PENDAHULUAN
Beberapa poin penting yang perlu disesuaikan antara lain meliputi dimensi waktu
perencanaan, visi dan tujuan penataan ruang wilayah, aspek kebencanaan dan daya
dukung lingkungan, komposisi penggunaan lahan, peristilahan penataan ruang serta
keberadaan insentif dan disinsentif yang jelas dalam kegiatan penataan ruang wilayah.
Perubahan ini membawa konsekuensi pada perubahan metodologi pendekatan dalam
penyusunan RTRW Kabupaten Maluku Tenggara Barat.
Adapun tujuan dari penyusunan RTRW secara normatif adalah untuk mewujudkan
tata ruang wilayah kabupaten yang memenuhi kebutuhan pembangunan dengan
senantiasa berwawasan lingkungan, efisien dalam alokasi investasi, bersinergi dan dapat
dijadikan acuan dalam penyusunan program pembangunan untuk tercapainya
kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, terkait kondisi tersebut, maka Dokumen
RTRW yang ada juga harus mengacu pada visi dan misi tersebut. Dengan kata lain RTRW
yang ada diharapkan menjadi bagian dari terjemahan visi dan misi daerah yang
direpresentasikan dalam bentuk pola dan struktur ruang.
I-1
1.2. Dasar Hukum
I-2
15. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 84, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4411);
16. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421);
17. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4433);
18. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah
diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4844);
19. Undang-undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4444);
20. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 33, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4700);
21. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4723);
22. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
23. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739);
24. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4849);
25. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 69, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4851);
26. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1 Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4956);
27. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959);
28. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4966);
29. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025);
I-3
30. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 133, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5052);
31. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1985 tentang
Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985
Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3294);
32. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1988 tentang
Koordinasi Kegiatan Instansi Vertikal di Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonessia Tahun 1988 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3373);
33. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1996 tentang
Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, Serta Bentuk dan Tata Cara Peran serta
Masyarakat Dalam Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1996 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3660);
34. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1998 tentang
Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3776);
35. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 1998 tentang
Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3776);
36. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1999 tentang
Kecamatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838);
37. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2000 tentang
Tingkat Ketelitian Peta Untuk Penataan Ruang Wilayah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3934);
38. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 2001 tentang
Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor
127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4145);
39. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2002 tentang
Hutan Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 119,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4242);
40. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Penatagunaan Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4385);
41. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 147, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4453);
42. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem
Penyediaan Air Minum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005
Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4490);
43. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4593);
44. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 46, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4624);
I-4
45. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagia, Urusan Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4737);
46. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4815);
47. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyusunan,
Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 21, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4817);
48. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4833);
49. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2010 tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2010 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5103);
50. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1990 tentang
Pengelolaan Kawasan Lindung;
51. Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di
Bidang Pertanahan;
52. Keputusan Presiden Nomor 62 tahun 2000 tentang Pedoman Koordinasi
Penataan Ruang Nasional;
53. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum;
54. Peraturan Mentri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1998
tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah;
55. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1998
tentang Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Proses Perencanaan Tata
Ruang di Daerah;
56. Peraturan Menteri Negara Agraria Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1999
tentang Izin Lokasi;
57. Peraturan Menteri Dalam Negeri No 28 Tahun 2008 tentang Tata Cara
Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah;
58. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun 2009 tentang Pedoman
Koordinasi Penataan Ruang Daerah;
59. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 11/PRT/M/2009 tentang Pedoman
Persetujuan Substansi dalam Penetapan Rancangan Peraturan Daerah tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten / Kota beserta Rencana Rincinya;
60. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16/PRT/M/2009 tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten;
61. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 134 Tahun 1998 tentang
Pedoman Penyusunan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota;
62. Keputusan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Nomor
1457.K/20/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Lingkungan di
Bidang Pertambangan dan Energi;
I-5
63. Keputusan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor
1456.K/20/MEM/2000 tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Karst;
64. Keputusan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Republik Indonesia
Nomor 1457.K/20/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan
Lingkungan di Bidang Pertambangan dan Energi;
65. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 17 Tahun
2001 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau kegiatan yang wajib di lengkapi
dengan analisis mengenai dampak lingkungan hidup;
66. Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 147 Tahun 2004
tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah;
67. Peraturan Daerah Provinsi Maluku Nomor 5 Tahun 2009 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Provinsi Maluku Tahun 2009–2029 (Lembaran Daerah
Provinsi Maluku Tahun 2009 Nomor 5).
