Anda di halaman 1dari 13

Pengaruh Reformasi Agraria Terhadap Pemberdayaan Tanah Terlantar di

Indonesia

Bagas Pamungkas
Bagas Pamungkas, Universitas Muhammadiyah Surakarta
Email: Bagaspamungkas980@gmail.com

ABSTRAK
Semua manusia membutuhkan tanah bagi kehidupannya. Hal itu
karena tanah mempunyai pengaruh yang sangat penting dalam hidup
seperti itu. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 Pasal 33 ayat 3 termasuk tanah, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Karena itu
Orang-orang harus menyerahkan tanah mereka agar tanah itu
ditinggalkan. Terdapat 4 metode untuk menguasai tanah , termasuk
inventarisasi hak dasar atau tanah mengontrol lahan yang dilaporkan
sebagai lahan bera, mengidentifikasi dan mencari dilaporkan sebagai
terlantar, memperingatkan pemilik hak dan mengidentifikasi tanah
terlantar Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia No. 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penguasaan
Tanah Terbengkalai tersebut dapat diperoleh lagi. Maka dari itu, dapat
dikatakan bahwa penguasaan bumi lalai dalam menghargai yang
berhak terabaikan tanah adalah perbuatan yang tidak adil, yang dapat
menimbulkan kerugian kemampuan untuk mewujudkan potensi
ekonomi wilayahnya

Kata kunci : Tanah Terlantar, Reformasi Agraria, Kesejahteraan

ABSTRACT
Everyone needs land for their life because land has a very important
function for such a strategy. Based on the 1945 Constitution of the
Republic of Indonesia Article 33 paragraph 3, including land, water
and natural resources contained therein, controlled by the state and
used for the greatest prosperity of the people. Therefore the People
had to give up their land so that it would be abandoned. There are four
ways to control land , including inventory of basic rights or land
control over land that is reported as fallow land, identifying and
seeking reported as abandoned, alerting right holders and identifying
abandoned land. 4 of 2010 concerning Procedures for Tenure of
Abandoned Land, these lands can be reclaimed. Therefore, we can say
that land tenure is negligent in respecting those who have the right to
ignore land, which is an unfair act, which can result in a loss of ability
to realize the economic potential of its territory.

