Anda di halaman 1dari 25

Hari Tani Nasional : 63 Tahun Perayaan Tanpa Keadilan, Praktik

Kolonial Yang Tidak Berkesudahan, dan Kapitalisasi Pertanian Tanpa


Mengindahkan Kaum Tani Keseluruhan.

Latar Belakang
1. Pandangan Historis Tentang Kebijakan Hukum Pertanahan Indonesia
Lamanya penjajahan Negara Belanda terhadap Indonesia sangat mempengaruhi kondisi di
berbagai bidang dalam perikehidupan di Indonesia, salah satu hal yang mengalami banyak
pengaruh hukum Belanda adalah hukum dan politik pertanahan atau hukum agraria di
Indonesia. Pada era Kolonialisme di Indonesia hukum Agraria Wet 1865, yang juga dikenal
sebagai "Staatsblad 1865 No. 194," merupakan landasan hukum penting yang digunakan oleh
pemerintah Hindia Belanda untuk mengatur kepemilikan dan penggunaan tanah di wilayah
Indonesia pada masa kolonial. Undang-undang ini memberikan kontrol penuh atas tanah
kepada pihak Belanda, mengizinkan mereka untuk menguasai lahan secara besar-besaran.
Setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Hukum Agraria Wet 1865 masih menjadi
dasar hukum agraria. Namun, pemerintah Indonesia mulai melakukan reformasi agraria untuk
mengakhiri sistem tanah sewa dan mengembalikan tanah kepada rakyat. Hal ini mengakibatkan
perubahan signifikan dalam hukum agraria.
Agrarische Wet (S.1870-55) merupakan suatu undang-undang agraria sebagai pokok
pangkal dari berbagai ketentuan hukum agraria yang dihasilkan pemerintah Belanda pada saat
menjajah Indonesia, diantara sekian banyak produk hukum agraria saat itu terdapat sebuah
ketentuan yang dikenal dengan istilah Agrarisch Besluit/Keputusan Agraria (berlaku di Jawa
dan Madura), yang mana di dalam ketentuan tersebut ada sebuah asas yang disebut Asas
Domein Verklaring yaitu suatu pernyataan umum bahwa semua tanah yang tidak dapat
dibuktikan kepemilikannya sebagai hak eigendom adalah tanah milik negara. Berdasarkan asas
tersebut, maka golongan Bumi Putera yang memiliki tanah berdasarkan hukum adat harus
menyesuaikan atau tunduk pada ketentuan hukum Eropa dengan mengubah status kepemilikan
tanahnya sesuai ketentuan KUH Perdata (ex Pasal 570 tentang hak eigendom) agar mereka
tidak kehilangan tanah yang dimilikinya itu. Apabila ketentuan tersebut tidak diikuti, maka
semua tanah rakyat Indonesia menjadi milik negara (Hindia Belanda), kecuali tanah-tanah
swapraja, tanah-tanah partikelir, tanah hak eigendom milik rakyat Indonesia, dan tanah-tanah
hak agrarisch eigendom yang menjadikannya memprihatinkan dan sangat tidak adil bagi rakyat
indonesia.
Hukum agrarianya bersifat dualistis Pada masa penjajahan Belanda, di Indonesia terdapat
pembagian golongan penduduk sesuai dengan ketentuan Pasal 160 jo Pasal 131 IS yang
menyebutkan masyarakat yang berada di Indonesia/Hindia Belanda dibagi menjadi 3 golongan
penduduk. Golongan Eropa yang terdiri dari semua orang Belanda, orang Eropa lainnya, Orang
jepang, semua orang dari berbagai negara yang tunduk pada hukum Belanda, golongan Bumi
Putera yang terdiri dari semua orang Indonesia asli dan mereka yang membaurkan diri dalam
kehidupan rakyat Indonesia asli, dan golongan Timur Asing yang terdiri dari semua orang yang
bukan termasuk golongan Eropa dan golongan Timur Asing. Bagi masing-masing golongan
sebagaimana tersebut diatas, berlaku ketentuan-ketentuan agraria/pertanahan yang berbeda-
beda, sehingga tidak ada unifikasi/keseragaman dalam hukum pertanahannya. Bagi golongan
Eropa berlaku hukum pertanahan yang dibuat tersendiri oleh pemerintah Belanda di Indonesia
selain berlaku juga ketentuan Buku II KUH Perdata, sedangkan bagi golongan Bumi Putera
berlaku ketentuan pertanahan sesuai dengan hukum adat yang berlaku di masing-masing
daerahnya, walaupun pada saat-saat tertentu apabila kepentingan menghendakinya maka
golongan Bumi Putera harus tunduk pada ketentuan pertanahan yang berlaku bagi golongan
Eropa, sementara itu ketentuan pertanahan yang berlaku bagi golongan Timur Asing
disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhannya, kadang-kadang mereka harus tunduk pada
hukum Eropa tetapi seringkali mereka pun harus mengikuti hukum adat setempat.
Hukum Agraria Barat yang digunakan berjiwa Liberal individualistis. Salah satu sumber
hukum agraria pada masa penjajahan Belanda di Indonesia adalah KUH Perdata terutama buku
ke-II, yang diberlakukan di Indonesia berdasarkan asas konkordansi atau asas penyesuaian
dengan ketentuan pertanahan yang berlaku di negara Belanda sendiri yaitu dari Burgerlijk
Wetboek (BW) sebagai hasil pengkodifikasian dari Code Civil Perancis setelah Revolusi
Perancis tahun 1789. Ketentuan pertanahan yang diberlakukan bagi golongan Eropa pada saat
itu termasuk KUH Perdata berpangkal pada suatu kebebasan individu atau bersifat liberal. Hal
ini dapat dibuktikan dengan adanya ketentuan Pasal 570 KUH Perdata yang menyatakan
bahwa hak eigendom adalah hak yang memberi wewenang penuh untuk menikmati kegunaan
suatu benda (tanah) untuk berbuat bebas terhadap benda atau tanah tersebut dengan kekuasaan
penuh sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya
yang ditetapkan oleh badan-badan penguasa yang berwenang dan tidak mengganggu hak-hak
orang lain. Pasal tersebut menggambarkan betapa seorang individu memiliki kebebasan yang
mutlak dan penuh atas apa yang dimilikinya dalam hal ini tanah, walaupun ada pembatasan
dan alam perkembangannya ternyata kebebasan itu tetap harus memperhatikan hak dan
kepentingan orang lain, hal ini dapat kita buktikan dengan adanya Arrest Hoge Raad Belanda
tanggal 31 Januari 1919 yang memberikan tafsiran pada definisi “Perbuatan Melawan Hukum”
yang kemudian arrest tersebut dijadikan sebagai standar Arrest.
Setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Hukum Agraria Wet 1870 masih menjadi
dasar hukum agraria. Namun, pemerintah Indonesia mulai melakukan reformasi agraria untuk
mengakhiri sistem tanah sewa dan mengembalikan tanah kepada rakyat. Hal ini mengakibatkan
perubahan signifikan dalam hukum agraria. Sejak tanggal 24 September 1960, politik
pertanahan di Indonesia mengalami perubahan yang sangat penting artinya bagi kehidupan
bangsa Indonesia. Pada saat itu pembagian golongan penduduk telah dihapuskan sehingga
diupayakan adanya unifikasi dalam bidang pertanahan termasuk mengenai ketentuan
hukumnya, maka pada tanggal 24 September 1960 disahkan sekaligus diberlakukan Undang-
Undang Pokok Agraria (UUPA) yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, dengan
demikian semua ketentuan agraria yang ada termasuk dalam Buku II KUH Perdata sepanjang
telah diatur dalam undang-undang ini menjadi tidak berlaku lagi dan seluruh kehidupan bangsa
Indonesia harus senantiasa mengacu pada nilai-nilai Pancasila, sehingga isi dari Undang-
Undang Pokok Agraria pun diselaraskan dengan nilai-nilai Pancasila, apabila ditelaah isi dari
undang-undang yang dimaksud, maka tidak lagi bersifat liberal individualistis tetapi sangat
bersifat kekeluargaan sebagaimana tersurat dan tersirat dalam dasar negara Indonesia yaitu
Pancasila. Ada beberapa ketentuan dalam UUPA yang dapat membedakan dengan ketentuan
pertanahan yang lama sebelum undang-undang ini berlaku, antara lain ketentuan Pasal 2 ayat
1 UUPA tentang Hak Menguasai dari Negara yang menyatakan bahwa Atas dasar ketentuan
dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 dan hal-hal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 yaitu bumi, air dan ruang angkasa termasuk tanah beserta kekayaan alam yang
terkandung didalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi
kekuasaan seluruh rakyat. Pernyataan tersebut telah memberikan interpretasi politik mengenai
kata “dikuasai” dalam hal ini mengandung arti bukan memiliki, jadi tetap tujuan utama adalah
kesejahteraan rakyat Indonesia. Hal lain yang tak kalah pentingnya yaitu mengenai “asas tanah
memiliki fungsi sosial” sebagaimana termuat dalam ketentuan Pasal 6 UUPA, sehingga
seseorang walaupun ia memiliki kekuasaan penuh atas sebidang tanah tapi tanah tersebut
memiliki fungsi sosial maksudnya bahwa apabila suatu saat kepentingan umum
menghendakinya maka tanah tersebut harus diserahkan kepada negara untuk kepentingan
umum tersebut tentu saja disertai dengan sejumlah kompensasi terhadap pemiliknya, atau
penggunaan sebidang tanah oleh pemiliknya tidak boleh bertentangan dengan undang-undang,
ketertiban umum, kesusilaan dan kepentingan hukum orang lain.
Pada dasar dan harfiah, Hari Tani dirayakan untuk menghormati dan mengapresiasi peran
petani di semua sektor. Namun, dalam beberapa kasus yang sering terjadi, terdapat peraturan
atau kebijakan pemerintah yang mungkin bertentangan dengan semangat Hari Tani dan inilah
yang sering terjadi di negara ini dan justru momentum ini menjadikan seruan rakyat untuk
melawan ketidak relevan an atas kebijakan dan tata peraturan yang cacat secara instrumental
yang memberat kan berbagai pihak khusus nya para petani. 63 tahun bukan lah waktu yang
singkat dari banyak problematik yang sudah dilewati bangsa ini baik itu undang-undang yang
diamandemen beberapa kali untuk kerelevanan tatanan negara namun di sektor pertanian
semakin hari tidak ada kejelasan yang mampu membuat Kapitalis bungkam dengan ada nya
peraturan dan kebijakan yang seharus nya peraturan hukum itu dibuat untuk mencegah sebelum
pelanggaran dalam kejelasan produk hukum itu dibuat tapi apa, justru hukum dan kebijakan
itu sendiri dijadikan produk untuk mempermainkan petani seolah-olah hal ini dibuat untuk
petani tapi apa benar begitu, malah sebaliknya hal ini menjadikan nya bentuk nyata akan
dukungan kantong bagi sebagian orang dan pengusaha dan memperbesar perut mereka dengan
kebijakan yang memberatkan petani.

