Latar Belakang
1. Pandangan Historis Tentang Kebijakan Hukum Pertanahan Indonesia
Lamanya penjajahan Negara Belanda terhadap Indonesia sangat mempengaruhi kondisi di
berbagai bidang dalam perikehidupan di Indonesia, salah satu hal yang mengalami banyak
pengaruh hukum Belanda adalah hukum dan politik pertanahan atau hukum agraria di
Indonesia. Pada era Kolonialisme di Indonesia hukum Agraria Wet 1865, yang juga dikenal
sebagai "Staatsblad 1865 No. 194," merupakan landasan hukum penting yang digunakan oleh
pemerintah Hindia Belanda untuk mengatur kepemilikan dan penggunaan tanah di wilayah
Indonesia pada masa kolonial. Undang-undang ini memberikan kontrol penuh atas tanah
kepada pihak Belanda, mengizinkan mereka untuk menguasai lahan secara besar-besaran.
Setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Hukum Agraria Wet 1865 masih menjadi
dasar hukum agraria. Namun, pemerintah Indonesia mulai melakukan reformasi agraria untuk
mengakhiri sistem tanah sewa dan mengembalikan tanah kepada rakyat. Hal ini mengakibatkan
perubahan signifikan dalam hukum agraria.
Agrarische Wet (S.1870-55) merupakan suatu undang-undang agraria sebagai pokok
pangkal dari berbagai ketentuan hukum agraria yang dihasilkan pemerintah Belanda pada saat
menjajah Indonesia, diantara sekian banyak produk hukum agraria saat itu terdapat sebuah
ketentuan yang dikenal dengan istilah Agrarisch Besluit/Keputusan Agraria (berlaku di Jawa
dan Madura), yang mana di dalam ketentuan tersebut ada sebuah asas yang disebut Asas
Domein Verklaring yaitu suatu pernyataan umum bahwa semua tanah yang tidak dapat
dibuktikan kepemilikannya sebagai hak eigendom adalah tanah milik negara. Berdasarkan asas
tersebut, maka golongan Bumi Putera yang memiliki tanah berdasarkan hukum adat harus
menyesuaikan atau tunduk pada ketentuan hukum Eropa dengan mengubah status kepemilikan
tanahnya sesuai ketentuan KUH Perdata (ex Pasal 570 tentang hak eigendom) agar mereka
tidak kehilangan tanah yang dimilikinya itu. Apabila ketentuan tersebut tidak diikuti, maka
semua tanah rakyat Indonesia menjadi milik negara (Hindia Belanda), kecuali tanah-tanah
swapraja, tanah-tanah partikelir, tanah hak eigendom milik rakyat Indonesia, dan tanah-tanah
hak agrarisch eigendom yang menjadikannya memprihatinkan dan sangat tidak adil bagi rakyat
indonesia.
Hukum agrarianya bersifat dualistis Pada masa penjajahan Belanda, di Indonesia terdapat
pembagian golongan penduduk sesuai dengan ketentuan Pasal 160 jo Pasal 131 IS yang
menyebutkan masyarakat yang berada di Indonesia/Hindia Belanda dibagi menjadi 3 golongan
penduduk. Golongan Eropa yang terdiri dari semua orang Belanda, orang Eropa lainnya, Orang
jepang, semua orang dari berbagai negara yang tunduk pada hukum Belanda, golongan Bumi
Putera yang terdiri dari semua orang Indonesia asli dan mereka yang membaurkan diri dalam
kehidupan rakyat Indonesia asli, dan golongan Timur Asing yang terdiri dari semua orang yang
bukan termasuk golongan Eropa dan golongan Timur Asing. Bagi masing-masing golongan
sebagaimana tersebut diatas, berlaku ketentuan-ketentuan agraria/pertanahan yang berbeda-
beda, sehingga tidak ada unifikasi/keseragaman dalam hukum pertanahannya. Bagi golongan
Eropa berlaku hukum pertanahan yang dibuat tersendiri oleh pemerintah Belanda di Indonesia
selain berlaku juga ketentuan Buku II KUH Perdata, sedangkan bagi golongan Bumi Putera
berlaku ketentuan pertanahan sesuai dengan hukum adat yang berlaku di masing-masing
daerahnya, walaupun pada saat-saat tertentu apabila kepentingan menghendakinya maka
golongan Bumi Putera harus tunduk pada ketentuan pertanahan yang berlaku bagi golongan
Eropa, sementara itu ketentuan pertanahan yang berlaku bagi golongan Timur Asing
disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhannya, kadang-kadang mereka harus tunduk pada
hukum Eropa tetapi seringkali mereka pun harus mengikuti hukum adat setempat.
