Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 14 | Desember 2012 20
Revitalisasi Kebijakan Agraria
guna Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat dalam Rangka Ketahanan Nasional horizontal masih terjadi. Salah satunya akibat dari penyimpangan kebijakan yang berdampak pada kerugian harta dan korban jiwa yang bermuara pada gangguan terhadap stabilitas nasional. Kepemilikan tanah di Indonesia awalnya dimiliki oleh komunitas adat yang kemudian secara berangsur berpindah tangan kepada individu dan badan usaha. Setelah negara Indonesia berdiri dengan konstitusi Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tanah kemudian diatur dalam pasal 33 ayat 3 UUD NRI 1945 bahwa bumi, T anah merupakan komponen terpenting dalam kehidupan manusia, sehingga menjadi faktor paling strategis bagi kelangsungan kehidupan. Berbagai catatan tentang peradaban manusia senantiasa menempatkan tanah dan penguasaannya sebagai faktor pemicu konfik, bahkan peperangan. Oleh sebab itu, setiap negara berupaya mengatur penguasaan tanah dan tata kelolanya bagi kesejahteraan rakyat untuk pertumbuhan ekonomi nasional dan pemerataan pembangunan nasional. Namun, konfik kepentingan secara vertikal dan Foto: http://tinyurl.com/8jlrssa Politik Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 14 | Desember 2012 21 air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam konteks hak menguasai negara, maka telah dibentuk Badan Pertanahan Nasional dengan tugas melaksanakan catur tertib pertanahan, di antaranya tertib administrasi pertanahan dalam rangka menjamin hak atas tanah dan hak publik atas tanah bagi pemanfaatan sektor produktif dan pelayanan umum. Pemerintah menghadapi berbagai kendala dalam mendata dan mendaftar keseluruhan pemilikan tanah. Berbagai masalah penguasaan dan kepemilikan tanah menimbulkan konfik, baik antarmasyarakat, antara masyarakat dan pelaku bisnis, maupun antara masyarakat dan pemerintah akibat lemahnya sistem administrasi pertanahan serta implementasi kebijakan yang tidak sesuai peraturan. Pada era reformasi yang disertai penguatan demokrasi dan hak asasi manusia, konfik pertanahan cenderung meningkat. Pemicu konfik ini di satu sisi akibat rendahnya kompetensi publik tentang sistem dan kebijakan agraria. Di sisi lain, buruknya integritas aparatur dalam tata kelola pertanahan. Reforma agraria berupaya untuk meningkatkan tertib hukum, administrasi, tata guna dan konservasi. Potensi konfik sering kali terjadi pada distribusi lahan sektor produktif. Padahal kebijakan tersebut seharusnya untuk mendukung laju pertumbuhan ekonomi nasional dan penyediaan lahan bagi pembangunan prasarana, sarana dan utililitas dalam upaya meningkatkan akses dan kualitas pelayanan sosial yang melibatkan pemerintah pusat, pemerintahan daerah, pengusaha dan komunitas lokal. Upaya revitalisasi kebijakan agraria untuk perlindungan hak atas tanah dan masa depan kehidupan bagi peningkatan kesejahteraan sosial, sekaligus stabilitas nasional. Upaya ini dapat dicapai apabila terdapat kesepahaman tentang hakikat tanah untuk kesejahteraan melalui penguasaan tanah oleh negara, sesuai amanat konstitusi. Oleh sebab itu, perlu kajian untuk mengetahui latar belakang konfik pertanahan dari pendekatan reforma agraria yang menyangkut aspek kesisteman, kelembagaan dan dukungan publik. Kajian ini akan menelusuri akar masalah dan kebijakan serta dampaknya terhadap upaya peningkatan kesejahteraan sosial maupun stabilitas nasional, sebagai bagian terpenting dalam mewujudkan ketahanan nasional yang tangguh. Permasalahan-permasalahan yang muncul sepanjang tahun 2011, menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), tercatat terdapat sedikitnya 163 konfik agraria di Indonesia. Jumlah ini telah meningkat drastis jika dibandingkan