Anda di halaman 1dari 19

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, maka RTRW


Nasional, Provinsi maupun Kabupaten perlu dilakukan penyesuaian. Pasal 78 Undang-
Undang Penataan Ruang tersebut mengamanatkan semua peraturan daerah
kabupaten/kota tentang rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota disusun atau
disesuaikan paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini
diberlakukan. Dengan demikian, maka paling lambat tahun 2010. Semua RTRW
Kabupaten diharapkan telah menyesuaikan dengan amanat Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007.

Beberapa poin penting yang perlu disesuaikan antara lain meliputi dimensi waktu
perencanaan, visi dan tujuan penataan ruang wilayah, aspek kebencanaan dan daya
dukung lingkungan, komposisi penggunaan lahan, peristilahan penataan ruang serta
keberadaan insentif dan disinsentif yang jelas dalam kegiatan penataan ruang wilayah.
Perubahan ini membawa konsekuensi pada perubahan metodologi pendekatan dalam
penyusunan RTRW Kabupaten Maluku Tenggara Barat.

Selain adanya perubahan Undang-Undang tentang penataan ruang, maka dalam


lingkup internal wilayah Kabupaten Maluku Tenggara Barat juga terdapat perubahan
yang cukup signifikan. Perubahan tersebut terutama menyangkut pemekaran Kabupaten
Maluku Tenggara menjadi Kabupaten Maluku Tenggara Barat dan Kabupaten Maluku
Barat Daya pada Tahun 2008. Kondisi ini dengan sendirinya akan menuntut perubahan
rencana tata ruang wilayah Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Perubahan batas
administrasi akan merubah struktur dan pola ruang wilayah yang bersangkutan.

Dengan adanya perubahan lingkungan strategis nasional, antara lain berupa


pemekaran wilayah, Pilkada dan perubahan pada struktur perencanaan pembangunan
nasional yang dicirikan dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional serta Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2007, tentang Rencana Jangka Panjang Nasional, maka kepala daerah terpilih diharuskan
menyusun RPJM dan RPJP di daerahnya masing-masing. Dokumen RPJM ini akan
menjadi acuan pembangunan daerah yang memuat antara lain visi, misi, arah kebijakan
dan program-program pembangunan selama 5 (lima) tahun dan 20 (dua puluh) tahun ke
depan.

Adapun tujuan dari penyusunan RTRW secara normatif adalah untuk mewujudkan
tata ruang wilayah kabupaten yang memenuhi kebutuhan pembangunan dengan
senantiasa berwawasan lingkungan, efisien dalam alokasi investasi, bersinergi dan dapat
dijadikan acuan dalam penyusunan program pembangunan untuk tercapainya
kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, terkait kondisi tersebut, maka Dokumen
RTRW yang ada juga harus mengacu pada visi dan misi tersebut. Dengan kata lain RTRW
yang ada diharapkan menjadi bagian dari terjemahan visi dan misi daerah yang
direpresentasikan dalam bentuk pola dan struktur ruang.

I-1
1.2. Dasar Hukum

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan


Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
2043);
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 22,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2831);
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1977 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699);
4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3419);
5. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 23, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3469);
6. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budi daya Tanaman
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3478);
7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699);
8. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3888), sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-
Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401);
9. Undang-Undang Nomor 46 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi
Maluku Utara, Kabupaten Buru dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 174, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3895);
10. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 3, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4169);
11. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 94, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 1226);
12. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
13. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang sumber Daya Air (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4377);
14. Undang-Undang Nomor 12 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);

I-2
15. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 84, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4411);
16. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421);
17. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4433);
18. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah
diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4844);
19. Undang-undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4444);
20. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 33, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4700);
21. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4723);
22. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
23. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739);
24. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4849);
25. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 69, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4851);
26. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1 Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4956);
27. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959);
28. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4966);
29. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025);

I-3
30. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 133, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5052);
31. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1985 tentang
Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985
Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3294);
32. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1988 tentang
Koordinasi Kegiatan Instansi Vertikal di Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonessia Tahun 1988 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3373);
33. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1996 tentang
Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, Serta Bentuk dan Tata Cara Peran serta
Masyarakat Dalam Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1996 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3660);
34. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1998 tentang
Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3776);
35. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 1998 tentang
Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3776);
36. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1999 tentang
Kecamatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838);
37. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2000 tentang
Tingkat Ketelitian Peta Untuk Penataan Ruang Wilayah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3934);
38. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 2001 tentang
Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor
127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4145);
39. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2002 tentang
Hutan Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 119,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4242);
40. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Penatagunaan Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4385);
41. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 147, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4453);
42. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem
Penyediaan Air Minum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005
Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4490);
43. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4593);
44. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 46, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4624);

