Dosen Pengampu :
Nandang Apipudin,S.H, M.H
Disusun oleh :
SEPROWANDO JOYSEB LIMBONG C1A220701
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUBANG
2023
BAB I
PENGERTIAN DAN LINGKUP HUKUM AGRARIA
A. PENGERTIAN AGRARIA
Kata agraria mempunyai arti yang sangat berbeda antara bahasa yang satu
dengan bahasa lainnya. Dalam bahasa Latin kata agraria berasal dari kata ager
dan agrarius. Kata ager berarti tanah sebidang tanah, sedangkan kata agrarius
mempunyai arti sama dengan "perladangan, persawahan, pertanian". Dalam
terminologi bahasa Indonesia, agraria berarti urusan tanah pertanian,
perkebunan, sedangkan dalam bahasa Inggris kata agraria diartikan agrarian
yang selalu diartikan tanah dan dihubungkan denganusaha pertanian.
B. PENGERTIAN TANAH
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan pengertian mengenai
fanah,yaitu permukaan bumi atau lapisan bumiyang di atas sekali. Pengertian
tanah diatur dalam Pasal 4 UUPA dinyatakan sebagai berikut. Atas dasar hak
menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya
macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat
diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-
sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.
I. TANAH TELANTAR
Dalam artian bahwa terjadi penumpukan tanah pada sekelompok kecil
masyarakat, karena mereka memiliki modal untuk membeli tanah seluas-
luasnya. Namun demikian, tanah tersebut tidak diman faatkan, akibatnya terjadi
tanah yang ditelantarkan.
Dalam Pasal 1 ayat (5) PP Nomor 36 Tahun 1998 dinyatakan bahwa:
Tanah telantar adalah tanah yang ditelantarkan oleh pemegang hak atas tanah,
pemegang Hak Pengelolaan atau pihak yang telah memperoleh dasar
penguasaan atas tanah, tetapi belum memperoleh hak atas tanah sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
1. Tata Cara Identifikasi dan Penilaian Tanah Telantar
Dalam kegiatan pelaporan identifikasi tanah telantar, hai ini berkaitan
dengan
jangka waktu minimal untuk dilakukan identifikasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
a. Hak Milik 5 (lima) tahun;
b. Hak Guna Usaha 5 (lima) tahun;
c. Hak Guna Bangunan 3 (tiga) tahun;
d. Hak atas tanah yang Hak Pakai 3 (tiga) tahun;
e. Hak Pengelolaan 5 (lima) tahun, sejak diterbitkannya sertifikat
bersangkutan
2. Tata Cara Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar
Dalam Pasal 12 Keputusan Badan Pertanahan Nasional, dinyatakan bahwa:
Kepala kantor wilayah pertanahan nasional provinsi melakukan: (a)
mengevaluasi dan mengkaji usul tindak dan langkah penanganan yang perlu
diambil; (b) menetapkan tindakan dan Langkah penanganan penertiban dan
pendayagunaan tanah.
3. Penetapan Tindakan Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar
Berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (1) di atas, Badan
Pertanahan Nasional memberikan kesempatan kepada pemegang hak atau
pihak lain untuk mengadakan pelelangan umum terhadap tanah yang
dikuasainya tersebut. Hal ini sesuai Pasal 22 ayat (2) dinyatakan bahwa:
Sebelum mengeluarkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
kepada pemegang hak atas tanah atau pihak yang memperoleh penguasaan
tanah diberikan kesempatan untuk mengalihkan hak atas tanah atau dasar
penguasaan tanah dalam waktu 3 (tiga) bulan melalui pelelangan umum
sesuai Pasal 14 ayat (1) PP Nomor 36 Tahun 1998. Tanah yang sudah
dinyatakan sebagai tanah telantar, maka menjadi tanah yang langsung
dikuasai oleh negara, untuk dilaksanakan pengaturan lebih lanjut dalam
rangka pendayagunaan tanah.
4. Peran Serta Masyarakat
Hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 24 PP Nomor 36 Tahun 1998,
dinyatakan bahwa:
Masyarakat secara kelompok maupun sendiri-sendiri dapat memberi kan
laporan terhadap adanya tanah-tanah yang diperkirakan ditelantarkan oleh
para pemegang haknya untuk dilakukan identifikasi (ayat (1)). Terhadap
tanah tersebut, masyarakat dapat mengusulkan pemanfaatan tanah dimaksud
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan memperhatikan
kebutuhan dan kondisi setempat (ayat (2)). Laporan dan usulan masyarakat
disampaikan kepada kantor pertanahan kabupaten/kota dengan tembusan
bupati/walikota, kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional
Provinsi dan Gubernur.