1.3.1 Administrasi
Iklim wilayah Kabupaten Maluku Tenggara Barat sangat dipengaruhi oleh sirkulasi
angin musim yang bergerak dari dan ke arah ekuator. Selama periode April–September
sirkulasi udara di wilayah ini didominasi oleh angin pasat tenggara atau angin timuran
(easterly wind) dari Australia yang dingin dan relatif kering sehingga kurang
mendatangkan hujan; terutama pada bulan Juli, Agustus dan September.
I-6
Gambar 1.1
Peta Administrasi Wilayah Kabupaten Maluku Tenggara Barat
I-7
Gambar 1.2
Peta Multi Bencana Kabupaten Maluku Tenggara Barat
I-8
Kondisi data historis curah hujan menunjukkan bahwa wilayah Maluku Tenggara
Barat merupakan daerah terkering dengan curah hujan tahunan rata-rata antara 1500–
2000 mm. Berdasarkan peta Zona Agroklimat Provinsi Maluku (LTA – 72, 1986) dan
klasifikasi iklim Oldeman (1980), Kabupaten MTB termasuk dalam 2 zona agroklimat,
yaitu kedua zona groklimat tersebut adalah (1) Zone II.3 dengan curah hujan tahunan
1500 – 1800 mm, dan (2).Zona IV.1 : Curah hujan tahunan 3000 – 4000 mm.
Morfologi Kabupaten Maluku Tenggara Barat terbagi atas tiga kelas, yakni dataran,
berbukit dan bergunung. Morfologi daratan pesisir daerah ini dapat dibedakan ke dalam
tiga satuan morfologi, yaitu perbukitan, dataran dan teras pantai. Bentuk lahan pesisir
dikelompokkan atas empat tipe, yaitu bentuk lahan asal marin, asal fluvial, asal karst dan
asal denudasional. Satuan bentuk lahan asal marin adalah pantai berpasir (gisik), rataan
pasang surut bervegetasi mangrove, rataan terumbu karang, rataan pengikisan gelombang,
sartuu, tebing terjal laut dan gosong laut.
Batuan tersingkap di kawasan ini adalah perselingan lempung coklat kemerahan dan
kelabu dengan tufa kaca putih kotor, kearah bagian atas terdapat sisipan batu gamping
coklat permukaan laut, umumnya berlereng landai, lereng agak terjal terdistribusikan
pada areal-areal sempit. Pola aliran sungai memancar dan merupakan sungai tadah hujan
(Intermiten).
I-9
Gambar 1.3
Peta Geologi Kabupaten Maluku Tenggara Barat
I - 10
Gambar 1.4
Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Maluku Tenggara Barat Tahun 2005
I - 11
1.3.3 Kondisi Non Fisik
I - 12
Lapangan pekerjaan utama yang banyak dijadikan sebagai mata pencaharian
penduduk di Maluku Tenggara Barat menurut data penduduk 10 tahun ke atas yang
bekerja tahun 2010 adalah sektor pertanian, kehutanan, perburuan, dan perikanan yaitu
sebesar 72,84% disusul sektor jasa-jasa sebesar 21,87% dan sektor Industri sebesar
5,29%. Sektor pertambangan dan penggalian; sektor listrik, gas dan air minum;
bangunan; serta sektor angkutan, pergudangan dan komunikasi hanya menjadi mata
pencaharian penduduk laki-laki di Maluku Tenggara Barat (100%) sementara sektor
perdagangan lebih banyak dijadikan mata pencaharian penduduk berjenis kelamin
perempuan dengan perbandingan 54.12% tenaga kerja perempuan dan 45.88% tenaga
kerja laki-laki.
