Anda di halaman 1dari 20

Reforma Agraria: Redistribusi Lahan,

Redistribusi Kesejahteraan

Dipublikasikan pada 29/08/2016 | 13:38 WIB

Salah satu indikator kehadiran dan peran negara yang kongkret di hadapan massa rakyat
adalah adanya kepastian hukum. Salah satu butir Nawacita yang merupakan visi-misi
pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla adalah menolak negara lemah. Pada titik inilah reforma
agraria yang digulirkan oleh Presiden Jokowi memiliki landasan yang jelas.

Pada Rabu (24/8), Presiden Jokowi telah meminta jajaran Kementerian/Lembaga Pemerintah
untuk mempercepat proses dan implementasi reforma agraria, sehingga keadilan bagi masyarakat
dalam penguasaan, kepemilikan, dan pemanfaatan tanah serta sumber daya alam yang ada di
dalamnya, dapat segera diwujudkan.
Kritik selama ini dari berbagai pihak atas program reformasi agraria yang dicanangkan oleh
pemerintah adalah bagaimana mengembalikan orientasi reformasi agraria supaya tidak sekadar
bagi-bagi lahan bagi rakyat miskin, tetapi tidak menyentuh akar dari ketimpangan struktur sosial
ekonomi masyarakat sendiri.

“Orientasi paling dasar dari reforma agraria ialah perombakan struktur yang timpang, terutama
dalam hal kepemilikan dan penguasaan sumber daya alam. Seluruh aspek, mulai dari tanah, air
hingga udara harus ditata ulang sesuai dengan semangat kemerdekaan bangsa ini,” begitulah
salah satu masukan penting dalam proses reforma agraria ini.

Jika hal itu dapat dilaksanakan, maka pernyataan Nawacita yang menolak negara lemah, di mana
salah satunya berisi adanya jaminan kepastian hukum kepemilikan tanah, penyelesaian sengketa-
sengketa tanah yang berasaskan prinsip keadilan, tiadanya kriminalisasi penuntutan kembali hak
tanah masyarakat, bukan lagi sekadar sebuah pernyataan di atas kertas.

Tiga Persoalan

Dalam prakteknya, terdapat tiga persoalan pokok untuk melakukan reforma agraria ini.

Pertama adalah ketimpangan penguasaan tanah negara. Ketimpangan ini terjadi karena proses
historis di masa lalu, di mana pelaku kekuatan ekonomi raksasa mendapatkan hak pengelolaan
lahan dalam skala besar, sementara rakyat di kelas bawah makin kehilangan lahan mereka.

Indikator yang paling nyata bagaimana ketimpangan ini terjadi adalah penguasaan hutan konsesi
seluas 35,8 juta hektar oleh hanya 531 perusahaan pemegang konsesi hutan. Sebaliknya, terdapat
lebih kurang 31.951 desa berada dalam status ketidakjelasan karena berada di kawasan hutan.

Indikator yang lain adalah lebih dari separuh jumlah petani, yakni sebesar 56%, memiliki lahan
pertanian kurang dari 0,5 hektar.
Persoalan kedua adalah timbulnya konflik-konflik agraria, yang dipicu oleh tumpang tindihnya
kebijakan distribusi lahan pada masa lalu, di mana lahan-lahan negara yang diberi izin untuk
dikelola, ternyata tidak seluruhnya merupakan lahan negara yang bebas kepemilikan.

Sepanjang periode 2004-2015, tak kurang dari 1.772 konflik agraria terjadi akibat ketidakjelasan
status tanah dan tumpang tindihnya peraturan di lapangan. Konflik ini setidak-tidaknya
melibatkan sekitar 1,1 juta rakyat, dan luasan yang menjadi pokok konflik mencapai kurang
lebih 6,9 juta hektar.

Soal yang ketiga, timbulnya krisis sosial dan ekologi di pedesaan. Krisis ini diindikasikan
dengan makin terdegradasinya kualitas lahan pertanian di pedesaan, makin menyempitnya lahan
untuk pertanian yang dimiliki oleh para petani, dan makin berkurangnya jumlah tenaga kerja
yang bekerja di sektor produksi pertanian, dan lebih banyak bertumpu pada pekerjaan di sektor
jasa.
Sebanyak 15,5 juta penerima beras untuk rakyat prasejahtera yang tinggal di pedesaan adalah
salah satu indikator timbulnya krisis sosial di pedesaan. Sedangkan krisis ekologi di pedesaan
salah satunya ditandai oleh keberadaan desa dengan status rawan air di 15.775 desa dan
kekeringan di 1.235 desa.

Strategi Percepatan

Perintah Presiden Jokowi untuk melakukan percepatan reforma agraria, diharapkan dapat
mengurai persoalan-persoalan pokok di atas.

Adapun langkah yang akan dilakukan oleh pemerintah adalah pembuatan kebijakan peta tunggal
(one map policy), legalisasi sertifikat aset lahan, redistribusi tanah bagi rakyat, dan pemanfaatan
kawasan hutan bagi rakyat.

Strategi untuk menuju ke arah sana, salah satunya adalah membentuk gugus tugas pengendalian
reforma agraria yang melibatkan berbagai kementerian dan lembaga.

Sementara dalam konteks reforma agraria, terdapat lima langkah yang akan dilakukan yakni: (1).
Penguatan kerangka regulasi dan penyelesaian konflik agraria, (2). Penataan penguasaan dan
pemilikan Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA), (3). Kepastian hukum dan legalisasi atas
TORA, (4). Pemberdayaan masyarakat dalam penggunaan dan  pemanfaatan dan produksi atas
TORA, dan (5) Penguatan kelembagaan pelaksana reforma agraria di pusat dan daerah.

Salah satu pendekatan dalam reforma agraria yang berbasis karakter sosial-ekologi desa adalah
mengklasifikasi TORA yang berada di dalam wilayah desa untuk dikembangkan sesuai dengan
karakter desa setempat, misalnya desa persawahan, desa pulau dan desa pesisir, desa perkebunan,
desa hutan, desa adat, dan desa peri-urban.

