Anda di halaman 1dari 8

TUGAS I

MATA KULIAH HUKUM AGRARIA (HKUM4211)

OLEH

NAMA : EMANUEL JOGO

NIM : 041869459

PROGRAM STUDI : 311/ILMU HUKUM

UPBJJ : 79/KUPANG

TAMBOLAKA
KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
1. Jelaskan dengan melihat kondisi saat ini faktor-faktor yang menyebabkan
meningkatnya kebutuhan akan tanah?

Kebijaksanaan pertanahan pada dasarnya mengarahkan dan melanjutkan serta


mendukung program yang telah dilaksanakan sektor lain pada tahap-tahap pembangunan
sebelumnya. Di dalam meletakkan dasar kebijaksanaan pada setiap tahapan senantiasa
berbeda disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat pada suatu waktu tertentu dan masalah
yang mungkin akan dihadapi pada waktu yang akan datang.

Masalah paling mendasar yang dihadapi bidang pertanahan adalah suatu kenyataan
bahwa persediaan tanah yang selalu terbatas sedangkan kebutuhan manusia akan tanah
selalu meningkat.

Faktor yang menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan tanah adalah sebagai berikut :
1. Pertumbuhan Penduduk. Tidak dapat dipungkiri bahwa jumlah penduduk semakin
berkembang pesat. Jumlah penduduk yang berkembang ini akan menyebabkan semakin
banyaknya kebutuhan akan tanah untuk keperluan hidup seperti tempat tinggal dan juga
tempat bercocok tanam.
2. Adanya peningkatan kebutuhan penduduk dalam rangka peningkatan kualitas hidup.
Kualitas hidup memerlukan ruang yang semakin berkembang. Kualitas pangan juga
harus semakin berkembang seiring berjalannya perkembangan teknologi pertanian.
3. Kota semakin berkembang sehingga akan terjadi perembetan perkembangan kota atau
pergeseran dari sebuah kota itu. Jika ruang di dalam kota sudah semakin sesak maka
hal yang harus dilakukan adalah dengan melakukan pemekaran dari kota itu.
4. Persediaan tanah semakin sedikit untuk diberdayakan. Penguasaan akan lahan semakin
sulit untuk dilakukan. Apalagi jika tanah yang dicari adalah tanah yang memiliki posisi
strategis. Selain itu para pemilik tanah juga sulit untuk melepas tanah kecuali dengan
harga yang tinggi.
5. Pembangunan yang semakin berkembang menjadikan tanah menjadi satu hal yang
sangat penting. Pembangunan sebuah industri tidak lepas dari kebutuhan akan tanah di
sebuah wilayah.

2. Bagaimana kegiatan-kegiatan manajemen pertanahan secara operasional?Jelaskan!

Manajemen Pertanahan merupakan suatu usaha dan kegiatan suatu organisasi dan
manajemen yang berkaitan dengan penyelenggaraan kebijakan pemerintah di bidang
pertanahan dengan mengerahkan sumber daya untuk mencapai tujuan sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Jadi yang dimaksud dengan manajemen pertanahan adalah upaya pemerintah di


bidang pertanahan dalam menentukan dan mencapai sasaran dengan memanfaatkan
sumber daya baik manusia maupun material melalui koordinasi dengan menjalankan fungsi-
fungsi :
1. Planning (perencanaan).
2. Executing atau pelaksanaan rencana dalam mencapai tujuan melalui pengambilan
keputusan, pengendalian sumber daya atau pelaksanaan fungsi manajemen dan
perintah-perintah.
3. Organizing atau membentuk organisasi dan menata kelompok manusia serta hubungan
satu sama lain.
4. Persuading yaitu mendorong kelompok manusia tersebut untuk bekerjasama,
berkomunikasi, memberi perintah, memberi laporan, menanamkan pengertian,
penghargaan, gaji, dan insentif.
5. Leading yaitu kemampuan untuk memimpin.
6. Evaluating yaitu memberikan penilaian melalui fungsi pengawasan berupa teguran agar
tercipta suatu apresiasi baik bersifat persuasif maupun motivasi.

