Anda di halaman 1dari 64

BUPATI PONTIANAK

PROVINSI KALIMANTAN BARAT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MEMPAWAH


NOMOR 3 TAHUN 2014

TENTANG

RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN


MEMPAWAH TAHUN 2014-2034

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI MEMPAWAH,

Menimbang : a. bahwa untuk menjaga keserasian, keterpaduan


pembangunan dan pengembangan Kabupaten
Mempawah sebagai pusat pertumbuhan dan pusat
kegiatan dengan memanfaatkan ruang wilayah secara
berdaya guna, berhasil guna, serasi, selaras, seimbang,
dan berkelanjutan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan
regional sebagaimana tertuang dalam Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Barat, maka perlu
menata ruang sehingga kualitas ruang dapat terjaga
keberlanjutannya;

b. bahwa untuk melaksanakan pembangunan wilayah


Kabupaten Mempawah secara terpadu, lestari, optimal,
seimbang dan serasi, sesuai dengan karakteristik,
fungsi, dan predikatnya, maka Rencana Tata Ruang
Wilayah merupakan arahan lokasi investasi
pembangunan yang dilaksanakan pemerintah,
masyarakat, dan/atau dunia usaha;

c. bahwa untuk memberikan arah, landasan dan


kepastian hukum, perencanaan, pemanfaatan, dan
pengendalian ruang berdasarkan ketentuan Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang, Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, maka
konsep dan strategi pemanfaatan ruang wilayah perlu
dijabarkan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Mempawah;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, perlu
membentuk Peraturan Daerah tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten Mempawah Tahun 2014-
2034;

Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1959 tentang


Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun
1953 tentang Perpanjangan Pembentukan Daerah
Tingkat II di Kalimantan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1953 Nomor 9, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 352) sebagai Undang-
Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1959 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 1820);

3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang


Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 2043);

4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang


ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 20,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 2831);

5. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang


Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3274);

6. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang


Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1985 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3317);

7. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang


Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3419);

8. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang


Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1990 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3427);
9. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang
Perumahan dan Permukiman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 23, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3469);

10. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda


Cagar Budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3470);

11. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem


Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3478);

12. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu


Lintas Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 49, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3480);

13. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan


Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3647);

14. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996
Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3656);

15. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang


Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699);

16. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang


Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3881);

17. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang


Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004
tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 87,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4413);
18. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain
Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 243, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4045);

19. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang


Pertahanan Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 3, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4169);

20. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang


Pengelolaan Sumber Daya Air (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4377);

21. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang


Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4411);

22. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem


Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421);

23. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang


Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4844);

24. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4444);

25. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang


Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
Tahun 2005-2025 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 33, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4700);

26. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang


Perkeretaapian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4722);
27. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4723);

28. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang


Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4724);

29. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang


Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 68,Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4725;

30. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang


Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4739);

31. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4746);

32. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang


Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4849);

33. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang


Pengelolaan Sampah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 69, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4851);

34. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang


Wilayah Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 177, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4925);

35. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang


Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959);

36. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang


Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4966);
37. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5025);

38. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang


Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5059);

39. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang


Kawasan Ekonomi Khusus (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 147, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5066);

40. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang


Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5068);

41. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang


Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 154, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5073);

42. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang


Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5234);

43. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang


Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1991 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3445);

44. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996 tentang


Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, serta Bentuk dan
Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan
Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1996 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3660);

45. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2000 tentang


Tingkat Ketelitian Peta Untuk Penataan Ruang Wilayah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3934);
46. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 tentang
Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2001 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4145);

47. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang


Penatagunaan Tanah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 45, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4385 );

48. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang


Perencanaan Kehutanan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 146, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4452);

49. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang


Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 137, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5056)
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2009
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5056);

50. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 tentang


Irigasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2006 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4624);

51. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang


Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan
Hutan serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 22, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4696)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 16, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4814);

52. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang


Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan
Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4737);

53. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang


Konservasi Sumberdaya Ikan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4779);
54. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4833);

55. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2009 tentang


Kawasan Industri (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 47, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4987);

56. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang


Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 21, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5103);

57. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 tentang


Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat dalam
Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2010 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5160);

58. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang


Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam ( Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5217);

59. Keputusan Presiden Nomor 57 Tahun 1989 tentang Tim


Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional;

60. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang


Pengelolaan Kawasan Lindung;

61. Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 2009 tentang


Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional;

62. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum


Nomor 63/PRT/1993 tentang Garis Sempadan Sungai,
Daerah Penggunaan Sungai dan Bekas Sungai ;

63. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 1998


tentang Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam
Proses Perencanaan Tata Ruang di Daerah;

64. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum


Nomor 20/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknik
Analisis Aspek Fisik danLingkungan, Ekonomi, serta
Sosial Budaya dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang;
65. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
Nomor 41/PRT/M/2007 tentang Pedoman Kriteria
Teknis Kawasan Budi Daya;

66. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17


Tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;

67. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2008


tentang Tata Cara Evaluasi Raperda tentang Tata Cara
Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang
Rencana Tata Ruang Daerah;

68. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun 2009


tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah;

69. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan


Nomor 259/KPTS-II/2000 tentang Penunjukan
Kawasan Hutan di Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I
Kalimantan Barat Seluas + 9.178.760 (Sembilan juta
seratus tujuh puluh delapan ribu tujuh ratus enam
puluh) hektar;

70. Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana


Wilayah Nomor 327 Tahun 2002 tentang Penetapan 6
(enam) Pedoman Bidang Penataan Ruang;

71. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 147 Tahun


2004 tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang
Daerah;

72. Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia


Nomor SK.936/Menhut-II/2013 tentang Perubahan
Peruntukan Kawasan Hutan Seluas + 554.137 (lima
ratus lima puluh empat ribu seratus tiga puluh tujuh)
hektar, Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Seluas +
352.772 (tiga ratus lima puluh dua ribu tujuh ratus
tujuh puluh dua) hektar, dan Penunjukan Kawasan
Bukan Hutan Menjadi Kawasan Hutan Seluas + 52.386
(lima puluh dua ribu tiga ratus delapan puluh enam)
hektar di Provinsi Kalimantan Barat;

73. Peraturan Daerah Kabupaten Mempawah Nomor 1


Tahun 2010 tentang Pembentukan dan Susunan
Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Mempawah
(Lembaran Daerah Tahun 2010 Nomor 1);

74. Peraturan Daerah Kabupaten Mempawah Nomor 13


Tahun 2010 tentang Rencana Kerja Perangkat Daerah
(RKPD) Kabupaten Mempawah;
75. Peraturan Daerah Kabupaten Mempawah Nomor 18
Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Mempawah
Tahun 2009-2014.

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN MEMPAWAH


dan
BUPATI PONTIANAK

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA TATA RUANG


WILAYAH KABUPATEN MEMPAWAH TAHUN 2014-2034

BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Pengertian
Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :


1. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden
Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Daerah adalah Kabupaten Mempawah.

3. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan Perangkat Daerah sebagai unsur


penyelenggara Pemerintahan Daerah Kabupaten Mempawah.

4. Bupati adalah Bupati Pontianak.

5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD


adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Mempawah.

6. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang
udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah,
tempat manusia dan makhluk lain hidup,melakukan kegiatan, dan
memelihara kelangsungan hidupnya.

7. Penataan Ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang,


pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
8. Tata Ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.

9. Struktur Ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem


jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung
kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkhis memiliki
hubungan fungsional.

10. Pola Ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah
yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan
ruang untuk fungsi budidaya.

11. Ijin Pemanfaatan Tanah/Ruang adalah ijin yang dipersyaratkan dalam


kegiatan pemanfaatan tanah atau ruang sesuai dengan
ketentuan/peraturan perundang-undangan.

12. Peraturan Zonasi adalah ketentuan yang mengatur tentang persyaratan


pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya dan disusun untuk
setiap blok/zona peruntukan yang penetapan zonanya dalam rencana
rinci tata ruang.

13. Masyarakat adalah orang perorangan, kelompok orang, termasuk


masyarakat hukum adat dan badan hukum.

14. Peran Masyarakat adalah partisipasi aktif masyarakat dalam proses


perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian
pemanfaatan ruang.

15. Rencana Tata Ruang adalah hasil perencanaan tata ruang.

16. Rencana Tata Ruang Wilayah yang selanjutnya disingkat RTRW adalah
rencana struktur tata ruang wilayah yang mengatur struktur dan pola
ruang wilayah Kabupaten Mempawah.

17. Kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung atau budidaya.

18. Kawasan Lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama
melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya
alam, sumber daya buatan.

19. Kawasan Budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi


utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber
daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan.

20. Kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan


hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara
terpadu.

21. Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi
sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam
persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak
dapat dipisahkan.
22. Hutan Negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak
dibebani hak atas tanah.

23. Hutan Hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak
atas tanah.

24. Hutan Adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah
masyarakat hukum adat.

25. Hutan Produksi adalah hutan yang terletak didalam batas-batas suatu
HPH (memiliki izin HPH) dan dikelola untuk menghasilkan kayu.

26. Hutan Lindung adalah hutan yang ditunjukkan untuk menjalankan


fungsi-fungsi lingkungan hidup, khususnya untuk memelihara tutupan
vegetasi dan stabilitas tanah di lereng-lereng curam dan melindungi
daerah aliran sungai.

27. Hutan Konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu,
yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan
dan satwa serta ekosistemnya.

28. Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk atau ditetapkan
oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan
tetap.

29. Kawasan Hutan Suaka Alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu,
yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga
berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.

30. Kawasan Hutan Pelestarian Alam adalah hutan dengan ciri khas
tertentu, yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga
kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa,
serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya.

31. Kawasan Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang memiliki sifat
khas yang mampu memberikan perlindungan kepada kawasan sekitar
maupun bawahannya sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan
erosi, serta memelihara kesuburan tanah.

32. Hutan Produksi Terbatas adalah hutan yang dialokasikan untuk


produksi kayu dengan intensitas rendah. Hutan produksi terbatas ini
umumnya berada di wilayah pegunungan dimana lereng-lereng yang
curam mempersulit kegiatan pembalakan.

33. Taman Buru adalah kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat
wisata berburu.

34. Perkebunan adalah tegakan hutan yang dibuat dengan menanam


dan/atau pembenihan dalam proses penghijauan atau reboisasi.
35. Pertanian Lahan Basah adalah wilayah-wilayah dimana tanahnya jenuh
dengan air, baik bersifat permanen (menetap) atau musiman.

36. Pertanian Lahan Kering adalah sebidang tanah yang dalam keadaan
alamiah memiliki kondisi antara lain peka terhadap erosi, terutama bila
tanahnya miring atau tidak tertutup vegetasi, tingkat kesuburan
tanahnya rendah, air merupakan faktor pembatas dan biasanya
tergantung dari curah hujan, lapisan olah dan lapisan tanah di
dalamnya (top soil dan sub soil) memiliki kelembaban yang amat
rendah.

37. Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dan semua benda, daya,
keadaan dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya, yang
mempengaruhi kelangsungan kehidupan dan kesejahteraan manusia
serta makhluk hidup lain.

38. Daya Dukung Lingkungan Hidup adalah kemampuan lingkungan hidup


untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.

39. Daya Tampung Lingkungan Hidup adalah kemampuan lingkungan


hidup untuk menyerap zat, energi dan atau komponen lain yang masuk
atau dimasukan kedalamnya.

40. Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan


kesatuan utuh, menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam
membentuk keseimbangan, stabilitas dan produktivitas lingkungan
hidup.

41. Kawasan Resapan Air adalah kawasan yang mempunyai kemampuan


tinggi untuk meresapkan air hujan, sehingga merupakan tempat
pengisian air bumi (akuifer) yang berguna sebagai sumber air.

42. Kawasan Yang Memberikan Perlindungan di bawahnya adalah kawasan-


kawasan yang berfungsi melindungi kawasan yang ada di bawahnya
dari gejala-gejala alam yang dapat merusak lingkungan kawasan
tersebut.

43. Kawasan Perlindungan Setempat adalah kawasan lindung pada hutan


produksi dengan fungsi utama untuk pelestarian lingkungan.

44. Kawasan Suaka Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu baik di
darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai
kawasan pengawetan keragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya.

45. Kawasan Pelestarian Alam dan Cagar Budaya adalah kawasan dengan
ciri khas tertentu, baik di daratan maupu di perairan yang mempunyai
fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara
lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
46. Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disingkat DAS adalah suatu
wilayah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya merupakan satu
kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi
menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya
dan kemudian mengalirkannya melalui sungai utama ke laut.

47. Sempadan Sungai adalah kawasan sepanjang kanan kiri sungai, yang
mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi
sungai.

48. Sempadan Pantai adalah kawasan perlindungan setempat sepanjang


pantai yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan
kelestarian dan kesucian pantai, keselamatan bangunan, dan
ketersediaan ruang untuk lalu lintas umum.

49. Kawasan Sekitar Mata Air adalah kawasan di sekeliling mata air yang
mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi
mata air.

50. Ruang Terbuka Hijau yang selanjutnya disingkat RTH adalah area
memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih
bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara
alamiah maupun yang sengaja ditanam.

51. Kawasan Cagar Alam adalah kawasan suaka alam yang karena kondisi
alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya
atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya
berlangsung secara alami.

52. Kawasan Hutan Konservasi adalah kawasan pelestarian alam untuk


tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis
asli dan atau bukan asli yang dimanfaatkan bagi kepentingan
penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya,
budaya, pariwisata dan rekreasi.

53. Kawasan Taman Wisata Alam adalah kawasan pelestarian alam yang
terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam.

54. Kawasan Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar


kawasan lindung baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan
yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal/lingkungan hunian
dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.

55. Kawasan Perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama


bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat
permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa
pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

56. Kawasan Perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama


pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan
fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa
pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
57. Kawasan Agropolitan adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih
pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi
pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan
oleh adanya keterkaitan fungsional dan hirarki keruangan satuan
sistem permukiman dan sistem agrobisnis.

58. Kawasan Strategis Kabupaten adalah wilayah yang penataan ruangnya


diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam
lingkup kabupaten terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau
lingkungan.

59. Kawasan Pesisir adalah kawasan yang merupakan peralihan antara


darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.

60. Kawasan Rawan Banjir adalah daratan yang berbentuk flat, cekungan
yang sering atau berpotensi menerima aliran air permukaan yang relatif
tinggi dan tidak dapat ditampung oleh drainase atau sungai, sehingga
melimpah ke kanan dan ke kiri serta menimbulkan masalah yang
merugikan manusia.

61. Kawasan Peruntukan Industri adalah bentangan lahan yang


diperuntukan bagi kegiatan industri berdasarkan Rencana Tata Ruang
Wilayah yang ditetapkan.

62. Kawasan Industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan industri


yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang
dikembangkan odan dikelola oleh perusahaan kawasan industri yang
telah memiliki izin usaha kawasan industri.

63. Kawasan Peruntukan Pertambangan (KPP) adalah wilayah yang memiliki


potensi sumber daya bahan tambang yang berwujud padat, cair, atau
gas berdasarkan peta/data geologi dan merupakan tempat
dilakukannya sebagian atau seluruh tahapan kegiatan pertambangan
yang meliputi penelitian, penyelidikan umum, eksplorasi, operasi
produksi/eksploitasi dan pasca tambang, baik diwilayah daratan
maupun perairan, serta tidak dibatasi oleh penggunaan lahan, baik
kawasan budidaya maupun kawasan lindung.

64. Kawasan Pertahanan Negara adalah wilayah yang ditetapkan secara


nasional yang digunakan untuk kepentingan pertahanan.

65. Pusat Kegiatan Wilayah yang selanjutnya disingkat PKW adalah


kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala
provinsi atau beberapa kabupaten/kota.

66. Pusat Kegiatan Lokal yang selanjutnya disingkat PKL adalah kawasan
perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala
kabupaten/kota atau beberapa kecamatan.
67. Pusat Pelayanan Kawasan yang selanjutnya disingkat PPK merupakan
kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala
kecamatan atau beberapa desa;

68. Pusat Pelayanan Lingkungan yang selanjutnya disingkat PPL adalah


pusat permukiman yang berfungsi untuk melayani kegiatan sekala
antar desa;

69. Pembangunan Berkelanjutan yang Berwawasan Lingkungan Hidup


adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup,
termasuk sumber daya ke dalam proses pembangunan untuk menjamin
kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan
generasi masa depan.

