Anda di halaman 1dari 14

PERBANDINGAN HUKUM AGRARIA KOLONIAL DENGAN HUKUM AGRARIA

NASIONAL

Makalah ini disusun sebagai pemenuhan Tugas Individual mata kuliah Hukum Agraria yang
diampu oleh Bapak Pius Triwahyudi, S.H.,M.Si.

Disusun oleh:

Muhammad Faisal Aditya B. ( E0017312 )

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2018
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum agraria merupakan suatu kelompok berbagai bidang hukum, yang
masing-masing mengatur tentang hak-hak penguasaan atas sumber-sumber daya alam
tertentu yang termasuk dalam pengertian agraria yang terdiri atas hukum tanah,
hukum air, hukum pertambangan, hukum perikanan, serta hukum penguasaan atas
tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa. Begitu beragam hukum yang menjadi
cakupan dari hukum agraria. Setiap pengaturan tersebut harus saling
berkesinambungan karena pengaturan yang satu akan mempengaruhi pengaturan yang
lainnya disebabkan kesamaan objek dasar pengaturan, yaitu tanah. Harus disadari
bahwa bagaimanapun hukum merupakan suatu sistem, yang keseluruhannya tidak
lepas dari nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Untuk itu, pengembangan suatu
bidang hukum (yang dikatakan netral sekalipun) juga akan berpengaruh kepada
bidang-bidang hukum lainnya. Hukum ini merupakan alat untuk membawa
kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat maupun masyarakat
luas dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur, juga untuk meletakkan dasar-
dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam Hukum Pertanahan serta
meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas
tanah bagi rakyat seluruhnya.
Hukum agraria berkembang sesuai perjalanan sejarahnya. Sejarah merupakan
bukti dari sebuah perkembangan karena yang terjadi pada masa kini merupakan hasil
dari yang telah dilalui pada masa lalu. Begitupun dengan hukum agraria, pengaturan
yang ada saat ini merupakan hasil dari sejarah perubahan-perubahan pengaturannya.
Hampir semua unsur dalam kehidupan hukum negara ini merupakan hasil dari
akulturasi budaya dan kebiasaan yang dibawa oleh bangsa-bangsa lain yang pernah
masuk dan mendirikan pemerintahan di Indonesia.
Pengaturan agraria sendiri telah melewati beberapa periode yang memberi
pengaruh sangat besar pada ketentuan hukum agraria yang ada saat ini. Dalam
sejarahnya, pengaturan agraria yang sangat erat dengan urusan pertanahan ini
mengalami perkembangan yang diawali dengan pengaturan buatan penjajah yang

2
menguasai sebagian besar wilayah tanah Indonesia (pra kemerdekaan), serta terus
berkembang seiring bangsa Indonesia bebas dari penjajahan dan mulai membuat
sendiri hukum agrarianya (pasca kemerdekaan).1

B. Rumusan Masalah

Dalam Makalah ini, saya akan menjelaskan lebih dalam tentang perbedaan
yang ada antara hukum agraria pada masa colonial (pra kemerdekaan) dengan hukum
agraria nasional saat ini, beserta implikasi terhadap pelaksanaan hukum agrarian di
Indonesia.

1
Gunawan Wiradi, Reforma Agraria Perjalanan yang Belum Berakhir, Diterbitkan bersama oleh: Konsorsium
Pembaruan Agraria (Jaksel), Sajogyo Institute (Bogor), AKATIGA (Bandung), Edisi Baru, 2009, hlm. 66

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Perbandingan Hukum Agraria Kolonial dengan Hukum Agraria Nasional