Secara umum kegiatan-kegiatan manajemen pertanahan yang dilaksanakan secara


operasional dalam praktik sehari-hari meliputi :
1. Merencanakan penyediaan dan penggunaan tanah
Untuk menyusun rencana penyediaan dan penggunaan tanah, Kantor Pertanahan
setempat menggunakan data pokok pertanahan sebagai sumber informasi utama. Data
pokok pertanahan suatu wilayah merupakan upaya penyediaan data informasi terutama
bagi kegiatan pembangunan, dari segi geografi, dan kaitan penggunaan tanah yang
direkam dalam suatu waktu tertentu. Agar informasi tersebut tetap aktual maka harus
dilakukan pemutakhiran data secara terus menerus. Demikian pula jenis-jenis data dari
waktu ke waktu terus dikembangkan seiring dengan dinamika dan kemajuan kegiatan
dan kebutuhan masyarakat terhadap lokasi-lokasi tertentu.
Hasil kegiatan pengumpulan dan pengolahan data pokok adalah peta yang menguraikan
data dari berbagai segi (jumlahnya + 39 peta) antara lain peta himpunan tanah,
kependudukan, perumahan, status tanah, kegiatan pendidikan, kesehatan, sumber air
bersih, bahkan data kemacetan lalu lintas. Lingkup wilayah yang di data mulai dari
wilayah kota, bagian kota, kecamatan, sampai dengan kelurahan.

2. Pertimbangan aspek tata guna tanah


Aspek tata guna tanah merupakan hasil kajian dari segi tata guna tanah terhadap suatu
lokasi tertentu dalam kaitan dengan rencana kegiatan suatu pembangunan atau dalam
rangka pemberian hak atas tanah.
Tata guna tanah adalah rangkaian kegiatan penataan peruntukan, penggunaan, dan
persediaan tanah secara berencana dan teratur sehingga diperoleh manfaat yang lestari,
optimal, seimbang, dan serasi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan negara.
Dengan demikian, kegiatan tata guna tanah atau penatagunaan tanah merupakan
pengaturan penggunaan tanah, yang meliputi penggunaan permukaan bumi di daratan
dan penggunaan permukaan bumi di lautan.

Untuk sampai pada suatu perencanaan yang matang dalam pengembangan tata guna
tanah, perlu dilakukan sejumlah langkah-langkah yang meliputi :
a. Keterpaduan antar instansi sehingga tidak lagi berpikir secara sektoral;
b. Berbagai kendala yang harus diatasi seperti tidak meratanya penduduk di seluruh
Indonesia, terutama di pulau-pulau tertentu sehingga tidak mungkin penerapan yang
seragam dari tata guna tanah tersebut. Sebaliknya bertambah berkembangnya kota-
kota karena urbanisasi, baik tidak adanya lapangan kerja di Indonesia, fasilitas sosial
yang lebih baik di kota-kota, perencanaan pemukiman kota yang belum mengacu
kepada pembatasan pembangunan perumahan. keamanan dan ketenangan yang
sudah terganggu di pedesaan, fasilitas pendidikan yang tidak merata di seluruh
Indonesia;
c. Berbagai produk hukum dalam meninjau sesuatu objek berlainan solusinya;
d. Belum adanya daftar yang mantap atas seluruh aset yang ada seperti hak-hak atas
tanah yang ada, jenis-jenis hak, kemampuan dari tanah-tanah tersebut,
penggunaannya yang belum tertib, masih tidak teraturnya penggunaan tanah,
adanya industri di daerah pemukiman dan sebagainya;
e. Keterkaitan antara perpajakan dengan pemukiman yang belum terbina dengan baik.
Di satu pihak, perpajakan berusaha mendapatkan pajak yang sebanyak-banyaknya,
di sisi lain, rakyat golongan menengah dan kecil yang tidak dapat membayar pajak
tersebut sebagai akibat inflasi dan penurunan nilai uang yang mereka terima;
f. Perkembangan industri yang mempergunakan tanah-tanah pertanian yang subur dan
berdampak mengganggu keswasembadaan pangan nasional, termasuk dalam hal ini
industri pariwisata dan pemukiman mewah yang mempergunakan tanah-tanah yang
seyogianya sebagai wadah penampungan air atau tempat resapan air.

