Anda di halaman 1dari 33

HUKUM AGRARIA NASIONAL

Dosen Pengampu: Hasanain Haikal Hadining

Disusun Oleh:

1. Ginanjar Damayanti (1802056006)


2. Ulfatun Ni’mah (1802056009)
3. Siti Nariyah (1802056007)
4. Septi Angraini (1802056008)

Ilmu Hukum A3

JURUSAN ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN WALISONGO SEMARANG

2019

BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

‫ــــــــــــــــــم هللاِ ال َّر ْح َم ِن ال َّر ِح ْي ِم‬


ِ ‫س‬
ْ ِ‫ب‬

Alhamdulilah segala puji hanya milk Allah pemilik kerajaan langit dan bumi yang
dengan mudah mengatur keduanya secara sempurna memasukkan siang kedalam malam dan
memasukkan malam kedalam siang, Maha Pencipta, Yang Awal dan Yang Akhir, pemilik
Asmaul Husna, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada setiap hambaNya, senantiasa
memberi Rahmat, melindungi dan mengampuni setiap dosa hamba yang bertaubat. Hanya ia
yang bertahta dengan haq.
Solawat serta salam kepada Rasulullah, yang menunjuk umat jahiliyah menuju jalan
kebenaran penuh dengan cahaya. Ialah hamba Allah yang begitu sempurna, suri tauladan,
umat senantiasa merindukannya, rindu yang begitu mendalam terutama umat akhir zaman
yang tak pernah melihat wajahnya.
Pada kesempatan kali ini penulis akan membahas materi hukum agrarian nasional yang
merupakan tugas dari bapak dosen dari UIN Walisongo Semarang, semoga Allah senantiasa
merahmati beliau, barakallah fiikum.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria, hukum agraria di Indonesia masih
dualistis, yaitu bahwa disamping hukum agraria adat berlaku hukum tanah barat.Yang
dimaksud hukum adat ialah adat kebiasaan yang mempunyai akibat hukum.Hukum adat itu
terdiri dari pereturan-peraturan yang tidak tertulis, sedangkan hukum barat itu terdiri dari
pereturan-peraturan yang tertulis. Dualisme itu merupakan peninggalan dari jaman Hindia
Belanda dahulu, dimana rakyat Indonesia dibagi menjadi golongan-golongan : Golongan
Eropa, Golongan Timur Asing Tionghoa, Golongan Timur Asing bukan Tionghoa, Golongan
Indonesia/Pribumi. Dan terhadap mereka masing-masing tidak diperlakukan satu macam
hukum.
Hukum agraria di Indonesia baru mendapat perhatian yang sebenar-benarnya pada waktu
pemerintahan Inggris menggantikan pemerintah kerajaan Belanda pada tahun 1811 pada
waktu Indonesia dipengaruhi oleh pikiran Raffles dengan teori domainnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud Hukum Agraria Nasional?
2. Bagaimana penyusunan Hukum Agraria Nasional?
3. Bagaimana upaya pemerintahdalam membentuk Hukum Agraria Nasional?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Hukum Agraria Nasional

1. Upaya Penyusunan Hukum Agraria Nasional

Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) dinyatakan pada 17 Agustus


1945 oleh Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia sebagai
tanda terbentuknya Negara Kesatuan RI sebagai suatu bangsa yang merdeka.
Proklamasi Kemerdekaan RI memiliki du aarti penting bagi penyusunan Hukum
Agraria nasional, yaitu pertama,Bangsa Indonesia memutuskan hubungannya
dengan Hukum Agraria kolonial, dan kedua,bangsa Indonesia sekaligus menyusun
Hukum Agraria nasional.1
Meskipun bangsa Indonesia telah merdeka, namun untuk membentuk Hukum
Agraria tidaklah mudahan membutuhkan waktu yang lama. Oleh karena itu,
sambil menunggu terbentuknya Hukum Agraria nasional dan agar tidak terjadi
kekosongan hukum, maka diberlakukan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945,
yaitu “segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku,
selama belum diadakan yang baru didasarkan Undang-Undang Dasar ini.” Badan
negara dan peraturan tentang agraria yang berlaku pada masa pemerintahan
kolonial dinyatakan masih berlaku selam tidak bertentangan dengan UUD 1945,
belum dicabut, belum diubah, atau belum diganti dengan hukum yang baru.
UUD 1945 meletakkan dasar politik agraria nasional yang dimuat dalam pasal 33
ayat 3, yaitu: “Bumi, air, dan kekayaan alamyang terkandung didalamnya dikuasai
oleh negara, dan digunakan untuk mewujudkan kemakmuran rakyat.”
Upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk menyesuaikan Hukum
Agraria kolonial dengan keadaan dan kebutuhan setelah Indonesia merdeka, yaitu:
a. Menggunakan kebijaksanaan dan tafsir baru
Dalam pelaksanaan Hukum Agraria didasarkan atas kebijaksanaan baru
dengan memakai tafsir yang baru pula sesuai dengan jiwa Pancasila dan pasal
33 ayat3 UUD 1945. Tafsir baru disini contohnya adalah mengenai hubungan
antara warga negara dengan tanah, tidak lagi menerapkan domein verklaring,
1
Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komperhensif, Jakarta:Kencana, 2012, hlm.31.
yaitu negara tidak lagi sebagai pemilik tanah, melainkan negara sebagai
organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia hanya menguasai tanah.2

b. Penghapusan hak-hak konversi


Salah satu warisan feudal yang sangat merugikan rakyat, adalah Lembaga
konservasi yang berlaku di Karesidenan Surakarta dan Yogyakarta. Didaerah
ini semua tanah milik raja. Rakyat hanya sekedar memakainya, yang
diwajibkan menyerahkan sebagian tanah itu kepada raja, jika tanah itu tanah
pertanian atau melakukan kerja paksa, jika tanahnya berupa tanah pekarangan.
Kepada anggota keluarga atau hamba-hambanya yang berjasa atau setia oleh
raja diberikan tanah sebagai nafkah, dan pemberian tanah ini disertai pula
pelimpahan hak raja atau sebagian hasil tanah tersebut diatas. Mereka pun
berhak menuntut kerja pakssa. Stelsel ini dinamakan stelsel apanage.
Berdasarkan undan- undang pasal No. 13 tahun 1948, yang mencabut stb.1918
Nomor 20. Dan ditambah dengan UU No. 5 tahun 1950 yang secara tegas
dinyatakan bahwa lembaga konversi, begitu juga hak-hak konversi, serta
hipotek yang membebaninya menjadi hapus.
c. Penghapusan tanah partikelir
Pada masa penjajahan dikeluarkan kebijaksanaan dibidang pertanahan oleh
Pemerintah Hindia-Belanda berupa tanah partikelir, yang didalamnya terdapat
Hak Pertuanan. Dengan adanya Hak Pertuanab ini, seakan-akan tanah-tanah
partikelir tersebut merupakan negara dalam negara. Tuan-tuan tanah yang
mempunyai hak kekuasaan yang demikian besar banyak yang
menyalahgunakan haknya, sehingga banyak menimbulkan penderitaan dan
kesengsaraan rakyat yang ada atau berdiam di wilayahnya.
Berdasarkan Undang-Undang No. 1 tahun 195 tentang Penghapusan Tanah-
tanah Partikelir, 24 Januari 1958, hak-hak pemilik tanah partikelir atas
tanahnya dan hak-hak pertuanannya hapus dan tanah bekas tanah partikelir itu
karena hukum seluruhnya serentak menjadi ttanah negara.
Undang-Undang No. 1 tahun 1958 pada hakikatnya merupakan pencabutan
hak, dan kepada pemilik tanah partikelir diberikan ganti kerugian. Tanah
partikelir dinyatakan hapus jika pembayaran ganti kerugian telah selesai.