Hukum Agraria Barat yang digunakan berjiwa Liberal individualistis. Salah satu sumber
hukum agraria pada masa penjajahan Belanda di Indonesia adalah KUH Perdata terutama buku
ke-II, yang diberlakukan di Indonesia berdasarkan asas konkordansi atau asas penyesuaian
dengan ketentuan pertanahan yang berlaku di negara Belanda sendiri yaitu dari Burgerlijk
Wetboek (BW) sebagai hasil pengkodifikasian dari Code Civil Perancis setelah Revolusi
Perancis tahun 1789. Ketentuan pertanahan yang diberlakukan bagi golongan Eropa pada saat
itu termasuk KUH Perdata berpangkal pada suatu kebebasan individu atau bersifat liberal. Hal
ini dapat dibuktikan dengan adanya ketentuan Pasal 570 KUH Perdata yang menyatakan
bahwa hak eigendom adalah hak yang memberi wewenang penuh untuk menikmati kegunaan
suatu benda (tanah) untuk berbuat bebas terhadap benda atau tanah tersebut dengan kekuasaan
penuh sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya
yang ditetapkan oleh badan-badan penguasa yang berwenang dan tidak mengganggu hak-hak
orang lain. Pasal tersebut menggambarkan betapa seorang individu memiliki kebebasan yang
mutlak dan penuh atas apa yang dimilikinya dalam hal ini tanah, walaupun ada pembatasan
dan alam perkembangannya ternyata kebebasan itu tetap harus memperhatikan hak dan
kepentingan orang lain, hal ini dapat kita buktikan dengan adanya Arrest Hoge Raad Belanda
tanggal 31 Januari 1919 yang memberikan tafsiran pada definisi “Perbuatan Melawan Hukum”
yang kemudian arrest tersebut dijadikan sebagai standar Arrest.
Setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Hukum Agraria Wet 1870 masih menjadi
dasar hukum agraria. Namun, pemerintah Indonesia mulai melakukan reformasi agraria untuk
mengakhiri sistem tanah sewa dan mengembalikan tanah kepada rakyat. Hal ini mengakibatkan
perubahan signifikan dalam hukum agraria. Sejak tanggal 24 September 1960, politik
pertanahan di Indonesia mengalami perubahan yang sangat penting artinya bagi kehidupan
bangsa Indonesia. Pada saat itu pembagian golongan penduduk telah dihapuskan sehingga
diupayakan adanya unifikasi dalam bidang pertanahan termasuk mengenai ketentuan
hukumnya, maka pada tanggal 24 September 1960 disahkan sekaligus diberlakukan Undang-
Undang Pokok Agraria (UUPA) yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, dengan
demikian semua ketentuan agraria yang ada termasuk dalam Buku II KUH Perdata sepanjang
telah diatur dalam undang-undang ini menjadi tidak berlaku lagi dan seluruh kehidupan bangsa
Indonesia harus senantiasa mengacu pada nilai-nilai Pancasila, sehingga isi dari Undang-
Undang Pokok Agraria pun diselaraskan dengan nilai-nilai Pancasila, apabila ditelaah isi dari
undang-undang yang dimaksud, maka tidak lagi bersifat liberal individualistis tetapi sangat
bersifat kekeluargaan sebagaimana tersurat dan tersirat dalam dasar negara Indonesia yaitu
Pancasila. Ada beberapa ketentuan dalam UUPA yang dapat membedakan dengan ketentuan
pertanahan yang lama sebelum undang-undang ini berlaku, antara lain ketentuan Pasal 2 ayat
1 UUPA tentang Hak Menguasai dari Negara yang menyatakan bahwa Atas dasar ketentuan
dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 dan hal-hal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 yaitu bumi, air dan ruang angkasa termasuk tanah beserta kekayaan alam yang
terkandung didalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi
kekuasaan seluruh rakyat. Pernyataan tersebut telah memberikan interpretasi politik mengenai
kata “dikuasai” dalam hal ini mengandung arti bukan memiliki, jadi tetap tujuan utama adalah
kesejahteraan rakyat Indonesia. Hal lain yang tak kalah pentingnya yaitu mengenai “asas tanah
memiliki fungsi sosial” sebagaimana termuat dalam ketentuan Pasal 6 UUPA, sehingga
seseorang walaupun ia memiliki kekuasaan penuh atas sebidang tanah tapi tanah tersebut
memiliki fungsi sosial maksudnya bahwa apabila suatu saat kepentingan umum
menghendakinya maka tanah tersebut harus diserahkan kepada negara untuk kepentingan
umum tersebut tentu saja disertai dengan sejumlah kompensasi terhadap pemiliknya, atau
penggunaan sebidang tanah oleh pemiliknya tidak boleh bertentangan dengan undang-undang,
ketertiban umum, kesusilaan dan kepentingan hukum orang lain.
