Anda di halaman 1dari 12

PEMBAHASAN

A. Latar Belakang
Sejarah Hukum Agraria yang berlaku sebelum Indonesia merdeka masih
menggunakan hukum barat yaitu Agrarische Wet yang memberikan jaminan hukum kepada
pengusaha swasta, dengan Hak Erpacht dan Agrarische Besluit yang melahirkan azas Domein
Verklaring dimana semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak
Eigendom nya adalah domein atau milik negara. Maka tanah-tanah diatur dengan hak-hak
barat seperti tanah eigendom, tanah erfacht, tanah postal dan lain-lain. Sedang tanah-tanah
yang dikenal dengan hak-hak Indonesia adalah tanah-tanah ulayat, tanah milik, tanah usaha,
tanah gogolan, tanah bengkok, tanah agrarich eigendom.

Pengaruh politik pertanahan terlihat dari tindakan / perbuatan yang dilakukan


pemerintah. Politik tersebut dimulai pada tahun 1830 (Perang Napoleon di Eropa) diantara
politik yang diterapkan oleh bangsa-bangsa Barat antara lain :
a.         Cultuure stelsel
b.         Agrarische Wet
c.         Agrarische Besluit
Dalam perkembangannya antara Agrarische Wet dan Agrarische Besluit ada yang
mengatakan domein verklaring.
 yang dikatakan Domein verklaring adalah dijelaskan pada pasal 1 Agrarische wet
menyebutkan tanah yang tidak bisa dibuktikan atas kepemilikan (Eigendom/eigenaar).
Oleh karena itu UU atau Agrarische wet yang dikeluarkan oleh bangsa belanda
tersebut hukum belanda tersebut berisi ketentuan – ketentuan yang sangat berpihak kepada
kepentingan – kepentingan perusahaan swasta swasta. Namun ada juga melindungi
kepentingan orang Indonesia asli tapi melalui beberapa cara :
1.     Memberi kesempatan bagi orang Indonesia asli untuk memperoleh hak eigendom agraris
atas tanahnya sehingga dapat dihipotikkan.
2.     memperbolehkan rakyat meyewakan tanah kepada orang asing untuk rakyat yang
berekonomi lemah mendapat perlindungan terhadap orang yang berekonomi kuat.
Secara global agrarische wet bertujuan memberikan kemungkinan kepada modal
asing untuk berkembang di Indonesia dengan hak erfracht (HGU) selama 75 tahun, tanah
dengan hak opstal (HGB). Hak sewa, hak pinjam pakai.
Jadi jelas disini pemerintah belanda berwenang memberikan hak tersebut adalah
pemilik/eigenaar dan karenanya negara dinyatakan sebagai pemilik tanah.

Overspel = anak diluar nikah


Pasal 21,22,96 ---à UUPA ttg orang asing tidak boleh mempunyai hak milik.

Domein verklaring, dirumuskan sedemikian rupa sehingga tidak perlu


membuktikan haknya dalam proses perkara sebaliknya pihak lainlah yang selalu
membuktikan haknya itu. Jadi nyata ketentuan yang selalu membebankan kewajiban
pembuktian kepada rakyat itu, artinya tidak mempunyai keadilan. Oleh karena itu pernyataan
domein verklaring tahun 1870 tidak dapat dipertahankan lagi dalm NKRI. Sesungguhnya
dalam pembelian hak atas tanah negara, negara tidak perlu bertindak sebagai eigenaar
(kepemilikan) cukup bila UU memberi wewenang kepadanya untuk berbuat sesuatu kepada
penguasa atau overheid, UUPA berpendapat sama dengan ini terlihat dalam pendirian bahwa
untuk mencapai apa yang ditentukan didalam pasal 33 UUD 1945 tidak ada tempatnya negara
bertindak sebagai pemilik tanah dan adalah lebih tepat jika negara bertindak sebagao badan
penguasa begitu juga dalam larangan pengasingan hak atas tanah ditegaskan dalam Stb. 1875
Jo no. 179 menegaskan segala perjanjian yang bertujuan penyerahan atas tanah maka
dilakukan atas kesepakatan para pihak tapi dalam kenyataannya Belanda melakukan
pelanggaran (wanprestasi) dengan demikian sangat jelas sekali politik hukum agraria yang
pernah diterapkan di indonesia jelas tidak memihak kepada rakyat tetapi sangat
menguntungkan kepada perusahaan – perusahaan swasta belanda yang ada di Indonesia pada
saat itu. Oleh karena itu setelah 17 Agustus 1945 pemerintah di indonesia berusaha merobah
sestem hukum agraria belanda dengan menyesuaikan dari hukum negeri sendiri. Usaha ini
baru berhasil dengan keluarnya UU no. 5 tahun 1960 artinya setelah 15 tahun indonesia
merdeka dalam pasal 2 dijelaskan bahwa atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 UUD
1945 sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut bumi, air dan ruang angkasa termasuk
kekayaan alam yang terkandung didalamnya, pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara
sebagai organisasi seluruh rakyat indonesia.
Dengan demikian kesimpulan tentang hukum pertanahan :