I-4
45. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagia, Urusan Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4737);
46. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4815);
47. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyusunan,
Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 21, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4817);
48. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4833);
49. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2010 tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2010 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5103);
50. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1990 tentang
Pengelolaan Kawasan Lindung;
51. Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di
Bidang Pertanahan;
52. Keputusan Presiden Nomor 62 tahun 2000 tentang Pedoman Koordinasi
Penataan Ruang Nasional;
53. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum;
54. Peraturan Mentri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1998
tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah;
55. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1998
tentang Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Proses Perencanaan Tata
Ruang di Daerah;
56. Peraturan Menteri Negara Agraria Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1999
tentang Izin Lokasi;
57. Peraturan Menteri Dalam Negeri No 28 Tahun 2008 tentang Tata Cara
Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah;
58. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun 2009 tentang Pedoman
Koordinasi Penataan Ruang Daerah;
59. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 11/PRT/M/2009 tentang Pedoman
Persetujuan Substansi dalam Penetapan Rancangan Peraturan Daerah tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten / Kota beserta Rencana Rincinya;
60. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16/PRT/M/2009 tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten;
61. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 134 Tahun 1998 tentang
Pedoman Penyusunan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota;
62. Keputusan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Nomor
1457.K/20/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Lingkungan di
Bidang Pertambangan dan Energi;

I-5
63. Keputusan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor
1456.K/20/MEM/2000 tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Karst;
64. Keputusan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Republik Indonesia
Nomor 1457.K/20/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan
Lingkungan di Bidang Pertambangan dan Energi;
65. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 17 Tahun
2001 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau kegiatan yang wajib di lengkapi
dengan analisis mengenai dampak lingkungan hidup;
66. Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 147 Tahun 2004
tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah;
67. Peraturan Daerah Provinsi Maluku Nomor 5 Tahun 2009 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Provinsi Maluku Tahun 2009–2029 (Lembaran Daerah
Provinsi Maluku Tahun 2009 Nomor 5).

1.3. Profil Wilayah Kabupaten Maluku Tenggara Barat

1.3.1 Administrasi

Secara geografis Kabupaten Maluku Tenggara Barat terletak antara 6 o35’24” –


8 .24’36” Lintang Selatan dan 130o37’47” – 132o4’12” Bujur Timur. Batas wilayah
o

Kabupaten Maluku Tenggara Barat adalah:


1. Sebelah Utara : Laut Banda
2. Sebelah Selatan : dengan Laut Timur dan Lautan Arafura
3. Sebelah Barat : dengan Kabupaten Maluku Barat Daya
4. Sebelah Timur : dengan Laut Arafura

Kabupaten Maluku Tenggara Barat merupakan wilayah gugus Pulau Tanimbar


dengan luas 52.996,2 km, yang terdiri dari wilayah darat sebesar 10.102,92 km 2 (19,06
0
/0) dan luas wilayah laut sebesar 42.892,28 km 2 (80,94 0/0) secara administratif
Kabupaten Maluku Tenggara Barat terdiri dari 10 Kecamatan, 1 Kelurahan, 75 Desa, 9
anak Desa/Dusun.

1.3.2 Kondisi Fisik dan Kerawanan Bencana

Iklim wilayah Kabupaten Maluku Tenggara Barat sangat dipengaruhi oleh sirkulasi
angin musim yang bergerak dari dan ke arah ekuator. Selama periode April–September
sirkulasi udara di wilayah ini didominasi oleh angin pasat tenggara atau angin timuran
(easterly wind) dari Australia yang dingin dan relatif kering sehingga kurang
mendatangkan hujan; terutama pada bulan Juli, Agustus dan September.

I-6
Gambar 1.1
Peta Administrasi Wilayah Kabupaten Maluku Tenggara Barat
I-7
Gambar 1.2
Peta Multi Bencana Kabupaten Maluku Tenggara Barat
I-8
Kondisi data historis curah hujan menunjukkan bahwa wilayah Maluku Tenggara
Barat merupakan daerah terkering dengan curah hujan tahunan rata-rata antara 1500–
2000 mm. Berdasarkan peta Zona Agroklimat Provinsi Maluku (LTA – 72, 1986) dan
klasifikasi iklim Oldeman (1980), Kabupaten MTB termasuk dalam 2 zona agroklimat,
yaitu kedua zona groklimat tersebut adalah (1) Zone II.3 dengan curah hujan tahunan
1500 – 1800 mm, dan (2).Zona IV.1 : Curah hujan tahunan 3000 – 4000 mm.

