Anda di halaman 1dari 8

1. Review 2 dari 4 video mengenai permukiman dan penataan ruang!

Penataan permukiman sebagai sarana tempat tinggal yang baik. Salah satu indikator
kurangnya penataan ruang yang baik adalah tidak tersedia sarana prasana yang baik, seperti
kurangnya akses air minum, saluran drainase pengelolaan tempat sampah yang baik serta
minimnya proteksi kebakaran.
Penataan pemukiman memiliki beberapa indikator di antaranya, kondisi fisik bangunan,
kondisi sosial ekonomi, dan dampak dari keduanya tersebut. Program kotaku 100-0-100/
program peningkatan kualitas pemukiman yang bekerja dengan pemda setempat dan
masyarakat. Selama periode 2015-2018 pemerintah melakukan pemberdayaan dan penataawn
lingkungseperti 100% akses layak air minum, 0% pengurangan Kawasan kumuh dan
pemenuhan 100% akses sanitasi
Salah satu alasan dilakukan penataan ruang di antaranya :
1. Ruang Terbatas, Ukuran ruang yang tersedia di muka bumi tidak pernah bertambah.
2. Populasi Manusia Terus Meningkat, Jumlah penduduk terus mengalami peningkatan
3. Aktivitas Manusia Tidak Terbatas, Ruang menampung semua aktivitas manusia, dari
bekerja, tempat tinggal, rekreasi hingga peristirahatan terakhir (Tempat Pemakaman
Umum)
4. Ruang Bukan Hanya Untuk Manusia, Hewan dan tumbuhan juga memerlukan ruang
5. Mengatur Aktivitas di Sekitar Daerah Rawan Bencana, Dengan RTR, manusia dapat
mengantisipasi pembangunan dan aktivitas di sekitar daerah rawan bencana
Tujuan penataan ruang adalah untuk
1. Mewujudkan keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan.
2. Mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya
buatan dengan sumber daya manusia.
3. Mewujudkan pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap
lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
Sumber :
https://www.youtube.com/watch?v=CQW_vpj1H3I
https://www.youtube.com/watch?v=p81X754I4zw&t=59s
2. Bagaimana integrasi pertanahan dengan penataan ruang dari segi kelembagaan,
faktor yang mempengaruhi dan tantangan saat ini!
Penataan ruang diyakini sebagai pendekatan yang tepat dalam mewujudkan keterpaduan
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya buatan secara berdaya guna dan berhasil
guna. Diharapkan dengan berpedoman pada kaidah penataan ruang, kualitas ruang wilayah
nasional dapat terjaga keberlanjutannya demi terwujudnya kesejahteraan umum dan keadilan
sosial sesuai dengan landasan konstitusional UUD RI Tahun 1945.1 Penyelenggaraan tata
ruang di Indonesia telah diatur dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang (UUPR). UUPR mengatur bahwa masing-masing daerah harus menetapkan
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi maupuan kabupaten/kota. Penetapan RTRW
ini sangat terkait dan mempengaruhi masalah perlindungan lahan pertanian pangan yang
berkelanjutan, serta penyelamatan kawasan hutan.
Kegiatan penataan ruang terdiri dari 3 (tiga) kegiatan yang saling terkait, yaitu: perencanaan
tata ruang, pemanfaatan tata ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang melalui produk
rencana tata ruang berupa Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang secara hieratki terdiri
dari Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi (RTRWP), dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRW Kab/Kota).
Dalam pembangunan Bidang Tata Ruang terdapat 3 (tiga) isu strategis yaitu:
1. Pemanfaatan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Siklus pelaksanaan penataan ruang,
sebagaimana diatur oleh UU Penataan Ruang, terdiri dari perencanaan, pemanfaatan, dan
pengendalian pemanfaatan ruang. Mempertimbangkan masih ada RTR dan Rencana Zonasi
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP-3-K) yang belum selesai, maka tahapan
pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang belum dapat dilaksanakan secara efektif.
Salah satu faktor penyebab belum seluruh daerah memiliki RTR dan RZWP-3-K adalah
belum tersedianya peta berskala besar. Untuk mendukung pemanfaatan dan pengendalian
pemanfaatan ruang, dibutuhkan juga skema insentif sebagaimana tercantum dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang;
2. Kelembagaan Penyelenggaraan Penataan Ruang Permasalahan kelembagaan mencakup
masih belum memadainya kualitas, kuantitas dan kompetensi SDM Bidang Tata Ruang, yang
berdampak pada cenderung rendahnya kualitas RTR. Untuk Penyidik Pegawai Negeri Sipil
(Peraturan Pemerintah) Bidang Tata Ruang, selain kualitas dan kuantitas yang masih harus