1. Kesesuaian Lahan
Berdasarkan analisis terhadap kondisi solum dan lereng dan kriteria kesesuaian
lahan untuk sektor pertanian khususnya sub sektor tanaman pangan dan hortikultura dan
sub sektor perkebunan secara umum masuk dalam kategori sesuai. Adapun komoditas
pada kedua sub sektor pertanian yang memiliki kesesuaian lahan sesuai, adalah:
1) Sub sektor Tanaman Pangan dan Hortikultura: (a) Tanaman pangan: Padi ladang,
ketela rambat/ubi jalar, ubi kayu, umbi-umbian; (b) Sayur-sayuran: Mentimun,
terong, kangkung, sawi; buah-buahan: Sukun, nangka dan pisang
2) Sub sektor Perkebunan: Jambu mete, kelapa dan kopi
2. Ketersediaan Lahan
Hasil perhitungan GIS Terhadap Peta TGHK Wilayah Maluku yang ditetapkan
berdasarkan Kepmen Kehutanan Nomor 415 Tahun 1999 menunjukkan bahwa dominasi
liputan lahan sebagian besar masih berupa hutan. Dengan sendirinya aspek dukungan
terhadap ketersediaan lahan masih sangat tinggi, sedangkan dalam kaitannya dengan
kerawanan Bencana, jenis bencana yang sering terjadi di wilayah ini adalah bencana
I - 13
gempa, tsunami dan banjir. Berdasarkan peta kerawanan bencana yang tertuang dalam
RTRW Provinsi Maluku Tahun 2009-2029, maka dapat diidentifikasikan kawasan-
kawasan yang memiliki risiko tinggi terhadap bencana. Sebagai kesimpulan dari analisis
kebencanaan, maka dari sisi kerawanan bencana, Kabupaten Maluku Tenggara Barat
merupakan wilayah yang memiliki luas kawasan kerentanan bencana yang besar
mencapai 97 % dari total wilayahnya. Dengan demikian dalam kaitannya dengan
ketersedian lahan pembangunan dilihat dari sisi bencana sangat kecil ketersediaannya.
Dengan kata lain, pengembangan wilayah ini harus benar-benar memperhatikan aspek
risiko bencana dalam membangun kawasan-kawasan yang bersifat strategis.
3. Carrying Capacity
Berdasarkan hasil analisis dengan berbagai asumsi, maka carrying capacity untuk
Kabupaten Maluku Tenggara Barat diperoleh hasil sebagai berikut:
1) Luasan daya tampung yang tersedia adalah sebesar 18.034,46 hektar;
2) Luas Lahan untuk permukiman dan pekarangan sebesar 1.803,44 hektar;
3) Luas Lahan untuk Fasos sebesar 12.022,97 hektar;
4) Luas Lahan untuk Budidaya Non Permukiman sebesar, 42.080,40 hektar;
5) Jumlah penduduk yang bisa ditampung adalah sebesar 858.783,8 Jiwa.
4. Kerawanan Bencana
I - 14
berikut: Wilayah Kabupaten Maluku Tenggara Barat berada di atas 3 lempeng dunia,
sehingga mengakibatkan terbentuknya tatanan geologi yang rumit. Wilayah ini sebagian
merupakan bagian dari lempeng Eurasia, yang bergerak relatif ke arah tenggara
berinteraksi dengan lempeng India-Australia yang bergerak relatif ke arah utara dan
lempeng Pasifik yang bergerak relatif ke barat. Zona pertemuan antar 3 lempeng tersebut
membentuk palung yang mempunyai kedalaman antara (4.500-7.000) meter yang dikenal
sebagai zona subduksi.