Keywords: Abandoned Land, Agrarian Reform, Welfare


PENDAHULUAN

Masalah tanah terlantar sangat rumit dari segi luas dan skala urgensi penggunaannya
terdapat sejumlah kendala seperti ketimpangan Kepemilikan lahan di Indonesia sekarang.
Kepemilikan lahan yang tidak setara menjadi contoh tantangan strategis sektor agraris,
ketimpangan kepemilikan, penguasaan serta penggunaan tanah dicirikan oleh segelintir orang
yang memiliki mayoritas tanah juga sebaliknya, kebanyakan orang sekedar memiliki lahan
yang luasnya cenderung sempit. Di lain kondisi, keadaan seseorang ketika memiliki aset yang
cenderung besar bukan berarti dia mampu mengelolanya, karena seluruh wewenang atas
tanah yang dimiliki dimanajemen dengan bagus oleh pemiliknya dan telah mengakibatkan
terbengkalainya banyak lahan. Ada juga beberapa konflik yang masih ada di daerah-daerah
yang memiliki ditetapkan sebagai lahan kosong. Konsentrasi tanah adalah penyebab utama
kelahiran ketimpangan pertanian. Berdasarkan data 0,2% mengendalikan 56% kekayaan
nasional, konsentrasi kekayaan 62 untuk dengan 87% lahan yang dijadikan tambak, tambang,
properti dan kebun (Winoto, 2010). Data juga menjelaskan bahwa 1,00% penduduk
menguasai 49,30% sumber daya ekonomi Indonesia, rasio Gini keseluruhan untuk Maret
2016 adalah 0,39%, perusahaan berkuasa di hampir 60% wilayah hutan kelapa sawit di
Indonesia. Tingkat kepemilikan tanah Rasio Gini mencapai 0,59% (Budi, 2017) .
Ketimpangan yang serupa juga terjadi di sektor kehutanan. Diperkirakan 17,38 juta
hektar telah dialokasikan untuk 248 koorporasi perusahaan berupa izin mendirikan usaha
berupa izin pengusahaan hasil hutan Kayu (IUPHHK) dan 8,8 juta hektar hutan tanaman
industri (HTI). Sekitar 15 juta hektar untuk Hak Guna Usaha (HGU) tanaman (Arsyad,2018).
Ketimpangan pertanian tersebut digambarkan oleh 35 persen wilayah daratan di negeri ini
dimiliki oleh 1.194 franchisee pertambangan, 341 Kontrak kerja pertambangan dan 257
kontrak pertambangan batubara. Yang menjadi sorotan terdapat kenaikan banyaknya petani
kecil, dari total 28 juta rumah Tangga Petani (KK) di Indonesia, ada 6,1 juta RTP di Jawa,
sama sekali tidak menguasai tanah sedikitipun dan 5 juta rumah tangga yang tidak
mempunyai tanah di luar Jawa. Sedangkan yang mempunyai kekuasaan atas lahan tanah,
kisaran asetnya hanya 0,36 ha.
Ketimpangan dalam penggunaan lahan seringkali dimulai dengan perizinan/hak
penggunaan pejabat publik yang dikecualikan dari sekelompok masyrakat. Konflik pertanian
yang disebutkan dimulai dengan mengeluarkan kebijakan nasional, meliputi Menteri
Kementerian Kehutanan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kepala BPN
(Badan Pertanahan Nasional), Gubernur dan Bupati, memberikan lisensi atau izin kepada
organisasi komersial atau lembaga pemerintah daerah tertentu untuk menguasai sebidang
tanah atau di atas sebidang tanah dengan hak atas lahan atau hak akses masyarakat setempat
dari beberapa sumber daya alam, yang sebagian besar ditemukan di daerah pedesaan .
Sedangkan, masalah kemiskinan juga bersumber dari konsentrasi atau mengakumulasi
kepemilikan tanah dan penggunaan tanah dan sumber daya alamnya yang dibiarkan
berkembang dengan sengaja.
Untuk memecahkan masalah konsentrasi aset dan memecahkan masalah poin utama apa
yang telah dijabarkan, misalnya dengan menertibkan tanah yang dihilangkan, demi membuat
perubahan besar besaran struktur yang lunak, khususnya dari segi kepemilikan dan
penguasaan kekayaan alam berupa tanah sehingga dapat digunakan. Jadi harus digencarkan
kembali penataan demi menjadikan tanah sumber kemakmuran manusia, untuk menciptakan
hidup yang lebih adil, untuk memastikan keberlangsungan sistem sosial serta nasional, dan
juga penguatan harmoni sosial. Di sisi lain, pengoptimalan pengoperasian dan pemanfaatan
lahan dibutuhkan demi meningkatkan taraf lingkungan mata pencaharian, pengentasan
kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja, dan menumbuhkan ketahanan pangan dan energi.
Maka dari itu, tindakan yang cenderung apatis terhadap permasalahan tanah tidak boleh
terjadi dan dikendalikan untuk mengurangi atau menghilangkan pengaruh negatif sebagai
syarat penting untuk meningkatkan pembangunan nasional.
METODE PENELITIAN

Studi ini termasuk penelitian analitik, dengan metode observasi. Sebuah studi analitik di
mana kami menemukan relasi antara variabel dan menganalisis hasil olahan data yang
terkumpul serta besarnya pengaruh antar variabel yang ada.
HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Perkembangan Upaya Reformasi Agraria


