Anda di halaman 1dari 14

RUU CIPTA KERJA DAN KAITANNYA DENGAN HUKUM

AGRARIA

Dosen pengajar :
Dr. H . Adwin Tista SH,MH,Mkn

Disusun oleh :
Indra Gilang Pratama (19810619)
Muhammad Anezha Fikry (19810612)
Muhammad Rifky Rafly (19810552)
Renaldi Bayu Saputro (19810610)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN MUHAMMAD ARSYAD AL
BANJARI BANJARMASIN
2020

ii
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Syukur kehadiran Allah SWT yang telah memberikan anugrah,kesempatan dan pemikiran kepada
kami untuk dapat menyelesaikan makalah ini .
Tak lupa penulis juga mengucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing yang telah membantu
tugas ini menjadi tugas yang benar dan menarik untuk dibaca .
Yang terakhir penulis juga mengucapkan terimaksih kepada teman – teman seperjuangan karena
telah membantu dalam penulisan makalah ini sehingga dapat selesai tepat waktu.
Semua dirangkum dalam makalah ini , agar pemahaman terhadap permasalahan lebih mudah di
pahami dan lebih singkat dan akurat .
tentang RUU CIPTA KERJA DAN KAITANNYA DENGAN HUKUM AGRARIA . Akhirnya,
kami penyusun mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu proses
pembuatan makalah ini.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih belum semmpurna untuk menjadi lebih sempurna lagi
saya membutuhkan kritik dan saran dari pihak lain untuk membagikannya kepada saya demi
memperbaiki kekurangan pada makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaaat bagi anda semua.
Terimakasih.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Banjarmasin , 19 OKTOBER 2020

Tim Penyusun

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 . Latar Belakang masalah 1
1.2 . Rumusan Masalah 2
1.3 . Tujuan Penulisan 2
1.4 . Kegunaan penulisan 2
1.5 . Metodelogi Penulisan 2

BAB II ANALISA MASALAH 3


2.1 . Bagaimana dampak dari RUU Cipta Kerja terhadap tanah pertanian 8
2.2 . Bagaimana dampak dari RUU Cipta Kerja terhadap kehutanan 9
2.3 . Bagaimana dampak dari RUU Cipta Kerja terhadap tanah adat 10
2.4 . Bagaimana dampak dari RUU Cipta Kerja terhadap hak guna usaha 11

BAB III PENUTUP 14


3.1 . Kesimpulan 14
3.2 . Saran 15

DAFTAR BACAAN iv

1.1 Latar Belakang Masalah

iv
Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) yang disetujui DPR
(5/10/2020) kemarin menjadi Undang-Undang (UU) menuai kritik dan penolakan dari publik
dalam berbagai bentuk ekspresi. Karena substansi materi UU terdiri dari 905 halaman dan
186 Pasal ini hanya akan menguntungkan elit politik dan pengusaha. UU ini juga lebih
mengutamakan logika ekonomi belaka agar investor mudah dan leluasa menanamkan modal.
Akibatnya, DPR dan presiden dikendalikan para pengusaha dalam mendesain UU ini untuk
memasukan agenda kepentingan terselubung (hiden interest agenda).

Secara formil atau tata cara pembuatannya sesungguhnya UU Ciptaker yang terdiri dalam
15 bab itu diambil berbagai UU sektoral ini sulit diterima akal sehat. Model Omnibus
Law sebagai pilihan caranya pun belum dikenal dalam sistem pembentukan perundang-
undangan di Indonesia sebagaimana diatur ke dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Akibatnya UU ini disusun tidak dalam
kelaziman penyusunan perundang-undangan yang bersifat teknokratik. Maka berpotensi cacat
secara formil. Sebenarnya teknis pembentukan produk UU telah diatur rigid dalam UU No.
12 Tahun 2011, yakni dimulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan
pengundangan. UU Ciptaker ini dibuat tidak mengikuti prosedur teknokratik sejak dari
perencanaannya yang sangat tertutup tanpa pelibatan partisipasi publik dan lebih
mempercayakan pelibatan dari para pengusaha dan elit politik. Padahal dalam pembuatan
peraturan perundang-undangan perencanaan dan penyusunan sangat esensial, karena
sesungguhnya dalam perencanaan dan penyusunan inilah secara teknik UU ini akan diarahkan
pada tujuan tertentu politik hukumnya.