ditingkatkan, wadah dan tata kerjanya belum terdefinisikan dengan baik untuk menunjang
kinerjanya. Selain itu, masyarakat pengguna ruang juga belum berperan aktif dalam
penyelenggaraan penataan ruang. Minimnya pedoman yang dapat menjadi panduan bagi
Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan penataan ruang juga menimbulkan banyak
kendala.
3. Rencana Tata Ruang sebagai acuan pembangunan berbagai sektor Sebagai peraturan
perundangan yang mewadahi Bidang Tata Ruang, seluruh amanat UU Penataan Ruang harus
dilengkapi dan selaras dengan aturan sektoral lain. Namun saat ini RTR belum menjadi
pedoman bagi pembangunan sektoral. Selain itu, RTR juga belum selaras dengan rencana
pembangunan yang menjadi acuan pembiayaan pembangunan.
Aspek Koordinasi Kelembagaan/Tata Organisasi
Kelembagaan yang melaksanakan pengaturan dalam PUU jelas dan tidak tumpang tindih
Struktur organisasi hasil pengabungan lembaga agrariapertanahan dan tata ruang yang
sudah terbentuk baru pada tingkat pusat dan hingga saat ini struktur organisasi pada tingkat
daerah masih sebagai lembaga yang terpisah. Struktur organisasi yang terbentuk pada tingkat
pusat masih tetap menyandingkan Badan Pertanahan Nasional di belakang organisasi
Kementerian Agraria dan Tata Ruang.
Struktur organisasi yang terbentuk terbatas menggabungkan kedua lembaga dalam
satu struktur organisasi. Perubahan yang terjadi hanya berupa perubahan terhadap nama pada
struktur organisasi dan belum menggabungkan keduanya dalam tugas dan fungsi. Struktur
organisasi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN saat ini menunjukkan bahwa terdapat
lima Direktorat Jenderal (Ditjen) yang masih mengandung unsur agraria/pertanahan dan dua
Ditjen yang mengandung unsur penataan ruang. Ditjen yang masih mengandung unsur
agraria-pertanahan antara lain adalah Ditjen Infrastruktur Keagrariaan, Ditjen Hubungan
Hukum Keagrariaan, Ditjen Penataan Agraria, Ditjen Pengadaan Tanah, dan Ditjen
Penanganan Masalah Agraria, Pemanfaatan Ruang dan Tanah.
Sehingga hal tersebut memuncukan beberapa tantangan
1. Perubahan Paradigma
Lembaga agraria-pertanahan dalam hal ini BPN dinilai memiliki data rinci terkait
informasi persil/bidang tanah yang dapat digunakan sebagai dasar dalam perencanaan tata
ruang. Hal ini dilatarbelakangi bahwa selama ini penataan ruang tidak memiliki data yang
handal terkait penggunaan lahan eksisting sebagai dasar perencanaan tata ruang. Lembaga
agraria selama ini merupakan bagian tim perencana sebagai data supporting peta berbasis
bidang tanah dalam kegiatan perencanaan tata ruang.
Namun demikian, sistem penataan ruang yang diterapkan di Indonesia saat ini masih
belum cukup mewadahi partisipasi masyarakat dalam penataan ruang. Untuk menghasilkan
rencana yang baik, diperlukan adanya keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan tata
ruang. Kegiatan penataan ruang bukan hanya sekedar pengaturan tata guna tanah namun juga
mengatur perilaku orang dalam memanfaatkan tanahnya. Oleh karena itu, informasi terkait
kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat dapat diketahui dengan melibatkan masyarakat
dalam proses perencanaan. Dengan mengetahui kondisi masyarakat maka rencana tata ruang
tidak hanya sekedar rencana ideal, melainkan rencana yang menggambarkan kesepakatan dari
para pemangku kepentingan atau masyarakat. Selain itu, masyarakat akan merasa memiliki
terhadap rencana pembangunan dan ikut terlibat dalam implementasi rencana yang sudah
dibuat. Masyarakat juga bisa terlibat dalam pengendalian pemanfaatan ruang jika tidak sesuai
dengan yang direncanakan.
Pemanfaatan informasi berbasis bidang tanah tidak bisa serta merta dilakukan, perlu
mekanisme kelembagaan untuk mengatur hal tersebut. Penggunaan data persil dalam
perencanaan tata ruang berarti memberikan porsi partisipasi masyarakat yang lebih besar
dalam perencanaan tata ruang. Kurangnya pelibatan masyarakat dalam perencanaan tata
ruang di Indonesia saat ini dipengaruhi oleh paradigma penataan ruang yang masih
mengedepankan hak mengatur dari pemerintah. Pemerintah memiliki pandangan yang
menjadikan pemerintah seolah-olah memiliki kewenangan penuh untuk melakukan
pengaturan terhadap tanah dan ruang. Kondisi tersebut berpengaruh terhadap undang-undang
yang terbentuk, yaitu bagaimana rencana harus diikuti sebagaimana yang direncanakan.
Kecenderungan saat ini, pemerintah masih memahami penataan ruang sebagai