Hukum dan peraturan tumpang tindih pada masalah pandangan agraria dan
bidang antar instansi/kementerian salah menjadi kendala dalam pelaksanaan reformasi
pertanian. Umumnya Empat faktor penting yang mendasari pelaksanaan reformasi
pertanian, yaitu: (1) pejabat yang paham betul serta bersatu padu, (2) forum tani serta
komunitas memiliki power, (3) Adanya data yang memenuhi syarat, dan (4) Terdapat
pembiayaan yang mencukupi. Ini sependapatan dengan keberhasilan land reform itu
perlu Prasyarat yang harus dipenuhi adalah: a) Kemauan politik kelas aturan; (b)
petinggi negara berbeda dengan elit bisnis; c) Peran aktif seluruh kelompok sosial,
organisasi kerakyatan/tani dukungan reformasi; d) Data dasar yang komprehensif dan
mendalam tentang isu-isu pertanian. (Gunawan, 2000)
Selain empat prasyarat, pengadilan tanah juga diperlukan Badan kekuasaan dan
reformasi yang khusus dan terpusat, dan mandiri hanya bisa tunduk pada presiden.
Hukum dan peraturan tumpang tindih pada masalah Studi pertanian telah dipelajari
oleh (Maria Sumardjono et al.,2009) mencatat setidaknya 12 Hukum sektoral di sektor
pertanian tumpang tindih dan tidak konsisten efek normatif dan eksperimental. studi
lain-lain hukum dan peraturan industri yang dipasangkan dengan UUPA menunjukkan
ciri yang tidak sama. UUPA berorientasi kerakyatan, bertentangan dengan undang-
undang industri berorientasi pada modal karena untuk dapat memanfaatkan hasil alam
membutuhkan biaya yang tidak sedikit. UUPA diperlukan perawatan, agar tetap tidak
menurunya daya tahannya, sementara Hukum sektoral mengedepankan pada
penggunaan sumber daya alam dalam skala besar dengan tidak memperhatikan efek
yang dirasakan selama ini. Hak masyarakat hukum adat atas tanah nenek moyangnya
diakui oleh UUPA, namun ditolak hukum industri.
Pada dasarnya, jelas LogA adalah aturan yang paling mendasar dalam
mempromosikan persebaran dan distribusi struktur kepemilikan hak atas tanah untuk
kepentingan semua. Kewajiban pemerintah terhadap pemilikan tanah dan langsung
digunakan sampai seluruh tanah digunakan secara maksimal demi kesejahteraan
masyarakat. UUPA menpertegas larangan kepemilikan tanah melebihi kewajiban
terhadap setiap orang atau lembaga yang berhak menggunakan tanah pertanian untuk
bekerja di sana agar tidak terjadi pemerasan dan menetapkan luas tanah maksimum
atau minimum yang dapat dimiliki oleh yang dikuasai orang atau badan hukum
Pada masa awal, sistem pertanian dalam bentuk reforma agraria memiliki
konsep “tanah untuk petani kecil” hal tersebut disebabkan karena mereka memiliki
hubungan yang dekat dengan tanah tempat mereka bekerja”. Implementasi kebijakan
tersebut dengan diterbitkannya peraturan tentang pengolahan tanah kabupaten ,
perjanjian pembagian produksi, UUPA dan identifikasi tanah pertanian , Menurut PP.
224 pada tahun 1961, program reformasi tanah memasukkan sejumlah poin peraturan
utama sebagai berikut: a) Larangan kepemilikan tanah tanpa kehadiran; b)
Pemekaran tanah di luar batas maksimum, tanah dengan ketentuan tidak ada, tanah
bekas pemerintahan sendiri, dan tanah negara lainnya; c) Penataan kembali
kesepakatan pembagian produksi lahan pertanian; dan menentukan batas minimum
Kepemilikan Tanah Pertanian, dengan larangan melakukan kegiatan yang
menyebabkan pembagian kepemilikan lahan menjadi lebih sempit.
Program reforma agraria berupa pembagian tanah di bawah penguasaan
langsung negara dilakukan dengan strategi membagikan lahan tanah tanpa perantara
kepada petani atau melalui program program seperti migrasi, PIR, PIR-Trans, dll.
dengan jumlah penerima manfaat 1.510.762 KK, rumah tangga petani, rata-rata setiap
keluarga berhak atas 0,77 ha tanah melebihi batas maksimum, kosong, tanah tua
swapraja; tanah telah dikukuhkan sebagai reformasi tanah; tanah yang diperbaiki
didistribusikan kembali, tetapi penerima manfaat gagal memenuhi kewajiban mereka;
tanah yang dikuasai langsung oleh negara; tanah/properti pribadi.
Land reform mengedepankan 9 keutamaan, menurut standar prioritas petani
yang paling mendesak kebutuhannya dan yang harus diprioritaskan, yaitu: i) Petani
yang menggarap lahan terkait ; ii) Petani buruh tetap bersama pemilik sebelumnya,
yang mengerjakan lahan terkait; iii). Pekerja tetap pada mantan pemilik tanah terkait;
iv). Mereka yang telah bercocok tanam kurang dari tiga tahun telah menggarap tanah
tersebut; v) Pekerja yang menggarap lahan pemilik tanah; (vi) Tanah yang digunakan
untuk keperluan kepemerintahan; (vii) Petani dengan lahan subur kurang dari 0,5 ha;
vii) Pemilik menguasai lahan tanah tidak lebih dari 0,5 hektar; ix) Petani atau pekerja
pertanian lainnya.