1. Hukum Agraria colonial (Pra Kemerdekaan)
Hukum agraria kolonial diawali oleh perkumpulan dagang yang disebut
Veerenigde Ooost-Indische Compagnie (VOC) antara tahun 1602-1799,2 mereka
diberikan hak untuk berdagang sendiri di Indonesia dari Pemerintah negeri Belanda
(Staten General), yang sejak tahun 1602 itu VOC mendapat hak untuk mendirikan
benteng-benteng serta membuat perjanjian dengan raja-raja Indonesia. Kemudian
hukum perdata Belanda (Burgerlijk Wetboek) mulai diberlakukan untuk seluruh
wilayah kekuasaan VOC, penekanan praktek penegakkannya adalah pada perolehan
tanah untuk hubungan keagrariaan bagi pengumpulan hasil bumi untuk dijual di
pasaran Eropa.
Dalam Hukum Pertanahan Belanda di Indonesia, pelaksanaannya dimulai
secara sah sejak tahun 1848 ketika diberlakukannya Undang-Undang Hukum Perdata
Belanda (Nederlands Burgelijk Wetboek-BW) yang baru dan di Indonesia disebut
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia (KUHPInd.). Kodifikasi hukum
berlangsung untuk pertama kali, BW berlaku khusus untuk golongan Eropa, kemudian
berlaku juga untuk golongan Timur Asing (sejak tahun 1855), sedangkan untuk
golongan Bumiputera berlaku hukum masing-masing (yakni hukum adat).
Mengenai pengaturan hukum adat terkait urusan keagrariaan, Ter Haar dan
para muridnya yang belajar di Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta (yang pada waktu itu
bernama Rechtshogeschool te Batavia) mulai bekerja di lapangan untuk mencatat
kaidah-kaidah sosial (adat) komunitas-komunitas dengan sanksisanksi. Van
Vollenhoven telah menjelaskan sifat atau ciri khusus sebagai tandatanda pengenal
Hukum Pertanahan dan Keagrariaan Adat Indonesia, yaitu:
1. Masyarakat hukum dengan pimpinan dan warganya dapat dengan bebas
menggunakan dan mengusahakan semua tanah hutan belukar yang belum
dikuasai seseorang dalam lingkungan masyarakat hukum untuk membukanya,

2
Muchsin, Imam Koeswahyono, dan Soimin, Hukum Agraria dalam Perspektif Sejarah, Bandung: Refika
Aditama, 2007, hlm. 9

4
mendirikan perkampungan atau desa, berburu, mengumpulkan hasil hutan,
menggembala dan merumput;
2. Orang asing hanya dapat melakukan hal-hal yang disebutkan sebelumnya setelah
mendapatkan izin dari masyarakat hukum, karena setiap pelanggarannya
dinyatakan sebagai suatu pelanggaran adat yang disebut “maling utan”;
3. Setiap orang asing, tetapi kadang-kadang terhadap warga masyarakat hukum pun,
diharuskan membayarkan uang pemasukan, untuk dapat memungut dan
menikmati hasil tanah dalam lingkungan masyarakat hukum adat;
4. Masyarakat hukum adat bertanggung jawab atas setiap pelanggaran hukum yang
terjadi dalam wilayah masyarakat hukum adat;
5. Masyarakat hukum adat tetap berhak menguasai dan mengawasi tanahtanah
pertanian dalam lingkungan masyarakat hukumnya; dan
6. Tanah masyarakat hukum adat tidak boleh dijual lepaskan kepada pihak lain
untuk selama-lamanya.

Berkat perjuangan Van Vollenhoven dan Ter Haar serta para penerusnya, pada
zaman Hindia Belanda itu hukum negara yang diterapkan (oleh badan-badan yudisial
pemerintah kolonial) menjadi berkurangnya penyimpangan dari hukum yang hidup di
tengah-tengah masyarakat.3

Dalam praktiknya, pelanggaran demi pelanggaran hukum dilakukan oleh


pemerintah Belanda. Pemerintah acapkali mencabut hak milik tanah seseorang tanpa
didasarkan ketentuan hukum karena penduduk pribumi tidak ditentukan sebagai pihak
yang berhak atas hak milik dan ganti rugi atas tanah. Kemudian dengan semakin
berkembangnya dominan ide liberalisme di bidang hukum, lahirlah Regeelings
Reglement (RR) pada tahun 1854 yang dimaksudkan untuk membatasi dan
mengontrol kekuasaan eksekutif yang berada di tangan para administrator kolonial.4

Menurut ayat (3) dari Pasal 62 RR menyebutkan bahwa Gubernur Jenderal


dapat menyewakan tanah menurut peraturan yang harus ditetapkan dengan peraturan
umum. Dalam hal ini tidak termasuk tanah-tanah yang dibuka oleh orang-orang

3
Soetandyo Wignjosoebroto, Dari hukum kolonial ke hukum nasional : suatu kajian tentang dinamika sosial-
politik dalam perkembangan hukum selama satu setengah abad di Indonesia 1840-1990, Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 1994. hlm. 25
4
Cornelis van Vollenhoven, Orang Indonesia dan Tanahnya (De Indonesier en Zijn Ground), Yogyakarta:
STPN Press, 2013, hlm. 16

