Anda di halaman 1dari 13

HAK PENGELOLAAN ATAS TANAH

Setiap instansi atau lembaga pemerintahan, dalam menjalankan tugas yang


diembannya sudah tentu memerlukan bidang tanah, baik untuk pembangunan
gedung kantor atau kegiatan operasionalnya. Bidang tanah tersebut ada yang
diperoleh dari pemberian langsung oleh pemerintah atau dari hasil pembelian
milik penduduk. Status bidang tanah itu tetap sebagai aset Pemerintah
disebabkan oleh kareana sumber dananya berasal dari Pemerintah. Adapun
masalah tertib administrasi yang perlu menjadi perhatian adalah tentang
bagaimana tata cara penguasaan oleh instansi itu menjadi tertib dan teratur
serta tertib pengawasannya.
Di zaman Pemerintaha Hindia Belanda dahulu sudah ada ketentuan yang berlaku
walaupun belum menyentuh tertib penguasannnya. Pada waktu itu berlaku
ketentuan yang terdapat dalam Staatsblad 1911 no 110 juncto Staatsblad 1940
no 430. Di dalam lembaran Negara ini disinggung mengenai harta benda,
bangunan dan lapangan militer. Mengenai bidang tanah disebut atau dirangkum
ke dalam kata is lands-onroerende goederen atau "harta benda tetap/harta
benda tidak bergerak milik Negara" sedangkan tertib administrasi penguasaan
oleh instansi itu dipergunakan oleh istilah in beheer atau "dalam penguasaan".
Sebagai bukti bahwa bidang tanah itu ada dalam penguasaan suatu instansi
tertentu, ialah bahwa instansi tersebut memiliki anggaran belanja dari
pemerintahan untuk membiayai pemeliharaannya.
Istilah in beheer ini kemudian berkembang atau dikembangkan demikian luas
pengertiannya sehingga menimbulkan adanya kerancuan di bidang tertib hukum
antar instansi pemerintah dengan instansi pemegang hak dan pihak ketiga.
Pokok permasalahan inilah yang menjadi fokus pengkajian dan perlu ada
perhatian untuk menemukan jalan keluarnya.
Dengan terbitnya Peraturan Pemerintah no. 8 tahun 1953 tentang Penguasaan
Tanah Negara, telah diatur bahwa openguasaan atas tanah Negara terbagi dalam
dua (2) subyek :
1. Penguasaan tanah negara berdasarkan Undang-Undang atau Peraturan lain
yang ada pada kementerian, jawatan atau daerah swatantra pada saat
berlakunya peraturan ini.
2. Penguasaan atas tanah negara selebihnya ada pada Menteri Dalam Negeri.
Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1953 yang perlu
mendapatkan perhatian adalah ketentuan yang diatur dalam pasal 92 oleh
karena materi hukumnya menjadi embrio lahirnya pengertian Hak Pengelolaan.
Pasal 9 tersebut antara lain mengatur bahwa kementerian, jawatan atau daerah
swatantra sebelum dapat menggunakan tanah-tanah Negara yang penguasanya
diserahkan kepadanya, dapat memberi izin kepada pihak lain untuk memakai
tanah itu dalam waktu yang pendek, yang sifatnya sementara serta setiap waktu
harus dapat dicabut kembali. Ketentuan ini terus berlaku sampai tahun 1965

