Anda di halaman 1dari 37

RANGKUMAN MATERI HUKUM AGRARIA

Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah


Hukum Agraria

Dosen Pengampu :
Nandang Apipudin,S.H, M.H

Disusun oleh :
SEPROWANDO JOYSEB LIMBONG C1A220701

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUBANG
2023
BAB I
PENGERTIAN DAN LINGKUP HUKUM AGRARIA

A. PENGERTIAN AGRARIA
Kata agraria mempunyai arti yang sangat berbeda antara bahasa yang satu
dengan bahasa lainnya. Dalam bahasa Latin kata agraria berasal dari kata ager
dan agrarius. Kata ager berarti tanah sebidang tanah, sedangkan kata agrarius
mempunyai arti sama dengan "perladangan, persawahan, pertanian". Dalam
terminologi bahasa Indonesia, agraria berarti urusan tanah pertanian,
perkebunan, sedangkan dalam bahasa Inggris kata agraria diartikan agrarian
yang selalu diartikan tanah dan dihubungkan denganusaha pertanian.

B. PENGERTIAN TANAH
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan pengertian mengenai
fanah,yaitu permukaan bumi atau lapisan bumiyang di atas sekali. Pengertian
tanah diatur dalam Pasal 4 UUPA dinyatakan sebagai berikut. Atas dasar hak
menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya
macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat
diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-
sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.

C. SUMBER HUKUM TANAH INDONESIA


Sumber Hukum Tanah Indonesia dapat dikelompokkan dalam:
1. Hukum Tanah Adat
2. Kebiasaan
3. Tanah-Tanah Swapraja
4. Tanah Partikelir
5. Tanah Negara
6. Tanah Garapan
7. Hukum Tanah Belanda
8. Hukum Tanah Jepang
9. Tanah Bengkok
BAB II
HUKUM TANAH SEBELUM BERLAKUNYA UUPA

A. HUKUM TANAH YANG DUALISTIK DAN PLURALISTIK


Selain kedua peraturan mengenai hukum tanah yang berada di Indonesia di atas,
pemerintah Belanda menciptakan pula hukum tanah seperti agrarisch eigendom.
Di samping itu, Pemerintah Swapraja menciptakan pula hukum atas tanah yang
berlaku di daerahnya, seperti grant Sultan. Dengan adanya tiga peraturan
mengenai hak-hak atas tanah tersebut, timbullah "pluralistik" hak atas tanah
yang terdapat di Indonesia.

B. SEJARAH PENGATURAN HAK ATAS TANAH DI INDONESIA


Pembahasan mengenai sejarah penguasan hak atas tanah di Indonesia akan
dimulai dari tonggak sejarah pada tahun 1811 pada waktu Indonesia
dipengaruhi oleh pikiran Raffles dengan teori domeinnya. Namun untuk lebih
lengkapnya akan diuraikan secara rinci di bawah ini.
1. Tonggak Pertama: 1811
Pada zaman ini, penguasaan hak atas tanah lebih diposisikan sebagai alat
untuk menarik pajak bumi demi kepentingan pemerintah jajahan Belanda.
2. Tonggak Kedua: 1830
Tonggak sejarah perkembangan hukum agraria, khususnya pengaturan hak
atas tanah pada zaman ini, ditandai dengan kembalinya Indonesia ke tangan
pemerintah jajahan Belanda yang kurang lebih 19 tahun berada di tangan
Inggris.
3. Tonggak Ketiga: 1848
pemerintahan jajahan Belanda atas tanah dan hasil dari perkebunannya
sehingga menimbulkan kecemburuan dari kaum pemilik modal dari aliran
liberal yang ada di parlemen. Terjadilah pergolakan antara mereka dengan
golongan konservatif pendukung cultuurstelsel.
4. Tonggak Keempat: 1870
Jatuhnya Menteri Jajahan Frans van de Putte, karena dianggap terlalu
tergesa-gesa memberikan hak eigendom kepada pribumi.
5. Tonggak Kelima: 1960
Setelah 15 tahun Indonesia merdeka barulah lahir UU Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Kelahiran UU Nomor 5
Tahun 1960 melalui suatu proses yang panjang,

C. HUKUM TANAII ADMINISTRATIF PEMERINTAH JAJAHAN


HINDIA BELANDA
1. Agrarische Wet 1870
Agrarische Wet ini dibuat di Belanda tahun 1870 dan diundangkan dalam S
1870-55 tahun 1870 sebagai tambahan ayat-ayat baru pada Pasal 62
Regeling Reglement Hindia Belanda Tahun 1845.
2. Tujuan Agrarische Wet
Tujuan utama diberlakukannya Agrarische Wet (AW) ini adalah untuk
membuka kemungkinan dan memberikan jaminan hukum kepada para
pengusaha swasta untuk dapat berkembang di Hindia Belanda.
3. Agrarische Besluit
Agrarische Besluit tersebut dimuat sebuah pernyataan asas yang sangat
penting bagi perkembangan dan pelaksanaan Hukum Tanah Administratif
Hindia Belanda. Asas tersebut dinilai kurang menghargai, bahkan
memerkosa hak-hak rakyat atas tanah yang bersumber pada hukum adat.
4. Fungsi Domein Verklaring
Dalam praktik pelaksanaan perundang-undangan pertanahan, domein
verklaring berfungsi:
a. sebagai landasan hukum bagi pemerintah untuk memberikan tanah
dengan hak-hak barat yang diatur dalam KUH Perdata, seperti erpacht,
hak opstal, dan lain-lainnya.
b. di bidang pembuktian pemilikan.
BAB III
HUKUM TANAH NASIONAL

PERANAN HUKUM TANAH ADAT DALAM PEMBANGUNAN


HUKUM TANAH NASIONAL

1. Pengertian Hukum Tanah Adat


Berbicara mengenai pengertian hukum tanah adat, tidak terlepas dari
dijadikannya hukum adat sebagai dasar hukum berlakunya UUPA.
2. Hukum Adat sebagai Sumber Utama dalam Pembangunan Hukum Tanah
Nasional
Boedi Harsono menyatakan bahwa:
Hukum tanah baru yang dibentuk dengan menggunakan bahan-bahan dari
hukum adat, berupa norma-norma hukum yang dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan sebagai hukum yang tertulis, merupakan hukum tanah
nasional positif yang tertulis. UUPA merupakan hasilnya yang pertama.
3. Sumber-Sumber Lain dalam Pembangunan Hukum Tanah Nasional
Namun demikian, dalam mengadopsi lembaga-lembaga baru tersebut syaratnya
tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
4. Lembaga Pendaftaran Tanah dan Lembaga Hak Tanggungan
Selain pendaftaran tanah yang merupakan lembaga baru yang tidak dikenal
dalam sistem hukum tanah adat, terdapat suatu lembaga baru yang telah
diperkenalkan dalam hukum tanah nasional dan telah digunakan dalam jaminan
hak atas tanah, yaitu lembaga hak tanggungan
BAB IV
KETENTUAN-KETENTUAN POKOK HAK-HAK
PENGUASAAN ATAS TANAH