A. LATAR BELAKANG
Setelah menunggu selama 34 tahun sejak UUPA No. 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Pokok-Pokok Agraria menjanjikan akan adanya undang-undang
tentang Hak Tanggungan, pada tanggal 9 April 1996, lahirlah UU No. 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Banda-Benda yang
Berkaitan dengan Tanah. Kehadiran lembaga hak tanggungan ini dimaksudkan
sebagai pengganti dari Hypotheek (selanjutnya disebut dengan hipotek)
sebagaimana yang diatur dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Indonesia sepanjang mengenai tanah, dan Credietverband yang diatur dalam
Staatsblad 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad 1937-190,
yang berdasarkan Pasal 51 UUPA No. 5 Tahun 1960, masih diberlakukan
sementara sampai dengan terbentuknya Undang-Undang Hak Tanggungan
tersebut.
Hak Tanggungan adalah Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pokok Agraria, berikut atau
tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu,
untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan
kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.
A. PENGERTIAN LANDREFORM
Secara terminologi istilah Landreform mempunyai arti yang sangat luas. Oleh
karena itu, sering kali istilah landreform disamakan dengan istilah Agrarian
Reform.
B. PROGRAM LANDREFORM
Oleh karena itu, suatu negara yang telah beralih dari negara agrans menuju
negara industri, berarti pemerintahnya mampu mewujudkan tujuan landreform
tersebut. Di Indonesia program landreform meliputi:
a. pembatasan luas maksimum penguasaan tanah;
b. larangan pemilikan tanah secara absentee atau guntai;
c. redistribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum, tanah-tanah
yang terkena larangan absentee, tanah-tanah bekas swapraja dan tanah tanah
negara;
d. pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang
digadaikan;
e. pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian;
f. penetapan luas minimum melakukan perbuatan-perbuatan yang
mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah pertanian menjadi bagian-
bagian yang terlampau kecil.
E. REDISTRIBUSI TANAH
Dalam Pasal 1 PP No. 224 Tahun 1961 dinyatakan bahwa: tanah-tanah yang
dalam rangka pelaksanaan landreform akan dibagikan menurut ketentuan-
ketentuan dalam peraturan ini ialah:
a. Tanah-tanah selebihnya dari batas maksimum sebagai dimaksudkan dalam
UU No. 56 Prp Tahun 1960 dan tanah-tanah yang jatuh pada negara, karena
pemiliknya melanggar ketentuan-ketentuan UU tersebut.
b. Tanah-tanah yang diambil oleh pemerintah, karena pemiliknya bertempat di
luar daerah, sebagai yang dimaksudkan dalam Pasal 3 ayat (5).
c. Tanah-tanah swapraja dan bekas swapraja yang telah beralih kepada negara,
sebagai yang dimaksudkan dalam diktum keempat huruf A UUPA.
d. Tanah-tanah lain yang dikuasai langsung oleh negara yang akan ditegaskan
lebih lanjut oleh Menteri Agraria.
G. PENGADILAN LANDREFORM
Akan tetapi, kemudian dalam ketetapannya No. 6/KM/845/MA.III/67 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Pengadilan Landreform, Mahkamah Agung
menetapkan sebagai berikut:
1. Mengenai penetapan Pasal 7 Undang-Undang No. 56 Tahun 1960.
2. Mengenai wewenang untuk mengadili perkara-perkara gadai tanah
pertanian:
H. PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH PERTANIAN
Mengantisipasi akan terjadinya masalah bagi hasil di kemudian hari, maka
pemerintah mengeluarkan UU Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi
Hasil (Tanah Pertanian). Dalam Pasal 1 UU Nomor 2 Tahun 1960 dinyatakan
perjanjian bagi hasil ialah Perjanjian dengan nama apa pun juga yang diadakan
antara pemilik pada satu pihak dan seseorang atau badan hukum pada lain pihak
yang dalam undang-undang ini disebut "penggarap", berdasarkan perjanjian
mana penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan
usaha pertanian di atas tanah pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua
belah pihak.
RUMAH SUSUN
A. LATAR BELAKANG
Pemerintah mengeluarkan UU Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun'.
Dalam diktum UU Nomor 16 Tahun 1985 dinyatakan bahwa:
Untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan peningkatan taraf hidup rakyat,
khususnya dalam usaha pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok akan
perumahan sebagaimana diamanatkan Garis-Garis Besar Haluan Negara,
diperlukan peningkatan usaha-usaha penye diaan perumahan yang layak,
dengan harga yang dapat dijangkau oleh daya beli rakyat terutama golongan
masyarakat yang mempunyai penghasilan rendah.