Tabel 1. Realisasi Reformasi Agraria 2018


Tanah Reforma Agraria Target (bidang) Capaian (Bidang)
Sertipikasi Tanah 100.076 bidang 42,334 bidang (42,3%)
Transmigrasi
Legalisasi Aset
Sertipikasi tanah 7.000.000 bidang 5.453.772 bidang
masyarakat (77,9%)
HGU Habis, Tanah 350.650 bidang 282.337 bidang
Terlantar, Tanah (80,52%)
Redistribusi Negara lainnya
Tanah
Pelepasan Kawasan 4,1 juta ha 1.001.454 bidang
Hutan (24,3%)
Pada penerapannya program legalisasi tanah melalui sertipikat tanah masyarakat lebih
diprioritaskan pemerintah dibanding program land reform lainnya. Legalisasi 4,5 juta
hektar properti, atau setengah dari dalam program land reform, masih dipertanyakan
oleh aktivis agraria, karena dianggap tidak ada hubungannya dengan keamanan,
legitimasi kepemilikan tanah pribadi. Legalisasi properti berpotensi mensentralisasi
kepemilikan tanah, yang dapat menyebabkan ketimpangan kepemilikan dan hak guna
tanah. Dengan seperti itu, maka perlu dilakukan “reformasi” konsep reformasi
agrarian.
Kementerian ATR/BPN mencatatkan pencapaian target penyebaran ulang tanah dari
2015 hingga 2018 dalam rangkaian peraturan land reform lewat realokasi tanah, IP4T,
legalisasi properti migrasi, pembebasan wilayah hutan seperti yang dituangkan pada
tabel dibawah ini
Tabel 2. Hasil Reformasi Agraria dihitung per Tahun 2015-2018
Reforma Target 2015 2016 2017 2018 Capaian
Agraria RPJMN (bidang) (bidang) (bidang) (bidang) RPJMN
Redistri- 400.000 95.741 143.234 23.214 215.089,60 544.526
busi
Tanah
IP4T 18.206.340 88.384 522.457 106.957 - 1.273.685
Legalisasi 3.900.000 859.402 1.018.444 4.323.351 974.153,90 11.654.969
Aset
Transmi-
grasi 600.000 10.900 8.059 9.119 28.363,78 70.412
Pelepasan
Kawasan 4.100.000 1.001.454
Hutan
Untuk target redistribusi tanah pada tahun 2019, terdapat 750.000 kavling tanah yang
merata pada 34 provinsi di Indonesia. Sumber daya tanah berasal dari pembebasan
wilayah hutan hutan, tanah. HGU yang sudah berakhir dan sudah tidak lagi atau
diperbarui, atau HGU karena penyerahan sukarela dari pemilik hak atas tanah federal
yang lain.
Reformasi pertanian bertujuan untuk membebaskan 4,1 juta hektar dari total wilayah
hutan kepada TORA. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan sudah memberikan
alokasi 4,8 juta hektar kawasan hutan untuk TORA melalui SK 180/2017. Sampai
akhir tahun 2017, hanya 750.123 hektar dari total wilayah hutan yang telah disisihkan
untuk land reform, 18,2% dari dalam total keseluruhan target. Target pembukaan
kawasan hutan pada 2019 juga relatif kecil, hanya 111.305 hektar di 7 provinsi.
Tidak ada publikasi yang menyatakan bahwa kawasan hutan alam adalah dalam
wilayah hutan yang dialokasikan untuk TORA, termasuk Hutan Produksi untuk
Transformasi (HPK) dialokasikan dengan luas 2,1 juta ha, dan 437.937 ha dari 20%
total wilayah hutan yang dialokasikan untuk penanaman
2. Reformasi Agraria dengan memanfaatkan Tanah Terlantar
Peraturan pemanfaatan kembali lahan milik pemerintah bekas yang tak terawat dan
ditelantarkan memiliki dasar hukum yaitu Pasal 15 PP No. 11 Tahun 2010, Lalu
peraturan tentang ketersediaan, kepastian , pengamanan, peruntukan dan pengaturan