Untuk menghindari terulangnya proses ketimpangan struktural dalam redistribusi lahan, salah
satu kuncinya adalah menghidupkan dan menggerakkan kembali sistem-sistem produksi
pertanian di pedesaan berbasis pada sistem pengelolaan model koperasi. Model ini diharapkan
akan memperkuat sendi-sendi perekonomian di pedesaan, dan sekaligus menjawab banyak
persoalan pokok yang sebelumnya dikhawatirkan oleh sebagian kalangan.

Apabila tahap demi tahap proses reforma agraria ini dikerjakan dan dikontrol, maka redistribusi
lahan sebagai substansi terpenting dari reformasi agraria, akan dapat menjadi instrumen untuk
meredistribusi kesejahteraan di masyarakat.
Redistribusi Lahan Hapus Kesenjangan
Sawah di wilayah masyarakat Samin di Bojonegoro, Jawa Timur. (Youtube)

Jakarta - Program redistribusi lahan yang digulirkan pemerintah harus segera diwujudkan,
karena diyakini bisa mengurangi kemiskinan dan menghapus kesenjangan. Pemerintah diminta
untuk membicarakan program ini secara terbuka dengan sejumlah kalangan, terutama DPR, agar
lahan yang didistribusikan tepat sasaran.

Mantan Ketua Panitia Khussu (Pansus) RUU Pertanahan, Arif Wibowo mengatakan, pihaknya
mengapresiasi komitmen Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk melaksanakan reformasi agraria
lewat pendistribusian lahan kepada masyarakat. Namun, diingatkan, redistribusi itu harus benar-
benar jelas langkahnya agar bisa tepat sasaran untuk meningkatkan perekonomian nasional serta
kesejahteraan rakyat.

“Presiden menyatakan ada 12,7 juta lahan untuk diredistribuskan. Dari mana angka itu?
Pemerintahan yang lalu juga selalu bilang ada dan sudah dilakukan redistribusi tanah. Tetapi,
tempatnya di mana, dalam jumlah berapa, dan siapa penerimanya? Ini harus dibicarakan secara
terbuka, terutama dengan DPR,” kata Arif Wibowo di Jakarta, Kamis (12/1).

Dikatakan, berdasarkan studi yang dilakukannya, objek program redistribusi itu berasal dari tiga
sumber. Pertama, dari inventarisasi tanah terlantar, yang pada 2012 diperkirakan mencapai
4.801.875 hektare.

Kedua, objek redistribusi melalui skema kawasan hutan konversi. Ada perbedaan data antara
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan Badan Pertanahan Nasional.
Data KLHK pada April 2011 menyebutkan 17,94 juta hektare, sementara data BPN 2012
menyebutkan 20,03 juta hektare. Namun, dari kawasan hutan produksi yang bisa dikonversi
menjadi objek redistribusi sebesar 8.149.941 hektare. Tanah itu terdapat di 17 provinsi, 104
kabupaten, dan 629 lokasi.

Sementara, sumber ketiga adalah tanah hasil penyelesaian konflik agraria dan pertanahan.
Masalahnya, selama ini sistem penyelesaian sengketa dan konflik kurang jelas dan fundamental,
sehingga penyelesaiannya dilakukan kasus per kasus.

Setelah masalah data tanah dan sistem diselesaikan, kerja selanjutnya adalah soal
pendistribusian. Menurut politisi PDI-P itu, harus jelas soal hak-hak yang diberikan ke rakyat
terkait pendistribusian tersebut. “Apakah hak milik atau kolektif? Hak milik dalam banyak kasus,
tidak bermanfaat, karena tanahnya langsung dijual lagi. Jadi, rakyatnya miskin lagi,” katanya.

Pemerintah harus memikirkan juga bagaimana hak rakyat atas tanah yang telah diredistribusi itu
untuk bisa dimanfaatkan. “Misalnya, ketersediaan bibit, pupuk, dan Peralatan. Ini harus beres.
Begitu juga soal pemasaran. Intinya, semua dikerjakan harus by system, tidak boleh sekadar
bagi-bagi tanah. Sebab, tujuan program ini untuk meningkatkan ekonomi produktif,
kesejahteraan sosial, dan lingkungan hidup,” tuturnya.
Dalam hal ini, katanya, peran kementerian dan lembaga terkait sangat penting dalam
menjabarkan program Presiden Jokowi. Selama ini, kata dia, ada kesan para pembantu Presiden
belum mampu menjabarkan program tersebut secara cepat dan tepat, sehingga terkesan kebijakan
redistribusi lahan jalan di tempat.

Kesejahteraan
Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sofyan Djalil
mengatakan, pada Desember 2016, pembagian lahan pada tanah adat telah dilakukan. Salah satu
tujuan pemberian konsesi itu untuk pemerataan kesejahteraan.

“Sebenarnya, lahan 12,7 juta hektare itu ada kombinasi hutan dan tanah. Hutan itu ada yang
dikelola oleh masyarakat adat. Ada hutan yang dilepas untuk konversi pertanian,” ujar Sofyan
menjawab pertanyaan BeritaSatu.com di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (11/1).

Menurutnya, sekitar 10.000 hektare lahan hutan telah diberikan kepada masyarakat. “Masyarakat
Tapanuli (Sumatera Utara), misalnya. Lalu, ada juga di beberapa daerah di Sulawesi,” ujarnya.

Dijelaskan, Kementerian ATR hanya fokus pada program 9,1 juta hektare tanah. “Tanah itu akan
dilegalisasi dan diredistribusi. Tanah-tanah negara yang telah menjadi milik masyarakat akan
kami legalisasi. Kami berikan sertifikat,” tegasnya.

Dikatakan pula, program legalisasi aset pada 2017 ditargetkan mencapai 5 juta bidang. “Lima
juta bidang itu, kalau dengan hektare, tidak sampai 5 juta hektare. Satu bidang itu bisa 1 hektare,
0,5 hektare. Bisa 200 meter persegi atau 500 meter persegi. Pada 2018, ada 7 juta bidang dan
2019 ada 9 juta bidang. Jadi, 21 juta bidang sampai dengan 2019,” katanya.

Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar menambahkan, komitmen 12,7 juta hektare lahan merupakan
konsep Perhutanan Sosial 2015-2019. Program itu salah satunya bertujuan mengurangi
kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan sosial.

“Jadi, 12,7 juta hektare itu di seluruh Indonesia. Di Jawa Timur sedikit, Jawa Tengah sedikit.
Artinya, di bawah 10.000 hektare. Jawa Barat agak besar, sekitar 20,000-an hectare. Di
Kalimantan Tengah, 1,3 juta hektare,” kata Siti.

