Anda di halaman 1dari 13

REVIEW BUKU

MEMBANGUN KADASTER LENGKAP DI INDONESIA

Dibuat Oleh :

Nama : Muhammad Apriza


NIT : 23324573
Kelas : A

PROGRAM DIPLOMA IV PERTANAHAN


SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL
2024
BAB 1. Urgensi Membangun Kadaster Lengkap

1.1 SDGs dan Tantangan Kadaster di Indonesia


Salah satu tujuan utama dari agenda global Sustainable Development Goals (SDGs)
adalah mengakhiri segala bentuk kemiskinan. Sudah menjadi komitmen global untuk
memastikan bahwa tanah adalah sumber utama kemakmuran bagi semua orang dengan
akses yang adil dan setara. Pada tahun 2030, semua orang, terutama mereka yang hidup
dalam kemiskinan dan kerentanan, diharapkan memiliki hak yang sama atas tanah.
"Proporsi penduduk dewasa yang memiliki hak atas tanah dengan didasari oleh dokumen
hukum (bersertipikat), dan yang menguasai tanah (namun belum bersertipikat), dengan
memperhatikan jenis kelamin dan tipe kepemilikan tenurial" adalah indikator yang
disepakati untuk mencapai tujuan ini (United Nations, 2015).
Untuk memantau dan mengevaluasi pencapaian indikator-indikator Sustainable
Development Goals (SDGs), manajemen pertanahan menjadi semakin penting untuk
mengelola data seluruh bidang tanah. SDGs tidak hanya mencantumkan tujuan pertama
tersebut, tetapi juga mencantumkan banyak tujuan lain yang terkait langsung dengan
masalah pertanahan (United Nations, 2017). Sebagai contoh, sangat sulit untuk memantau
dan mengevaluasi data seperti proporsi lahan pertanian karena tidak ada data lengkap
tentang seluruh bidang tanah. Proporsi lahan pertanian merupakan data penting untuk
mencapai tujuan kedua, yaitu menghentikan kelaparan, meningkatkan ketahanan pangan
dan nutrisi, dan mendorong pertanian berkelanjutan. Selain itu, menurut Membangun
Kadaster Lengkap Indonesia Dwi Budi Martono 2, proporsi petani yang memiliki tanah
berdasarkan jenis kelamin tercantum dalam indikator untuk tujuan kelima, yang bertujuan
untuk mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan dan anak perempuan.
Di sisi lain, rasio laju peningkatan konsumsi tanah dengan laju pertumbuhan penduduk
tercantum dalam tujuan kesebelas, yang bertujuan untuk membangun kota dan
permukiman yang inklusif, aman, tangguh, dan berkelanjutan.
Sebagai upaya mengatasi tantangan kelengkapan dan kualitas kadaster di atas, pemerintah
memprakarsai program percepatan pendaftaran tanah melalui Pendaftaran Tanah Sistematis
Lengkap (PTSL).
1.2 Kadaster Lengkap di Perkotaan dan Perdesaan Indonesia
Kadaster Indonesia harus mencakup seluruh wilayah, baik perkotaan maupun
perdesaan, seperti yang disarankan oleh Pernyataan Bogor tentang Reformasi Kadaster
(1996) dan Laporan Proyek Administrasi Pertanahan - Part C (Bappenas, 2000). Diharapkan
kadaster lengkap akan berfungsi sebagai lapisan dasar sistem administrasi pertanahan yang
terintegrasi untuk memastikan pertumbuhan berkelanjutan di bidang ekonomi, sosial, dan
lingkungan hidup. Dalam proses pengumpulan data fisik pendaftaran tanah, subjek penelitian
buku ini adalah bagian dari proses penetapan batas kadaster yang berkaitan dengan aspek
legal dan spasial. Namun, lingkup buku ini tidak mencakup berbagai elemen tata usaha dan
penetapan hak yang berkaitan dengan pengumpulan data yuridis yang berkaitan dengan status
hukum bidang tanah, pemegang hak dan hak pihak lain, serta beban beban lain yang
membebaninya (RRR).