5
Bumiputera, atau yang termasuk lingkungan suatu desa, baik sebagai tempat
penggembalaan umum, maupun dengan sifat lain. Tujuan gerakan kaum liberal dalam
bidang agraria ini adalah agar pemerintah memberikan pengakuan terhadap
penguasaan tanah oleh pribumi sebagai hak milik mutlak (eigendom) untuk
memungkinkan penjualan dan penyewaan, serta agar dengan asas domein pemerintah
memberikan kesempatan kepada pengusaha swasta untuk dapat menyewa tanah
jangka panjang dan murah (erfpacht5).6

Sebagai upaya untuk memperbesar keuntungan para pengusaha dan pedagang


Belanda dari kekayaan alam Indonesia, akhirnya pada 9 April 1870 pemerintah
Belanda meloloskan Undang-Undang Agraria yang selanjutnya dikenal sebagai
Agrarische Wet yang diberlakukan untuk Jawa dan Madura serta untuk seluruh
wilayah jajahan Hindia Belanda setelah lima tahun pembentukannya. Agrarische Wet
Staatsblad 1870 No. 55 berisi tiga pasal yang termaktub dalam Artikel 62 RR 1854
dan tambahan lima pasal baru. Selain itu, ada juga Agrarische Reglement (peraturan
agraria) yang diterbitkan untuk mengatur hak milik pribumi di wilayah luar Jawa dan
Madura.7

Pada ayat (4) Agrarische Wet 1870 disebutkan bahwa Gubernur Jenderal akan
memberikan hak erfpacht selama 75 tahun.Kemudian perihal ketentuan
pelaksanaannya diatur dalam berbagai peraturan dan keputusan. Salah satu yang
penting adalah Agararisch Besluit (keputusan agraria) yang hanya berlaku di Jawa
dan Madura, yang diundangkan dalam Staatsblad 1870 No. 118, di mana dalam Pasal
1 dinyatakan bahwa “….semua tanah yang tidak terbukti bahwa atas tanah itu ada hak
milik mutlak (eigendom), adalah hak domein negara.” Domein negara artinya milik
mutlak negara, biasa dikenal dengan Domein Verklaring.

Rakyat Indonesia benar-benar berada pada masa ketidakadilan dengan


terampas kemerdekaan dan haknya atas tanah mereka sendiri. Masa kolonial telah
memperbudak rakyat sekaligus negara Indonesia untuk melayani kebutuhan orang-

5
Erfpacht merupakan hak kebendaan yang memberi kewenangan yang paling luas kepada pemegang haknya
untuk menikmati sepenuhnya akan kegunaan tanah kepunyaan pihak lain, dan bolehmenggunakan semua
kewenangan yang terkandung dalam eigendom atas tanah. Supriadi, Hukum Agraria, Jakarta: Sinar Grafika,
Cetakan ke-5, 2012, hlm. 48-49
6
Gunawan Wiradi, Reforma ….Op.Cit., hlm. 71-72
7
Cornelis van Vollenhoven, Op.Cit., hlm. 168

6
orang Belanda memperkaya diri dari hasil pertanian dan perkebunan Indonesia.
Beberapa abad penjajahan kolonial itu telah menjadi bagian dari perjalanan hukum
agraria yang sangat merugikan rakyat Indonesia. Memasuki masa Perang Dunia II
antara blok barat dan blok timur, kedudukan Belanda mulai tergeser dan Indonesia
jatuh di bawah kekuasaan penjajahan Jepang. Sejak tahun 1942 Jepang mengambil
alih seluruh kekuasaan pemerintahan kolonial. Pemerintahan jepang mengeluarkan
kebijakan yang mentolerir dan mendorong rakyat untuk menggarap tanah-tanah
perkebunan dan tanah terlantar yang menimbulkan persepsi bahwa rakyat bisa
memperoleh kembali tanah mereka yang dulu digusur oleh pemerintah kolonial
Belanda. Namun tetap saja para petani penghasil padi dikenakan kewajiban
menyerahkan hasil produksinya kepada pemerintah sebagai semacam pajak.8