2. Praktik Kolonialisme dan Kapitalisme dalam Pembangunan Industri


Pertanian Kontemporer.
Penjelasan mengenai perubahan agraria dalam dunia modern yang berfokus pada
analisis kapitalisme dan pembangunan. Dalam kapitalisme, sistem produksi dan reproduksi
berbasis pada relasi sosial antara kapital dan buruh: kapital mengeksploitasi buruh demi
mengejar keuntungan dan akumulasi. Kapitalisme telah bercokol dalam sektor agraria sejak
sebelum revolusi industri berlangsung di Eropa Barat. Marx telah menganalisis modus
produksi kapitalis dengan merujuk pada kapitalisme industrial dengan mempertanyakan dua
hal. Pertama, bagaimana kapitalisme dibangun di masyarakat agraria awal sebelum industrial.
Kedua, bagaimana perubahan agraria dibentuk oleh kapitalisme industri.
Melalui pengenalan akumulasi primitif dalam praktik pembentukan masyarakat
kapitalis, perhitungan dan penguatan modal-profit menjadi hal yang paling diutamakan.
Akumulasi primitif merupakan proses dimana masyarakat pra kapitalis melakukan transisi
menjadi masyarakat kapitalis. Keadaan sosial dari produksi kapitalis, eksploitasi dan akumulasi
telah ditetapkan melalui sarana yang tersedia pada masyarakat pra kapitalis. Dengan demikian,
akumulasi primitif diidentifikasi sebagai relasi dan dinamika non pasar atau “paksaan
ekonomi”. Melalui akumulasi primitif inilah, dengan perlahan petani dipisahkan dari alat
produksinya (terutama tanah) sehingga mereka menjadi buruh. Hannah Arendt melihat bahwa
akumulasi primitif yang menjadi awal dari akumulasi lebih lanjut, harus berjalan secara
berulang-ulang, karena jika tidak, motor penggerak akumulasi akan segera berhenti.
Akumulasi primitif ini menjadi suatu kekuatan yang penting dan terus hidup dalam geografi
historis akumulasi kapital melalui imperialisme. Di sini Bernstein membedakan asal mula
kapitalisme agrarian ke dalam dua hal. Pertama, melalui jalan transisi agraria seperti yang
terjadi di Inggris, Prusia dan Amerika. Kedua, melalui kapitalisme komersial dimana
kapitalisme agraria dilakukan melalui penjarahan dan kontrol buruh oleh kapital.
Kolonialisme yang diawali pada abad ke-16 dikendalikan oleh krisis feodalisme dan
berkembangnya kapitalisme. Kolonialisme mengalami perubahan bentuknya hingga di abad
ke-20 menjadi kapitalisme industri dan imperialisme modern. Investasi kolonial lebih
diarahkan pada sektor ekstraktif seperti perkebunan, penambangan dan menciptakan sarana
transportasi yang dapat menghubungkan pasar. Bernstein menjelaskan bahwa pola perubahan
agraria pada masa kolonial memiliki karakteristik tersendiri. Pertama, kolonialisme di Asia dan
Afrika terjadi selama konsolidasi ekonomi kapitalis dari akhir abad 19 hingga pertengahan
abad 20. Pemerintah kolonial menciptakan “perkebunan industrial” gaya baru yang
membutuhkan tenaga kerja besar yang diambil dari petani miskin dan pekerja yang tidak
memiliki tanah karena didorong kebutuhan ekonomi. Selain itu, perkebunan industrial
menuntut penanaman yang sesuai dengan kebutuhan pasar seperti karet, minyak sawit, katun,
makanan (kopi, teh, gula, cokelat dan pisang) sebagai konsumsi negara industri. Pola
perubahan yang lain yaitu bertambahnya penyatuan pertanian kolonial di Asia dan Afrika
sebagai produsen tanaman ekspor (katun, minyak sawit, karet, kacang tanah, tembakau, kopi
dan coklat), bahan pokok makanan untuk pasar domestik dan ekspor dan tenaga kerja, migrasi
tenaga kerja untuk membangun jalan kereta dan jalan aspal untuk bekerja di perkebunan,
pertambangan dan pelabuhan. Dalam konteks Indonesia, menguatnya ekonomi politik borjuis
Belanda mempengaruhi pembentukan politik pertanahan, khususnya hubungan negara dengan
tanah. Strategi ini dilakukan untuk mempermudah kapitalisasi di sektor perkebunan bagi para
pengusaha.
Feodalisme berasal dari bahasa Inggris yakni feudalism. Istilah dari feudal sendiri juga
berasal dari bahasa latin, Feudum yang artinya juga sama seperti fief adalah sebidang tanah
yang diberikan untuk sementara (bukan permanen, hanya selama menjabat saja) dipegang oleh
vasal (penguasa bawahan atau pemimpin militer) sebagai suatu imbalan atas yang berikan
kepada lord yang sebagai pemilik tanah. Berarti feodalisme merupakan penguasaan yang
berkaitan dengan permasalahan kepemilikan tanah. Jika feodal berkaitan dengan sebidang
tanah, maka feodalisme merupakan struktur pendelegasian kekuasaan sosial politik yang
diterapkan pada kalangan bangsawan maupun monarki guna mengendalikan berbagai wilayah
yang diklaimnya melalui Kerjasama dengan pemimpin lokal lainnya sebagai mitra. Bagi para
sejarawan struktur inipun disematkan pada sistem politik Eropa di abad pertengahan.
Diantaranya kalangan ksatria dan kelas bangsawan lainnya (vassal) sebagai penguasa kawasan
atau hak tertentu yang disebut fiel atau feodum ditunjuk langsung oleh raja atau monarki. Pada
abad ke-17, istilah feodalisme digunakan sejarawan memperluas penggunaan istilahnya
bersamaan dengan aspek kehidupan sosial para pekerja lahan di tempat yang dikuasai oleh tuan
tanah, sehingga muncul istilah masyarakat feodalisme. Penggunaan kata tersebut berkembang