Hasil kajian dari segi tata guna tanah itu berupa fatwa tata guna tanah. Setiap
pertimbangan aspek tata guna tanah harus merupakan satu kesatuan pendapat berupa
Fatwa Panitia Pemeriksaan Tanah A dan B dalam bentuk Risalah Pemeriksaan Tanah.

Salah satu fungsi pemberian pertimbangan aspek tata guna tanah adalah dalam rangka
memberikan pengarahan menuju tata guna tanah secara rasional, memberikan pedoman
pemecahan masalah penggunaan tanah dan memberikan informasi mengenai
kecenderungan dan arah perkembangan pola penggunaan tanah. Pertimbangan aspek
tata guna tanah juga digunakan dalam penilaian atas permohonan hak atas tanah
sepanjang terdapat perubahan penggunaan tanah.

3. Pengadaan dan penataan penguasaan tanah


Informasi mengenai berapa luas tanah negara dan tanah beridentitas hak atas tanah
serta penguasaannya merupakan data yang sangat diperlukan untuk digunakan sebagai
bahan perencanaan suatu kegiatan pembangun-an dan rencana penguasaan tanahnya.
Perencanaan penggunaan tanah mempunyai arti penting karena merupakan satu
kesatuan dengan penentuan hak atas tanah. Hak atas tanah pada hakikatnya adalah
suatu kewenangan yang diberikan oleh pemerintah kepada seseorang atau badan
hukum untuk menggunakan tanah tersebut dalam batas-batas menurut ketentuan UU
(Pasal 4 UUPA). Dengan demikian, merencanakan penggunaan dan penguasaan tanah
sebenarnya juga merencanakan segi legalitasnya yaitu hak-hak atas tanah apa yang
harus diberikan sesuai dengan penggunaannya.

4. Koordinasi penanganan masalah pertanahan


Koordinasi dalam pemerintahan pada hakikatnya merupakan upaya memadukan
(mengintegrasikan), menyerasikan dan menyelaraskan berbagai kepentingan dan
kegiatan yang saling terkait beserta segenap gerak, langkah dan waktunya dalam rangka
pencapaian tujuan dan sasaran bersama.
Dalam menangani masalah pertanahan, koordinasi terutama diperlukan untuk
mengidentifikasikan jenis permasalahan yang timbul. Ada 3 kategori penyebab timbulnya
permasalahan dalam bidang pertanahan, yaitu :
a. Masalah pertanahan yang bersifat administratif, yaitu masalah-masalah yang
menyangkut tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban oleh pemegang hak sesuai
persyaratan yang ditetapkan dan sesuai ketentuan yang berlaku, misalnya pemegang
hak berubah kewarganegaraan, tumpang tindih pemegang hak (sertifikat ganda)
karena kekeliruan administrasi.
b. Masalah yang bersifat yuridis perdata, yaitu masalah-masalah yang menyangkut
gugatan terhadap suatu dasar hak/peralihan hak yang digunakan sebagai dasar
pemberian hak atas tanah (originair) atau pencatatan pemindahan hak/balik nama
(derivatif). Misalnya tanah dijual dua kali.
c. Masalah yang bersifat yuridis administratif, yaitu masalah yang menyangkut
perselisihan mengenai suatu hak utama (prioritas) untuk memperoleh hak atas tanah
seperti sengketa yang menyangkut batas tanah karena penunjukan batas yang tidak
benar.

Setelah penyebab timbulnya masalah dapat diidentifikasi, koordinasi penanganan


masalah pertanahan dapat dilakukan di antara berbagai instansi yang berwenang,
misalnya antara aparat Kantor Pertanahan Kota dengan Kanwil Badan Pertanahan
Propinsi.