Pada daerah pesisir, tsunami dapat memiliki berbagai bentuk ekspresi tergantung
pada ukuran dan periode gelombang, variasi kedalaman dan bentuk garis pantai, kondisi
pasang-surut, dan faktor-faktor lainnya. Pada beberapa kasus tsunami dapat berupa
gelombang pasang naik yang terjadi sangat cepat yang langsung membanjiri daerah
pesisir rendah. Pada kasus lainnya tsunami dapat datang sebagai bore – suatu dinding
vertikal air yang bersifat turbulen dengan daya rusak tinggi. Arus laut yang kuat dan
tidak lazim biasanya juga menemani tsunami berskala kecil. Berdasarkan jarak sumber
penyebab tsunami dan daerah yang terancam bahaya, tsunami dapat dikelompokkan
menjadi dua: tsunami lokal (jarak dekat) dan tsunami distan (jarak jauh).
I - 15
Daerah yang berpotensi dan rawan banjir di Kabupaten Maluku Tenggara Barat
terdapat di wilayah pantai barat Pulau Yamdena, hal ini disebabkan karena sungai besar
banyak yang mengalir ke arah pesisir barat Pulau Yamdena dan juga morfologinya cukup
datar.
I - 16
1.6. Ketentuan Umum
I - 17
19. Pusat Kegiatan Wilayah yang selanjutnya disebut PKW adalah kawasan perkotaan
yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala provinsi atau beberapa kabupaten/kota.
20. Pusat Kegiatan Lokal yang selanjutnya disebut PKL adalah kawasan perkotaan yang
berfungsi untuk melayani kegiatan skala kabupaten/kota atau beberapa kecamatan.
21. Pusat Kegiatan Strategis Nasional yang selanjutnya disebut PKSN adalah kawasan
perkotaan yang ditetapkan untuk mendorong pengembangan kawasan perbatasan
negara.
22. Pusat Kegiatan Strategis Provinsi yang selanjutnya disebut PKSP adalah kawasan
perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kabupaten/kota atau
beberapa kecamatan, yang diarahkan menjadi Pusat Kegiatan Wilayah atau PKW.
23. Pusat Pelayanan Kawasan yang selanjutnya disebut PPK adalah kawasan perkotaan
yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kecamatan atau beberapa desa.
24. Pusat Pelayanan Lingkungan yang selanjutnya disebut PPL adalah pusat permukiman
yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala antar desa.
25. Kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung dan budidaya.
26. Kawasan Lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi
kelestarian lingkungan yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan.
27. Kawasan Budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk
dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya
manusia dan sumberdaya buatan.
28. Kawasan Perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian
termasuk pengelolaan sumberdaya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai
tempat permukiman pedesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan
kegiatan ekonomi.
29. Kawasan Perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian
dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan
dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.
30. Kawasan Lindung Kabupaten adalah kawasan lindung yang secara ekologis
merupakan satu ekosistem yang terletak pada wilayah kabupaten, kawasan lindung
yang memberikan pelindungan terhadap kawasan bawahannya yang terletak di
wilayah kabupaten, dan kawasan-kawasan lindung lain yang menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan pengelolaannya merupakan kewenangan pemerintah
daerah kabupaten.
31. Kawasan Budi Daya Kabupaten adalah kawasan budidaya yang ditetapkan dengan
fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam,
sumber daya manusia dan sumber daya buatan.
32. Kawasan Strategis Kabupaten adalah kawasan yang penataan ruangnya diprioritaskan
karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup kabupaten terhadap
ekonomi, sosial, budaya, lingkungan, pertahanan dan keamanan, serta
pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi.
33. Ruang Terbuka Hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang
penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh
secara alami maupun yang sengaja ditanam.
34. Izin Pemanfaatan Ruang adalah izin yang dipersyaratkan dalam kegiatan
pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
I - 18
I - 19