A. Latar Belakang
Sejarah Hukum Agraria yang berlaku sebelum Indonesia merdeka masih
menggunakan hukum barat yaitu Agrarische Wet yang memberikan jaminan hukum kepada
pengusaha swasta, dengan Hak Erpacht dan Agrarische Besluit yang melahirkan azas Domein
Verklaring dimana semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak
Eigendom nya adalah domein atau milik negara. Maka tanah-tanah diatur dengan hak-hak
barat seperti tanah eigendom, tanah erfacht, tanah postal dan lain-lain. Sedang tanah-tanah
yang dikenal dengan hak-hak Indonesia adalah tanah-tanah ulayat, tanah milik, tanah usaha,
tanah gogolan, tanah bengkok, tanah agrarich eigendom.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Perkembangan Hukum Agraria di Indonesia Dari Masa
Kolonial hingga Revolusi?
2. Bagaimana Penyesuaian Hukum Agraria Yang Bersifat Kolonial Dengan Keadaan
Sesudah Kemerdekaan?
PEMBAHASAN
1. Hukum agraria lama sebagian tersusun berdasarkan tujuan dan sendi – sendi dari
pemerintah jajahan, dan sebagian lainnya dipengaruhi olehnya, hingga bertentangan
dengan kepentingan rakyat didalam melaksanakan pembangunan nasional
2. sebagai akibat dari politik pemerintah jajahan itu, hukum agraria lama bersifat
dualisme, yaitu berlakunya peraturan – peraturan hukum adat disamping peraturan –
peraturan dari dan yang didasarkan atas hukum barat, yang akan menimbulkan
pelbagai masalah antar golongan yang seba sulit juga tidak sesuai dengan cita – cita
persatuan bangsa.
3. Bagi rakyat asli hukum agraria penjajahan tidak menjamin kepastian hukum seluruh
rakyat Indonesia.
1. Agrarische Wet (Stb. 1870 : 55) yang termuat dalam pasal 51 Wet op de
Staatsinrichting voor Nederlands Indie (Stb. 1925 : 479) dan ditentukan dari ayat –
ayat pasal itu.
2. .a. Algemeene Domein Verklaring tersebut dalam pasal 1 Agrarische Besluit(Stb.1870
:118)
3. Koninklijke Besluit tanggal 16 April 1872 No. 29 (Stb. 1872:177) dan peraturan
pelaksanannya.
4. Buku II Kitab Undang – Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang yang mengenai
bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kecuali ketentuan –
ketentuan mengenai hipotik yang masih berlaku pada mulia berlaku undang – undang
ini.
Sejarah hukum belanda perlu diingat bahwa setelah kerajaan belanda menjadi
Negara monarki konstitusional. Pemerintah di Hindia Belanda dalam menjalankan tugas-
tugasnya terkuat dalam bentuk Undang-Undang (Wet) yang dikenal dengan RR (Regeling
Reglement) tahun 1855 (Stb. 1855:2).
Politik agraria tercantum daam pasal 62 RR yang terdiri dari 3 ayat yang antara
lain menggariskan bahwa gubernur jenderal tidak boleh menjual tanah dan bahwa gubernur
jenderal dapat menyewakan tanah berdsarkan ketentuan ordonansi.
Tujuan dari Agrarische Wet adalah untuk memberi kemungkinan dan jaminan
kepada modal besar asing agar dapat berkembang di Indonesia, dengan pertama – tama
membuka kemungkinan untuk memperoleh tanah dengan hak erfpacht yang berjangka waktu
lama.
Agrarische Wet lahir atas desakan masyarakat pemilik modal besar swasta, yang
pada masa kultur stelsel (tanam paksa) sebelumnya terbatas sekali kemungkinannya untuk
berusaha dalam lapangan perkebunan besar. Kesempatan yang ada sebelumnya hanyalah
melalui sewa tanah, yang pada masa tanam paksa, kemungkinan itu sesuai dengan politik
monopoli pemerintah justru ditutup.
Dalam alam kemerdekaan, masalah – masalah keagrariaan yang timbul telah mendorong
pihak – pihak yang berwenang untuk melakukan perubahan hukum agraria. Tetapi usaha untuk
melakukan perombakan hukum agraria, ternyata tidak mudah dan memerlukan waktu.
Menurut pengamatan Boedi Harsono pertama-tama adalah menerapkan kebijaksaan baru
terhadap undang – undang keagrarian yang lama, melalui penafsiran baru yang sesuai dengan situasi
kemerdekaan, UUD 1945 dan dasar negara Pancasila. Seperti halnya dalam menghadapi pemberian
hak atas dasar pernyataan domein yang nyatanya bertentangan dengan kepentingan hak ulayat yang
nyatanya bertentangan dengan kepentingan hak ulayat sebagai hak-hak rakyat atas tanah.
Langkah kedua menurut Boedi Harsono sambil menunggu terbentuknya hukum agraria
yang baru, adalah dikeluarkannya pelbagai peraturan yang dimaksudkan untuk meniadakan beberapa
lembaga feodal dan kolonial, misalnya :
a. Dengan UUPA No. 13/194/8 jo UU No. 5/1950 meniadakan lembaga apanage suatu
lembaga yang mewajibkan para penggarap tanah raja untuk menyerahkan seperdua
atau sepertiga dari hasil tanah pertanian atau untuk kerja paksa bagi para penggarap
tanah pekarangan didaerah Surakarta dan Yogyakarta.
b. Dengan UU no. 1/1958 menghapuskan “tanah partikelir” yaitu tanah-tanah eigendom
yang diberi sifat dan corak istimewa (kepada pemiliknya diberi hak – hak
pertuanan/landheerlijk rechten), yang bersifat ketatanegaraan, seperti mengesahkan
hasil pemilihan / menghentikan kepala – kepala desa/kampung, hak untuk menuntut
kerja paksa atau memungut uang pengganti kerja paksa, dan lain – lain.
c. Dengan UU no. 6 tahun 1951, mengubah peraturan persewaan tanha rakyat.
Pembatasan masa sewa dan besarnya sewa, dan kemudian UU No. 38 Prp 1960.
d. Melakukan pengawasan atas pemindahan hak atas tanah dengan UU. No. 1 (dar)
1952.
e. Melarang dan menyelesaikan soal pemakaian tanah tanpa izin dengan UU No.8 (dar)
tahun 1954 jo UU no. 1 (dar) 1956.
f. Dengan UU No. 2 tahun 1960, melakukan pembaruan pengaturan perjanjian bagi
hasil.
PENUTUP
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
http://unjalu.blogspot.com/2011/03/hukum-agraria.html
http://azharnurfajaralam.blogspot.com/2013/11/makalah-pengertian-agraria.html
http://kreket-kreket.blogspot.com/2011/02/hukum-agraria.html