1.3 Kebutuhan Inovasi Kadaster di Indonesia


Dengan memberikan informasi baru tentang parameter template kadaster, elemen-
elemen, dan analisis alasan mengapa kadaster Indonesia tidak lengkap, buku ini bertujuan
untuk mendukung kemajuan ilmu pengetahuan. Secara singkat, kontribusi yang diharapkan
adalah sebagai berikut:
1. Penjelasan tentang sistem kadaster yang berlaku di Indonesia berdasarkan parameter
template kadaster CSDILA
2. Perumusan elemen-elemen kadaster
3. Penyusunan tipologi kadaster untuk setiap bidang tanah berdasarkan hasil penilaian
tingkat kepatuhan elemen-elemen kadaster dan
4. Analisis penyebab kadaster yang belum lengkap di Indonesia.
BAB 2. Kadaster, Pendaftaran Tanah, dan Administrasi Pertanahan

2.1 Kadaster Harus Lengkap


Melalui kadaster, sumber daya agraria dapat dikelola dengan baik. Disebutkan bahwa,
manajemen pertanahan merupakan proses pengelolaan sumber daya pertanahan yang
melibatkan informasi kapasitas sumber daya pertanahan, penguasaan dan pemilikan tanah
(land tenure), penilaian tanah (land value), serta peruntukan dan penggunaan tanah (land use).
Informasi tersebut untuk setiap bidang tanah dapat diakses melalui nomor identifikasi bidang
tanah yang unik (parcel identifier) yang terhubung dengan peta kadaster. Ketersediaan
kadaster lengkap yang meliputi seluruh wilayah merupakan faktor penentu keberhasilan
manajemen pertanahan.
2.2 Kadaster
Kadaster tidak memiliki pengertian yang berlaku secara universal (Zevenbergen,
2002). Meskipun mempunyai sejarah panjang selama berabad-abad, istilah kadaster terus
mengalami pergeseran makna dan diimplementasikan secara beragam sesuai dengan
kebutuhan setiap negara. Secara umum, kadaster meliputi dua kegiatan, yaitu pendaftaran
tanah dan pemetaan kadaster. Tidak adanya definisi yang tunggal serta perbedaan praktik dan
pengertian kadaster di berbagai negara, mendorong para ahli untuk mencari definisi kadaster.
Kadaster selalu memiliki uraian geometris batas bidang tanah.
2.3 Pendaftaran Tanah
Pendaftaran tanah berkaitan dengan gagasan kepemilikan dan penguasaan tanah (land
tenure). Pendaftaran tanah mencatat hubungan hukum antara subjek (pemilik), jenis hak yang
melekat (hak/titel), dan objek (parcel). Proses pencatatan hak-hak atas tanah berbeda dari
sistem pemilik tanah. Dalam arti ini, sebagai aktivitas ini, terdapat catatan resmi yang dikenal
sebagai Daftar Tanah. Daftar Tanah berisi informasi tentang jenis hak atas tanah yang
dimiliki seseorang atau tentang perubahan yang dilakukan secara hukum pada satu unit
bidang tanah.
2.4 Administrasi Pertanahan
Administrasi pertanahan mencakup proses pendataan dan penyebaran informasi
tentang kepemilikan, penguasaan, nilai, dan peruntukan tanah dan sumber daya yang terkait.
Untuk menyelaraskan semua operasi SAP dalam kerangka pemerintahan berbasis spasial,
tujuan pembangunan berkelanjutan adalah penggunaan kadaster lengkap sebagai komponen
utama IDS. Kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang terintegrasi dan selaras akan
mendorong pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, kelestarian lingkungan hidup, dan tata
kelola pemerintahan yang berfokus pada masyarakat.
BAB 3. Sistem Kadaster di Indonesia