2. Hukum Agraria Nasional (Pasca Kemerdekaan)


Dalam bidang keagrariaan selama masa penjajahan terdapat dualisme hukum
agraria yang berlaku yakni berdasarkan hukum adat yang melahirkan tanah hak milik
adat, tanah ulayat, tanah yayasan, tanah golongan dan sebagainya, serta berdasarkan
hukum barat (kolonial) yang melahirkan tanah hak eigendom (hak milik), tanah hak
opstal, tanah hak erfpacht, tanah hak gebruik (hak pakai), dan sebagainya.9 Terlepas
dari penjajahan Jepang (1945), Indonesia mendapatkan kemerdekaannya. Para
pemimpin bangsa mulai memikirkan untuk melakukan pembangunan hukum baru
yang terlepas dari ketidakadilan hukum kolonial termasuk hukum agraria kolonial.
Pengaturan hukum agraria menjadi salah satu hal yang difokuskan untuk diubah
dalam upaya memperbaiki tatanan pengaturan hak agraria masyarakat Indonesia dari
ketidakadilan hukum kolonial. Beberapa peraturan yang dihasilkan antara lain
terdapat Undang-Undang No. 28 Tahun 1956 tentang Pengawasan Terhadap
Pemindahan Hak Atas Tanah-Tanah Perkebunan, Undang-Undang No. 29 Tahun
1956 tentang Peraturan-Peraturan dan Tindakan-Tindakan Mengenai Tanah-Tanah
Perkebunan, Undang-Undang No. 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah
Partikelir, dan Undang-Undang No. 7 Tahun 1958 tentang Peralihan Tugas dan
Wewenang Agraria. Pemerintah Indonesia pun membentuk panitia Agraria yang
mengalami beberapa kali pergantian, yakni Panitia Yogya (1948), Panitia Agraria

8
Gunawan Wiradi, Reforma ….Op.Cit., hlm.80
9
A. Ridwan Halim, Hukum Agraria Dalam Tanya Jawab, Jakarta: Ghalia Indonesia, Cetakan ke-2 1988, hlm. 27

7
Jakarta (1951), Panitia Suwahyo (1955), Rancangan Soenarjo (1958), dan Rancangan
Soedjarwo (1960)
Pembentukan panitia tersebut diusung untuk menghasilkan sebuah hukum
agraria yang berjiwa keindonesiaan. Setelah melalui proses selama 12 tahun, akhirnya
terbitlah Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (biasa disebut UUPA) yang disahkan dan diundangkan sebagai induk dari
hukum agraria Indonesia. Dengan berlakunya UUPA, berarti telah dicabut segala
peraturan hukum agraria kolonial yang pernah berlaku di Indonesia, yaitu:
1. "Agrarische Wet" (Staatsblad 1870 No. 55), sebagai yang termuat dalam pasal 51
"Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie" (Staatsblad 1925 No. 447) dan
ketentuan dalam ayat-ayat lainnya dari pasal itu;
2. "Domienverklaring" tersebut dalam pasal 1 "Agrarisch Besluit " (Staatsblad 1870
No. 118); "Algemene Domienverklaring" tersebut dalam Staatsblad 1875 No.
119A; "Domienverklaring untuk Sumatera" tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad
1874 No. 94f; "Domeinverklaring untuk keresidenan Menado" tersebut dalam
pasal 1 dari Staatsblad 1877 No. 55; "Domienverklaring untuk residentie Zuider
en Oosterafdeling van Borneo" tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1888 No.58;
3. Koninklijk Besluit tanggal 16 April 1872 No. 29 (Staatsblad 1872 No. 117) dan
peraturan pelaksanaannya;
4. Buku ke-II Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang yang
mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kecuali
ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek yang masih berlaku pada mulai
berlakunya undang-undang ini;

Salah satu dasar pertimbangan dalam merumuskan UUPA ini adalah bahwa
hukum agraria tersebut harus pula merupakan pelaksanaan dari pada Dekrit Presiden
tanggal 5 Juli 1959, ketentuan dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 dan
Manifesto Politik Republik Indonesia, sebagai yang ditegaskan dalam pidato Presiden
tanggal 17 Agustus 1960, yang mewajibkan negara untuk mengatur pemilikan tanah
dan memimpin penggunaannya, hingga semua tanah diseluruh wilayah kedaulatan
bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara
perseorangan maupun secara gotong-royong. Sebagai implementasi dari ketentuan
dalam Pasal 33 ayat (3) UndangUndang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa negara
sebagai penguasa bumi, air, dan kekayaan alam Indonesia, maka dalam Pasal 2 ayat

8
(2) UUPA telah ditentukan bahwa hak menguasai dari negara yang dimaksud adalah
memberi wewenang untuk :

a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan


pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan
bumi, air dan ruang angkasa; dan
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Adapun tujuan dalam pembentukan UUPA ini dijelaskan dalam Pasal 2 ayat
(3), yakni bahwa wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara
tersebut digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti
kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum
Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur. Untuk menunjukkan
kepemihakan terhadap rakyat dalam pengaturan UUPA ini, dapat dilihat dalam Pasal
11 dan 13.