dengan tahun 2010 yang tercatat 106 konfik agraria. Dari 163 kasus itu, 97 kasus (60%) terjadi di sektor perkebunan, 36 kasus (22%) di sektor kehutanan, 21 kasus (13%) terkait infrasruktur dan 8 kasus (1%) di wilayah tambak/pesisir. Dari konfik ini, KPA juga mencatat terdapat 24 orang petani/warga yang tewas dan melibatkan 69.975 kepala Kepemilikan tanah di Indonesia awalnya dimiliki oleh komunitas adat yang kemudian secara berangsur berpindah tangan kepada individu dan badan usaha. Setelah negara Indonesia berdiri dengan konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tanah kemudian diatur dalam pasal 33 ayat 3 UUD NRI 1945 bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat. Politik Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 14 | Desember 2012 22 keluarga dengan luas areal konfik mencapai 472.048,44 hektar. Pada akhir tahun 2011 terjadi konfik pertanahan di pelabuhan Sape, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), juga terjadi bentrokan antara Satuan Brimob Polda NTB dengan warga yang menewaskan 2 (dua) orang. Demikian pula sengketa pertanahan yang terjadi di Mesuji Lampung dan Mesuji Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, dikabarkan telah menewaskan 9 orang (kesimpulan TGPF). Memang tidak ada penyebab tunggal dari berbagai kasus dan konfik agraria yang terjadi di Indonesia, namun hal ini menunjukkan akibat dari adanya ketimpangan dalam penguasan tanah. KPA menunjuk data bahwa saat ini terdapat lebih dari 25 juta hektar hutan yang dikuasai HPH, 8 juta hektar dikuasai HTI dan 12 juta hektar dikuasai perkebunan sawit besar. Secara de facto di Indonesia sudah banyak tuan-tuan tanah yang memanfaatkan sistem kepemilikan tanah yang sangat liberal atau asal punya uang dan mampu, maka mereka bisa menguasai berapapun luas tanah yang dikehendaki. Berdasarkan fakta-fakta di atas, pemicu konfik adalah terjadinya ketimpangan penggunaan/pemanfaatan tanah, termasuk pelaksanaan penatagunaan yang belum berjalan efektif atau sesuai rencana tata ruang wilayah. Pengaturan penguasaan tanah yang memicu ketimpangan penguasaan/ pemilikan tanah, baik di perkotaan maupun di perdesaan, telah menimbulkan ketidakadilan dalam penguasaan/pemilikan tanah yang terus terakumulasi kepada pemilik modal. Selain itu, jaminan kepastian hukum juga dirasakan masih lemah. Melihat permasalahan di atas dengan berpedoman pada kebijakan pertanahan nasional, sebagaimana dituangkan dalam UUPA, maka implementasi pengelolaan sumber daya agraria harus dilaksanakan melalui enam kegiatan, yaitu: (1) penatagunaan tanah (2) pengaturan penguasaan tanah (3) pendataan bidang tanah (4) pemberian hak atas tanah (5) pendaftaran hak atas tanah dan peralihannya (sertifkasi) serta (6) penyelesaian sengketa pertanahan. Revitalisasi kebijakan agraria guna meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam rangka ketahanan nasional akan dianalisis secara komprehensif dan ditinjau dari analisis Astagatra (Aspek-aspek: Geograf, Demograf, Sumber Kekayaan Alam, Ideologi, Politik, Sosial Budaya, Pertahanan dan Keamanan), sehingga diharapkan permasalahan dapat dilihat secara utuh. GEOGRAFI Indonesia merupakan negara agraris dan memiliki potensi sumber kekayaan alam untuk dimanfaatkan bagi kemakmuran rakyat. Namun dalam pengelolaannya masih terdapat permasalahan tata ruang dan pemanfaatan kawasan, baik itu untuk sektor kehutanan, pertanian maupun pertambangan. Ketersediaan data mengenai tata guna lahan masih terbatas, dan ketersediaan ruang termasuk unsur tanah di dalamnya yang terbatas tidak dapat menampung kebutuhan tanah yang semakin meningkat. Tumpang-tindih pemanfaatan ruang terjadi akibat diterbitkannya berbagai izin pemanfaatan ruang dalam lokasi yang sama. Fungsi eksisting ruang sering kali