70. Terminal Penumpang adalah prasarana transportasi jalan untuk


keperluan menaikkan dan menurunkan penumpang, perpindahan intra
dan/atau antar moda transportasi serta pengaturan kedatangan dan
pemberangkatan kendaraan umum.

71. Terminal Barang adalah prasarana transportasi jalan untuk keperluan


membongkar dan memuat barang serta perpindahan intra dan/atau
antar moda transportasi.

72. Terminal Tipe B adalah terminal yang berfungsi melayani kendaraan


umum untuk angkutan antar kota dalam propinsi, angkutan kota
dan/atau angkutan pedesaan.

73. Terminal Tipe C adalah terminal yang berfungsi melayani kendaraan


umum untuk angkutan pedesaan.

74. Halte adalah tempat para penumpang untuk menunggu kendaraan


umum sekaligus sebagai tempat pemberhentian angkutan umum.

75. Stasiun Kereta Api Umum adalah stasiun kereta api yang berfungsi
untuk keperluan naik turun penumpang sekurang-kurangnya
dilengkapi fasilitas keselamatan, keamanan, kenyamanan, naik turun
penumpang, penyandang cacat, kesehatan dan fasilitas umum.

76. Stasiun Kereta Api Khusus adalah stasiun kereta api yang berfungsi
untuk keperluan bongkar muat barang dilengkapi dengan fasilitas
keselamatan, keamanan, bongkat muat barang, fasilitas umum.

77. Rel Kereta Api adalah dua batang rel kaku yang sama panjang dipasang
pada bantalan sebagai dasar landasan untuk mengarahkan/memandu
kereta api tanpa memerlukan pengendalian.

78. Kawasan Strategis Nasional adalah Kawasan strategis nasional adalah


wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai
pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara,
pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau
lingkungan, termasuk wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan
dunia.
79. Kawasan Strategis Provinsi adalah wilayah yang penataan ruangnya
diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam
lingkup provinsi terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau
lingkungan.

80. Kawasan Strategis Kabupaten/Kota adalah wilayah yang penataan


ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting
dalam lingkup kabupaten/kota terhadap ekonomi, sosial, budaya,
dan/atau lingkungan.

81. Pelabuhan adalah sebuah fasilitas di ujung samudera, sungai, atau


danau untuk menerima kapal dan memindahkan barang kargo maupun
penumpang ke dalamnya.

82. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputisegala bagian


jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang
diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di
atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta
di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan
kabel.

83. Sistem Jaringan Jalan adalah satu kesatuan jaringan jalan yang terdiri
dari sistem jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder
yang terjalin dalam hubungan hirarki.

84. Fungsi Jalan adalah pergerakan pada lalu lintas dan angkutan jalan,
yang dibedakan atas arteri, kolektor, lokal dan lingkungan.

85. Jalan Arteri Primer adalah Jalan yang dikembangkan untuk melayani
dan menghubungkan kota-kota antar pusat kegiatan nasional, antar
pusat kegiatan nasional dan pusat kegiatan wilayah, dan antar kota
yang melayani kawasan berskala besar dan atau cepat berkembang dan
atau pelabuhan-pelabuhan utama.

86. Jalan Arteri Sekunder adalah menghubungkan kawasan primer dengan


kawasan sekunder kesatu, kawasan sekunder kesatu dengan kawasan
sekunder kesatu, atau kawasan sekunder kesatu dengan kawasan
sekunder kedua.

87. Jalan Kolektor Primer adalah Jalan yang dikembangkan untuk


melayani dan menghubungkan kota-kota antar pusat kegiatan wilayah
dan pusat kegiatan ocal dan atau kawasan-kawasan berskala kecil dan
atau pelabuhan pengumpan regional dan pelabuhan pengumpan.

88. Jalan Kolektor Sekunder adalah menghubungkan kawasan sekunder


kedua dengan kawasan sekunder kedua atau kawasan sekunder kedua
dengan kawasan sekunder ketiga.

89. Jalan Lokal adalah Jalan yang melayani angkutan setempat dengan
ciri-ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah
jalan masuk tidak dibatasi.
90. Jalan Lokal Primer adalah menghubungkan secara berdaya guna pusat
kegiatan nasional dengan pusat kegiatan lingkungan, pusat kegiatan
wilayah dengan pusat kegiatan lingkungan, antarpusat kegiatan lokal,
atau pusat kegiatan lokal dengan pusat kegiatan lingkungan, serta
antarpusat kegiatan lingkungan.

91. Jalan Lokal Sekunder adalah menghubungkan kawasan sekunder


kesatu dengan perumahan, kawasan sekunder kedua dengan
perumahan, kawasan sekunder ketiga dan seterusnya sampai ke
perumahan.

92. Pelabuhan Utama (mayor port), yaitu merupakan pelabuhan yang


melayani kapal-kapal besar dan merupakan pelabuhan
pengumpul/pembagi muatan.

93. Pelabuhan Pengumpan adalah pelabuhan yang fungsi pokoknya


melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri, alih muat angkutan laut
dalam negeri dalam jumlah terbatas, merupakan pengumpan bagi
pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpul, dan sebagai tempat asal
tujuan penumpang dan/atau barang, serta angkutan penyeberangan
dengan jangkauan pelayanan dalam provinsi.

94. Tempat Pendaratan Ikan adalah pangkalan pendaratan ikan yang


diperuntukkan bagi kapal perikanan yang beroperasi di perairan
pedalaman dan dan perairan.
95. Jaringan Listrik adalah sistem listrik yang terdiri atas penghantar dan
perlengkapan listrik yang terhubung satu dengan lainnya, untuk
mengalirkan tegangan listrik. dan

96. Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah yang selanjutnya disingkat


BKPRD adalah badan bersifat adhoc yang dibentuk untuk mendukung
pelaksanaan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang di Kabupaten Mempawah dan mempunyai fungsi membantu
pelaksanaan tugas Bupati dalam koordinasi penataan ruang di daerah.

Bagian Kedua
Fungsi RTRW
Pasal 2

RTRW berfungsi sebagai pedoman untuk :


a. penyusunan rencana pembangunan jangka panjang daerah;
b. penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah;
c. pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah
kabupaten;
d. mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan antar sektor;
e. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi; dan
f. penataan ruang kawasan strategis Kabupaten.
Bagian Ketiga
Ruang Lingkup dan Batas Wilayah

Pasal 3

Ruang lingkup Peraturan Daerah tentang RTRW mencakup:


a. tujuan, kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah Kabupaten;
b. rencana struktur dan pola ruang wilayah Kabupaten;
c. penetapan kawasan strategis;
d. arahan pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten; dan
e. ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Daerah.

Pasal 4

(1) RTRW mencakup ruang darat, ruang perairan, dan ruang termasuk
ruang didalam bumi menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
(2) RTRW sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup wilayah
administratif:
a. Kecamatan Sungai Kunyit;
b. Kecamatan Mempawah Hilir;
c. Kecamatan Mempawah Timur;
d. Kecamatan Sungai Pinyuh;
e. Kecamatan Anjongan;
f. Kecamatan Toho;
g. Kecamatan Sadaniang;
h. Kecamatan Segedong; dan
i. Kecamatan Siantan.
(3) Batas wilayah perencanaan RTRW sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mencakup:
a. sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Bengkayang;
b. sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Kubu Raya dan Kota
Pontianak;
c. sebelah barat berbatasan dengan Selat Karimata; dan
d. sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Landak.

Pasal 5

Tujuan Penataan Ruang Wilayah Daerah adalah untuk mewujudkan ruang


wilayah Daerah yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan yang
berbasiskan sektor pertanian, perikanan dan kelautan dengan
mengoptimalkan sumber daya alam, sumber daya manusia serta teknologi
untuk mewujudkan masyarakat yang berkualitas dan sejahtera.

Pasal 6

Kebijakan penataan ruang Daerah meliputi :


a. meningkatkan sektor pertanian;
b. mengembangkan sektor perikanan dan kelautan;
c. mengembangkan penataan ruang yang memperhatikan perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup;
d. kebijakan pengembangan struktur ruang;
e. kebijakan kawasan lindung;
f. kebijakan kawasan strategis Daerah; dan
g. memberikan aksesibilitas ke pusat kegiatan, khususnya pusat produksi
atau pemasaran.

Pasal 7

(1) Strategi untuk peningkatan sektor pertanian sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 6 huruf a meliputi:
a. meningkatkan kesejahteraan petani;
b. meningkatkan potensi pertanian dengan prioritas komoditas
unggulan; dan
c. Meningkatkan investasi usaha baru yang mendukung sektor
pertanian.

(2) Strategi untuk mengembangkan sektor perikanan dan kelautan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b, meliputi :
a. mengembangkan potensi perikanan dan kelautan; dan
b. menata dan mengelola wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

(3) Strategi untuk mengembangkan penataan ruang yang memperhatikan


perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 huruf c, meliputi :
a. mengembangkan tata ruang makro wilayah;
b. mengembangkan tata ruang mikro wilayah;
c. mengembangkan Kawasan Strategis dengan menitikberatkan kepada
pengembangan potensi ekonomi, pemberdayaan potensi masyarakat
lokal dengan tetap memperhatikan aspek kelestarian lingkungan,
serta penerapan sistem insentif dan disinsentif;
d. mengembangkan sarana dan prasarana wilayah;
e. mengelola dan memantapkan kawasan lindung;
f. mengembangkan kawasan budidaya sesuai dengan daya dukung
lingkungan;
g. membangun dan mengembangkan fasilitas pelayanan wilayah;
h. mengembangkan potensi perekonomian daerah melalui promosi,
investasi, aplikasi teknologi, penciptaan iklim usaha yang baik, serta
pemberdayaan usaha ekonomi mikro yang terintegrasi dengan sistem
ekonomi makro;
i. melestarikan dan merehabilitasi kawasan rawan bencana alam; dan
j. menerapkan pengendalian pemanfaatan ruang.

(4) Strategi pengembangan struktur ruang sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 6 huruf d, meliputi :
a. pengembangan pusat-pusat pelayanan guna mendorong
pertumbuhan wilayah dan pusat-pusat permukiman disertai
pemerataan secara seimbang, guna menggerakkan perkembangan
pertanian (dalam arti luas) dan perikanan dan kelautan; dan
b. penyediaan sarana-prasarana wilayah untuk lebih mendorong
investasi produktif sesuai kebutuhan masyarakat melalui
pengembangan dan penyediaan prasarana telekomunikasi, energi,
sumber daya air, dan prasarana lingkungan.
(5) Strategi Kawasan Lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf
e, meliputi :
a. mengembangkan kawasan yang memberikan perlindungan pada
kawasan bawahannya sebagai hutan lindung dan kawasan resapan
air dengannya dengan menjaga fungsi perlindungan pada kawasan
tersebut dengan tidak mengijinkan untuk peruntukan budidaya yang
dapat merusak kawasan lindung ini sedangkan pada kawasan yang
telah mengalami perubahan maka dilakukan pengembalian fungsi
perlindungan baik sebagai hutan lindung maupun sebagai kawasan
resapan air;
b. mengembangkan kawasan perlindungan setempat dengan
pembatasan kegiatan yang tidak berkaitan dengan fungsi ini guna
perlindungan perairan, sedangkan fungsi tambahan yang tidak
mengganggu fungsi ini tetap diijinkan sejauh tidak mengganggu
fungsi perlindungan setempat seperti pengembangan wisata ekologi di
pesisir dan tepi sungai, fungsi transportasi, hankam dsb;
c. mengembangkan kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan
dengan pengamanan kawasan dan/atau benda cagar budaya dan
sejarah dengan melindungi tempat serta ruang di sekitar bangunan
bernilai sejarah atau situs purbakala juga pemberian insentif bagi
yang melestarikan benda cagar budaya; dan
d. mengembangkan kawasan rawan bencana alam dengan menghindari
kawasan yang rawan terhadap bencana alam banjir, longsor dan
bencana alam lainnya sebagai kawasan terbangun.

(6) Strategi Kawasan Strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf


f, meliputi :
a. mengembangkan kawasan untuk kepentingan pertumbuhan
ekonomi, melalui kerjasama dalam penyediaan tanah untuk
pengembangan kegiatan industri skala besar yang ditunjang
penyediaan sarana dan prasarana penunjang kegiatan industri serta
penyediaan infrastruktur untuk mendorong pengembangan
pertumbuhan ekonomi wilayah Kabupaten Mempawah; dan
b. mengembangkan kawasan untuk kepentingan sosio-budaya, melalui
upaya pelestarian kawasan baik sebagai benda cagar budaya dan
kawasan sekitarnya maupun kawasan permukiman yang memiliki
nilai budaya tinggi sekaligus sebagai identitas kawasan.

(7) Strategi untuk memberikan aksesibilitas ke pusat kegiatan, khususnya


pusat produksi atau pemasaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
huruf g, meliputi :
a. pengembangan aksesibilitas khususnya daerah atau wilayah yang
belum terlayani untuk menuju ke pusat kegiatan; dan
b. peningkatan kualitas jaringan prasarana jalan agar dapat
memperlancar pola aliran barang dari pusat produksi menuju ke
pemasaran.
Pasal 8

(1) Rencana struktur Ruang wilayah terdiri atas :


a. pusat kegiatan;
b. sistem jaringan prasarana utama; dan
c. sistem jaringan prasarana lainnya.
(2) Rencana struktur ruang wilayah digambarkan dalam peta dengan
tingkat ketelitian 1:50.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran I,
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Bagian Keempat
Rencana Pengembangan Sistem Pusat Kegiatan

Pasal 9

(1) Rencana Pengembangan sistem pusat kegiatan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 8 huruf a, meliputi :
a. PKW;
b. PKL;
c. PPK; dan
d. PPL.
(2) PKW sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, yaitu Kota
Mempawah (Kecamatan Mempawah Hilir dan Kecamatan Mempawah
Timur) dengan fungsi sebagai pusat jasa pelayanan pemerintahan skala
kabupaten, pendidikan, kesehatan, objek wisata skala kota dan
permukiman.
(3) PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi Kecamatan
Sungai Pinyuh, Sungai Kunyit dan Anjongan dengan fungsi sebagai
pusat kegiatan ekonomi, perdagangan dan jasa, pusat kegiatan industri,
permukiman, objek wisata skala kecamatan, pertanian tanaman pangan
dan hortikultura.
(4) PPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi Kecamatan
Siantan, Segedong dan Toho dengan fungsi sebagai pusat kegiatan
industri, pertanian tanaman pangan, hortikultura dan permukiman.
(5) PPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, meliputi Pentek,
Takong (sepang), Semudun, Sungai Bakau Kecil, Peniraman, Sungai
Purun Kecil, Wajok Hulu dan Sembora dengan fungsi sebagai pusat
pemerintahan skala lokal, pendidikan skala lokal dan pusat
pengumpul/ pengolahan skala lokal.

Bagian Kelima
Rencana Sistem Jaringan Prasarana Utama

Pasal 10

Rencana jaringan prasarana utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8


ayat (1) huruf b, terdiri atas :
a. sistem jaringan transportasi darat;
b. sistem jaringan perkeretaapian; dan
c. sistem jaringan transportasi laut.

Paragraf 1
Sistem Jaringan Transportasi Darat

Pasal 11

Rencana sistem jaringan transportasi darat sebagaimana yang dimaksud


dalam Pasal 10 huruf a meliputi :
a. transportasi darat/jalan;
b. transportasi sungai, dan penyeberangan.