Pada dasar dan harfiah, Hari Tani dirayakan untuk menghormati dan mengapresiasi peran
petani di semua sektor. Namun, dalam beberapa kasus yang sering terjadi, terdapat peraturan
atau kebijakan pemerintah yang mungkin bertentangan dengan semangat Hari Tani dan inilah
yang sering terjadi di negara ini dan justru momentum ini menjadikan seruan rakyat untuk
melawan ketidak relevan an atas kebijakan dan tata peraturan yang cacat secara instrumental
yang memberat kan berbagai pihak khusus nya para petani. 63 tahun bukan lah waktu yang
singkat dari banyak problematik yang sudah dilewati bangsa ini baik itu undang-undang yang
diamandemen beberapa kali untuk kerelevanan tatanan negara namun di sektor pertanian
semakin hari tidak ada kejelasan yang mampu membuat Kapitalis bungkam dengan ada nya
peraturan dan kebijakan yang seharus nya peraturan hukum itu dibuat untuk mencegah sebelum
pelanggaran dalam kejelasan produk hukum itu dibuat tapi apa, justru hukum dan kebijakan
itu sendiri dijadikan produk untuk mempermainkan petani seolah-olah hal ini dibuat untuk
petani tapi apa benar begitu, malah sebaliknya hal ini menjadikan nya bentuk nyata akan
dukungan kantong bagi sebagian orang dan pengusaha dan memperbesar perut mereka dengan
kebijakan yang memberatkan petani.
Buruh tani adalah orang yang menjual tenaga mereka kepada para kapitalis pertanian
dan bekerja di lahan-lahan agrobisnis mereka, demi sepeser upah yang hanya bisa digunakan
untuk bertahan hidup. Eksploitasi terhadap kaum buruh tani terjadi secara langsung dan vulgar
diantara tuan tanah dan para kapitalis pertanian mengerjakan mereka secara habis-habisan
dalam mengelola lahan milik pemodal dengan bayaran yang tidak sesuai (Nurdin, 2018). Pada
dasarnya, lahan pertanian akan mewujudkan sebuah entitas dari berbagai kalangan petani yang
berbeda-beda. Bagi para tuan tanah, kapitalis pertanian, dan kelas petani menengah, tanah
memiliki fungsi utama untuk menciptakan keuntungan. Sedangkan bagi para buruh tani, fungsi
utama tanah adalah untuk mempertahankan hidup mereka dan keluarga. Dalam pada itu,
sebagai lapisan yang secara umum merupakan lanjutan langsung dari feodalisme, petani
memiliki keterikatan yang kuat dengan tanah. Wujud-wujud atau lapisan-lapisannya memiliki
aspirasi dasar yang sama: kepemilikan pribadi atas tanah. Dalam kenyataannya, sejarah
memperlihatkan kepada kita, bahwa pemberontakan-pemberontakan kaum tani kecil memiliki
ciri yang sama: menuntut kepemilikan pribadi atas tanah. Sejarah juga menunjukkan bahwa
dalam tiap-tiap konflik agraria, petani gurem dan petani menengah berusaha mempertahankan
kepemilikan pribadi mereka atas tanah, demikian juga para tuan tanah dan kapitalis pertanian.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana sistem pertanian subsisten di tengah proyek strategis nasional food estate
yang mengarah sistem korporasi
2. Apakah Food Estate dan Importasi Pangan merupakan bentuk yang konkret untuk
mencukupi kebutuhan pangan masyarakat
3. Dampak dari kebijakan “tanam paksa” yang dilakukan pemerintah terhadap petani
dalam program food estate
Pembahasan
1.3.1. Ketersediaan dan Akses Pangan Bukan Solusi Utama - Batasi Keran Impor
Segera!