Disebutkan, terdapat kemajuan positif dari konsep tersebut. “Semakin banyak usulan-usulan.
Saya mau mengajak Bapak Presiden melihat hutan nagari di Sumatera Barat. Hutan nagari
merupakan contoh bentuk skema Perhutanan Sosial di samping hutan kemasyarakatan, hutan
tanaman rakyat, dan hutan adat.

Teken Perpres
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mendesak
Presiden Jokowi untuk agar segera menandatangani peraturan presiden (perpres) terkait
pelaksanaan reformasi agraria. Pasalnya, tanpa landasan hukum, sulit bagi pemerintahan Jokowi-
JK mengakselerasi program itu.
“Landasan hukumnya belum ada. Padahal, sudah diserahakan Menteri ATP/BPN ke Sesneg pada
2016. Sampai saat ini, Presiden Jokowi belum teken. Tanpa Perpres akan sulit bagi pemerintah
mengakselerasi reformasi agraria,” kata Dewi kepada SP di Jakarta, Kamis (12/1).

Dengan adanya perpres tersebut, ujarnya, bisa dipastikan kelembagaan yang akan melaksanakan
reformasi agraria dan juga syarat-syarat geniusitasnya. Dalam perpres tersebut, akan dipastikan
juga subjek yang akan menerima tanah, objek tanah yang diprioritaskan, dan pembiayaannya,
sehingga mencapai target 9 juta hektare sampai 2019.

Wakil Ketua Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia Yeka Fatika menambahkan, pada akhir
2016, Presiden Jokowi membagikan 13.122,3 hektare lahan hutan kepada sekitar 5.700 kepala
keluarga sekitar hutan. Semua lahan tersebut diresmikan sebagai hutan adat yang harus dijaga
kelestariannya oleh para pemangku adat.

Distribusi pembagian lahan tersebut adalah 47,3 % diresmikan sebagai hutan adat di Kabupaten
Morowali Utara (Sulawesi Tengah), 39,4% dijadikan hutan adat di Kabupaten Humbang
Hasundutan (Sumatera Utara), 7,15 % dijadikan hutan adat di lima lokasi di Jambi, serta sisanya
terdistribusi di Sulawesi Selatan dan Banten.

“Pemanfaatan dan pengelolaan hutan adat baru tersebut tidak boleh melanggar kaedah
konservasi dan tidak boleh diperjualbelikan, sehingga fungsi hutannya tetap terjaga. Hasil
hutannya juga bisa bermanfaat dalam meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan,” ujar
Dewi.

Disebutkan, pembagian lahan itu merupakan babak awal pelaksanaan program redistribusi aset
dan reformasi agraria di era pemerintahan Jokowi. Program itu akan diikuti dengan rencana
untuk mendistribusikan 12,7 juta hektare lahan lainnya kepada pemangku adat dan kelembagaan
koperasi.

Pelaksanaan program redistribusi aset itu sesuai dengan program nawacita pemerintahan Jokowi-
JK, yaitu membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa
dalam kerangka negara kesatuan.

Yeka menilai, program redistribusi aset dan land reform itu bisa terancam gagal jika perhatian
pemerintah hanya terfokus pada pembagian lahan, tanpa memperhitungan jaminan terhadap
meningkatnya pendapatan masyarakat dan berkurangnya kesenjangan ekonomi di perdesaan.

Ketua Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (PATAKA) itu menambahkan, kesuksesan
program itu ditentukan oleh empat faktor. Pertama, kejelasan dan keserasian tujuan makro dan
mikro dari pelaksanaan distribusi lahan yang spesifik kepada lokasi. Kedua, ketepatan
pemerintah dalam menetapkan sasaran penerima program.

“Dalam menetapkan sasaran penerima program, pemerintah harus mendapatkan masukan yang
lengkap dari berbagai lembaga formal dan informal yang ada di wilayah tersebut. Rekam jejak
calon penerima program, baik individu, rumah tangga, maupun koperasi harus benar-benar
diperhatikan,” katanya.
Ketiga, kehadiran pemerintah dalam menyediakan business support system, seperti infrastruktur
perdesanaan (jalan, listrik, dan irigasi), dukungan pembiayaan, pendampingan usaha dengan
teknologi tepat guna, dan akses serta jaminan pasar. Keempat, adanya pengawasan terhadap
pengusahaan lahan yang mereka terima untuk memastikan lahan tersebut tidak diperjualbelikan
atau berpindah hak pengusahaannya.

Redistribusi Lahan Hapus Kesenjangan


Suara Pembaruan, Hal 2 - Kamis, 12 Januari 2017

Program redistribusi lahan yang digulirkan pemerintah harus segera diwujudkan, karena diyakini
bisa mengurangi kemiskinan dan menghapus kesenjangan. Pemerintah diminta untuk
membicarakan program ini secara terbuka dengan sejumlah kalangan, terutama DPR, agar lahan
yang didistribusikan tepat sasaran.

Mantan Ketua Panitia Khussu (Pansus) RUU Pertanahan, Arif Wibowo mengatakan, pihaknya
mengapresiasi komitmen Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk melaksanakan reformasi agraria
lewat pendistribusian lahan kepada masyarakat. Namun, diingatkan, redistribusi itu harus benar-
benar jelas langkahnya agar bisa tepat sasaran untuk meningkatkan perekonomian nasional serta
kesejahteraan rakyat.

"Presiden menyatakan ada 12,7 juta lahan untuk diredistribuskan. Dari mana angka itu?
Pemerintahan yang lalu juga selalu bilang ada dan sudah dilakukan redistribusi tanah. Tetapi,
tempatnya di mana, dalam jumlah berapa, dan siapa penerimanya? Ini harus dibicarakan secara
terbuka, terutama dengan DPR," kata Arif Wibowo kepada SP di Jakarta, Kamis (12/1).

Dikatakan, berdasarkan studi yang dilakukannya, objek program redistribusi itu berasal dari tiga
sumber. Pertama, dari inventarisasi tanah terlantar, yang pada 2012 diperkirakan mencapai
4.801.875 hektare.