Dari berbagai ketentuan dasar tersebut, selanjutnya UUPA juga menentukan


mengenai hak-hak masyarakat atas tanah yang dapat dibedakan menjadi:

a. Hak milik (Pasal 20-27)


b. Hak guna usaha (Pasal 28-34)
c. Hak guna bangunan (Pasal 35-40)
d. Hak pakai (Pasal 41-43)
e. Hak sewa untuk bangunan (Pasal 44-45)
f. Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan (Pasal 46)
g. Hak-hak atas tanah yang bersifat sementara (Pasal 53) yakni hak gadai, hak usaha
bagi hasil, hak menumpang, hak sewa tanah pertanian.
h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan
ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara.

Selain hak-hak yang disebutkan tersebut, terdapat hak-hak atas bagian lain dari tanah
yakni terdiri dari hak guna air, pemeliharaan dan penangkapan ikan (Pasal 47) serta hak
guna ruang angkasa (Pasal 48). Dengan pemberlakuan UUPA tersebut pemerintah mulai
menata pembagian dan penguasaan struktur kepemilikan tanah Indonesia karena selama
masa kolonial pola kepemilikan masyarakat atas tanah sangat tidak adil dan tidak teratur.

9
Untuk menjalankan suatu redistribusi kepemilikan tanah, pemerintah membuat sebuah
Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian yang
disebut sebagai Undang-Undang Landreform Indonesia. Sejak program ini berjalan
pemerintah berhasil mendistribusikan sekitar 800.000 hektar tanah kepada 850.000 kepala
keluarga. Mengingat kekhususan dari perkara-perkara yang terkait dengan program
tersebut, pemerintah Soekarno membentuk badan peradilan tersendiri yaitu Pengadilan
Landreform dengan dasar pembentukan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1964.10
Namun kegiatan landreform ini tidak berlangsung lama seiring bergantinya pemerintahan
dari Soekarno ke Soeharto pada tahun 1965. Bahkan Pengadilan Landreform pun
akhirnya dihapuskan dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1970 tentang Penghapusan
Pengadilan Landreform.

Pemerintah baru ini mempunyai kebijakan yang sama sekali lain, sehingga untuk
jangka waktu yang cukup lama UUPA masuk peti es, sedangkan kebutuhan agraria di
sektor lain mendesak, maka lahirlah pada masa awal orde baru berbagai undang-undang
pokok lain yang kemudian membuat tumpang tindih dan rancunya masalah pertanahan.
Untuk menarik minat para investor, pemerintah mulai membuat beberapa regulasi untuk
membuka peluang eksplorasi tanah dan sumber daya alam di Indonesia. Sebagai langkah
awal untuk memikat investor asing, tahun 1967 Undang-Undang Penanaman Modal
Asing (UU PMA) diberlakukan, selanjutnya lahir Undang-Undang No. 5 Tahun 1967
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan dan Undang-Undang No. 11 Tahun 1967
tentang Ketentuan-ketnetuan Pokok Pertambangan serta berbagai undang-undang sektoral
lain tentang minyakgas dan pengairan. Kebijakan pemerintah orde baru ini lebih fokus
hanya kepada pembangunan dengan penguasaan tanah secara besar-besaran oleh negara
untuk dieksplorasi dan dieksploitasi oleh para investor yang bermodal besar,namun
hakhak dari masyarakat atas tanah jadi terlupakan. Ternyata undang-undang tersebut
tidak menjadikan UUPA sebagai basisnya, regulasi-regulasi ini pun tumpang tindih dan
inkonsisten satu sama lain.