dan seringkali digunakan pada perilaku perilaku yang mirip para penguasa yang zalim, dengan
kata lain kolot, selalu ingin dihormati atau bertahan pada nilai lama yang sudah ditinggalkan.
Paham feodal berada pada tangan kerajaan (raja berkuasa) yang berkoalisi dengan kroni kroni
bawahannya. Hal tersebut dimaksudkan sebagai kekuasaan absolut yang berkaitan dengan
seluruh isi negara meliputi seluruh kekayaan alamnya, bumi dengan segala isinya, hingga
semua yang bergerak diatasnya adalah milik raja. Berarti semua harta milik rakyat pun jika raja
menginginkannya, seorangpun tidak bisa menghalanginya. Seperti yang sudah kita ketahui
bilamana rakyat memiliki anak berparas rupawan akan diminta menjadi selirnya Raja hingga
Punggawanya, mereka harus merelakannya.
2.2 Bagaimana Struktur Sosial Masyarakat Dalam Penguasaan Sumber Daya.
Bernstein menyebut ada empat pertanyaan kunci untuk melihat relasi sosial dari
produksi dan reproduksi dalam ekonomi politik agraria. Pertama, siapa memiliki apa.
Pertanyaan ini berfokus pada hubungan sosial dari perbedaan rezim property/kepemilikan:
bagaimana produksi dan reproduksi didistribusikan. Kedua, siapa melakukan apa. Pertanyaan
ini terkait dengan siapa yang melakukan aktivitas produksi dan reproduksi yang tersusun oleh
hubungan sosial dalam unit produksi, produser, laki-laki dan perempuan dan perbedaan kelas
dalam masyarakat agraria. Ketiga, siapa mendapatkan apa. Keempat, apa yang mereka lakukan
dengan itu (Nurcahyanti, 2023).
Formasi kelas utamanya didasarkan melalui hubungan sosial dan produksi. Perbedaan
kelas hanya mampu diidentifikasi hubungannya melalui kelas lain. sekarang kelas ini menjadi
subjek dalam proses dispossession dan marginalisasi yang berimplikasi pada berkurangnya
jumlah petani kecil karena pertanian kapitalis tidak lagi membutuhkan keberadaan mereka.
Beberapa ilmuwan melihat bahwa petani keluarga di Selatan sebagai kelas yang secara historis
dieksploitasi oleh kapital dan negara serta menjadi pusat akumulasi selama periode
kolonialisme dan pembangunan. Namun di era neoliberalisme seperti saat ini, kelas menjadi
subjek dari disposisi, atau global depeasantization.
Dalam konteks penguasaan sumber daya agraria, kekuasaan kapital menggunakan
strategi ganda yaitu dengan mereka mengalokasikan pendapatan untuk harga tinggi/investasi
jangka panjang dan membuka serta mengadaptasi wilayah baru untuk pengembangan industri.
Strategi investasi ini didukung oleh kebijakan diskursif yang diperkuat oleh negara, non negara,
agen parastatal dan dibentuk oleh pemerintahan ekstraktif yang didukung oleh kapitalis dan
logika kekuasaan teritorial. Untuk itulah perusahaan mengontrol sumber daya dan (minimal)
tenaga kerja yang dibutuhkan untuk memproduksi.

2.2.1 Ulah Tuan Tanah dan Para Kapitalis Pertanian


Tuan tanah adalah orang yang memiliki tanah berhektar-hektar dan menyewakannya
kepada para penggarap. Kapitalis pertanian adalah orang yang memiliki tanah berhektar-hektar
dan menjadikannya lahan-lahan agrobisnis (para kapitalis pertanian). Eksploitasi
(penghisapan) secara langsung dan vulgar terjadi di antara tuan tanah dan kapitalis pertanian
di satu sisi dan petani penggarap dan proletar tanah di sisi lain (Dr. Cahyo Sasmito, 2018).
Dengan kata lain, tuan tanah dan kapitalis pertanian adalah kaum penghisap, sedangkan petani
penggarap dan buruh tani adalah kaum yang terhisap. Petani gurem dan petani menengah tidak
mengalami penghisapan secara langsung dan vulgar, tetapi menjadi pihak yang selalu kalah.
Petani gurem berusaha bertahan hidup dengan menggulati tanah yang hanya sejengkal,
“kemurahan” alam, dan hama, dengan perkakas pertanian yang sederhana serta dibebani harga
pupuk, tengkulak, dan rentenir. Kekalahan dalam pergulatan itu akan membuatnya menjadi
buruh tani atau pergi mencari pekerjaan di kota dengan kemungkinan menjadi buruh, kuli
bangunan, pengayuh becak, atau malah Lumpenproletariat.

Adam Smith mengikuti fisiokrat Francois Quesnay, bahwa untuk mengidentifikasi


kekayaan suatu bangsa dapat tercermin dari pendapatan nasional negara itu, bukan kekayaan
yang dimiliki raja (Rahmawati, 2023). Adam Smith melihat pendapatan nasional ini dihasilkan
oleh tenaga kerja, tanah, dan modal. Dengan hak milik atas tanah dan modal yang dipegang
oleh individu, pendapatan nasional dibagi antara buruh, tuan tanah, dan kapitalis dalam bentuk
upah, sewa, dan bunga atau laba. Dalam visinya, tenaga kerja produktif adalah sumber
pendapatan sejati, sementara modal adalah kekuatan pengorganisasian utama, meningkatkan
produktivitas tenaga kerja dan mendorong pertumbuhan. Berlanjut mengenai sistem mudah
kapitalisme agraria dimana Kapitalisme Agraria memberi tekanan pada tuan tanah dan
penyewa untuk meningkatkan produktivitas pertanian agar mendapat untung; Persyaratan sewa
tanah menjadi tunduk pada kekuatan pasar ekonomi daripada sistem stagnan adat dan
kewajiban feodal sebelumnya. Hal seperti ini yang mewujudkan mengapa para petani kelas
bawah menjadi semakin terhisap dan menderita pada realita kehidupan.