Dalam tahap perencanaan dan penyusunan ini diperlukan pelibatan dan partisipasi publik
yang luas dan beragam dari berbagai latar terutama subjek hukum (adresat) yang hendak
dikenai dari UU ini, yakni pekerja atau buruh dan para pemangku kepentingan (stakeholders).
Sebagaimana diatur dalam Pasal 96 UU No. 12 Tahun 2011 yang mengatur perlunya
partisipasi publik dalam perencanaan dan penyusunan suatu UU. Dalam tahapan perencanaan
dan penyusunan ini seharusnya Naskah Akademik (NA) dan Draf RUU Ciptaker sudah harus
dipublikasikan dan diperdebatan secara luas untuk menyerap aspirasi publik. Realitasnya UU
Ciptaker ini tak melalui pelibatan publik yang luas dalam proses ini hanya melibatkan
segelintir pihak saja. Bahkan draf RUU yang disampaikan kepada publik simpang siur alias
kontroversial otentisitasnya. Publik hanya diperontonkan perdebatan pada saat pembahasan
UU ini di DPR, padahal dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan pembahasan
di DPR tidak begitu penting dan esensial, karena tahapan pembahasan ini hanya bersifat
politis bukan teknokratis tidak lagi membahas semua pasal, ayat dan bagian dari RUU,
melainkan hanya membahas aspek-aspek politis dalam daftar inventarisasi masalah (DIM)
sehingga tahapan ini hanyalah tahapan pemanis (sweetener) saja.

BAB I
v
PENDAHULUAN
1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan pokok pikiran diatas, terdapat masalah utama yang menjadi kajian penulisan
makalah ini, yaitu: “Bagaimana Dampak Dari RUU Cipta Kerja Terhadap Beberapa Aspek
Dalam Hukum Agraria ?”. Untuk lebih memfokuskan masalah dari masalah utama maka penulis
membatasi permasalahan yang dirumuskan dalam beberapa pernyataan sebagai berikut:
a. Bagaimana dampak dari RUU Cipta Kerja terhadap tanah pertanian
b. Bagaimana dampak dari RUU Cipta Kerja terhadap kehutanan
c. Bagaimana dampak dari RUU Cipta Kerja terhadap tanah adat
d. Bagaimana dampak dari RUU Cipta Kerja terhadap hak guna usaha
e. Bagaimana dampak dari RUU Cipta Kerja terhadap status WNA yang berhak memilki status
hak milik

1.3  Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk:
a. Menjelaskan dampak dari RUU Cipta Kerja terhadap tanah pertanian
b. Menjelaskan dampak dari RUU Cipta Kerja terhadap kehutanan
c. Menjelaskan dampak dari RUU Cipta Kerja terhadap tanah adat
d. Menjelaskan dampak dari RUU Cipta Kerja terhadap hak guna usaha
e. Menjelaskan dampak dari RUU Cipta Kerja terhadap status WNA yang berhak memilki status
hak milik

1.4  Kegunaan Penulisan


Kegunaan dari penulisan makalah ini adalah untuk:
a. Memahami dampak dari RUU Cipta Kerja terhadap tanah pertanian
b. Memahami dampak dari RUU Cipta Kerja terhadap kehutanan
c. Memahami dampak dari RUU Cipta Kerja terhadap tanah adat
d. Memahami dampak dari RUU Cipta Kerja terhadap hak guna usaha
e. Memahami dampak dari RUU Cipta Kerja terhadap status WNA yang berhak memilki status
hak milik

vi
1.5 Metodelogi Penulisan

Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah metode normatif . Metode
normatif atau penelitian perpustakaan adalah penelitian yang mengkaji studi dokumen , yakni
menggunakan berbagai data sekunder seperti peraturan perundang-undangan, keputusan
pengadilan , teori hukum , dan dapat berupa pendapat para ahli . penelitian jenis normatif ini
menggunakan analisis kualitatif yakni dengan menjelaskan data- data yang ada menggunakan
kata-kata atau pernyataan bukan dengan angka.

Tujuan nya untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai suatu keadaan
berdasarkan data yang di peroleh, mengumpulkan, dan menganalisis data tersebut sehingga
menjadi informasi baru yang dapat di gunakan untuk menganalisa mengenai masalah yang
sedang di teliti.