Dengan makin rumitnya masalah pertanahan dan makin besarnya keperluan akan
ketertiban di dalam pengelolaan pertanahan, makin dirasakan keperluan akan adanya
peraturan pelaksanaan UUPA yang menerapkan ketentuan lebih lanjut mengenai hak-hak
atas tanah. Sebagai hak atas tanah yang masa berlakunya terbatas untuk jangka waktu
tertentu (hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai), hak-hak tersebut
10
Gunawan Wiradi, Reforma ….Op.Cit., hlm.86-87

10
memerlukan kejelasan mengenai beberapa hal antara lain mengenai persyaratan
perolehannya, kewenangan dan kewajiban pemegangnya, dan status tanah dan benda-
benda di atasnya sesudah hak itu habis jangka waktunya. Kejelasan itu sangat diperlukan
untuk memberikan beberapa kepastian hukum, baik kepada pemegang hak, kepada
pemerintah sebagai pelaksana UUPA, maupun kepada pihak ketiga. 11

Beberapa peraturan pun mulai dibentuk untuk mengatur pelaksanaan perundang-


undangan tentang pertanahan sebagai objek dasar agraria seperti Peraturan Pemerintah
No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas
Tanah, Peraturan Menteri Negara Agraria / BPN No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman
Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, Peraturan Menteri Negara
Agraria / BPN No. 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Perolehan Hak Atas
Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, Peraturan BPN No. 2 Tahun 2013 tentang
Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah,
dan sebagainya.

Perjalanan UUPA selanjutnya terus diiringi dengan penerbitan perundang-undangan


yang merupakan perluasan dari urusan keagrariaan di Indonesia, antara lain:

a. Terkait pertanahan.
1) Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah
dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya,
2) Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah dan
Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah,
3) Undang-Undang No. 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan,
4) Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum,
b. Terkait pertanian
1) Undang-Undang No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan,
c. Terkait perkebunan
1) Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan,
d. Terkait perikanan
11
Penjelasan umum Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan,
dan Hak Paaki Atas Tanah

11
1) Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia,
2) Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan,
e. Terkait pertambangan
1) Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan,
2) Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Pertambangan Minyak dan Gas
Bumi,
3) Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara,
f. Terkait kehutanan
1) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
g. Terkait pembangunan
1) Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman
2) Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil
3) Undang-Undang No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam bidang keagrariaan selama masa penjajahan terdapat dualisme hukum agraria
yang berlaku yakni berdasarkan hukum adat yang melahirkan tanah hak milik adat, tanah
ulayat, tanah yayasan, tanah golongan dan sebagainya, serta berdasarkan hukum barat
(kolonial) yang melahirkan tanah hak eigendom (hak milik), tanah hak opstal, tanah hak
erfpacht, tanah hak gebruik (hak pakai), dan sebagainya.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria


(biasa disebut UUPA) yang disahkan dan diundangkan sebagai induk dari hukum agraria
Indonesia. Dengan berlakunya UUPA, berarti telah dicabut segala peraturan hukum agraria
kolonial yang pernah berlaku di Indonesia.

Hukum Agraria yang masih berlaku sekarang ini sebagian tersusun berdasarkan
tujuan dan sendi-sendi dari pemerintah-pemerintah jajahan dan sebagian dipengaruhi
olehnya, hingga bertentangan dengan kepentinga rakyat dan Negara di dalam menyelesaikan
revolusi nasional sekarang ini serta pembangunan semesta.

13
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Wiradi, Gunawan. Reforma Agraria Perjalanan yang Belum Berakhir, Diterbitkan bersama
oleh: Konsorsium Pembaruan Agraria (Jaksel), Sajogyo Institute (Bogor), AKATIGA
(Bandung), Edisi Baru, 2009

Muchsin, Imam Koeswahyono, dan Soimin. Hukum Agraria dalam Perspektif Sejarah,
Bandung: Refika Aditama, 2007

Wignjosoebroto, Soetandyo. Dari hukum kolonial ke hukum nasional : suatu kajian tentang
dinamika sosial-politik dalam perkembangan hukum selama satu setengah abad di
Indonesia 1840-1990, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994.
Van Vollenhoven, Cornelis. Orang Indonesia dan Tanahnya (De Indonesier en Zijn Ground),
Yogyakarta: STPN Press, 2013
Halim, A. Ridwan. Hukum Agraria Dalam Tanya Jawab, Jakarta: Ghalia Indonesia, Cetakan
ke-2 1988,

Undang - Undang
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Penjelasan umum Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah

Internet
http://www.worldcat.org/title/dari-hukum-kolonial-ke-hukum-nasional-suatu-kajian-tentang-
dinamika-sosial-politik-dalam-perkembangan-hukum-selama-satu-setengah-abad-di-
indonesia-1840-1990/oclc/32134434
https://media.neliti.com/media/publications/220776-hukum-dan-kebijakan-hukum-agraria-
di-ind.pdf

14

Anda mungkin juga menyukai