Morfologi Kabupaten Maluku Tenggara Barat terbagi atas tiga kelas, yakni dataran,
berbukit dan bergunung. Morfologi daratan pesisir daerah ini dapat dibedakan ke dalam
tiga satuan morfologi, yaitu perbukitan, dataran dan teras pantai. Bentuk lahan pesisir
dikelompokkan atas empat tipe, yaitu bentuk lahan asal marin, asal fluvial, asal karst dan
asal denudasional. Satuan bentuk lahan asal marin adalah pantai berpasir (gisik), rataan
pasang surut bervegetasi mangrove, rataan terumbu karang, rataan pengikisan gelombang,
sartuu, tebing terjal laut dan gosong laut.

Batuan tersingkap di kawasan ini adalah perselingan lempung coklat kemerahan dan
kelabu dengan tufa kaca putih kotor, kearah bagian atas terdapat sisipan batu gamping
coklat permukaan laut, umumnya berlereng landai, lereng agak terjal terdistribusikan
pada areal-areal sempit. Pola aliran sungai memancar dan merupakan sungai tadah hujan
(Intermiten).

Menurut peta Geologi Indonesia [1965], Pulau/Kepulauan di Maluku Tenggara Barat


terbentuk/tersusun dari berbagai formasi batuan. Formasi-formasi tersebut didominsi oleh
berbagai macam batuan, seperti : batuan metamorf, sedimen klastik, terumbu karang,
batuan beku dan sedimen aluvial. Peta Geologi Kabupaten Maluku Tenggara Barat
disajikan dalam Gambar 1.3.

Berdasarkan kondisi struktur geologi, geomorfologi dan tektonik, maka potensi


bencana yang terjadi di Kabupaten Maluku Tenggara Barat adalah gempa bumi tsunami,
kemudian disusul dengan tanah longsor di wilayah morfologi berbukit. Tanah longsor
yang terjadi sampai saat ini belum menimbulkan kerugian yang cukup signifikan, ini
karena lokasi tanah longsor terdapat di wilayah perbukitan yang cukup terjal dan
merupakan hutan lindung.
Perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Maluku Tenggara Barat dapat dikatakan
relatif rendah. Hal ini tercermin dari perkembangan lahan non pertanian yang tidak
mencapai 5% dari total kawasan budidaya di wilayah tersebut. Perkembangan yang
cukup mengkhawatirkan adalah perubahan tutupan lahan kawasan hutan yang cukup
signifikan, Dari intepretasi terhadap citra satelit landsat tahun 2001 dan 2005, terlihat
perubahan lahan hutan yang sangat signifikan. Perubahan kawasan hutan menjadi semak
belukar, pertanian lahan kering dan savana merupakan perkembangan yang paling
menonjol. Demikian pula dengan perubahan pada luasan lahan terbuka yang cukup
signifikan perubahannya. Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Maluku Tenggara Barat
disajikan dalam Gambar 1.4.
Luas Kawasan hutan di Kabupaten Maluku Tenggara Barat Mencapai 89,96% dari
total luas wilayah Maluku Tenggara Barat. Hutan Produksi Konversi Memiliki proporsi
terbesar, sementara proporsi terkecil dimiliki oleh Hutan Lindung sebesar 3.09%.

I-9
Gambar 1.3
Peta Geologi Kabupaten Maluku Tenggara Barat
I - 10
Gambar 1.4
Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Maluku Tenggara Barat Tahun 2005