BAB II
vii
ANALISA MASALAH
2.1 Bagaimana dampak dari RUU Cipta Kerja terhadap tanah pertanian

A. Pasal 122 angka 1 RUU Cipta Kerja, yang menghapus Pasal 44 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41
Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Potensi implikasi :
Perubahan tersebut dapat mempercepat alih fungsi tanah pertanian dan mengancam keberadaan
kelompok petani. Demi investasi non-pertanian, RUU Cipta Kerja bermaksud melakukan perubahan
terhadap UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Dengan
perubahan tersebut, pemerintah dan perusahaan tak memiliki kewajiban terkait syarat kajian kelayakan
strategis, rencana alih fungsi tanah dan kesesuaian rencana tata ruang wilayah. Dampaknya, akan
mempercepat terjadinya perubahan lanskap tanah pertanian terjadi secara cepat. Selain itu, kewajiban
menyediakan tanah pengganti bagi petani juga terhapus.

Menurut kami, Persoalan lain yang akan muncul yakni menyusutnya lahan pertanian. satu rumah
tangga petani hilang akibat konversi tanah dalam sepuluh tahun. Bisa dibayangkan tanpa RUU Cipta kerja
saja, tercatat dalam sepuluh tahun (2003–2013) konversi tanah pertanian ke fungsi non-pertanian, satu
rumah tangga petani hilang, Berdasarkan catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), terjadi
penyusutan lahan yang dikuasai petani sebesar 10,6 persen menjadi 4,9 persen. Selain itu, laporan
Kementerian Pertanian terkait Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) menyebutkan,
luas lahan baku sawah, baik beririgasi maupun non irigasi, mengalami penurunan rata-rata seluas 650 ribu
hektar per tahun.

B. Pasal 66 RUU Ciptaker yang merevisi Undang-Undang nomor 18 tahun 2012 tentang pangan.
“Ketersediaan Pangan adalah kondisi tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri, cadangan
pangan nasional,danimpor pangan”

Potensi implikasi :
Pengamat menilai Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) berbahaya untuk
petani dan sektor pertanian di Indonesia karena akan menyetarakan impor dengan produksi lokal sebagai
sumber penyediaan pangan nasional.
Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Tani Indonesia (Perhepi) Hermanto Siregar mengatakan dengan
menyetarakan produk impor dengan produksi dalam negeri sebagai sumber pangan nasional, maka
pemerintah seperti mempertandingkan dua petinju yang tidak seimbang. Indonesia mungkin memiliki
viii
kelebihan pada komoditas pertanian industri seperti kelapa sawit, namun untuk padi dan beberapa
komoditas pangan yang dibutuhkan, petani Indonesia masih memiliki kapasitas yang lemah. Hermanto
mengatakan apabila masih memungkinkan, maka RUU Omnibus Ciptaker harus direvisi karena tidak
konsisten dengan adanya kebijakan komoditas strategis untuk beberapa komoditas pangan. Apabila petani
bisa fleksibel dengan beralih menjadi pengusaha UMKM maka tidak masalah, namun Hermanto
mengatakan kemampuan petani masih sangat terbatas untuk beralih profesi apabila kalah bersaing dengan
produk pertanian impor.

Dalam draf RUU Ciptaker pemerintah ingin menjadikan impor sebagai salah satu sumber utama
penyediaan pangan dalam negeri, selain dari produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional.
Kebijakan impor nantinya diambil pemerintah pusat dengan menetapkan peraturan impor pangan dalam
rangka keberlanjutan usaha tani. Dalam Undang-Undang yang berlaku saat ini, pemerintah mengutamakan
produksi dalam negeri untuk pemenuhan kebutuhan pangan, sementara impor hanya menjadi pilihan untuk
memenuhi kebutuhan pangan apabila ada kekurangan atau tidak ada sama sekali dalam produksi dalam
negeri.