2
Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komperhensif, Jakarta:Kencana, 2012, hlm.32.
d. Perubahan peraturan persewaan tanah rakyat
Peraturan tentang persewaan tanah rakyat kepada perusahaan perkebunan
besar khususnya dan orang-orang bukan Indonesia asli pada umunya sebagai
yang dimaksudkan dalam pasal 51 ayat 8 IS untuk Jawa dan Madura diatur
dalam ddua peraturan, yaitu Grondhuur Ordonnatie Stb. 1918 No. 20 untuk
Surakarta dan Yogyakarta (daerah-daerah swapraja). Menurut ketentuan ini,
persewaan tanah dimungkinkan berjangka waktu paling lama 21,5 tahun.
Setelah Indonesia merdeka kedua peraturan tersebut diubah dengan
ditambahkan pasal 8a dan 8b serta pasal 15a dan 15b oleh UU Darurat no.6
tahun 1951. UU Darurat ini kemudian ditetapkan menjadi UU no.6 tahun 1952
dengan penambahan pasal pasal tersebut, maka persewaan tanah rakyat untuk
tanaman tebu dan lainnya yang ditunjuk oleh Menteri pertanian hanya
diperbolehkan paling lama satu tahun atau satu tahun tanaman. Adapun besar
sewanya ditetapkan oleh Menteri dalam negeri, kemudian oleh Menteri
agraria. Dengan demikian, rakyat tidak lagi dirugikan karena besar dan jumlah
sewanya disesuaikan dengan tingkat perkembangan harga pada saat itu dan
waktunya hanya untuk satu tahun tanaman.3

e. Peraturan tambahan untuk mengawasi pemindahan atas tanah.


Dalam pasal1 UU no.24 tahun 1954 yang menetapkan UU Darurat No.1
Tahun 1952 tentang pemindahan tanah tanah dan barang barangtetap lainnya
yang tunduk pada hukum eropa dunytakan bahwa sambil menunggu peraturan
lebh lanjut untuk sementara setiap serah pakai lebh dari satu tahun dan
perbuatan yang berwujud pemindahan hak mengenai tanah dan barang tetap
lainnya yang tunduk pada hukum eropa hanya dapat dilakukan setelah
mendapat izin dari mentri kehakiman (dengan UU no.76 thn 1957 izinnya dari
Menteri agrarian).
Semua yang dilakukan diluar izin Menteri tersebut dengan sendirinya batal
menurut hukum, artinya tanah atau rumahnya kembali kepada penjual,
uangnya kembali kepada pembeli jika perbuatannya berbentuk jual beli.
Peraturan mengenai perizinan ini dimaksudkan untuk mencegah atau paling
tidak mengurangi kemungkinan jatuhnya tanah tanah eropa, termasuk rumah
atau bangunan yang ada diatasnya ketangan orang dan badan hukum asing.
3
Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komperhensif, Jakarta:Kencana, 2012, hlm.34.
Ketentuan diatas dilengkapi dengan UU no.28 tahun 1956 tentang pengawasan
terhadap pemindahan hak hak atas tanah perkebunan erfpacht, eygendom.
Dikeluarkan juga perarturan pemerintah no.35 thn 1956 tentang pengawasan
terhadap pemindahan ha katas tanah perkebunan konsesi, yang kemudian
diubah dengan peraturan pemerintah No. 21 Tahun 1959.
Menurut ketentuan diatas, setiap perbuatan yang berwujud pemindahan hak
dan setiap serah pakai untuk lebih dari 1 tahun mengenai tanah
erfpacht,eigendom dan hak kebendaan lainnya atas tanah perkebunan,
demikian tanah konsesi untuk perkebunan dari bangsa belanda dan bangsa
asing lainnya serat badan hukum hanya dapat dilakukan dengan izin dari
Menteri kehakiman (UU no.76 tahun 1957 izinnya dari menterti agrarian
dengan persetujuan Menteri pertanian). Maksud peraturan tersebut adalah
untuk mengadakan pengawasan serta adanya jaminan bahwa penerima haknya
mampu mengusahakan perusahaan perkebunan yang bersangkutan dengan
baik dan bahwa kebun itu tidak akan dijadikan objek spekulasi belaka.4

f. Peraturan dan tindakan mengenai tanah tanah perkebunan.


Atas dasar UU no.29 tahun 1956 menteri agrarian dan pertanian berwenang
melakukan tindakan agar tanah perkebunan yang mempunyai fungsi sangat
penting dalam perekonomian negara diusahakan dengan baik. Dalam UU ini
juga ditetapkan bahwa pemegang hak erfpacht, eygendom dan hak kebendaan
lainnya yang sudah mengusahakan kembali perusahaan perkebunannya, wajib
melakukan segala sesuatu yang perlu untuk memulai atau meneruskan
usahanya secara layak menurut ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri
pertanian.
Jika pemegang hak tersebut belum memenuhi kewajibannya, maka atas
pertimbangan Menteri pertanian hak erfpacht yang bersangkutan dapat
dikatakan oleh Menteri agraria. Hak erfpacht juga dapat dibatalkan, jika
menurut pertimbangan Menteri agraria dan Menteri pertanian sikap
pemeganghak selama waktu yang ditentukan tidak berniat mengusahakan
perusahaan perkebunannya sebagaimana semestinya.

4
Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komperhensif, Jakarta:Kencana, 2012, hlm.35.
Tanaman dan bangunan diatas tanah tersebut yang menurut keputusan Menteri
pertanian diperlukan untuk kelangsungan atau memulihkan pengusahaan yang
layak dikuasai oleh negara dengan pemberian ganti kerugian.

g. Peraturan perjanjian bagi hasil (tanah pertanian)


Perjanjian bagi hasil adalah suatu bentuk perjanjian antara pemilik tanah
pertanian dengan pihaklain sebagai penggarap, dimana penggarap
diperkenankan mengusahakan tanah itu dengan pembagian tanah hasilnya
menurut imbangan yang telah disetujui oleh kedua belah pihak.
Perjanjian bagi hasil semual diatur menurut huku adat setempat. Imbangan
hasilnya ditetapkan atas persetujuan kedua belah pihak. Pada umumnya
pembagian hasil tersebut tidak menguntungka pihak penggarap, karena tanah
yang tersedia untuk dibagi hasilkan tidak seumbang dengan jumlah petani
yang memerlukan tanah Garapan. Mengingat bahwa golongan penggarap bagi
hasil itu biasanya golongan ekonomi lemah dan selalu dirugikan maka dalam
rangka melindungi mereka dikeluarkan UU no.2 tahun1960 tentang perjanjian
bagi hasil.
UU ini mengharuskan agar pihak yang membuat perjanjian bagi hasil dibuat
secara tertulis denag maksud dengan mudah mengawasi dan mengadakan
tindakan terhadap perjanjian bagi hasil yang merugikan penggarapnya.5

h. peralihan tugas dan wewenang agrarian


setelah Indonesia merdeka hingga tahun 1955 urusan agraria berada
dilingkungan kementerian dalam negeri. Berdasarkan keputusan presiden
no.55 tahun 1955 dibentuk kementrian agrarian yang berdiri sendiri yang
terpisah dari kementrian dalam negeri.
Dalam keputusan presiden no.190 tahun 1957 ditetapkan bahwa jawatan
pendaftaran tanah semula masuk dalam lingkungan kementrian kehakiman
dialihkan dalam lingkungan tugas kementrian agrarian. Berdasarkan UU no.7
tahun 1958 ditetapkan pengalihan tugas dan wewenang agraria dari Menteri
dalam negeri kepada Menteri agraria, serta pejabat di daerah. Dengan
keluarnya UU tersebut maka lambat laun terbentuklah aparat agraria di tingkat
provinsi, kerasidenan dan kabupaten.
5
Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komperhensif, Jakarta:Kencana, 2012, hlm.38.
2. Tujuan Pembentukan Hukum Agraria Nasional

Hukum agraria (UUPA) ini dibentuk dengan tujuan utama yaitu:


a. Meletakkan dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang merupakan
alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara
dan rakyat terutama rakyat tani dalam masyarakat yang adil dan makmur.
b. Meletakkan dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam
hukum tanah nasional.
c. Meletakkan dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai ha katas
tanah bagi rakyat seluruhnya.