perluasan interpretasi dari Pasal 14 dan 15 UUPA. Pasal 14 Ayat 1 UUPA menyebutkan
bahwa “pemerintah harus membuat perencanaan umum mengenai persediaan, peruntukan dan
penggunaan bumi, air dan ruang angkasa, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”
dan Pasal 15 menyebutkan bahwa: ”memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya
serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi
yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang
ekonomi lemah”.
Penataan ruang bukan sekedar penatagunaan tanah. Sebaliknya, penataan ruang harus
dipandang sebagai kegiatan yang dinamis dan proses membangun konsensus yang mengikuti
perkembangan ilmu dan teknologi. Penentuan struktur dan pola ruang selama ini belum
memperhatikan aspek-aspek kompleks dari hak atas tanah. Cara pandang normative
positivistic tersebut dinilai tidak mampu menjawab permasalahan tata ruang di Indonesia.
Oleh karena itu perubahan paradigma penting untuk dilakukan. Merubah undang-undang
terutama terkait dengan kelembagaan dan partisipasi masyarakat berarti merubah paradigma
dalam penataan ruang. Perubahan paradigma dari pemerintah yang mengatur tata ruang
kepada pelibatan masyarakat dalam penataan ruang. Selain itu, perubahan paradigma dari
pengaturan yang dilakukan oleh pemerintahan pusat kepada pelimpahan kewenangan kepada
pemerintah daerah.
2. Perbaikan Infrastruktur Informasi Pertanahan dan Penguatan Peraturan Perundang-
undangan
Selain perbaikan infrastruktur informasi pertanahan, diperlukan juga penguatan
peraturan perundang-undangan. Para aktor penataan ruang berpendapat bahwa saat ini, dasar
hukum atau dudukan dari lembaga penataan ruang (UUPR) dan lembaga agraria (UUPA)
masih belum pas. UUPA yang lebih dahulu terbit bukan merupakan acuan dalam UUPR.
Oleh karena itu, merubah dan menyusun beberapa peraturan baru penting dilakukan untuk
menjembatani integrasi yang dilakukan oleh lembaga agraria dan penataan ruang. Aspek-
aspek hukum saat ini pengaturannya belum cukup rinci yang seringkali menimbulkan konflik
kepentingan.
Intervensi politik dan campur tangan aktor di luar kelembagaan masih banyak ditemui
dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Oleh karena itu tantangan ke depan
adalah melakukan penguatan peraturan perundang-undangan sehingga ada peraturan cukup
rinci yang bisa digunakan sebagai acuan dalam pengambilan kebijakan. Selain itu, perlu
dilakukan penyusunan dan restrukturisasi peraturan yang sudah ada karena banyaknya
peraturan yang tumpang tindih. Tumpang tindih peruntukan, pemanfaatan dan penggunaan
ruang banyak terjadi karena belum adanya pengaturan ruang yang optimal untuk bisa
meminimalkan perbedaan kebijakan terkait pengaturan ruang. Adanya pelimpahan
kewenangan penataan ruang kepada pemerintah daerah tidak diikuti dengan pengaturan
pengendalian yang cukup rinci memungkinkan adanya kesewenang-wenangan dalam
pengelolaan sumberdaya lahan
3. Struktur Organisasi yang Efektif dan Efisien
Hal penting yang harus dilakukan adalah mensinergikan fungsi pertanahan dengan
fungsi penataan ruang. Hal ini dapat dilakukan dengan memilah-milah tugas dan fungsi dari
lembaga agraria dan lembaga tata ruang yang kemudian digabungkan dalam satu
kelembagaan. Penggabungan menurut tugas dan fungsi ini penting agar tidak ada tumpang
tindih misalnya dalam pelaksanaan kegiatan dan penganggaran. Streamlining beberapa satuan
kerja perangkat daerah yang mengurusi penataan ruang dan juga lembaga agrariapertanahan
penting dilakukan agar tugas yang dijalankan sesuai dengan fungsinya masing-masing.
Sinergi antara lembaga agraria-pertanahan dan tata ruang dalam satu struktur
organisasi pengaturannya akan relatif sulit dilakukan. Perbedaan fungsi kewenangan antara
lembaga agraria dan penataan ruang, akan menjadi penyebab sinkronisasi tidak bisa serta
merta dilakukan. Oleh karena itu, hal yang terlebih dahulu dilakukan adalah menterjemahkan
maksud dari kata sinkron dalam integrasi kedua lembaga tersebut. Sinkron dalam
penggabungan kedua lembaga ini bisa memiliki pengertian yang beragam.
Selain itu, pelaksanaan kegiatan penataan ruang saat ini dilaksanakan oleh banyak
lembaga dan tersebar pada beberapa satuan kerja pemerintah pusat maupun daerah. Hal ini
seringkali menimbulkan tumpang tindih kewenangan dan mekanisme pelaksanaan pada
masing-masing lembaga tersebut. Oleh karena itu, perwujudan struktur organisasi yang
efektif dan efisien harus menyentuh hingga lembaga penataan ruang dan agraria pada tingkat
daerah.

