saja hak-hak
dari bekas pemiliknya tetapi juga hak dari pihak ketigas, misalnya
pemegang hak hipotek, hak opstal, penyewa dan lain lainya”

Pemilik berpdendapat bahwa niatan Menteri Agraria untuk


memperbarui metode perhitungan ganti rugi tanah-tanah partikelir
yang dihapus adalah benar, dikarenakan seiring dengan
perkembangan jaman akan terjadi inflasi yang akan mengakibatkan
perubahan-perubahan terhadap nominal rupiah/harga, sehingga
memang diperlukan pembaruan metode perhitungan pemberian
ganti rugi namun tidak dengan Keputusan Menteri. Pertanyaan
yang timbul adalah, apabila perhitungan ganti rugi dalam Pasal 8
Undang-Undang no.1 tahun 1958 sudah tidak lagi sesuai dengan
iklim ekonomi dan perkembangan jaman dapatkah pemilik tanah
partikelir dan pemerintah mengadakan musyawarah dan
menetapkan harga yang tidak berdasarkan Pasal 8 Undang-

55
Peraturan Pemerintah No.18 tahun 1958, Pasal 10 ayat 2
64

Undang no.1 tahun 1958? Prof. Arie Hutagalung memberikan


pendapatnya akan hal ini pada saat diwawancarai di kantor Arie
Hutagalung & Partners, ia berpendapat sebagai berikut56,
“Memang perhitungan yang diberikan oleh Undang-Undang no.1
tahun 1958 sudahlah tidak sesuai dengan jaman saat ini, hal ini
mengakibatkan banyaknya bekas pemilik tanah partikelir yang
diberikan ganti rugi namun tetap merasa tidak puas akan harga
yang diberikan karena harga yang diberikan untuk penggantian rugi
tanah partikelir sangatlah kecil dibandinkan nilai tanah pada saat ini
namun tetap dalam pemberian ganti rugi mengenai tanah partikelir
tidaklah dikenal kata musyawarah, sehingga mau tidak mau pihak-
pihak yang terkait harus menggunakan Pasal 8 Undang-Undang
no.1 tahun 1958 sebagai acuan perhitungan pemberian ganti rugi
penghapusan tanah partikelir.”

Selanjutnya, permasalahan yang mungkin akan terjadi


adalah, apabila Pemerintah ingin memberikan ganti rugi sesuai
yang diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang no.1 Tahun 1958
tentang Penghapusan Tana-Tanah Partikelir jo. Peraturan
Pemerintah no. 18 tahu 1958 jo. Peraturan Pemerintah no.37 tahun
1963 dengan sebuah Keputusan Menteri Agraria namun bekas
pemilik tanah partikelir atau pihak yang terkait tidak dapat
menerima harga yang ada dalam Surat Keputusan tersebut dengan
alasan harga yang tidak sesuai, maka menurut penulis, bekas
pemilik tanah partikelir dapat mengajukan gugatan melalui
Pengadilan Tata Usaha Negara.
Penulis berpendapat bahwa perselisihan pendapat
mengenai harga dalam Surat Keputusan Menteri agrarian adalah
sebuah sengketa tata usaha negara sebagaimana yang
didefinisikan dalam Pasal 1 ayat 4 Undang-Undang no.5 tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yaitu,
“Sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara
orang dan/atau badan hukum perdata dengan orang dan/atau

56
Arie Hutagalung, wawancara dengan penulis, Arie Hutagalung & Partners, Jakarta, 23
Januari 2019
65

badan hukum tata usaha negara akibat dikeluarkanya suatu


keputusan tata usaha negara”

Keputusan Menteri Agraria mengenai pemberian ganti rugi


penghapusan tanah partikelir dapat dikatakan sebagai suatu
Keputusan tata usaha negara karena telah memenuhi unsur
sebagai berikut57,
1. Bentuk Tertulis –
Dapat dikatakan sebagai suatu Keputusan tata usaha negara
adalah apabila keputusan tersebut diberikan dalam bentuk
tertulis guna memudahkan pembuktian serta untuk
memberikan kepastian hukum. Keputusan Menteri Agraria
dalam rangka pemberian ganti rugi tanah partikelir dilakukan
dalam format tertulis dan diumumkan dalam Berita Negara
sesuai dengan Pasal 2 Peraturan Pemerintah no.18 tahun
1958.
2. Materi berisi tindakan hukum tata usaha negara –
Pemberian harga oleh Menteri Agraria bukanlah jual-beli
sehingga bukan merupakan lingkup perdata melainkan harga
yang akan diberikan merupakan pertimbangan dari Kementrian
Agraria.
3. Dikeluarkan oleh Pejabat dan/atau Badan tata usaha negara –
Badan dan/atau Pejabat tata usaha negara ialah lembaga atau
instansi yang meiliki kewenangan menjalankan suatu urusan
pemerintahan berdasarkan perundang-undangan. Dalam kasus
ini, yang mengeluarkan adalah Menteri Agraria sebagai
kementrian yang memiliki kewenangan untuk mengurus segala
sesuatu hal yang terkait mengenai pertanahan.