I - 11
1.3.3 Kondisi Non Fisik

Jumlah penduduk Kabupaten Maluku Tenggara Barat cenderung meningkat baik


secara keseluruhan maupun pada tiap-tiap kecamatan. Penduduk Kabupaten Maluku
Tenggara Barat selama kurun waktu 2000-2010 mengalami pertumbuhan rata-rata 2,17%
per tahun. Selanjutnya apabila dilihat distribusi penduduk per kecamatan terlihat bahwa
hampir separuh penduduk Kabupaten Maluku Tenggara Barat terkonsentrasi di
Kecamatan Tanimbar Utara, Tanimbar Selatan dan Kecamatan Selaru. Berdasarkan data
penduduk tahun 2000 dan 2010, pertumbuhan penduduk di tiga kecamatan tersebut juga
relatif tinggi dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan yang lainnya. Jumlah penduduk
dan distribusi Penduduk Kabupaten Maluku Tenggara Barat Tahun 2000 dan 2010
disajikan pada Tabel 1.1.
Tabel 1.1
Jumlah Penduduk, Rasio Jenis Kelamin, Pertumbuhan dan Distribusi Penduduk
KABUPATEN MALUKU TENGGARA BARAT TAHUN 2000 DAN 2010
2000 2010 Rate
No Kecamatan
Pria Wanita Jumlah Rasio Pria Wanita Jumlah Rasio (%/Th)
1 Tanimbar Sltn 9,500 9,875 19,375 96 16,015 15,556 31,571 103 5.00%
2 Wertamrian 4,364 4,359 8,723 100 4,833 4,875 9,708 99 1.08%
3 Wermaktian 4,585 4,548 9,133 101 5,559 5,346 10,905 104 1.79%
4 Selaru 5,277 5,403 10,680 98 6,103 6,146 12,249 99 1.38%
5 Tanimbar Utara 5,918 6,054 11,972 98 6,579 6,647 13,226 99 1.00%
6 Yaru 2,369 2,399 4,768 99 2,383 2,427 4,810 98 0.09%
7 Wuarlabobar * 3,786 3,640 7,426 104 5,084 4,823 9,907 105 2.92%
8 Nirunmas 3,580 3,609 7,189 99 3,487 3,557 7,044 98 -0.20%
9 Kormomolin 2,765 2,983 5,748 93 2,974 2,947 5,921 101 0.30%
Jumlah 42,144 42,870 85,014 98 53,017 52,324 105,341 101 2.17%
Sumber : BPS Kabupaten MTB, 2010
*(Termasuk Kecamatan Molo Maru)

Masyarakat Maluku Tenggara Barat dalam menjalin hubungan memiliki nilai-


nilai adat yang kuat. Hubungan antara pemerintah dengan rakyat didasarkan atas aturan
adat yang melekat di masyarakat antara lain adat duan lolat. Adat ini merupakan salah
satu adat suku Tanimbar di antara masyarakat Adat lain yang dijadikan pranata formal
oleh beberapa masyarakat Maluku di tingkat desa termasuk masyarakat di Maluku
Tenggara Barat yaitu adat sasi. Adat ini mengatur jangka waktu memanen sumber daya
tertentu (hayati laut dan darat).

Berdasarkan data kegiatan utama penduduk umur 10 tahun ke atas di Maluku


Tenggara Barat pada tahun 2010 terdapat 42% penduduk Maluku Tenggara Barat
melakukan kegiatan utamanya dengan bekerja, 28% bersekolah, 18% mengurus rumah
tangga, 8% tidak memiliki kegiatan utama, dan 4% melakukan kegiatan lainnya.
Presentase penduduk yang bekerja menurut lapangan usaha utama berdasarkan data tahun
2008 yaitu 67.57% bekerja pada sektor pertanian, 0.12% bekerja pada sektor
pertambangan dan galian; 1.53% bekerja pada sektor industri; 0.24% bekerja pada sektor
listrik, gas, dan air; 1.97% bekerja pada sektor konstruksi; 3.36% bekerja pada sektor
perdagangan; 5.30% bekerja pada sektor transportasi dan komunikasi; 1.67% bekerja
pada sektor keuangan; dan 18.24% bekerja pada sektor jasa.

I - 12
Lapangan pekerjaan utama yang banyak dijadikan sebagai mata pencaharian
penduduk di Maluku Tenggara Barat menurut data penduduk 10 tahun ke atas yang
bekerja tahun 2010 adalah sektor pertanian, kehutanan, perburuan, dan perikanan yaitu
sebesar 72,84% disusul sektor jasa-jasa sebesar 21,87% dan sektor Industri sebesar
5,29%. Sektor pertambangan dan penggalian; sektor listrik, gas dan air minum;
bangunan; serta sektor angkutan, pergudangan dan komunikasi hanya menjadi mata
pencaharian penduduk laki-laki di Maluku Tenggara Barat (100%) sementara sektor
perdagangan lebih banyak dijadikan mata pencaharian penduduk berjenis kelamin
perempuan dengan perbandingan 54.12% tenaga kerja perempuan dan 45.88% tenaga
kerja laki-laki.