Sumber :
Merujuk pada website Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN
(http://www.bpn.go.id/Berita/Siaran-Pers/hantaru-2016-wujudkanreforma-agraria-dan-tata-
ruang-yang-berkeadilan-64410 diakses tanggal 25 September 2016).
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR).
Puspasari, Sari & Sutaryono, 2017, INTEGRASI AGRARIA–PERTANAHAN DAN TATA
RUANG, Sleman : STPN Press
Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang
3. keterkaitan pengadaan tanah dengan manajemen pertanahan

Sedangkan komponen Tata Guna Tanah adalah, pertama sumber daya tanah dan kedua
sumber daya manusia.

Secara esensial ruang dan tanah merupakan modal dasar dan potensi sumber daya alam
yang sangat mahal dan semakin langka. Hal ini disebabkan karena tanah dibutuhkan dan
dimanfaatkan untuk berbagai bentuk pembangunan. Tanah harus dapat dimanfaatkan untuk
dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam rangka mewujudkan keadilan sosial. Agar
ruang dan tanah dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien dalam pemenuhan kebutuhan
perumahan serta pemukiman yang terus meningkat dinamis progresif, perlu dilakukan
pembinaan serta pengelolaan ruang dan pertanahan secara terarah dan terkendali. Ketentuan
mengenai pola pengelolaan tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara dan tata guna
sumber daya alam lainnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Istilah tata guna tanah (land use planing) jika dikaitkan dengan obyek hukum agraria
nasional, maka penggunaan istilah tata guna tanah/land use planning kurang tepat. Hal ini
karena obyek hukum agraria nasional sebagaimana yang tertuang dalam Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) meliputi : bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya. Sedangkan tanah/land sebagian dari bumi merupakan salah satu
obyek dari hukum agraria. Dengan berpedoman pada obyek hukum agraria nasional tersebut,
maka istilah yang tepat untuk digunakan adalah “tata guna agraria atau agrarian use planning.
Agrarian use planning meliputi : land use planning (tata guna tanah), water use planning (tata
guna air) dan air use planning (tata guna ruang angkasa).36Dalam hal ini, tata guna tanah
hanya merupakan bagian dari tata guna agraria. Di dalam praktik istilah tata guna tanah lebih
umum digunakan, sehingga lebih dikenal daripada istilah tata guna agraria.

Berdasarkan istilah “tata guna tanah” / land use planning tersebut kedudukan tata guna
tanah dalam sistem hukum agraria nasional, dapat dikemukakan 3 (tiga) pengertian/difinisi,
yaitu sebagai berikut:

1. Tata Guna Tanah adalah rangkaian kegiatan untuk mengatur peruntukan, penggunaan, dan
persediaan tanah secara berencana dan teratur sehingga diperoleh manfaat yang lestari dan
optimal, seimbang dan serasi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan negara.

2. Tata Guna Tanah adalah rangkaian kegiatan penataan, penyediaan, peruntukan, dan
penggunaan tanah secara berencana dalam rangka melaksanakan pembangunan nasional.