1. Tanah-tanah ulayat (rakyat) menimbulkan masalah yang berkepanjangan dengan


tanah yang telah di HGU kan.
2. Maksud yang terkandung dalam pasal 33 ayat 3 banyak yang telah disalah gunakan
artinya oleh pemerintah.
3. Politik pertanahan belanda sampai sekarang ± ¼ abad tidak menjamin hak-hak rakyat
atas tanah malah menghilang lenyapkan hak atas tanah.
4. Kiranya perlu ada suatu politikal will (kebijakan) dari pemerintah terhadap eksistensi
tanah adat yang dituangkan dalam peraturan per UU an dan dihilangkan apa yang
disebut security approach.
5. UUPA no.5 tahun 1960 dibandingkan dengan UU kehutanan No. 5 tahun 1967 pada
UUPA mengakui adanya hak rakyat sedangkan UU kehutanan tidak megakui yang
hanya diakui adalah 2 hutan :

1.         Hutan milik


2.         Hutan negara
Penjabaran UUPA yaitu pada PP no. 10 tahun 1961, PP 24 1997 mengenal adanya
pendaftaran tanah sementara UU kehutanan tidak mengakuinya.

6. Pemerintah daerah sudah saatnya membuat PERDA untuk mempertahankan hak-hak


rakyat (Permenag) UU no. 5 tahun 1999 untuk menyelesaikan tanah – tanah ulayat
baik ditingkat propinsi maupun ditingkat kota. Oleh karena itu melakukan pendaftaran
tanah perlu pedoman umum untuk penggunaan tanah :
1. PMDN No. 15 tahun 1975 didalamnya termasuk pembebasan hak atas tanah.
2. Keppres No. 5 tahun 1993 tentang pembebasan tanah dan penyerahan hak atas
tanah.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Perkembangan Hukum Agraria di Indonesia Dari Masa
Kolonial hingga Revolusi?
2. Bagaimana Penyesuaian Hukum Agraria Yang Bersifat Kolonial Dengan Keadaan
Sesudah Kemerdekaan?
PEMBAHASAN

SEJARAH HUKUM AGRARIA SEBELUM UUPA


Menurut Boedi Harsono dalam bukunya Hukum Agraria, menyebutkan ada dua
tongggak sejarah, yaitu perundangan Agrarische Wet tahun 1870.
Berlandaskan tonggak sejarah tersebut sejarah hukum agraria Indonesia dapat
dibagi dalam periodesisasi sebagai berikut :

1. Masa sebelum kemerdekan tahun 1945


a. Masa sebelum Agrarische (1870)
b. Masa setelah Agrarische Wet , tahun 1870 sampai Proklamasi kemerdekaan).
2. Masa kemerdekaan :

a. Masa sebelum UUPA (Tahun 1945 sampai tahun 1960)


b. Masa UUPA (Setelah terbitnya UU No. 5/1960) tentang ketentuan dasar
pokok – pokok agraria tanggal 24 September 1960.

POLITIK AGRARIA KOLONIAL


Penjelasan umum UUPA, merumuskan bahwa hukum agraria lama yang berlaku
sebelum tahun 1960 dalam banyak hal, tidak merupakan alat penting untuk membangun
masyarakat yang adil dan makmur, bahkan merupakan penghambat pencapaiannya, yang
disebutkan karena :

1. Hukum agraria lama sebagian tersusun berdasarkan tujuan dan sendi – sendi dari
pemerintah jajahan, dan sebagian lainnya dipengaruhi olehnya, hingga bertentangan
dengan kepentingan rakyat didalam melaksanakan pembangunan nasional
2. sebagai akibat dari politik pemerintah jajahan itu, hukum agraria lama bersifat
dualisme, yaitu berlakunya peraturan – peraturan hukum adat disamping peraturan –
peraturan dari dan yang didasarkan atas hukum barat, yang akan menimbulkan
pelbagai masalah antar golongan yang seba sulit juga tidak sesuai dengan cita – cita
persatuan bangsa.
3. Bagi rakyat asli hukum agraria penjajahan tidak menjamin kepastian hukum seluruh
rakyat Indonesia.