peruntukan, basis data, pengawasan dan pengendalian, pelaporan dan pembiayaan
tanah negara bekas tanah terlantar diatur di dalam Perkaban No. 5 Tahun 2010.
Sedangkan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah negara bekas
tanah terlantar dimanfaatkan demi kesejahteraan rakyat serta kebutuhan pemerintahan
lewat reforma agraria serta rencana strategis negara dan demi menyediakan inventaris
negara lainnya. Rencana strategis pemerintah yaitu untuk meningkatkan sektor
pangan, energi, perumahan rakyat demi menaikkan kemakmuran rakyat Indonesia.
Inventaris negara lainnya yaitu demi memenuhi keperluan akan lahan untuk
kepentingan pemerintah, pertahanan dan keamanan, keperluan tanah yang disebabkan
oleh bencana alam, relokasi dan tempat tinggal masyarakat yang merasakan dampak
dari pembangunan demi hal yang lebih penting.
RPJMN 2015-2019 menjelaskan HGU sudah habis masa berlakunya dan 0,6 juta
hektar lahan adalah contoh dari kewenangan Kementerian ATR/BPN yang
memberikan catatan pencapaian penguasaan dan pemanfaatan lahan terlantar hingga
2018, pada tabel di bawah ini:
Tabel 3. Capaian Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar s/d Tahun 2018
Penetapan Tanah Terlantar (Ha) Optimalisasi Tanah
Tahun
SK Penetapan Clean and Clear Terlantar (Ha)
2010 - 2017 76.384,30 24.825,76 2.389,37
2018 - 13.435,75
Jumlah
76.384,30 24.825,76 15.825,12
(2010 – 2018)
Rekor kinerja yang rendah dalam penguasaan lahan umumnya karena: a) aspek
kebihakan, PP itu sendiri membuka ruang yang luas untuk interpretasi, misalnya
contoh standar 'sengaja atau tidak disengaja di lahan terlantar, diikuti dengan
ketentuan peringatan I, II, III dimana 3 bulan terlalu pendek, biasanya 3 bulan pemilik
wewenang melaksanakan program pembersihan dan memperjelas izinnya, masih dapat
diklasifikasikan sebagai terbengkalai; b) Kompetensi SDM yang tidak memenuhi
kualitas dan kuantitas departemen penanganan tanah terlantar adalah Divisi / Kepala
Departemen Penguasaan Tanah , yang terutama dari 3 sampai 6 orang Hukum
Perdata, TUN, Ton pendidikan) , dari segi kualitas, penguasaan tanah
bagian/subbagian mencakup , kebanyakan bukan lulusan sekolah hukum, terkadang
salah mengartikan untuk memahami standar peraturan; c) Interaksi antar instansi
belum maksimal, serta rendahnya koordinasi antara Kanwil dan Kantah pada saat
melaksanakan redistribusi tanah.
Tanah yang terindikasi terlantar tersebar di Indonesia. Menurut dalam urutan jumlah
persil, negara bagian dengan tanah terlantar yang paling sering adalah Jawa Barat,
Jawa Timur dan Bali, tetapi dalam hal nomor badan hukum, Bali adalah . Tabel
berikut ditampilkan.
Tabel 4. Provinsi dengan Tanah Terindikasi Terlantar Terbanyak Sesuai Urutan
Jumlah Bidang Tanah Terbanyak
Jumlah
No Provinsi Badan Luas Hak Luas Indikasi
Hukum (Ha) Terlantar (Ha)
1 Bali 1294 2.603,2205 2.603,1990
2 Jawa Timur 584 23.690,8915 11.283,8504
3 Jawa Barat 339 68.946,3444 51.122,5058
Jumlah Hak 5.240,4564
Jumlah Terlantar 2.217 65.009,5552
Provinsi dengan jumlah luas terbanyak tanah yang terindikasi terlantar berasal dari
provinsi Sumatera Selatan, Banten dan Kalimantan Tengah. Jumlah total tanah
terindikasi terlantar berjumlah 4.219.531,6888 hektar