2.2 Bagaimana dampak dari RUU Cipta Kerja terhadap kehutanan

A. Pasal 37 angka 16 ,
‘’Pemegang hak atau Perizinan Berusaha wajib melakukan upaya pencegahan dan pengendalian
kebakaran hutan di areal kerjanya’’ .
Pasal 49 UU No. 41 Tahun 1999 , tentang Kehutanan
Pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya

Potensi implikasi :
Perubahan Pasal 37 angka 16 RUU Cipta Kerja atas Pasal 49 UU No. 41 Tahun 1999 menyebabkan
pemegang izin tidak lagi diwajibkan bertanggung jawab atas kebakaran hutan yang terjadi di area kerjanya
dan hanya diwajibkan melakukan upaya pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan di area kerjanya.
Mengacu pada Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009 seharusnya pelaku usaha wajib bertanggung jawab atas
kebakaran hutan berdasarkan konsep pertanggungjawaban mutlak atau strict liability karena memenuhi
unsur “menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup”. Perubahan terhadap Pasal 49 UU No.
41 Tahun 1999 ini semakin meningkatkan potensi pelaku usaha tidak dikenai pertanggungjawaban atas
kerusakan yang dibuat.6

ix
2.3 Bagaimana dampak dari RUU Cipta Kerja terhadap tanah adat

A . Dari sisi prosedur, penyusunan RUU CiLaKa melanggar hak Masyarakat Adat untuk berpartisipasi di
dalam proses pembentukan hukum.
Pemerintah menyerahkan proses perumusan Rancangan Omnibus Law CiLaKa kepada Satgas
Omnibus Law yang berisikan lebih dari 100 orang dan terdiri dari unsur pemerintah, pengusaha,
perguruan tinggi. Tak satupun yang berasal dari perwakilan organisasi masyarakat sipil. Sejak
pembahasan Prolegnas sampai penyusunan Draf yang dilakukan oleh Kementerian Koordinator
Perekonomian RI, Naskah Akademik dan draf RUU tidak dapat diakses oleh masyarakat. Sementara di
media, pemerintahan Joko Widodo mentargetkan RUU CiLaKa selesai dalam 100 hari kerja. Hal ini jelas
melanggar Pasal 89 jo 96 UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan yang mewajibkan pemerintah untuk membuka akses secara mudah segala rancangan peraturan
perundang-undangan kepada masyarakat. Perlu diingat bahwa pembahasan Rancangan Omnibus Law
CiLaKa sekalipun haruslah tetap tunduk pada UU Nomor 12 tahun 2011 tersebut .

Rancangan regulasi yang berisi 1.224 pasal itu dianggap kalangan pemerhati ini sebagai
melanggengkan ketidakpastian hukum dan lemahnya pengakuan terhadap masyarakat adat serta
berpotensi memperkeruh tumpang tindih hak atas wilayah adat di Indonesia. Rancangan omnibus law juga
dinilai mengabaikan perlindungan hak masyarakat hukum adat dan lingkungan hidup. Dalam Kertas
Kebijakan Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) yang
diterima Ekuatorial, RUU Cipta Kerja dikatakan berorientasi pada kemudahan dan percepatan investasi
yang dianggap mampu menciptakan lapangan kerja.

B. Rancangan Omnibus Law CiLaKa Bertentangan dengan UUD 1945 dan Hukum HAM.

Rancangan Omnibus Law CiLaKa jelas bertentangan dengan pengakuan dan perlindungan terhadap
Masyarakat Adat yang telah diatur di dalam UUD 1945. Salah satu buktinya adalah turut dihapusnya
ketentuan di dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mengecualikan aktivitas
perladangan dengan cara membakar sebagai ekspresi kearifan tradisional Masyarakat Adat dari ancaman
pidana. Dihapusnya pasal pengecualian tersebut nyata-nyata menunjukkan sikap anti negara yang secara
terang benderang mengancam masyarakat adat dan kearifan tradisionalnya dalam mengelola wilayah
adatnya.

x
Dengan demikian, Rancangan Omnibus Law CiLaKa tidak saja secara terang terangan bertentangan
dengan pengakuan dan perlindungan Konstitusi terhadap Masyarakat Adat sebagaimana diatur di dalam
Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945 tetapi juga menunjukkan sikap bertentangan dengan
hukum HAM khususnya Konvensi ILO 111/1958 yang mengatur dan memberikan jaminan kepada
Masyarakat Adat untuk menjalankan pekerjaan yang secara tradisional atau secara turun temurun
digelutinya, yang oleh Konvensi ILO 111 disebut dengan traditional occupation. Selanjutnya, perampasan
terhadap wilayah adat juga merupakan pelanggaran terhadap Konvensi CERD. Kedua konvensi tersebut
telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia.