Pasal 12

(1) Rencana sistem jaringan transportasi darat/jalan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 11 huruf a meliputi :
a. jaringan jalan;
b. jaringan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan; dan
c. jaringan pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan.
(2) Jaringan jalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, meliputi :
a. jaringan jalan arteri primer, melintasi :
1. ruas jalan Sungai Pinyuh – Sebadu; dan
2. ruas jalan Sungai Pinyuh – Mempawah – Sungai Kunyit – Sungai
Duri.
b. jaringan jalan kolektor primer K1 yang dipersiapkan untuk
ditingkatkan fungsinya menjadi jalan arteri primer meliputi :
1. ruas jalan Sungai Pinyuh – Bts Kota Mempawah;
2. ruas jalan Daeng Menambon;
3. ruas jalan Raden Kusno;
4. ruas jalan Gst Lelanang (Jln. Merdeka);
5. ruas jalan Bts Kota Mempawah – Sungai Duri;
6. ruas jalan Wan Salim – Sejegi – Parit Raden – Sungai Kunyit Hulu –
Bukit Batu – Sungai Duri II;
7. ruas jalan Sungai Pinyuh – Anjongan; dan
8. ruas jalan Anjongan – Simpang Tiga.
c. jaringan jalan kolektor primer K2 yang ada di Kabupaten Mempawah
yaitu ruas jalan Anjongan – Karangan;
d. jaringan jalan lokal primer yang dipersiapkan untuk pengembangan
dan peningkatan fungsi yang ada di Kabupaten Mempawah, terdiri
atas:
1. Parit Bugis – Peniti Besar – Mandor;
2. Jungkat – Peniti Dalam – Mandor;
3. Peniti Besar – Sungai Purun Kecil;
4. Purun Kecil – Sungai Pinyuh;
5. Sungai Pinyuh – Sungai Bakau Besar;
6. Antibar – Anjungan ;
7. Pasir – Pentek;
8. Sungai Duri II – Amawang;
9. Sungai Limau – Semayar;
10. Toho – Pentek – Suak Barangan – Karangan;
11. Sembora – Benuang – Sepang;
12. Kepayang – Anjongan Melancar; dan
13. Lubuk Ubah – Aris.
(3) Rencana pengembangan jaringan prasarana lalu lintas dan angkutan
jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi :
a. pengembangan terminal angkutan penumpang tipe B di Kecamatan
Mempawah Hilir dan Sungai Pinyuh;
b. pengembangan terminal angkutan penumpang tipe C di Kecamatan
Siantan, Toho, Segedong, Anjongan, Sadaniang dan Sungai Kunyit;
dan
c. pengembangan terminal barang di Kecamatan Sungai Kunyit.
(4) Rencana jaringan pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
a. pengembangan angkutan antar kota dalam provinsi dengan rute
meliputi:
1. Pontianak– Sungai Pinyuh –Mempawah –Singkawang –Pemangkat –
Tebas – Sambas – Kartiasa;
2. Pontianak – Sungai Pinyuh – Anjongan – Bengkayang – Seluas;
3. Pontianak – Sungai Pinyuh – Ngabang – Tanjung – Balai Karangan;
dan
4. Singkawang – Sungai Pinyuh – Sanggau – Sintang.
b. pengembangan angkutan perkotaan dengan asal-tujuan :
1. Sungai Pinyuh – Mandor;
2. Sungai Pinyuh – Takong;
3. Sungai Pinyuh – Sadaniang;
4. Mempawah – Sungai Pinyuh;
5. Mempawah – Sungai Kunyit; dan
6. Toho – Mempawah.
c. pengembangan angkutan pedesaan dengan asal tujuan kecamatan
dan desa di Kecamatan Segedong, Anjongan, Toho dan Sadaniang.
(5) Rencana pengembangan jaringan pelayanan yang tidak termasuk pada
ayat (4) diatur dengan Peraturan Bupati.

Pasal 13

Rencana sistem jaringan transportasi sungai dan penyeberangan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf b terdiri atas :
a. alur pelayaran sungai khususnya untuk angkutan barang skala besar
yaitu Sungai Peniti Besar, Sungai Mempawah, dan Sungai Kapuas; dan
b. pengembangan Pelabuhan Penyeberangan Sungai Rengas (Kecamatan
Sungai Kakap) – Pelabuhan Wajok (Kabupaten Mempawah).

Pasal 14

(1) Sistem jaringan perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada Pasal 10


huruf b terdiri atas :
a. jalur kereta api; dan
b. prasarana kereta api.
(2) Jalur kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri
atas :
a. jalur kereta api umum lintas utara yaitu menghubungkan Pontianak
– Sungai Pinyuh – Mempawah – Singkawang – Pemangkat dan
Sambas;
b. jalur kereta api umum lintas tengah yaitu Sungai Pinyuh – Ngabang;
c. jalur kereta api khusus untuk kepentingan kegiatan pertambangan
yaitu lintas Toho – Sungai Kunyit.
(3) Rencana jaringan prasarana kereta api sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b terdiri atas :
a. stasiun kereta api umum terletak di Sungai Pinyuh dan Mempawah;
dan
b. stasiun kereta api khusus terletak di Toho dan Sungai Kunyit.

Pasal 15

(1) Sistem jaringan transportasi laut sebagaimana yang dimaksud dalam


Pasal 10 ayat (1) huruf c meliputi :
a. tatanan kepelabuhan; dan
b. alur pelayaran.
(2) Tatanan kepelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
terdiri atas :
a. pelabuhan utama yang merupakan pelabuhan internasional yaitu
Pelabuhan Pontianak di Kota Pontianak dikembangkan di Temajo
Kecamatan Sungai Kunyit, dan merupakan kesatuan dengan
pelabuhan internasional Pontianak di Kota Pontianak;
b. pelabuhan pengumpan yang merupakan pelabuhan regional atau
lokal yaitu di Kecamatan Mempawah Timur; dan
c. tempat pendaratan ikan di Kecamatan Siantan.
(3) Alur pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri
atas:
a. alur pelayaran internasional terdiri atas Pelabuhan Temajo Sungai
Kunyit – Luar Negeri; dan
b. alur pelayaran nasional meliputi Temajo – Laut Natuna.

(4) Penambahan alur pelayaran selain sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diatur dengan Peraturan Bupati.

Bagian Keenam
Rencana Pengembangan Sistem Jaringan Prasarana Lainnya

Pasal 16

Sistem jaringan prasarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8


ayat (1) huruf c meliputi :
a. sistem jaringan energi dan kelistrikan;
b. sistem jaringan telekomunikasi;
c. sistem jaringan sumber daya air; dan
d. sistem jaringan pengelolaan lingkungan.
Pasal 17

(1) Rencana pengembangan sistem jaringan energi dan kelistrikan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf a, meliputi :
a. pembangkit tenaga listrik;
b. jaringan transmisi tenaga listrik; dan
c. jaringan pipa minyak dan gas bumi.
(2) Rencana Pembangkit tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, yaitu pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) terdapat di
Mempawah dan Siantan.
(3) Rencana jaringan transmisi tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b, terdiri atas :
a. gardu induk terdapat di Mempawah; dan
b. jaringan Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) yaitu
menghubungkan Pontianak dengan Mempawah.
(4) Rencana jaringan pipa minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c terdiri atas jaringan pipa transmisi gas bumi
Natuna – Tanjung Api – Pontianak – Palangkaraya.

Pasal 18

Rencana pengembangan sistem jaringan telekomunikasi kabupaten


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf b adalah jaringan terestrial
dan jaringan satelit, meliputi :
a. jaringan terestrial dikembangkan secara berkesinambungan untuk
menyediakan pelayanan telekomunikasi di seluruh wilayah kecamatan;
b. jaringan satelit dikembangkan untuk melengkapi sistem jaringan
telekomunikasi melalui satelit komunikasi dan stasiun bumi; dan

Pasal 19

(1) Rencana pengembangan sistem jaringan sumber daya air sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 16 huruf c meliputi :
a. wilayah sungai;
b. daerah irigasi;
c. jaringan air bersih ke kelompok pengguna;
d. sistem pengendalian banjir; dan
e. daerah rawa.
(2) Wilayah sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri
atas :
a. Wilayah Sungai Mempawah meliputi DAS Duri, DAS Mempawah, DAS
Purun Besar, dan DAS Raya; dan
b. Wilayah Sungai Kapuas meliputi DAS Kapuas, DAS Peniti.
(3) Daerah Irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, berjumlah
sebanyak 49 Daerah Irigasi dengan rincian sebagaimana tercantum
dalam Lampiran III.8 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Daerah ini.
(4) Jaringan air bersih ke kelompok pengguna sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c, terdiri dari instalasi pengolahan air minum.
(5) Sistem pengendalian banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
d, terdiri dari:
a. normalisasi sungai;
b. pembangunan kanal pengendali banjir apabila sungai yang ada tidak
memungkinkan untuk diperbesar dimensi salurannya;
c. pembuatan pintu pengatur air; dan/atau
d. pembangunan tanggul dan bendungan pengendali.
(6) Daerah rawa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, terdiri atas :
a. daerah rawa Nasional yang meliputi : Daerah rawa Sungai Kunyit
Komplek, Daerah rawa Mempawah Komplek, Daerah rawa Jungkat
Komplek, dan Daerah rawa Penepat;
b. daerah rawa Provinsi yang meliputi : Daerah rawa Pinyuh Komplek,
Daerah rawa Siantan Komplek, Daerah rawa Segedong Komplek,
Daerah rawa Kunyit Komplek dan Daerah rawa Kampung Pasir; dan
c. daerah rawa Kabupaten yang meliputi : Daerah rawa Mempawah
Komplek 5.826 Ha, Daerah rawa Sungai Kunyit 4.212 Ha, Daerah
rawa Sungai Pinyuh Komplek 6.122 Ha, Daerah rawa Siantan 5.310
Ha, dan Daerah rawa Segedong 7.159 Ha.

Pasal 20

(1) Rencana pengembangan sistem prasarana pengelolaan lingkungan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf d, meliputi :
a. sistem jaringan pengelolaan persampahan;
b. sistem jaringan air minum;
c. sistem jaringan drainase;
d. sistem jaringan air limbah; dan
e. prasarana air baku untuk air bersih.
(2) Rencana pengembangan sistem jaringan pengelolaan persampahan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a terdiri atas
pengembangan Tempat Pemrosesan Akhir di Kawasan Sungai Bakau
Besar Laut dengan sistem sanitary landfill .
(3) Rencana pengembangan sistem jaringan air minum sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf b meliputi :
a. pembangunan sistem baru untuk melayani daerah yang belum
terlayani;
b. peningkatan kapasitas produksi Perusahaan Daerah Air Minum dan
menurunkan kehilangan air; dan
c. perbaikan dan rehabilitasi sistem transmisi dan distribusi.

(4) Rencana pengembangan sistem jaringan drainase sebagaimana


dimaksud dalam ayat (1) huruf c meliputi :
a. drainase primer dilakukan normalisasi dan perkuatan tebing;
b. drainase sekunder dilakukan pembangunan sistem drainase pada
daerah permukiman perkotaan dan perdesaan yang rawan bencana
banjir dan genangan air limbah menuju drainase primer; dan
c. drainase tersier dilakukan pembangunan sistem drainase pada
lingkungan permukiman perkotaan dan perdesaan menuju drainase
sekunder.
(5) Rencana pengembangan sistem jaringan air limbah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf d meliputi :
a. pengembangan sistem pengelolaan limbah domestik secara off site
pada daerah yang secara teknis memungkinkan dan ekonomis; dan
b. peningkatan kesadaran masyarakat untuk mau membangun dan
menggunakan MCK baik pribadi maupun umum untuk mengurangi
beban limbah domestik di badan air penerima.
(6) Rencana pengembangan prasarana air baku untuk air bersih
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e, terdiri atas intake air
baku dan jaringan pipa transmisi air baku.

Pasal 21

(1) Rencana pola ruang wilayah terdiri atas :


a. kawasan lindung; dan
b. kawasan budidaya.
(2) Rencana pola ruang wilayah digambarkan dalam peta dengan tingkat
ketelitian 1:50.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran II, yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Pasal 22

(1) Rencana pengembangan kawasan lindung sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 21 huruf a, meliputi :
a. kawasan yang memberikan perlindungan bagi kawasan bawahannya;
b. kawasan perlindungan setempat;
c. kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya;
d. kawasan rawan bencana alam;
e. kawasan lindung geologi; dan
f. kawasan lindung lainnya.
(2) Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan
bawahannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, mencakup :
a. kawasan hutan lindung meliputi :
1. hutan lindung di Kecamatan Sadaniang dengan luas kurang lebih
818,850 Ha;
2. hutan lindung di Kecamatan Sadaniang dengan luas kurang lebih
428,720 Ha;
3. hutan lindung di Kecamatan Sadaniang dengan luas kurang lebih
1.313,390 Ha;
4. hutan lindung di Kecamatan Sadaniang dengan luas kurang lebih
1.251,505 Ha;
5. hutan lindung di Kecamatan Sadaniang dengan luas kurang lebih
19,204 Ha;
6. hutan lindung di Kecamatan Sadaniang dengan luas kurang lebih
77,704 Ha; dan
7. hutan lindung di Kecamatan Sadaniang dengan luas kurang lebih
39,442 Ha.
b. kawasan bergambut di Kecamatan Sungai Kunyit, Sadaniang,
Mempawah Hilir, Mempawah Timur, Sungai Pinyuh dan Anjongan
seluas kurang lebih + 31,14 Ha; dan
c. kawasan resapan air di Kecamatan Siantan, Sungai Pinyuh,
Mempawah Hilir dan Sungai Kunyit seluas kurang lebih 194.016,89
Ha.
(3) Kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b meliputi:
a. sempadan pantai yang tersebar pada Kecamatan Siantan, Segedong,
Sungai Pinyuh, Mempawah Timur, Mempawah Hilir dan Sungai
Kunyit;
b. sempadan sungai yang meliputi :
1. sempadan sungai besar pada Wilayah Sungai Mempawah, yaitu
Sungai Raya Duri, Mempawah dan Sungai Peniti; dan
2. sempadan sungai kecil yang tersebar pada Kecamatan Siantan,
Segedong, Sungai Pinyuh, Sungai Kunyit, Sadaniang, Mempawah
Hilir dan Mempawah Timur.
(4) Kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c terdapat di Kecamatan Mempawah Hilir
dan Mempawah Timur meliputi Makam Opu Daeng Menambon, Istana
Amantubillah Kerajaan Mempawah, Mesjid Jami’Atul Khoir, Komplek
Makam Raja Mempawah, Makam Habib Husen Alkadri dan Kelenteng
Long Fong Pa.
(5) Kawasan rawan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d,
meliputi :
a. kawasan tanah longsor di Kecamatan Sadaniang dan Sungai Pinyuh;
b. kawasan rawan kebakaran hutan dan lahan di semua kecamatan;
c. kawasan rawan gelombang pasang disepanjang pesisir pantai; dan
d. kawasan rawan banjir di Kecamatan Mempawah Hilir, Mempawah
Timur, Sungai Kunyit, Segedong, Toho dan Siantan.
(6) Kawasan lindung geologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e,
meliputi :
a. kawasan sekitar mata air yang tersebar pada semua Kecamatan; dan
b. kawasan rawan abrasi tersebar disepanjang pesisir pantai.
(7) Kawasan lindung lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f
yaitu kawasan RTH yang terdapat di kota/kawasan perkotaan dengan
luas minimal 30% dari luasan wilayah perkotaan.

Pasal 23

Rencana pengembangan kawasan budidaya sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 21 Ayat (1) huruf b yaitu rencana pengembangan kawasan budidaya
Daerah.

Pasal 24

Rencana pengembangan kawasan budidaya sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 21 ayat (1) huruf b meliputi :
a. kawasan peruntukan hutan produksi;
b. kawasan peruntukan pertanian;
c. kawasan peruntukan perikanan;
d. kawasan peruntukan pertambangan;
e. kawasan peruntukan permukiman;
f. kawasan peruntukan industri;
g. kawasan peruntukan pariwisata; dan
h. kawasan peruntukan lainnya.