3. Sifat Kenasionalan Hukum Agraria

UUPA adalah merupakan hukum agraria nasional produk hukum bangsa


Indonesia. UUPA dikatakan hukum agraria nasional karena memenuhi dua syarat
yaitu:
a. Syarat formal
Yaitu dilihat dari aspek pembentukannya bahwa UUPA dibentuk oleh
presiden atas persetujuan DPR.
b. Syarat materiil
 UUPA merupakan penjelmaan sila sila Pancasila
 UUPA sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat hukum adat yang
menjadi dasar pembentukannya.
 Tujuan yang terkandung dalam UUPA sesuai dengan tujuan bangsa
Indonesia dalam pembukaan UUD 1945 Alenia ke IV.6

4. Dasar-Dasar Kenasionalan Hukum Agraria


a. Seluruh wilyah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat
Indonesia yang Bersatu sebagai bangsa Indonesia. (pasal 1 ayat 1)

6
H.M. Arba, Hukum Agraria Indonsia, Jakarta:Sinar Grafika, 2017, hlm.57-58.
b. Adanya pengakuan bangsa Indonesia bahwa bumi, air, ruang angkasa dan
kekyaan yang terkandung di dalamnya adalah karunia tuhan yang maha esa
(pasal 1 ayat 2)
c. Hubungan antara bangsa Indonesia dengan kekayaan alam adalah bersifat
abadi dan rakyat Indonesia selalu bersatu dengannya.
d. Hak ulayat dari kesatuan masyarakat diakui eksistensinya sepanjang tidak
bertentangan dengan kepentingan umum, bangsa dan negara.
e. Semua ha katas tanah berfungsi sosial berarti ha katas tanah apapun yang ada
pada seseorang tidak dibenarkan untuk dipergunakan semata mata untu
kepentingan pribadi.
f. Hanya warga negara Indonesia yang berhubungan langsung dengan kekayaan
alam yang terkandung. (Pasal 9 ayat 2)
g. Laki laki dan perempuan memiliki hak yang sama dalam memiliki dan
menguasai tanah (pasal 9 ayat 2)7

5. Dasar-dasar Kesatuan dan Kesederhanaan Hukum Agraria Nasional

Dalam penjelasan umum UUPA angka III dijelaskan bahwa hukum agraria yang
berlaku sebelum UUPA adalah bersifat dualism sehingga terjadi perbedaan ha
katas tanah menurut hukum adat dan ha katas tanah menurut hukum barat yang
berpokok pangkal pada ketentuan buku II KUHPerdata. UUPA secara sadar
menghilangkan dualism dan hendak mengadakan kesatuan hukum sesuai dengan
keinginan rakyat sebagai bangsa yang satu dengan kepentingan perekonomian.
Dengan sendirinya hukum agraria baru harus sesuai dengan kesadaran hukum
rakyat banyak. Oleh karena rakyat Indonesia tunduk kepada hukum adat maka
hukum agraria yang baru akan didasarkan pada ketentuan hukum adat sebagai
hukum asli bangsa Indonesia.
Hukum agraria akan memperhatikan kepentingan hukum golongan rakyat banyak
dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Dengan tidak adanya lagi
perbedaan antara hukum adat dan hukum barat dalam bidang hukum agraria maka
maksud untuk mencapai kesederhanaan hukum hakekatnya akan terselenggara.

6. Dasar-Dasar Kepastian Hukum Agraria Nasional


7
H.M. Arba, Hukum Agraria Indonsia, Jakarta:Sinar Grafika, 2017, hlm.59.
Hukum agrarian sebelum berlakunya UUPA tidak memberikan jaminan kepastian
hukum dan hak bagi bangsa Indonesia yang berdasarkan hukum adat atas tanah.
Oleh karena itu dengan lahirnya hukum agraria nasional memberikan jaminan
kepastian hukum dan hak bagi bangsa Indonesia. Jaminan kepastian hukum ini
dilakukan dengan adanya kewajiban pendaftaran tanah di seluruh Indonesia bagi
pemerintah dan pemegang ha katas tanah (pasal 19, 23, 32 dan 38).
Pendaftaran tanah dimaksudkan guna memberikan kepastian hukum dan kepastian
hak. Pendaftaran tanah di selenggarakan dengan mengingat pada kepentingan
masyarakat, keperluan lalu lintas sosial dan ekonomi dan kemungkinan dalam
bidang personil dan peralatannya. Dengan demikian penyelenggaraannya akan
didahulukan di kota kemudian ke seluruh wilayah negara Indonesia.
Ketentuan lebih lanjut tentang pendaftaran ha katas tanah ini diatur dengan
Peraturan Pemerintah No 10 Tahin 1961 tentang pendaftaran tanah yang
selanjutnya diganti dengan peraturan pemerintah no 24 tahun 1997 tentang
pendaftaran tanah berupa “Recht Cadaster).8

7. Sejarah Penyusunan UUPA

Sejak indonesia menyatakan kemerdekaanya pada tanggal 17 Agustus Tahun


1945, kemudian disusul dengan lahirnya UUD NRI Tahun 1945 tanggal 18
Agustus 1945 memberikan landasan bagi pemerintah untuk membentuk hukum
agraria nasional yang dituangkan dalam Pasal 33 ayat (3) yang menetukan :
“bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Atas dasar ketentuan ini, maka pemerintah Indonesia berusuha membentuk aturan
hukum agraria nasional yang berdasarkan pada hukum asli bangsa Indonesia,
yaitu Hukum Adat. Dalam rangka pembentukan hukum agraria nasional ini,
pemerintah membentuk panitia khusus yang megkaji dan merancang pembentukan
hukum agraria nasional. Adapun panitia-panitia tersebut adalah sebagai berikut:

a. Panitia Agraria Yogya

8
H.M. Arba, Hukum Agraria Indonsia, Jakarta:Sinar Grafika, 2017, hlm.61.
Panitia ini dibentuk dengan Penetapan Presiden Republik Indonesia pada
tanggal 21 Mei 1948 Nomor 16, yang diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo
(Kepala Bagian Agraria Kemeterian Dalam Negeri) yang berkedudukan di
Yogyakarta. Panitia ini beranggotakan:
 Pejabat-pejabat dari berbagai Kementerian dan Jawatan
 Anggota-anggota Badan Pekerja KNIP (Komite Nasional Indonesia
Pusat) yang mewakili organisasi-organisasi tani dan daerah
 Ahli-ahli hukum adat
 Wakil dari Serikat Buruh Perkebunan
Panitia ini bertugas:
1. Memberikan pertimbangan kepada pemerintah tentang soal-soal
mengenai hukum tanah pada umunya
2. Merancang dasar-dasar hukum tanah yang memuat politik agraria
negara Republik Indonesia
3. Merancang perubahan, penggantian, pencabutan peraturan-
peraturan lama, baik dari sudut legislatif maupun dari sudut praktik
4. Menyelidiki soal-soal lain yang berhubungan denagn hukum
tanah.9

Panitia mengusulkan beberapa asas pokok yang akan merupakan dasar Hukum
Agraria yang baru, yaitu:

 Meniadakan asas domein dan pengakuan hak ulayat


 Diadakannya peraturan yang memungkinkan adanya hak perorangan yang
kuat, yaitu hak milik yang dapat dibebani hak tanggung. Pemerintah
hendaknya jangan memaksakan dengan peraturan perkembangan hak
perorangan itu dari yang paling lemah sampai pada yang paling kuat.
Perkembangan itu hendaknya diserahkan saja kepada usaha rakyat sendiri
dan paguyuban hukum kecil. Sebaiknya pemerintah memberikan
stimulansyang sebesar-besarnya untuk mempercepat perkembangan itu.
 Supaya diadakan penyelidikan dahulu dalam peraturan-peraturan negara
lain, terutama negara-negara tetangga, sebelum menentukan apakah orang-
orang asing dapat pula mempunyai hak milik atas tanah.
9
H.M. Arba, Hukum Agraria Indonsia, Jakarta:Sinar Grafika, 2017, hlm.47-48.
 Perlunya diadakan penetapan luas minimum tanah untuk menghindarkan
pauperisme petani kecil dan memberi tanah yang cukup untuk hidup yang
patut, sekalipun sederhana. Untuk Jawa diusulkan 2 hektar (tidak
diterangkan untuk satu orang atau keluarga tani).
 Perlunya ada penetapan luas maksimum. Diusulkan untuk Jawa 10 hektar
dengan tidak memandang macamnya tanah (tidak diterangkan untuk satu
orang atau satu keluarga tani). Untuk daerah-daerah diluar Jawa perlu
diadakannya penyelidikan lebih lanjut.
 Menganjurkan untuk menerima skema hak-hak atas tanah yang diusulkan
oleh Sarimin Reksodihardjo. Ada hak milik dan hak atas tanah kosong dari
Negara dan daerah-daerah kecil serta hak-hak atas tanah orang lain yang
disebut hak-hak magersari.
 Perlunya diadakan registrasi tanah milik dan hak-hak menumpang yang
penting. Hak-hak yang bersandar pada hukum Eropa perlu diubah menjadi
hak-hak Indonesia. 10

b. Panitia Agraria Jakarta

Panitia ini dibentuk pada tahun 1951 dengan Keputusan Presiden Republik
Indonesia tanggal 19 Maret 1951 Nomor 36. Panitia ini diketahui oleh Sarimin
Reksodihardjo dengan wakil ketua Sajarwo. Kemudian pada tahun 1953
jabatan ketua diganti oleh Singgih Praptodiharjo.

Tugas panitia ini sama dengan panitia sebelumnya, yaitu sebagai berikut:

 Memberikan pertimbangan kepada pemerintah tentang soal-soal mengenai


hukum tanah pada umumnya.
 Merancang dasar-dasar hukum tanah yang membuat politik agraria negara
Republik Indonesia.
 Merancang perubahan, penggantian, pencabutan peraturan-peraturan lama,
baik dari sudut legislatif maupun dari sudut praktik.
 Menyelidiki soal-soal lain yang berhubungan dengan hukum tanah.

10
H.M. Arba, Hukum Agraria Indonsia, Jakarta:Sinar Grafika, 2017, hlm.48-49.
Panitia ini merancang dan mengusulkan bahwa pada dasarnya tanah pertanian
hanya diperuntukkan petani dengan berbagai pembatasan sebagai berikut:

 Pembatasan minimum pemilikan tanah pertanian minimal 2 hektar,


mengenai hubungan pembatasan minimum tersebut dengan hukum adat,
terutama masalah hukum waris, perlu dilakukan peninjauan lebih lanjut.
 Penentuan batas minimum pemilikan tanah seluas 25 hektar untuk satu
keluarga. Tidak diadakan perbedaan antara warganegara “asli” dan “bukan
asli”. Badan hukum tidak diberikan kesempatan untuk mengerjakan
pertanian kecil.
 Untuk pertanian kecil diterima bangunan-bangunan hukum: hak milik, hak
usaha, hak sewa, dan hak pakai.
 Hak ulayat disetujui untuk diatur oleh atau atas kuasa undang-undang
sesuai dengan pokok-pokok negara.11

c. Panitia Soewahjo

Pada tanggal 29 Maret 1955 dibentuk Kementerian Agraria dengan Keputusan


Presiden Nomor 55 Tahun 1955. Pembentukan Kementerian Agraria ini
dilakukan untuk khusus menangani, mempercepat dan memperlancar
pengurusan pertahanan/agraria dan menyelesaikan persoalan-persoalan
pertanahan/agraria yang muncul. Kementerian Agraria ini bertugas
mempersiapkan Undang-Undang Agraria Nasional.
Melihat perkembangan Panitia Agraria Jakarta tidak mampu menyelesaikan
tugasnya yaitu membuat rancangan hukum agraria dalam waktu yang singkat,
maka Panitia Agraria Jakarta dibubarkan. Selanjutnya Presiden Republik
Indonesia mengeluarkan Keputusan Nomor 1 Tahun 1956, tertanggal 14
Januari 1956 dengan merubah namanya kepanitiaan menjadi “Panitia Negara
Urusan Agraria” yang diketahui oleh Soewajyo Soemodilogo. Anggota-
anggotanya terdiri dari para pejabat dari berbagai Kementerian, seperti dari
Jawatan, Ahli Hukum, dan wakil organisasi tani.12
Tugas utama dari panitia ini adalah mempersiapkan rencana Undang-Undang
Pokok Agraria Nasional dan sedapat mungkin selesai dalam waktu satu tahun.
11
H.M. Arba, Hukum Agraria Indonsia, Jakarta:Sinar Grafika, 2017, hlm.49-50.
12
H.M. Arba, Hukum Agraria Indonsia, Jakarta:Sinar Grafika, 2017, hlm.50-51.
Pokok-pokok penting isi Rencangan Undang-Undang Pokok Agraria yang
dirumuskan oleh panitia ini adalah sebagai berikut:

 Dihapuskan asas domein, diakui hak ulayat yang tunduk kepada


kepentingan umum (Negara).
 Asas domein verklaring diganti dengan hak kekuasaan negara atas
dasar ketentuan pasal 38 ayat (3) Undang-Undang Dasar Sementara.
 Dualisme hukum agraria dihapuskan: Secara sadar diadakan kesatuan
hukum yang akan membuat lembaga-lembaga dan unsur-unsur yang
baik, baik yang terdapat dalam hukum Adat maupun yang terdapat
dalam hukum Barat.
 Menetukan hak-hak atas tanah dan hak milik sebagai hak yang terkuat
dan berfungsi sosial, kemudian Hak Usaha, Hak Bangunan dan Hak
Pakai.
 Hak milik hanya boleh dipunyai oleh warganegara Indonesia, badan-
badan hukum tidak berhak untuk mempunyai Hak Milik atas tanah.
 Perlu diadakan penetapan maksimum dan minimum luas tanah yang
boleh menjadi milik seseorang atau badan hukum.
 Tanah pertanian pada asanya harus dikerjakan dan diusahakan sendiri
oleh pemiliknya.
 Perlu diadakan pendaftaran tanah dan perencanaan penggunaan tanah.

d. Rancangan Soenarjo

Rancangan ini merupakan perubahan dan penyempurnaan rancangan “Panitia


Soewahju”, selanjutnya diajukan oleh Menteri Agraria kepada Dewan Menteri
dalam sidangnya ke 94 pada tanggal 1 April 1958 dan kemudian diajukan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat dengan Amanat Presiden tanggal 24 April
1958 no. 1307/HK. Naskah rancangan dan memori penjelasannya dimuat
dalam Majalah Agraria. Selanjutnya DPR melakukan pembahasan lebih lanjut
pada tingkat Panitia Ad Hoc setelah mendapat masukan dari Universitas Gajah
Mada, dan para pakar hukum. Rancangan ini pun dalam sidang pleno ditunda,
dan akhirnya ditarik kembali oleh Kabinet. 13
13
H.M. Arba, Hukum Agraria Indonsia, Jakarta:Sinar Grafika, 2017, hlm.52.
e. Rancangan Sadjarwo

Dengan berlakunya kembali UUD 1945 berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli


1959, maka Rancangan Soenarjo yang masih memakai UUDS ditarik kembali
dengan surat Pejabat Presiden tanggal 23 Maret 1960 no. 1532/HK/1960.
Setelah disesuaikan dengan UUD 1945 dan Manifesto politik Republik
Indonesia (yaitu pidato Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1959)
dalam bentuk yang lebih sempurna dan lengkap, maka diajukanlah Rancangan
UUPA yang baru oleh Menteri Agraria Soedjarwo. Rancangan Soedjarwo ini
disetujui oleh Kabinet Inti dalam sidang tanggal 22 Juli 1960 dan oleh Kabinet
Pleno dalamnya tanggal 1 Agustus 1960. Dengan Amanat Presiden tanggal 1
Agustus 1960 no. 2584/HK/60. Rancangan tersebut diajukan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong. Rancangan Soedjarwo dengan tegas
menggunakan Hukum Adat sebagi dasarnya. Selanjutnya rancangan
Soedjarwo inilah dibahas secara maraton oleh DPR-GR, yang akhirnya pada
tanggal 14 September DPR-GR menyetujui rancangan ini menjadi Rancangan
UUPA.
Adapun kerangka dasar UUPA yang dibahas oleh DPR-GR tersebut sebagai
berikut:
 Bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung dalam wilayah
Indonesia dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat (pasal 1 ayat (2) dan pasal 2 ayat (1).
 Pelaksanaan hak menguasai dari negara dapat dikuasakan kepada daerah
swantantra dan masyarakat hukum adat.