2.2.2 Buruh Tani Sebuah Kelas Kerapkali Tertindas

Buruh tani adalah orang yang menjual tenaga mereka kepada para kapitalis pertanian
dan bekerja di lahan-lahan agrobisnis mereka, demi sepeser upah yang hanya bisa digunakan
untuk bertahan hidup. Eksploitasi terhadap kaum buruh tani terjadi secara langsung dan vulgar
diantara tuan tanah dan para kapitalis pertanian mengerjakan mereka secara habis-habisan
dalam mengelola lahan milik pemodal dengan bayaran yang tidak sesuai (Nurdin, 2018). Pada
dasarnya, lahan pertanian akan mewujudkan sebuah entitas dari berbagai kalangan petani yang
berbeda-beda. Bagi para tuan tanah, kapitalis pertanian, dan kelas petani menengah, tanah
memiliki fungsi utama untuk menciptakan keuntungan. Sedangkan bagi para buruh tani, fungsi
utama tanah adalah untuk mempertahankan hidup mereka dan keluarga. Dalam pada itu,
sebagai lapisan yang secara umum merupakan lanjutan langsung dari feodalisme, petani
memiliki keterikatan yang kuat dengan tanah. Wujud-wujud atau lapisan-lapisannya memiliki
aspirasi dasar yang sama: kepemilikan pribadi atas tanah. Dalam kenyataannya, sejarah
memperlihatkan kepada kita, bahwa pemberontakan-pemberontakan kaum tani kecil memiliki
ciri yang sama: menuntut kepemilikan pribadi atas tanah. Sejarah juga menunjukkan bahwa
dalam tiap-tiap konflik agraria, petani gurem dan petani menengah berusaha mempertahankan
kepemilikan pribadi mereka atas tanah, demikian juga para tuan tanah dan kapitalis pertanian.

2.2.3 Kepemilikan Tanah Dalam Gurita Kapitalisme


Kepemilikan tanah menjadi sebuah kuasa atas penetapan seluruh porsi dunia sebagai
area eksklusif untuk kehendak pribadi para pemiliknya dengan mengeksklusikan semua yang
lain. Kehendak pribadi ini yang akan terus membuat para petani kelas bawah tidak memiliki
akses yang sempurna dalam mengikuti persaingan pasar. Bentuk-bentuk penguasaan atau
kepemilikan semakin menghimpit para petani kelas bawah yang memiliki tanah ataupun lahan
produktif dalam angka/luasan yang kecil. Praktik riil pada kondisi saat ini, kekayaan alam, aset
nasional, dan sumber penghidupan rakyat hanya dimiliki oleh segelintir penguasa modal.
Menurut data Badan Pertanahan Nasional (BPN, 2010), kurang lebih 56% aset nasional
dikuasai hanya 0,2% dari penduduk Indonesia. Dengan kenyataan semacam ini, dapat
dikatakan bahwa para petani pedesaan sudah kehilangan jaminan tenurial security atau
perlindungan atas kepastian dan keberlangsungan penguasaan rakyat atas tanah dan kekayaan
alam.
Masyarakat petani pedesaan yang hidup di sekitar/dalam kawasan perkebunan,
pertambangan hutan, dan sumber-sumber agraria lainnya (yang kerap) dianggap sebagai
masalah dan ancaman akan menjadi bagian yang akan disingkirkan paksa. Jika masih dan mau
ditundukkan, mereka akan menjadi cadangan buruh murah, tentu setelah mereka terputus
hubungan dengan aset tanah dan alam mereka. Proses terlemparnya petani pedesaan dari
hubungan-hubungan tradisionalnya dengan tanah dan alam menjadikan mereka hanya
berpangku pada tenaga dirinya sendiri. Sementara untuk berkompetisi di wilayah
industrialisasi perkotaan, mereka tak cukup keterampilan dan pengetahuan. Barangkali di
tengah “ketiadaan pilihan” itu apa pun akan mereka lakukan, sekadar untuk bisa bertahan
hidup, mempertahankan basis subsistensi mereka yang makin terancam. Meski harus jahit
mulut, harus dipukul, dipenjara, dibacok,dan ditembak mati.
3. Pertanian Indonesia Masih Belum Merdeka
Selama 74 tahun terakhir, sektor pertanian masih menjadi penggerak roda ekonomi
Indonesia dan masih berada di posisi teratas bersama sektor perdagangan dan sektor industri.
Meski dijuluki negeri agraris yang identik dengan pertanian, Indonesia bukan termasuk negara
dengan ketahanan pangan nasional yang cukup independen. Secara umum, ketahanan pangan
dapat dikatakan independen jika negara mampu memenuhi kebutuhan pangan penduduknya
secara mandiri tanpa tergantung pada impor pangan dari negara lain. Hal ini dapat dicapai
dengan meningkatkan produksi pangan dalam negeri yang pasti nya juga perlu untuk
memerhatikan kesejahteraan para petani, mengoptimalkan penggunaan lahan pertanian yang
ada, dan pemerintah juga perlu memperhatikan faktor-faktor lain seperti ketersediaan air,
teknologi pertanian yang modern, dan dukungan kebijakan yang memadai untuk meningkatkan
ketahanan pangan nasional.
Bila merefleksi lebih jauh permasalahan kesejahteraan petani, ada beberapa faktor yang
bisa menjadi jawaban mengapa petani di Indonesia belum bisa dikatakan sejahtera. Pertama,
instabilitas cuaca tentu sangat mempengaruhi produktivitas hasil panen. Petani bisa saja rugi
akibat cuaca ekstrem, harga pasar turun drastis, bahkan pada tingkat yang lebih ekstrim bukan
mustahil petani gagal panen pada satu musim. Permasalahannya adalah petani Indonesia sangat
minim memiliki teknologi yang mampu menanggulangi hal-hal yang tidak diinginkan dalam
kasus cuaca ekstrem. Kedua, masih berhubungan dengan minimnya teknologi pada sektor
pertanian, seringkali para petani kolot atau para petani berusia lanjut tidak bisa mengikuti
transisi teknologi pertanian yang sebetulnya memudahkan pekerjaan mereka. Ketiga, transisi
nilai terjadi pada para petani yang tercipta karena dampak dari kebijakan, contohnya saja
revolusi hijau besar-besaran yang terjadi pada era Soeharto. Revolusi hijau memang membawa
kemajuan khususnya dalam bidang pertanian, sayangnya hanya bersifat parsial bahkan dalam
jangka panjang akhirnya meninggalkan nilai kultur pada petani. Nilai kultur yang ditinggalkan
yakni penggunaan pupuk kimia atau non organik yang digunakan pada revolusi hijau era
Soeharto. Permasalahannya adalah, dalam penggunaan pupuk non organik, petani merasa jauh
lebih mudah karena hanya membutuhkan tenaga dan energi yang jauh lebih sedikit dibanding
jika memupuk sendiri dengan mengolah kompos sendiri. Hal ini menyebabkan para petani
sudah terlalu malas kembali menggunakan pupuk organik, pasalnya pupuk kimia tentan hama
dan lebih rentan dengan cuaca ekstrem, sehingga berdampak pada penurunan produktivitas
hasil panen dan menjadi faktor tidak sejahteranya petani lokal. Keempat, kurangnya modal
petani. Memang bersifat relatif, namun sangat menentukan. Aviliani, Sekretaris Ekonomi
Nasional menyebut bahwa petani Indonesia berada pada garis kemiskinan dengan penghasilan
yang sangat rendah, hal ini karena indeks aktivitas bertani yang masih sangat minim, dan hal
ini yang dapat mengakibatkan pihak bank maupun pemerintah tidak memberikan modal.
Minimnya kepemilikan modal dapat menyebabkan petani sulit mendapatkan luasan lahan
pertanian yang seimbang dengan kesejahteraan nya kelak, contoh dalam pertanian padi
misalnya petani baru bisa sejahtera jika memiliki 2 hektar sawah. Minimnya kepemilikan
modal juga dapat menyebabkan kurangnya modal untuk pemeliharaan tanaman pertanian,
seperti kurang modal dalam pemupukan, penyiraman, dan sebagainya, yang dimana hal-hal
tersebutlah dapat berdampak pada kualitas hasil panen. Kelima, faktor lain mengapa petani
lokal masih berada pada garis kemiskinan adalah faktor pendidikan, mayoritas petani lokal
didominasi oleh lulusan Sekolah Dasar. Jenjang pendidikan jelas memengaruhi tingkat
pengetahuan hingga keterampilan petani. Keenam, para petani tidak berkuasa atas harga pasar.
Menjadi petani seolah tentang bertaruh harga pasar yang tidak stabil dan cenderung naik-turun.
Permainan harga dari tengkulak pun seringkali merugikan pihak petani karena mereka membeli
komoditas dengan harga murah dan menjual ke pasaran dengan harga tinggi.