Pasal 25

(1) Kawasan peruntukan hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 24 huruf a meliputi :
a. kawasan hutan produksi;
b. kawasan hutan produksi konversi; dan
c. kawasan hutan produksi terbatas.
(2) Kawasan peruntukan hutan produksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a meliputi :
a. hutan produksi Segedong dan Siantan dengan luas kurang lebih
19.217,259 Ha;
b. hutan produksi Sungai Pinyuh dan Anjongan dengan luas kurang
lebih 12,100 Ha;
c. hutan produksi Sadaniang dengan luas kurang lebih 36,817 Ha;
d. hutan produksi Anjongan, Mempawah Hilir, Mempawah Timur,
Sungai Kunyit, Toho, dan Sadaniang dengan luas kurang lebih
23.743,281 Ha;
e. hutan produksi Sungai Kunyit dan Sadaniang dengan luas kurang
lebih 2.804,990 Ha; dan
f. hutan produksi Sadaniang dengan luas kurang lebih 4.215,808 Ha.
(3) Kawasan peruntukan hutan produksi konversi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b, meliputi :
a. hutan produksi konversi di Kecamatan Sadaniang dan Mempawah
Hilir dengan luas kurang lebih 128,688 Ha; dan
b. hutan produksi konversi di Kecamatan Sadaniang dengan luas
kurang lebih 2.238,683 Ha.
(4) Kawasan peruntukan hutan produksi terbatas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c, mencakup :
a. hutan produksi terbatas di Kecamatan Sungai Kunyit, Mempawah
Hilir dan Sadaniang dengan luas kurang lebih 716,740 Ha;
b. hutan produksi terbatas di Kecamatan Sungai Kunyit dan Mempawah
Hilir dengan luas kurang lebih 3.501,060 Ha;
c. hutan produksi terbatas di Kecamatan Mempawah Timur dengan luas
kurang lebih 18,762 Ha;
d. hutan produksi terbatas di Kecamatan Mempawah Timur, Sungai
Pinyuh dan Anjongan dengan luas kurang lebih 4.528,772 Ha;
e. hutan produksi terbatas di Kecamatan Sadaniang dengan luas
kurang lebih 5.493,624 Ha; dan
f. hutan produksi terbatas di Kecamatan Sadaniang dan Toho dengan
luas kurang lebih 380,395 Ha.
Pasal 26

(1) Kawasan peruntukan pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24


huruf b, terdiri atas:
a. kawasan pertanian tanaman pangan;
b. kawasan pertanian hortikultura;
c. kawasan perkebunan; dan
d. kawasan peternakan.
(2) Kawasan pertanian tanaman pangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a, berada di kawasan pertanian lahan basah dan lahan kering
dengan pengembangan jenis komoditas :
a. padi sawah di Kecamatan Toho, Siantan dan Segedong dengan luas
kurang lebih 11.405 Ha;
b. padi ladang di Kecamatan Toho dengan luas kurang lebih 185 Ha;
c. jagung di Kecamatan Segedong dan Siantan dengan luas kurang lebih
633 Ha;
d. ubi kayu di Kecamatan Segedong dan Mempawah Hilir dengan luas
kurang lebih 223 Ha;
e. ubi jalar di Kecamatan Siantan dan Toho dengan luas kurang lebih 33
Ha;
f. kacang tanah di Kecamatan Toho dan Sungai Kunyit dengan luas
kurang lebih 6 Ha;
g. kedelai di Kecamatan Toho dan Segedong dengan luas kurang lebih 9
Ha; dan
h. kacang hijau di Kecamatan Mempawah Hilir dan Segedong dengan
luas kurang lebih 18 Ha.
(3) Kawasan pertanian tanaman pangan dikembangkan sebagai lahan
pertanian pangan berkelanjutan (LP2B).
(4) Kawasan pertanian hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, berada di kawasan pertanian lahan kering dengan
pengembangan jenis komoditas :
a. buah-buahan meliputi pisang, durian, nenas, jeruk siam, rambutan
dengan luas kurang lebih 12.959,30 Ha, diarahkan di setiap
kecamatan; dan
b. sayur-sayuran meliputi semangka, kacang panjang, petsai, terung,
ketimun dengan luas kurang lebih 375 Ha, diarahkan di setiap
kecamatan.
(5) Kawasan peruntukan perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, terdiri atas:
a. kawasan perkebunan karet terutama di Kecamatan Toho, Sadaniang,
Sungai Pinyuh dan Anjongan dengan luas kurang lebih 12.387,27 Ha;
b. kawasan perkebunan Kelapa Dalam terutama di Kecamatan Siantan,
Segedong, Sungai Pinyuh, Mempawah Hilir, Mempawah Timur dan
Sungai Kunyit dengan luas kurang lebih 19.843,74 Ha; dan
c. kawasan perkebunan Kelapa Hybrida terutama di Kecamatan Siantan
dengan luas kurang lebih 777 Ha.
(6) Kawasan peruntukan peternakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d, terdiri atas :
a. ternak besar meliputi komoditas sapi yang terdapat di Kecamatan
Sungai Kunyit dan Toho;
b. ternak kecil meliputi komoditas babi yang terdapat di Kecamatan
Toho, Sadaniang, Anjongan dan komoditas kambing yang terdapat di
Kecamatan Sungai Kunyit; dan
c. ternak unggas meliputi komoditas ayam ras yang terdapat di
Kecamatan Mempawah Hilir, Mempawah Timur, Anjongan, komoditas
ayam buras dan komoditas itik yang terdapat di Kecamatan Siantan,
Segedong, Sungai Pinyuh, Anjongan, Mempawah Hilir, Mempawah
Timur, Sungai Kunyit, Sadaniang.

Pasal 27

Rencana kawasan peruntukan perikanan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 24 huruf c terdiri atas :
a. kawasan peruntukan perikanan tangkap yang terdapat di Kecamatan
Sungai Pinyuh, Mempawah Hilir, Mempawah Timur dan Sungai Kunyit;
b. kawasan peruntukan perikanan budidaya yang terdapat di Kecamatan
Mempawah Hilir, Mempawah Timur, Anjongan dan Toho; dan
c. kawasan pengolahan hasil perikanan, yaitu industri perikanan dan
tempat pelelangan ikan, yang tersebar di Kecamatan Mempawah Timur
dan Mempawah Hilir.

Pasal 28

(1) Kawasan Peruntukan Pertambangan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 24 huruf d merupakan bagian dari RTRW yang diperuntukkan
bagi kegiatan usaha pertambangan dapat berupa Kawasan Peruntukan
Pertambangan Mineral, Batubara.
(2) Kawasan Peruntukan Pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), terdiri atas :
a. Kecamatan Anjongan, Kecamatan Mempawah Hilir, Kecamatan Toho
dan Kecamatan Sadaniang termasuk kawasan peruntukan
pertambangan/wilayah usaha pertambangan mineral logam;
b. Kecamatan Anjongan, Kecamatan Toho dan Kecamatan Sadaniang
termasuk kawasan peruntukan/wilayah usaha pertambangan
mineral non logam;
c. Kecamatan Sungai Kunyit, Kecamatan Mempawah Hilir, Kecamatan
Mempawah Timur, Kecamatan Anjongan dan Kecamatan Toho
termasuk kawasan peruntukan pertambangan/wilayah usaha
pertambangan batubara (gambut); dan
d. Kecamatan Sungai Pinyuh, Kecamatan Sungai Kunyit, Kecamatan
Anjongan, Kecamatan Mempawah Hilir dan Kecamatan Toho
termasuk kawasan peruntukan pertambangan/wilayah usaha
pertambangan batuan.
Pasal 29

Rencana kawasan peruntukan permukiman sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 24 huruf e meliputi :
a. kawasan peruntukan permukiman perkotaan berada di kawasan
perkotaan Ibukota Kabupaten dan Kota, Ibukota Kecamatan dan Desa
yang sudah menampakkan gejala perkotaan seperti di Kecamatan
Sungai Pinyuh, Segedong dan Mempawah Timur; dan
b. kawasan peruntukan permukiman perdesaan berada di luar kawasan
perkotaan yang didominasi oleh penggunaan pertanian lahan basah,
pertanian lahan kering dan perkebunan seperti di Kecamatan
Mempawah Hilir, Sungai Kunyit, Anjongan, Siantan, Toho dan
Sadaniang.

Pasal 30

(1) Rencana kawasan peruntukan industri, sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 24 huruf f, terdiri atas :
a. kawasan peruntukan industri besar meliputi industri kimia dan
bahan bangunan (pengetaman, moulding, arang tempurung), industri
sandang dan kerajinan (tukang emas), industri pangan (minyak
kelapa, tepung, jagung, beras dll, industri es batu, industri kecambah
dan batu, industri minuman ringan dan AMDK);
b. kawasan peruntukan industri menengah meliputi industri logam dan
elektronika (las dan bubuk, bak truk, reparasi kapal dan perahu,
reparasi roda empat), industri kimia dan bahan bangunan (peti kemas
dari kayu, photocopy, percetakan, sablon, vulkanisir ban, pemecah
batu, pasir zicron, furnitur dari kayu dan meubel kayu) industri
sandang dan kerajinan (pengolahan kulit kayu dan penjahit pakaian)
industri pangan (udang dan ikan, minyak nabati dan garahu, minyak
sawit, kopi bubuk, kerupuk, selai pisang); dan
c. kawasan peruntukan industri rumah tangga meliputi industri logam
(tralis pagar dari logam, alat angkut), industri kimia dan bahan
bangunan (sablon, karet remah, kaca cermin, bengkel las dan
pengisian accu dan cas accu), industri sandan dan kerajinan (alat
dapur dan pakaian jadi tekstil), industri pangan (kue kering, roti &
roti bakar, mie basah).
(2) Alokasi lahan untuk rencana kawasan peruntukan industri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yaitu :
a. kecamatan Siantan dengan luas kurang lebih 1.000 Ha; dan
b. kecamatan Sungai Kunyit dengan luas kurang lebih 600 Ha.

Pasal 31

Rencana kawasan peruntukan pariwisata, sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 24 huruf g terdiri atas:
a. Kawasan peruntukan wisata alam meliputi :
1. pulau temajo terdapat di Sungai Kunyit;
2. pantai kijing terdapat di Kecamatan Sungai Kunyit;
3. jungkat beach terdapat di Kecamatan Siantan;
4. air terjun sambora terdapat di Kecamatan Toho; dan
5. Kawasan lainnya yang terdapat di sepanjang garis pantai di
Kabupaten Mempawah.
b. Kawasan peruntukan wisata budaya dan peninggalan sejarah meliputi :
1. keraton amantubillah terdapat di kecamatan Mempawah Timur;
2. makam habieb husein Al-Qadry terdapat di Kecamatan Mempawah
Timur;
3. makam opu daeng manambon terdapat di Kecamatan Mempawah
Hilir;
c. Kawasan peruntukan wisata religi meliputi :
1. masjid jami’atul khoir terdapat di Kecamatan Mempawah Timur;
2. vihara thein hew sin mu terdapat di Kecamatan Mempawah Hilir; dan
3. goa maria bernadetha terdapat di Kecamatan Toho dan Anjongan.
d. Kawasan peruntukan pariwisata minat khusus meliputi :
1. wisata pemancingan ikan atau udang lokal di DAS Mempawah
2. wisata kuliner di Kecamatan Sungai Kunyit, Segedong, Mempawah
Hilir, dan Mempawah Timur; dan
3. wisata nusantara terdapat di Kecamatan Mempawah Hilir.
e. Kawasan peruntukan efen unggulan, meliputi :
1. Kegiatan robo-robo di kuala mempawah terdapat di Kecamatan
Mempawah Timur;
2. cap go meh terdapat di Kecamatan Sungai Pinyuh;
3. naik dango terdapat di Kecamatan Anjongan, Sadaniang dan Toho;
4. sahur-sahur terdapat di Kecamatan Mempawah Hilir; dan
5. sedekah bumi terdapat di Kecamatan Anjongan, Toho dan Mempawah
Hilir.

Pasal 32

(1) Pengembangan kawasan peruntukan lainnya sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 24 huruf h meliputi :
a. kawasan peruntukan perdagangan dan jasa; dan
b. kawasan peruntukan pertahanan dan keamanan.
(2) Pengembangan kawasan peruntukan perdagangan dan jasa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah meliputi
a. kawasan perdagangan dan jasa skala wilayah;
b. perdagangan dan jasa skala lokal; dan
c. perdagangan dan jasa sektor informal.
(3) Kawasan Perdagangan dan jasa skala wilayah sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a adalah :
a. kawasan yang memiliki fasilitas perdagangan dan jasa seperti pasar
induk dengan skala layanan wilayah Kabupaten Mempawah dan
bahkan mungkin lebih, diarahkan pada lokasi khusus yang memiliki
potensi dan daya tarik sebagai kawasan strategis dan/atau kawasan
tujuan pariwisata dan daya tarik wisata, sesuai fungsi dan hirarki
wilayah yang telah ditentukan;
b. kewajiban untuk menyediakan sarana prasarana pendukung yang
memadai dan memperhatikan jarak antar kawasan maupun fasilitas
yang ada dengan mempertimbangkan persaingan usaha yang sehat;
dan
c. dikembangkan secara proporsional, dan terkendali dengan
memperhatikan karakteristik sosial ekonomi masyarakat lokal,
pengembangan UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) dan sektor
informal, serta kebutuhan sesuai Peraturan perundangan yang
berlaku.
(4) Kawasan Perdagangan dan jasa skala lokal sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b adalah meliputi :
a. kawasan yang memiliki fasilitas perdagangan dan jasa seperti pasar
tradisional, pasar modern dan/atau kawasan Pusat Perbelanjaan
dengan skala layanan lokal yaitu lingkup desa dan/atau kecamatan,
diarahkan di setiap pusat-pusat layanan di tiap desa dan kecamatan;
b. kewajiban untuk menyediakan sarana prasarana pendukung yang
memadai dan memperhatikan jarak antar kawasan maupun fasilitas
yang ada dengan mempertimbangkan persaingan usaha yang sehat;
dan
c. dikembangkan secara proporsional, dan terkendali dengan
memperhatikan karakteristik sosial ekonomi masyarakat lokal,
UMKM serta kebutuhan sesuai Peraturan perundangan yang berlaku.
(5) Kawasan Perdagangan dan jasa sektor informal sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf c dikembangkan secara proporsional dan terkendali
untuk mendukung penguatan ekonomi kerakyatan di setiap kawasan
perkotaan dan perdesaan, diatur oleh Pemerintah Daerah, dan/atau
disediakan ruangnya oleh masyarakat umum, sektor swasta,
Pemerintah Daerah, Pemerintah Daerah Propinsi maupun Pemerintah
Daerah Kabupaten.
(6) Kawasan peruntukan pertahanan dan keamanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b yaitu:
a. Kodim 1201/Mempawah di Kecamatan Mempawah Hilir;
b. Yonif 643/Wanara Saktidi Kecamatan Anjongan;
c. Denzipur-6/Satya Dikdaya di Kecamatan Anjongan;
d. Koramil yang terdapat di kecamatan-kecamatan wilayah Kabupaten;
e. Pos TNI AL Tipe A Mempawah di Kecamatan Mempawah Hilir; dan
f. Pos TNI AL Tipe B Temajo di Kecamatan Sungai Kunyit.

Pasal 33

(1) Kawasan strategis yang ada di Daerah terdiri atas :


a. Kawasan Strategis Nasional;
b. Kawasan Strategis Provinsi; dan
c. Kawasan Strategis Kabupaten.
(2) Rencana kawasan strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian 1:50.000
sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
(3) Penetapan Kawasan Strategis Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditindaklanjuti dengan penyusunan Rencana Rinci Kawasan
Strategis Kabupaten.
Pasal 34

Kawasan Strategis Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1)


huruf a, adalah kawasan strategis dari sudut kepentingan pendayagunaan
sumberdaya alam dan teknologi tinggi yaitu Kawasan Stasiun Pengamat
Dirgantara Pontianak yang terdapat di Kecamatan Siantan.

Pasal 35

Kawasan Strategis Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1)


huruf b, adalah kawasan strategis dari sudut kepentingan pertumbuhan
ekonomi di Kawasan Pelabuhan Utama Temajo dan sekitarnya di
Kecamatan Sungai Kunyit dengan sektor unggulan industri pengolahan
bauksit dan industri lainnya.

Pasal 36

Kawasan Strategis Kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat


(1) huruf c, meliputi :
a. kawasan yang memiliki nilai strategis dari sudut kepentingan
pertumbuhan ekonomi meliputi :
1. kawasan sub pusat perdagangan dan jasa di Kecamatan Sungai
Pinyuh
2. kawasan industri di Kecamatan Sungai Kunyit dan Siantan; dan
b. kawasan yang memiliki nilai strategis dari sudut kepentingan sosial
budaya terdiri atas Kawasan Keraton Amantubillah, Makam Habib
Husein di Kecamatan Mempawah Timur dan Sebukit di Kecamatan
Mempawah Hilir.

Pasal 37

(1) Arahan pemanfaatan ruang wilayah Daerah berpedoman pada rencana


struktur ruang, pola ruang dan kawasan strategis.
(2) Arahan pemanfaatan ruang wilayah Daerah dilaksanakan melalui
penyusunan dan pelaksanaan program pemanfaatan ruang beserta
perkiraan pendanaannya sebagaimana tercantum dalam Lampiran II,
yang merupakan bagian yang tidak dipisahkan dari Peraturan Daerah
ini.