5. Peningkatan pelayanan pertanahan


Pelayanan merupakan salah satu fungsi pokok yang harus dilaksanakan oleh setiap
instansi pemerintah termasuk juga instansi Badan Pertanahan Nasional. Kondisi ideal
bagi suatu pelayanan telah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Penertiban dan
Pendayagunaan Aparatur Negara No. 06/1995 yang menguraikan bahwa pelayanan yang
baik harus mengandung hal-hal sebagai berikut :
a. Kesederhanaan dalam prosedur dan persyaratan yang harus dipenuhi masyarakat
pengguna jasa pelayanan.
b. Kejelasan dan kepastian mengenai hak-hak dan kewajiban penerima pelayanan serta
kejelasan dalam hal pembagian tugas bagi petugas pelayanan.
c. Keamanan, dalam arti hasil pelayanan terjamin kebenarannya, sah, pasti, dan
menjamin perlindungan hukum sebagai alat bukti yang sah.
d. Keterbukaan mengenai mekanisme dan tata cara peraturan pelayanan yang
diinformasikan secara terbuka, luas dan mudah dimengerti oleh masyarakat.
e. Efisien, dalam arti menetapkan pola pelayanan yang tepat, mekanisme dan prosedur
pelayanan sesuai struktur organisasi, serta menggunakan sarana secara optimal.
f. Ekonomis dalam hal biaya pelayanan.
g. Keadilan yang merata bagi seluruh masyarakat tanpa membedakan status sosialnya.
h. Ketepatan waktu dalam setiap tahap proses pelayanan.
i. Kuantitatif pelayanan, yang meliputi jumlah permintaan pelayanan, waktu pemberian
pelayanan, penggunaan perangkat modern, dan frekuensi keluhan/pujian.

Bentuk dan sistem pelayanan harus ditetapkan oleh masing-masing Kantor Pertanahan
disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik wilayahnya. Selain itu, untuk mengatasi
kekurangan sumber daya manusia yang dapat menghambat pemberian pelayanan
secara cepat, Kantor Pertanahan dapat mendelegasikan wewenang suatu penanganan
pelayanan kepada unit kerja yang belum optimal atau dengan menyerahkan kepada
sektor swasta.

6. Pengawasan pelaksanaan penggunaan tanah


Dalam menentukan apakah permohonan suatu izin lokasi dapat direkomendasikan
ditentukan oleh informasi dan dokumen yang diperlihatkan oleh pemohon. Kantor
Pertanahan hanya mencocokkan data penggunaan tanah yang ada dengan
perbandingan/skala besar yang merupakan hasil survei secara umum dan berkala.
Dengan demikian tingkat akurasi data sering tidak memadai dalam menjawab informasi
yang dibutuhkan. Penelitian terhadap permohonan izin lokasi hanya mengacu pada
proposal/rencana pembangunan yang disesuaikan dengan rencana pembangunan
kota/daerah.
Selanjutnya setelah izin lokasi diterima oleh pemohon, pelaksanaan pengadaan tanah
didasarkan pada ketentuan dalam Keppres No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan
Tanah, yaitu bahwa pelaksanaan pengadaan tanah oleh pemerintah dengan luas tidak
lebih dari 1 ha dan pengadaan tanah oleh swasta dapat dilakukan langsung oleh
pimpinan proyek atau investor yang bersangkutan. Dengan demikian pengawasan dan
pengendalian suatu kegiatan pengadaan tanah hanya terbatas pada laporan kemajuan
dari pimpinan proyek atau investor secara berkala kepada Kepala Daerah dan/atau
Kantor Pertanahan setempat.

Dalam melaksanakan fungsi perencanaan penggunaan tanah, Kantor Pertanahan


berperan aktif untuk memutakhirkan data pokok yang bisa menjadi sumber informasi
yang lengkap dan aktual sebagai bahan pengendalian penggunaan tanah. Selama ini,
tugas yang diberikan kepada Kantor Pertanahan hanya bersifat pengawasan terhadap
pelaksanaan pemberian izin lokasi kepada pimpinan proyek atau investor sesuai dengan
Surat Edaran Kepala BPN No. 580.2-5568-DIII tanggal 6 Desember 1990 dan No. 580-2-
3071 tanggal 23 September 1991 tentang Mekanisme dan Pelaksanaan Pengawasan dan
Pengendalian Pengadaan Tanah.