3.1 Konteks Negara


Dilihat dari konteks geografis ini, jelas betapa sulitnya membangun kadaster lengkap
di Indonesia. Ini termasuk masalah mengelola berbagai jenis penggunaan tanah dan kondisi
alam lainnya. Selain itu, sistem kadaster daratan, kehutanan, dan kelautan tidak terintegrasi
secara hukum dan fiskal. Kebijakan Satu Peta menemukan banyak kesamaan. Sistem kadaster
yang terpisah ini dapat menyebabkan kebijakan yang berfokus pada kepentingan pribadi
setiap sektor. Ini akan menyulitkan masyarakat dan pemerintah untuk mencapai
pembangunan berkelanjutan dalam bidang ekonomi, keadilan sosial, dan kelestarian
lingkungan hidup.
Sistem kolonial Belanda dari awal abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-18
memengaruhi sistem kadaster Indonesia. Faktor-faktor umum, seperti pengaturan pertanahan
dari negara-negara prakolonial dan kerajaan-kerajaan besar, diakhiri dengan kedatangan
orang-orang Eropa pada tahun 1300-1500 (Ricklefs, 2005). Setelah UU UUPA diundangkan,
sistem kadaster nasional baru dimulai. Pada tahun 1961, berdasarkan PP No. 10/1961,
sebagai pelaksanaan Pasal 19 UU UUPA, upaya untuk mendaftarkan tanah di seluruh
Indonesia melalui pendaftaran tanah desa demi desa.
3.2 Kerangka Instutisional
Sistem kadaster suatu negara dikelola sebagian besar oleh sistem politik dan
administrasi. Menurut UUPA, pemerintah bertanggung jawab atas pekerjaan kadaster dan
pendaftaran tanah, dan pendidikan memainkan peran penting dalam mendukung keterlibatan
sektor swasta dalam pekerjaan ini. Pendidikan memungkinkan orang untuk memperoleh
pengetahuan, kemampuan, dan kompetensi yang diperlukan. Sektor swasta dapat membantu
pembangunan kadaster lengkap Indonesia, yang mencakup banyak wilayah dan masalah,
dengan menguasai teknik pengukuran dan pemetaan, interpretasi data, dan pemahaman
mendalam tentang hukum pertanahan dan penataan ruang.
3.3 Sistem Kadaster
Tujuan sistem kadaster adalah Menjamin kepastian hukum hak atas tanah (kadaster
legal), Mengumpulkan dan memberikan informasi yang lengkap tentang bidang-bidang
tanah. Sistem kadaster yang dianut adalah sistem pendaftaran hak atas tanah (title), bukan
sistem pendaftaran akta (deed) dengan sistem publikasi negatif. Artinya, sertipikat hak atas
tanah berlaku sebagai alat bukti yang kuat (bukan positif atau mutlak) dan sah sepanjang
tidak dibuktikan sebaliknya oleh pengadilan.