Berdasarkan hak menguasai dari negara tersebut, dan dalam rangka Sosialisme
Indonesia, maka:

 Negara berwenang untuk mengatur dan membuat rencana umum mengenai


penyediaan, peruntukan, penggunaan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya (Pasal 14 ayat (1) untuk:
1. Keperluan negara
2. Keperluan ibadat/keperluan suci
3. Pusat kehidupan masyarakat, keperluan sosial
4. Pengembangan produksi pertanian
5. Pengembangan industri, transmigrasi, pertambangan.14
 Negara memberikan hak atas tanah kepada orang dan badan hukum dalam
bentuk dan jenis hak sebagai berikut (Pasal 4 dan Pasal 16):

1. Hak Milik (HM)


2. Hak Guna Usaha (HGU)
3. Hak Guna Bangunan (HGB)
4. Hak Pakai (HP)
5. Hak Sewa (HS)
6. Hak Membuka Tanah
7. Hak Memungut Hasil Hutan
8. Hak- hak lain, yaitu hak-hak yang bersifat sementara yang diatur
dalam Pasal 53, yaitu Hak Gadai Tanah Pertanian, Hak Bagi Hasil
Tanah Pertanian, dan Hak Sewa Tanah Pertanian serta Hak
Menumpang.

 Untuk Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan atas tanah Hak Milik, Tanah
Hak Guna Usaha, Tanah Hak Guna Bangunan, dan Tanah Hak Pakai.

Akhirnya pada tanggal 24 September 1960 Rancangan UUPA ini disahkan


oleh Presiden Soekarno sebagai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang dikenal dengan UUPA.
UUPA yang dibentuk ini bersifat nasional. Kanasionalan dari UUPA ini dapat
dilihat dari sifatnya, yaitu sifat formal dan sifat materiil.

 Sifat Nasional formal terdapat dalam Konsiderans UUPA yang di dalamnya


disebutkan keburukan-keburukan dan kelemahan-kelemahan hukum agraria
sebelumnya, yaitu bersifat kolonial dengan adanya dualisme dan pluralisme
hukum agraria, dan oleh karena itu maka hukum agraria yang demikian itu
harus segera diganti.
 Sifat Nasional Materiil UUPA tercermin dalam asas-asas dan isinya. Di dalam
konsiderans UUPA dinyatakan sebagai berikut:
14
H.M. Arba, Hukum Agraria Indonsia, Jakarta:Sinar Grafika, 2017, hlm.52-53.
1. Hukum Agraria Nasional didasarkan hukum Adat tentang tanah,
sederhana, menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, dan
tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama
2. Hukum Agraria Nasional harus memberikan kemungkinan akan
tercapainya fungsi bumi, air dan ruang angkasa sesuai dengan kepentingan
rakyat Indonesia, dan sesuai pula dengan kepentingan zaman dalam segala
soal agraria.
3. Hukum Agraria Nasional harus mewujudkan penjelmaan daripada
Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan
dan Keadilan Sosial sebagai asas kerohanian Negara dan cita-cita Bangsa
seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
4. Hukum Agraria Nasional harus merupakan pelaksanaan daripada Dekrit
Presiden tanggal 5 Juli 1959, ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, dan
Manifesto Politik Republik Indonesia sebagaimana pidato Presiden tanggal
17 Agustus 1960, yang mewajibkan negara untuk mengatur pemilikan
tanah dan memimpin penggunaannya, sehingga semua tanah di seluruh
wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat, baik secara perorangan maupun secara gotong
royong.15

 Hukum Agraria Nasional merupakan reformasi dari hukum agraria


sebelumnya, sehingga UUPA memuat:
 Perombakan hukum agraria lama menjadi hukum agraria baru
 Pokok-pokok persoalan agraria yang harus diselesaikan dalam rangka revolusi
Indonesia yang disebut “agrarian reform Indonesia” yang bidangnya lebih
luas. Agrarian reform meliputi:
Pembaruan hukum agrarian
Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah
Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur
Perombakan tentang kepemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-
hubungan hukum yang bersangkutan dengan tanah
Perencanaan persediaan, peruntukkan, penggunaan bumi, air, dan ruang
angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Pengggunaan
15
H.M. Arba, Hukum Agraria Indonsia, Jakarta:Sinar Grafika, 2017, hlm.53-55.
bumi air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
secara berencana sesuai dengan daya kesanggupan dan kemampuannya
Perlindungan terhadap kepentingan golongan ekonomi lemah
Pencegahan terhadap usaha-usaha di lapangan agraria yang bersifat monopoli
swasta, sedangkan usaha pemerintahan yang bersifat monopoli hanya dapat di
selenggarakan dengan undnag-undang
Perlindungan tanah terhadap kerusakan, pemeliharaan tanah dan penambahan
kesuburannya, atau perlindungan terhadap kerusakan lingkungan.

Program keempat diatas dikatakan sebagai landeform dalam arti sempit, yaitu
dimana pemerintah melakukan pengaturan dan perombakan atau pembaruan
tentang kepemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum
yang bersangkutan dengan tanah.16

9. Peranan Hukum Tanah Adat Dalam Pembentukan UUPA

Bangsa Indonesia menghendaki bahwa, hukum Agraria yang baru bersifat


nasional, yaitu hhukum agrarian yang berdasarkan nilai-nilai dasar bangsa
Indonesia yang tercermin di dalam sila-sila pancasila yang bersumber dari nilai-
nilai dasar yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat asli
bangsa Indonesia, yaitu hukum adat. Oleh karena itu hukum adat mempunyai
peranan penting dalam pembentukan UUPA.
a. Hukum Adat Sebagai Dasar Hukum Tanah Nasional
Tujuan terbentuk UUPA adalah menghapuskan adanya dualism dan
pluralisme hukum agrarian di Indonesia. UUPA merupakan hukum agraria
nasional yang didasarkan pada hukum adat sebagai hukum asli bangsa
Indonesia. Pernyataan bahwa hukum adat dijadikan dasar pembaruan dan
pembangunan Hukum Tanah nasional terdapat di dalam
Konsiderans/Berpendapat UUPA. Pernyataan yang serupa juga terlihat dalam
UUPA sebagai berikut:
Penjelasan umum angka III (1);
Pasal 5;
16
H.M. Arba, Hukum Agraria Indonsia, Jakarta:Sinar Grafika, 2017, hlm.55-56
 Penjelasan Pasal 5;
 Penjelasan Pasal 16;
 Pasal 56 dan secara tidak langsung juga dalam;
 Pasal 58.

Dalam Penjelasan Umum angka III (1) UUPA dinyatakan, bahwa:

“Dengan sendirinya Hukum Agraria yang baru itu harus sesuai dengan
kesadaran hukum daripada rakyat banyak. Oleh karena rakyat Indonesia
sebagian besar tunduk pada Hukum Adat, maka Hukum Agraria baru tersebut
akan didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum Adat itu, sebagai
hukum yang asli, yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan
masyarakat dalam Negara yang modern dan dalam hubungannya dengan dunia
Internasional serta disesuaikan dengan sosialisme Indonesia.