Pada tahun 2019-2020 setidaknya telah ada lebih dari 100 orang peladang tradisional yang telah
dikriminalisasi. Ini berarti bahwa ancaman kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat akan semakin besar.
Celakanya, Rancangan Omnibus Law CiLaKa justeru melindungi pemegang izn usaha (perorangan dan
korporasi) dari ancaman pidana sebagai akibat dari kebakaran hutan yang terjadi di area kerjanya.
Perlindungan terhadap pemegang izin ini ditunjukkan dengan menghapus ketentuan pidana bagi
pemegang izin usaha yang diatur di dalam Pasal 49 UU Kehutanan.

2.4 Bagaimana dampak dari RUU Cipta Kerja terhadap hak guna usaha

A. Berdasarkan Pasal 127 ayat (3) hak pengelolaan diberikan selama 90 tahun. Hal pengelolaan ini dapat
diberikan hak guna usaha ( HGU), hak guna bangunan ( HGB) dan hak pakai (HP). Sedangkan, Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) telah mengatur
bahwa jangka waktu HGU diberikan selama 25 atau 35 tahun kepada pemohon yang memenuhi
persyaratan.

Potensi implikasi :
Ketentuan ini merupakan bentuk penyimpangan Hak Menguasai dari Negara (HMN) dan berpotensi
penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Kemudian, korporasi besar akan semakin mudah untuk
melakukan praktik monopoli karena jangka waktu hak pengelolaan atas tanah yang sangat lama. Ini cara
memutar tersembunyi pemerintah, yang ingin kembali memprioritaskan HGU, HGB, HP untuk investor
besar. Di tengah ketimpangan penguasaan tanah akibat.monopoli perusahaan yang sudah terjadi. Selain
itu, ketentuan soal jangka waktu hak pengelolaan atas tanah bertentangan dengan putusan Mahkamah
Konstitusi No. 21-22/PUU-V/2007. Putusan MK tersebut membatalkan Pasal 22 Undang-Undang Nomor
25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang mengatur pemberian HGU selama 95 tahun.

xi
2.5 Bagaimana dampak dari RUU Cipta Kerja terhadap status WNA yang berhak
memilki Status hak milik

Pasal 144 A .angka 1


“ Hak milik atas sarusun dapat diberikan kepada warga negara Indonesia, badan hukum Indonesia,
WNA yang mempunyai ijin sesuai ketentuan peraturan perundang – undangan, badan hukum asing yang
mempunyai perwakilan di Indonesia , atau perwakilan Negara asing dan lembaga internasional yang
berada atau punya perwakilan di Indonesia “.
B. Pasal 144 angka 2
“ Hak milik atas sarusun dapat beralih atau dapat dialihkan dan dijaminkan” .
C. Pasal 144 angka 3
“ Hak milik ats sarusun dapat dijaminkan dengan dibebeani hak tanggungan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang – undangan “.

Potensi implikasi :
Lewat perubahan aturan ini pemerintah berupaya menggerakan pasar apartemen di kalangan WNA
yang notabene mayoritas berasal dari kalangan menengah atas. Dia juga meyakini, aturan tersebut tidak
akan membuat seolah-olah apartemen di Indonesia bakal didominasi hak miliknya oleh orang asing.

Kendati begitu, WNA pun dinilai tidak serta merta berbondong-bondong membeli apartemen di
Indonesia kendati mereka bisa memiliki status hak milik mulai sekarang. Pasalnya, ada banyak faktor lain
yang mesti jadi pertimbangan WNA untuk membeli apartemen.

Ambil contoh, kondisi iklim investasi dan ekonomi domestik hingga status WNA itu sendiri ketika
berada di Indonesia, apakah hanya sebagai turis atau pekerja ekspatriat. Apalagi sekarang lagi pandemi,
tentu semua orang akan pikir-pikir dulu untuk beli apartemen .

Di sisi lain, pemerintah sebaiknya juga menyediakan aturan yang mempermudah WNI kelas menengah
atau pekerja untuk mendapat hunian apartemen di tengah-tengah kota dengan harga yang terjangkau. Hal
ini berkaca dari tingginya angka pekerja dari kalangan kelas menengah yang beraktivitas sehari-hari di
pusat kota.