3.4 Pemetaan Kadaster


Peta Kadaster, juga disebut Peta Pendaftaran, adalah representasi grafis dari bidang-
bidang tanah untuk keperluan pembukuan tanah. Peta Dasar Pendaftaran, yang mencakup
titik-titik dasar teknik dan elemen geografis seperti sungai, jalan, bangunan, dan batas fisik
bidang-bidang tanah, menyediakan data untuk Peta Kadaster. Satuan terkecil yang disurvei
dan didaftarkan dalam peta kadaster adalah bidang tanah. Batasan tetap, juga dikenal sebagai
batas tetap, diperoleh melalui proses penetapan batas yang bersifat wajib atau perlu. Nomor
Identifikasi Bidang Tanah (NIB) adalah tanda khusus yang digunakan untuk mengidentifikasi
bidang tanah tertentu.
3.5 Reformasi Kadaster
Permasalahan yang masih menjadi tantangan sistem kadaster di Indonesia antara lain:
Ketidaklengkapan konten kadaster; kualitas konten kadaster; banyaknya sengketa, kasus, dan
perkara pertanahan; serta belum terintegrasinya sistem administrasi pertanahan yang dikelola
oleh berbagai instansi pemerintah mengakibatkan prosedur, biaya, dan waktu yang diperlukan
masyarakat dalam melakukan transaksi peralihan hak atas tanah. Inefisiensi ini tercermin dari
rendahnya peringkat kemudahan berusaha. PTSL merupakan inisiatif pemerintah untuk
mendaftarkan seluruh bidang tanah secara lengkap sekaligus mengurangi kasus pertanahan.
Pendaftaran tanah sistematis diamanatkan oleh Presiden melalui Instruksi Presiden No.
2/2018 dan ditargetkan selesai pada tahun 2025. Selain PTSL, transformasi digital dan
perbaikan kualitas konten kadaster juga menjadi prioritas yang dilaksanakan melalui kegiatan
digitalisasi dan validasi konten kadaster. Layanan pertanahan secara elektronik seperti
pengecekan sertipikat, hak tanggungan, roya, dan informasi nilai tanah telah dimulai.
Layanan elektronik akan semakin diperbanyak dan bahkan akan mengganti sertipikat hak atas
tanah menjadi sertipikat elektronik. Pengembangan aplikasi KKP dan aplikasi mobile seperti
Sentuh Tanahku dan Survei Tanahku diharapkan akan dapat memperbaiki kualitas dan
transparansi layanan.
3.6 Prinsip dan Statistik Kadaster
Prinsip-prinsip kadaster mencakup jenis sistem pendaftaran tanah, persyaratan legal
untuk pendaftaran tanah, dan metode pendaftaran tanah menggunakan template kadaster. Di
Indonesia, pendaftaran tanah adalah kewajiban bagi pemegang hak atas tanah untuk
mendaftarkan tanah mereka secara sistematis; selain itu, pendaftaran tanah dapat dilakukan
secara sukarela, seperti Membangun Kadaster Lengkap Indonesia Dwi Budi Martono 90, jika
pemegang hak atas tanah secara sporadis memintanya.

BAB 4 Elemen Kadaster Dalam Regulasi Penetapan Batas Indonesia

4.1 Objek Kadaster Dalam UUPA


UUPA menyatakan objek kadaster atau disebut sebagai lapangan agraria adalah bumi,
air, dan ruang angkasa, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Objek agraria
yang merupakan sumber-sumber daya alam tersebut mirip dengan objek ruang dalam regulasi
tata ruang yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam
bumi. Kegiatan tata ruang disebut penataan ruang dan jika mengenai tanah disebut tata guna
tanah yang kegiatannya disebut penatagunaan tanah.
4.2 Fungsi Administrasi Pertanahan yang Diatur Dalam UUPA
Fungsi Administrasi Pertanahan dalam UUPA mencakup fungsi pengaturan
penguasaan dan pemilikan tanah (land tenure) yang diatur dalam bab II mengenai hak-hak
atas tanah, air, dan ruang angkasa, serta pendaftaran tanah. Fungsi tenurial ini paling
mendominasi UUPA, yaitu dalam hal legalisasi tanah (land titling), hak tanggungan
(mortgage), maupun hak akses (easement/servituut). Selain itu juga terdapat muatan fungsi
penataan ruang (land use) dalam pasal 14 yang mengamanatkan pemerintah untuk membuat
rencana umum persediaan, peruntukan, dan penggunaan bumi, air, dan ruang angkasa, serta
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Baik dalam bentuk rencana umum (national
planning) yang meliputi seluruh negara, maupun rencana-rencana khusus (regional planning)
dari tiap-tiap daerah
4.3 Elemen Kadaster dalam PP No. 24/1997 dan PMNA No. 3 Tahun 1997
Sebagai aturan pelaksana UUPA, PP No. 24/1997 lebih mengelaborasi tujuan
pendaftaran tanah yaitu, selain untuk memberikan jaminan hukum hak atas tanah juga untuk
menghimpun dan menyediakan informasi yang lengkap (kadaster lengkap) mengenai bidang-
bidang tanah. Diatur di dalam PP No. 24/1997, penghimpunan informasi dalam pendaftaran
tanah juga termasuk pembukuan bidang-bidang tanah yang meskipun data fisik dan atau data
yuridisnya belum lengkap atau masih disengketakan di mana tanah-tanah tersebut belum
dikeluarkan sertipikat sebagai tanda bukti haknya. Pendekatan ini sesuai dengan prinsip-
prinsip continuum of land rights. 6 elemen penetapan batas yaitu, Penunjukan Batas,
persetujuan batas, Pemasangan Tanda Batas/Demarkasi Batas, Petugas Penetapan Batas,
Metode Pengukuran, dan Ketelitian Peta Dasar Pendaftaran.