Dalam Pasal 5 dinyatakan bahwa:

“Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum
adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara,
yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta
dengan peraturan-peratuaran yang tercantum dalam Undang-Undang ini
(maksudnya:UUPA) dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala
sesuatu dengan mengindahkan unsuur-unsur yang bersandar pada hukum
agama”.17

Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 5 dinyatakan: “Penegasan bahwa hukum


adat dijadikan dasar hukum agraria yang baru”.

Dalam penjelasan Pasal 16 dinyatakan bahwa:

“Pasal ini adalah pelaksanaan daripada ketentuan dalam pasal 5, bahwa


Hukum Pertanahan yang Nasional didasarkan atas Hukum Adat, maka
penentuan hak-hak atas tanah dan air dalam pasal ini didasarkan pula atas
sistematik dari Hukum Adat. Dalam pada itu hak guna usaha dan hak guna
bangunan diadakan untuk memenuhi keperluan masyarakat masyarakat
modern dewasa ini. Perlu kiranya ditegaskan, bahwa hak guna usaha bukan

17
H.M. Arba, Hukum Agraria Indonsia, Jakarta:Sinar Grafika, 2017, hlm.62-64.
hak erfpacht dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hak guna
bangunan bukan hak hak postal. Lembaga erfpacht dan postal ditiadakan
dengan dicabutnya ketentuan-ketentuan dalam Buku ke II Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata”.

“Dalam pada itu hak-hak adat yang bertentangan dengan ketentuan-


ketentuan Undang-Undang ini (Pasal 7 dan Pasal 10) tetapi berhubungan
dengan keadaan masyarakat sekarang ini belum bisa dihapuskan, diberi
sifat sementara dan akan diatur (ayat (1) huruf h jo. Pasal 5)

Pasal 56 menentukan sebagai berikut:

“Selama undamg-undang mengenai hak milik ssebagai tersebut dalam Pasal


50 ayat (1) belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan
hukum adat setempat dan peraturan-peraturan lainnya mengenai hak-hak
atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan yang
dimaksud dalam pasal 20, ssepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan
ketentuan undang-undang ini”.18

Pasal 58 menentukan sebagai berikut:

“Selama peraturan-peraturan pelaksanaan undang-undang ini belum


terbentuk, maka peraturan-peraturan, baik yang tertulis maupun yang tidak
tertulis mengenai bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dan hak-hak atas tanah, yang ada pada mulai berlakunya undang-
undang ini, tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dari
ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini serta diberi tafsiran yang
sesuai dengan itu”.

Berdasarkan pada ketentuan ketentuan tersebut, maka dengan jelas bahwa:


“Hukum Adat merupakan dasar dari pembaruan dan pembangunan Hukum
Agraria Nasional”. Hukum adat yang dimaksud adalah hukum adat asli
bangsa Indonesia yang tidak dipengaruhi oleh hukum penjajah dan tidak pula
dipengaruhhi oleh hukum foedal kerajaan.

b. Hubungan Antara Hukum Adat dengan Hukum Tanah Nasional

18
H.M. Arba, Hukum Agraria Indonsia, Jakarta:Sinar Grafika, 2017, hlm.64.
Dalam konsiderans (berpendapat) dinyatakan bahwa “perlu adanya hukum
agraria nasional yang berdasarkan atas hukum adat tentang tanah”.
Selanjutnya dalam Pasal 5 dinyatakan bahwa: “Hukum Agraria yang berlaku
atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat”. Hukum Adat yang
disebut dalam UUPA sebagai dasar Hukum Tanah Nasional Adat yang murni
akan tetapi Hukum Adat sebenarnya, dalam arti bukan Hukum Adat yang
murni akan tetapi Hukum Adat yang murni akan tetapi Hukum Adat yang
sudah disaring dari unsur-unsur yang bertentangan dengan Undang-Undang
dan jiwa sosialisme Indonesia. Pernyataan UUPA, bahwa Hukum Tanah
Nasional kita ialah hukum Adat, menunjukan adanya hubungan fungsional
antara HukumAdat dengan Hukum Tanah Nasional. Hukum Adat yang
dimaksud disini ialah hukum Adat asli bangsa Indonesia. Hukum Adat yang
merupakan hukum asli golongan pribumi, yang merupakan hukum yang hidup
dalam bentuk tidak tertulis dan mengandung unsure-unsur nasional yang asli,
yaitu sifat kemsyarakatan dan kekeluargaan, yang berdasarkan keseimbangan
serta diliputi suasana kekeluargaan.19

c. Hukum Adat sebagai Sumber Utama dalam Pembangunan Hukum Tanah


Nasional
Dalam pembangunan Hukum Tanah Nasional, Hukum Adat merupakan
“sumber Utama” untuk memperoleh bahan-bahannya berupa konsepsi, asas-
asas dan lembaga-lembaga hukumnya, untuk dirumuskan menjadi norma-
norma hukum yang tertulis, yang disusun menurut sistem Hukum Adat.
Hukum tanah baru yang dibentuk dengan menggunakan bahan-bahan dari
Hukum Adat berupa norma-norma hukum yang dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan sebagai hukum yang tertulis, merupakan hukum tanah
nasional positif yang tertulis. UUPA merupakan hasilnya yang pertama.
Fungsinya Hukum Adat sebagai sumber utama dalam pembangunan Hukum
Nasional, itulah yang dimaksud dalam konsiderans/berpendapat UUPA bahwa
hukum Tanah Nasional berdasarkan hukum Adat.
Konsepsi yang mendasari Hukum Tanah Nasional adalah konsepsinya Hukum
Adat, yaitu: komunalistik religious, yang memungkinkan penguasaan tanah
secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus
19
H.M. Arba, Hukum Agraria Indonsia, Jakarta:Sinar Grafika, 2017, hlm.65-66.
mengandung unsur kebersamaan. Sifat komunalistik religious dari konsepsi
hukum Tanah Nasional ditunjukkan oleh Pasal 1 ayat (2).
Dakam Hukum Tanah Adat mengenal adanya Tanah Ulayat yang merupakan
hak bersama dari para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Dalam Hukum Tanah Nasional semua tanah dalam wilayah Megara kita
adalah tanah bersam rakyat Indonesia yang telah bersatu menjadi bangsa
Indonesia.20

d. Asaa-Asas Hukum Adat dalam Hukum Tanah Nasional


Asas-asas Hukum Adat yang digunakan dalam Hukum Tanah Nasional antara
lain adalah:
 Asas religiusitas (Pasal 1 ayat (2) menentukan: “seluruh bumi, air dan
ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia tuhan Yang Maha Esa
adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan
kekayaan nasional”:
 Asas kebangsaan (Pasal 1 ayat (3), dan Pasal 2 ayat (3)): pasal 1 ayat (3)
menentukan: “hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang
angkasa adalah hubungan yang bersifat abadi”.
Pasal 2 ayat (3) menentukan: “wewenang yang bersumber pada hak
menguasai dari Negara digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat, dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan
kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia, yang
medeka, berdaulat, adil dan makmur”.
Pasal 9 (1) menentukan: “Hukum warga Negara Indonesia dapat
mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang
angkasa, dalam batas-batas ketentuan Pasal 1 dan 2”.
 Asas demokrasi (Pasal 9 ayat (2)): Pasal 9 ayat (2) menentukan: “Tiap-
tiap warga Negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai
kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta
untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun
keluarga”.