Sebagaimana dikutip sebelumnya, definisi manajemen pada intinya terkait dengan


administrasi atau pemanfaatan sumber daya manusia. Demikian pula dalam manajemen
pertanahan, rangkaian kegiatan perencanaan, pengelolaan, pengorganisasian, dan
pengawasan di bidang pertanahan tidak akan berlangsung secara efektif dan efisien bila
tidak ada sumber daya manusia yang menggerakkannya. Prof. Dr. H. Buchori Zainun,
MPA menyatakan bahwa sumber daya manusia adalah daya yang bersumber dari
manusia. Daya di sini meliputi daya fisik termasuk otak, daya otak (nalar),
watak/kepribadian, dan akhlak sehingga memenuhi sasaran yaitu kualitas, seperti
cerdas, terampil, mandiri, bertanggung jawab, kreatif, dan berorientasi ke masa depan.
Aparat dengan karakteristik seperti itulah yang menjadi sumber daya manusia yang
diharapkan dapat berperan dominan dalam melaksanakan rangkaian kegiatan
manajemen pertanahan.

Faktor manusia dalam manajemen merupakan salah satu sumber daya yang amat
strategis peranannya, terutama dikaitkan dengan fungsi utama kegiatan instansi
pemerintah yaitu memberikan pelayanan publik. Oleh karena itu, tidak dapat diabaikan
bahwa manajemen pertanahan pun harus meliputi perencanaan sumber daya manusia
yang akan melaksanakan kegiatan-kegiatan pelayanan publik di bidang pertanahan.

3. Berdasar ketentuan apa lembaga pendaftaran tanah yang ada di Indonesia didirikan?
Jelaskan!

Administrasi Pertanahan menurut Rusmadi Murad adalah: Suatu usaha dan


manajemen yang berkaitan dengan penyelenggaraan kebijaksanaan pemerintah di bidang
pertanahan dengan mengerahkan sumber daya untuk mencapai tujuan sesuai dengan
ketentuan Perundang-undangan yang berlaku. Dari kedua pengertian tersebut dapat
disimpulkan bahwa administrasi pertanahan merupakan bagian dari administrasi negara,
karena administrasi pertanahan merupakan upaya pemerintah dalam menyelenggarakan
kebijaksanaan di bidang pertanahan yang pelaksanaannya dilakukan BPN.

Pokok-pokok pikiran yang tercantum di dalam Pasal 33 menekankan bahwa bumi, air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa
kepada seluruh rakyat Indonesia, merupakan pokok-pokok kemakmuran rakyat yang
dikuasai oleh Negara dan ditujukan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
Indonesia. Bertitik tolak dari pasal tersebut di atas, maka jelaslah bahwa negara dianggap
bukan sebagai pemilik tanah dalam suatu wilayah negara, tetapi kewenangan negara untuk
menguasai tanah tersebut semata-mata kepentingan masyarakat banyak.

Upaya pemerintah untuk memberikan suatu bentuk jaminan akan adanya kepastian
hukum atas kepemilikan tanah bagi seseorang adalah dengan dilakukannya suatu
pendaftaran hak atas tanah yang tertuang dalam Pasal 19 Undang-undang Pokok Agraria.
Oleh karena itu, untuk pelaksanaan pendaftaran tanah sebagaimana maksud Pasal 19 ayat
(1) Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), maka Pemerintah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961).

Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tersebut membuka sejarah baru dalam
hukum agraria. Sebab, untuk pertama kali Indonesia mempunyai suatu lembaga yang
secara khusus mengatur tentang pelaksanaan pendaftaran tanah (Parlindungan, 1990:1).
Namun lebih kurang 36 tahun setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun
1961 ternyata upaya pemerintah dalam memberikan jaminan kepastian hukum atas tanah
belum optimal, sehingga pemerintah merasa perlu untuk menyempurnakan dan
menggantikan dengan suatu peraturan baru sehingga eksistensi Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1961 sudah direvisi atau dilakukan pengkajian ulang dari persoalan yang
sangat mendasar.