Rumusan Masalah
1. Bagaimana sistem pertanian subsisten di tengah proyek strategis nasional food estate
yang mengarah sistem korporasi
2. Apakah Food Estate dan Importasi Pangan merupakan bentuk yang konkret untuk
mencukupi kebutuhan pangan masyarakat
3. Dampak dari kebijakan “tanam paksa” yang dilakukan pemerintah terhadap petani
dalam program food estate

Pembahasan

1. Food Estate dan Kebebasan Impor Pangan Sebagai Bentuk Kejam


Kapitalisasi Pertanian
Kompleksitas permasalahan selama proyek food estate berlangsung tak pernah diurai
oleh Pemerintah. Jeritan rakyat yang dirugikan dengan adanya proyek ini tak pernah digubris.
Dengan perencanaan yang tidak matang, program berjalan terkesan terburu-buru mengejar
target yang telah ditentukan pimpinan komando, Dalam wawancara antara Mongabay dan
Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Sigit Hardwinarto, ia menyampaikan bahwa
kebijakan ini merupakan program strategis nasional yang disebutnya cukup mendesak.
Sayangnya, Presiden Joko Widodo dinilai mengabaikan peran masyarakat dalam menyediakan
pangan, memperparah perampasan lahan, dan rawan kerusakan lingkungan. Sikap arogan yang
tidak mengindahkan pentingnya duduk bersama inilah kemudian mengantar konflik menjadi
lebih tinggi.
Pengembangan proyek food estate ditopang oleh dasar hukum, yaitu Peraturan Presiden
No. 109 Tahun 2020.. Jika dianalisis dari isinya, kebijakan ini sarat kontroversi. Dari
penjelasan yang telah diuraikan sebelumnya, isu kritikal dari kebijakan ini tergolong multi-
faceted, multi sectors, long-term effect, divisible benefit, dan wide-range of change, sehingga
ia cenderung kompleks dan berpotensi konflik yang tinggi atau complex-pragmatic (Gambut,
2020).
1. Multi-faceted
Isu yang dibawa proyek ini bersinggungan dengan beberapa sektor kehidupan,
diantaranya lingkungan hidup, sosial budaya, kesehatan, hukum dan ekonomi.
2. Multi-sectors
Dari penjelasan ke-multifaset-an, pengerjaan proyek ini secara otomatis berhadapan
dengan kelompok yang sangat beragam, mulai dari pengamat ekonomi, aktivis lingkungan,
analis kebijakan publik, praktisi hukum dan kesehatan, ahli sosiolog dan antropolog.
3. Long-term effect
Meskipun proyek ini merupakan projek instan yang pengerjaannya kejar tayang dengan
periode rezim Joko Widodo, namun dampak kerusakan lingkungan akan dirasakan dalam
kurung waktu yang panjang.
4. Divisible goods
Luasnya polemik yang bermuara dari pelaksanaan proyek food estate sejatinya
mempersoalkan hal yang memuat nilai dari berbagai macam sudut pandang.
5. Wide-range of change
Setelah dirunut bahwa konflik yang berlangsung akibat proyek food estate ini
bersinggungan dengan beberapa sektor dan melibatkan banyak aktor, ini membawa
implikasi serius terhadap kualitas lingkungan hidup dalam jangka panjang, dan
menyangkut nilai dari berbagai macam latar belakang pemikiran, barang tentu perubahan
yang diproyeksikan pasca proyek ini akan bersifat multidimensi atau luas.

UU Pangan memandatkan agar berdaulat di bidang pangan, maka penyediaan pangan


dilakukan secara mandiri, sehingga impor dibatasi. Pasal 1, Pasal 14 dan Pasal 15 UU Pangan,
menyatakan bahwa ketersediaan dan sumber penyediaan pangan berasal dari produksi dalam
negeri dan Cadangan Pangan Nasional, serta Pemerintah mengutamakan produksi pangan
dalam negeri untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi Pangan. Ketika produksi dalam negeri
dan Cadangan Pangan Nasional tidak dapat memenuhi kebutuhan, Pasal 1, Pasal 14 dan Pasal
36 UU Pangan, memperbolehkan impor pangan sesuai dengan kebutuhan. Akan tetapi
kebijakan impor pangan oleh Pemerintah, berdasarkan Pasal 39 UU Pangan, tidak boleh
berdampak negatif terhadap keberlanjutan usaha tani, peningkatan produksi, kesejahteraan
Petani, Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Pelaku Usaha Pangan mikro dan kecil.
Pengarusutamaan produksi dalam negeri dan pembatasan impor pangan juga diatur dalam Pasal
15 UU Perlintan, yang menyatakan bahwa Pemerintah berkewajiban mengutamakan produksi
pertanian dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional, dan kewajiban
mengutamakan produksi pertanian dalam negeri dilakukan melalui pengaturan impor
komoditas pertanian sesuai dengan musim panen dan/atau kebutuhan konsumsi dalam negeri.
Pasal 33 dan Pasal 66 UU Cipta Kerja justru mengubah arah kedaulatan pangan dengan
mengubah ketentuan Pasal 14 UU Pangan dan Pasal 15 UU Perlintan dengan menyatakan
bahwa sumber penyediaan pangan berasal dari produksi pangan dalam negeri, cadangan
pangan nasional, dan impor pangan. Hal ini menunjukan bahwa impor pangan kedudukannya
sejajar dengan produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional, bukan lagi pembatasan
impor. Pasal 115 UU Cipta Kerja juga mengubah ketentuan Pasal 37 Undang-Undang Nomor
7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya dan Petambak
Garam (selanjutnya disebut UU Perlindungan), pengendalian impor perikanan dan
penggaraman yang diatur lewat undang-undang, diubah dengan diatur lewat Peraturan
Pemerintah.
UU Cipta Kerja juga tidak lagi membatasi penanaman modal asing di hortikultura
dengan mengubah ketentuan dalam Pasal 100 UU Hortikultura, dengan menghapus ketentuan
besarnya penanaman modal asing dibatasi paling banyak 30% (tiga puluh persen). Padahal,
pasal tersebut menurut Mahkamah Konstitusi sesuai dengan mandat Pasal 33 UUD 1945.3
Seharusnya dalam rangka kedaulatan pangan, negara melakukan pemberdayaan petani pemulia
benih. Kedaulatan pangan mutlak mensyaratkan perluasan lahan pertanian atau ekstensifikasi
kawasan pertanian sebagai sentra produksi pangan. Namun justru UU Cipta Kerja melalui Pasal
32, Pasal 121, dan Pasal 122 mengubah ketentuan dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2019 tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan, Pasal 10 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum, dan Pasal 44 UU PLP2B dengan memasukan program strategis nasional selain tanah
untuk kepentingan umum, yang bisa melakukan alih fungsi lahan budidaya pertanian pangan
berkelanjutan dan menambah objek tanah untuk kepentingan umum, dari 18 menjadi 24 objek,
sehingga lebih banyak objek pembangunan yang bisa melakukan alih fungsi lahan pertanian
berkelanjutan (FIAN Indonesia, 2022).
Mudahnya pergantian produk hukum tanpa uraian penjelasan kepada rakyat tentang
pelaksanaan dari produk hukum, dan ketidakpastian dalam penegakan hukum, justru akan
menimbulkan hilangnya jaminan kepastian hukum. Ketidakpastian hukum inilah yang
sesungguhnya menciptakan kondisi yang menghambat kemudahan berusaha dan tidak
terwujudnya keadilan sosial. Meskipun Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Bidang Pertanian (selanjutnya disebut PP Penyelenggaraan Bidang
Pertanian) sebagai aturan turunan dan aturan pelaksanaan dari UU Cipta Kerja berisi
pengaturan pertanian sebagai aturan pelaksana dari Undang-Undang Cipta Kerja, namun
regulasi ini tidak mengatur pelaksanaan dari perubahan UU Pangan dan UU Perlintan yang
telah diubah melalui UU Cipta Kerja. Selain itu juga justru memperpanjang daftar masalah
yang telah ditimbulkan oleh undang-undang sebelum diubah oleh UU Cipta Kerja, di sisi lain
regulasi yang diharapkan akan menjadi aturan pelaksanaan yang menyinkron, justru
memunculkan ketidaksinkronan baru.