57
Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara dan UU
PTUN 2004, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010) hal.24
66

4. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku –


Keputusan Menteri Agraria mengenai pemberian ganti rugi
tanah partikelir adalah sesuai dengan kehendak Pasal 8
Undang Undang no.1 tahun 1958 tentang Penghapusan
Tanah-Tanah Partikelir.
5. Bersifat individual –
Dapat dikatakan sebagai sebuah keputusan ialah apabila
keputusan tersebut tertuju pada suatu subyek secara tertentu
termasuk alamat yang dituju. Keputusan Menteri Agraria yang
berkaitan dengan pemberian ganti rugi sudah bersifat individual
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat 1 Peraturan
Pemerintah no. 18 tahun 1958.
6. Bersifat Konkret –
Obyek yang diputuskan harus mengenai sesuatu yang
berwujud tertentu dan tidak boleh abstrak. Dalam hal ini, obyek
yang diatur dalam keputusan Menteri Agraria tidaklah abstrak,
dan tertuju pada bidang-bidang tanah partikelir yang luas
bidang tanahnya jelas.
7. Bersifat einmalig –
Sekali selesai atau einmalig berarti keputusan tersebut tidak
lagi memerlukan persetujuan intansi atasan atau intansi lain
untuk memberikan akibat hukum sebagaimana yang diatur
dalam keputusan tersebut. Keptuusan Menteri Agraria
mengenai pemberian ganti rugi tanah partikelir tidak
memerlukan persetujuan instansi lain, dikarenakan sudah
diberikan kewenangan penuh oleh Undang-Undang untuk
menjalankan ganti rugi.

Selain itu, Keputusan Menteri Agraria yang berkaitan dengan


penetapan pemberian ganti rugi tanah partikelir juga tidak termasuk
dalam Keputusan tata usaha negara yang dikecualikan sebagai
67

obyek peradilan tata usaha negara sebagaimana ditegaskan dalam


Pasal 2 Undang-Undang no. 9 tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang no.5 Tahun 1986 yaitu,
“a. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan
hukum perdata;
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan
yang bersifat umum;
c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan
persetujuan;
d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan
ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan
lain yang bersifat hukum pidana;
e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil
pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undang yang berlaku;
f. Keputusan Tata Usaha Negara yang mengenai tata usaha
Tentara Nasional Indonesia;
g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum, baik di pusat maupun di
daerah mengenai hasil pemilihan umum.”

Berdasarkan pemenuhan unsur-unsur diatas dan mengingat


Pasal 2 Undang-Undang no. 9 tahun 2004 , maka secara pasti
dapat dikatakan bahwa Keputusan Menteri Agraria yang berkaitan
dengan penetapan pemberian ganti rugi tanah partikelir
sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat 4 Undang-Undang no. 1
tahun 1958 jo. Pasal 2 Peraturan Pemerintah no. 18 tahun 1958
adalah sebuah Keputusan Tata Usaha Negara yang dapat
dijadikan obyek peradilan Tata Usaha Negara.
Di lain pihak, apabila Pemerintah sudah menetapkan suatu
harga namun tidak juga diterima oleh Pemilik tanah, pertanyaan
yang harus di jawab adalah apakah ganti rugi dianggap selesai dan
tidak perlu lagi diberi ganti rugi? Ataukah dapat dititipkan kepada
lembaga konsinyasi seperti yang dilakukan Undang-Undang no.2
tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum serta sebagaimana dimaksud pasal 1404
Burgerlijk Wetboek sebagai berikut,
68

“Jika si berpiutang menolak pembayaran, maka si berutang dapat


melakukan penawaran pembayaran tunai apa yang diutangnya,dan
jika si berpiutang menolaknya, menitipkan uang atau barangnya
kepada Pengadilan. Penawaran yang sedemikian, diikuti dengan
penitipan, membedakan si berutang dan berlaku baginya sebagai
pembayaran, asal penawaran itu telah dilakukan dengan cara,
menurut Undang-Undang; sedangkan apa yang dititipkan secara itu
tetap atas tanggung si berpiutang”

Menurut penulis, lembaga konsyinyasi kuranglah tepat


pengaplikasianya dalam hal ini, karena diantara Pemerintah dan
bekas pemilik tanah partikelir tidak perjanjian hutang piutang.
Mengenai hal ini, Prof. Arie Hutagalung menambahkan hal sebagai
berikut,
“Lembaga konsinyasi kalaupun digunakan hal tersebut
bertentangan dengan prinsip-prinsip pertanahan hukum nasional
kita. Lembaga konsyinasyi dalam rangka pemberian ganti rugi
dalam urusan pertanahan dianggap memandulkan Pasal 18
Undang-Undang Pokok Agraria (pencabutan hak)”
69