Hukum Agraria yang pernah berlaku di Indonesia adalah :      

1. Agrarische Wet (Stb. 1870 : 55) yang termuat dalam pasal 51 Wet op de
Staatsinrichting voor Nederlands Indie (Stb. 1925 : 479) dan ditentukan dari ayat –
ayat pasal itu.
2. .a. Algemeene Domein Verklaring tersebut dalam pasal 1 Agrarische Besluit(Stb.1870
:118)

b. Speciale Domein Verklaring untuk Keresidenan Sumatra, Manado, Zuider en


Ooster afdeling van Borneo.

3. Koninklijke Besluit tanggal 16 April 1872 No. 29 (Stb. 1872:177) dan peraturan 
pelaksanannya.
4. Buku II Kitab Undang – Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang yang mengenai
bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kecuali ketentuan –
ketentuan mengenai hipotik yang masih berlaku pada mulia berlaku undang – undang
ini.

Sejarah hukum belanda perlu diingat bahwa setelah kerajaan belanda menjadi
Negara monarki konstitusional. Pemerintah di Hindia Belanda dalam menjalankan tugas-
tugasnya terkuat dalam bentuk Undang-Undang (Wet) yang dikenal dengan RR (Regeling
Reglement) tahun 1855 (Stb. 1855:2).
                  Politik agraria tercantum daam pasal 62 RR yang terdiri dari 3 ayat yang antara
lain menggariskan bahwa gubernur jenderal tidak boleh menjual tanah dan bahwa gubernur
jenderal dapat menyewakan tanah berdsarkan ketentuan ordonansi.
                  Tujuan dari Agrarische Wet adalah untuk memberi kemungkinan dan jaminan
kepada modal besar asing agar dapat berkembang di Indonesia, dengan pertama – tama
membuka kemungkinan untuk memperoleh tanah dengan hak erfpacht yang berjangka waktu
lama.
 Agrarische Wet lahir atas desakan masyarakat pemilik modal besar swasta, yang
pada masa kultur stelsel (tanam paksa) sebelumnya terbatas sekali kemungkinannya untuk
berusaha dalam lapangan perkebunan besar. Kesempatan yang ada sebelumnya hanyalah
melalui sewa tanah, yang pada masa tanam paksa, kemungkinan itu sesuai dengan politik
monopoli pemerintah justru ditutup.

DUALISME HUKUM AGRARIA


                  Sejak Hindia Belanda resmi menjadi jajahan Belanda tahun 1815, praktis kondisi
hukum khususnya hukum perdata sudah bersifat dualisme. Disamping hukum adat yang
merupakan hukum perdata bagi golongan penduduk pribumi, maka bagi golongan penduduk
penjajah Belanda, mereka perlakukan hukum perdata yang mereka bawa dari negara asalnya.
                  Peraturan perundang – undangan di bidang perdata kemudian diperluas
berlakunya bagi golongan penduduk Timur Asing untuk sebagian kemudian seluruhnya
khusus bagi golongan penduduk Tionghoa dan selanjutnya sampai pula diperuntukkkan untuk
golongan penduduk pribumi baik melalui lembaga pernyataan berlaku atas beberapa bagian
hukum perdata tertentu ataupun melalui lembaga pernyataan tunduk secara sukarela.
                  Karena peraturan – peraturan mengenai pertanahan, merupakan peraturan yang
terdapat pada Buku II KUH Perdata, disamping peraturan perundang – undangan yang lain,
maka kondisi dualistis itu terjadi juga pada bidang hukum agraria. Berlakunya peraturan –
peraturan hukum tanah bagi golongan penduduk eropa, disamping hukum adat mengenai
tanah bagi golongan penduduk pribumi.