1.1. Korporasi Pertanian Dalam Konteks Pengembangan Food Estate


Penerapan dan pembentukan korporasi warga petani membutuhkan pendampingan
secara intensif dan berkesinambungan. Korporasi tidak akan dapat berjalan sempurna tanpa
ada dukungan dari berbagai stakeholder disekitarnya baik pemerintah daerah setempat maupun
pihak swasta. Praktik korporasi petani yang masih seringkali gagal akibat minimnya keinginan
(political will) dari stakeholder terkait menjadikan contoh konkret dimana pihak swasta
maupun pemerintah memang tidak ada keinginan sedikitpun dalam mensejahterakan dan
membuat para petani berdaulat.
Pengembangan proyek Food Estate yang dijalankan pemerintah saat ini melakukan
sebuah transformasi dalam penyediaan pangan masyarakat melalui skema korporasi pertanian.
Korporasi pertanian dibentuk sebagai penyedia pangan masyarakat yang bertentangan dengan
konsep pertanian keluarga. Food and Agricultural Organization (FAO) menyebutkan bahwa
petani dan pertanian kecil yang dikelola oleh keluarga petani yang memberi makan masyarakat
dunia, bukan korporasi pertanian. Pola kemitraan korporasi-petani yang selalu diwarnai konflik
kuasa atas tanah, bagi hasil yang tidak sesuai janji, dan tenaga kerja yang dieksploitasi
menjadikan kegagalan skema korporasi pertanian terus terjadi dan menyebabkan kegagalan
program food estate. Konsep food estate hanyalah menjadikan petani menjadi buruh di negeri
sendiri. Ia menekankan, solusinya adalah dengan menerapkan konsep kedaulatan pangan, yang
sebenarnya sudah masuk di Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
Tahun 2015-2019. Petani kecil, keluarga-keluarga petani yang menegakkan kedaulatan pangan
di masing-masing daerahnya adalah pahlawan sebenarnya yang harus didukung, bukan
korporasi. Terbukti saat krisis 1998, 2008 & pandemi Covid-19. Mereka inilah yang selama ini
menopang pemenuhan pangan bangsa, bukan korporasi besar.

1.2. Bagaimana Konsep Korporasi Dapat Melahirkan Kejahatan dan Menghambat


Kedaulatan
Korporasi memainkan peran sangat strategis dalam keberlangsungan roda
perekonomian di seluruh dunia, termasuk di Indonesia karena Korporasi bertindak seperti
orang yang dapat melakukan kegiatan ekonomi. Tentu saja selain berkontribusi positif terhadap
pertumbuhan ekonomi suatu negara, sebaliknya perbuatan-perbuatan korporasi juga dapat
berdampak negatif, seperti mengakibatkan kerusakan yang mengancam keberlangsungan
hidup manusia dan lingkungan. Pada akhirnya korporasi dianggap seperti orang-perorangan
(naturlijk person) yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana atau yang sering disebut
dengan istilah pertanggungjawaban pidana korporasi.
Konteks kejahatan korporasi dapat melibatkan beberapa unsur penting dalam praktik
terkini, diantaranya adalah kejahatan, dilakukan oleh orang terpandang/terhormat (elit politik
tertentu), status sosial lebih tinggi (pengusaha/konglomerat), dalam hubungannya dengan
pekerjaan, dan melanggar kepercayaan publik. Praktik kejahatan korporasi juga diperlihatkan
melalui beberapa ciri yang mereka lakukan yaitu menimbulkan kerugian materiil dan
immateriil (kesehatan, keselamatan, dll), dilakukan secara terselubung dan keahlian tertentu,
sulit mendeteksi pelaku dan korban, sulit membuktikan hubungan kausal antara perbuatan dan
akibat, sulit mengukur atribusi pertanggungjawaban, sulit dilihat, sangat kompleks, penyebaran
tanggung jawab, penyebaran korban, hambatan untuk menuntut, dan aturan tidak jelas.
Kejahatan korporasi dalam perekonomian di Indonesia, juga tidak dapat dilepaskan dari
peluang dan kelonggaran yang diberikan melalui peraturan perundangan dan kebijakan-
kebijakan penguasa yang berbau korupsi, kolusi, dan nepotisme. Misalnya kebijakan orde baru
yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi telah menghasilkan korporasi-korporasi raksasa
dan konglomerasi yang menguasai dan memonopoli ekonomi dan lahan atau tanah Indonesia.
Kekuasaan yang luar biasa pada beberapa korporasi raksasa dan konglomerat di bidang
ekonomi.
Salah satu faktor yang dapat mempercepat komersialisasi pertanian adalah kemampuan
petani dalam akses pasar yang harus didukung dengan kebijakan suatu negara dengan membuat
atmosfir pasar yang ramah dan berkeadilan bagi pelaku usaha tani. Konteks korporasi petani
diperlukan peninjauan khusus mengenai siapa saja yang berada di dalamnya. Laju
komersialisasi diperlukan kekuatan kapital yang besar sehingga korporasi petani harus ditinjau
mengenai aktor korporasi itu sendiri. Berdasarkan salah satu pengalaman tim KKN-T Inovasi
IPB anggota gapoktan yang bergabung dalam skema korporasi petani hanyalah para tengkulak
rantai pasok ataupun pemodal besar usaha logistik yang mampu memungut semua hasil panen
petani kecil ataupun menengah. Oleh karena itu, praktik korporasi petani sudah menimbulkan
dan melakukan salah satu unsur kejahatan korporasi dan sudah seharusnya tidak dilanjutkan
program tersebut.