BAB V
PENUTUP

1. Kesimpulan

a. Bahwa status tanah bekas Eigendom Verponding no.12532 telah


menjadi tanah negara dengan berlakunya Undang-Undang no.1
tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir
walaupun belum diberikan ganti rugi kepada pemiliknya dan setiap
hak yang diberikan diatas tanah yang dulunya Eigendom
Verponding no.12532 adalah dibenarkan. Pemilik terakhir tanah
Eigendom Verponding no.12532 ialah Ombov Dovie berdasarkan
bukti-bukti yang ada dan terdapat kekeliruan mengenai kepemilikan
terakhir dalam Daftar Buku Tanah-Tanah Partikelir Dan Eigendom
Yang Luasnya Lebih dari 10 Bouw Yang terkena Undang-Undang
Nomor 1/1958.
b. Pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk memberikan ganti
rugi terhadap Ombov Dovie yang dapat diberikan kepada Ahli
Waris Ombov Dovie yang di tetapkan dalam Penetapan Pengadilan
Agama Tigaraksa Nomor 0631/Pdt.P/2014/PA.Tgrs tertanggal 22
Desember 2014 sesuai dengan rumusan yang tertulis dalam Pasal
8 Undang-Undang no. 1 tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-
Tanah Partikelir dan pemberian tersebut diberikan berdasarkan
prosedur yang dimuat dalam Peraturan Pemerintah no.18 tahun
1958 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Penghapusan Tanah
Partikelir tentang Pelaksanaan Undang-Undang Penghapusan
Tanah Partikelir jo. Peraturan Pemerintah no.37 tahun 1963
tentang Perubahan Peraturan Pemerintah no.18 Tahun 1958.
70

2. Saran

a. Pemerintah dapat melakukan verifikasi terlebih dahulu dengan PT.


Kantor Tata Usaha Versluis yang memang didirkan untuk
menyimpan data kepemilkan dari tanah bekas hak barat untuk
memastikan lebih lanjut mengenai siapa pemilik terakhir Eigendom
Verponding 12532 apabila terdapat keraguan akan kepemilikan
surat-surat yang dipunyai oleh Ombov Dovie. Untuk pihak-pihak
yang menduduki tanah bekas Eigendom Verponding 12532 secara
illegal sebaiknya dilakukan penindakan untuk menertibkan biadng-
bidang tanah di Jakarta.
b. Pemberian ganti rugi sudah diwajibkan oleh Undang-Undang
namun Pemerintah apabila merasa perhitungan pemberian ganti
rugi dalam Pasal 8 Undang-Undang no.1 tahun 1958 dianggap
tidak lagi sesuai, maka Pemerintah dapat mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang berisikan mengenai
cara perhitungan pemberian ganti rugi terhadap bidang tanah
partikelir yang dihapus dengan Undang-Undang no.1 tahun 1958
yang disesuaikan dengan ekonomi dan perkembangan pada saat
ini.
71

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan


Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya,
Jakarta: Universitas Trisakti, 2013

Moleong, Lexy. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT.


remaja Rosdakarya.

Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Hukum Universitas Trisakti,


Jakarta: Universitas Trisakti, 2011

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta:Prenada Media


Group, 2006

Saryono, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Alfabeta, 2010

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas


Indonesia, 2012.

Sachrizal Niqie Supriyono, “Keterlibatan Perseroan Terbatas Versluis


Dalam Transaksi Tanah Bekas Hak Barat” (Studi Wilayah
Hukum Kota Batu, Program Studi Kenotariatan Universitas
Brawijaya, Malang, 2016)

M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, Jakarta:Sinar


Grafika,2016

Waskito, Hadi Arnowo, Pertanahan, Agraria dan Tata Ruang, (Jakarta:


KENCANA, 2017

Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan 1 (Jakarta:PT


Kanisius,2007)

Mudakir Iskandar Syah, Pembebasan Tanah dan Reklamasi Untuk


Pembangunan Kepentingan Umum (Jakarta: Jala Permata
Askara),

Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha


Negara dan UU PTUN 2004, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010)

AP Parlindungan, Pencabutan dan Pembebasan Hak Atas Tanah


Suatu Studi Perbandingan (Bandung: Mandar Maju 1990)
72

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958 Tentang Penghapusan Tanah-


Tanah Partikelir

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 UUPA

Undang-Undang nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1960 Tentang Pelaksanaan


ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria

Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 1958 tentang


Pelaksanaan Undang-Undang Penghapusan Tanah Partikelir

https://butew.com/2018/01/22/penggolongan-penduduk-indonesia-
pada-masa-pemerintahan-kolonial-belanda/
Keputusan Deputi Menteri Kepala Departemen Agraria Nomor SK.15/Depag/1966
tanggal 14 Mei Tahun 1966,

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA AGRARIA/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL


NOMOR 12 TAHUN 1999 TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN MENTERI NEGARA
AGRARIA/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 13 TAHUN 1997 TENTANG
PENIADAN GANTI RUGI ATAS TANAH-TANAH YANG TERKENA UNDANG-UNDANG
NOMOR 1 TAHUN 1958

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA AGRARIA/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL


NOMOR 13 TAHUN 1997 TENTANG PENIADAN GANTI RUGI ATAS TANAH-TANAH YANG
TERKENA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1958

Peraturan Pemerintah No.18 tahun 1958

Anda mungkin juga menyukai