JENIS-JENIS HAK PENGUASAAN ATAS TANAH


Bangsa Indonesia merupakan paguyuban dari semua suku yang terdapat di
nusantara, yang dalam kehidupannya tunduk pada aturan yang dibuat oleh
para ketua suku dan merupakan pedoman yang dipatuhi oleh warganya,
termasuk di dalamnya masalah tanah.
1. Hak Bangsa Indonesia Atas Tanah
Dalam Pasal 1 ayat (1, 2, dan 3) UUPA No. 5. Tahun 1960 dinyatakan
bahwa:
1) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh
rakyat Indonesia, yang telah bersatu sebagai bangsa Indonesia.
2) Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik
Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi,
air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan
kekayaan nasional.
3) Hubungan bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa
termasuk dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang bersifat
abadi.
2. Hak Menguasai Negara atas Tanah
Hal ini dapat terlihat dalam Ketentuan-Ketentuan Dasar Pokok Agraria,
yang menempatkan hak menguasai negara atas tanah diatur dalam Pasal
2 ayat (1) UUPA No. 5 Tahun 1960 dinyatakan bahwa:
a. Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan hal-hal
sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1.
b. Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) Pasal ini
memberi wewenang.
c. Wewenang yang bersumber pada hak yang menguasai dari negara
tersebut pada Pasal 2.
d. Hak menguasai dari negara di atas, pelaksanaannya dapat dikuasakan
kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum
adat.
3. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
Hak ulayat adalah nama yang diberikan oleh para ahli hukum pada
Lembaga hukum dan hubungan hukum konkret antara masyarakat-
masyarakat hukum adat dengan tanah dalam wilayahnya, yang disebut
hak ulayat.
4. Hak Ulayat dalam Hukum Tanah Nasional
Hak ulayat diakui eksistensinya bagi suatu masyarakat hukum adat
tertentu, sepanjang menurut kenyataannya masih ada.
BAB V
HAK-HAK PERORANGAN DAN KEBIJAKAN HAK ATAS TANAH

A. HAK-HAK PRIMER ATAS TANAH


Konsep hak-hak atas tanah yang terdapat dalam Hukum Agraria Nasional
membagi hak-hak atas tanah dalam dua bentuk. Pertama, hak-hak atas tanah
yang bersifat primer. Dalam UUPA terdapat beberapa hak atas tanah yang
bersifat primer, yaitu:
a) Hak Milik atas tanah (HM)
b) Hak Guna Usaha (HGU)
c) Hak Guna Bangunan (HGB)
d) Hak Pakai (HK)
1. Hak Milik Atas Tanah
Pemberian hak milik tersebut sesuai Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun
1960, yaitu:
 I.M.A (S 1939-569);
 Indonesian verenigengen (S 1939-570);
 B.I.N. (LN. 1952-21);
 B.T.N. (LN. 1955-137);
 B.N.I. (LN. 1955-5);
 Badan Perusahaan Produksi Bahan Makanan dan Pembukaan Tanah (LN
1959-60);
 Bank Umum Negara (LN 1959-85);
 B.D.N. (LN. 1960-39);
 Bank Rakyat Indonesia (LN 1951-180 yo 1960-41);
 Bank Pembangunan Indonesia (LN 1960-65).
2. Hapusnya Hak Milik Atas Tanah
Dalam Pasal 27 UUPA Tahun 1960 dinyatakan bahwa Hak Milik hapus bila:
a. Tanahnya jatuh kepada negara:
1. karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18 UUPA;
2. karena penyerahan dengan sukarela oleh pihak pemiliknya;
3. karena ditelantarkan;
4. karena ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2) UUPA.
b. Tanahnya musnah.
B. PENCABUTAN HAK ATAS TANAH
Dalam Pasal 1 UU Nomor 20 Tahun 1961 dinyatakan bahwa:
“Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta
kepentingan bersama rakyat, demikian pula kepentingan pembangunan, maka
Presiden dalam keadaan yang memaksa setelah mendengar Menteri Agraria,
Menteri Kehakiman dan menteri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak
atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya”.
C. PEMBEBASAN HAK ATAS TANAH/PENGADAAN TANAH
Dalam diktum pertimbangan mengenai Keppres Nomor 55 Tahun 1993 ini
dinyatakan bahwa:
“Pembangunan nasional, khususnya pembangunan berbagai fasilitas untuk
kepentingan umum, memerlukan bidang tanah yang cukup dan untuk itu
pengadaannya perlu dilakukan dengan sebaik-baiknya.