Kedua, objek redistribusi melalui skema kawasan hutan konversi. Ada perbedaan data antara
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan Badan Pertanahan Nasional. Data
KLHK pada April 2011 menyebutkan 17,94 juta hektare, sementara data BPN 2012
menyebutkan 20,03 juta hektare. Namun, dari kawasan hutan produksi yang bisa dikonversi
menjadi objek redistribusi sebesar 8.149.941 hektare. Tanah itu terdapat di 17 provinsi, 104
kabupaten, dan 629 lokasi.

Sementara, sumber ketiga adalah tanah hasil penyelesaian konflik agraria dan pertanahan.
Masalahnya, selama ini sistem penyelesaian sengketa dan konflik kurang jelas dan fundamental,
sehingga penyelesaiannya dilakukan kasus per kasus.

Setelah masalah data tanah dan sistem diselesaikan, keija selanjutnya adalah soal
pendistribusian. Menurut politisi PDI-P itu, harus jelas soal hak-hak yang diberikan ke rakyat
terkait pendistribusian tersebut. "Apakah hak milik atau kolektif? Hak milik dalam banyak kasus,
tidak bermanfaat, karena tanahnya langsung dijual lagi. Jadi, rakyatnya miskin lagi," katanya.

Pemerintah harus memikirkan juga bagaimana hak rakyat atas tanah yang telah diredistribusi itu
untuk bisa dimanfaatkan. "Misalnya, ketersediaan bibit, pupuk, dan Peralatan. Ini harus beres.
Begitu juga soal pemasaran. Intinya, semua dikerjakan harus by system, tidak boleh sekadar
bagi-ba-gi tanah," tuturnya.

Dalam hal ini, katanya, peran kementerian dan lembaga terkait sangat penting dalam
menjabarkan program Presiden Jokowi. Selama ini, kata dia, ada kesan para pembantu Presiden
belum mampu menjabarkan program tersebut secara cepat dan tepat, sehingga terkesan kebijakan
redistribusi lahan jalan di tempat.

Kesejahteraan

Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sofyan Djalil
mengatakan, pada Desember 2016, pembagian lahan pada tanah adat telah dilakukan. Salah satu
tujuan pemberian konsesi itu untuk pemerataan kesejahteraan.

"Sebenarnya, lahan 12,7 juta hektare itu ada kombinasi hutan dan tanah. Hutan itu ada yang
dikelola oleh masyarakat adat. Ada hutan yang dilepas untuk konversi pertanian," ujar Sofyan
menjawab pertanyaan SP di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (11/1).

Menurutnya, sekitar 10.000 hektare lahan hutan telah diberikan kepada masyarakat. "Masyarakat
Tapanuli (Sumatera Utara), misalnya. Lalu, ada juga di beberapa daerah di Sulawesi," ujarnya.

Dijelaskan, Kementerian ATR hanya fokus pada program 9,1 juta hektare tanah. "Tanah itu akan
dilegalisasi dan diredistribusi. Tanah-tanah negara yang telah menjadi milik masyarakat akan
kami legalisasi. Kami berikan sertifikat," tegasnya.

Dikatakan pula, program legalisasi aset pada 2017 ditargetkan mencapai 5 juta bidang. "Lima
juta bidang itu, kalau dengan hektare, tidak sampai 5 juta hektare. Satu bidang itu bisa 1 hektare,
0,5 hektare. Bisa 200 meter persegi atau 500 meter persegi. Pada 2018, ada 7 juta bidang dan
2019 ada 9 juta bidang. Jadi, 21 juta bidang sampai dengan 2019," katanya.

Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar menambahkan, komitmen 12,7 juta hektare lahan merupakan
konsep Perhutanan Sosial 2015-2019. Program itu salah satunya bertujuan mengurangi
kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan sosial.

"Jadi, 12,7 juta hektare itu di seluruh Indonesi. Di Jawa Timur sedikit, Jawa Tengah sedikit.
Artinya, di bawah 10.000 hektare. Jawa Barat agak besar, sekitar 20,000-an hectare. Di
Kalimantan Tengah, 1,3 juta hektare," kata Siti.

Disebutkan, terdapat kemajuan positif dari konsep tersebut. "Semakin banyak usulan-usulan.
Saya mau mengajak Bapak Presiden melihat hutan nagari di Sumatera Barat. Hutan nagari
merupakan contoh bentuk skema Perhutanan Sosial di samping hutan kemasyarakatan, hutan
tanaman rakyat, dan hutan adat.

Teken Perpres

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mendesak
Presiden Jokowi untuk agar segera menandatangani peraturan presiden (perpres) terkait
pelaksanaan reformasi agraria. Pasalnya, tanpa landasan hukum, sulit bagi pemerintahan Jokowi-
JK mengakselerasi program itu.

"Landasan hukumnya belum ada. Padahal, sudah diserahakan Menteri ATP/BPN ke Sesneg.,
pada 2016. Sampai saat ini, Presiden Jokowi belum teken. Tanpa Perpres akan sulit bagi
pemerintah mengakselerasi reformasi agraria," kata Dewi kepada SP di Jakarta, Kamis (12/1).

Dengan adanya perpres tersebut, ujarnya, bisa dipastikan kelembagaan yang akan melaksanakan
reformasi agraria dan juga syarat-syarat geniu-sitasnya. Dalam perpres tersebut, akan dipastikan
juga subjek yang akan menerima tanah, objek tanah yang diprioritaskan, dan pembiayaannya,
sehingga mencapai target 9 juta hektare sampai 2019.

Wakil Ketua Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia Yeka Fatika menambahkan, pada akhir
2016, Presiden Jokowi membagikan 13.122,3 hektare lahan hutan kepada sekitar 5.700 kepala
keluarga sekitar hutan. Semua lahan tersebut diresmikan sebagai hutan adat yang harus dijaga
kelestariannya oleh para pemangku adat.

Distribusi pembagian lahan tersebut adalah 47,3 % diresmikan sebagai hutan adat di Kabupaten
Morowali Utara (Sulawesi Tengah), 39,4% dijadikan hutan adat di Kabupaten Humbang
Hasundutan (Sumatera Utara), 7,15 % dijadikan hutan adat di lima lokasi di Jambi, serta sisanya
terdistribusi di .Sulawesi Selatan dan Banten.