1.2.1. Sistem Pertanian Subsisten Perlu Diutamakan, Peninjauan Korporasi Petani


Perlu Dilakukan
Pertanian subsisten atau pertanian swasembada adalah bentuk pertanian di mana petani
berusaha untuk menghasilkan cukup bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka
sendiri dan keluarga. Pertanian subsisten beroperasi dengan skala kecil, menggunakan metode
tradisional, dan memiliki sumber daya terbatas.
Petani subsisten mengandalkan pengetahuan turun temurun dalam mengelola lahan dan
tanaman, menggunakan alat pertanian sederhana seperti cangkul atau sabit, dan mengerahkan
tenaga kerja keluarga mereka sendiri. Ciri khas dari pertanian subsisten adalah keragaman
varietas tanaman dan hewan ternak yang dibudidayakan untuk konsumsi. Selain itu, petani
subsisten juga mempertimbangkan kebutuhan jangka panjang keluarga mereka dalam
menentukan tanaman yang akan ditanam. Mereka memikirkan apa yang akan mereka konsumsi
dalam jangka waktu yang lebih lama, termasuk kebutuhan pangan untuk tahun mendatang.
Mengambil contoh sistem pertanian subsisten Ciptagelar, Masyarakat adat Kasepuhan
Ciptagelar sangat mengsakralkan padi, tak terkecuali area lahan persawahan. Persawahan ini
terletak pada areal datar dan luas jika dibandingkan dengan ladang atau perkebunan.
Persawahan di desa adat, mulai
dari penanaman bibit hingga proses siap panen hanya dilakukan selama setahun sekali.
Terdapat filosofi hidup yang dipegang oleh masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar yaitu
‘Pertanian itu diagungkan akan tetapi bukan dituhankan, manusia saja melahirkan satu tahun
sekali’. Pandangan filosofi tersebut menjelaskan bahwa pertanian hanya untuk pemenuhan
kebutuhan atau keberlangsungan hidup saja, bukan untuk dituhankan sehingga manusia bisa
lupa akan sang pencipta. Proses pengolahan sawah di Kasepuhan Ciptagelar dilakukan melalui
aturan adat yang berlaku seperti, harus meminta izin kepada pemangku adat dan para orang tua
untuk mendapat doa. Setiap keluarga Kasepuhan Ciptagelar memiliki masing-masing satu
lumbung padi yang bisa menampung sebanyak 1000-2000 ikat padi guna mencukupi
kebutuhan konsumsi pangan satu keluarga selama setahun.
Mempelajari lumbung pangan yang dilakukan oleh masyarakat adat Kasepuhan
Ciptagelar, kedaulatan petani sebagai tujuan utama dapat melahirkan kedaulatan pangan yang
seutuhnya. Bentuk pertanian subsisten perlu dipertahankan secara utuh untuk mencapai arti
kedaulatan pangan. Sistem pertanian subsisten dan industri yang bersih merupakan jawaban
konkret untuk mencapai kedaulatan pangan.
Dalam desain proyek FE, Kelembagaan Ekonomi Petani (KEP) yang wujud konkretnya
berupa korporasi petani merupakan unsur kelembagaan yang berperan sentral. Dalam
kaitannya dengan pola pertanian kontrak yang melibatkan petani dan investor/offtaker,
lembaga ini berperan sebagai penengah: mengkonsolidasikan petani melalui kelompok-
kelompok tani, mengelola kemitraan dengan investor/offtaker, dan mengelola sirkulasi
keuangan dan permodalan petani. Teorinya, kalau lembaga ini berjalan baik maka harapan
kebijakan untuk membangun “modal yang dimiliki petani” dapat direalisasikan.

1.3. Keleluasaan Praktik Importasi Pangan Sebagai Wujud Ugal-Ugalan


Pemerintah
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta
Kerja (Perppu Ciptaker) menghapus aturan larangan impor komoditas pertanian pada saat
kebutuhan dan cadangan komoditas pertanian dalam negeri mencukupi. Ketentuan itu dimuat
pada klaster pertanian Pasal 30 Perppu Cipta Kerja, yang mencabut UU sebelumnya yaitu UU
Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
"Kecukupan kebutuhan konsumsi dan/atau cadangan pangan Pemerintah berasal dari
produksi dalam negeri dan impor Komoditas Pertanian dengan tetap melindungi kepentingan
Petani," bunyi Pasal 30 ayat (1) Perppu Cipta Kerja.
Pasal 30 di UU sebelumnya jelas mencantumkan larangan impor komoditas pertanian
di saat ketersediaan komoditas pertanian di dalam negeri sudah mencukupi.
"Setiap orang dilarang mengimpor komoditas pertanian pada saat ketersediaan
komoditas pertanian dalam negeri sudah mencukupi kebutuhan konsumsi dan/atau cadangan
pangan pemerintah," begitu bunyi Pasal 30 ayat (1) UU Perlindungan dan Pemberdayaan
Petani.
Tak hanya itu, Pasal 101 pada UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani terkait
sanksi bagi orang yang nekat melakukan impor komoditas pertanian meski ketersediaan cukup
juga dihapus dalam Perppu Cipta Kerja.
Pasal 101 menyatakan setiap orang yang mengimpor komoditas pertanian pada saat
ketersediaan komoditas pertanian dalam negeri sudah mencukupi kebutuhan konsumsi dan
cadangan pangan pemerintah diancam pidana penjara paling lama dua tahun dan denda paling
banyak Rp2 miliar. Aturan di Pasal 101 ini hilang di Perppu.
Melalui keleluasaan impor pangan yang semakin terbuka lebar akibat dari terbitnya
Perppu Cipta Kerja tersebut, pemerintah nampak tidak konkret dalam mengatasi permasalahan
kesejahteraan petani. Bentuk korporasi yang disebutkan akan sangat berjalan lurus dengan
adanya keleluasaan impor pangan seperti ini. Korporasi dengan basis utama mengandalkan
kekuatan kapital untuk mendapatkan keuntungan dapat menjadi salah satu agen ataupun
distributor pangan hasil impor dan mematikan para petani subsisten. Praktik keleluasaan impor
juga bukan sebuah solusi untuk mencapai konsep kedaulatan yang seutuhnya, pemerintah
hanya berfokus pada aspek kemudahan akses pangan konsumen (hilir), bukan pada aspek
kesejahteraan produsen pangan di lapangan (hulu).
Dari pasal-pasal yang diubah dalam UU Cipta Kerja, SPI melihat implikasi hal tersebut
terhadap rusaknya pondasi kedaulatan pangan di Indonesia. Ketentuan di dalam peraturan
perundang-undangan yang sebelumnya memproteksi produk petani dalam negeri, seperti
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura, Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2012 tentang Pangan, dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan
dan Pemberdayaan Petani, mengalami perubahan, penambahan pasal, bahkan penghapusan
frasa. Hal ini menunjukkan UU Cipta Kerja jelas tidak memiliki keberpihakan terhadap para
petani dan orang-orang yang bekerja di pedesaan, karena justru menguliti perlindungan-
perlindungan yang selama ini menjamin hak petani dan orang-orang yang bekerja di pedesaan.

1.3.1. Ketersediaan dan Akses Pangan Bukan Solusi Utama - Batasi Keran Impor
Segera!
Ketersediaan akses pangan melalui adanya pembesaran importasi pangan bukanlah
sebuah solusi yang tepat untuk mengedepankan kebijakan yang berkeadilan. Negara perlu
memperhatikan dalam setiap konsumsi pangan masyarakat Indonesia ada peran petani,
peternak, nelayan, dan semua produsen utama komoditas yang dikonsumsi masyarakat.
Adanya importasi pangan yang menjadi ugal-ugalan akan menyebabkan permasalahan baru,
mulai dari menggemuknya rantai pasok pangan masyarakat dan minimnya akses pasar terhadap
petani. Intervensi pemerintah diperlukan untuk mencapai nilai-nilai pembangunan
(development values) yang menjurus kepada keadilan sosial (social fairness and justice).
Pemerintah harus menetapkan kebijakan perdagangan internasional, termasuk di bidang impor.
Melalui kebijakan di bidang impor tersebut Pemerintah mempengaruhi struktur, komposisi,
dan kelancaran usaha untuk melindungi/mendorong perekonomian domestik dan penghematan
devisa.
Ketersediaan akses pangan bukan solusi bagi petani untuk mencukupi kebutuhan
sehari-hari mereka. Melalui peningkatan ketersediaan akses pangan, pemerintah terlihat
bahwasannya hanya mementingkan kebutuhan masyarakat perkotaan tanpa mengindahkan
kesejahteraan petani. Pembatasan keran impor serta penguatan petani dalam skema rantai
pasok perlu diutamakan untuk mengakselerasi petani mencapai kesejahteraan. Masyarakat
miskin di pedesaan sebagian besar adalah petani. Data BPS (2015) menunjukkan jumlah
penduduk miskin di perdesaan yaitu berjumlah 17, 27 juta jiwa atau 13,96 persen terhadap total
penduduk perdesaan. Secara khusus kesejahteraan petani perlu mendapatkan perhatian, karena
berkaitan dengan upaya pemenuhan kebutuhan pangan nasional.