tidak sesuai dengan fungsi peruntukan dalam Rencana Tata Ruang, sehingga memicu terjadinya konfik agraria. Pada era reformasi yang disertai penguatan demokrasi dan hak asasi manusia, konfik pertanahan cenderung meningkat. Pemicu konfik ini di satu sisi akibat rendahnya kompetensi publik tentang sistem dan kebijakan agraria. Di sisi lain, buruknya integritas aparatur dalam tata kelola pertanahan. Reforma agraria berupaya untuk meningkatkan tertib hukum, administrasi, tata guna dan konservasi. Politik Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 14 | Desember 2012 23 Idealnya pembangunan harus dikontrol (managed) melalui aktivitas pengendalian pembangunan (development control) yang didasarkan atas rencana guna lahan yang merupakan fungsi praktis dari suatu rencana tata ruang. Hal ini dilakukan dengan memanfaatkan teknologi Remote Sensing maupun Geographical Information System (SIG) sehingga dapat dihasilkan spatial analysis maupun sharing data, dan sementara itu perencanaan maupun implementasi kebijakan yang terkait dengan tata ruang dapat terkontrol, terintegrasi dan terarah. DEMOGRAFI Dari segi demograf, di satu sisi dinamika pertambahan penduduk akan diikuti pertambahan aktivitas dan perubahan sosial, namun di sisi lain ruang hidup relatif bersifat statis atau tetap (Chapin,1995), sehingga akan terjadi suatu proses yang saling melengkapi bahkan ketergantungan maupun yang saling berseberangan atau berkompetisi. Di daerah perkotaan, sering dijumpai ketidaktertiban dalam penatagunaan tanah berdasarkan Tata Ruang Wilayah yang telah di-Perda-kan, bahkan konsekuensi hukum bagi pelanggaran di mana pemanfaatan tanah nampaknya diserahkan kepada mekanisme pasar karena tanah dianggap sebagai komoditi ekonomi yang dapat dipermainkan sepenuhnya oleh kelompok yang mempunyai modal kuat untuk menguasai tanah dalam jumlah yang tidak terbatas. Akhirnya, pembangunan di perkotaan menjadi tidak tertib dan tidak terkendali serta konfik kepentingan meningkat sehingga menyebabkan tersingkirnya masyarakat miskin di perkotaan ke daerah kumuh yang dapat menandai kesejahteraan mereka perlu dipertanyakan. Di pedesaan, hampir 85% petani gurem di Indonesia adalah petani tanpa tanah dan lahan yang sempit dengan kepemilikan rata-rata 0,25 hektar, sehingga melahirkan dan menyuburkan konfik agraria. Petani dan warga yang tidak bertanah tidak akan mampu berproduksi dan kondisi tersebut diperparah dengan keberpihakan aparatur terhadap kepentingan pemilik modal dalam menjaga asetnya. Akibatnya sering terjadi bentrok antara warga dan pemilik modal yang mengakibatkan jatuh korban hanya karena ingin memperjuangkan kehidupan dan kelangsungannya, agar tidak menjadi makin miskin. SUMBER KEKAYAAN ALAM Pengelolaan sumber kekayaan alam terkait erat dengan kebijakan di bidang agraria karena di dalamnya menyangkut urusan pertanian, kehutanan, pertambangan bahkan kelautan. Dalam pasal 2 ayat 2 UUPA hak menguasai negara atas tanah memberi wewenang untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa, menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang dan perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Namun dalam implementasinya pengelolaan agraria melalui kewenangan yang diberikan kepada negara tersebut belum sesuai dengan yang diharapkan. Hal tersebut terlihat dengan masih banyaknya konfik sumber daya agraria terkait pertambangan, perkebunan dan kehutanan. Oleh karena itu, pengelolaan sumber Indonesia merupakan negara agraris dan memiliki potensi sumber kekayaan alam untuk dimanfaatkan bagi kemakmuran rakyat. Namun dalam pengelolaannya masih terdapat permasalahan tata ruang dan pemanfaatan kawasan, baik itu untuk sektor kehutanan, pertanian maupun pertambangan. Politik Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 