D. KEBIJAKAN PEMERINTAH DI BIDANG PERTANAHAN PADA


MASA REFORMASI
Terkait dengan adanya tuntutan reformasi di segala bidang pembangunan
tersebut, maka Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tahun 2001 telah
mengeluarkan suatu Ketetapan Nomor IX/MPR /2001 tentang Pembaruan
Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Dalam Pasal 2, Pasal 4, dan Pasal
5 ayat (1) Tap. MPR tersebut bertujuan untuk mewujudkan konsepsi, kebijakan,
dan sistem pertanahan nasional yang utuh dan terpadu, sehingga pengelolaan
pertanahan benar-benar dapat menjadi sumber bagi sebesar-besar kemakmuran
rakyat sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945
dalam kerangka Negara Republik Indonesia.
1. Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum
Sebab penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan
merupakan salah satu kebijakan pemerintah dari 9 (sembilan) kebijakan yang
dikeluarkan oleh Presiden pada tahun 2003 dalam bentuk Keputusan Presiden.
2. Pro-Kontra Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum
Pada kesempatan ini akan diuraikan secara gamblang mengenai pendapat yang
pro dan kontra terhadap kehadiran atau keberadaan Peraturan Presiden Nomor
36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk
Kepentingan Umum.
E. PERATURAN PRESIDEN NOMOR 7 TAHUN 2005 TENTANG
RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH NASIONAL
TAHUN 2004-2009
Dalam Perpres Nomor 7 Tahun 2005 penjelasannya mengenai program
pemenuhan hak-hak atas tanah tersebut dinyatakan bahwa untuk menjamin dan
melindungi hak perorangan dan komunal atas penggunaan, penguasaan, dan
pemilikan tanah dilakukan melalui program di antaranya:
a. penegakan hukum pertanahan yang adil dan transparan untuk mening katkan
kepastian hukum hak atas tanah kepada masyarakat melalui sinkronisasi
peraturan perundangan pertanahan, penyelesaian konflik dan pengembangan
budaya hukum;
b. penataan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang
berkeadilan, berkelanjutan, dan menjunjung supremasi hukum;
c. pembentukan lembaga penyelesaian konflik agraria;
d. redistribusi secara selektif terhadap tanah absentia dan perkebunan sesuai
dengan undang-undang pokok agraria;
e. pembangunan sistem pendaftaran tanah yang transparan dan efisien
termasuk pembuatan peta dasar pendaftaran tanah dalam rangka percepatan
pendaftaran tanah;
f. sertifikasi massal dan murah bagi masyarakat miskin dan penataan pengu
asaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang berkeadilan,
berkelanjutan, dan menjunjung supremasi hukum;
g. perlindungan tanah ulayat masyarakat adat tanpa diskriminasi gender;
h. pembentukan forum lintas pelaku dalam penyelesaian sengketa tanah;
i. fasilitas partisipasi masyarakat miskin dan lembaga adat dalam perencanaan
dan pelaksanaan tata ruang;
j. komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) mengenai hak-hak masyarakat
miskin terhadap tanah;
k. fasilitas dan perlindungan hak atas tanah bagi kelompok rentan; dan
l. pemberian jaminan kompensasi terhadap kelompok rentan yang terkena
penggusuran.
Program pengelolaan pertanahan ditujukan untuk: (1) meningkatkan kepastian
hukum hak atas tanah kepada masyarakat melalui penegakan hukum pertanahan
adil dan transparan secara konsisten; (2) memperkuat kelembagaan pertanahan
di pusat dan daerah dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat;
(3) mengem bangkan sistem pengelolaan dan administrasi pertanahan yang
transparan, terpadu, efektif dan efisien dalam rangka peningkatan keadilan
kepemilikan tanah oleh masyarakat; dan (4) melanjutkan penataan kembali
penguasaan,

F. HAK GUNA USAHA


Hak Guna Usaha (HGU) merupakan hak atas tanah yang bersifat primer yang
memiliki spesifikasi. Spesifikasi Hak Guna Usaha tidak bersifat terkuat dan
terpenuh. Dalam artian bahwa Hak Guna Usaha ini terbatas daya berlakunya
walaupun dapat beralih dan dialihkan pada pihak lain.
Untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai HGU ini, akan diuraikan
sebagai berikut:
1. Pemberian dan Subjek Hak Guna Usaha
2. Tanah yang Dapat Diberikan dengan Hak Guna Usaha (HGU)
3. Hapusnya Hak Guna Usaha
G. HAK GUNA BANGUNAN
Hak Guna Bangunan merupakan salah satu hak-hak atas tanah yang bersifat
primer, selain Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Pakai atas tanah.
Perkembangan Hak Guna Bangunan merupakan hak primer yang mempunyai
peranan penting kedua, setelah Hak Guna Usaha.
Sehubungan dengan pemberian perpanjangan jangka waktu apabila Hak Guna
Bangunan telah berakhir, maka Hak Guna Bangunan atas tanah negara, atas
permintaan pemegang haknya dapat diperpanjang atau diperbarui, dengan
memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang diatur Pasal 26 sebagai berikut:
a. tanahnya masih dipergunakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan
tujuan pemberian hak tersebut;
b. syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang
hak;
c. pemegang hak masih memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19;
d. tanah tersebut masih sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang
bersangkutan.
H. HAK PAKAI ATAS TANAH
Hak Pakai atas tanah berbeda dengan Hak Guna Usaha dan Hak Guna
Bangunan, karena Hak Pakai mempunyai subjek yang terbanyak dibandingkan
dengan hak-hak tersebut.
1. Pemberian Hak Pakai Atas Tanah
2. Jangka Waktu Hak Pakai
3. Kewajiban dan Hak Pemegang Hak Pakai
4. Peralihan Hak Pakai dan Hapusnya Hak Pakai

I. TANAH TELANTAR
Dalam artian bahwa terjadi penumpukan tanah pada sekelompok kecil
masyarakat, karena mereka memiliki modal untuk membeli tanah seluas-
luasnya. Namun demikian, tanah tersebut tidak diman faatkan, akibatnya terjadi
tanah yang ditelantarkan.
Dalam Pasal 1 ayat (5) PP Nomor 36 Tahun 1998 dinyatakan bahwa:
Tanah telantar adalah tanah yang ditelantarkan oleh pemegang hak atas tanah,
pemegang Hak Pengelolaan atau pihak yang telah memperoleh dasar
penguasaan atas tanah, tetapi belum memperoleh hak atas tanah sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
1. Tata Cara Identifikasi dan Penilaian Tanah Telantar
Dalam kegiatan pelaporan identifikasi tanah telantar, hai ini berkaitan
dengan
jangka waktu minimal untuk dilakukan identifikasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
a. Hak Milik 5 (lima) tahun;
b. Hak Guna Usaha 5 (lima) tahun;
c. Hak Guna Bangunan 3 (tiga) tahun;
d. Hak atas tanah yang Hak Pakai 3 (tiga) tahun;
e. Hak Pengelolaan 5 (lima) tahun, sejak diterbitkannya sertifikat
bersangkutan
2. Tata Cara Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar
Dalam Pasal 12 Keputusan Badan Pertanahan Nasional, dinyatakan bahwa:
Kepala kantor wilayah pertanahan nasional provinsi melakukan: (a)
mengevaluasi dan mengkaji usul tindak dan langkah penanganan yang perlu
diambil; (b) menetapkan tindakan dan Langkah penanganan penertiban dan
pendayagunaan tanah.
3. Penetapan Tindakan Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar
Berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (1) di atas, Badan
Pertanahan Nasional memberikan kesempatan kepada pemegang hak atau
pihak lain untuk mengadakan pelelangan umum terhadap tanah yang
dikuasainya tersebut. Hal ini sesuai Pasal 22 ayat (2) dinyatakan bahwa:
Sebelum mengeluarkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
kepada pemegang hak atas tanah atau pihak yang memperoleh penguasaan
tanah diberikan kesempatan untuk mengalihkan hak atas tanah atau dasar
penguasaan tanah dalam waktu 3 (tiga) bulan melalui pelelangan umum
sesuai Pasal 14 ayat (1) PP Nomor 36 Tahun 1998. Tanah yang sudah
dinyatakan sebagai tanah telantar, maka menjadi tanah yang langsung
dikuasai oleh negara, untuk dilaksanakan pengaturan lebih lanjut dalam
rangka pendayagunaan tanah.
4. Peran Serta Masyarakat
Hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 24 PP Nomor 36 Tahun 1998,
dinyatakan bahwa:
Masyarakat secara kelompok maupun sendiri-sendiri dapat memberi kan
laporan terhadap adanya tanah-tanah yang diperkirakan ditelantarkan oleh
para pemegang haknya untuk dilakukan identifikasi (ayat (1)). Terhadap
tanah tersebut, masyarakat dapat mengusulkan pemanfaatan tanah dimaksud
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan memperhatikan
kebutuhan dan kondisi setempat (ayat (2)). Laporan dan usulan masyarakat
disampaikan kepada kantor pertanahan kabupaten/kota dengan tembusan
bupati/walikota, kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional
Provinsi dan Gubernur.