2. Ketidaksiapan Kementerian Pertanian Dalam Mewujudkan Kedaulatan Petani


Berdasarkan siaran pers yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam
melakukan Pemeriksaan Kinerja atas Peran Kementerian Pertanian untuk Meningkatkan
Produksi Padi dan Jagung dalam Memenuhi Kebutuhan Sampai Tingkat Provinsi/Kabupaten
Guna Mewujudkan Kemandirian Pangan Tahun Anggaran 2018 s.d 2020 pada Kementerian
Pertanian serta Instansi Terkait Lainnya.
Kementerian Pertanian telah melakukan berbagai upaya/capaian positif untuk
meningkatkan produksi padi dan jagung dalam memenuhi kebutuhan sampai tingkat
provinsi/kabupaten guna mewujudkan kemandirian pangan. Namun, hasil pemeriksaan
menunjukkan masih terdapat permasalahan signifikan yang harus menjadi perhatian
Kementerian untuk segera diperbaiki, antara lain:
2. Kementerian Pertanian belum secara optimal menyusun anggaran bantuan benih dan
pupuk komoditas padi dan jagung, serta belum dapat mengukur dampak bantuan benih
dan pupuk dalam meningkatkan produksi padi dan jagung;
3. Kementerian Pertanian belum dapat menggambarkan pemenuhan kebutuhan sampai
dengan provinsi/kabupaten dalam pemantauan pengelolaan sistem distribusi pangan;
4. Kementerian Pertanian belum mengelola, menganalisis, dan mengimplementasikan
sistem informasi pangan dengan tertib.
Jika tidak melakukan upaya perbaikan untuk menanggulangi permasalahan yang ditemukan
di atas, maka Kementerian Pertanian akan mengalami hambatan dalam meraih efektivitas
perannya untuk meningkatkan produksi padi dan jagung guna mewujudkan kemandirian
pangan.
Pemeriksaan selanjutnya yang dilakukan BPK adalah Pemeriksaan Dengan Tujuan
Tertentu (PDTT) atas Perencanaan, Pelaksanaan, dan Monitoring Evaluasi Program
Pembangunan Kawasan Sentra Produksi Pangan (KSPP)/Food Estate Tahun Anggaran 2020
sampai dengan Triwulan III 2021 pada Kementerian Pertanian serta Instansi Terkait Lainnya.
Hasil pemeriksaan BPK menemukan permasalahan signifikan yaitu:
1. Perencanaan kegiatan Pembangunan KSPP/Food Estate belum berdasarkan data dan
Informasi yang valid dan belum sesuai dengan perencanaan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan (LP2B) serta Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan;
2. Pelaksanaan kegiatan Survey, Investigasi, dan Desain (SID), Ekstensifikasi, dan
Intensifikasi pada Pembangunan KSPP/Food Estate di Kabupaten Kapuas dan
Kabupaten Pulang Pisau yang dilaksanakan dengan swakelola belum sesuai ketentuan;
3. Penetapan lahan lokasi Pembangunan KSPP/Food Estate belum sesuai ketentuan. BPK
menyimpulkan bahwa perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring evaluasi Program
Pengembangan Kawasan Sentra Produksi Pangan/Food Estate Tahun Anggaran 2020
sampai dengan Triwulan III 2021 dilaksanakan tidak sesuai dengan peraturan dalam
semua hal yang material.
Problematika yang terus dilakukan Kementan dalam mempersiapkan kedaulatan pangan
masih belum terselesaikan. Perihal seperti ini, Kementan harus segera berupaya untuk
menyelesaikan permasalahan dari segala program yang mereka keluarkan, dan
memperjuangkan kedaulatan petani seutuhnya.

Tuntutan
1. Lestarikan Sistem Pertanian Subsisten, Tinjau Kembali Sistem Korporasi Petani Secara
Menyeluruh
2. Berhentikan Titik Perluasan Program Food Estate
3. Tunjukkan Akuntabilitas Proyek Food Estate Dalam Mencukupi Kebutuhan Pangan
Masyarakat
4. Batasi Keran Impor, Atasi Masalah Rantai Pasok Segera
5. Wujudkan Land Reform Sejati, Serta Hentikan Perampasan Lahan Segera
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, M. Z. (2015). DAMPAK KEBIJAKAN IMPOR BERAS DAN KETAHANAN PANGAN


DALAM PERSPEKTIF KESEJAHTERAAN SOSIAL. Dampak Kebijakan Impor Beras dan
Ketahanan Pangan dalam Perspektif Kesejahteraan Sosial, 15.

Carolina, M. (2018). The Influence Of Food Imports On Farmers Welfare. JURNAL BUDGET VOL. 3,
NO. 2, 2018, 8-16.

Dr. Cahyo Sasmito, S. M. (2018). Pengantar Ekonomi Politik. SSRN-id3331869, 93.

FIAN Indonesia. (2022). TANTANGAN UU CIPTA KERJA TERHADAP PEMENUHAN HAK


ATAS PANGAN. Policy Paper 2/FIAN-INA/07-2.

Fitriani, D. (2023). Petani Indonesia, Sudahkan Sejahtera?. Petani Indonesia, Sudahkah Sejahtera?
(rmol.id) (diakses 17 September 2023)

Gambut, P. (2020). FOOD ESTATE KALIMANTAN TENGAH, KEBIJAKAN INSTAN SARAT


KONTROVERSI. kajian-food-estate-pg-SuX6Y.

Gambut, P. (2021). Food Estate : Menakar Politik Pangan Indonesia . Kajian atas proyek food estate
kalimantan tengah, 43.

INDONESIA, F. (2022). Food Estate : Perampasan Kontrol dan Indikasi Pelanggaran Hak Atas Pangan
dan Gizi. Laporan Studi Pelaksanaan Proyek Food Estate di Sumatera Utara, 87.

Mahrus, M. A. (2022). Desain Hukum Pembangunan Food Estate Sskala Luas Dalam Kawasan Hutan.
PUSAKA Untuk Memberdayakan Hak-Hak Masyarakat, 10.

Nurcahyanti, E. A. (2023). DETERMINASI PETANI DALAM HUKUM AGRARIA DI INDONESIA.


Jurnal Penelitian Hukum Vol. 3, No. 1, Januari (2023), 40.

Nurdin, M. (2018). AKAR KONFLIK PERTANAHAN DI INDONESIA. Jurnal Hukum POSITUM


Vol. 3, No. 2, Desember 2018, Hal 126-141, 129.

Rahmawati, D. (2023). PERMASALAHAN FEODALISME TANAH DI INDONESIA. Jurnal


Penelitian Hukum Vol.3, No. 4, Mei (2023), 5.
RI, B. (2022). BPK SERAHKAN LAPORAN HASIL PEMERIKSAAN KINERJA TAHUN 2021
DAN PEMERIKSAAN DENGAN TUJUAN TERTENTU TAHUN 2021 KEPADA
MENTERI PERTANIAN. Laporan BPK Terhadap Kementrian Pertanian.

Walhi. (2022). Mempertanyakan Klaim Menteri Pertanian atas Keberhasilan Food Estate
.https://www.walhi.or.id/mempertanyakan-klaim-menteri-pertanian-atas-keberhasilan-food-
estate.
Nota Kesepakatan

Tertanda pada hari Jumat, 22 September 2023 telah diterimanya kajian serta tuntutan
masa aksi oleh pihak Kementerian Pertanian RI. Apabila dalam kurun waktu 1 tahun tuntutan
pada kajian ini tidak terpenuhi, maka yang bertanda tangan dibawah ini akan bersedia mundur
dari jabatannya di Kementerian Pertanian RI.

Jumat, 22 September 2023

…………………………

Kementerian Pertanian Indonesia

Anda mungkin juga menyukai