14 | Desember 2012 24 kekayaan alam hendaknya menitikberatkan pada aspek kesejahteraan sosial, dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat yang ada di daerah, dengan ditopang oleh tegaknya rule of law dan disertai kompetensi aparatur yang mampu mengedepankan dialog dalam penyelesaian masalah, khususnya di bidang agraria. IDEOLOGI Ideologi sebagai pembentuk jati diri bangsa akan memengaruhi pemikiran dan sikap serta tindakan sebagai bagian dari kehidupan berbangsa dan bernegara serta berpemerintahan. Ideologi diwarnai oleh agama dan budaya serta moral dan etika, sehingga pola pikir dan pola tindak seharusnya selaras dengan nilai-nilai yang dikembangkan dalam agama dan moral serta budaya maupun etika yang membentuk pandangan terhadap penguasaan lahan sebagai titipan Tuhan. Harta yang dimiliki sebagai rahmat dari Yang Maha Kuasa sepatutnya dapat memberi manfaat kepada pemilik dan keluarganya termasuk masyarakat sekitarnya untuk mewujudkan komunitas yang sejahtera. Konsep sejahtera bersama sebagai umat yang berjamaah atau hidup berkelompok atas landasan agama seharusnya jadi landasan bagi terbangunnya kekuatan untuk mengelola sumber daya lokal secara kolektif dalam bentuk badan usaha lokal. POLITIK Landasan bagi terwujudnya politik kesejahteraan adalah suatu kesatuan pandang terhadap kepentingan nasional yang harus berlandaskan pada kepentingan bersama dalam mengatasi kepentingan pribadi dan kelompok. Jika tidak terbangun kesepahaman akan hakikat kepentingan nasional, maka terjadi politik primordial yang membentuk berbagai golongan dan kelompok yang dapat saling jegal karena landasan kepentingan atas dasar kesamaan cita-cita yang dipersatukan melalui perjuangan kemerdekaan dan mengisinya untuk keadilan sosial. Politik primordial dalam suasana demokrasi yang liberalistik amat berbahaya bagi upaya mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan karena kepentingan nasional tidak dijadikan landasan untuk kemakmuran bersama, sehingga perlu dibangun kesepakatan tentang hakikat demokrasi Pancasila yang menyejahterakan. Pola pencapaian kesejahteraan kolektif melalui penguasaan sumber kemakmuran dan kelangsungannya dengan menjadikan pengelolaan lahan sebagai jalan menuju implementasi politik akomodatif terhadap kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Kenyataan menunjukkan bahwa tanah belum menjadi sumber kesejahteraan bagi rakyat sesuai hasrat yang terkandung dalam UUPA tahun 1960 karena tanah dijadikan sumber investasi bagi para pemodal, sehingga menjadi alat spekulasi bagi para kapitalis karena tidak dikendalikan oleh undang-undang secara konsekuen. Terjadinya sengketa dan konfik agraria yang semakin meluas, berkepanjangan dan tanpa penyelesaian yang tuntas, apalagi proses penyelesaiannya tidak dapat memberi rasa adil bagi rakyat, maka akan menimbulkan krisis kepercayaan terhadap pemerintah. Konfik agraria telah diikuti dengan tindak kekerasan seperti kejadian di Jambi, Mesuji dan Bima yang menandai Pengelolaan sumber kekayaan alam hendaknya menitikberatkan pada aspek kesejahteraan sosial, dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat yang ada di daerah, dengan ditopang oleh tegaknya rule of law dan disertai kompetensi aparatur yang mampu mengedepankan dialog dalam penyelesaian masalah, khususnya di bidang agraria. Politik Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 14 | Desember 2012 25 politik pertanahan tidak selaras dengan politik kesejahteraan. Apalagi ada intrik politik dan/atau bisnis yang mengikutinya sehingga konfik berubah menjadi krisis. Oleh sebab itu, perlu dikembangkan politik kesejahteraan yang menempatkan kepentingan publik sebagai wujud dari pengejawantahan kepentingan nasional dalam alam demokrasi yang memberi ruang