20
H.M. Arba, Hukum Agraria Indonsia, Jakarta:Sinar Grafika, 2017, hlm.66-67.
 Asas kemasyarakatan, kemerataan dan keadilan social (Pasal 6,7,10 Ayat
(1, 11 dan 13);
Pasal 6 menentukan: “semua hak atas tanah mempunyai fungsi social”.
Pasal 7 menentukan: “untuk tidak merugikan kepentingan umum maka
pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak
diperkenankan”.21
Pasal 10 ayat (1) menentukan: “setiap orang dan badan hukum yang
mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan
mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan
mencegah cara-cara pemerasaan”.
Pasal 11 menentukan bahwa hubungan hukum antara orang, termasuk
badan hukum dengan bumi, air dan ruang angkasa serta wewenang-
wewenang yang bersumber pada hubungan hukum itu akan diatur, agar
tercapai tujuan yang dimaksud dalam pasal (2) ayayt (3) dan dicegah
penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui
batas. Selanjutnya ditentukan: perbedaan dalam keadaan masyarakat dan
keperluan hukum golongan rakyat di mana perlu dan tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional diperhatikan dengan menjamin perlindungan
terhadap kepentingan golongan yang ekonomi lemah,
Pasal 13 ayat (1) menentukan: “pemerintahan berusaha agar supaya usaha-
usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian rupa, sehingga
meningkatkan produksi dan kemakmuran rakyat, serta menjamin bagi
setiap warga Negara Indonesia derajat hidup yang sesuai dengan martabat
manusia, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya”.
 Asas penggunaan dan pemeliharaan tanah secara berencana (Pasal 14 dan
15);
Pasal 14 ayat (1) menentukan: pemerintahan dalam rangka sosialisme
Indonesia membuat suatu rencana umum mengenai persediaan,
peruntukkan, dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya.
 Asas pemisahan horizontal tanah dengan bangunan dan tanaman yang ada
di atasnya.

21
H.M. Arba, Hukum Agraria Indonsia, Jakarta:Sinar Grafika, 2017, hlm.67-68.
Asas ini mengatakan bahwa baik tanah maupun bangunan yang melekat
diatas tanah adalah sama sekali terpisah dengan tanah di bawahnya,
kecuali diperjanjikan lain dan karena kenyataan yang tidak
memungkinkan karena tanaman dan bangunan itu melekat dengan tanah.22

e. Lembaga-Lembaga Hukum Adat dalam Hukum Tanah Nasional


Lembaga-lembaga hukum yang dikenal dalam Hukum Adat umumnya adalah
lembaga-lembaga yang diperlukan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat
yang masih sederhana. Lembaga-lembaga yang diambil dalam membangun
Hukum Tanah Nasional harus disempurnakan dan disesuaikan dengan
kebutuhan zaman da perkembangan masyarakat yang dilayaninya.
Salahsatu contoh lembaga hukum yang disesuaikan adalah lembaga jual beli
tanah mengalami modernisasi dan penyesuaian tanpa mengubah hakikat
sebagai perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah dengan pembayaran
harga secara tunai, serta sifat dan cirinya sebagai perbuatan riil dan terang.

f. Sistem Hak-Hak Atas Tanah dalam Hukum Adat


Dalam hukum adat terdapat hak penguasaan atas tanah yang tertinggi yang
disebut dengan”Hak Ulayat” yaitu hak persekutuan masyarakat hukum adat
atas tanah dalam suatu wilayah territorial atau wilayah geneologis. Hak ulayat
ini mengandung aspek keperdataan dan aspek publik. Aspek keperdataan
yakni bahwa diwilayah ulayat di samping hak-hak bersama masyarakat juga
terdapat hak-hak perseorangan, sedangkan aspek publik yakni bahwa hak
ulayat adalah hak kepunyaan bersama dari masyarakat hukum adat yang di
dalamnya mengandung hak-hak, kewajiban-kewajiban dan wewenang dari
penguasa adat untuk mengelola, mengatur atas tanah. Oleh karena itu, maka
hukum adat mengenal Hukum Tanah Perdata dan Hukum Tanah
Publik/Administrasi.
Dengan demikian, maka terdapat hierarki hak penguasaan atas tanah
dalam adat, yaitu:
1. Hak ulayat masyarakat hukum adat yang mengandung aspek perdata
dan aspek publik;

22
H.M. Arba, Hukum Agraria Indonsia, Jakarta:Sinar Grafika, 2017, hlm.68-69.
2. Hak kepala adat dan para tetua adat yang bersumber pada hak ulayat
yang mengandung aspek publik;
3. Hak atas tanah sebagai hak individu yang bersumber dari hak ulayat
yang mengandung aspek hukum perdataan.
Dalam Hukum Tanah Barat, hak penguasaan tanah yang tertinggi
adalah “hak eigendom” yakni hak kepemilikan atas tanah.23

g. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat


Hak Ulayat adalah serangkaian weweng dan kewajiban masyarkat hukum
adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan ulayatnya, sebagai
“lebensraum” para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya
alam, termasuk tanah yang ada dalam wilayah tersebut. Adapun objek hak
ulayat ini adalah semua tanah yang terdapat dalam lingkungan masyarkat
hukum adat yang bersangkutan. Sedangkan yang menjadi subjeknya adalah
semua anggota masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Orang dari luar
masyarakat hukum adat tersebut boleh memanfaatkan tanah yang berada
dalam wilayah ulayat itu dengan seiin dari penguasa adat setempat.
Hak ulayat pada masyarakat hukum adat mempunyai kekuatan hukum ke
dalam dan keluar.
1. Kekuatan hukum hak ulayat yang berlaku ke dalam yakni dimana
masyarkat hukum adat setempat terikat oleh aturan-aturan dari penguasa
adat.
2. Kekuatan hukum hak ulayat berlaku keluar adalah bahwa hak ulayat
dipertahankan dan dilaksanakan oleh penguasa masyarakat hukum adat
yang bersangkutan.24

10. Konsep Hukum Agraria Nasional

a. Sifat Komunalistik Religius


Hukum adat merupakan sumber utama Hukum Tanah Nasional. Ini berarti
pembangunan Hukum Tanah Nasional dilandasi konsepsi Hukum Adat, yang
dirumuskan sebagai berikut: “komunalistik religius, yang memungkinkan

23
H.M. Arba, Hukum Agraria Indonsia, Jakarta:Sinar Grafika, 2017, hlm.71-72.
24
H.M. Arba, Hukum Agraria Indonsia, Jakarta:Sinar Grafika, 2017, hlm.72-73.
penguasa tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat
pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan.”
Sifat komunalistik religius dalam konsepsi Hukum Tanah Nasional terlihat
pada ketentuan pasal 1 ayat 2 menyatakan bahwa :seluruh bumi, air, dan ruang
angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah
Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air
dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
Sifat komunalitas tercermin pada kalimat bumi, air dan ruang angkasa bangsa
Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Kekayaan nasional dimaksud
adalah kekayaan bersama bangsa Indonesia yang mendiami wilayah Indonesia.
Sedangkan sifat religius tercermin pada kalimat :seluruh bumi, air dan ruang
angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah
Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa
Indonesia.

b. Hak Bangsa Indonesia


Hak bangsa atas tanah tercermin dalam ketentuan pasal 1 ayat 1 dan 2. Pasal 1
ayat 1 : seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat
Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.
Pasal 1 ayat 2 :seluruh bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia Indonesia sebagai
karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air serta ruang a angkasa dalam
wilayah Republik Indonesia yang kemerdekaannya diperjuangkan oleh bangsa
sebagai keseluruhan, menjadi hak dari para pemilik saja. demikian pula tanah-
tanah di daerah-daerah dan pulau-pulau. Tidak semata-mata menjadi hak rakyat
asli dari daerah atau pulau yang bersangkutan. Dengan pengertian demikian
maka hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa
Indonesia merupakan semacam hubungan Hak Ulayat, yang diangkut pada
tingkatan yang paling atas, yaitu tingkatan yang mengenai seluruh wilayah
Negara.
Konsepsi hak bangsa dalam Hukum Tanah Nasional merupakan hak
penguasaan atas tanah yang tertinggi. Ini berarti bahwa hak-hak penguasaan
atas tanah yang lain, termasuk hak Ulayat dan hak-hak individual atas tanah
yang dimaksudkan oleh penjelasan umum, secara langsung atau tidak
langsung, semuanya bersumber pada hak Bangsa.25

c. Hak Menguasai Negara


Hak Menguasai Negara diatur dalam pasal 2 UUPA yang menentukan sebagai
berikut :
Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-undang Dasar dalam hal-
hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa,
termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu, pada tingkatan yang
tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi seluruh rakyat;
Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi
wewenang untuk :
 Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
 Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dengan bumi, air, dan ruang angkasa;
 Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dan peraturan-peraturan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang
angkasa.

Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut pada ayat
2 pasal ini, digunakan untuk mencapai sebesar -besarnya kemakmuran rakya
dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan
negara hukum Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur;
Hak menguasai negara dimaksud adalah memberikan kewenangan kepada
lembaga hukum dan hubungan hukum konkret antara negara dengan tanah
Indonesia. Kewenangan negara tersebut merupakan pelimpahan tugas bangsa,
sehingga kewenangan tersebut semata-mata bersipat publik.
Berdasarkan penjelasan Umum angka II, perumusan kewenangan Negara ini
didalam UUPA adalah :berpangkal pada pendirian, bahwa untuk mencapai apa
yang ditentukan dalam pasal 33 ayat 3 UUD tidak perlu dan tidak pada
tempatnya, bahwa bangsa Indonesia ataupun negara bertindak sebagai pemilik

25
H.M. Arba, Hukum Agraria Indonsia, Jakarta:Sinar Grafika, 2017, hlm.75-77.
tanah. Adalah lebih tepat jika negara, sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh
rakyat bertindak selaku badan penguasa.26

d. Hak-hak Perorangan atas Tanah


Menurut konsep UUPA, baik dalam lingkup Hak Ulayat MAUPUN DALAM
LINGKUP Hak Bangsa dimungkinkan warga negara Indonesia untuk
memperoleh hak-hak perorangan/individu atas tanah. Hal ini tercermin dalam
ketentuan pasal 4 ayat 1 yang menentukan:Atas dasar hak menguasai dari
Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2, ditentukan macam-macam hak
atas permukaan bumi sebagai, yang diebut tanah, yang dapat diberikan kepada
dan dimiliki oleh orangorang, baik sendiri maupun bersama-sama degan orang-
orang lain serta badan-badan hukum.
Ketentuan tersebut menunjukan bahwa dalam konsepsi Hukum Tanah
Nasional, tanah-tanah tersebut dapat dikuasai dan dipergunakan secara
individual dan tidak ada keharusan untuk menguasai dan menggunakan secara
kolektif. Sifat pribadi hak-hak individual menunjuk kepada kewenagan
pemegang hak untuk menggunakan tanah yang bersangkutan bagi
kepentingannya dan memenuhi kebutuhan pribadi dankeluarganya.
Selanjutnya dalam pasal 9 ayat 2 menentukan, bahwa tiap-tiap warga negara
Indonesia, baik laki-laki atau wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk
memperoleh suatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilya,
baik bagi diri sendiri maupun keluarganya. Hak-hak atas tanah yang individual
dan bersifat pribadi tersebut dalam konsep Hukum Tanah Nasional
mengandung dalam dirinya unsur kebersamaan.
Hak -hak atas tanah yang langsung bersumber pada hak Bangsa adalah apa
yang disebut “hak-hak primer” yaitu : Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, Hak pakai yang diberikan oleh Negara. Hak-hak yang bersumber
tidak langsung dari Hak Bangsa adalah apa yang disebut hak-hak sekunder,
yaitu hak-hak yang diberikan oleh pemegang hak primer, seperti Hak sewa, hak
bagi hasil, hak gadai dan hak menumpang dan hak-hak lainnya. Sifat pribadi
hak-hak atas tanah yang bersifat individual sekaligus mengandung unsur-unsur
kebersamaan atau kemasyarakatan, seperti yang ditentukan dalam pasal 6 yang
merumuskan semua hak atas tanah berfungsi sosial.
26
H.M. Arba, Hukum Agraria Indonsia, Jakarta:Sinar Grafika, 2017, hlm.77-79.
e. Hubungan Hukum Agama dengan Hukum Tanah Nasional
Antara hukum agama dengan hukum Tanah Nasional mempunyai hubugan
yang sangat erat. Hal ini tercermin dalam konsideran/berpendapat dan
ketentuan pasal 5 UUPA. Dalam konsederan / berpendapat dinyatakan:”perlu
adanya hukum agraria nasional yang berdasarkan atas hukum adat tentang
tanah, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakya
Indonesia, dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum
agama.” Selanjutnya dalam pasal 5 yang menentukan :”hukum agraria yang
berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat,..... segala sesuatu
dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama .”
Ketentuan diatass menunjukan bahwa hukum Tanah Nasional bersumber pada
hukum adat yang bersandar pada ketentuan hukum agama, yakni hukum adat
yang tidak mengabaikan ketentuan-ketentuan hukum agama, jadi hukum adat
tersebut tidak boleh bertentangan dengan hukum agama dan kepentingan
nasional maupun daerah. Hukum Tanah Nasional yang dipakai adalah Hukum
Tanah Nasional yang bersumber dari hukum tanah adat dan hukum tanah
negara dan bangsa.27

11. Sumber-Sumber Hukum Agraria Nasional


Hukum agraria nasional (UUPA) menentukan ada dua bentuk sumber hukum
agraria nasional yaitu:
a. Hukum agraria tertulis yang dituangkan dalam bentuk peraturan perundang
undangan yaitu:
 UUD 1945 pasal 33 ayat 3
 UUPA no.5 tahun 1960
 Peraturan pelaksanaan UUPA
 Peraturan yang bukan pelaksanaan UUPA yang dikeluarkan sesudah
tanggal 24 september 1960 karena sesuatu masalah perlu diatur.
 Peraturan lama yang untuk sementara berlaku yang merupakan hukum
tanah pasif bukan asai
27
H.M. Arba, Hukum Agraria Indonsia, Jakarta:Sinar Grafika, 2017, hlm.79-81.
b. Hukum agraria tidak tertulis berupa hukum adat dan hukum kebiasaan baru
yang bukan hukum adat yaitu:
 Norma norma hukum adat yang sudah disaneer menurut ketentuan pasal
5,56 dan 58.
 Hukum kebiasaan baru termasuk yurisprudensi dan praktik administrasi
sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.28

BAB III

KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia (RI)
dinyatakan pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh soekarno dan Mohamad Hatta atas nama
bangsa indonesia sebagai tanda terbentuknya negara kesatuan RI sebagai suatu bangsa yang
merdeka. Dari segi yuridis, proklamasi kemerdekaan merupakan saat tidak berlakunya hukum
kolonial dan saat mulai berlakunya hukum nasional, sedangkan dari segi politis, peroklamasi
kemerdekaan mengandung arti bahwa bangsa indonesia terbatas dari penjajahan bangsa asing
dan memiliki kedaulatan untuk menentukan nasibnya sendiri.

28
H.M. Arba, Hukum Agraria Indonsia, Jakarta:Sinar Grafika, 2017, hlm.74.
 Faktor-fakror yang harus diperhatikan dalam pembangunan hukum agraria nasional, adalah
faktor formal, faktor materil,faktor ideal, faktor agraria modern, dan faktor ideologi politik.
Upaya pemerintah indonesia untuk membentukhukum agraria nasional yang akan
mengantikan hukum agraria kolonial , yang sesuai dengan pancasila dan UUD1945 sudah
dimulai pada tahun 1948 dengan membentuk kepentingan yang diberi tugas menyusun
undang-undang agraria.

Dan tujuan UUPA Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional,yang
akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagian, dan keadialn bagi negara
dan rakyat, terytama rakyat tani dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.

DAFTAR PUSTAKA

Santoso Urip, Hukum Agraria Kajian Komperhensif, Jakarta:Kencana, 2012.

Arba H.M., Hukum Agraria Indonsia, Jakarta:Sinar Grafika, 2017.

Anda mungkin juga menyukai