BAB 5 Analisis Kepatuhan Elemen Kadaster Penetapan Batas

5.1 Tipologi Kadastar


Tipologi kadaster dapat didefinisikan sebagai metode yang digunakan untuk
mengklasifikasikan variabel elemen-elemen kadaster menjadi sekelompok objek berdasarkan
identitas yang sama, yang dalam konteks buku ini adalah tingkat kepatuhan atau
ketidakpatuhan elemen-elemen kadaster pada kegiatan penetapan batas program PTSL.
Untuk melakukan analisis kuantitatif tipologi kadaster terhadap tiga elemen legal (penunjuk
batas, persetujuan batas, dan demarkasi batas) serta tiga elemen spasial (petugas penetapan
batas, metode pengukuran, dan ketelitian peta dasar), digunakan tools pada perangkat sistem
informasi geografis untuk mengelompokkan tingkat kepatuhannya menjadi kategori patuh
dan tidak patuh. Enam elemen kadaster yang disebutkan, digunakan untuk menilai tingkat
kepatuhan dalam kegiatan survei dan pemetaan kegiatan PTSL.
5.2 Tipologi Kadaster di Perdesaan

5.3 Tipologi Kadaster di Perkotaan


Tingkat kepatuhan enam elemen kadaster penetapan batas di lokasi studi dua
kelurahan di Kota Administrasi Jakarta Utara tercantum pada Tabel 5. 3. Digit keempat
mewakili tingkat pemenuhan elemen penunjuk batas, digit kelima untuk persetujuan batas,
dan digit keenam merupakan elemen ketelitian peta dasar. Tiga nilai pasif yaitu elemen legal
dari digit pertama hingga ketiga tidak dilakukan asesmen dan diberikan skor 1 tanpa
melakukan penilaian. Audit terhadap tingkat pemenuhan elemen spasial dilakukan pada
19.173 bidang tanah di dua kelurahan di Kota Administrasi Jakarta Utara dan menghasilkan
tipologi kadaster
5.4 Assessment Elemen Legal
Tidak semua pemegang hak memiliki motivasi untuk mendaftarkan tanah mereka
dengan berbagai alasan, misalnya alasan perpajakan. Keengganan dan ketidakhadiran pemilik
tanah merupakan hambatan utama dalam pendaftaran tanah sistematis. Elemen legal
penetapan batas yang paling terpengaruh akibat ketidakhadiran pemilik tanah adalah
penunjuk batas dan pemasangan/ demarkasi batas, terutama untuk tanah kosong. Namun,
elemen persetujuan batas di daerah perdesaan tidak banyak terpengaruh. Sebagian besar
pemilik tanah dapat menyepakati batas tanpa harus hadir secara fisik saat proses penetapan
dan pengukuran batas berlangsung. Faktor kepercayaan kepada perangkat desa dan saling
kenal dengan tetangga menjadi kunci dalam elemen persetujuan batas yang merupakan
elemen terpenting dalam aspek legal penetapan batas Partisipasi pemilik tanah yang
memenuhi syarat untuk didaftar tidak terlalu signifikan, walaupun sudah dilakukan sosialisasi
mengenai PTSL dengan melibatkan pemerintah desa setempat. Hanya 36,1% dari 7.522
bidang tanah pemilik tanah atau kuasanya menunjukkan batas bidang tanahnya secara
langsung, meskipun persyaratan hukum dalam regulasi (Pasal 19 ayat (1) huruf b PMNA No.
3/1997) mewajibkan mereka untuk menunjukkan batas-batas bidang tanahnya sekaligus
memasang tanda-tanda batas tanahnya. Namun, mayoritas dari mereka, yaitu sebesar 59,7%,
mempercayakan perangkat desa untuk menunjukkan batas tanah mereka. Hanya sebagian
kecil, yaitu 0,6% dari penunjuk batas bidang tanah yang dilakukan oleh pihak yang
menguasai tanah. Selain itu, penunjukan batas yang dilakukan oleh pihak yang
berkepentingan, misalnya calon pembeli sebesar 2,2%. Penunjukan batas bukan oleh