"Pemanfaatan dan pengelolaan hutan adat baru tersebut tidak boleh melanggar kaedah konservasi
dan tidak boleh diperjualbelikan, sehingga fungsi hutannya tetap terjaga. Hasil hutannya juga
bisa bermanfaat dalam meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan," ujar DeWi.

Ketua Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (PATAKA) itu menambahkan, kesuksesan
program itu ditentukan oleh empat faktor. Pertama, kejelasan dan keserasian tujuan makro dan
mikro dari pelaksanaan distribusi lahan yang spesifik kepada lokasi. Kedua, ketepatan
pemerintah dalam menetapkan sasaran penerima program.

"Dalam menetapkan sasaran penerima program, pemerintah harus mendapatkan masukan yang
lengkap dari berbagai lembaga formal dan informal yang ada di wilayah tersebut. Rekam jejak
calon penerima program, baik individu, rumah tangga, maupun koperasi harus benar-benar
diperhatikan," katanya.

Ketiga, kehadiran pemerintah dalam menyediakan business support system, seperti infrastruktur
perdesan-aan (jalan, listrik, dan irigasi), dukungan pembiayaan, pendampingan usaha dengan
teknologi tepat guna, dan akses serta jaminan pasar. Keempat, adanya pengawasan terhadap
pengusahaan lahan yang mereka terima untuk memastikan lahan tersebut tidak diperjualbelikan
atau berpindah hak pengusahaannya.

Pemerintah Ingin Redistribusi Aset Lahan


Tepat Sasaran, Begini Caranya
Hendra Kusuma - detikFinance

Share 0 Tweet Share 0 0 Komentar

Foto: Dikhy Sasra

Jakarta - Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) memastikan akan kembali merapatkan
kembali mengenai program redistribusi aset, usai mendapatkan arahan dari Presiden Joko
Widodo (Jokowi).
Redistribusi aset adalah program pemerintah berupa pencabutan izin atau hak pengelolaan aset
lahan dari pengusaha yang membiarkan lahannya nganggur. Lahan tersebut kemudian dialihkan
hak pengelolaannya atau didistribusikan kepada masyarakat seperti kelompok tani, nelayan
hingga pesantren untuk dikelola dan dimanfaatkan lebih produktif lagi.

Presiden Jokowi dalam rapat terbatas meminta, implementasi program redistribusi aset sudah
bisa dilakukan dengan skema yang tepat.

Menteri ATR Sofyan Djalil mengaku, pembahasan mengenai skema program redistribusi aset
harus dilakukan sekali lagi ditingkat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, agar
program tersebut tepat sasaran.

"Jadi disuruh skemanya nanti pak menko rapatan lagi supaya menukik (lebih terarah), cari tanah
di mana, mekanismenya distibusinya gimana," kata Sofyan di Komplek Istana, Jakarta, Selasa
(11/4/2017).

Sofyan menyebutkan, ada dua komponen yang harus dipertegas pemerintah dalam
mengimplementasikan program redistribusi aset. Yang pertama mengenai redistribusinya sendiri
dan yang kedua mengenai legalisasi.

"Yang legalisasi enggak ada masalah, tinggal sekarang bagaimana selesaikan aspek ke dua soal
redistribusi, tapi yang paling penting di mana tanahnya, siapa yang akan dapat, bagaimana
mekanismenya," tambahnya.

Tidak hanya itu, pemerintah juga harus mengutamakan kebun-kebun masyarakat plasma bisa
diformalkan. Sebab, ada kewajiban setiap pelepasan hutan, 20% untuk plasma.

Menurut Sofyan, lahan yang nantinya menjadi program redistribusi aset sudah ada. Datanya telah
dipegang oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

"Kemenhut sudah berikan peta dan itu yang harus di zoom in out. Kita harus lihat detail betul di
lapangan, tinggal supaya aksinya satu kali rapat menko diminta detilkan," ungkapnya.

Mengenai target penyelesaiannya yang diminta pada 24 April 2017. Sofyan menyebutkan, masih
bisa diusahakan penyelesaiannya, yang terpenting dapat menyelesaikan kewajiban 20% untuk
plasma.

"Kalau yang lain itu maka harus dilihat dulu tanahnya di mana, kemudian bagaimana sistem
pemberiannya kemudian bagaimana apa namanya, berapa karena kita juga tidak mau dijadikan
hak milik atau individu," tukasnya. (dna/dna)
Reforma Agraria merupakan iplementasi dari mandat Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia (TAP MPR RI), Nomor IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria
dan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Keputusan MPR RI Nomor 5/MPR/2003 tentang
Penugasan kepada MPR-RI untuk Menyampaikan Saran atas Laporan Pelaksanaan Keputusan
MPR-RI oleh Presiden, DPR, BPK dan MA pada Sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2003. Salah
satu butir saran dimaksud kepada Presiden Republik Indonesia, terkait dengan perlunya Penataan
Struktur Penguasaan, Pemilikan, Pemanfaatan dan Penggunaan Tanah.

Reforma Agraria atau secara legal formal disebut juga dengan Pembaruan Agraria adalah proses
restrukturisasi (penataan ulang susunan) kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-
sumber agrarian (khususnya tanah). Dalam pasal 2 TAP MPR RI Nomor IX/MPR/2001
dijelaskan bahwa "Pembaruan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan
dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya
agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta
keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia".

Dalam tataran operasional Reforma Agraria di Indonesia dilaksanakan melalui 2 (dua) langkah
yaitu:

1. Penataan kembali sistem politik dan hukum pertanahan berdsarkan Pancasila, Undang-Undang
Dasar 1945 dan Undang-Undsang Pokok Agraria ( UUPA ).
2. Proses Penyelenggaraan Land Reform Plus, yaitu penataan aset tanah bagi masyarakat dan
Penataan akses masyarakat terhadap sumber-sumber ekonomi dan politik yang memungkinkan
masyarakat untuk memanfaatkan tanahnya secara baik. Di dalam penyelenggaraan Land Reform
Plus diselenggarakan dua hal penting yaitu Aset Reform dan Akses Reform.

Maksud dan Tujuan Reforma Agraria

Maksud Reforma Agraria:

1. menciptakan sumber-sumber kesejahteraan masyarakat yang berbasis agraria


2. menata kehidupan masyarakat yang lebih berkeadilan
3. meningkatkan berkelanjutan sistem kemasyarakatan kebangsaan dan kenegaraan indonesia,
serta
4. meningkatkan harmoni kemasyarakatan.