kepada penguatan hak asasi manusia sebagai insan yang bermartabat. EKONOMI Tanah sebagai salah satu faktor produksi dalam teori ekonomi menunjukkan nilai ekonomi yang sangat tinggi karena kegiatan ekonomi berlandaskan lokasi menjadi salah satu unsur pokok dalam kalkulasinya, baik dari aspek kesuburan, lokasi maupun kemudahan aksesnya. Persoalan utama dalam konfik pertanahan adalah ketidaksesuaian antara nilai ekonomi tanah sebelum dan sesudah terjadi peralihan hak karena kelemahan dalam mengalkulasi keuntungan dan kerugian sebagai akibat dari harapan terhadap nilai tunai untuk mengatasi tuntutan kebutuhan yang semakin mendesak. Selain itu, boleh jadi transaksi tersebut difasilitasi oleh kekuatan-kekuatan tertentu yang amat ditakuti oleh rakyat, sehingga semakin menyudutkannya dalam proses tersebut yang disadarinya setelah era reformasi mengubah peta kekuatan tersebut. Jika tanah sebagai sumber kemakmuran rakyat yang diatur dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan turunannya, maka keselarasan antarperaturan perundang-undangan perlu diupayakan dan bagaimana implementasinya seterusnya dilakukan secara konsisten dan konsekuen. Sebagai sumber kehidupan, maka dukungan melalui sistem yang pro-kemakmuran dan peraturan perundang-undangan yang pro- stabilitas, maka pengelolaan tanah harus dijadikan tugas utama bagi setiap pemimpin dan aparaturnya, agar stabilitas sekaligus Foto: http://tinyurl.com/9yg8tsz Politik Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 14 | Desember 2012 26 keadilan dapat diwujudkan secara simultan. SOSIAL BUDAYA Konfik agraria adalah pertentangan klaim hak atas tanah atau kekayaan alam yang berasal dari dasar yang berbeda di mana masing-masing pihak meyakini memiliki kekuatan hukum untuk mempertahankan sumber daya tersebut. Pada tingkat mikro, konfik agraria berwujud pada klaim yang bertumbukan atas lokasi yang sama namun dasar yang berbeda dan institusi yang berbeda. Di satu pihak, klaim masyarakat berdasarkan aturan atau hukum adat setempat yang mereka sepakati bersama, sebaliknya di sisi lain klaim pemegang konsesi atas lahan yang sama berdasarkan penetapan hak yang diberikan pemerintah berlandaskan sejumlah peraturan dan perundangan dari hukum formal yang berlaku. Adanya kecenderungan di mana konfik agraria selalu diikuti oleh tindakan kekerasan bahkan sudah pada fase penghilangan nyawa dan konfik ini pada umumnya disebabkan oleh 4 (empat) hal mendasar. Pertama, masih digunakannya pendekatan kekerasan dan keamanan (security and violence approach) dalam menyelesaikan konfik sementara di sisi lain ternyata kekuatan perlawanan rakyat sudah tumbuh secara signifkan. Kedua, tidak ada platform kebijakan yang jelas dari pemerintah dalam menangani konfik agraria yang terjadi pada masa sebelumnya dan terus berlanjut sampai sekarang karena sengketa dan konfik agraria tidak mempunyai jalur penyelesaian secara hukum. Ketiga, pola kebijakan agraria tidak mengalami perubahan signifkan dan paradigma kebijakan peruntukan tanah berskala luas kepada badan-badan usaha tidak memperhatikan kondisi rakyat yang banyak tidak memiliki tanah. Keempat, tidak dijalankannya agenda reforma agraria padahal agenda tersebut diyakini menjadi solusi bagi penyelesaian konfik agraria secara tuntas. PERTAHANAN DAN KEAMANAN Reformasi pertahanan negara merupakan salah satu perwujudan dari komitmen reformasi nasional yang dilaksanakan secara bertahap dan berlanjut mencakup penataan postur, struktur dan kultur sebagai suatu kesatuan perubahan yang utuh dan menyeluruh. Sejalan dengan komitmen tersebut, reformasi perlu dijaga agar tidak dinodai oleh tindakan anarkis maupun kepentingan kelompok atau golongan dalam kerangka dasar, yaitu ideologi Pancasila dan konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penataan