Ketersediaan akses pangan melalui adanya pembesaran importasi pangan bukanlah
sebuah solusi yang tepat untuk mengedepankan kebijakan yang berkeadilan. Negara perlu
memperhatikan dalam setiap konsumsi pangan masyarakat Indonesia ada peran petani,
peternak, nelayan, dan semua produsen utama komoditas yang dikonsumsi masyarakat.
Adanya importasi pangan yang menjadi ugal-ugalan akan menyebabkan permasalahan baru,
mulai dari menggemuknya rantai pasok pangan masyarakat dan minimnya akses pasar terhadap
petani. Intervensi pemerintah diperlukan untuk mencapai nilai-nilai pembangunan
(development values) yang menjurus kepada keadilan sosial (social fairness and justice).
Pemerintah harus menetapkan kebijakan perdagangan internasional, termasuk di bidang impor.
Melalui kebijakan di bidang impor tersebut Pemerintah mempengaruhi struktur, komposisi,
dan kelancaran usaha untuk melindungi/mendorong perekonomian domestik dan penghematan
devisa.
Ketersediaan akses pangan bukan solusi bagi petani untuk mencukupi kebutuhan
sehari-hari mereka. Melalui peningkatan ketersediaan akses pangan, pemerintah terlihat
bahwasannya hanya mementingkan kebutuhan masyarakat perkotaan tanpa mengindahkan
kesejahteraan petani. Pembatasan keran impor serta penguatan petani dalam skema rantai
pasok perlu diutamakan untuk mengakselerasi petani mencapai kesejahteraan. Masyarakat
miskin di pedesaan sebagian besar adalah petani. Data BPS (2015) menunjukkan jumlah
penduduk miskin di perdesaan yaitu berjumlah 17, 27 juta jiwa atau 13,96 persen terhadap total
penduduk perdesaan. Secara khusus kesejahteraan petani perlu mendapatkan perhatian, karena
berkaitan dengan upaya pemenuhan kebutuhan pangan nasional.
Tuntutan
1. Lestarikan Sistem Pertanian Subsisten, Tinjau Kembali Sistem Korporasi Petani Secara
Menyeluruh
2. Berhentikan Titik Perluasan Program Food Estate
3. Tunjukkan Akuntabilitas Proyek Food Estate Dalam Mencukupi Kebutuhan Pangan
Masyarakat
4. Batasi Keran Impor, Atasi Masalah Rantai Pasok Segera
5. Wujudkan Land Reform Sejati, Serta Hentikan Perampasan Lahan Segera
DAFTAR PUSTAKA
Carolina, M. (2018). The Influence Of Food Imports On Farmers Welfare. JURNAL BUDGET VOL. 3,
NO. 2, 2018, 8-16.
Fitriani, D. (2023). Petani Indonesia, Sudahkan Sejahtera?. Petani Indonesia, Sudahkah Sejahtera?
(rmol.id) (diakses 17 September 2023)
Gambut, P. (2021). Food Estate : Menakar Politik Pangan Indonesia . Kajian atas proyek food estate
kalimantan tengah, 43.
INDONESIA, F. (2022). Food Estate : Perampasan Kontrol dan Indikasi Pelanggaran Hak Atas Pangan
dan Gizi. Laporan Studi Pelaksanaan Proyek Food Estate di Sumatera Utara, 87.
Mahrus, M. A. (2022). Desain Hukum Pembangunan Food Estate Sskala Luas Dalam Kawasan Hutan.
PUSAKA Untuk Memberdayakan Hak-Hak Masyarakat, 10.
Walhi. (2022). Mempertanyakan Klaim Menteri Pertanian atas Keberhasilan Food Estate
.https://www.walhi.or.id/mempertanyakan-klaim-menteri-pertanian-atas-keberhasilan-food-
estate.
Nota Kesepakatan
Tertanda pada hari Jumat, 22 September 2023 telah diterimanya kajian serta tuntutan
masa aksi oleh pihak Kementerian Pertanian RI. Apabila dalam kurun waktu 1 tahun tuntutan
pada kajian ini tidak terpenuhi, maka yang bertanda tangan dibawah ini akan bersedia mundur
dari jabatannya di Kementerian Pertanian RI.
…………………………