Dalam peraturan pemerintah tersebut ditentukan bahwa pendaftaran tanah


diselenggarakan untuk memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan dan
bahwa sistem publikasinya adalah negatif tetapi mengandung unsur positif. Pendaftaran
tanah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 ini menggunakan 2 sistem yaitu:
1. Sistem sistematik yang meliputi wilayah satu desa atau kelurahan yang dilakukan atas
prakarsa pemerintah.
2. Sistem sporadic yaitu pendaftaran mengenai bidang-bidang tanah atas permintaan
pemegang hak yang bersangkutan baik secara individual maupun massal.

Daya pembuktian sertifikat tidak bisa dilepaskan dari kewenangan Pejabat Tata
usaha Negara, yakni Kepala Badan Pertanahan Nasional/Kantor Pertanahan yang telah
menempatkan tanda tanganya pada sertifikat yang tentunya dapat dipercaya oleh orang
yang namanya tercantum dalam sertifikat tersebut.

Di dalam daya pembuktian terdapat daya pembuktian formal dan daya pembuktian
materil. Daya pembuktian materil, isi keterangan berlaku sebagai kebenaran buat siapapun
dan orang yang namanya tercantum dalam sertifikat untuk kemanfaatannya, untuk
keperluan siapa keterangan itu diberikan. Sedangkan daya pembuktian formil Kepala Kepala
Badan Pertanahan Nasional/Kantor Pertanahan menerangkan apa yang berada di atas tanda
tangannya dan orang yang tercantum dalam sertifikat benar-benar pemiliknya.

Kekuatan pembuktian sertifikat tidak lepas dari alas hak untuk penerbitan sertifikat
tersebut. Dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,
salah satu alas hak yang diperkenankan selain akta autentik adalah surat di bawah tangan.
Diperkenankannya surat di bawah tangan sebagai alas hak dalam penerbitan sertifikat saat
ini banyak dilakukan untuk pendaftaran tanah pertama kali (bagi tanah-tanah yang belum
terdaftar).

Dalam kenyataan yang ada, tidak jarang alas hak berupa surat di bawah tangan ini
menimbulkan masalah di kemudian hari. Salah satunya adalah munculnya dua pihak yang
mengaku sebagai pemilik atas tanah yang telah didaftarkan tersebut. Bahkan tidak jarang
terjadi dalam proyek yang dilakukan oleh kantor pertanahan, 1 (satu) bidang tanah dikuasai
oleh dua orang yang berbeda dengan alas hak yang berbeda tetapi ditandatangani oleh
Kepala Kelurahan/Kepala Desa yang sama sehingga proses penerbitan menjadi terhambat.
Dari uraian di atas terlihat bahwa surat di bawah tangan sebagai alas hak dalam penerbitan
sertifikat khususnya sertifikat hak milik tidak lepas dari berbagai masalah .

Pendaftaran tanah pada hakikatnya bertujuan untuk memberikan kepastian hak


kepada pemilik tanah. Terbitnya sertifikat merupakan pemberi rasa aman kepada pemilik
tanah akan haknya pada tanah tersebut. Dalam rangka memberikan kepastian hukum
kepada para pemegang hak atas tanah maka sertifikat tanah berfungsi sebagai pembuktian
yang kuat. Sertifikat tanah merupakan tanda bukti yang berlaku sebagai alat pembuktian
yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya sepanjang data
tersebut sesuai dengan data yang terdapat di dalam surat ukur dan buku tanah yang
bersangkutan.

Sumber :
1. ADMINISTRASI PERTANAHAN Pelaksanaan Hukum Pertanahan Dalam Praktek - Rusmadi Murad, SH, MH
2. R. Soeprapto, Undang-undang Pokok Agraria dalam Praktek, Jakarta, UI Press. 1986;
3. A.P. Parlindungan, Komentar atas UU Penataan Ruang (UU No. 24 Tahun 1992), Bandung Mandar Maju, 1993

Anda mungkin juga menyukai