struktur mencakup penataan organisasi pertahanan negara yang menyentuh segi-segi substansial yang meliputi perubahan struktur organisasi, tatanan kewenangan, fungsi dan tugas dari Kementerian Pertahanan (Kemhan) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Penataan organisasi dimaksudkan agar lebih efektif sesuai perkembangan dalam konteks strategis serta kehendak masyarakat demokratis. Perubahan pada aspek kultur dan tata nilai diarahkan pada sikap dan perilaku penyelenggara pertahanan negara dalam memosisikan dirinya sesuai peran dan tugasnya sebagai insan pertahanan negara yang profesional. Reformasi pertahanan negara merupakan salah satu perwujudan dari komitmen reformasi nasional yang dilaksanakan secara bertahap dan berlanjut mencakup penataan postur, struktur dan kultur sebagai suatu kesatuan perubahan yang utuh dan menyeluruh. Sejalan dengan komitmen tersebut, reformasi perlu dijaga agar tidak dinodai oleh tindakan anarkis maupun kepentingan kelompok atau golongan. Politik Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 14 | Desember 2012 27 Reformasi pertahanan keamanan tidak dapat dilepaskan dari kebutuhan akan lahan sebagai media bagi pelaksanaan tugas dan fungsi serta peran bagi TNI/Polri dan berbagai lembaga yang berkaitan. Berbagai konfik antara TNI/Polri dan masyarakat tidak dapat dilepaskan dari paradigma lama yang diusung lembaga ini sebelum era reformasi yang lebih mengedepan kekuatan daripada dialog. Selain itu fungsi tambahannya dalam mengamankan objek investasi yang dianggap vital ataupun menjadi bagian dari sistem pengamanan bagi investasi swasta, terutama investasi asing berskala besar. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penataan ulang terhadap sistem pertahanan dan keamanan yang dihubungkan dengan kebutuhan terhadap lahan dan mobilitas, sehingga tercapai tujuan yang diemban semua pihak dan seterusnya kegiatan dapat berlangsung secara damai. Revitalisasi kebijakan agraria adalah kebutuhan mendesak yang harus dilakukan karena implikasinya yang sangat luas terhadap stabilitas keamanan dan keadilan dalam kerangka kesejahteraan. Implikasi kebijakan memberi panduan bagi upaya yang harus dilakukan oleh semua pihak yang terlibat dan terkait serta berkepentingan terhadap isu-isu yang dikemukakan agar tercipta arah kebijakan dan langkah strategis sebagai berikut: 1. Arah Kebijakan a. Mewujudkan percepatan pembaruan atau reforma agraria secara konsisten dan konsekuen yang berlandaskan pada prinsip dasar UUPA Tahun 1960. Pembaruan agraria sebagai landasan kemajuan sektor pertanian yang makin modern dengan dukungan teknologi dan budaya kerja produktif, sehingga dapat diwujudkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pemerataan hasil pembangunan serta stabilitas nasional yang dinamis. Pembaruan agraria harus merujuk pada nilai- nilai dasar dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, baik karakter bangsa yang majemuk maupun tujuan nasional yang menempatkan keadilan sosial sebagai sasaran yang harus dicapai bagi seluruh rakyat Indonesia. b. Melaksanakan transformasi terhadap kelembagaan yang berkaitan dengan tata kelola (governance) bidang pertanahan pada khususnya dan agraria pada umumnya. Transformasi kelembagaan yang terkait dengan tata kelola bidang pertanahan pada khususnya, dan agraria pada umumnya, sebagai pemegang kuasa atas kebijakan publilk menjadi amat menentukan keberhasilan upaya pembaruan agraria. Transformasi dimulai dari pendefnisian lingkup tugas dan fungsi lembaga baik dalam aspek pertanahan maupun keagrariaan, sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Selanjutnya dilakukan reorientasi dalam upaya menempatkan visi pembangunan dengan paradigma nasional yang pro- kemanusiaan beserta