Tabel 5. Urutan Jumlah Luas Tanah Terindikasi Terlantar Terbanyak


Jumlah
No Provinsi Badan Luas Luas Indikasi
Hukum Hak (Ha) Terlantar (Ha)
1 Sumatera Selatan 306 2.137.120,2229 1.596.749,2968
2 Banten 269 1.519.222,2595 1.518.579,0650
3 Kalimantan Tengah 209 1.870.204,1094 1.104.203,3270
Jumlah Hak 526.546,5918
Jumlah Terlantar 784 4.219.531,6888
Saat tahun 2015 sudah dilaksanakan redistribusi tanah, dengan alokasi bidang tanah
pada setiap provinsi di Indonesia. Misal, Sumatera Selatan pemekaran dilaksanakan di
bawah Kabupaten Ogan Komering Ilir dan disahkan oleh Bupati Banyuasin . Di
Kabupaten Ogan Komering Ilir, redistribusi bidang tanah dengan jumlah 1.083
kavling tanah dan 1.028 KK, dengan total luas 1385.7652 hektar. Sedangkan di
Kabupaten Banyuasin persebatam Kavling terdapat 1.500 Kavling dan penerima
manfaat dengan total 1.445 KK, dengan luas total 2.096.8502 hektar. Di Provinsi
Banten telah dilakukan redistribusi tanah di Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten
Lebak dengan total 4288 bidang tanah serta bermanfaat bagi 3586 KK dengan luas
total 1.286,0416 hektar. Untuk Kalteng yang tersebar di 9 administrasi yaitu
Kabupaten Kapuas, Barito Utara, Katingan , Kotawaringin Timur, Barito Timur,
Barito Selatan, Pulang Pisau, Seruyan, Sukamara. Redistribusi tanah di Kalteng
sebanyak 3.678 bidang dan penerima manfaat sebanyak 3.488 KK, dengan luas total
5593.0698 hektar.
Namun, penyaluran distribusi upaya pelaksanaan landreform masih terfragmentasi dan
belum dimaksudkan untuk mendorong usaha dalam mengurangi kekurangan pangan.
Sebagai contoh, Provinsi Sumatera Utara mengembangkan budidaya lele dumbo,
Provinsi Jawa Timur memiliki peternakan sapi, bunga hias dan peternakan buah,
Provinsi Jawa Barat memiliki peternakan cabai keriting dan peternakan kambing.
Sementara itu, Provinsi Jawa Tengah fokus menanam beras organik, beternak sapi dan
mengembangkan tanaman obat. Berbeda dengan pulau Jawa dan Sumatera, Provinsi
Sulawesi Tenggara menerapkan land reform dengan memberdayakan nelayan dan
Provinsi Sulawesi Utara menekankan pertanian terpadu.
KESIMPULAN

Dalam tujuan awal pemerintah menyerahkan hak atas tanah atau hak untuk mengelola
kepada pemilik hak dalam mengusahakan, menggunakan, dan menggunakan serta
memeliharanya secara rasional di samping kesejahteraan pemegang hak untuk
kepentingan masyarakat dan negara. Pemberian hak tersebut disertai dengan kewajiban
dalam SK pemberiannya. Sehingga pemilik hak tidak boleh menyerahkan lahannya, dan
apabila ia menyerahkan tanahnya, timbul akibat hukum, yaitu batalnya hak-hak yang
bersangkutan dan pemutusan hubungan dikendalikan oleh pemerintah. Terdapat
sejumlah faktor yang menyebabkan terlantarnya tanah, akibatnya dalam menerapkan
faktor yang disengaja bahwa tanah terlantar tidak mudah dikendalikan. Sejumlah
kendala penguasaan lahan , Entah bersifat teknis ataupun tidak. Hambatan atau kendala
teknis operasional adalah segala hambatan terkait pelaksanaan Perpres yang akan
dilakukan mulai dari identifikasi hingga penetapan lahan bera. Diharapkan dengan
adanya RPP Tanah Terlantar yang terkini, bisa mengatasi hambatan dalam penguasaan
dan penggunaan Tanah Terlantar, baik untuk menyempurnakan substansi maupun tata
cara, sehingga tidak lebih dari Penguasa Tanah Terlantar akibat ATR/Kementerian BPN
digugat dan kalah.
DAFTAR PUSTAKA

Kantor Staff Kepresidenan. (2016 . “Stategi Nasional Pelaksaksanaan Reformasi Agraria


2016-2019”

Lutffi, Farhan Mahfuzhi, Anik Iftiah, Ahmad Nashih. (2013). Menerjemahkan Secara
Teknis: Kendala Penertiban Tanag Terlantar di Kabupatem Blitar. STPN Press.
(43)

Rayyan Dimas, Sutadi, Aries Muhiburohman, Ahmad Nashih . (2018). Kebijakan


Reformasi Agraria di Indonesia: Kajian Komparatif tiga Periode Pelaksanaan

Orde Lama Orde Baru dan Orde Refromasi. Jurnal Tunas Agraria. (1) : (1)

Ali Imron .(2014). Analisis Kritis Terhadap Dimensi Ideologis Reformasi Agraria dan
Capaian Pragmatisnya. Jurnal Cakrawal Hukum. No. 2 (5) : (16)

Muhammad Ilham, Arisaputra . (2015). Accessreform Dalam Kerangka Reformasi


Agrariaa Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat. Disertasi Program Doktor
Ilmu Hukum. Fakultas Hukum Universitas Airlangga. (202)

Waryanta. (2016). Reformasi Agraria : Momentum Mewujudkan Kemandirian Ekonomi


Mayarakat Kecil Dalam Mendukung Ketahanan Pangan. Jurnal Agraria dan
Pertanahan. No.2 (2) : (187)

Dian Aries, Mujiburohman, Westi Utami . (2015). Penertiban dan Pendayagunaan Tanah
Terlantar Eks PT. Perkebunan Tratak Batang. Penelitian Stategis STPN. STPN
Press. Yogyakarta

Direktor Jendral Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Kementerian ATR/BPN .


(2017). Bahan Tayang : Penrtiban dan Pendayagunaan Terlantar.

Budi, Suryanto. (2017). Bahan Tayang : Perceoataan Penyediaan Tanah Reformasi


Agraria dan Pelaksanaan Reformasi Agraroa (Redistribusi Tanah). Dirjen
Penataan Agraria Kementrian ATR/BPN

Shohibuddin, Moh, dan M. Nazir Salim (2013). Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria,
2006–2007: Bunga Rampai Perdebatan. Edisi Revisi, Yogyakarta: STPN Press dan
Sajogyo Institute hal 737
M. Nazir Salim dan Shohibuddin . (2013) Pembentukan Kebijakan Reformasi Agraria,
2006-2007: Bunga Ramoai Perdebatan. STPN Press. Edisi Revisi dan Sayogya
Institute. (737)

Anda mungkin juga menyukai