BAB III

xii
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
1. Prosedur perencanaan dan pembentukan RUU Cipta Kerja tidak sejalan dengan tata cara atau
mekanisme yang telah diatur Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan. Aturan ini masih berlaku dan memiliki kekuatan hukum yang
mengikat.
2. RUU Cipta Kerja akan membutuhkan sekitar 516 peraturan pelaksana yang bertumpu pada
kekuasaan dan kewenangan lembaga eksekutif. Sehingga berpotensi memicu terjadinya
penyalahgunaan wewenang atau abuse of power.
3. Tidak ada jenis undang-undang yang lebih tinggi atau superior atas undang-undang lainnya.
Sehingga, apabila RUU Cipta Kerja disahkan, seakan-akan ada undang-undang superior. Hal ini
akan menimbulkan kekacauan tatanan hukum dan ketidakpastian hukum.
4. Pemunduran atas kewajiban negara memenuhi hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
sehingga melanggar kewajiban realisasi progresif atas pemenuhan hak-hak sosial dan ekonomi.
5. Pelemahan atas kewajiban negara untuk melindungi hak atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat, yang tercermin dari pembatasan hak untuk berpartisipasi dan hak atas informasi. Hal ini
diantaranya terkait dengan ketentuan yang mengubah Izin Lingkungan menjadi Persetujuan
Lingkungan, berkurangnya kewajiban melakukan Amdal bagi kegiatan usaha, hingga berpotensi
terjadinya alih tanggung jawab kepada individu.
6. Pemunduran atas upaya pemenuhan hak atas pangan dan ketimpangan akses dan kepemilikan
sumber daya alam terutama tanah antara masyarakat dengan perusahaan (korporasi). Hal ini di
antaranya terkait dengan penghapusan kewajiban pembangunan kebun plasma untuk masyarakat
minimal 20 persen dari luasan izin HGU, pembentukan Bank Tanah yang akan menjadikan lahan
sekadar kepentingan komoditas ekonomi dengan luasan pengelolaan tanah yang tidak dibatasi
dan jangka waktu hak yang diberikan selama 90 tahun.

3.2 SARAN

xiii
Komnas HAM RI merekomendasikan agar Presiden RI dan DPR RI mempertimbangkan untuk
tidak melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja dalam rangka penghormatan, perlindungan, dan
pemenuhan HAM bagi seluruh rakyat Indonesia.

Politik penghukuman dalam RUU Cipta Kerja bernuansa diskriminatif, karena lebih menjamin
kepentingan sekelompok orang atau kelompok pelaku usaha atau korporasi. Sehingga mencederai
hak atas persamaan di depan hukum.

xiv
DAFTAR BACAAN

https://amp-kompas-
com.cdn.ampproject.org/v/s/amp.kompas.com/nasional/read/2020/08/10/20202481/omnibus-law-atur-
hgu-90-tahun-kpa-lebih-parah-dari-masa-penjajahan?
amp_js_v=a6&amp_gsa=1&usqp=mq331AQFKAGwASA%3D#aoh=16035425602961&referrer=https
%3A%2F%2Fwww.google.com&amp_tf=Dari%20%251%24s

https://www.ekuatorial.com/id/2020/04/omnibus-law-dan-buramnya-perlindungan-bagi-masyarakat-adat/

https://www.aa.com.tr/id/ekonomi/pengamat-ruu-omnibus-law-ciptaker-berbahaya-untuk-
pertanian/1737436

http://www.aman.or.id/2020/03/omnibus-cilaka-yang-membawa-petaka-bagi-masyarakat-adat/

https://www.google.com/amp/s/amp.kompas.com/nasional/read/2020/08/10/20202481/omnibus-law-atur-
hgu-90-tahun-kpa-lebih-parah-dari-masa-penjajahan

https://www.google.com/amp/s/amp.tirto.id/omnibus-law-ciptaker-bebaskan-wna-punya-rumah-apa-
masalahnya-f5Jw

https://amp.kontan.co.id/news/di-uu-cipta-kerja-wna-boleh-punya-apartemen-dengan-status-hak-milik

https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt5f854ded1a0b5/menguak-cacat-formil-uu-cipta-kerja-oleh--
agus-riewanto/

xv

Anda mungkin juga menyukai