pemegang hak atau kuasa atau yang menguasai seperti ini terjadi ketika perangkat desa tidak
mendampingi surveyor dan tidak ada penunjuk batas lain yang berkualitas secara hukum.
5.5 Assessment Elemen Spasial
Penilaian terhadap elemen petugas penetapan batas menunjukkan bahwa 100% dari
seluruh sampel sebanyak 19.172 bidang tanah yang dipetakan pada peta kadaster di
Kelurahan Pluit dan Lagoa dilakukan oleh surveyor ASN (Aparatur Sipil Negara).
Berdasarkan penilaian data Gambar Ukur (GU) dan Surat Ukur (SU) serta wawancara dengan
Kepala Seksi Survei dan Pemetaan Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Utara, tidak
ada keterlibatan surveyor berlisensi atau pihak luar dalam kegiatan penetapan batas di kedua
kelurahan. Semua bidang tanah diukur dan dipetakan secara mandiri oleh Kantor Pertanahan
sehingga seluruh bidang patuh terhadap ketentuan elemen ini.
BAB 6 Bagaimana Membangun Kadaster Lengkap Indonesia

6.1 Konsistensi Sistem Kadaster Indonesia: Antara Prinsip, Regulasi, dan Praktik.
Sistem kadaster di Indonesia memiliki tujuan utama untuk memberikan kepastian dan
perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah, untuk membangun sistem informasi
pertanahan yang lengkap di seluruh wilayah negara, dan untuk menciptakan tertib
administrasi pertanahan (Pasal 3 PP No. 24/1997). Pembahasan prinsip dan regulasi
dimaksudkan untuk memberikan gambaran sisi perbaikan yang perlu dilakukan untuk
membangun kadaster lengkap Indonesia, apakah pada sisi regulasi atau pada sisi praktik
pelaksanaannya
6.2 Fungsi dan Objek Administrasi Pertanahan
Fungsi administrasi pertanahan yang tercantum dalam UUPA mencakup pengaturan
penguasaan dan pemilikan tanah (land tenure) serta peruntukan tanah (land use) (Pasal 2 ayat
(2) UUPA). Mengacu pada paradigma manajemen pertanahan modern, fungsi ini akan lebih
lengkap apabila ditambah dengan fungsi penilaian tanah (land value). Fungsi pengembangan
pertanahan (land development) sudah ada dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum serta turunannya
dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
6.3 Sistem Pendaftaran Tanah
Regulasi tentang sistem pendaftaran tanah di Indonesia: Sistem kadaster di Indonesia
adalah pendaftaran hak atas tanah (registration of title) yang seharusnya menerapkan asas
tirai (curtain). Lihat penjelasannya di bagian 3.3, yang mana penerapannya dalam
rechtverwerking (Penjelasan Pasal 32 PP No. 24/1997) memerlukan waktu lima tahun sejak
penerbitan sertipikat hak atas tanah. Selanjutnya diatur bahwa sistem publikasi pendaftaran
tanah menggunakan sistem negatif bertendensi positif. Sebagai konsekuensinya, sertipikat
hak atas tanah harus dipandang sebagai bukti kuat yang dalam proses penerbitannya telah
dilakukan pemeriksaan tanah, baik untuk memeriksa validitas dan otentitas subjek hak
sebelum penetapan haknya, maupun dalam proses penetapan batas untuk objeknya
6.4 Persyaratan Legal Pendaftaran Tanah
Regulasi persyaratan legal pendaftaran tanah: Pendaftaran tanah secara sistematis
mewajibkan (compulsory) seluruh pemilik tanah untuk mendaftarkan tanahnya dan baru
merupakan pilihan (optional) pada pendaftaran tanah sporadik. Persyaratan wajib juga
diberlakukan pada kegiatan pemeliharaan data. Namun kewajiban ini tidak disertai dengan
adanya sanksi bagi yang melanggar.