Tujuan Reforma Agraria:

1. mengurangi kemiskinan
2. menciptakan lapangan kerja
3. memperbaiki akses masyarakat kepada sumber-sumber ekonomi, terutama tanah
4. menata ulang ketimpangan penguasaan pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dan
sumber-sumber agraria
5. mengurangi sengketa dan konflik pertanahan dan keagrariaan
6. memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup
7. meningkatkan ketanahan pangan dan energi masyarakat.

Prinsip-Prinsip Reforma Agraria


1. memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2. menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
3. menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman dalam unifikasi
hukum;
4. mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumberdaya manusia
Indonesia;
5. mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan optimalisasi partisipasi rakyat;
6. mewujudkan keadilan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan
pemeliharaan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam;
7. memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik untuk generasi
sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan
dukung lingkungan;
8. melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai dengan kondisi sosial budaya
setempat;
9. meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor pembangunan dalam pelaksanaan
pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam;
10. mengakui dan menghormati hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas
sumberdaya agraria dan sumberdaya alam;
11. mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat, daerah provinsi,
kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat), masyarakat dan individu;
12. melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah
provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat, berkaitan dengan alokasi dan
manajemen sumberdaya agraria dan sumberdaya alam.

Arah Kebijakan Reforma Agraria


1. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor demi terwujudnya peraturan
perundang-undangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip Reforma Agraria.
2. Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah
(landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat, baik
tanah pertanian maupun tanah perkotaan.
3. Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam
rangka pelaksanaan landreform.
4. Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumberdaya agraria yang timbul selama
ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik dimasa mendatang guna menjamin
terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip Reforma Agraria.
5. Memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengemban pelaksanaan
pembaruan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumberdaya
agraria yang terjadi.
6. Mengupayakan pembiayaan dalam melaksanakan program pembaruan agraria dan penyelesaian
konflik-konflik sumberdaya agraria yang terjadi.

Dasar Hukum Reforma Agraria


1. UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 amandemen keempat
2. Tap MPR Nomor IX/ MPR/ 2001
3. Keputusan MPR Nomor 5/MPR/2003
4. Undang-Undang Pokok Agraria 1960 (UUPA 1960)
5. Perpres No. 10 Tahun 2006

Objek Reforma Agraria

Tanah merupakan komponen dasar dalam reforma agraria, maka pada dasarnya tanah yang
ditetapkan sebagai objek reforma agraria adalah tanah-tanah negara dari berbagai sumber yang
menurut peraturan perundang-undangan dapat dijadikan sebagai objek reforma agrarian.
Karenanya kegiatan penyediaan tanah merupakan langkah strategis bagi keberhasilan reforma
agraria. Salah satu contoh sumber tanah objek reforma agrarian adalah tanah terlantar. Menurut
Pasal 9 PP Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, tanah
terlantar yang sudah ditetapkan menjadi tanah negara akan menjadi salah satu objek reforma
agraria.

Subjek Reforma Agraria

Pada dasarnya subyek Reforma Agraria adalah penduduk miskin di perdesaan baik petani,
nelayan maupun non-petani/nelayan. Penduduk miskin dalam kategori ini dapat dimulai dari
yang di dalam lokasi ataupun yang terdekat dengan lokasi, dan dibuka kemungkinan untuk
melibatkan kaum miskin dari daerah lain (perdesaan dan perkotaan).
admin SPI 5 January 2017

Desa & Reforma Agraria di Indonesia

Oleh : Tri Hariyono***


 Dengan jujur harus kita akui bahwa realitas desa tidak seindah yang kita inginkan. Khususnya
ketika program reforma agraria dicabut oleh rezim orde baru dan dijerembabkan ke
dalam kubangan kapitalisme global. Frans Husken menjelaskan bahwa seiring masuknya
modernisasi ke pedesaan di Indonesia, daya dukung solidaritas sosial yang tadinya menjadi
bukan sekedar modal sosial tetapi juga modal ekonomi itu perlahan tapi pasti melemah. Sehingga
secara perlahan pula, terjadi peluruhan karakter masyarakat desa: homogenitas melemah dan
terjadi pelapisan sosial yang semakin tajam. Bahkan kemudian menajam menjadi polarisasi yang
menyebabkan kapitalisme merasuki sistem kehidupan. Inilah yang oleh Husken kemudian
diidentifikasi sebagai bibit-bibit diferensiasi sosial pada masyarakat desa. Ketika Indonesia
merdeka, desain tentang desa bisa dikatakan masih buram. Apalagi hiruk-pikuk kemerdekaan
jauh lebih membahana ketimbang isu lain yang lebih “program”. Akan tetapi, masih ada
kesadaran bahwa desa harus tetap diperhatikan dengan lebih adil sangat nyata. Hal ini bisa
dilihat pada kesadaran Mohammad Hatta untuk menempatkan agenda pembaruan agraria sebagai
salah satu program pembangunan.

Perhatian serius dari pemerintah baru tampak sekitar hampir dua dekade kemudian. Ini tampak
dalam pidatonya Presiden Soekarno di tahun 1960. Ia mengatakan, ‘Jangan mengira landreform
yang kita hendak laksanakan adalah komunis. Hak milik atas tanah masih kita akui. Orang
masih boleh punya tanah turun-temurun. Hanya luasnya milik itu diatur baik maksimumnya
maupun minimumnya, dan hak milik atas tanah itu kita nyatakan berfungsi sosial, dan negara
dan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum memiliki kekuasaan yang lebih tinggi daripada hak
milik perseorangan.’ ‘Revolusi Indonesia tanpa landreform adalah sama dengan gedung tanpa
alas, sama saja pohon tanpa batang, sama saja omong besar tanpa isi….’‘Tanah tidak boleh
menjadi alat penghisapan ! Tanah untuk tani ! Tanah untuk mereka yang betul-betul menggarap
tanah !’.

Dari sini, keberpihakan kemudian diteruskan dengan dikeluarkan satu aturan penataan masalah
sumberdaya agraria melalui Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No 05 Tahun 1960 atau
kemudian lebih dikenal dengan UUPA 1960. Kita menemukan bahwa sepanjang sejarah
berdirinya republik ini, undang-undang ini merupakan model keberpihakan terbesar yang
dilakukan oleh negara.