Jumlah angkatan kerja pada periode 2007-2008 mengalami peningkatan dari


73.131 orang menjadi 35.346 orang atau berkurang 37.785 orang namun pada periode
2008-2009 jumlah angkatan kerja berbertambah menjadi 1.255 dan selanjutnya pada
periode 2009-2010 mengalami peningkatan kembali jumlah angkatan kerja menjadi
10.295. Laju jumlah angkatan kerja selama periode 2007-2010 sebesar 25.76% atau
mengalami peningkatan sebesar 6,44% setiap tahun.

Laju pertumbuhan perekonomian Kabupaten Maluku Tenggara Barat rata-rata


selama kurun waktu 2007-2010 sebesar 5%. Berdasarkan data distribusi persentase
PDRB atas dasar harga konstan 2000 maka sektor yang memberikan kontribusi besar
dalam perekonomian di Kabupaten Maluku Tenggara Barat pada tahun 2010 yaitu sektor
pertanian dengan kontribusi sebesar 54,18%; sektor perdagangan, hotel dan restoran
dengan kontribusi sebesar 24,40%; serta sektor jasa-jasa dengan kontribusi sebesar
4.18%.
Sub sektor perikanan dan sub sektor tanaman bahan makanan memberikan
kontribusi yang besar bagi perekonomian dari sektor pertanian yaitu masing-masing
sebesar 26,06% dan 17,18%. Sub sektor perdagangan merupakan sub sektor yang
memberikan kontribusi besar bagi perekonomian dibandingkan sub sektor yang lain dari
sektor perdagangan, hotel dan restoran dengan kontribusi sebesar 24,40%.

1.4. Isu-isu Strategis

1. Kesesuaian Lahan

Berdasarkan analisis terhadap kondisi solum dan lereng dan kriteria kesesuaian
lahan untuk sektor pertanian khususnya sub sektor tanaman pangan dan hortikultura dan
sub sektor perkebunan secara umum masuk dalam kategori sesuai. Adapun komoditas
pada kedua sub sektor pertanian yang memiliki kesesuaian lahan sesuai, adalah:
1) Sub sektor Tanaman Pangan dan Hortikultura: (a) Tanaman pangan: Padi ladang,
ketela rambat/ubi jalar, ubi kayu, umbi-umbian; (b) Sayur-sayuran: Mentimun,
terong, kangkung, sawi; buah-buahan: Sukun, nangka dan pisang
2) Sub sektor Perkebunan: Jambu mete, kelapa dan kopi

2. Ketersediaan Lahan

Hasil perhitungan GIS Terhadap Peta TGHK Wilayah Maluku yang ditetapkan
berdasarkan Kepmen Kehutanan Nomor 415 Tahun 1999 menunjukkan bahwa dominasi
liputan lahan sebagian besar masih berupa hutan. Dengan sendirinya aspek dukungan
terhadap ketersediaan lahan masih sangat tinggi, sedangkan dalam kaitannya dengan
kerawanan Bencana, jenis bencana yang sering terjadi di wilayah ini adalah bencana

I - 13
gempa, tsunami dan banjir. Berdasarkan peta kerawanan bencana yang tertuang dalam
RTRW Provinsi Maluku Tahun 2009-2029, maka dapat diidentifikasikan kawasan-
kawasan yang memiliki risiko tinggi terhadap bencana. Sebagai kesimpulan dari analisis
kebencanaan, maka dari sisi kerawanan bencana, Kabupaten Maluku Tenggara Barat
merupakan wilayah yang memiliki luas kawasan kerentanan bencana yang besar
mencapai 97 % dari total wilayahnya. Dengan demikian dalam kaitannya dengan
ketersedian lahan pembangunan dilihat dari sisi bencana sangat kecil ketersediaannya.
Dengan kata lain, pengembangan wilayah ini harus benar-benar memperhatikan aspek
risiko bencana dalam membangun kawasan-kawasan yang bersifat strategis.

Dengan demikian, maka ketersediaan lahan dengan menggunakan parameter


tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:
1) Secara umum dapat dikatakan bahwa ketersediaan lahan untuk mendukung kegiatan
budidaya di wilayah Maluku Tenggara Barat relatif terbatas;
2) Keterbatasan tersebut lahir dari besarnya risiko bencana yang dapat terjadi di wilayah
ini;
3) Kawasan budidaya dapat dikembangkan dengan mempertimbangkan aspek
keselamatan dari bencana berupa penggunaan teknologi atau metode pembangunan
lainnya;
4) Dalam konteks penataan ruang, maka aturan zonasi untuk kawasan budidaya di
wilayah risiko bencana tinggi harus segera disusun.