6.5 Registrasi Penetapan Batas


Regulasi: Penuangan persetujuan batas dalam dokumen daftar isian 201 (Pasal 19 ayat
(5) PMNA No. 3/1997) risalah penelitian data yuridis dan penetapan batas yang merupakan
registrasi data yuridis (Pasal 140 PMNA No. 3/1997)
6.6 Demarkasi Batas
Regulasi: Harus terpasang di lapangan secara tetap untuk memenuhi kaidah batas
tetap (fixed boundary) (Pasal 19 s.d. 23 PMNA No. 3/1997)
6.7 Surveyor Berlisensi
Regulasi: Memungkinkan terlibat dalam seluruh kegiatan survei dan pemetaan
kadaster, baik dalam pendaftaran tanah sistematis maupun sporadis. Licensed surveyor mulai
diperkenalkan dalam regulasi Pasal 20 ayat (4) PP No. 24/1997
6.8 Survei Kadaster
Regulasi: Menggunakan metode pengukuran terestris, fotogrametris, satelit, atau
campuran dengan ketentuan teknis yang harus mencantumkan tingkat ketelitian (Petunjuk
Teknis PMNA/ KBPN Nomor 3 Tahun 1997 Materi Pengukuran dan Pemetaan, 1997)
6.9 Peta Kadaster
Regulasi: Peta pendaftaran yang merupakan peta kadaster dibuat dari Peta Dasar
Pendaftaran yang wajib tersedia sebelum dilakukannya kegiatan pendaftaran tanah. Apabila
belum disiapkan oleh ATR/BPN, peta tersebut bisa didapat dari instansi lain yang memenuhi
persyaratan teknis. Dalam keadaan terpaksa, pembuatan Peta Dasar Pendaftaran wajib
dilakukan bersamaan dengan pengukuran dan pemetaan bidang tanah yang bersangkutan dan
bidang-bidang sekelilingnya yang berbatasan sehingga letak relatif bidang tanah itu dapat
ditentukan (Pasal 12 s.d. 18 PMNA No. 3/1997). Dengan begitu, kutipan bidang tanah
semuanya disebut dengan Surat Ukur.
BAB 7 Menindaklanjuti PTSL