pro-lingkungan kehidupan melalui pembentukan peraturan perundang-undangan yang mengakomodasi kedua aspek tersebut sebagai landasannya. c. Meningkatkan kompetensi publik dalam rangka dukungan publik terhadap kebijakan melalui keterlibatan secara aktif serta upaya pemberdayaannya. Kompetensi publik terhadap sistem dan peraturan perundang-undangan yang mengatur tata kelola bidang pertanahan dan keagrariaan sangat menentukan keberhasilan upaya pembaharuan agraria secara sistematik dan integralistik serta berkelanjutan. Kompetensi publik tersebut menyangkut pengetahuan dan keterampilan yang meliputi Politik Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 14 | Desember 2012 28 seluk-beluk dalam masalah serta pemecahan sesuai dengan situasi dan kondisi maupun kemampuan yang berkaitan dengan aspek teknis dan sikapnya jika berurusan dengan kelembagaan pertanahan atau keagrariaan. Dengan kompetensi publik berarti mereka sadar hukum, sehingga jika seluruh warga negara memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap sesuai kedudukan serta kewenangan maupun hak dan kewajibannya, maka tanggung jawabnya sebagai warga negara akan terpenuhi dengan sempurna. Hal tersebut akan berujung pada dukungan publik terhadap kebijakan publik yang akan bersifat maksimal dan hasil yang dicapai akan bersifat efektif dan efsien sehingga seterusnya dapat dicapai tujuan nasional untuk menyejahterakan bangsa ini. 2. Langkah-Langkah Strategis a. Melakukan reforma agraria (land reform) yang dapat memberikan akses kepada masyarakat dalam hal redistribusi kesejahteraan dengan tetap mengutamakan prinsip law- based, peaceful dan sustainable, serta sejalan dengan sistem politik, tata ruang, lingkungan dan kewenangan, seperti kebijakan alokasi tanah bagi rakyat termiskin sesuai prinsip tanah untuk keadilan dan kesejahteraan. b. Mempertegas kedudukan Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria sebagai peraturan induk pengelolaan agraria. Pemerintah harus mengambil peran utama dalam pelaksanaan land reform, dan dalam pelaksanaannya perlu terlebih dahulu melakukan penertiban sistem administrasi agraria dengan mengacu kepada makna flosofs, khususnya pasal 1 s.d. 15. c. Melakukan harmonisasi aspek politik, hukum dan peraturan perundang- undangan dalam kebijakan agraria supaya tidak terjadi tumpang- tindih yang dapat memicu konfik vertikal maupun horizontal, termasuk mengkaji ulang seluruh peraturan perundang-undangan yang menyangkut sumber daya agraria seperti pertanahan, kehutanan, pertambangan dan perairan dalam rangka terwujudnya sinkronisasi kebijakan antarsektor. d. Melakukan penguatan kelembagaan dan kewenangan instansi yang mengelola sumber daya agraria khususnya pertanahan, agar lebih mandiri dan mampu mengembangkan kewenangan dan tugas sesuai dengan Tap MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. e. Revitalisasi kebijakan agraria dilaksanakan dengan memperhatikan nilai kultural dan kearifan lokal masyarakat daerah, oleh karena kesejahteraan tidak hanya dimaknai secara materiil namun juga menyangkut aspek-aspek spiritual. f. Untuk mewujudkan kesepahaman Revitalisasi kebijakan pertanahan pada khususnya, dan keagrariaan pada umumnya, adalah suatu keniscayaan yang bersifat strategis dan mendesak melalui implementasi upaya pembaruan atau reforma agraria secara konsisten dan konsekuen karena menyangkut sumber kehidupan dan kelangsungan kehidupan di masa datang. Politik Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 14 | Desember 2012 29 Politik dari para pemangku kepentingan tentang tanah sebagai landasan kesejahteraan dan kelangsungan kehidupan lintas generasi, maka Lemhannas RI mendukung dilaksanakannya Kongres Agraria. g. Memperkuat kapasitas kepemimpinan nasional di daerah dalam