Harapan pelaksanaan reforma agraria dewasa ini dilontarkan terkait otonomi desa yang diakui
oleh UU Desa. Informasi atau harapan yang diberikan selama ini, semenjak masih RUU
kemudian menjadi UU Desa adalah adanya pelaksanaan reforma agraria. Namun nyatanya
setelah terbit tidak ada satu kata pun mengenai hal ini, tidak nampak kehendak untuk
memberikan jalan penghentian dan membongkar ketidakadilan agraria apalagi berniat
melaksanakannya. Bahwa kemiskinan di pedesaan salah satunya adalah akibat dari ketimpangan
penguasaan sumber agraria, maka reforma agraria adalah jalan yang diperlukan bagi mayoritas
penduduk desa yang masih miskin agar lebih sejahtera dan produktif dengan menyediakan tanah
sebagai alat produksi bagi petani kecil dan buruh tani—khususnya perempuan—, menjamin
kepemilikan dan kontrol atas tanah yang mereka garap dan mengembalikan hak teritori
masyarakat adat. Hak atas tanah harus bebas dari diskriminasi gender, agama, suku bangsa, kelas
sosial atau ideologi, dan tanah hendaknya dimiliki oleh orang-orang yang menggarapnya.

  Desa dalam Kepungan Kapitalisme Global


Harian Kompas tanggal 28 Januari 2016, menurunkan sebuah berita utama yang jadi
perbincangan, yaitu “Pemodal Kuasai Lahan desa”. Disebutkan bahwa ribuan hektar lahan desa
kini dikuasai para pemodal. Mengacu data Badan Pertanahan Nasional (BPN), 56 persen aset
berupa properti, tanah, dan perkebunan dikuasai hanya 0,2 persen penduduk Indonesia.
Sementara Sensus Pertanian (SP) 2013 menunjukkan, 26,14 juta rumah tangga tani menguasai
lahan rata-rata 0,89 hektar per keluarga. Sekitar 14,25 juta rumah tangga tani lain hanya
menguasai lahan kurang dari 0,5 hektar per keluarga. Kasus-kasus yang diacu adalah desa-desa
di Pandeglang, Serang dan Lebak.

Dari paparan di atas, memberikan ilustrasi bahwa proses kapitalisasi di desa terus bergerak cepat
seiring dengan proyek-proyek investasi kapitalisme di wilayah-wilayah pedesaan. Pemahaman
cara kerja kapital seperti dijelaskan Harvey (2003, 2005), yang menekankan pada produksi dan
pembentukan ruang untuk dan melalui perkembangan usaha kapitalisme, memudahkan kita
dalam mencermati gejala perampasan tanah global (global land grab) dengan dalih kebutuhan
tanah untuk mengatasi krisis pangan dan energi.

Selain difasilitasi langsung oleh negara-negara asal investor dan pembuatan instrumen legal oleh
negara penerima investasi, investasi asing berskala besar untuk pembelian dan penyewaan tanah
dengan argumen keamanan pangan ini juga difasilitasi oleh lembaga perpanjangan tangan World
Bank yang disebut International Financial Corporation (IFC) (Daniel dan Mittal 2009). Pada
2008, World Bank meluncurkan himbauan yang disebut sebagai ”New Deal in Global Food
Policy”, yaitu himbauan untuk memacu produktivitas bahan pangan. Pada akhir tahun fiskal 30
Juni 2008, nilai investasi IFC yang ditanamkan di rantai pemasaran pangan mencapai lebih dari
1,3 miliar dolar Amerika Serikat. Jumlah proyek agribisnis yang didukung meningkat dari
sejumlah 17 proyek pada 2005 menjadi 32 proyek pada 2008. Selanjutnya, pada Februari 2009,
IFC membentuk sebuah proyek investasi agribisnis khusus, Altima One World Agriculture
Development Fund, untuk negara berkembang sebesar 625 juta dolar Amerika. Selain Altima
One World Agriculture Fund (Amerika Serikat), ada juga Chayton Atlas Agriculture Company
(Inggris), Citadel Capital (Mesir), Mriya Agro Holding (Ukraina), Sena Group
(Mauritius)/Tereos (Perancis), SLC Agricola (Brazil), dan lain-lain.

Kapitalisme memang berwatak destruktif, karena sistem ini diizinkan untuk berdiri sendiri tanpa
campur tangan negara. Perkembangan kapitalisme yang dituntut self regulating, yang pada
gilirannya menuntut pemisahan ekonomi dari politik, seperti didukung kuat oleh para ekonom
klasik maupun neoklasik. Sekali pasar dibiarkan berjalan sendiri sehingga segala sesuatu akan
berubah menjadi komoditas. Bukan hanya barang yang diatur oleh mekanisme pasar, tetapi juga
tenaga kerja, tanah dan uang. Ini merupakan bahaya besar bagi masyarakat. Tenaga kerja (labor)
adalah kata lain bagi kegiatan manusia yang satu dengan kehidupan itu sendiri, karenanya tidak
diproduksi untuk diperjualbelikan. Ia juga tidak dapat dilepaskan dari kehidupan, disimpan di
gudang atau dimobilisasikan. Tanah (land) adalah nama lain bagi alam yang juga bukan hasil
produksi manusia. Akhirnya, uang (money) hanyalah tanda beli yang tidak diproduksi, tetapi ada
karena mekanisme perbankan. Kalau tenaga kerja, tanah dan uang dipandang sebagai komoditas
maka ini tidak lebih daripada sebuah fiksi semata. Apa yang terjadi kalau tenaga kerja, tanah,
dan uang menjadi komoditas, jawabnya adalah kehancuran. Untuk itu, menjadi harapan kita
berama bahwa dengan adanya otonomi desa sebagaimana diakui dalam UU Desa, pelaksanaan
reforma agraria di desa menjadi agenda yang penting dan mendesak sebagai agenda politik.