3. Tata Guna Tanah adalah usaha untuk menata letak proyek-proyek pembangunan, baik yang
diprakarsai pemerintah maupun yang tumbuh dari prakarsa dan swadaya masyarakat sesuai
dengan daftar skala prioritas, sehingga di satu pihak dapat tercapai tertib penggunaan tanah,
sedangkan di pihak lain tetap dihormati peraturan perundangan yang berlaku.

Menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan


tanah menyebutkan bahwa penatagunaan tanah adalah sama dengan pola pengelolaan tata
guna tanah yang meliputi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berwujud
konsolidasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan
pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil.
Pokok-pokok penatagunaan tanah yaitu, dalam rangka pemanfatan ruang dikembangkan
penatagunaan tanah yang disebut juga pola pengelolaan tata guna tanah. Penataan tanah
merupakan kegiatan di bidang pertanahan di kawasan lindung dan kawasan budidaya.

Penatagunaan tanah diselenggarakan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah


Kabupaten/Kota. Penatagunaan tanah diselenggarakan sesuai dengan jangka waktu yang
ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota. Kebijakan penatagunaan
tanah diselenggarakan terhadap bidang tanah yang sudah haknya baik yang sudah atau belum
terdaftar. Tanah Negara yaitu tanah yang langsung dikuasai oleh Negara.

Terhadap hal-hal diatas sebagaimana yang dimuat dalam Pasal 7 PP No. 16 Tahun 2004
penggunaan serta pemanfaatannya harus sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah. Secara
umum fungsi penggunaan tanah adalah mengembangkan, memperluas, dan meningkatkan
pemanfaatan tanah yang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), agar
dapat dipelihara dan dicegah dari kerusakan tanah.

Dalam Penjelasan Umumnya Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2004 tentang


Penatagunaan Tanah alinea kedua menyebutkan tanah merupakan unsur ruang yang strategis
dan pemanfaatannya terkait dengan penataan ruang wilayah. Penataan ruang wilayah
mengandung komitmen untuk menerapkan penataan secara konsekuen dan konsisten dalam
kerangka kebijakan pertanahan yang berlandaskan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Sejalan dengan ketentuan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang


Penataan Ruang dikemukakan secara tegas mengenai penatagunaan tanah dengan penataan
ruang, yaitu :

(1) Pemanfaatan ruang mengacu pada fungsi ruang yang ditetapkan dalam rencana tata
ruang dilaksanakan dengan mengembangkan penatagunaan tanah, penatagunaan air,
penatagunaan udara, dan penatagunaan sumber daya alam lain.

(2) Dalam rangka pengembangan pentagunaan tersebut diselenggarakan kegiatan


penyusunan dan penetapan neraca penatagunaan tanah, neraca penatagunaan sumber daya air,
neraca penatagunaan udara, dan neraca penatagunaan sumber daya alam lain.

(3) Penatagunaan tanah pada ruang yang direncanakan untuk pembangunan prasarana dan
sarana bagi kepentingan umum memberikan hak prioritas pertama bagi Pemerintah dan
pemerintah daerah untuk menerima pengalihan hak atas tanah dari pemegang hak atas tanah.

(4) Dalam pemanfaatan ruang pada ruang yang berfungsi lindung, diberikan prioritas
pertama bagi Pemerintah dan pemerintah daerah untuk menerima pengalihan hak atas tanah
jika yang bersangkutan akan melepaskan haknya.

Pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 disebutkan tentang
”penatagunaan tanah pada ruang yang direncanakan untuk pembangunan prasarana dan
sarana bagi kepentingan umum memberikan prioritas pertama bagi Pemerintah dan
pemerintah daerah untuk menerima pengalihan hak atas tanah dari pemegang hak atas tanah”.
Dalam Penjelasannya dikemukakan bahwa : ” hak prioritas pertama bagi Pemerintah dan
pemerintah daerah dimaksudkan agar dalam pelaksanaan pembangunan kepentingan umum
yang sesuai dengan rencana tata ruang dapat dilaksanakan dengan proses pengadaan tanah
yang mudah

Sumber :

Muchsin dan Iman Koeswahyono, Aspek Kebijaksanaan Hukum Penatagunaan Tanah


Dan Penataan Ruang, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 56.

Sudikno Mertokusumo, Nurhasan Ismail, 1984. Materi Pokok Tata Guna Tanah, Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 63

Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang

Yul Ernis, 2015, Penelitian Hukum Tentang Konsistensi Penggunaan dan Pemanfaatan
Tanah Sesuai dengan Undang-Undang no.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Jakarta,
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional

Anda mungkin juga menyukai