mengantisipasi dan mengamankan potensi konfik dengan konsepsi Ketahanan Nasional, agar terbina kesadaran kolektif tentang nilai strategis tata kelola sumber daya agraria sebagai asas bagi stabilitas nasional sebagai indikator utama keamanan nasional dan keadilan sosial sebagai indikasi pencapaian kesejahteraan. Berdasarkan analisis, arah kebijakan dan langkah-langkah strategis terkait Revitalisasi Kebijakan Agraria guna Meningkatkan Kesejahteraan rakyat dalam rangka Ketahanan Nasional, maka dari kajian ini dapat diambil beberapa kesimpulan serta saran sebagai berikut: 1. Kesimpulan a. Revitalisasi kebijakan pertanahan pada khususnya, dan keagrariaan pada umumnya, adalah suatu keniscayaan yang bersifat strategis dan mendesak melalui implementasi upaya pembaruan atau reforma agraria secara konsisten dan konsekuen karena menyangkut sumber kehidupan dan kelangsungan kehidupan di masa datang. Pembaruan agraria sebagai implementasi dari UUPA Tahun 1960 sesuai keadaan dan kebutuhan dari sisi ekonomi dan sosial serta pertahanan keamanan menjadi sangat berpengaruh terhadap mekanisme politik dalam kerangka politik pertanahan untuk kesejahteraan sosial. Oleh sebab itu, pembaruan agraria melalui revitalisasi kebijakan pertanahan berupaya untuk mencapai proses sekaligus perubahan struktur pertanahan, sehingga memberikan peluang pada peningkatan kesejahteraan sekaligus stabilitas keamanan karena tidak ada konfik sebagai akibat dari keselarasan dalam penatalaksanaannya. b. Fungsi negara dalam kebijakan Ekonomi Foto: http://tinyurl.com/9jjxtej Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 14 | Desember 2012 30 pertanahan/keagrariaan sesuai amanat konstitusi perlu dimantapkan karena meningkatnya konfik pertanahan sejak era reformasi sebagai dampak dari desentralisasi dan proses demokratisasi yang berlangsung secara vertikal dan horizontal melibatkan masyarakat, pemerintah dan dunia usaha. Konfik tersebut terjadi akibat rendahnya kompetensi publik tentang kesisteman dan peraturan perundangan-undangan serta mekanisme dalam kaitan dengan integritas aparatur sebagai dasar bagi dukungan publik terhadap upaya pembaruan agraria. Untuk mengatasi persoalan yang semakin meningkat intensitas dan kualitasnya, maka perlu dilakukan revitalisasi kebijakan agraria yang bertumpu pada pembaruan agraria melalui tertib hukum, tertib administrasi, tertib tata guna dan tertib lingkungan dalam rangka ketahanan nasional bagi terwujudnya stabilitas nasional dan keadilan sosial. 2. Saran a. Perlunya Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) dalam hal penyelesaian konfik pertanahan, khususnya dalam penanganan konfik pertanahan yang timbul di daerah agar selaras dengan ketentuan Pasal 9 dan Pasal 10 PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. b. Untuk memberikan kepastian hukum penguasaan tanah bagi masyarakat diperlukan penyederhanaan regulasi pemberian hak atas tanah kepada masyarakat (petani penggarap) yang objeknya berasal dari tanah negara eks HGU dan pemanfaatannya disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah. c. Sistem Informasi Pertanahan (SIP) merupakan sebuah kebutuhan yang mendesak untuk mewujudkan catur tertib pertanahan di daerah. Oleh karena itu, perlu dibangun Sistem Informasi Pertanahan (SIP) yang berbasis desa/kelurahan pada pemerintah daerah kabupaten/ kota dengan menyusun grand design sistem informasi pertanahan secara nasional.[Feb-Mar 2012] Sistem Informasi Pertanahan (SIP) merupakan sebuah kebutuhan yang mendesak untuk mewujudkan catur tertib pertanahan di daerah. Oleh karena itu, perlu dibangun Sistem Informasi Pertanahan (SIP) yang berbasis desa/kelurahan pada pemerintah daerah kabupaten/ kota dengan menyusun grand design sistem informasi pertanahan secara nasional. Politik