Reforma Agraria Sebuah Agenda Politik

Dalam sebuah acara besar di Medan, yang dihadiri seribu lebih peserta yang berdatangan dari
seluruh penjuru Indonesia, pada tanggal 15 November 2006, disebutkan bahwa alasan yang
krusial mengenai mendesaknya reforma agraria dilaksanakan adalah timpangnya struktur
penguasaan lahan di Indonesia mengakibatkan kemiskinan dan konflik, serta reforma agraria
sendiri merupakan amanat dari UUPA 1960. Gambaran di atas menjadi sangat tegas mengapa
reforma agraria sebagai agenda politik sudah tidak bisa ditunda-tunda lagi.

Reforma agraria bisa diartikan sebagai kebijakan penting dari sebuah negara untuk
menghapuskan model kekuasaan ekonomi feodalisme dan membangun syarat-syarat untuk
menciptakan sebuah industri nasional dengan tujuan pasar nasional dan mencukupi kebutuhan
sendiri. Maka alamat dari kebijakan ini adalah: peningkatan kualitas hidup kaum tani dan
pedesaan, peningkatan produksi pertanian (baik untuk pangan dan bahan baku industri), dan
pengimbangan secara relatif keadaan pedesaan dan perkotaan (pemerataan pembangunan).

Pengubahan secara fundamental dari pertanian untuk kepentingan feodal dan merkantilis,
menjadi pertanian untuk mencukupi kebutuhan pangan nasional dan pemenuhan bahan-bahan
mentah bagi industri nasional. Dengan tujuan yang paling praktikal adalah membebaskan kaum
tani dari penghisapan feodalisme dan meningkatkan kapasitas (secara ekonomi, politik, dan
kebudayaan) mereka sebagai tenaga produktif (productive forces) utama di pedesaan. Dengan
meningkatnya derajat kualitas kehidupan kaum tani dan pedesaan, maka secara nasional akan
tersedia sumber daya pembangunan yang besar untuk industri dan pertanian nasional dan
perimbangan secara relatif keadaan hidup rakyat di pedesaan dan perkotaan (sebagai pusat
industri).

Dari segi itu, maka reforma agraria harus dilakukan oleh sebuah otoritas politik yang
mendominasi bangsa, yaitu negara. Negara harus menjadi alat dari rakyat untuk menyita
kekuasaan monopoli tanah (secara kepemilikan langsung maupun penguasaan tidak langsung),
menasionalisir, dan membagi secara cuma-cuma kepada kaum tani. Dua aspek pentingnya
adalah: menyita dan membagi hak atas tanah. Aspek pembagian ini adalah tugas negara yang
harus hati-hati dijalankan, karena memerlukan kegiatan penyadaran (baik secara politik,
ekonomi, maupun teknis pertanian), dukungan untuk produksi, maupun kegiatan administratif
untuk menentukan bagian hak atas tanah bagi keluarga kaum tani yang berhak. Pembagiannya
tidak bisa secara pukul rata, namun menurut dengan variasi kualitas tanah, letak geografis, klas
sosial dari kaum tani, maupun faktor teknis produksi pertanian. Baik penyitaan maupun
pembagian harus dilaksanakan secara cuma-cuma (gratis), pihak monopolis tanah yang disita
tidak diberikan kompensasi, dan pihak penerima pembagian (kaum tani) tidak membayar sebagai
pengganti pemberian hak atas tanah (seperti yang umum diketahui sebagai proses perjanjian
perdata untuk jual-beli) namun dibebani biaya-biaya administratif yang rendah.
Dari kerangka berpikir di atas, maka diperlukan keadaan bahwa kaum tani terorganisasi dengan
baik dan kuat (adanya peasant association atau serikat tani), adanya koperasi produksi pertanian
yang terintegrasi dengan tujuan organisasi tani tersebut, dan negara yang memang menjalankan
tugasnya sebagai pihak yang berpihak pada golongan warga negara yang lemah keadaan dan
kedudukan ekonomi, politik, dan kebudayaannya melalui sociali sharings process.

Mengenai penerapan reforma agraria di Indonesia, pemberlakuan UUPA[1] dan Undang-undang


Nomor 2 Tahun 1961 tentang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH) maupun Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian (UU
56 Prp 1960) dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Atas
Tanah dan Benda-benda Diatasnya (UU 20/1961); baru mengatur kuat tentang bagaimana tata
cara pendaftaran tanah sebagai inti dari proses administrasi negara untuk mengatur hukum
pembuktian tentang penguasaan seseorang (atau badan hukum) terhadap suatu hak atas tanah.
Bagaimana sebuah kebijakan untuk menghapuskan kepemilikan (dan penguasaan) monopoli a la
kolonialisme dan feodalisme Belanda belum sampai pada akarnya. Perlu dikaji lebih mendalam
mengenai hal ini, mengingat masalah agraria adalah masalah nasional yang sudah akut dan
kronik.

Sedangkan dalam tingkatan global, utuk mendukung perjuangan petani kecil dan tak bertanah
untuk mendapatkan akses atas tanah, air, dan sumber daya agraria yang produktif berdasarkan
hak asasi manusia atas pangan yang layak, serta untuk mencapai demokrasi gender yang lebih
besar, Menurut La Via Campesina (gerakan petani Internasional), penting kiranya untuk
memberikan perhatian khusus pada:

1. Memberikan petani kecil yang miskin kendali atas tanah, benih, dan air, sehingga mereka
dapat hidup bermartabat;
2. Memungkinkan produksi pangan yang aman dan bebas dari modifikasi genetik untuk
semuanya;
3. Menjamin alat produksi yang berkelanjutan untuk menjaga basis pangan demi generasi
mendatang;
4. Memperkuat hak-hak perempuan pedesaan dan kelompok-kelompok lain yang
terpinggirkan;
5. Menjamin kedaulatan pangan;
6. Memperkuat komunitas pedesaan.

Catatan kaki :

[1] Mengenai hak atas tanah bagi rakyat Indonesia diatur dalam Pasal 16 UUPA yang
menjelaskan tentang macam-macam hak atas tanah, yaitu: hak milik, hak guna usaha, hak guna
bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan dan hak-hak
lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-
undang serta hak-hak yang sifatnya sementara. Hak-hak yang sifatnya sementara ini diatur
dalam Pasal 53 UUPA dikenal sebagai hak atas tanah yang bersifat sementara yaitu hak sewa
untuk bangunan, hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, hak sewa tanah pertanian.

***Penulis adalah Ketua Badan Pelaksana Wilayah (BPW) SPI Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai