Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

POLITIK DAN SEJARAH PERTANAHAN DI INDONESIA

Oleh :

Nama : Jonathan Miguel Timbowo


NPP : 32.0825
Kelas : F5
Prodi : Keuangan Publik

FAKULTAS MANAJEMEN PEMERINTAHAN


INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus, karena rahmat dan penyertaan-Nya
penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Politik dan Sejarah Pertanahan di
Indonesia”.
Makalah ini penulis buat untuk menambah wawasan, ilmu dan pengetahuan bagi praja pada
khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Penulis mengucapkan terimakasih untuk pihak
yang telah membantu penulis dalam penyusunan makalah ini sehingga dapat terselesaikan
dengan baik. Penulis juga tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada dosen pengajar mata
kuliah, yang telah memberikan bimbingan yang berharga sehingga penulis dapat Menyusun
makalah ini dengan baik.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Hal ini dari segi
penyusunan maupun dari segi materi. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun agar dapat dapat memperbaiki dan menyempurnakan makalah ini.

23 Juni 2022

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Tanah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1996 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut dengan UUPA) dimana Undang-Undang
Dasar 1945 yaitu Pasal 33 ayat (3) yang berbunyi bahwa, “bumi, air, dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasaioleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya demi kemakmuran rakyat”, merupakan dasar dari politik agraria nasional).
Berbicara mengenai tanah tidak terlepas dari hak-hak atas tanah diantaranya adalah hak
milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, hak sewa dan hak-hak lainnya
yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA.

Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 atau sering disebut dengan UUPA ada Pasal 6,
menyatakan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Rumusan Pasal
tersebut mendapat penjelasan dalam Penjelasan Umum, Angka Romawi II Angka 4
UUPA, yaitu hak atas tanah apapun yang ada seseorang tidaklah dapat dibenarkan bahwa
tanahnya akan dipergunakan atau tidak dipergunakan semata-mata untuk kepentingan
pribadinya apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat)Penggunaan
tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat dari pada haknya hingga bermanfaat
bagi baik kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat pula
bagi masyarakat dan Negara).

Kemudian jika dikaitkan antara ketentuan Pasal 6 dengan Pasal 15 UUPA, maka
semua hak atas tanah harus dipelihara baik-baik agar bertambahkesuburannya serta
dicegah kerusakannya) kewajiban memelihara tanah tidak hanya menjadi beban pemilik
atau memegang hak semata melainkan menjadi beban pula dari setiap orang badan hukum
atau instansi yang mempunyai suatu hubungan hukum dengan tanah.

Tanah merupakan komponen yang sangat vital bagi kelangsungan sosial khususnya tanah
publik kaitannya dengan fungsi sosial tanah yang dimilikinya. Dalam hal ini tak jarang
fungsi sosial tersebut memiliki konsekuensi logis, misalnya saja permasalahan yang
berhubungan dengan pelepasan tanah pribadi untuk kemudian dimanfaatkan bagi 2
kepentingan sosial. Untuk mem'eroleh tanah ini peranan pemerintah sangat diperlukan
karena terkadang tanah yang akan didirikan atau bangunan tersebut adalahmilik rakyat
sehingga untuk memperolehnya harus melalui pemerintahan yaitu dengan cara
pencabutan hak atas tanah dan pembebasan hak atas tanah.

Peranan pemerintah atas tanah dalam rangka pembangunan sangat penting sekali
sehingga dalam hal ini pemerintah harus dapat menjalankan fungsinya dengan baik dan
benar. Pembangunan ini dilaksanakan untuk kemakmuran rakyat. Pemerintah dalam
memecahkan berbagai masalah yang berkenaan dengan tanah bukan saja harus
mengindahkan prinsip-prinsip hukum akan tetapi juga harus memperhatikan
kesejahteraan sosial asas ketertiban dan asas kemanusiaan agar masalah pertanahan
tersebut tidak berkembang menjadi keresahan yang mengganggu stabilitas masyarakat.
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa saja komponen yang membentuk sejarah pertanahan di Indonesia?

2. Bagaimana hubungan politik dan pertanahan di Indonesia?

1.3 Tujuan Masalah


1. Untuk mengetahui sejarah perkembangan pertanahan di Indonesia.
2. Untuk mengetahui hubungan politik pertanahan di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Pertanahan di Indonesia


2.1.1 Zaman Kerajaan
Pada zaman Kerajaan Kutai (sekitar 400 M), jauh sebelum masuknya orang-
orang Eropa di Nusantara, sebenarnya pengaturan dalam masalah tanah sudah
dikenal dalam sistem pemerintahan kerajaan-kerajaan terdahulu. Pada masa
jayanya kerajaan Kutai pernah dikenal adanya suatu ketentuan yang mengatur
tentang acara penggunaan, pengolahan, pemeliharaan, jual beli, sistem pemilikan,
tanah terlantar, dan tanah-tanah kehutanan.
Pengaturan sistem pertanahan pada masa kerajaan Sriwijaya (693-1400)
dikenal dengan nama kitab undang-undang Simbur Cahaya yang merupakan
peninggalan kitab undang-undang jaman raja-raja Sriwijaya. Prinsip pemilikan
hak atas tanah, raja dianggap sebagai pemilik, sedangkan rakyat sebagai pemakai
(penggarap) yang harus membayar upeti kepada raja sebagai pemilik.
Kerajaan Majapahit (1293-1525) merupakan suatu kerajaan yang menguasai
seluruh Nusantara dan memiliki ketentuan yang paling lengkap tentang
pengaturan kehidupan masyarakat. Tanah dalam kehidupan rakyat majapahit
memegang peranan penting karena itu dibuat undang-undang tentang hak
memakai tanah yang disebut Pratigundala. Pratigundala didapati dalam
Negarakertagama pupuh 88/3 baris 4 hal 37. Undang-undang tersebut disusun
dengan latar belakang bahwa kerajaan Majapahit merupakan suatu kerajaan yang
rakyatnya sebagian besar hidup dari hasil-hasil pertanian. Tanah menurut undang-
undang agama dalam kerajaan Majapahit adalah milik raja. Rakyat hanya
mempunyai hak untuk menggarap dan memungut hasilnya tetapi tidak memiliki
tanah tersebut, hak milik atas tanah tetap ada pada raja.

2.1.2 Undang-Undang Agraria tahun 1870 (Agrarische Wet)


Undang-Undang Agraria tahun 1870 (Agrarische Wet) diberlakukan oleh
Engelbertus de Waal selaku Menteri Jajahan di Hindia Belanda (Indonesia). Sejarah
penerapan undang-undang ini terkait dampak pelaksanaan sistem tanam paksa
(cultuurstelsel) sejak 1830 yang menuai protes. Agrarische Wet berisi tentang hukum
administrasi tanah dan dijadikan landasan untuk mengeluarkan aturan-aturan
pembagian atas penguasaan tanah oleh pemerintah, masyarakat pribumi maupun
nonpribumi.
Pemberlakuan kebijakan ini pada dasarnya sebagai bentuk perlindungan atas
kepemilikan tanah masyarakat pribumi. Orang pribumi dilindungi haknya atas
kepemilikan tanah dan dibebaskan dalam penggunaannya. Adanya UU Agraria 1870
ini menjadi awal dari liberalisasi ekonomi masyarakat di Hindia Belanda.
Tujuan UU Agraria 1870 antara lain sebagai berikut: Pertama, memberikan
peluang dan kemungkinan memberikan jaminan hukum kepada para pengusaha
swasta agar dapat berkembang di Hindia Belanda. Cara tersebut dapat dilakukan
melalui pengembangan industri-industri dan perusahaan-perusahaan perkebunan
mereka di Jawa. Kedua, melindungi hak-hak tanah penduduk agar tidak hilang atau
jatuh ke tangan asing melalui penyewaan tanah, bukan menjual tanah kepada pihak
asing. Ketiga, membuka kesempatan kerja yang lebih baik bagi penduduk Indonesia
utamanya dalam bidang buruh perkebunan.
Salah satu poin terpenting dalam penerapan UU Agraria 1870 adalah
pemberian Hak Erfpacht. Ini adalah semacam Hak Guna Usaha yang membuat
seseorang bisa menyewa tanah telantar yang telah menjadi milik negara yang selama
maksimal 75 tahun. Hak menyewai sesuai kewenangan yang diberikan hak eigendom
(kepemilikan), selain dapat mewariskannya dan menjadikan agunan. Dikutip dari
Boedi Harsono dalam Hukum Agraria Indonesia (1995), hak erfpacht terdiri atas tiga
jenis, yakni: Hak untuk perkebunan dan pertanian besar. Hak untuk perkebunan dan
pertanian kecil bagi orang Eropa "miskin" atau perkumpulan sosial di Hindia Belanda.
Ketiga adalah Hak untuk rumah tetirah dan pekarangannya.

2.1.3 Masa Orde Lama


Permasalahan yang terjadi pada masa Orde Lama adalah 80% rakyat Indonesia
adalah petani dan sebagian besar dari petani tersebut hidup melarat. Kemelaratan ini
menurut pemerintah terjadi akibat 60% petani berstatus sebagai buruh tani yang
menggarap lahan pertanian milik “tuan tanah” bukan milik sendiri.
Hal tersebut menjadi perhatian pemerintah Orde Lama terhadap petani dapat dilihat
dari penetapan aturan yang mendukung petani, penetapan Hari Tani, Pembentukan
kelompok tani, hingga pemberian lahan kepada petani. Kedua, meletakkan dasar-
dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan.
Ketiga, meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-
hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

2.1.4 Masa Orde Baru


Lain halnya dengan permasalahan yang terjadi pada masa Orde Lama, justru
perhatian pemerintah Orde Baru terhadap petani dalam implementaasi UU Pokok
Agraria mengalami pergeseran, tak menyentuh persoalan penguasaan tanah sebagai
inti dari Reforma Agraria melainkan fokus pada peningkatan produksi pangan dengan
mengikuti Gerakan Revolusi Hijau.
Kehadiran Revolusi Hijau ini dinilai berpihak ke pemilik lahan sebagai pihak
yang diuntungkan, sedangkan petani yang lahannya sempit dan buruh tani tak
mendapatkan keuntungan serta menjadi pihak yang dirugikan. Permasalahan ini tidak
dapat memecahkan masalah pertanahan.
Hingga tahun 1990, diskusi mengenai pertanahan kembali berlanjut. Undang-
Undang Pokok Agraria atau UUPA menjadi pegangan utama dalam melihat masalah
pertanahan. Meski demikian, terdapat paradigma pemerintah dalam melihat bidang
pertanian yang disesuaikan dengan zamannya. UUPA yang lahir pada tahun 1960
dilatarbelakangi paradigma pemerintah Orde Lama bahwa masyarakat Indonesia
mayoritas adalah petani. Sementara pada 1990, pemerintah Orde Baru melihat
pergeseran yang terjadi dalam masyarakat. Kehidupan rakyat tidak hanya soal
pertanian yang utama, tapi juga menyentuh bidang perindustrian.

2.1.5 Masa Reformasi


Pada masa Reformasi, Presiden Megawati Soekarno Putri memiliki ide tentang
pembaruan Undang-Undang Pokok Agraria, gagasan tersebut tertuang dalam Keppres
Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan.
Pertimbangan Megawati mengeluarkan keputusan ini untuk penyesuaian UU Pokok
Agraria dengan perkembangan zaman serta ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001
tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono muncul Perpres
Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan
Kepentingan Umum. Tetapi mengalami pertentangan dari beberapa organisasi non
pemerintah dikarenakan perpres ini tidak sesuai dengan semangat UU Pokok Agraria
yang lebih memperjuangkan dan melindungi hak petani atas tanah. Menanggapi hal
tersebut, pemerintah akhirnya mengeluarkan Perpres Nomor 65 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas Perpres Nomor 26 Tahun 2005. Perpres ini mengatur secara lebih rinci
mengenai sistem ganti rugi.
Dalam masa pemerintahan Presiden Jokowi, permasalahan mengenai pertanahan
ini menjadi salah satu perhatian yang penting dengan dikeluarkannya dua peraturan
presiden. Pertama, Perpres Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan
Tanah di Kawasan Hutan. Kedua, Perpres Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma
Agraria. Reforma Agraria adalah penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan,
penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan untuk kemakmuran
rakyat Indonesia. Dengan adanya aturan tentang Reforma Agraria ini sekaligus
melengkapi Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960 untuk disesuaikan dengan
kondisi saat ini.

2.2 Politik Pertanahan di Indonesia


Politik Agraria dapat dilaksanakan, dijemalkan dalam sebuah Undang-Undang yang
mengatur dan memuat asas-asas, dasar-dasar, dan soal-soal agraria dalam garis besarnya
serta dilengkapi dengan peraturan pelaksanaannya . Dengan demikian, ada hubungan
yang erat antara politik dan hukum. Menurut Urip Santoso, Politik Agraria adalah garis
besar kebijaksanaan yang dianut oleh Negara dalam memelihara, mengawetkan,
memperuntukkan, mengusahakan, mengambil manfaat, mengurus dan membagi tanah
dan sumber alam lainnya termasuk hasilnya untuk kepentingan kesejahteraan rakyat dan
Negara, yang bagi Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan UndangUndang dasar
(UUD) 1945. Peran negara dalam aspek pertanahan dan jaminan atas terlaksananya
ketentuan konstitusi menjelma menjadi hak menguasai tanah oleh negara dan peraturan
perundangundangan berbagai sektor terkait tanah dan sumber daya alam. Dari perspektif
hukum dan kebijakan pemerintah, ideologi dan paradigma penguasaan dan pemanfaatan
tanah dan sumber daya alam mengacu pada konstitusi dan peraturan perundang-
undangan negara. Jabarannya dituangkan dalam produk hukum yang dinamakan
peraturan perundang-undangan.
Legitimasi negara atas tanah sebagaimana amanat konstitusi dan peraturan
perundang-undangan berbagai sektor salah satunya tertuang seperti dalam Pasal 2 UU
No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria ( UUPA) yang
menyatakan :
a. Atas dasar ketentuan pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai
yang dimaksud dalam pasal 1, bumi air dan ruang angkasa , termasuk kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh
negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
b. Hak Menguasai dari Negara tersebut dalam ayat (1) pasal ini memberikan
wewenang untuk :
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut. Menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang
2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dan perbuatan-perbuatan hokum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa
c. Wewenang yang bersumber dari negara tersebut pada ayat 2 pasal ini digunakan
untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan,
kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum indonesia
yang berdaulat, adil dan makmur.
d. Hak menguasai dari negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan,
kepada daerah-daerah swatantra.
Di Indonesia kendati telah lebih dari 50 tahun, UU Pokok Agraria (UUPA) lahir
sebagai tonggak reforma agraria, namun sampai saat ini belum banyak memberikan
arti. Bahkan maraknya kasus – kasus konflik pertanahan seperti kasus sengketa
Mesuji dan kasus pertambangan di Bima, merupakan dua diantara ratusan kasus
konflik agrarian yang terjadi. Bahkan banyak berpendapat bahwa terjadinya kasus –
kasus seperti diatas adalah akibat inkonsistensi berbagai pihak, terutama pemerintah
dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar
Pokok – Pokok Agraria ( UUPA ). Menurut Dianto Bachriadi, inti dari reforma
agraria adalah landreform dalam pengertian redistribusi pemilikan dan penguasaan
tanah. Pembaruan agraria adalah untuk mengatasi hukum harus mampu menjamin
keadilan sosial dengan memberikan proteksi khusus bagi golongan lemah agar tidak
tereksploitasi dalam persaingan bebas melawan golongan yang kuat, hukum harus
dibangun secara demokratis sekaligus membangun demokrasi sejalan dengan prinsip
negara Indonesia yakni Negara Hukum.
BAB III
PENUTUP
Sejarah dan perkembangan sektor pertanahan dan agraria di Indonesia bermula
dari jaman kerajaan hingga masa sekarang mengalami banyak sekali perubahan.
Sistem dan hukum yang berlaku dalam sektor pertanahan berkembang mengikuti
pola hidup serta pola sosial yang berkembang dalam masyarakat. Perubahan juga
terjadi akibat berubahnya struktur ekonomi di Indonesia. Masyarakat yang dulunya
Sebagian besar bergantung pada bidang pertanahan baik sektor pertanian dan
perkebunan mulai mengalihkan keahliannya ke sektor industri. Namun tak menutup
kemungkinan bahwa masih banyak masyarakat yang menggantungkan hidupnya di
bidang pertanahan.
Pemerintah disini berperan sebagai pihak yang mengatur sistem pertanahan
dalam negeri dengan tujuan mensejahterakan masyarakatnya. Hakikatnya
masyarakat butuh bidang pertanahan untuk keperluan membangun tempat tinggal
serta untuk memenuhi kebutuhannya melalui pangan yang dihasilkan oleh sektor
pertanian dan perkebunan. Alangkah baiknya pemerintah mengatur Undang-Undang
yang lebih spesifik mengenai sistem pertanahan di Indonesia yang tujuan utamanya
adalah kepentingan dan pemenuhan kebutuhan rakyat Indonesia. Demi terwujudnya
cita-cita bangsa untuk kesejahteraan masyarakat, pemerintah harus bisa lebih
memprioritaskan efektivitas lahan dan bidang tanah di Indonesia untuk kebutuhan
dalam negeri daripada mengutamakan penggunaan tanah untuk sektor industry demi
memenuhi permintaan dari luar negeri.
DAFTAR PUSTAKA

https://tirto.id/sejarah-undang-undang-agraria-1870-latar-belakang-tujuan-dampak-gaYo
https://masgunawan.id/program/baca/produk-hukum-hak-milik-atas-tanah-di-masa-kerajaan

https://media.neliti.com/media/publications/284685-politik-hukum-pertanahan-
c244a289.pdf

Anda mungkin juga menyukai