3. Carrying Capacity

Berdasarkan hasil analisis dengan berbagai asumsi, maka carrying capacity untuk
Kabupaten Maluku Tenggara Barat diperoleh hasil sebagai berikut:
1) Luasan daya tampung yang tersedia adalah sebesar 18.034,46 hektar;
2) Luas Lahan untuk permukiman dan pekarangan sebesar 1.803,44 hektar;
3) Luas Lahan untuk Fasos sebesar 12.022,97 hektar;
4) Luas Lahan untuk Budidaya Non Permukiman sebesar, 42.080,40 hektar;
5) Jumlah penduduk yang bisa ditampung adalah sebesar 858.783,8 Jiwa.

Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat dikatakan bahwa wilayah Maluku


Tenggara Barat masih mampu menampung secara ideal jumlah penduduk tambahan
sekitar 850.000 jiwa. Jumlah tersebut selanjutnya dikombinasikan dengan hasil analisis
daya dukung sumber daya air sehingga diperoleh carrying capacity sumber daya fisik
wilayah Maluku Tenggara Barat yang lebih komprehensif.

Bila dilihat asumsinya, maka dapat dikatakan analisis yang dilakukan


menggunakan pendekatan minimum sehingga hasil yang dihasilkan lebih mengarah pada
upaya mendukung kebijakan non alih fungsi lahan. Bila asumsi dirubah dengan
mengakomodasikan perubahan alih fungsi lahan, maka ketersediaan lahan di wilayah ini
masih bisa bertambah. Namun dengan membatasi pada kebijakan non alih fungsi lahan
maka dampak dari pertumbuhan penduduk di wilayah ini diharapkan dapat
diminimalisasi.

4. Kerawanan Bencana

Wilayah Kabupaten Maluku Tenggara Barat termasuk kawasan yang memiliki


kekhususan dalam kerawanan bencana gempa bumi. Beberapa fakta menunjukan sebagai

I - 14
berikut: Wilayah Kabupaten Maluku Tenggara Barat berada di atas 3 lempeng dunia,
sehingga mengakibatkan terbentuknya tatanan geologi yang rumit. Wilayah ini sebagian
merupakan bagian dari lempeng Eurasia, yang bergerak relatif ke arah tenggara
berinteraksi dengan lempeng India-Australia yang bergerak relatif ke arah utara dan
lempeng Pasifik yang bergerak relatif ke barat. Zona pertemuan antar 3 lempeng tersebut
membentuk palung yang mempunyai kedalaman antara (4.500-7.000) meter yang dikenal
sebagai zona subduksi.

Disamping itu, akibat benturan tersebut terbentuk patahan-patahan di Kepulauan


Maluku, berarah barat-timur, barat laut-tenggara, utara-selatan dan barat daya-timur laut.
Sesar yang berasosiasi dengan sumber gempa merupakan sesar aktif. Gempa bumi yang
sumbernya di darat akibat sesar aktif, meskipun amplitudonya tidak terlalu besar sangat
mungkin menimbulkan bencana, karena sumbernya dangkal dan dekat dengan
pemukiman dan aktivitas penduduk. Nilai puncak percepatan tanah (Peak Ground
Accpeleration-PGA) di wilayah Kabupaten Maluku Tenggara Barat sebesar (0,20-0,25)g,
sama dengan wilayah Selat Sunda.

Pada daerah pesisir, tsunami dapat memiliki berbagai bentuk ekspresi tergantung
pada ukuran dan periode gelombang, variasi kedalaman dan bentuk garis pantai, kondisi
pasang-surut, dan faktor-faktor lainnya. Pada beberapa kasus tsunami dapat berupa
gelombang pasang naik yang terjadi sangat cepat yang langsung membanjiri daerah
pesisir rendah. Pada kasus lainnya tsunami dapat datang sebagai bore – suatu dinding
vertikal air yang bersifat turbulen dengan daya rusak tinggi. Arus laut yang kuat dan
tidak lazim biasanya juga menemani tsunami berskala kecil. Berdasarkan jarak sumber
penyebab tsunami dan daerah yang terancam bahaya, tsunami dapat dikelompokkan
menjadi dua: tsunami lokal (jarak dekat) dan tsunami distan (jarak jauh).