walaupun undang-undang no 5 tahun 1960 tidak mengaturnya. Berdasarkan


pasal peralihan yang ada, maka Peraturan Pemerintah no 8 tahun 1953 masih
tetap berlaku. Penguasaan bidang tanah oleh instansi pemerintah berdasarkan
Peraturan Pemerintah ini ditindaklanjuti dengan kebijakan yang tertuang dalam
Peraturan Menteri Agraria no 9 tahun 1965.
Dalam peraturan Menteri Agraria ini diatur bahwa yang semula hanya menyebut
kata "penguasaan" dibubuhi kata hak dan menjadi "hak penguasaan", juga
terdapat ketentuan bahwa Hak Penguasaan ini dikonversi dan dipecah menjadi
dua (2) jenis hak, ialah :
1. Sepanjang tanah-tanah tersebut hanya dipergunakan untuk kepentingan
instansi itu sendiri, dikonversi menjadi HAK PAKAI selama dipergunakan.
2. Tanah-tanah tersebut selain dipergunakan untuk kepentingan instansi itu
sendiri, dimaksudkan juga untuk dapat diberikan dengan sesuatu hak kepada
pihak ketiga, maka hak penguasaan itu dikonversi menjadi HAK PENGELOLAAN
yang berlangsung selama tanah itu dipergunakan untuk keperluan itu oleh
instansi yang bersangkutan.
Diatur bahwa Hak Pengelolaan ini mengandung kewenangan kepada pemegang
haknya untuk :
a. Merencanakan peruntukan dan pengguanaan tanah tersebut.
b. Menggunakan tanah itu untuk kepentingan sendiri.
c. Menyerahkan bagian-bagian dari tanah itu kepada pihak ketiga dengan hak
pakai yang berjangka waktu enam (6) tahun.
d. Menerima uang pemasukan, ganti rugi dan atau uang wajib tahunan.
Rumusan pengertian Hak Pengelolaan menadi demikian luas dan berlaku sampai
dengan berlakunya Peraturan Menteri Dalam Negeri no 5 tahun 1973.
Dengan terbitnya Peraturan Menteri tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan
Mengenai Penyediaan dan Pemberian Tanah untuk Keperluan Perusahaan,
diaturlah kebijakan yang lebih luas lagi. Pasal 3 mengatur bahwa Hak
Pengelolaan yang diberikan kepada perusahaan berisikan wewenang untuk:
a. Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan.
b. Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan usahanya.
c. Menyerahkan bagian-bagian daripada tanah itu kepada pihak ketiga menurut
persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan atau pemegang hak tersebut yang
meliputi segi-segi peruntukan, penggunaan, jangka waktu dan keuangannya
dengan ketentuan bahwa pemberian hak atas tanah kepada pihak ketiga
dilakukan oleh pejabat yang berwenang.
Kecuali adanya kebijakan oleh tingkat menteri mengenai Hak Pengelolaan ini,
masih ada kebijakan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah no 40 tahun 1996
tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. Materi
hukum hak pengelolaan hanya disisipkan dalam pasal 1 ayat 2 yang intinya
mengandung pengertian adanya delegasi wewenang hak menguasai dari Negara
kepada pemegang hak pengelolaan. Tidak ada penjelasan apakah delegasi

kewenangan ini bersumber atau mengacu pada pasal 2 ayat 4 Undang-Undang


Pokok Agraria atau kepada Peraturan-Peraturan Menteri tersebut di atas. Hak
Pengelolaan yang bersumber pada ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria
kiranya belum pernah diberikan.
Rumusan dan pengertian mengenai Hak Pengelolaan yang diatur berdasarkan
Peraturan Pemerintah no 8 tahun 1953 sampai dengan Peraturan Menteri Dalam
Negeri no 5 tahun 1974 berkembang sedemikian luasnya sehingga dapat
menimbulkan tumpang tindih antar kewenangan instansi, dan juga berdampak
kepada aspek sosial, ekonomi dan yuridis.
Adapun permasalahan yang timbul sebagai akibat rumusan dan pengertian Hak
Pengelolaan tersebut antara lain adalah sebagai berikut :
1. Hak Pengelolaan sebagai suatu jenis hak tidak diatur dalam Undang-Undang
Pokok Agraria tetapi hanya suatu kebijakan yang dilandasi oleh peraturan
Menteri.
2. Instansi Pemerintah sebagai pemegang Hak Pengelolaan menjadi berfungsi
ganda, ialah sebagai pengemban tugas pelayanan publik dan juga bertindak
sebagai penguasa.
3. Batasan atau rumusan Hak Pengelolaan demikian luas sehingga menimbulkan
tumpang tindih kewenangan antar instansi. Sebagai contoh adalah kewenangan
perencanaan dan pengguanaan tanah, tumpang tindih dengan kewenangan
Pemerintah Daerah. Adanya kewenangan mengenai perolehan keuangan dari
pihak ketiga adalah tumpang tindih dengan kewenangan Departemen Keuangan,
khususnya ketentuan dalam Undang-Undang no 20 tahun 1996 tentang
Penerimaan Negara Bukan Pajak.
4. Bidang tanah sebagai aset Pemerintah apabila difungsikan untuk tujuan
mendapatkan penghasilan, juga terkait dengan kewenangan Departemen
Keuangan.
5. Persyaratan yang diminta oleh pemegang Hak Pengelolaan pada umumnya
memberatkan beban pihak ketiga, sehingga dapat menimbulkan konflik secara
diam-diam atau terbuka.
Sebagai jalan keluar atau pemecahannya ialah bahwa Hak Pengelolaan sebagai
suatu jenis hak perlu diadakan pembahasan kembali sehingga didukung oleh
sumber hukum yang benar.
Kepada instansi Pemerintah cukuplah diberikan Hak Pakai selama bidang
tanahnya dipergunakan dan kembali kepada tugas pokoknya.
Apabila suatu departemen tugas operasionalnya bersinggungan dengan unsur
bisnis maka diwajibkan membertuk Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha
Milik Daerah. Bidang tanah yang dikuasai oleh Badan Usaha ini wajib tunduk
pada ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria dan peraturan
pelaksanaannya serta peraturan perundangan lainnya.

*)Oleh Drs. SoemardijonoPenulis adalah purna karyawan Badan Pertanahan


Nasional

HAK PENGELOLAAN
Pengertian
Pengertian hak pengelolaan tidak terdapat didalam UUPA, namun terdapat pengertiannya
didalam PP Nomor 40/1996, yaitu hak menguasai negara yang kewenangan pelaksanaannya
sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya. Berdasarkan pengertian hak pengelolaan diatas
dapat dipahami bahwa hak pengelolaan merupakan hak menguasai negara atas tanah (pasal 2
UUPA), bukan merupakan hak atas tanah (pasal 16 (1) UUPA). Menurut Prof. Boedi Harsono
hak pengelolaan pada hakikatnya bukan hak atas tanah, melainkan merupakan gempilan
dari hak menguasai negara.
Mengenai pengertian hak pengelolaan dapat dilihat lebih jelas pada penjelasan Pasal 2 ayat
(3) UU No. 20/2000 tentang Perubahan Atas UU No. 21/1997 tentang Bea Perolehan Hak
Atas Tanah, yaitu:
hak pengelolaan adalah hak menguasai dari negara yang kewenangan
pelaksanaannyasebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain, berupa
perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk
keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak
ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga
Berdasarkan pengertian diatas maka dapat dipahami bahwa hak pengelolaan menunjukkan:
a. Hak pengelolaan merupakan hak menguasai negara atas tanah bukan hak atas tanah;
b. Hak pengelolaan merupakan pelimpahan sebagian kewenangan dari hak menguasai negara
atas tanah;
c. Kewenangan dalam hak pengelolaan, adalah merencanakan peruntukan dan penggunaan
tanah, menggunakan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, dan menyerahkan bagianbagian tanah hak pengelolaan kepada pihak ketiga dan/atau bekerjasama dengan pihak ketiga.
Subjek Hak Pengelolaan
Subjek hak pengelolaan berarti pihak-pihak yang berhak memperoleh hak pengelolaan
tersebut. Adapun pihak-pihak yang dimaksud dapat dilihat dalam berbagai sumber hukum,
yang dimana subjek tersebut terdiri dari orang (personenlijk) maupun badan hukum
(rechtperson), pihak-pihak tersebut diantaranya:
1. Hak pengelolaan diberikan kepada departemen, direktorat dan daerah swatantra (pasal 5
Peraturan Menteri Agraria No. 9/1965);
2. Hak pengelolaan dapat diberikan kepada departemen dan jawatan Pemerintah, serta badanbadan hukum yang ditunjuk oleh Pemerintah (pasal 29 Permendagri No. 5/1973);
3. Pasal 5 dan 6 Permendagri No. 5/1974, Hak Pengelolaan dapat diberikan kepada:
Perusahaan pembangunan perumahan yang seluruh modalnya berasal dari pemerintah
dan/atau pemerintah daerah;
Industrial estate yang seluruh modalnya berasal dari Pemerintah yang berbentuk
perusahaan umum (Perum) dan perusahaan perseroan (Persero), dan dari pemerintah
daerah yang berbentuk perusahaan daerah (PD).
4. Hak pengelolaan diberikan kepada pemerintah daerah, lembaga, instansi dan/atau badan
hukum (milik) Pemerintah (pasal 2 Permendagri No. 1/1977);
5. Hak pengelolaan diberikan kepada pemerintah daerah, lembaga, instansi dan atau badan
hukum (milik) pemerintah (pasal 2 Permendagri No.1/1977);

6. Penerima hak pengelolaan adalah deaprtemen, pemerintah daerah tingkat 1, pemrintah


daerah tingkat II, lembaga pemerintah lainnya, dan perusahaan umum(perum) pembangunan
perumahan nasional (perumnas), (pasal 2 Peraturan pemerintah No.36/1977);
7. Disebutkan bahwa termasuk lembaga pemerintah lainnya adalah Otorita pengembangan
Daerah Industri Batam, Badan Pengelola Gelanggang Olahraga Senayan dan Lembaga
sejenis yg diatur dengan keputusan presiden (penjelasan pasal 2 huruf a, Peraturan
Pemerintah No.36/1977);
8. Pasal 67 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.
9/1999, badan badan hukum yang bisa diberikan Hak Pengelolaan yaitu:
Instansi Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah;
Badan Usaha Milik Negara (BUMN);

Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);

PT Persero;

Badan Otorita;

Badan Badan Hukum pemerintah lainnya yang ditunjuk oleh pemerintah.

Menurut Dr. Urip Santoso, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional No. 9/1999 ini terbuka kemungkinan untuk badan hukum pemerintah lain dalam
memperoleh hak pengelolaan yang ditetapkan oleh pemerintah dengan syarat tugas pokok
dan fungsinya berkaitan dengan pengelolaan tanah.
Sejarah Hukum Hak Pengelolaan
Hak pengelolaan pertama kali diperkenalkan oleh PP No. 8/1953. PP ini mengatur
penguasaan tanah-tanah negara oleh kementerian, jawatan, atau daerah swatantra, yang
merupakan terjemahan dari beheersrecht. Istilah in beheer ini kemudian berkembang atau
dikembangkan demikian luas pengertiannya sehingga menimbulkan adanya kerancuan di
bidang tertib hukum antar instansi pemerintah dengan instansi pemegang hak dan pihak
ketiga. Pokok permasalahan inilah yang menjadi fokus pengkajian dan perlu ada perhatian
untuk menemukan jalan keluarnya.
Dengan terbitnya Peraturan Pemerintah no. 8 tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah Negara,
telah diatur bahwa penguasaan atas tanah Negara terbagi dalam dua (2) subyek:
1. Penguasaan tanah negara berdasarkan Undang-Undang atau Peraturan lain yang ada
pada kementerian, jawatan atau daerah swatantra pada saat berlakunya peraturan ini;
2. Penguasaan atas tanah negara selebihnya ada pada Menteri Dalam Negeri. Ketentuan
dalam Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1953 yang perlu mendapatkan perhatian
adalah ketentuan yang diatur dalam pasal 92 oleh karena materi hukumnya menjadi
embrio lahirnya pengertian Hak Pengelolaan.Pasal 9 tersebut antara lain mengatur
bahwa kementerian, jawatan atau daerah swatantra sebelum dapat menggunakan
tanah- tanah Negara yang penguasanya diserahkan kepadanya, dapat memberi izin
kepada pihak lain untuk memakai tanah itu dalam waktu yang pendek, yang sifatnya
sementara serta setiap waktu harus dapat dicabut kembali;
Berawal dari hak penguasaan atas tanah negara itulah lahir hak pengelolaan melalui konversi
yang diatur dalam pasal 2 Peraturan Menteri Agraria No. 9/1965 tentang Pelaksanaan
Konversi Hak Penguasaan atas Tanah Negara dan Ketentuan-Ketentuan tentang
Kebijaksanaan jo. Peraturan Menteri Agraria No. 1/1966 tentang Pendaftaran Hak Pakai dan

Hak Pengelolaan. Hubungannya dengan PP No. 8/1953 yaitu dalam menegaskan pelaksanaan
konversi hak-hak penguasaan atau beheer yang ada pada departemen dan daerah swatantra
berdasarkan PP tersebut;
Peraturan Menteri Agraria No. 9/1965 diubah dengan Permendagri No. 5/1974 tentang
Ketentuan-Ketentuan Mengenai Penyediaan dan Pemberian Hak untuk Keperluan Perusahaan
jo. Permendagri No. 1/1977 tentang Tatacara Permohonan dan Penyelesaian Pemberian Hak
atas bagian-bagian Tanah Hak Pengelolaan serta Pendaftarannya;
Eksistensi Hak Pengelolaan kemudian dikukuhkan dengan UU No. 16/1985 tentang Rumah
Susun.
Tatacara Perolehan Hak Pengelolaan
Pihak yang ingin memperoleh hak pengelolaan harus mengajukan permohonan hak
pengelolaan secara tertulis kepada Menteri melalui Kepala Kantor wilayah Pertanahan yang
daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan. Permohonan Hak Pengelolaan
tersebut harus memuat:
1. Keterangan mengenai pemohon;
2. Keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yurisis dan data fisik;
3. Lain-lain:
Keterangan mengenai jumlah bidang, luas dan status tanah- tanah yang dimiliki oleh
pemohon, ternasuk bidang tanah yang dimohon;
Keterangan lain yang dianggap perlu.
Setelah berkas permohonan diterima oleh Kepala Kantor Pertanahan, maka Kepala Kantor
Pertanahan melakukan:
1. Pemeriksaan dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik;
2. Jika permohonan memenuhi syarat maka Kepala Kantor Pertanahan akan menyampaikan
pada KaKanwil untuk diminta pertimbangan dan pendapat
3. Kakanwil menyampaikan pada Kepala BPN untuk dilakukan pemeriksaan data fisik dan
data yuridis berikut memperhatikan pertimbangan dan pendapat Kakanwil untuk
dipertimbangkan diterima atau tidaknya permohonan tersebut.
4. Penyampaian keputusan diterima atau tidak permohonan hak tersebut kepada pemohon.
5. Jika diterima maka pemohon wajib mendaftarak keputusan tersebut untuk diterbitkan
sertifikat dengan terlebih dahulu membayar BPHTB.
6. Sertipikat HPL diserahkan kepada pemohon.
Cara Memperoleh Hak Pengelolaan Menurut Peraturan Perundang-Undangan
Ada 2 cara memperoleh hak pengelolaan oleh pemegang haknya menurut peraturan
perundang-undangan, yaitu:
1. Penegasan Konversi
Hak pengelolaan terjadi melalui konversi dari hak penguasaan atas tanah negara. Yang
dimaksud dengan konversi menurut Effendi Perangin adalah perubahan hak atas tanah
sehubungan dengan berlakunya UUPA. Maksudnya perubahan hak atas tanah yang tunduk
pada hukum barat (BW), Hukum Adat, dan daerah swapraja menjadi hak atas tanah
berdasarkan UUPA.
Berdasarkan pasal 9 PerMen Agraria No. 9/1965, melalui penegasan konversi, hak
penguasaan atas tanah negara yang dipunyai oleh departemen, direktorat, atau daerah
swatantra diubah haknya menjadi hak pengelolaan. Hak pengelolaan ini lahir setelah hak

penguasaan atas tanah negara didaftarkan ke kantor pendaftaran tanah untuk diterbitkan
sertifikat hak pengelolaan sebagai tanda bukti haknya.
2. Pemberian Hak
Dilakukan dengan mengajukan permohonan pemberian hak atas tanah negara. Berdasarkan
pasal 1 ayat (8) PerMen Agraria/Kepala BPN No. 9/1999, pemberian hak atas tanah adalah
penetapan pemerintah yang memberikan sesuatu hak atas tanah negara, perpanjangan jangka
waktu, pembaharuan hak, perubahan hak, termasuk pemberian hak diatas tanah hak
pengelolaan.
Perolehan hak pengelolaan melalui permohonan pemberian hak atas tanah negara dilakukan
apabila sebelum calon pemegang hak pengelolaan tidak mempunyai hak penguasaan atas
tanah negara, sedangkan ia berkeinginan untuk memperoleh hak pengelolaan. Tanah yang
dimohonkan merupakan tanah yang berasal dari tanah negara atau tanah yang tidak ada
sesuatu hak yang ada diatasnya.
Kewenangan Dalam Hak Pengelolaan
1. Berdasarkan Pasal 6 PerMen Agraria No. 9/1965
a. Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah;
b. Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya;
c. Menyerahkan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dengan hak pakai
yang berjangka waktu 6 tahun;
d. Menerima uang pemasukan/gantirugi dan/atau uang wajib tahunan
2. Berdasarkan Pasal 3 Permendagri No. 5/1974
a. Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah;
b. Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan usahanya;
c. Menyerahkan bagian-bagian dari tanah itu kepada pihak ketiga menurut persyaratan yang
ditentukan oleh perusahaan pemegang hak tersebut, yang meliputi segi-segi peruntukan,
penggunaan, jangka waktu dan keuangannya.
3. Pasal 1 PP No. 36/1997
a. Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah;
b. Menggunakan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya;
c. Menyerahkan bagian-bagian tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerjasama
dengan pihak ketiga.
4. Pasal 2 ayat (3) UU No. 20/2000
a. Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah;
b. Menggunakan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya;
c. Menyerahkan bagian-bagian tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerjasama
dengan pihak ketiga.
5. Pasal 1 PP No. 112/2000
a. Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah;
b. Menggunakan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya;
c. Menyerahkan bagian-bagian tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerjasama
dengan pihak ketiga.
Hak pengelolaan sebagai hak atau gempilan hak menguasai negara, maka hak pengelolaan
tidak dapat dipindahtangankan sehingga tidak memenuhi syarat untuk dapat dijadikan

jaminan utang. Karena itu oleh UU No. 4/1996 hak pengelolaan tidak ditunjuk sebagai objek
hak tanggungan.

Hak Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan


Pengertian dari HPL yaitu hak menguasai dari Negara yang kewenangan
pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya. Selanjutnya
pengertian HPL dijelaskan lebih lengkap lagi yaitu hak menguasai dari Negara
yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang
haknya, antara lain berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah,
penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagianbagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan
pihak ketiga. Obyek dari HPL adalah tanah untuk pertanian dan tanah bukan
untuk pertanian.
Proses pemberian HPL adalah sama dengan proses pemberian hak-hak atas
tanah (Hak Milik, HGU, HGB atau Hak Pakai), yaitu didahului dengan permohonan
HPL, penerbitan Surat Keputusan Pemberian Hak (SKPH) dan selanjutnya setelah
semua syarat dipenuhi dilakukan pendaftaran pada Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota setempat dan dilanjutkan dengan penerbitan sertipikat HPL
sebagai surat tanda bukti hak yang bersangkutan.
Perbedaan pendapat tersebut terjadi karena peraturan perundang-undangan
tidak menyebutkan secara tegas perihal tersebut.Peraturan perundangundangan hanya mengatur mengenai kewajiban pemegang HGB dan HGU untuk
memperoleh persetujuan dari pemegang HPL jika hendak mengalihkan tanahnya
kepada pihak lain, sebagaimana ditentukan dalam pasal 34 ayat 7 dan pasal 54
ayat 9 PP no. 40 tahun 1996. Karena tidak adanya peraturan perundangundangan yang menentukan bahwa untuk pembebanan HT harus memperoleh
persetujuan dari pemegang HPL maka hal tersebut sering tidak disyaratkan atau
bahkan jika disyaratkan oleh Bank sering terjadi Debitur menolak untuk
memenuhi hal tersebut dengan berbagai alasan, hal mana kadangkala
mengakibatkan batalnya pemberian kredit yang bersangkutan, akan tetapi
sering juga Bank akhirnya tidak mensyaratkan hal tersebut. Sehubungan dengan
permasalahan tersebut, apakah diperlukan persetujuan pemegang HPL untuk
membebankan HT atas tanah HGB dan HGU di atas tanah HPL ?
Sebagai suatu hak yang bertujuan untuk memberikan tanah bagi kepentingan
pihak lain maka selanjutnya bagian-bagian dari tanah HPL tersebut akan
diserahkan kepada pihak lain/pihak ketiga sesuai dengan ketentuan-ketentuan
dan syarat-syarat yang diatur di dalam Surat Perjanian Penyerahan Penggunaan
Tanah (SP3T) yang ditandatangani oleh pemegang HPL dengan pihak ketiga yang
membutuhkan tanah tersebut.SP3T tersebut ditandatangani sebelum
dilakukannya permohonan HGB/Hak Pakai diatas tanah HPL yang bersangkutan.
Setelah ditandatanganinya SP3T tersebut selanjutnya permohonan HGB