J. PERWAKAFAN TANAH HAK MILIK


Hal ini senada dengan ketentuan yang tercantum dalam diktum PP Nomor 28
Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, dinyatakan bahwa wakaf adalah
suatu lembaga keagamaan yang dapat digunakan sebagai salah satu sarana guna
pengembangan kehidupan keagamaan.
1. Sejarah Perwakafan Tanah Milik
Adanya perkembangan lembaga perwakafan tanah milik yang berkembang
di negara-negara Islam mengilhami pembuat/perancang UUPA Tahun 1960
memasukkan salah satu pasal dalam UUPA yang mengatur khusus
mengenai Perwakafan Tanah Milik ini, yaitu Pasal 49 yang berbunyi sebagai
berikut: Hak milik tanah benda-benda keagamaan dan sosial sepanjang
dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial diakui dan
dilindungi (ayat (1)). Badan-badan tersebut dijamin pula akan memperoleh
tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan
dan sosial. Untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya sebagai
dimaksud dalam Pasal 14 dapat diberikan tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara dengan hak pakai (ayat (2)). Perwakafan Tanah Milik dilindungi dan
diatur dengan Peraturan Pemerintah (ayat (3)).
2. Pengertian Perwakafan Tanah Milik
Wakaf dalam perspektif fikih didefinisikan sebagai perbuatan hukum
menahan benda yang dapat diambil manfaatnya tanpa menghabiskan
bendanya untuk digunakan di jalan kebaikan.
3. Unsur-Unsur dan Syarat-Syarat Wakaf
Oleh karena itu, persyaratan utama dalam mewakafkan tanah hak milik atas
tanah adalah orang dan badan hukum. Hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal
3 PP Nomor 28 Tahun 1977, dinyatakan bahwa:
Badan-badan hukum Indonesia dan orang atau orang-orang yang telah
dewasa dan sehat akalnya serta yang oleh hukum tidak terhalang untuk
melakukan perbuatan hukum, atas kehendak sendiri dan tanpa paksaon dari
pihak lain, dapat mewakafkan tanah miliknya dengan memperhatikan
peraturan perundang-undangan yang berlaku (ayat (1)). Dalam hal badan-
badan hukum, maka yang bertindak atas namanya adalah pengurusnya yang
sah menurut
hukum (ayat (2).
4. Tata Cara Mewakafkan dan Pendaftarannya
Hal ini sesuai ketentuan yang tercantum dalam Pasal 9 ayat (1, 2, 3 dan 4)
PP Nomor 28 Tahun 1997, yang menyatakan bahwa:
Pihak yang hendak mewakafkan tanahnya diharuskan datang di hadapan
Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf untuk melaksanakan ikrar Pejabat
Pembuat Akta Ikrar Wakaf diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama.
Isi dan bentuk wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama. Pelaksanaan ikrar,
demikian pula pembuatan Akta Ikrar Wakaf, dianggap sah, jika dihadiri dan
disaksikan oleh sekurang kurangnya 2 (dua) orang saksi.
5. Perubahan, Penyelesaian Perselisihan, dan Pengawasan Perwakafan Tanah
Milik
Dalam Pasal 11 PP Nomor 28 Tahun 1977 dinyatakan bahwa:
Pada dasarnya terhadap tanah milik yang telah diwakafkan tidak dapat
dilakukan perubahan peruntukan atau penggunaan lain daripada yang
dimaksud dalam ikrar wakaf. Penyimpangan dari ketentuan tersebut dalam
ayat (1) hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu yang terlebih
dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Agama, yakni (a) karena
tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf, seperti diikrarkan oleh wakif; (b)
karena kepentingan umum. Perubahan penggunaannya sebagai akibat
ketentuan tersebut dalam ayat (2) harus dilaporkan oleh Nadzir kepada
Bupati/Walikota Kepala Daerah c.q. Subdirektorat Agraria (BPN) setempat
untuk mendapatkan penyelesaian lebih lanjut.
6. Badan Wakaf Indonesia, Ketentuan Pidana dan Sanksi Administratif
Dalam menjalankan tugasnya tersebut, Badan Wakaf Indonesia mempunyai
tugas dan wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 49 UU Nomor 41
Tahun 2004 dinyatakan bahwa, Badan Wakaf Indonesia mempunyai tugas
dan wewenang: (a) melakukan pembinaan terhadap Nadzir dalam mengelola
dan mengembangkan harta benda wakaf; (b) melakukan pengelolaan dan pe
ngembangan harta benda wakaf berskala nasional dan internasional; (c)
memberikan persetujuan dan/atau izin atas perubahan peruntukan dan status
harta benda wakaf; (d) memberhentikan dan mengganti Nadzir; (e)
memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf; (f) memberikan
saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam penyusunan kebijakan di
bidang perwakafan (ayat (1)). Dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Badan Wakaf Indonesia dapat bekerja sama dengan
instansi Pemerintah baik Pusat maupun Daerah, organisasi masyarakat, para
ahli, badan internasional, dan pihak lain yang dipandang perlu.
K. HAK PENGELOLAAN
Hak Pengelolaan ini lahir dan berkembang sesuai dengan terjadinya
perkembangan suatu daerah.
1. Sejarah Hak Pengelolaan
Dalam PP Nomor 8 Tahun 1953 pada prinsipnya dipergunakan istilah Hak
Penguasaan yang berisikan:
a. merencanakan, peruntukan, penggunaan tanah tersebut;
b. menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya;
c. mencrima uang pemasukan/ganti rugi dan atau uang wajib tahunan.
2. Objek dan Subjek Hak Pengelolaan
Selain Peraturan Nomor 9 Tahun 1969, pemberian bidang usaha yang
terdapat dalam Peraturan Menteri Agraria mempergunakan Hak Pengelolaan
diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa:
Dengan mengingat bidang usaha, keperluan dan persyaratannya yang
ditentukan dalam peraturan perundangan yang bersangkutan. kepada
perusahaan dapat diberikan sesuatu hak atas tanah negara sebagai berikut:
(a) jika perusahaannya berbentuk badan hukum. Hak Pengelolaun, Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai: (b) jika perusahaannya
merupakan usaha perorangan dan pengusaha berkewarganegaraan Indonesia
Hak Milik, Hak Guna Usaha Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai
BAB VI
PENDAFTARAN TANAH