Pasal 38

(1) Program pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37


ayat (2) disusun berdasarkan indikasi program lima tahunan.
(2) Indikasi program utama lima tahunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri dari 4 (empat) tahapan, yaitu :
a. Tahap pertama, lima tahun pertama (2014- 2019) yang terbagi atas
program tahunan;
b. Tahap kedua, lima tahun kedua (2020 – 2024);
c. Tahap ketiga, lima tahun ketiga (2025 – 2029); dan
d. Tahap keempat, lima tahun keempat (2030 – 2034).
(3) Pendanaan program pemanfaatan ruang bersumber dari anggaran
pendapatan dan belanja daerah, investasi swasta, dan/atau kerjasama
pendanaan.
(4) Kerjasama pendanaan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 39

Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Daerah digunakan


sebagai acuan dalam pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang
wilayah Daerah, dilakukan dengan cara :
a. ketentuan umum peraturan zonasi;
b. ketentuan perizinan;
c. ketentuan insentif, disinsentif; dan
d. arahan sanksi.

Pasal 40

(1) Ketentuan umum peraturan zonasi wilayah Daerah sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 39 huruf a digunakan sebagai pedoman bagi
Pemerintah Daerah dalam menyusun peraturan zonasi.
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi memuat :
a. ketentuan umum kegiatan yang diperbolehkan, diperbolehkan dengan
syarat dan kegiatan yang dilarang;
b. ketentuan umum intensitas pemanfaatan ruang;
c. ketentuan umum prasarana dan sarana minimum yang disediakan;
dan
d. ketentuan khusus sesuai dengan karakter masing-masing zona.
(3) Ketentuan umum peraturan zonasi meliputi :
a. ketentuan umum peraturan zonasi untuk rencana struktur ruang;
b. ketentuan umum peraturan zonasi untuk rencana pola ruang; dan
c. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan strategis Daerah.

Pasal 41

(1) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk rencana struktur ruang


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) huruf a meliputi :
a. indikasi arahan peraturan zonasi sistem perkotaan;
b. indikasi arahan peraturan zonasi sistem jaringan transportasi;
c. indikasi arahan peraturan zonasi sistem jaringan energi dan
kelistrikan;
d. indikasi arahan peraturan zonasi sistem jaringan telekomunikasi; dan
e. indikasi arahan peraturan zonasi sistem jaringan sumber daya air.
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk sistem perkotaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a meliputi :
a. peraturan zonasi untuk PKW;
b. peraturan zonasi untuk PKL;
c. peraturan zonasi untuk PPK; dan
d. peraturan zonasi untuk PPL.
(3) Peraturan zonasi untuk PKW sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a disusun dengan memperhatikan :
a. pemanfaatan untuk kegiatan ekonomi perkotaan berskala provinsi
yang didukung dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang
sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;
b. pengembangan fungsi kawasan perkotaan sebagai pusat permukiman
dengan tingkat intensitas pemanfaatan ruang menengah yang
kecenderungan pengembangan ruangnya ke arah horizontal
dikendalikan;
c. penyediaan prasarana dan sarana perekonomian untuk menunjang
kegiatan ekspor-impor yang mendukung Pusat Kegiatan Nasional
Kota Pontianak;
d. pengembangan prasarana dan sarana pusat pelayanan pemerintahan
yang mencakup PKL dan kawasan sekitarnya;
e. pengembangan prasarana transportasi untuk menunjang mobilitas
baik antar wilayah maupun ke luar provinsi;
f. pengembangan dan peningkatan fungsi kawasan industri dan jasa
yang melayani skala provinsi;
g. pengembangan jaringan akses dari pusat-pusat produksi menuju
pusat distribusi barang (hasil produksi); dan
h. pengembangan jaringan telekomunikasi, jaringan prasarana sumber
daya air, dan jaringan transmisi dan pembangkit tenaga listrik yang
mendukung fungsi pelayanan kawasan perkotaan berskala provinsi.
(4) Peraturan zonasi untuk PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
b disusun dengan memperhatikan :
a. pemanfaatan ruang untuk kegiatan ekonomi perkotaan berskala
kabupaten yang didukung dengan fasilitas dan infrastruktur
perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;
b. penyediaan prasarana dan sarana perekonomian untuk menunjang
kegiaatan yang mendukung PKW Mempawah;
c. pengembangan prasarana transportasi untuk menunjang mobilisasi
baik skala lokal maupun wilayah (regional);
d. pengembangan pusat jasa-jasa pelayanan keuangan/bank yang
melayani kabupaten atau melayani beberapa kecamatan;
e. pengembangan jaringan akses dari pusat-pusat industri dan jasa
menuju pusat distribusi (pelabuhan);
f. pengembangan dan peningkatan fungsi kawasan industri dan jasa
yang melayani skala kabupaten dan kecamatan;
g. pengembangan pusat jasa pemerintahan untuk satu kabupaten atau
meliputi beberapa kecamatan, dan
h. pengembangan jaringan telekomunikasi jaringan prasarana sumber
daya air, dan jaringan transmisi dan pembangkit tenaga listrik yang
mendukung fungsi pelayanan kawasan perkotaan berskala
kabupaten.
(5) Peraturan zonasi untuk PPK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
c disusun dengan memperhatikan :
a. pemanfaatan ruang untuk kegiatab ekonomi perdesaan berskala
kecamatan yang didukung dengan fasilitas dan infrastruktur
perdesaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;
b. penyediaan prasarana dan sarana perekonomian untuk menunjang
kegiatan yang mendukung PKW Mempawah;
c. pengembangan prasarana transportasi untuk menunjang mobilisasi
baik skala kecamatan maupun lokal;
d. pengembangan pusat jasa pelayanan perdagangan yang melayani
kecamatan atau melayani beberapa desa;
e. pengembangan jaringan akses dari pusat-pusat produksi menuju
pusat distribusi (pelabuhan lokal);
f. pengembangan dan peningkatan fungsi kawasan jasa yang melayani
skala kecamatan dan desa;
g. pengembangan pusat jasa pemerintahan untuk satu kecamatan atau
meliputi beberapa desa; dan
h. pengembangan jaringan telekomunikasi, jaringan prasarana sumber
daya air dan jaringan transmisi dan pembangkit tenaga listrik yang
mendukung fungsi pelayanan perdesaan berskala kecamatan.
(6) Peraturan zonasi untuk PPL sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf d disusun dengan memperhatikan :
a. pemanfaatan ruang untuk melayani kegiatan ekonomi lingkungan
berskala desa yang didukung dengan fasilitas dan infrastruktur
lingkungan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;
b. penyediaan prasarana dan sarana perekonomian untuk menunjang
kegiatan distribusi yang mendukung Pusat Pelayanan Kecamatan;
c. pengembangan prasarana transportasi untuk menunjang mobilisasi
baik skala lingkungan maupun desa; dan
d. pengembangan pusat jasa pelayanan ekonomi yang melayani desa
atau melayani beberapa lingkungan.

Paragraf 2
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Untuk
Sistem Jaringan Transportasi Darat

Pasal 42

(1) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk sistem jaringan transportasi


darat meliputi :
a. peraturan zonasi untuk jaringan jalan arteri primer ;
b. peraturan zonasi untuk jaringan jalan kolektor primer;
c. peraturan zonasi untuk jaringan jalan lokal primer; dan
d. peraturan zonasi untuk koridor jalan.
(2) Peraturan zonasi untuk jaringan jalan arteri primer disusun dengan
memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang di sepanjang sisi jalan arteri primer dengan
tingkat intensitas menengah hingga tinggi yang kecenderungan
pengembangan ruangnya dibatasi;
b. ketentuan pelarangan alih fungsi lahan yang berfungsi lindung di
sepanjang sisi jalan nasional; dan
c. penetapan garis sempadan bangunan di sisi jalan arter primeri yang
memenuhi ketentuan ruang pengawasan jalan.
(3) Peraturan zonasi untuk jaringan jalan kolektor primer disusun dengan
memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang di sepanjang sisi jalan kolektor primer dengan
tingkat intensitas sedang hingga menengah yang kecenderungan
pengembangan ruangnya dibatasi;
b. ketentuan pelarangan alih fungsi lahan yang berfungsi lindung di
sepanjang sisi jalan kolektor primer; dan
c. penetapan garis sempadan bangunan di sisi jalan kolektor primer
yang memenuhi ketentuan ruang pengawasan jalan.
(4) Peraturan zonasi untuk jaringan jalan lokal primer disusun dengan
memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang di sepanjang sisi jalan lokal primer dengan
tingkat intensitas rendah hingga sedang yang kecenderungan
pengembangan ruangnya dibatasi;
b. ketentuan pelarangan alih fungsi lahan yang berfungsi lindung di
sepanjang sisi jalan lokal primer.
c. penetapan garis sempadan bangunan di sisi jalan lokal primer yang
memenuhi ketentuan ruang pengawasan jalan.
(5) Peraturan zonasi untuk koridor jalan disusun dengan memperhatikan :
a. ruang milik jalan, paling sedikit memiliki lebar sebagai berikut :
1. Jalan bebas hambatan 30 (tiga puluh) meter;
2. Jalan raya 25 (dua puluh lima) meter;
3. Jalan sedang 15 (lima belas) meter; dan
4. Jalan kecil 11 (sebelas) meter.
b. dalam hal ruang milik jalan tidak cukup luas, lebar ruang
pengawasan jalan ditentukan di tepi badan jalan paling sedikit
dengan ukuran sebagai berikut :
1. Jalan arteri primer 15 (lima belas) meter;
2. Jalan kolektor primer 10 (sepuluh) meter;
3. Jalan lokal primer 7 (tujuh) meter;
4. Jalan lingkungan primer 5 (lima) meter;
5. Jalan arteri sekunder 15 (lima belas) meter;
6. Jalan kolektor sekunder 5 (lima) meter;
7. Jalan lokal sekunder 3 (tiga) meter;
8. Jalan lingkungan sekunder 2 (dua) meter; dan
9. Jembatan 100 (seratus) meter ke arah hilir dan hulu.

Paragraf 3

Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Untuk Sistem


Jaringan Transportasi Laut

Pasal 43

(1) Peraturan zonasi untuk pelabuhan umum harus disusun dengan


mematuhi ketentuan mengenai:
a. pemanfaatan ruang untuk kebutuhan operasional dan
pengembangan kawasan pelabuhan;
b. ketentuan pelarangan kegiatan di ruang udara bebas di atas badan
air yang berdampak pada keberadaan jalur transportasi laut; dan
c. pembatasan pemanfaatan ruang di dalam Daerah Lingkungan Kerja
Pelabuhan dan Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan harus
mendapatkan izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

(2) Peraturan zonasi untuk alur pelayaran harus disusun dengan


mematuhi ketentuan mengenai:
a. pemanfaatan ruang pada badan air di sepanjang alur pelayaran
dibatasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
dan
b. pemanfaatan ruang pada kawasan pesisir dan pulau kecil di sekitar
badan air di sepanjang alur pelayaran dilakukan dengan tidak
mengganggu aktivitas pelayaran.

Paragraf 4
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Untuk
Sistem Jaringan Energi

Pasal 44

(1) Ketentuan peraturan zonasi untuk sistem jaringan energi meliputi :


a. peraturan zonasi untuk pembangkit tenaga listrik;
b. peraturan zonasi untuk jaringan transmisi tenaga listrik; dan
c. peraturan zonasi untuk jaringan pipa transmisi gas bumi.

(2) Peraturan zonasi untuk sistem jaringan energi sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) disusun dengan memperhatikan pemanfaatan ruang di
sekitar sistem jaringan energi dan harus memperhatikan jarak aman
dari kegiatan lain.

Paragraf 5
Ketentuan Umum Pengaturan Zonasi Untuk
Sistem Jaringan Telekomunikasi

Pasal 45

Ketentuan Peraturan zonasi untuk sistem jaringan telekomunikasi disusun


dengan memperhatikan pemanfaatan ruang untuk penempatan stasiun
bumi dan menara pemancar telekomunikasi yang memperhitungkan aspek
keamanan dan keselamatan aktivitas kawasan di sekitarnya.

Paragraf 6
Ketentuan Umum Pengaturan Zonasi Untuk
Sistem Jaringan Sumber Daya Air

Pasal 46

Ketentuan Peraturan zonasi untuk sistem jaringan sumber daya air pada
wilayah sungai disusun dengan memperhatikan :
a. pemanfaatan ruang pada kawasan di sekitar wilayah sungai dengan
tetap menjaga kelestarian lingkungan dan fungsi lindung kawasan;
b. pemanfaatan ruang di sekitar wilayah sungai lintas kabupaten secara
selaras dengan pemanfaatan ruang pada wilayah sungai di kabupaten
yang berbatasan; dan
c. pemanfaatan ruang sekitar sungai dapat dilakukan pada jarak 50 meter
dari sungai besar dan 10 meter dari sungai kecil.

Paragraf 7
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Untuk Pola Ruang

Pasal 47

(1) Ketentuan peraturan zonasi untuk rencana pola ruang sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) huruf b meliputi :
a. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan lindung; dan
b. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan budidaya.
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan lindung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi :
a. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan yang memberikan
perlindungan pada kawasan di bawahnya;
b. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan perlindungan setempat;
c. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan suaka alam, pelestarian
alam dan cagar budaya;
d. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan bencana; dan
e. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan lindung geologi;
(3) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan budidaya
sebagaimana dimaksud Pada ayat (1) huruf b meliputi :
a. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan hutan produksi;
b. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan pertanian;
c. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan perikanan;
d. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan perikanan;
e. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan permukiman;
f. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan industri;
g. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan pariwisata
h. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan perdagangan dan
jasa; dan
i. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan pertahanan dan
keamanan.

Paragraf 8
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Untuk Kawasan Lindung

Pasal 48

(1) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan yang memberikan


perlindungan pada kawasan dibawahnya meliputi :
a. pengelolaan kawasan lindung diarahkan untuk mencegah kerusakan
fungsi lindung kawasan yang memberikan perlindungan daerah
bawahannya, kawasan perlindungan setempat, kawasan suaka alam,
dan kawasan lindung lainnya serta membatasi kegiatan yang dapat
dilakukan di dalam kawasan lindung; dan
b. meningkatkan fungsi lindung terhadap sumberdaya tanah,
sumberdaya hutan, sumberdaya air dan keanekaragaman hayati dan
cagar budaya.
(2) Pengelolaan kawasan perlindungan setempat diarahkan untuk
mencegah degradasi sumberdaya tanah, air dan hutan pada sumber air
tanah, sempadan sungai, sempadan pantai dan kawasan resapan air
dan perlindungan ekosistem yang khas;
Pengaturan kawasan perlindungan setempat meliputi :
a. kawasan sempadan pantai yang meliputi daerah surut terendah dan
pasang tertinggi sampai daratan sepanjang tepian yang lebarnya
sesuai dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 m dari
titik pasang tertinggi kea rah darat;
b. kawasan sempadan sungai yang meliputi kawasan sebelar 100 m di
kiri atau kanan sungai besar dan 50 m di kiri atau kanan anak
sungai yang berada di luar permukiman dan untuk sungai di
kawasan berupa sempadan sungai yang diperkirakan cukup untuk
dibangunn jalan inspeksi antara 10 sampai 15 meter; dan
c. kawasan sekitar mata air yang meliputi kawasan paling kurang
dengan jari-jari 200 meter di sekitar mata air dan
embung/bendungan.
(3) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan suaka alam, pelestarian
alam dan cagar budaya, meliputi :
a. pengelolaan kawasan suaka alam diarahkan untuk keberlanjutan
fungsi lindung dan ekosistem alam dan perlindungan
keanekaragaman hayati di wilayah darat, laut dan mencegah kegiatan
budidaya yang menimbulkan dampak merusak lingkungan;
b. pengelolaan kawasan pelestarian alam diarahkan untuk :
1. keberlanjutan fungsi lindung dan keunikan ekosistem kawasan;
2. kepentingan pengembangan pendidikan dan penelitian; dan
3. mencegah kegiatan budidaya yang menimbulkan dampak merusak
lingkungan.
c. pengelolaan kawasan cagar budaya meliputi :
1. pemanfaatan untuk penelitian, pendidikan, dan pariwisata, agama,
sosial, dan kebudayaan;
2. ketentuan pelarangan kegiatan dan pendirian bangunan yang tidak
sesuai dengan fungsi kawasan;
3. pemanfaatan tidak dapat dilakukan apabila bertentangan dengan
upaya perlindungan benda cagar budaya dan sematamata untuk
mencari keuntungan pribadi dan/atau golongan;dan
4. mengupayakan konservasi, dan melakukan revitalisasi, rehabilitasi.
(4) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan bencana meliputi :
a. peraturan zonasi untuk kawasan rawan banjir disusun dengan
memperhatikan:
1. penetapan batas dataran banjir;
2. pemanfaatan dataran banjir bagi ruang terbuka hijau dan
pembangunan fasilitas umum dengan kepadatan rendah; dan
3. ketentuan pelarangan pemanfaatan ruang bagi kegiatan
permukiman dan fasilitas umum penting lainnya.
b. peraturan zonasi untuk kawasan rawan gerakan tanah disusun
dengan memperhatikan :
1. pemanfaatan ruang dengan memperhatikan karakteristik, jenis,
dan ancaman bencana;
2. penentuan lokasi dan jalur evakuasi dari permukiman penduduk;
dan
3. pembatasan pendirian bangunan kecuali untuk kepentingan
pemantauan ancaman bencana dan kepentingan umum.
c. peraturan zonasi untuk kawasan rawan gelombang pasang harus
disusun dengan mematuhi ketentuan mengenai:
1. pemanfaatan ruang dengan mempertimbangkan karakteristik
wilayah pesisir dan laut serta tingkat kerawanan;
2. ketersediaan lokasi dan jalur evakuasi dari permukiman penduduk;
3. kesesuaian struktur bangunan dengan kondisi fisik wilayah;
4. bangunan yang diizinkan hanya untuk kepentingan pemantauan
ancaman bencana; dan
5. penetapan batas pasang tertinggi.
d. peraturan zonasi untuk kawasan rawan abrasi pantai harus disusun
dengan mematuhi
ketentuan mengenai:
1. pemanfaatan ruang dengan mempertimbangkan karakteristik
wilayah pesisir dan laut serta tingkat kerawanan;
2. ketersediaan lokasi dan jalur evakuasi dari permukiman
penduduk;
3. kesesuaian struktur bangunan dengan kondisi fisik wilayah;
4. bangunan yang diizinkan hanya untuk kepentingan pemantauan
ancaman bencana; dan
5. penetapan batas pasang tertinggi.
(5) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan lindung geologi
disusun dengan memperhatikan :
a. melindungi komponen geologi yang terdapat di suatu wilayah
(kawasan cagar alam geologi) seperti adanya keragaman batuan yang
unik, atau memiliki satu-satunya jenis batuan, atau batuan yang
mengandung jejak atau sisa kehidupan di masa lampau (fosil) yang
memiliki nilai paleo-antropologi dan arkeologi, termasuk pula
kawasan yang memiiki bentang alam yang unik misalnya gumuk
pasir, kawah, leher vulkanik dan bentang alam karst tertentu; dan
b. melindungi kegiatan budidaya manusia yang berada dalam suatu
kawasan yang rentan terhadap bencana (kawasan rawan bencana
alam geologi) seperti banjir, sehingga kerugian harta benda ataupun
nyawa dapat dihindari atau ditekan sekecil mungkin.

Paragraf 9
Ketentuan Umum Pengaturan Zonasi Untuk
Kawasan Budidaya

Pasal 49

(1) Ketentuan umum peraturan zonasi hutan produksi meliputi :


a. produksi hasil hutan kayu hanya diperkenankan dari hasil kegiatan
budidaya tanaman hutan dalam kawasan hutan produksi;
b. produksi hutan kayu yang berasal dari hutan alam, hanya
dimungkinkan dari kegiatan penggunaan dan pemanfaatan kawasan
hutan dengan ijin yang sah;
c. pembatasan pemanfaatan hasil hutan untuk menjaga kestabilan
neraca sumber daya hutan;
d. pembatasan pendirian bangunan hanya untuk menunjang kegiatan
pengamanan kawasan dan pemanfaatan hasil hutan; dan
e. pengembangan fungsi hutan produksi menjadi hutan berfungsi
lindung.
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pertanian, meliputi :
a. pemanfaatan ruang untuk perluasan permukiman tradisional
masyarakat setempat secara terbatas dan dengan kepadatan rendah;
b. pencegahan dan pelarangan alih fungsi lahan budidaya pertanian
menjadi lahan non pertanian, kecuali untuk pembangunan sistem
jaringan prasarana penunjang kawasan pertanian, jaringan jalan,
jaringan energi listrik, jaringan telekomunikasi dan jaringan air
minum;
c. peningkatan produktivitas;
d. pengembangan komoditas budidaya pertanian tanaman keras
disesuaikan dengan kebutuhan pasar;
e. pengembangan sarana dan prasarana wisata agro secara terbatas;
f. pengembangan sarana dan prasarana industria agro;
g. diversifikasi pada tanaman perkebunan dapat dilaksanakan
sepanjang persyarakat teknis dipenuh;
h. promosi dan dukungan ekspor komoditas unggulan;
i. memberikan perlindungan terhadap wilayah penghasil produk
perkebunan yang spesifik dengan sertifikat indikasi geografis;
j. pengembangan kawasan peruntukan peternakan batas-batas
zonasinya tidak ditetapkan secara tegas, dapat bercampur dengan
kawasan pertanian dan kawasan permukiman secara terbatas;
k. pemanfaatan lahan pertanian yang dapat mensuplai bahan pakan
ternak secara terpadu dan terintegrasi;
l. pemanfaatan lahan pekarangan permukiman perdesaan untuk
kegiatan peternakan skala rumah tangga; dan
m. pelarangan pengembangan usaha peternakan skala besar di
dalam kawasan permukiman.
(3) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan perikanan meliputi :
a. peningkatan prodiktivitas;
b. pengembangan komoditas budidaya perikanan disesuaikan dengan
kebutuhan pasar;
c. perlindungan kawasan pemijahan;
d. pengembangan sarana dan prasarana perikanan;
e. pemanfaatan sumber daya perikanan setinggi-tingginya tidak
melampaui potensi lestari;
f. penangkapan ikan yang ramah lingkungan dan pelarangan
pemanfaatan zat beracun dan bom; dan
g. penerapan sanksi andimistrasi dan sanksi adat terhadap pelaku
penangkapan ikan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam huruf f.
(4) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pertambangan meliputi :
a. pengawasan secara ketat terhadap kegiatan penambangan untuk
mencegah terjadinya kerusakan lingkungan;
b. wajib melaksanakan reklamasi pada lahan bekas
galian/penambangan;
c. melengkapi perizinan sesuai ketentuan peraturan perundangan-
undangan;
d. pengembangan kawasan pertambangan dilakukan dengan
mempertimbangkan potensi bahan tambang, kondisi geologi dan
geohidrologi dalam kaitannya dengan kelestarian lingkungan;
e. pengelolaan kawasan bekas penambangan harus direhabilitasi sesuai
dengan zona peruntukan yang ditetapkan, sehingga menjadi lahan
yang dapat digunakan kembali sebagai kawasan hijau, ataupun
kegiatan budi daya lainnya dengan tetap memperhatikan aspek
kelestarian lingkungan hidup;
f. pada kawasan yang teridentifikasi keterdapatan mineral yang bernilai
ekonomi tinggi, sementara pada bagian atas kawasan tersebut
meliputi kawasan lindung atau kawasan budi daya sawah yang tidak
boleh alih fungsi atau kawasan permukiman, maka eksplorasi
dan/atau eksploitasi mineral dapat dilaksanakan, namun harus
disertai AMDAL dan teknis penambangan bersyarat;
g. kewajiban melakukan pengelolaan lingkungan selama dan setelah
berakhirnya kegiatan penambangan
h. tidak diperbolehkan menambang batuan di perbukitan yang
dibawahnya terdapat mata air penting atau pemukiman;
i. tidak diperbolehkan menambang bongkah batu dari dalam sungai
yang terletak di bagian hulu dan didekat jembatan;
j. percampuran kegiatan penambangan dengan fungsi kawasan lain
diperbolehkan sejauh mendukung atau tidak merubah fungsi utama
kawasan;
k. penambangan pasir atau sirtu di dalam badan sungai hanya
diperbolehkan pada ruas-ruas tertentu yang dianggap tidak
menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan.
(5) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan permukiman meliputi :
a. arahan peraturan zonasi kawasan permukiman perkotaan; dan
b. arahan peraturan zonasi kawasan permukiman perdesaan.
(6) Arahan peraturan zonasi kawasan permukiman perkotaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) huruf a, mencakup :
a. pengharusan penerapan ketentuan tata lingkungan dan tata
bangunan (amplop bangunan) meliputi ketentuan Koefisien Dasar
Bangunan , Koefisien Lantai Bangunan, Koefisien Daerah Hijau,
Koefisien Tapak Basement, ketinggian bangunan dan Garis
Sempadan Bangunan terhadap jalan;
b. pengharusan penataan lintasan jaringan utilitas dengan
memprioritaskan pada penerapan sistem pembangunan secara
terintegrasi dengan menempatkan dalam trowongan khusus bawah
tanah dan/atau ditanam sesuai dengan pola jalur sempadan jalan
serta memperhatikan keselamatan dan estetika lingkungan;
c. pengharusan penyediaan kelengkapan, keselamatan bangunan dan
lingkungan;
d. pengharusan penataan bangunan pelengkap lingkungan kawasan
permukiman perkotaan seperti reklame agar serasi, aman dan tidak
menganggu arus lalu lintas;
e. pengharusan penetapan jenis dan penerapan syarat penggunaan
bangunan;
f. pengharusan penyediaan kolam penampungan air hujan secara
merata di setiap bagian kota yang rawan genangan air dan rawan
banjir;
g. pengharusan penyediaan fasilitas parkir bagi setiap bangunan untuk
kegiatan usaha; dan
h. pengaturan kepadatan penduduk dan kepadatan bangunan dalam
kawasan permukiman.
(7) Arahan peraturan zonasi kawasan permukiman perdesaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) huruf b, mencakup :
a. pengharusan penerapan ketentuan tata lingkungan dan tata
bangunan (amplop bangunan) meliputi ketentuan Koefisien Wilayah
Terbangun (KWT), Koefisien Dasar Bangunan (KDB), Koefisien Lantai
Bangunan (KLB), Koefisien Daerah Hijau (KDH), Koefisien Tapak
Basement (KTB), Ketinggian dan Garis Sempadan Bangunan (GSB)
terhadap jalan;
b. pengharusan penataan lintasan jaringan utilitas dengan
memprioritaskan pada penerapan sistem pembangunan secara
terintegrasi dengan menempatkan dalam trowongan khusus bawah
tanah dan/atau ditanam sesuai dengan pola jalur sempadan jalan
serta memperhatikan keselamatan dan estetika lingkungan;
c. pengharusan penyediaan kelengkapan, keselamatan bangunan dan
lingkungan;
d. pengharusan penetapan jenis dan penerapan syarat penggunaan
bangunan;
e. pengharusan penyediaan fasilitas parkir bagi setiap bangunan untuk
kegiatan usaha; dan

(8) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan industri meliputi :


a. pemanfaatan kawasan industri diprioritaskan untuk mengolah bahan
baku lokal menggunakan potensi sumber daya alam dan sumber
daya manusia setempat;
b. pemanfaatan kawasan indusri untuk menampung kegiatan aneka
industri sesuai dengan karakteristik kawasan;
c. penyediaan sarana dan prasarana kawasan industri siap bangun; dan
d. pembatasan pembangunan perumahan di dalam kawasan.
(9) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pariwisata meliputi :
a. pemanfaatan potensi alam dan budaya setempat sesuai daya dukung
dan daya tampung lingkungan;
b. perlindungan situs warisan budaya setempat;
c. pembatasan pendirian bangunan non-pariwisata pada kawasan
efektif pariwisata;
d. pembatasan Koefisien Wilayah Terbangun lebih lanjut ditetapkan
dalam Rencana Rinci Tata Ruang Kawasan Strategis Pariwisata;
e. pembangunan fasilitas pariwisata pada kawasan efektif pariwisata
diutamakan fasilitas akomodasi pariwisata dengan klasifikasi
berbintang;
f. pengharusan penyediaan fasilitas parkir yang cukup bagi setiap
bangunan akomodasi dan fasilitas penunjang pariwisata;
g. pengharusan penyediaan sarana dan prasarana lingkungan sesuai
ketentuan perundang-undangan;
h. pengawasan yang perlu dilaksanakan agar kegiatan pariwisata yang
dilakukan tidak membahayakan lingkungan dan tidak berada pada
lahan produktif; dan
i. apabila terdapat kerusakan lingkungan dapat diberikan sanksi
hukum.
(10)Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan perdagangan dan jasa
meliputi :
a. peruntukan lahan sesuai dengan pola pemanfaatan ruang;
b. aktivitas dominan pada sekitar lokasi dengan memperhatikan,
Koefisien Dasar Bangunan, Koefisien Lantai Bangunan dan Koefisien
Dasar Hijau pada kawasan;
c. bukan merupakan jalur jaringan jalan arteri dengan kecepatan tinggi.
d. membatasi kegiatan komersil pada zona perumahan;
e. menyediakan prasarana minimum (parkir, bongkar muat,
penyimpanan/gudang yang memadai;
f. tidak menimbulkan gangguan terhadap kepentingan umum
g. mempunyai ketentuan umum:
1. Koefisien Lantai Bangunan maksimum 16;
2. Koefisien Dasar Bangunan maksimum 60 %;
h. penetapan amplop bangunan;
i. diciptakan kesinambungan jalur bagi pejalan kaki di dalam area
bangunan dan di luar area bangunan dengan mengaitkan pola
pedestrian yang ada;
j. orientasi bangunan di utamakan menghadap akses jalan dan
orientasi utama bangunan adalah pada space berupa ruang terbuka
hijau dan sungai;
k. mengelompokkan fungsi yang saling berhubungan pada zona yang
saling terkoneksikan melalui sistem sirkulasi yang efektif; dan
l. peruntukan ruang bagi ruang terbuka hijau diperbolehkan dalam
bentuk sistem ruang terbuka umum, sistem ruang terbuka pribadi,
sistem ruang terbuka privat yang dapat diakses oleh umum, sistem
pepohonan dan tata hijau dan bentang alam.
(11)Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pertahanan dan keamanan
meliputi :
a. dilarang melakukan kegiatan pemanfaatan ruang di kawasan dan
keamanan Negara yang dapat mengganggu fungsi utama kawasan;
b. pengembangan kegiatan budidaya disekitar kawasan pertahanan dan
keamanan Negara dapat dilaksanakan setelah dilakukan kajian yang
komprehensif serta mendapat persetujuan dan izin dari pejabat yang
berwenang;
c. pengembangan fasilitas penunjang kegiatan pertahanan disesuaikan
dengan kebijakan pertahanan, daya tampung dan nilai strategis
kawasan serta ketentuan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 10
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Untuk
Kawasan Strategis Kabupaten

Pasal 50

(1)Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan strategis Daerah


meliputi :
a. arahan Peraturan zonasi pada kawasan penunjang ekonomi;
b. arahan Peraturan zonasi pada kawasan sosio-kultural; dan
c. arahan Peraturan zonasi pada kawasan yang memiliki fungsi
lingkungan.
(2)Peraturan zonasi untuk kawasan penunjang ekonomi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi :
a. kawasan Penunjang ekonomi dalam skala besar umumnya berupa
kawasan perkotaan, terutama yang memiliki fungsi perumahan,
perdagangan-jasa, industri, transportasi dan berbagai peruntukan
lainnya yang menunjang ekonomi wilayah. Pada kawasan ini harus
ditunjang sarana dan prasarana yang memadai sehingga menimbulkan
minat investasi yang besar;
b. pada setiap bagian dari kawasan strategis ekonomi ini harus
diupayakan untuk mengefisienkan perubahan fungsi ruang untuk
kawasan terbangun melalui arahan bangunan vertikal sesuai kondisi
kawasan masing-masing;
c. pada kawasan strategis secara ekonomi ini harus dialokasikan ruang
atau zona secara khusus untuk industri, perdagangan – jasa dan jasa
wisata perkotaan sehingga secara keseluruhan menjadi kawasan yang
menarik. Pada zonasi ini hendaknya mengalokasikan kawasan khusus
pengembangan sektor informal pada pusat kegiatan masyarakat;
d. pada zona dimaksud harus dilengkapi dengan ruang terbuka hijau
untuk memberikan kesegaran ditengah kegiatan yang intensitasnya
tinggi serta zona tersebut harus tetap dipertahankan;
e. pada kawasan strategis ekonomi ini boleh diadakan perubahan ruang
pada zona yang bukan zona inti (untuk pergadangan – jasa, dan
industri) tetapi harus tetap mendukung fungsi utama kawasan sebagai
penggerak ekonomi dan boleh dilakukan tanpa merubah fungsi zona
utama yang telah ditetapkan;
f. perubahan atau penambahan fungsi ruang tertentu pada ruang
terbuka di kawasan ini boleh dilakukan sepanjang masih dalam batas
ambang penyediaan ruang terbuka;
g. dalam pengaturan kawasan strategis ekonomi ini zona yang dinilai
penting tidak boleh dilakukan perubahan fungsi dasarnya;
h. pada kawasan yang telah ditetapkan sebagai permukiman bila
didekatnya akan diubah menjadi fungsi lain yang kemungkinan akan
mengganggu permukiman harus disediakan fungsi penyangga
sehingga fungsi zona tidak boleh bertentangan secara langsung pada
zona yang berdekatan; dan
i. untuk menjaga kenyamanan dan keamanan pergerakan maka pada
kawasan terbangun tidak boleh melakukan kegiatan pembangunan
diluar area yang telah ditetapkan sebagai bagian dari rumija atau
ruwasja, termasuk melebihi ketinggian bangunan seperti yang telah
ditetapkan.
(3)Peraturan zonasi untuk kawasan sosio-kultural sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b meliputi :
a. kawasan sosio-kultural terdiri atas kawasan peninggalan sejarah
yakni makam, kawasan tujuan wisata dan kawasan daya tarik wisata
budaya. Secara umum kawasan ini harus dilindungi dan salah satu
fungsi yang ditingkatkan adalah untuk penelitian dan wisata budaya.
b. pada radius tertentu harus dilindungi dari perubahan fungsi yang
tidak mendukung keberadaan kawasan dan/atau sesuatu yang
menjadi daya tarik wisata atau dari kegiatan yang intensitasnya tinggi
sehingga mengganggu estetika dan fungsi ;
c. bila sekitar kawasan ini sudah terdapat bangunan misalnya
perumahan harus dibatasi pengembanganya;dan
d. untuk kepentingan pariwisata boleh ditambahkan fungsi penunjang
misalnya souvenir shop atau atraksi wisata yang saling menunjang
tanpa menghilangkan identitas dan karakter kawasan; dan
e. pada zona ini tidak boleh dilakukan perubahan dalam bentuk
peningkatan kegiatan atau perubahan ruang disekitarnya yang
dimungkinkan dapat mengganggu fungsi dasarnya.
(4)Peraturan zonasi untuk kawasan yang memiliki fungsi lingkungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi :
a. pada kawasan ini yang termasuk dalam katagori zona inti harus
dilindungi dan tidak dilakukan perubahan yang dapat mengganggu
fungsi lindung;
b. pada kawasan yang telah ditetapkan memiliki fungsi lingkungan dan
terdapat kerusakan baik pada zona inti maupun zona penunjang
harus dilakukan pengembalian ke rona awal sehingga kehidupan
satwa langka dan dilindungi dapat lestari;
c. untuk menunjang kelestarian dan mencegah kerusakan dalam jangka
panjang harus melakukan percepatan rehabilitasi lahan;
d. pada zona yang telah ditetapkan memiliki fungsi perlindungan
lingkungan tetapi saat ini sudah beralih fungsi menjadi kawasan
budidaya khususnya budidaya semusim, maka harus
mengembangkan hutan rakyat yang memiliki kemampuan
perlindungan seperti hutan;
e. pada zona-zona ini boleh melakukan kegiatan pariwisata alam
sekaligus menanamkan gerakan cinta alam; dan
f. pada kawasan yang didalamnya terdapat zona terkait kemampuan
tanahnya untuk peresapan air maka boleh dan disarankan untuk
pembuatan sumur resapan.

Pasal 51

Ketentuan lebih lanjut mengenai zonasi setiap kawasan diatur dengan


peraturan daerah.
Pasal 52

Izin pemanfaatan ruang dapat berupa :


a. izin prinsip;
b. izin lokasi;
c. izin penggunaan pemanfaatan tanah;
d. izin mendirikan bangunan; dan
e. izin lain berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 53

(1) Segala bentuk kegiatan dan pembangunan prasarana harus


memperoleh ijin pemanfaatan ruang yang mengacu pada RTRW.

(2) Setiap orang atau badan hukum yang memerlukan tanah dalam rangka
penanaman modal wajib memperoleh ijin pemanfaatan ruang dari
Bupati.

Pasal 54

(1) Izin prinsip adalah persetujuan pendahuluan yang diberikan kepada


orang atau badan hukum untuk menanamkan modal atau
mengembangkan kegiatan atau pembangunan di wilayah Daerah, yang
sesuai dengan arahan kebijakan dan alokasi penataan ruang wilayah.

(2) Izin prinsip dipakai sebagai kelengkapan persyaratan teknis


permohonan izin lainnya, yaitu izin lokasi, izin penggunaan
pemanfaatan tanah, izin mendirikan bangunan, dan izin lainnya.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai izin prinsip sebagaimana dimaksud


pada ayat (1), diatur dengan peraturan bupati.

Pasal 55

(1) Ijin alih fungsi lahan / penggunaan tanah adalah ijin yang diberikan
kepada orang atau badan hukum untuk mengubah peruntukan lahan
dari fungsi lindung ke budidaya, atau dari budidaya non terbangun
menjadi budidaya terbangun.

(2) Ijin alih fungsi lahan/penggunaan tanah diperlukan pada lokasi yang
belum memiliki rencana tata ruang rinci dan peraturan zonasi, dan
dilakukan sebelum atau bersamaan dengan proses ijin lokasi.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai izin alih fungsi lahan/penggunaan


tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan peraturan
bupati.

Pasal 56

(1) Izin lokasi adalah ijin yang diberikan kepada orang atau badan hukum
untuk memperoleh tanah/pemindahan hak atas tanah/menggunakan
tanah yang diperlukan dalam rangka penanaman modal.

(2) Izin lokasi diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:


a. untuk luas 1 ha sampai 25 ha diberikan ijin selama 1 (satu) tahun;
b. untuk luas lebih dari 25 ha sampai dengan 50 ha diberikan ijin
selama 2 (dua) tahun;dan
c. untuk luas lebih dari 50 ha diberikan ijin selama 3 (tiga) tahun.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai izin lokasi sebagaimana dimaksud


pada ayat (1), diatur dengan peraturan bupati.

Pasal 57

(1) Izin Penggunaan Pemanfaatan Tanah adalah izin yang diberikan kepada
pengusaha untuk kegiatan pemanfaatan ruang dengan kriteria batasan
luasan tanah lebih dari 5.000 m2.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai izin penggunaan pemanfaatan tanah


sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan peraturan bupati.

Pasal 58

(1) Izin Mendirikan Bangunan Gedung adalah izin yang diberikan kepada
pemilik bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah,
memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai izin umendirikan bangunan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan peraturan daerah.

Pasal 59

(1) Izin lainnya terkait pemanfaatan ruang adalah ketentuan izin usaha
pertambangan, perkebunan, pariwisata, industri, perdagangan dan
pengembangan sektoral lainnya, yang disyaratkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai izin usaha pengembangan sektoral


lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan peraturan
bupati.

Pasal 60

Pemberian insentif dan disinsentif dalam penataan ruang diselenggarakan


untuk :
a. meningkatkan upaya pengendalian pemanfaatan ruang dalam rangka
mewujudkan tata ruang sesuai dengan rencana tata ruang;
b. memfasilitasi kegiatan pemanfaatan ruang agar sejalan dengan rencana
tata ruang; dan
c. meningkatkan kemitraan semua pemangku kepentingan dalam rangka
pemanfaatan ruang yang sejalan dengan rencana tata ruang.

Pasal 61

(1) Bentuk dan tata cara pemberian insentif meliputi :


a. insentif dapat diberikan untuk kegiatan pemanfaatan ruang pada
kawasan yang didorong pengembangannya; dan
b. insentif diberikan dengan tetap menghormati hak orang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Bentuk dan tata cara pemberian disinsentif meliputi :
a. disinsentif diberikan untuk kegiatan pemanfaatan ruang pada
kawasan yang dibatasi pengembangannya; dan
b. disinsentif diberikan dengan tetap menghormati hak orang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 62

(1) Insentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1). dapat berupa
insentif fiskal dan/atau insentif non fiskal.

(2) Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. pemberian keringanan pajak; dan/atau
b. pengurangan retribusi.
(3) Insentif non fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. pemberian kompensasi;
b. subsidi silang;
c. kemudahan perizinan;
d. imbalan;
e. sewa ruang;
f. urun saham;
g. penyediaan prasarana dan sarana;
h. penghargaan; dan/atau
i. publikasi atau promosi.
(4) Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.
(5) Ketentuan mengenai pemberian insentif non fiskal sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(6) Insentif dari Pemerintah kepada pemerintah daerah dapat berupa:
a. subsidi silang;
b.kemudahan perizinan bagi kegiatan pemanfaatan ruang yang diberikan
oleh Pemerintah;
c. penyediaan prasarana dan sarana di daerah;
d.pemberian kompensasi;
e. penghargaan dan fasilitasi; dan/atau
f. publikasi atau promosi daerah.
(7) Insentif dari pemerintah daerah kepada pemerintah daerah lainnya
dapat berupa:
a. pemberian kompensasi dari pemerintah daerah penerima manfaat
kepada daerah pemberi manfaat atas manfaat yang diterima oleh
daerah penerima manfaat;
b. kompensasi pemberian penyediaan sarana dan prasarana;
c. kemudahan perizinan bagi kegiatan yang diberikan oleh pemerintah
daerah kepada investor yang berasal dari daerah; dan/atau
d. publikasi atau promosi daerah.
(8) Insentif dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah kepada
masyarakat dapat berupa:
a. pemberian keringanan pajak;
b. pemberian kompensasi;
c. pengurangan retribusi;
d. imbalan;
e. sewa ruang;
f. urun saham;
g. penyediaan prasarana dan sarana; dan/atau
h. kemudahan perizinan.

Pasal 63

(1) Disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) berupa


disinsentif fiskal dan disinsentif non fiskal.
(2) Disinsentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa
pengenaan pajak yang tinggi.
(3) Disinsentif non fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa:
a. kewajiban memberi kompensasi;
b. pensyaratan khusus dalam perizinan;
c. kewajiban memberi imbalan; dan/atau
d. pembatasan penyediaan prasarana dan sarana.
(4) Pemberian disinsentif fiskal dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(5) Ketentuan mengenai disinsentif non fiskal sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(6) Disinsentif dari Pemerintah kepada pemerintah daerah dapat diberikan
dalam bentuk:
a. pensyaratan khusus dalam perizinan bagi kegiatan pemanfaatan
ruang yang diberikan oleh Pemerintah;
b. pembatasan penyediaan prasarana dan sarana di daerah; dan/atau
c. pemberian status tertentu dari Pemerintah.
(7) Disinsentif dari pemerintah daerah kepada pemerintah daerah lainnya
dapat berupa:
a. pengajuan pemberian kompensasi dari pemerintah daerah pemberi
manfaat kepada daerah penerima manfaat;
b. pembatasan penyediaan sarana dan prasarana; dan/atau
c. pensyaratan khusus dalam perizinan bagi kegiatan pemanfaatan
ruang yang diberikan oleh pemerintah daerah pemberi manfaat
kepada investor yang berasal dari daerah penerima manfaat.
(8) Disinsentif dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah kepada
masyarakat dapat berupa:
a. kewajiban memberi kompensasi;
b. pensyaratan khusus dalam perizinan bagi kegiatan pemanfaatan
ruang yang diberikan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah;
c. kewajiban memberi imbalan;
d. pembatasan penyediaan sarana dan prasarana; dan/atau
e. pensyaratan khusus dalam perizinan.
Pasal 64

Mekanisme pemberian insentif dan disinsentif meliputi :


a. mekanisme pemberian insentif yang berasal dari pemerintah daerah
provinsi diatur dengan peraturan gubernur;
b. mekanisme pemberian insentif yang berasal dari pemerintah daerah
kabupaten diatur dengan peraturan bupati;
c. mekanisme pemberian insentif dari pemerintah daerah kepada
pemerintah daerah lainnya diatur berdasarkan kesepakatan bersama
antar pemerintah daerah yang bersangkutan; dan
d. pengaturan mekanisme pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada
huruf a sampai dengan huruf c berpedoman pada ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 65

(1) Setiap orang yang melakukan pelanggaran di bidang penataan ruang


dikenakan sanksi administratif.
(2) Pelanggaran di bidang penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi:
a. pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tataruang;
b. pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan ruang
yang diberikan oleh pejabat berwenang;
c. pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan persyaratan izin yang
diberikan oleh pejabat yang berwenang; dan/atau
d. menghalangi akses terhadap kawasan yang dinyatakan oleh
peraturan perundang-undangan sebagai milik umum.
(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan;
c. penghentian sementara pelayanan umum;
d. penutupan lokasi;
e. pencabutan izin;
f. pembatalan izin;
g. pembongkaran bangunan;
h. pemulihan fungsi ruang;
i. denda administratif; dan
j. sanksi pidana.
(4) selain sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
pelanggaran di bidang penataan ruang dapat dikenakan sanksi pidana.

Pasal 66

(1) Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) huruf a meliputi:
a. memanfaatkan ruang dengan izin pemanfaatan ruang di lokasi yang
tidak sesuai dengan peruntukkannya;
b. memanfaatkan ruang tanpa izin pemanfaatan ruang di lokasi yang
sesuai peruntukannya; dan/atau
c. memanfaatkan ruang tanpa izin pemanfaatan ruang di lokasi yang
tidak sesuai peruntukannya.
(2) Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan ruang
yang diberikan oleh pejabat berwenang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 65 ayat (2) huruf b meliputi:
a. tidak menindaklanjuti izin pemanfaatan ruang yang telah
dikeluarkan; dan/atau
b. memanfaatkan ruang tidak sesuai dengan fungsi ruang yang
tercantum dalam izin pemanfaatan ruang.
(3) Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan persyaratan izin yang
diberikan oleh pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 65 ayat (2) huruf c meliputi:
a. melanggar batas sempadan yang telah ditentukan;
b. melanggar ketentuan koefisien lantai bangunan yang telah
ditentukan;
c. melanggar ketentuan koefisien dasar bangunan dan koefisien dasar
hijau;
d. melakukan perubahan sebagian atau keseluruhan fungsi bangunan;
e. melakukan perubahan sebagian atau keseluruhan fungsi lahan;
dan/atau
f. tidak menyediakan fasilitas sosial atau fasilitas umum sesuai dengan
persyaratan dalam izin pemanfaatan ruang.
(4) Menghalangi akses terhadap kawasan yang dinyatakan oleh peraturan
perundang -undangan sebagai milik umum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 65 ayat (2) huruf d meliputi:
a. menutup akses ke pesisir pantai, sungai, danau, situ, dan sumber
daya alam serta prasarana publik;
b. menutup akses terhadap sumber air;
c. menutup akses terhadap taman dan ruang terbuka hijau;
d. menutup akses terhadap fasilitas pejalan kaki;
e. menutup akses terhadap lokasi dan jalur evakuasi bencana;
dan/atau
f. menutup akses terhadap jalan umum tanpa izin pejabat yang
berwenang.

Bagian Ketujuh
Kriteria dan Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif

Pasal 67

(1) Sanksi administratif terhadap pelanggaran penataan ruang dikenakan


berdasarkan kriteria:
a. besar atau kecilnya dampak yang ditimbulkan akibat pelanggaran
penataan ruang;
b. nilai manfaat pemberian sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran
penataan ruang; dan/atau
c. kerugian publik yang ditimbulkan akibat pelanggaran penataan
ruang.
(2) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (3) huruf
a dilakukan melalui penerbitan surat peringatan tertulis dari Bupati
atau pejabat yang ditunjuk.
(3) Surat peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat:
a. rincian pelanggaran dalam penataan ruang;
b. kewajiban untuk menyesuaikan kegiatan pemanfaatan ruang dengan
rencana tata ruang dan ketentuan teknis pemanfaatan ruang; dan
c. tindakan pengenaan sanksi yang akan diberikan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Surat peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan
paling banyak 3 (tiga) kali.
(5) Apabila surat peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) diabaikan, pejabat yang berwenang melakukan tindakan berupa
pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (3) huruf
b sampai dengan huruf i sesuai dengan kewenangannya.
(6) Penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65
ayat (3) huruf b dilakukan melalui tahapan:
a. pejabat yang berwenang menerbitkan surat peringatan tertulis sesuai
ketentuan Pasal 67;
b. apabila peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a
diabaikan, pejabat yang berwenang menerbitkan surat keputusan
penghentian sementara kegiatan pemanfaatan ruang;
c. berdasarkan surat keputusan sebagaimana dimaksud pada huruf b,
pejabat yang berwenang melakukan penghentian sementara kegiatan
pemanfaatan ruang secara paksa; dan
b. setelah kegiatan pemanfaatan ruang dihentikan, pejabat yang
berwenang melakukan pengawasan agar kegiatan pemanfaatan ruang
yang dihentikan tidak beroperasi kembali sampai dengan
terpenuhinya kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat
(3) huruf b.
(7) Penghentian sementara pelayanan umum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 65 ayat (3) huruf c dilakukan melalui tahapan:
a. pejabat yang berwenang menerbitkan surat peringatan tertulis sesuai
ketentuan Pasal 67 ayat (2);
b. apabila surat peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a
diabaikan, pejabat yang berwenang menerbitkan surat keputusan
penghentian sementara pelayanan umum dengan memuat penjelasan
dan rincian jenis pelayanan umum yang akan dihentikan sementara;
c. berdasarkan surat keputusan penghentian sementara pelayanan
umum sebagaimana dimaksud pada huruf b, pejabat yang berwenang
menyampaikan perintah kepada
penyedia jasa pelayanan umum untuk menghentikan sementara
pelayanan kepada orang yang melakukan pelanggaran; dan
d. setelah pelayanan umum dihentikan kepada orang yang melakukan
pelanggaran, pejabat yang berwenang melakukan pengawasan untuk
memastikan tidak terdapat pelayanan umum kepada orang yang
melakukan pelanggaran tersebut sampai dengan terpenuhinya
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) huruf b.
(8) Penutupan lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (3) huruf
d dilakukan melalui tahapan:
a. pejabat yang berwenang menerbitkan surat peringatan tertulis sesuai
ketentuan Pasal 67 ayat (2);
b. apabila peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a
diabaikan, pejabat yang berwenang menerbitkan surat keputusan
penutupan lokasi;
c. berdasarkan surat keputusan penutupan lokasi sebagaimana
dimaksud pada huruf b, pejabat yang berwenang melakukan
penutupan lokasi dengan bantuan aparat penertiban melakukan
penutupan lokasi secara paksa; dan
d. setelah dilakukan penutupan lokasi, pejabat yang berwenang
melakukan pengawasan untuk memastikan lokasi yang ditutup tidak
dibuka kembali sampai dengan orang yang melakukan pelanggaran
memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2)
huruf b.
(9) Pencabutan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (3) huruf e
dilakukan melalui tahapan:
a. pejabat yang berwenang menerbitkan surat peringatan tertulis sesuai
ketentuan Pasal 67 ayat (2);
b. apabila surat peringatan tertulis sebagamana dimaksud pada huruf a
diabaikan, pejabat yang berwenang mencabut izin menerbitkan surat
keputusan pencabutan izin;
c. berdasarkan surat keputusan pencabutan izin sebagaimana
dimaksud pada huruf b, pejabat yang berwenang memberitahukan
kepada orang yang melakukan pelanggaran mengenai status izin yang
telah dicabut sekaligus perintah untuk menghentikan kegiatan
pemanfaatan ruang yang telah dicabut izinnya; dan
d. apabila perintah untuk menghentikan kegiatan pemanfaatan ruang
sebagaimana dimaksud pada huruf c diabaikan, pejabat yang
berwenang melakukan tindakan penertiban sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(10) Pembatalan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (3) huruf f
dilakukan melalui tahapan:
a. Bupati atau pejabat yang ditunjuk menerbitkan surat peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ;
b. apabila surat peringatan sebagaimana dimaksud pada huruf a
diabaikan, pejabat yang berwenang melakukan pembatalan izin,
menerbitkan surat keputusan pembatalan izin;
c. berdasarkan surat keputusan pembatalan izin sebagaimana
dimaksud pada huruf b, pejabat yang berwenang memberitahukan
kepada orang yang melakukan pelanggaran mengenai status izin yang
telah dibatalkan sekaligus perintah untuk menghentikan kegiatan
pemanfaatan ruang yang telah dibatalkan izinnya; dan
b. apabila perintah untuk menghentikan kegiatan pemanfaatan ruang
sebagaimana dimaksud pada huruf c diabaikan, pejabat yang
berwenang melakukan tindakan penertiban sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(11) Pembongkaran bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat
(3) huruf g dilakukan melalui tahapan:
a. pejabat yang berwenang menerbitkan surat peringatan tertulis sesuai
ketentuan Pasal 67 ayat (2);
b. apabila surat peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a
diabaikan, pejabat yang berwenang menerbitkan surat keputusan
pembongkaran bangunan; dan
c. berdasarkan surat keputusan pembongkaran bangunan sebagaimana
dimaksud pada huruf b, pejabat yang berwenang melakukan
penertiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(12) Pemulihan fungsi ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat
(3) huruf h dilakukan melalui tahapan:
a. Bupati atau pejabat yang ditunjuk menerbitkan surat peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2);
b. apabila surat peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf
a diabaikan, pejabat yang berwenang menerbitkan surat perintah
pemulihan fungsi ruang;
c. berdasarkan surat perintah sebagaimana dimaksud pada huruf b,
pejabat yang berwenang memberitahukan kepada orang yang
melakukan pelanggaran mengenai ketentuan pemulihan fungsi
ruang dan cara pemulihan fungsi ruang yang harus dilaksanakan
dalam jangka waktu tertentu;
d. pejabat yang berwenang melakukan pengawasan pelaksanaan
kegiatan pemulihan fungsi ruang; dan
e. apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada huruf d tidak
dapat dipenuhi orang yang melakukan pelanggaran, pejabat yang
berwenang melakukan tindakan pemulihan fungsi ruang secara
paksa.
(13) Apabila orang yang melakukan pelanggaran dinilai tidak mampu
membiayai kegiatan pemulihan fungsi ruang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 65 huruf h, Pemerintah/pemerintah daerah dapat
mengajukan penetapan pengadilan agar pemulihan dilakukan oleh
Pemerintah/pemerintah daerah atas beban orang yang melakukan
pelanggaran tersebut di kemudian hari.
(14) Denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (3)
huruf i dapat dikenakan secara tersendiri atau bersama-sama dengan
pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
65 sampai dengan Pasal 67
(15) Pengaturan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat
(4) yaitu terhadap setiap orang yang melakukan pelanggaran dibidang
penataan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan bidang penataan ruang.

Pasal 68

Dalam melaksanakan peran masyarakat pada proses perencanaan tata


ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang,
masyarakat berhak:
a. berperan serta dalam proses perencanaan dan penyusunan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang;
b. mengetahui secara terbuka Rencana Tata Ruang dan mendapatkan
penjelasan teknis terkait dengan penataan ruang;
c. menikmati manfaat dan/atau pertambahan nilai ruang sebagai akibat
dari penataan ruang;
d. memperoleh penggantian yang layak atas kondisi yang dialaminya
sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan
rencana tata ruang;
e. mengajukan keberatan kepada pejabat berwewenang terhadap
pembangunan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata
ruang di wilayahnya;
f. mengajukan tuntutan pembatalan ijin dan penghentian pembangunan
yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada pejabat yang
berwenang; dan
g. mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah dan/atau
pemegang izin apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan
rencana tata ruang menimbulkan kerugian.

Pasal 69

Dalam melaksanakan peran masyarakat pada pemanfaatan ruang,


masyarakat wajib:
a. mentaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
b. memanfaatkan ruang sesuai dengan ijin pemanfaatan ruang dari
pejabat yang berwenang;
c. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin
pemanfaatan ruang;
d. memberikan akses terhadap kawasan yang oleh peraturan perundang-
undangan dinyatakan sebagai milik umum; dan
e. melaksanakan sanksi yang telah ditetapkan.

Pasal 70

(1) Peran masyarakat dalam penataan ruang di daerah dilakukan antara


lain melalui :
a. partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang;
b. partisipasi dalam pemanfaatan ruang;
c. partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang.
(2) Bentuk peran masyarakat dalam perencanaan tata ruang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, berupa :
a. masukan mengenai :
1. persiapan penyusunan rencana tata ruang
2. penentuan arah pengembangan wilayah atau kawasan
3. pengidentifikasian potensi dan masalah pembangunan wilayah atau
kawasan
4. perumusan konsepsi rencana tata ruang; dan/atau
5. penetapan rencana tata ruang.
b. kerjasama dengan pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau sesama
unsur masyarakat dalam perencanaan tata ruang.
(3) Bentuk peran masyarakat dalam pemanfaatan ruang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat berupa :
a. masukan mengenai kebijakan pemanfaatan ruang
b. kerjasama dengan pemerintah, pemerintah daerah, dan atau sesama
unsur masyarakat dalam pemanfaatan ruang
c. kegiatan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan kearifan lokal dan
rencana tata ruang yang telah ditetapkan
d. peningkatan efisiensi, efektivitas dan keserasian dalam pemanfaatan
ruang darat, ruang laut, ruang udara dan ruang di dalam bumi
dengan memperhatikan kearifan lokal serta sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan
e. kegiatan menjaga kepentingan pertahanan dan keamanan serta
memelihara dan meningkatkan kelestarian fungsi lingkungan hidup
dan sumber daya alam; dan
f. kegiatan investasi dalam pemanfaatan ruang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Bentuk peran masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat berupa :
a. masukan terkait arahan dan/atau peraturan zonasi, perizinan,
pemberian insentif dan disinsentif serta pengenaan sanksi
b. keikutsertaan dalam memantau dan mengawasi pelaksanaan rencana
tata ruang yang telah ditetapkan;
c. pelaporan terhadap instansi dan/atau pejabat yang berwenang dalam
hal menentukan dugaan penyimpangan atau pelanggaran kegiatan
pemanfaatan ruang yang melanggar rencana tata ruang yang telah
ditetapkan; dan
d. pengajuan keberatan terhadap keputusan pejabat yang berwenang
terhadap pembangunan yang dianggap tidak sesuai dengan rencana
tata ruang.

Pasal 71

Masyarakat yang dirugikan akibat penyelenggaraan penataan ruang dapat


mengajukan gugatan melalui pengadilan.

Bagian Ke Delapan
Pasal 72

Kewajiban Pemerintah

Pemerintah daerah wajib menyediakan sistem informasi bagi masyarakat


untuk mengakses kebijakan yang terkait dengan penataan ruang wilayah
Daerah.

BAB II
KELEMBAGAAAN PENATAAN RUANG

Pasal 73

(1) BKPRD Kabupaten dalam melaksanakan koordinasi penataan ruang


mempunyai tugas :
a. Perencanaan tata ruang meliputi :
1. mengordinasikan dan merumuskan penyusunan RTRW;
2. memaduserasikan rencana pembangunan jangka panjang dan
menengah dengan RTRW serta mempertimbangkan
pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan melalui instrumen
Kajian Lingkungan Hidup Strategis;
3. mengintegrasikan, memaduserasikan dan mengharmonisasikan
RTRW dengan rencana tata ruang wilayah nasional, rencana tata
ruang pulau/kepulauan, rencana tata ruang kawasan strategis
nasional, rencana tata ruang wilayah provinsi, rencana tata ruang
kawasan strategis provinsi, dan rencana tata ruang wilayah
kabupaten yang berbatasan;
4. mensinergikan penyusunan RTRW dengan provinsi dan antar
kabupaten yang berbatasan;
5. mengoordinasikan pelaksanaan konsultasi rancangan peraturan
daerah tentang RTRW kepada Badan Koordinasi Penataan Ruang
Daerah Provinsi dan Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional;
6. mengordinasikan pelaksanaan evaluasi rencana tata ruang
kabupaten ke provinsi;
7. mengordinasikan proses penetapan RTRW; dan
8. mengoptimalkan peran masyarakat dalam perencanaan tata ruang.
b. Pemanfaatan ruang meliputi :
1. mengoordinasikan penanganan dan penyelesaian pemasalahan
dalam pemanfaatan ruang baik di daerah, dan memberikan
pengarahan serta saran pemecahannya;
2. memberikan rekomendasi guna memecahkan permasalahan dalam
pemanfaatan ruang daerah;
3. memberikan informasi dan akses kepada pengguna ruang terkait
RTRW;
4. menjaga akuntabilitas publik sebagai bentuk layanan pada jajaran
pemerintah, swasta, dan masyarakat;
5. melakukan fasilitasi pelaksanaan kerjasama penataan ruang antar
kabupaten; dan
6. mengoptimalkan peran masyarakat dalam pemanfaatan ruang.
c. Pengendalian pemanfaatan ruang meliputi :
1. mengoordinasikan penetapan peraturan zonasi sistem kabupaten;
2. memberikan rekomendasi perizinan pemanfaatan ruang daerah;
3. melakukan identifikasi dalam pelaksanaan insentif dan disinsentif
dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang daerah dengan provinsi dan
dengan kabupaten terkait;
4. melakukan fasilitasi pelaksanaan pemantauan, evaluasi dan
pelaporan penyelenggaraan penataan ruang;
5. melakukan fasilitasi pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang
untuk menjaga konsistensi pemanfaatan ruang dengan rencana tata
ruang; dan
6. mengoptimalkan peran masyarakat dalam pengendalian
pemanfaatan ruang.

(2) BKPRD Kabupaten menyelenggarakan pertemuan paling sedikit 1 (satu)


kali dalam 3 (tiga) bulan untuk menghasilkan alternatif kebijakan
penataan ruang.
(3) BKPRD Kabupaten dapat melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) menyampaikan laporan pelaksanaan tugas
BKPRD Kabupaten dan rekomendasi secara berkala kepada Bupati.

Pasal 74

(1) Untuk operasional RTRW Kabupaten, disusun rencana rinci yang


meliputi:
a. Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten;
b. Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan;
c. Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Kabupaten.

(2) Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan disusun untuk semua


kawasan perkotaan di dalam wilayah Daerah yang akan
dikembangkan.

(3) Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Daerah disusun untuk semua
kawasan strategis Daerah yang ditetapkan.

Pasal 75

(1) Peraturan daerah tentang RTRW dilengkapi dengan Rencana dan Album
Peta sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari peraturan daerah ini.

(2) Jangka Waktu RTRW adalah 20 (dua puluh) tahun dan dapat ditinjau
kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.

(3) Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan


rencana dalam skala besar dan/atau perubahan batas territorial
wilayah yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan, RTRW
dapat ditinjau kembali lebih dari 1(satu) kali dalam 5 (lima) tahun.

(4) Peninjauan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga


dilakukan apabila terjadi perubahan kebijakan nasional dan strategi
yang mempengaruhi pemanfaatan ruang kabupaten dan/atau dinamika
internal wilayah.

Pasal 76

(1) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka semua peraturan


pelaksanaan yang berkaitan dengan penataan ruang daerah yang telah
ada dinyatakan berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dan
belum diganti berdasarkan Peraturan Daerah ini.
(2) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka :
a. izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan dan telah sesuai
dengan ketentuan Peraturan Daerah ini tetap berlaku sampai dengan
berakhir masa berlakunya;
b. izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan tetapi tidak sesuai
dengan ketentuan Peraturan Daerah ini berlaku ketentuan;
1. untuk yang belum dilaksanakan pembangunannya, izin tersebut
disesuaikan dengan fungsi kawasan berdasarkan Peraturan
Daerah ini;
2. untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya, pemanfaatan
ruang dilakukan sampai izin terkait habis masa berlakunya dan
dilakukan penyesuaian dengan fungsi kawasan berdasarkan
Peraturan Daerah ini; dan
3. untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya dan tidak
memungkinkan untuk dilakukan penyesuaian dengan fungsi
kawasan berdasarkan Peraturan Daerah ini, izin yang telah
diterbitkan dapat dibatalkan dan terhadap kerugian yang timbul
sebagai akibat pembatalan izin tersebut dapat diberikan
penggantian yang layak.
c. pemanfaatan ruang di Daerah yang diselenggarakan tanpa izin dan
bertentangan dengan ketentuan Peraturan Daerah ini, akan
ditertibkan dan disesuaikan dengan Peraturan Daerah ini; dan
d. pemanfaatan ruang yang sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah
ini, dijadikan prioritas untuk mendapatkan izin yang diperlukan.

Pasal 77

Perubahan status dan/atau fungsi kawasan hutan, kawasan lahan


pertanian pangan berkelanjutan harus mematuhi ketentuan peraturan
perundangan.

Pasal 78

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan


Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah
Kabupaten Mempawah.

Ditetapkan di Mempawah
pada tanggal 23 Juni 2014

BUPATI MEMPAWAH ,

RIA NORSAN

Anda mungkin juga menyukai