dilakukan atas nama pihak ketiga yang membutuhkan tanah tersebut melalui
pemegang HPL.Proses permohonan hak tersebut sama seperti permohonan hak
atas tanah pada umumnya yang berada di atas Tanah Negara, yang diatur di
dalam Peraturam MNA/Ka.BPN no. 9 tahun 1999.
Salah satu dokumen yang terpenting yang harus diperhatikan berkaitan dengan
pengalihan atau pemberian jaminan atas Tanah HGB atau Hak Pakai yang berada
di atas tanah HPL adalah SP3T. Semua ketentuan yang terdapat di dalam SP3T
tersebut harus dipatuhi oleh pemegang HPL, pemegang HGB/Hak Pakai yang
betsangkutan, pihak bank maupun Notaris/PPAT di dalam melakukan perbuatan
hukum atas tanah HGB atau Hak Pakai tersebut, baik perbuatan hukum peralihan
hak atau pembeban hak.
Beberapa waktu yang lalu di Pengadilan Negeri Jakarta Utara ada kasus
sengketa tanah antara sebuah PT. (Persero) milik Negara (disini saya singkat
dengan pihak A) dengan sebuah Perusahaan Perorangan (saya singkat dengan
pihak B) dimana pihak A mengakui tanah tersebut merupakan Tanah Hak
Pengelolaan yang penguasaannya diberikan oleh Negara kepada pihak A dan
dibuktikan dengan Sertifikat HPL (Hak Pengelolaan) sementara pihak B juga
mengakui bahwa tanah tersebut adalah miliknya yang dibeli dari pihak Z
dengan Akta Jual Beli (AJB) yang dibuat di hadapan PPAT dan merupakan
tanah dengan status Hak Guna Bangunan (dalam hal ini menurut
pemahamannya adalah HGB murni) dan dibuktikan dengan Sertifikat HGB.
Dalam perkembangan perkara tersebut kemudian diketahui latar belakang
mengapa tanah HPL milik Negara tersebut kemudian bisa menjadi salah tafsir
sebagai tanah HGB murni, adalah karena tanah tersebut sebelumnya merupakan
tanah dengan status HGB diatas HPL yang diberikan pihak A kepada pihak X
dengan Perjanjian Penggunaan Tanah HPL yang dalam salah satu klausulnya
disebutkan bahwa tanah dengan status HGB diatas HPL ini tidak boleh dialihkan
kepada pihak lain melalui cara apapun tanpa persetujuan dari pihak
pemegang HPL (dalam hal ini adalah pihak A).
Pada kenyataannya, pihak X kemudian mengalihkan tanah dengan
status HGB diatas HPL tersebut kepada pihak Y melalui AJB dan disahkan
dengan Sertifikat HGB di hadapan PPAT, dan selanjutnya dari pihak Y
mengalihkan lagi kepada pihak Z dengan proses pengalihan hak yang sama.
Dilatarbelakangi perkara yang telah saya ilustrasikan tersebut diatas, maka
disini saya ingin menguraikan sedikit mengenai definisi Hak Atas Tanah,
termasuk Hak Pengelolaan berikut beberapa Peraturan Perundangan yang
mengaturnya.
Hak atas tanah ialah hak yang memberi wewenang kepada pemiliknya untuk
mempergunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya. Ciri
khasnya ialah si empunya hak berwenang untuk mempergunakan atau
mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya. [1]
Pengelompokan hak-hak atas tanah ialah sebagai berikut :

1.
a.

Hak atas tanah yang bersifat tetap : [2]


Hak Milik

Merupakan hak turun-temurun terkuat dan terpenuh yang dapat


dipunyai orang atas tanah. Hak ini dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain,
dan jangka waktu Hak Milik tidak terbatas.
b.

Hak Guna Usaha

Adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh


Negara selama jangka waktu tertentu, dan tujuan penggunaan tanahnya
terbatas. Hak Guna Usaha juga tidak dapat dibebankan pada tanah Hak Milik dan
hanya dapat diberikan oleh Negara.
c.

Hak Guna Bangunan

Merupakan hak untuk mengusahakan (mendirikan dan mempunyai


bangunan di atas tanah) tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, untuk
jangka waktu tertentu.
d.

Hak Pakai

Adalah hak untuk menggunakan dan / atau memungut hasil dari tanah
yang langsung dikuasai oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi
wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya atau
dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewamenyewa atau perjanjian pengolahan tanah segala sesuatu asal tidak
bertentangan dengan undang-undang.
e.

Hak Sewa Tanah Bangunan

Adalah hak yang memberi kewenangan untuk mempergunakan tanah,


dalam hal ini adalah tanah milik orang atau pihak lain dengan membayar
sejumlah uang pemasukan kepada pemilik tanah tersebut.
f.

Hak Pengelolaan

Menurut Pasal 1 ayat (3) Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 Hak Pengelolaan adalah hak
menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan
kepada pemegangnya. Sedangkan berdasarkan Penjelasan Pasal 2 ayat (3) huruf
f Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Hak Pengelolaan adalah hak menguasai
dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada
pemegangnya, antara lain berupa perencanaan dan peruntukan tanah,
penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian
dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerjasama dengan pihak
ketiga. Bagian-bagian tanah Hak Pengelolaan tersebut dapat diberikan kepada
pihak lain dengan Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai. Pemberiannya
dilakukan oleh Pejabat Badan Pertanahan Nasional yang berwenang, atas usul
pemegang Hak Pengelolaan yang bersangkutan. Dalam Pasal 67 ayat (1)

Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9


Tahun 1999 diatur mengenai siapa saja yang dapat diberikan Hak Pengelolaan,
yaitu :
Hak Pengelolaan dapat diberikan kepada :
1.
Instansi Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah
2.