LANDASAN FILSAFAT YANG BERLAINAN


Hukum perdata Barat demikian juga hukum tanahnya bertitik tolak dari
pengutamaan kepentingan pribadi (individualistis), sehingga pangkal dan pusat pengaturan
terletak pada eigendom – recht (hak eigendom) yaitu pemilikan perorangan yang penuh dan
mutlak, disamping domein verklaring atas pemilikan tanah oleh negara.
Hukum adat demikian juga hukum adat tanahnya sebagai bagian terpenting dari
hukum adat, bertitik tolak dari pemungutan kepentingan masyarakat (komunalistis) yang
berakibat senantiasa mempertimbangkan antara kepentingan umum dan kepentingan
perorangan. Dalam hukum tanah adat, hak ulayat, yang merupakan hak persekutuan hukum
atas tanah merupakan pusat pengaturannya. Hak perseorangan warga masyarakat adat,
memperoleh izin dari penguasa adat. Apabila warga tersebut terus menggarap bidang tanah
termaksud secara efektif, maka hubungan hak miliknya menjadi lebih intensif dan dapat turun
temurun.
Tetapi apabila warga tersebut menghentikan kegiatan menggarapnya maka tanah
itu kembali ke dalam cakupan hak ulayat persekutuan hukumnya dan hak miliknya melebur.

ANEKA RAGAM JENIS HAK ATAS TANAH


BW atau KUHP Perdata mengenal pelbagai jenis hak atas tanah sebagai barang
tidak bergerak, yaitu :

1. Bezit (kedudukan berkuasa)


2. Eigendom ( hak milik )
3. Burenrecht (hak bertetangga = hak jiran )
4. Herendiest (hak kerja rodi)
5. Erfaienst baarheid (hak pengabdian tanah)
6. Het regt van opstaal (hak numpang karang)
7. Het erfpachtsregt (hak usaha)
8. Grondrenten en tienden (bunga tanah dan hasil sepersepuluh)
9. Het vrucht gebruik (hak pakai hasil)
10. Het recht van gebruik en de bewoning (hak pakai dan hak mendiami).

Sedang hukum adat mengenal peristilahan yang lain sekali.

1. Hak Persekutuan atas tanah ;


a. Hak Ulayat
b. Hak dari kelompok kekerabatan atau keluarga luas
2. Hak perorangan atas tanah;

a. Hak milik, hak yasan (inland bezitrecht)


b. Hak wewenang pilih, hak kima cek, hak mendahulu (voorkeursrecht)
c. Hak menikmati hasil (genotsrecht)
d. Hak pakai (gebruiksrecht) dan hak menggarap/mengolah (ontginningsrecht)
e. Hak imbalan jabatan (amblelijk profift recht)
f. Hak wenang beli (naastingsrecht)
Tampaknya ada beberapa hak yang dilihat dari terjemahannya mirip satu sama
lain, tapi karena kita ketahui bahwa asas yang dianut masing – masing sistem hukum itu
berlainan, maka arti sebenarnya dari masing – masing hak itu berlainan pula.

USAHA PENYESUAIAN HUKUM AGRARIA KOLONIAL DENGAN KEADAAN


DAN KEPERLUAN SESUDAH KEMERDEKAAN.

Dalam alam kemerdekaan, masalah – masalah keagrariaan yang timbul telah


mendorong pihak – pihak yang berwenang untuk melakukan perubahan hukum agraria.
Tetapi usaha untuk melakukan perombakan hukum agraria, ternyata tidak mudah dan
memerlukan waktu.
Menurut pengamatan Boedi Harsono pertama-tama adalah menerapkan
kebijaksaan baru terhadap undang – undang keagrarian yang lama, melalui penafsiran baru
yang sesuai dengan situasi kemerdekaan, UUD 1945 dan dasar negara Pancasila. Seperti
halnya dalam menghadapi pemberian hak atas dasar pernyataan domein yang nyatanya
bertentangan dengan kepentingan hak ulayat yang nyatanya bertentangan dengan kepentingan
hak ulayat sebagai hak-hak rakyat atas tanah.
Langkah kedua menurut Boedi Harsono sambil menunggu terbentuknya hukum
agraria yang baru, adalah dikeluarkannya pelbagai peraturan yang dimaksudkan untuk
meniadakan beberapa lembaga feodal dan kolonial, misalnya :