Sebanyak 30 % tsunami di Indonesia terjadi di wilayah Laut Maluku dan Laut


Banda ini. Aktivitas tektonik di kawasan Provinsi Maluku termasuk sangat kompleks dan
rumit karena terdapat subduksi ganda dengan pola yang rumit. Oleh karena itu laut
Maluku dan laut Banda termasuk zona rawan tsunami. Catatan sejarah menunjukkan
tsunami juga paling banyak terjadi di Laut Maluku dan Laut Banda sebagai dampak dari
interaksi lempengan Eurasia, Pasifik dan Indo-Australia. Pada tahun 1629 terjadi tsunami
di sekitar laut Banda dengan run up sekitar 15 meter, disusul pada tahun 1674 dengan run
up 80 meter, tahun 1852 dengan run up 8 meter kemudian tahun 1979 dengan run up 10
meter. Data lain juga menunjukan bahwa pada selang tahun 1600-2000 telah terjadi 32
kali bencana tsunami di Maluku dimana 28 tsunami diakibatkan oleh gempa bumi dan 4
tsunami diakibatkan oleh meletusnya gunung api di bawah laut. Berdasarkan fakta-fakta
yang diterangkan di atas, maka seluruh wilayah pesisir di Kabupaten Maluku Tenggara
Barat mempunyai kerawanan yang cukup tinggi terhadap bencana gelombang tsunami.

Banjir didefinisikan sebagai peristiwa terjadinya genangan pada suatu daerah


yang biasanya kering (bukan daerah rawa) atau meluapnya limpasan air permukaan
(runoff) yang volumenya melebihi kapasitas pengaliran sistem drainase atau sungainya.
Banjir ini sebenarnya merupakan produk dari suatu sistem Daerah Aliran Sungai (DAS)
yang sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik DAS dan intensitas curah hujan sebagai
sumbernya. DAS merupakan suatu daerah (kawasan) yang dibatasi oleh pemisah
topografi, yang mampu menampung, menyimpulkan dan mengalirkan presipitasi yang
jatuh di atasnya melalui sungai ataupun sistem sungai dan mengeluarkan dari daerah
tersebut melalui outlet tunggal.

I - 15
Daerah yang berpotensi dan rawan banjir di Kabupaten Maluku Tenggara Barat
terdapat di wilayah pantai barat Pulau Yamdena, hal ini disebabkan karena sungai besar
banyak yang mengalir ke arah pesisir barat Pulau Yamdena dan juga morfologinya cukup
datar.

1.5. Sistematika Laporan

Sistematika penyajian Laporan Akhir kegiatan penyusunan RTRW Kabupaten


Maluku Tenggara Barat ini adalah sesuai dengan Sistematika Penyajian RTRW
Kabupaten yang tercantum dalam Peraturan Menteri PU Nomor 16/PRT/M/2009 Tentang
Pedoman Penyusunan RTRW Kabupaten adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Berisi latar belakang, dasar hukum, profil singkat Kabupaten Maluku
Tenggara Barat, isu-isu strategis dan sitematika pembahasan.

BAB II ASAS, TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN


RUANG
Berisikan penjelasan mengenai asas dan tujuan penataan ruang, kebijakan
penataan ruang, dan strategi penataan.
BAB III RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH
Berisikan penjelasan mengenai rencana pengembangan dan kriteria
sistem perkotaan, sistem transportasi, sistem energi, sistem sumber daya
air, sistem telekomunikasi, dan sistem pengelolaan lingkungan.
BAB IV RENCANA POLA RUANG WILAYAH
Berisikan penjelasan mengenai rencana pengembangan dan kriteria
kawasan lindung dan kawasan budidaya.
BAB V PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS KABUPATEN
Berisikan penjelasan mengenai rencana kawasan strategis yang
menyangkut kepentingan ekonomi, kepentingan lingkungan, budaya
pertahanan dan keamanan, serta ilmu pengetahuan dan teknologi dan
lainnya.
BAB VI ARAHAN PEMANFAATAN RUANG
Berisikan penjelasan mengenai ruang lingkup program utama, serta
indikasi program utama yang mencakup program pembentuk struktur
ruang dan program pembentuk pola ruang.
BAB VII ARAHAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG
Berisikan penjelasan mengenai pengendalian pemanfaatan ruang, arahan
ketentuan umum, keterkaitan perijinan dalam pengendalian, ketentuan
insentif dan disinsentif serta arahan sanksi.
BAB VIII ARAHAN PENGELOLAAN RESIKO BENCANA
Berisikan penjelasan mengenai manajemen resiko bencana gempa bumi,
tsunami, banjir dan bencana longsor.