Badan Usaha Milik Negara

3.

Badan Usaha Milik Daerah

4.

PT. Persero

5.

Badan Otorita

6.

Badan-badan hukum Pemerintah lainnya yang ditunjuk Pemerintah.

Pada Pasal 67 ayat (2) ditambahkan ketentuan pemberian haknya yaitu :


Badan-badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan Hak
Pengelolaan sepanjang sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya berkaitan
dengan pengelolaan tanah.
Sedangkan subjek dari Hak Pengelolaan adalah badan-badan hukum,
disebutkan dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 yaitu : [3]
1.

bank-bank yang didirikan oleh Negara

2.

perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian

3.

badan-badan keagamaan

4.

badan-badan sosial.

Mengenai tatacara peralihan hak diatas tanah HPL kepada pihak ketiga dulu
diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977 Tentang
Tatacara Permohonan Dan Penyelesaian Pemberian Bagian-Bagian Tanah Hak
Pengelolaan Serta Pendaftarannya (sudah dicabut dengan Peraturan Menteri
Negara Agraria / Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 tetapi disertakan dalam
penulisan ini karena apa yang diatur di dalamnya belum ada ketentuannya
dalam peraturan penggantinya)
a.
Pasal 3 ayat (1) menyatakan : Setiap penyerahan penggunaan tanah yang
merupakan bagian dari tanah Hak Pengelolaan kepada pihak ketiga oleh
pemegang Hak Pengelolaan, baik yang disertai dengan pendirian bangunan
diatasnya, wajib dilakukan dengan pembuatan perjanjian tertulis antara pihak
pemegang Hak Pengelolaan dengan pihak ketiga yang bersangkutan.
b.
Pasal 5 menyatakan : Hubungan hukum antara Lembaga, instansi, dan atau
Badan atau Badan Hukum (milik) Pemerintah pemegang Hak Pengelolaan, yang
didirikan atau ditunjuk untuk menyelenggarakan penyediaan tanah untuk
berbagai jenis kegiatan yang termasuk dalam bidang pengembangan
pemukiman dalam bentuk perusahaan, dengan tanah Hak Pengelolaan yang

telah diberikan kepadanya, tidak menjadi hapus dengan didaftarkannya hak-hak


yang diberikan kepada pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
Peraturan ini pada Kantor Sub Direktorat Agraria setempat.
c.
Pasal 7 menyatakan : Bagian-bagian tanah Hak Pengelolaan yang
diberikan kepada Pemerintah Daerah, Lembaga, Instansi, Badan atau Badan
Hukum Indonesia yang seluruh modalnya dimiliki oleh Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah untuk pembangunan, dan pengembangan wilayah industri
dan pariwisata, dapat diserahkan kepada pihak ketiga dan diusulkan kepada
Menteri Dalam Negeri atau Gubernur / Kepala Daerah yang bersangkutan untuk
diberikan dengan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai, sesuai dengan rencana
peruntukan dan penggunaan tanah yang telah dipersiapkan oleh pemegang Hak
Pengelolaan yang bersangkutan.
d.
Pasal 9 menyatakan : Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai sebagaimana
termaksud dalam Pasal 7 tunduk pada ketentuan-ketentuan tentang hak-hak
tersebut, sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Pokok Agraria dan
peraturan pelaksanaannya yang mengenai hak-hak itu serta syarat-syarat
khusus yang tercantum di dalam surat perjanjian yang dimaksudkan dalam Pasal
3 dan Pasal 8.
e.
Pasal 11 menyatakan : Terhadap tanah untuk keperluan Lembaga, Instansi
Pemerintah atau Badan /Badan Hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia
dan berkedudukan di Indonesia yang seluruh modalnya dimiliki oleh Pemerintah
atau Pemerintah Daerah, yang bergerak dalam kegiatan usaha-usaha sejenis
dengan Perusahaan Industri dan Pelabuhan yang diberikan dengan Hak
Pengelolaan dapat diperlakukan ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 sampai dengan Pasal 10 , yang ditegaskan di dalam surat
keputusan pemberian Hak Pengelolaan yang bersangkutan.

Anda mungkin juga menyukai