Anda di halaman 1dari 2

Diskusi 4

ADPU4335 – Administrasi Pertanahan (03)

Mulyadi
017232272
Soal
Menurut saudara  bagaimanakah pelaksanaan Reformasi Agraria di Indonesia  ? dan
...Mengapa masih banyak sengketa masalah tanah terutama perkebunan dengan
masyarakat...!!

Jawaban

Pelaksanaan reformasi Agraria di Indonesia merupakan usaha untuk memperbaiki hubungan


manusia dengan tanah serta air dan udara yang diatur dalam UUPA Sejak di mulai
diselenggarakan landreform pada permulaan tahun 1961. Landreform dalam arti sempit
berupa penataan ulang struktur penguasaan dan pemilikan tanah. Landreform merupakan
bagian dari reformasi agrarian. Inti dari Landreform adalah redistribusi tanah sebagai upaya
memperbaiki struktur penguasaan dan pemilikan tanah di tengah masyarakat.
Pelaksanaan Landreform secara teknis diatur dalam Undang-Undang No. 56 (Prp) tahun
1960. Namun peraturan tersebut baru mengatur tentang tanah pertanian saja. Peraturan
pemerintah lainnya sampai saat ini belum ada.
Penetapan luas tanah maksimum diatur dalam pasal 17 UUPA. Luas maksimum yang dipat
dimiliki tidak terbatas. Sedangkan untuk tanah pertanian, untuk menghitung luas maksimum,
luas sawah dijumlahkan dengan luas tanah kering dengan menilai tanahh kering sama
dengan sawah ditambah 30% di daerah yang tidak padat dan 20% di daerah yang padat,
dengan ketentuan bahwa tanah pertanian Yang dikuasai seluruhnya tidak boleh lebih dari 20
hektar. Orang atau anggota keluarga yang memiliki tanah melebihi jumlah maksimum
dilarang untuk memindahkan hak miliknyaatas seluruh atau sebagian, kecuali dengan izin
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/kota.
Kepemilikan tanah yang letaknya di luar daerah tempat tinggal yang empunya dilarang
berdasarkan PP No. 224 Tahun 1960 dan PP No. 41 Tahun 1964. Penebusan tanah-tanah
pertanian yang digadaikan.
Dalam pelaksanaan ketentuan Pasal 17 UUPA, keluar peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu) Nomor 56 Tahun 1960 oleh pemerintaha tanggal 29 Desember
1960 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 1961. Perpu Nomor 56 Tahun 1960 Undang-
Undang Nomor 56 Prp, Tahun 1960 terkenal sebagai Undang-Undang landreform. Ada tiga
hal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960.
Landreform Indonesia bertujuan memperluas pemilikan tanah pada petani kecil, penggarap
dan buruh tani. Indonesia pernah melaksanakan landreform dalam waktu 1961 sampai 1965
tetapi kurang berhasil. Saat program landreform tersebut diluncurkan, kondisi politik di
Indonesia sedang tidak stabil. Pada masa itu, dikenal pendekatan “politik sebagai panglima”,
yaitu setiap kebijakan pemerintah dimaknai dalam konteks politik. Selama era pemerintah
Orde Baru, untuk menghindari kerawanan social politik yang besar, landreform
diimplementasikan dengan bentuk yang sangat berbeda. Peningkatan akses petani kepada
tanah dilakukan melalui kebijakan berupa penyeimbangan sebaran penduduk dengan luas
tanah dengan cara memindahkan penduduk ke daerah-daerah yang tanahnya luas melalui
transmigrasi. Program ini kemudian dibarengi dengan pengembangan PIR (perkebunan inti
rakyat). Luas tanah yang diberikan kepada petani plasma mengikuti ketentuan batas
minimum penguasaan, yaitu 2 hektare lahan garapan per keluarga. Semenjak era reformasi,
telah terjadi perkembangan yang menggembirakan, yaitu telah cukup banyak pihak yang
membicarakkan dan peduli dengan permasalahan lendreform meskipun terbatas pada
wacana. Namun demikian, sampai sekarang belum berhasil disepakati bagaimana
lendreform dan agrarian reform (pembaruan agrarian) tersebut sebaiknya untuk kondisi
Indonesia.
sengketa masalah tanah terutama perkebunan dengan masyarakat, konsorsium Pembaruan
Agraria (KPA) memetakan sedikitnya masing-masing empat faktor penyebab konflik agraria
di sektor perkebunan dan kehutanan. Di antaranya adalah pemberian izin lokasi oleh
pemerintah dan penetapan kawasan hutan secara sepihak oleh Kementerian Kehutanan.
Dalam laporan akhir tahun, KPA menyebutkan penyebab konflik lahan di sektor perkebunan
adalah pengelolaan lahan BUMN  di wilayah perkebunan warisan kolonial yang banyak
terdapat di Jawa, Sumatra Utara, Sumatra Selatan dan Lampung. Padahal, lahan-lahan
tersebut sebelumnya dirampas melalui perampasan dan tak pernah dikembalikan kepada
masyarakat.
Selain itu, konflik juga terjadi karena pemberian izin lokasi dan izin prinsip yang berada di
atas tanah-tanah masyarakat. Dalam proses ini, ganti kerugian yang diberikan penuh
dengan manipulasi baik terkait nilai tanah, penerima ganti rugi dan ukuran tanah.
Masalah lainnya adalah kemitraan dengan pola inti plasma, namun seringkali tanah-tanah
milik masyarakat dimasukkan dalam sertifikat Hak Guna Usaha perusahaan. Faktor terakhir,
adalah pemotongan tidak wajar oleh perusahaan kepada petani plasma dan koperasi yang
dibuat perusahaan atas nama warga.
Sumber :
1. Buku Materi Pokok ADPU4335 Administrasi Pertanahan (Edisi 3)
2. Materi Inisiasi 4
3. https://kabar24.bisnis.com/read/20130101/79/112360/agraria-inilah-4-penyebab-konflik-
lahan-di-perkebunan

Anda mungkin juga menyukai