I - 16
1.6. Ketentuan Umum

Beberapa ketentuan umum dalam dokumen RTRW Kabupaten Maluku Tenggara


Barat meliputi:
1. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat yaitu Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan Pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara Barat.
3. Kepala Daerah adalah Bupati Maluku Tenggara Barat.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Maluku Tenggara Barat.
5. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang udara termasuk
ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan mahluk
hidup lain, melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan kehidupannya.
6. Tata Ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.
7. Struktur Ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan
prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi
masyarakat yang secara hirarkis memiliki hubungan fungsional.
8. Pola Ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi
peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya.
9. Penataan Ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan
ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
10. Perencanaan Tata Ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan
pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang.
11. Penyelenggaraan Penataan Ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan,
pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan penataan ruang.
12. Pemanfaatan Ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang
sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program
beserta pembiayaannya;
13. Pengendalian Pemanfaatan Ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang
sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
14. Rencana Tata Ruang adalah hasil perencanaan tata ruang;
15. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Maluku Tenggara Barat selanjutnya disebut
RTRW Kabupaten Maluku Tenggara Barat adalah arahan kebijakan dan strategi
pemanfaatan ruang wilayah kabupaten;
16. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur
terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau
aspek fungsional.
17. Sistem Wilayah adalah struktur ruang dan pola ruang yang mempunyai jangkauan
pelayanan pada tingkat wilayah.
18. Pusat Kegiatan Nasional yang selanjutnya disebut PKN adalah kawasan perkotaan
yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala internasional, nasional, atau beberapa
provinsi.

I - 17
19. Pusat Kegiatan Wilayah yang selanjutnya disebut PKW adalah kawasan perkotaan
yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala provinsi atau beberapa kabupaten/kota.
20. Pusat Kegiatan Lokal yang selanjutnya disebut PKL adalah kawasan perkotaan yang
berfungsi untuk melayani kegiatan skala kabupaten/kota atau beberapa kecamatan.
21. Pusat Kegiatan Strategis Nasional yang selanjutnya disebut PKSN adalah kawasan
perkotaan yang ditetapkan untuk mendorong pengembangan kawasan perbatasan
negara.
22. Pusat Kegiatan Strategis Provinsi yang selanjutnya disebut PKSP adalah kawasan
perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kabupaten/kota atau
beberapa kecamatan, yang diarahkan menjadi Pusat Kegiatan Wilayah atau PKW.
23. Pusat Pelayanan Kawasan yang selanjutnya disebut PPK adalah kawasan perkotaan
yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kecamatan atau beberapa desa.
24. Pusat Pelayanan Lingkungan yang selanjutnya disebut PPL adalah pusat permukiman
yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala antar desa.
25. Kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung dan budidaya.
26. Kawasan Lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi
kelestarian lingkungan yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan.
27. Kawasan Budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk
dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya
manusia dan sumberdaya buatan.
28. Kawasan Perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian
termasuk pengelolaan sumberdaya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai
tempat permukiman pedesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan
kegiatan ekonomi.
29. Kawasan Perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian
dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan
dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.
30. Kawasan Lindung Kabupaten adalah kawasan lindung yang secara ekologis
merupakan satu ekosistem yang terletak pada wilayah kabupaten, kawasan lindung
yang memberikan pelindungan terhadap kawasan bawahannya yang terletak di
wilayah kabupaten, dan kawasan-kawasan lindung lain yang menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan pengelolaannya merupakan kewenangan pemerintah
daerah kabupaten.
31. Kawasan Budi Daya Kabupaten adalah kawasan budidaya yang ditetapkan dengan
fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam,
sumber daya manusia dan sumber daya buatan.
32. Kawasan Strategis Kabupaten adalah kawasan yang penataan ruangnya diprioritaskan
karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup kabupaten terhadap
ekonomi, sosial, budaya, lingkungan, pertahanan dan keamanan, serta
pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi.
33. Ruang Terbuka Hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang
penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh
secara alami maupun yang sengaja ditanam.
34. Izin Pemanfaatan Ruang adalah izin yang dipersyaratkan dalam kegiatan
pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

I - 18
I - 19

Anda mungkin juga menyukai