Pendaftaran tanah' merupakan persoalan yang sangat penting dalam UUPA,


karena pendaftaran tanah merupakan awal dari proses lahirnya sebuah bukti
kepemilikan hak atas tanah. Hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 19 UUPA
dinyatakan sebagai berikut:
1. Untuk menjamin kepastian hukum
2. Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi:
a. pengukuran, perpetaan, dan pembukuan tanah;
b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat.
3. Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan
Masyarakat.
4. Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan
pendaftaran tanah.
Sebagai tindak lanjut dari perintah Pasal 19 ayat (1) UUPA tersebut, Pemerintah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran
Tanah. Berpatokan pada perkembangan yang begitu pesat dan banyaknya
persoalan pendaftaran tanah yang muncul ke permukaan dan tidak mampu
diselesaikan oleh PP Nomor 10 Tahun 1961, maka setelah berlaku selama
kurang lebih 38 tahun, pemerintah mengeluarkan PP Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah.
A. SEJARAH PENDAFTARAN TANAH DI INDONESIA
Untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai periode sejarah kadaster
di Indonesia akan diuraikan di bawah ini:
1. Periode Kacau Balau (De Chaotische Periode)
2. Periode Ahli Ukur Pemerintah (De Periode van den Gouvernements
Landmeter).
3. Periode Pendaftaran Tanah (De Periode van den Kadastralen Dienst)
B. ORDONANSI BALIK NAMA
Pendaftaran hak-hak sehubungan dengan pengalihan hak yang dilak ukan di
depan Raad van Justitic yang pada awalnya hanya bersifat administratif,
kemudian berkembang menjadipendaftaran hak-hak yang diselenggarakan
untuk menjamin kepastian hukum dari hak-hak itu. Perkembangan tersebut
mendapat dasar hukum dalam Staatsblad 1834 Nomor 27 tentang Ordonansi
Balik Nama. Untuk lebih jelasnya menyangkut ordonansi balik nama, akan
diuraikan di bawah ini:
1. Periode Sebelum Ordonansi Balik Nama
Dalam plakat tertanggal 18 Agustus 1620 dinyatakan bahwa
pemberitahuan kepada Bailluw dan Schepen yang dimaksud dalam
plakat tanggal 18 Agustus 1620 harus dilakukan di hadapan 2 (dua)
orang Schepen. Kedua orang Schepen tersebut berdasarkan plakat
tanggal 12 Juni 1623 harus mencatat pengalihan-pengalihan hak yang
diberitahukan
kepada mereka dalam suatu daftar-daftar tanah (stadsboeken).
2. Periode Ordonansi Balik Nama
Pokok-pokok dari pendaftaran hak yang diatur dalam Ordonansi Balik
Nama adalah sebagai berikut:
a. setiap peralihan hak harus didaftar pada pejabat balik nama (over
schrijvings ambtenaaren) yang dibantu oleh pejabat-pejabat
pembantu;
b. pembuatan akta pendaftaran peralihan hak atau akta balik nama (acte
van overschrijving) oleh pejabat balik nama;
c. aslı akta balik nama disimpan oleh pejabat pembantu dalam 2 (dua)
bundel terpisah, yaitu bundel koopbrieven dan bundel
hypotheekbrieven, sedangkan kepada yang bersangkutan diberikan
salinan sah (grosse) akta balik nama;
d. pejabat balik nama dan pejabat pembantu bertanggung jawab secara
pribadin atas kerugian yang timbul akibat kelalaian mereka dalam
melaksanakan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan dalam
ordonansi balik nama,
e. surat keterangan pendaftaran tanah (landmeterskennis), dan surat
ukur pemisahan.
C. ASAS DAN TUJUAN PENDAFTARAN TANAH
Asas merupakan ſundamen yang mendasari terjadinya sesuatu dan
merupakan dasar dari suatu kegiatan, hal ini berlaku pula pada pendaftaran
tanah. Oleh karena itu, dalam pendaftaran tanah ini terdapat asas yang harus
menjadi patokan dasar dalam melakukan pendaftaran tanah.
D. SISTEM PENDAFTARAN TANAH
Pendaftaran tanail yang dianut oleh sistem Torrens ini tentu mempunyai
kelebihan dan kelemahan. Keuntungan pendaftaran sistem Torrens ini, yaitu:
1. menetapkan biaya-biaya yang tak dapat diduga sebelumnya;
2. meniadakan pemeriksaan yang berulang-ulang,
3. meniadakan kebanyakan rekaman;
4. secara tegas menyatakan dasar haknya;
5. melindungi terhadap kesulitan-kesulitan yang tidak tersebut dalam
sertifikat;
6. meniadakan (hampir tak mungkin) pemalsuan;
7. tetap melihara sistem tersebut tanpa menambahkan kepada taksasi yang
menjengkelkan, oleh karena yang memperoleh kemanfaatan dari system
tersebut yang membayar biaya;
8. meniadakan alas hak pajak;
9. dia memberikan suatu alas hak yang abadi, oleh karena negara menjamin
nya tanpa batas;
E. JABATAN NOTARIS
Negara dalam suatu konsep ketatanegaraan dalam menjalankan fungsinya
diwakili oleh pemerintah, pemerintah dalam menjalankan fungsi dan
tugasnya dalam merealisasikan tujuan negara diwakili pula oleh pejabat.
BAB VII
HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH

A. LATAR BELAKANG
Setelah menunggu selama 34 tahun sejak UUPA No. 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Pokok-Pokok Agraria menjanjikan akan adanya undang-undang
tentang Hak Tanggungan, pada tanggal 9 April 1996, lahirlah UU No. 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Banda-Benda yang
Berkaitan dengan Tanah. Kehadiran lembaga hak tanggungan ini dimaksudkan
sebagai pengganti dari Hypotheek (selanjutnya disebut dengan hipotek)
sebagaimana yang diatur dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Indonesia sepanjang mengenai tanah, dan Credietverband yang diatur dalam
Staatsblad 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad 1937-190,
yang berdasarkan Pasal 51 UUPA No. 5 Tahun 1960, masih diberlakukan
sementara sampai dengan terbentuknya Undang-Undang Hak Tanggungan
tersebut.

B. DEFINISI HAK TANGGUNGAN

Hak Tanggungan adalah Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pokok Agraria, berikut atau
tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu,
untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan
kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.

C. ASAS-ASAS HAK TANGGUNGAN


Tujuan mempelajari asas hak tanggungan adalah untuk membedakannya dengan
hak-hak tanggungan yang telah ada sebelum terbitnya UU Hak Tanggungan
yang baru ini, termasuk asas hipotek yang ada sebelumnya. Untuk lebih
jelasnya, asas-asas tersebut akan diuraikan sebagai berikut.
1. Hak Tanggungan Memberikan Kedudukan Hak yang Diutamakan
“kedudukan yang diutamakankepada kreditor tertentu kepada kreditor lain",
2. Hak Tanggungan Tidak Dapat Dibagi-bagi
Hak Tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi, kecuali jika
diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
3. Hak Tanggungan Hanya Dibebankan pada Hak Atas Tanah yang Telah Ada
Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan pada hak atas tanah yang telah
dimiliki oleh pemegang Hak Tanggungan. Oleh karena itu, hak atas tanah
yang baru akan dipunyai oleh seseorang di kemudian hari tidak dapat
dijaminkan dengan Hak Tanggungan bagi pelunasan suatu utang.
4. Hak Tanggungan Dapat Dibebankan selain Atas Tanahnya juga Benda-
Benda yang Berkaitan dengan Tanah Tersebut.
Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut
bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang
merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik
pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan di
dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.
5. Hak Tanggungan Dapat Dibebankan Juga Atas Benda-Benda yang
Berkaitan dengan Tanah yang Baru akan Ada di Kemudian Hari.
"yang baru akan ada" ialah benda-benda yang pada saat Hak Tanggungan
dibebankan belum ada sebagai bagian dari tanah (hak atas tanah) yang
dibebani Hak Tanggungan tersebut.
6. Hak Tanggungan DapatDijadikan Jaminan untuk Utang yang Akan Ada
Utang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan dapat berupa
utang yang telah ada atau yang telah diperjanjikan dengan jumlah tertentu
atau jumlah yang pada saat permohonan eksekusi Hak Tanggungan diajukan
dapat ditentukan berdasarkan perjanjian utang-piutang atau perjanjian lain
yang menimbulkan hubungan utang-piutang yang bersangkutan.
7. Hak Tanggungan Dapat Menjamin Lebih dari Satu Utang
Hak Tanggungan dapat diberikan untuk suatu utang yang berasal dari satu
hubungan hukum atau untuk satu utang atau lebih yang berasal dari
beberapa hubungan hukum.
8. Hak Tanggungan Mengikuti Objeknya dalam Tangan Siapa pun Objek Hak
Tanggungan Itu Berada.
Asas ini seperti halnya dalam Hipotek, memberikan hak kebendaan
(zakelijkrecht). Hak Kebendaan dibedakan dengan hak perorangan
(persoonlijkrecht). Hak kebendaan adalah hak mutlak. Artinya, hak ini dapat
dipertahankan terhadap siapa pun
9. Hak Tanggungan Hanya Dapat Dibebankan atas Tanah Tertentu
Dalam Pasal 8 UU Nomor 4 Tahun 1996 dinyatakan bahwa:
Pemberi Hak Tanggungan adalah orang-perseorangan atau badan hukum
yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap
objek Hak Tanggungan yang bersangkutan.
10. Hak Tanggungan Wajib Didaftarkan
Dalam kaitannya dengan asas Hak Tanggungan wajib didaftar, hal ini sesuai
ketentuan Pasal 13 UU Nomor 4 Tahun 1996 dinyatakan:
Bahwa pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada
Kantor,Pertanahan. Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah
penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan, PPAT wajib
mengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan dann
warkah lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan.
11. Hak Tanggungan Dapat Diberikan dengan Disertai Janji-janji Tertentu
Bersifat fakultatif karena janji-janji itu boleh dicantumkan atau tidak
dicantumkan, baik seluruhnya maupun sebagiannya. Bersifat tidak limitatif
karena dapat pula diperjanjikan janji-janji lain, selain dari janji-janji yang
telah disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2).
12. Hak Tanggungan Tidak Boleh Diperjanjikan untuk Dimiliki Sendiri oleh
Pemegang Hak Tanggungan Apabila Cedera Janji.
Sejalan dengan penjelasan Pasal 12 UUHT di atas, St. Remy Sjahdeini
mengatakan:
Larangan pencantuman janji yang demikian, dimaksudkan untuk melindungi
debitor, agar dalam kedudukan yang lemah dalam menghadapi kreditor
(bank) karena dalam keadaan sangat membutuhkan utang (kredit) terpaks
menerima janji dengan persyaratan yang berat dan merugikannya.
13. Pelaksanaan Eksekusi Hak Tanggungan Mudah dan Pasti
Apabila debitor cedera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama
mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan
sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya
dari hasil penjualan tersebut.
D. SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN
Dalam kaitannya dengan adanya jenis-jenis kredit tersebut, dalam Pasal 1
PMNA/KBPN disebutkan jenis-jenis Kredit Usaha Kecil sebagai berikut:
1. Kredit yang diberikan kepada nasabah usaha kecil, yang meliputi:
a. Kredit kepada Koperasi Unit Desa;
b. Kredit Usaha Tani;
c. Kredit kepada Koperasi Primer untuk anggotanya
2. Kredit Pemilikan Rumah yang diberikan untuk pengadaan perumahan, yaitu:
a. Kredit yang diberikan untuk membiayai pemilikan rumah inti, rumah
sederhana, atau rumah susun dengan luas tanah maksimum 200 m² (dua
ratus meter persegi).
b. Kredit yang diberikan untuk pemilikan Kapling Stap Bangun (KSB)
dengan luas tanah 54 m² (lima puluh empat meter persegi) sampai
dengan 72 m² (nyuh puluh dua meter persegi) dan kredit yang diberikan
untuk membiayai bangunannya;
c. Kredit yang diberikan untukperbaikan/pemugaran rumah sebagaimana
dimaksud huruf a dan b.
3. Kredit produktif lain yang diberikan oleh Bank Umum dan Badan
Perkreditan Rakyat dengan plafon kredit tidak melebih Rp50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah) antara lain:
a. Kredit Umum Pedesaan;
b. Kredit Kelayakan Usaha (yang disalurkan oleh Bank Pemerintah).
E. PERINGKAT HAK TANGGUNGAN
Hak Tanggungan memiliki peringkat sesuai dengan waktu pendaftarannya. Hak
Tanggungan tersebut didaftar di Kantor Pertanahan. Hal ini sesuai ketentuan
Pasal 5 UUHT Nomor 4 Tahun 1996 dinyatakan bahwat Suatu objek Hak
Tanggungan dapat dibebani dengan lebih dari sanu Hak Tanggungan guna
menjamin pelunasan lebih dari satu utung. Apabila suatu objek Hak
Tanggungan dibebani dengan lebih dari satu Hak Tanggungan, peringkat
masing-masing Hak Tanggungan ditentukan menurut tanggal pendaftarannya
pada Kantor Pertanahan Peringkat Hak Tanggungan yang didaftar pada tanggal
yang sama ditentukan menurut tanggal pembuatan Akta Pemberian Hak
Tanggungan yang bersangkutan (Pasal 1, 2 dan 3).
F. BERALIHNYA HAK TANGGUNGAN
Hal ini diatur dalam Pasal 16 UUHT Nomor 4 Tahun 1996 dinyatakan bahwa:
Jika piutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan beralih karena cessie",
subrogasi, pewarisan, atau sebab-sebab lain", Hak Tanggungan tersebut ikut
beralih karena hukum kepada kreditor yang baru (ayat (1). Beralihnya Hak
Tanggungan wajib didaftarkan oleh kreditor yang baru kepada Kantor
Pertanahan (ayat (2)). Pendaftaran beralihnya Hak Tanggungan dilakukan oleh
Kantor Pertanahan dengan mencatatnya pada buku-tanah Hak Tanggungan dan
buku-tanah hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan serta menyalin
catatan tersebut pada sertifikat Hak Tanggungan dan sertifikat hak atas tanah
yang bersang kutan (ayat (3)). Tanggal pencatatan pada buku-tanah adalah
tanggal hari ketujuh setelah diterimanya secara lengkap surat-surat yang diper
lukan bagi pendaftaran beralihnya Hak Tanggungan dan jika hari ketujuh itu
jatuh tempo pada hari libur, catatan itu diberi bertanggal hari kerja berikutnya
(ayat (4)). Beralihnya Hak Tanggungan mulai berlaku bagi pihak ketiga pada
hari tanggal pencatatan (ayat (5).
G. PEMBERIAN, PENDAFTARAN, DAN PENCORETAN HAK
TANGGUNGAN
Suatu proses yang ditempuh dalam peralihan hak atas tanah yang dijadikan
jaminan Hak Tanggungan adalah melalui suatu prose pemberian, pendaftaran,
dan pencoretan Hak Tanggungan tersebut.
1. Tata Cara Pemberian dan Pendaftaran Hak Tanggungan
2. Tata Cara Pendaftaran Hak Tanggungan
3. Tata Cara Pencoretan Hak Tanggungan

H. HAPUSNYA HAK TANGGUNGAN


Hak Tanggungan akan mengalami suatu proses berakhir, yang sama dengan
hak-hak atas tanah yang lainnya. Ketentuan hapusnya Hak Tanggungan diatur
dalam Pasal 18 UUHT Nomor 4 Tahun 1996 yang menyatakan bahwa:
Hak Tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut: (a) hapusnya utang yang
dijamin dengan Hak Tanggungan; (b) dilepaskannya Hak Tanggungan oleh
pemegang Hak Tanggungan; (c) pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan
penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri; (d) hapusnya hak atas tanah
yang dibebani Hak Tanggungan (ayat (1). Hapusnya Hak Tanggungan karena
dilepaskan oleh pemegangnya dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis
mengenai dilepaskannya Hak Tanggungan tersebut oleh pemegang Hak
Tanggungan kepada pemberi Hak Tanggungan (ayat (2). Hapusnya Hak
Tanggungan karena pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan
peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri terjadi karena permohonan pembeli hak
atas tanah yang dibebankan Hak Tanggungan tersebut agar hak atas tanah yang
dibelinya itu dibersihkan dari beban Hak Tanggungan (ayat (3). Hapusnya Hak
Tanggungan karena hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan
tidak menyebabkan kapusnya utang yang dijamin (ayat (4).
I. HARTA KEPAILITAN DAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN
Dalam kaitannya dengan ketentuan Pasal 56A di atas, dalam penjelasan
Pasal 56A dinyatakan bahwa:
Maksud penangguhan ini bertujuan antara lain untuk memperbesar
kemungkinan tercapainya perdamaian, atau untuk memperbesar kemungkinan
mengoptimalkan harta pailit, atau untuk memungkinkan kurator melaksanakan
tugasnya secara optimal. Selama berlangsungnya jangka waktu penangguhan,
segala tuntutan hukum untuk memperoleh pelunasan atas suatu piutang tidak
dapat dijatuhkan dalam siding peradilan, dan baik kreditor maupun pihak ketiga
dimaksud dilarang mengeksekusi atau memohonkan sita atas barang yang
menjadi agunan.
BAB VIII
LANDREFORM DI INDONESIA

A. PENGERTIAN LANDREFORM
Secara terminologi istilah Landreform mempunyai arti yang sangat luas. Oleh
karena itu, sering kali istilah landreform disamakan dengan istilah Agrarian
Reform.
B. PROGRAM LANDREFORM
Oleh karena itu, suatu negara yang telah beralih dari negara agrans menuju
negara industri, berarti pemerintahnya mampu mewujudkan tujuan landreform
tersebut. Di Indonesia program landreform meliputi:
a. pembatasan luas maksimum penguasaan tanah;
b. larangan pemilikan tanah secara absentee atau guntai;
c. redistribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum, tanah-tanah
yang terkena larangan absentee, tanah-tanah bekas swapraja dan tanah tanah
negara;
d. pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang
digadaikan;
e. pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian;
f. penetapan luas minimum melakukan perbuatan-perbuatan yang
mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah pertanian menjadi bagian-
bagian yang terlampau kecil.