7.1 PTSL dalam Sistem Kadaster Indonesia


Selain pendaftaran hak atas tanah (recht cadastre), di Indonesia juga terdapat sistem
kadaster lain yang beroperasi secara terpisah, tidak terintegrasi, dan terfragmentasi. Contoh
dari sistem kadaster ini mencakup kadaster untuk pengelolaan pajak (fiscal cadastre),
kawasan hutan (forest cadastre), pertambangan (mining cadastre), kelautan (marine cadastre)
yang diselenggarakan oleh kementerian/lembaga yang berbeda (Sahide and Giessen 2015).
Karena belum lengkapnya kadaster serta dengan kualitas konten kadaster yang belum akurat
(accurate), terjamin (assured), dan resmi (authoritative) atau AAA, menyebabkan Peta
Kadaster belum dapat digunakan sebagai lapisan utama (basic layer) sistem administrasi
pertanahan secara terintegrasi
7.2 Elemen Kadaster dalam Proses Penetapan Batas
Regulasi kadaster di Indonesia menggunakan sistem fixed boundary melalui kegiatan
penetapan batas yang dilakukan sebelum pelaksanaan pengukuran. Rangkaian kegiatannya
terbagi menjadi aktivitas legal dan aktivitas spasial, mengikuti klasifikasi yang dikemukakan
oleh Arunada (2018). Enam elemen kadaster dalam kegiatan penetapan batas terdiri dari tiga
elemen legal (penunjuk batas, persetujuan batas, dan demarkasi batas) dan tiga elemen spasial
(petugas penetapan batas, metode pengukuran, dan ketelitian peta dasar). Selain itu, elemen
pengumuman juga termasuk dalam elemen kadaster, namun hanya dilakukan untuk kegiatan
pendaftaran pertama kali atas tanah yang berasal dari hak lama. Keenam elemen kadaster
tersebut merupakan pilar fixed boundary sistem kadaster di Indonesia. Pemenuhan ketentuan
penetapan batas menjadi standar teknis yang harus dipenuhi dan masih menjadi tantangan
dalam praktik.
7.3 Tingkat Kepatuhan Peta Bidang Tanah terhadap Elemen-elemen Kadaster
Assessment tingkat kepatuhan elemen spasial dilakukan di wilayah perkotaan di dua
kelurahan di Kota Administrasi Jakarta Utara. Hasilnya sangat mengejutkan, yaitu tidak ada
satu pun bidang tanah yang dipetakan dalam peta kadaster yang memenuhi standar teknis
(0%). Kepatuhan elemen petugas penetapan batas yaitu sebesar 100% karena dari 19.172
bidang, semuanya ditetapkan oleh surveyor pemerintah (ASN). Sedangkan pada elemen
metode pengukuran, hanya sebesar 17,4% yang memenuhi ketentuan teknis pengukuran yang
dipersyaratkan dalam petunjuk teknis. Sisanya sebesar 15.597 (81,4%) tidak memenuhi
ketentuan tersebut.

7.4 Membangun Kadaster Lengkap dengan PTSL


Tipologi kadaster juga bisa digunakan sebagai baseline dalam pelaksanaan
peningkatan kualitas data spasial. Bersama dengan pemeringkatan tingkat ketelitian, Kantor
Pertanahan tidak perlu lagi menghadapi problematika kegiatan validasi dan revalidasi.
Adopsi FFP LA perlu ditindaklanjuti dengan penerapannya juga dalam legal framework yaitu
pada kegiatan penetapan hak atas tanah. Dalam kegiatan ajudikasi sistematis
direkomendasikan agar diberlakukan Surat Ukur Sementara (SUS) sebagai lampiran Buku
Tanah untuk memberikan kepastian hak atas tanah bagi PBT.
PTSL menghasilkan semakin banyak kabupaten/kota lengkap. Peta Kadaster Lengkap
yang sudah mencakup seluruh bidang tanah di suatu kabupaten/kota direkomendasikan untuk
segera ditindaklanjuti agar menjadi basic layer RDTR Pertama Kali. Elemen spasial RDTR
yang belum bisa dipenuhi, akan diselesaikan pada saat Pemeliharan Data RDTR. RDTR
Pertama Kali yang terbangun selanjutnya di upload ke dalam sistem Online Single
Submission (OSS) sebagai langkah untuk menyelaraskan dengan fungsi perizinan (land
development).

Anda mungkin juga menyukai