a. Dengan UUPA No. 13/194/8 jo UU No. 5/1950 meniadakan lembaga apanage


suatu lembaga yang mewajibkan para penggarap tanah raja untuk
menyerahkan seperdua atau sepertiga dari hasil tanah pertanian atau untuk
kerja paksa bagi para penggarap tanah pekarangan didaerah Surakarta dan
Yogyakarta.
b. Dengan UU no. 1/1958 menghapuskan “tanah partikelir” yaitu tanah-tanah
eigendom yang diberi sifat dan corak istimewa (kepada pemiliknya diberi hak
– hak pertuanan/landheerlijk rechten), yang bersifat ketatanegaraan, seperti
mengesahkan hasil pemilihan / menghentikan kepala – kepala desa/kampung,
hak  untuk menuntut kerja paksa atau memungut uang pengganti kerja paksa,
dan lain – lain.
c. Dengan UU no. 6 tahun 1951, mengubah peraturan persewaan tanha rakyat.
Pembatasan masa sewa dan besarnya sewa, dan kemudian UU No. 38 Prp
1960.
d. Melakukan pengawasan atas pemindahan hak atas tanah dengan UU. No. 1
(dar) 1952.
e. Melarang dan menyelesaikan soal pemakaian tanah tanpa izin dengan UU
No.8 (dar) tahun 1954 jo UU no. 1 (dar) 1956.
f. Dengan UU No. 2 tahun 1960, melakukan pembaruan pengaturan perjanjian
bagi hasil.

USAHA PENYESUAIAN HUKUM AGRARIA KOLONIAL DENGAN KEADAAN


DAN KEPERLUAN SESUDAH KEMERDEKAAN.

Dalam alam kemerdekaan, masalah – masalah keagrariaan yang timbul telah mendorong
pihak – pihak yang berwenang untuk melakukan perubahan hukum agraria. Tetapi usaha untuk
melakukan perombakan hukum agraria, ternyata tidak mudah dan memerlukan waktu.
Menurut pengamatan Boedi Harsono pertama-tama adalah menerapkan kebijaksaan baru
terhadap undang – undang keagrarian yang lama, melalui penafsiran baru yang sesuai dengan situasi
kemerdekaan, UUD 1945 dan dasar negara Pancasila. Seperti halnya dalam menghadapi pemberian
hak atas dasar pernyataan domein yang nyatanya bertentangan dengan kepentingan hak ulayat yang
nyatanya bertentangan dengan kepentingan hak ulayat sebagai hak-hak rakyat atas tanah.
Langkah kedua menurut Boedi Harsono sambil menunggu terbentuknya hukum agraria
yang baru, adalah dikeluarkannya pelbagai peraturan yang dimaksudkan untuk meniadakan beberapa
lembaga feodal dan kolonial, misalnya :

a. Dengan UUPA No. 13/194/8 jo UU No. 5/1950 meniadakan lembaga apanage suatu
lembaga yang mewajibkan para penggarap tanah raja untuk menyerahkan seperdua
atau sepertiga dari hasil tanah pertanian atau untuk kerja paksa bagi para penggarap
tanah pekarangan didaerah Surakarta dan Yogyakarta.
b. Dengan UU no. 1/1958 menghapuskan “tanah partikelir” yaitu tanah-tanah eigendom
yang diberi sifat dan corak istimewa (kepada pemiliknya diberi hak – hak
pertuanan/landheerlijk rechten), yang bersifat ketatanegaraan, seperti mengesahkan
hasil pemilihan / menghentikan kepala – kepala desa/kampung, hak  untuk menuntut
kerja paksa atau memungut uang pengganti kerja paksa, dan lain – lain.
c. Dengan UU no. 6 tahun 1951, mengubah peraturan persewaan tanha rakyat.
Pembatasan masa sewa dan besarnya sewa, dan kemudian UU No. 38 Prp 1960.
d. Melakukan pengawasan atas pemindahan hak atas tanah dengan UU. No. 1 (dar)
1952.
e. Melarang dan menyelesaikan soal pemakaian tanah tanpa izin dengan UU No.8 (dar)
tahun 1954 jo UU no. 1 (dar) 1956.
f. Dengan UU No. 2 tahun 1960, melakukan pembaruan pengaturan perjanjian bagi
hasil.

PENUTUP

Kesimpulan

Hukum agraria yang sekarang berlaku di indonesia merupakan pembaharuan dari


sistem hukum agraria lama yang dahulu di gunakan pada saat kolonial belanda yang dimana
pada saat kolonial terjadi dualisme hukum yang dimana dualisme tersebut menjadi
permasalahan yang penting bagi pemerintah pada saat itu. Oleh karena itu pada tahun 1960,
di buatlah UUPA untuk mengapuskan dualisme hukum yang berlaku dan pada tanggal 24
september 1960 UUPA menjadi undang-undang yang mengatur tentang tanah dan mengatur
tentang hak-hak yang menyangkut tentang tanah.

DAFTAR PUSTAKA

http://unjalu.blogspot.com/2011/03/hukum-agraria.html
http://azharnurfajaralam.blogspot.com/2013/11/makalah-pengertian-agraria.html
http://kreket-kreket.blogspot.com/2011/02/hukum-agraria.html

Anda mungkin juga menyukai