C. LARANGAN MENGUASAI TANAH MELAMPAUI BATAS


Ketentuan
Pasal 7 UUPA tersebut berbunyi sebagai berikut. Untuk tidak merugikan
kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampui batas
tidak diperkenankan.
Hal ini disinyalir oleh sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang
bergerak di bidang Pembaruan Hukum Agraria bahwa: Jika ditelesuri, dari
berbagai kebijakan pemerintah, penguasaan lahan dalam jumlah besar agaknya
bermula pada tahun 1980-an.

D. PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN


Penetapan luas tanah pertanian diatur dalam Pasal 17 UUPA sebagai berikut:
1. Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 7 maka untuk mencapai tujuan
yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan atau
minimum tanah yang boleh dipunyai dengan suatu hak tersebut dalam Pasal
16 oleh suatu keluarga atau badan hukum.
2. Penetapan batas maksimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini dilakukan
dengan peraturan perundangan dalam waktu yang singkat.
3. Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud
dalam ayat (2) pasal ini diambil oleh pemerintah dengan ganti kerugian,
untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut
ketentuan-ketentuan dalam peraturan pemerintah.
4. Tercapainya batas minimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini yang akan
ditetapkan dengan peraturan perundangan, dilaksanakan secara berangsur.

E. REDISTRIBUSI TANAH
Dalam Pasal 1 PP No. 224 Tahun 1961 dinyatakan bahwa: tanah-tanah yang
dalam rangka pelaksanaan landreform akan dibagikan menurut ketentuan-
ketentuan dalam peraturan ini ialah:
a. Tanah-tanah selebihnya dari batas maksimum sebagai dimaksudkan dalam
UU No. 56 Prp Tahun 1960 dan tanah-tanah yang jatuh pada negara, karena
pemiliknya melanggar ketentuan-ketentuan UU tersebut.
b. Tanah-tanah yang diambil oleh pemerintah, karena pemiliknya bertempat di
luar daerah, sebagai yang dimaksudkan dalam Pasal 3 ayat (5).
c. Tanah-tanah swapraja dan bekas swapraja yang telah beralih kepada negara,
sebagai yang dimaksudkan dalam diktum keempat huruf A UUPA.
d. Tanah-tanah lain yang dikuasai langsung oleh negara yang akan ditegaskan
lebih lanjut oleh Menteri Agraria.

F. GADAI TANAH PERTANIAN


Pengaturan gadai tanah secara khusus telah diatur dalam UU Prp 56 Tahun 1960
tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Dalam Pasal 7 dinyatakan bahwa:
Barangsiapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang pada waktu
mulai berlakunya peraturan ini sudah berlangsung 7 tahun atau lebih wajib
mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya waktu sebulan setelah tanaman
yang ada selesai dipanen, dengan tidak ada hak untuk menuntut pembayaran (1).

Pedoman Penyelesaian Masalah Gadai


Dalam Pasal 2 Kepmen Pertanian dan Agraria ini dinyatakan bahwa:
Jika sebelum gadai berakhir, uang gadainya ditambah, baik dalam bentukb uang
ataupun lainnya dan penambahan itu dilakukan secara tertulis dengan melalui
cara yang lazim seperti pada waktu gadai tersebut diadakan, maka sejak
dilakukannya penambahan itu timbullah gadai baru, dengan jumlah uang gadai
yang baru pula (ayat (1).

G. PENGADILAN LANDREFORM
Akan tetapi, kemudian dalam ketetapannya No. 6/KM/845/MA.III/67 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Pengadilan Landreform, Mahkamah Agung
menetapkan sebagai berikut:
1. Mengenai penetapan Pasal 7 Undang-Undang No. 56 Tahun 1960.
2. Mengenai wewenang untuk mengadili perkara-perkara gadai tanah
pertanian:
H. PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH PERTANIAN
Mengantisipasi akan terjadinya masalah bagi hasil di kemudian hari, maka
pemerintah mengeluarkan UU Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi
Hasil (Tanah Pertanian). Dalam Pasal 1 UU Nomor 2 Tahun 1960 dinyatakan
perjanjian bagi hasil ialah Perjanjian dengan nama apa pun juga yang diadakan
antara pemilik pada satu pihak dan seseorang atau badan hukum pada lain pihak
yang dalam undang-undang ini disebut "penggarap", berdasarkan perjanjian
mana penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan
usaha pertanian di atas tanah pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua
belah pihak.

I. PELAKSANAAN LANDREFORM DI INDONESIA


Pelaksanaan landreform di Indonesia, mengalami perubahan seiring
dengannterjadinya perubahan peta politik di Indonesia. Pada tahun 1962-1965
yang diwarnai oleh kekerasan politik menjadi mimpi buruk dan puncak
pergolakan politik yang bermuara dengan tumbangnya rezim Orde Lama
dengan korban manusia yang luar biasa.

J. PELAKSANAAN LANDREFORM DI BEBERAPA NEGARA ASIA


Perhatian Bank Dunia begitu penting terhadap pelaksanaan landreform,
sehingga memberikan panduan bagi sebuah negara dalam pelaksanaan
landreform, di antaranya:
1. Pemerintahan yang menyetujui komitmen dasar terhadap program
landreform perlu mempertimbangkan tiga komponen berikut ini: (a)
redistribusi pemilikan tanah guna mengurangi maldistribusi yang ada; (b)
pembaruan penyakapan (tenancy reform); dan (c) konsolidasi, bila
diperlukan.
2. Komitmen kepada landreform mengarah kepada tindakan-tindakan serentak
untuk menciptakan atau mengembangkan sistem penyediaan input (input
supply system) guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan khusus dari
penerimaan penyediaan kredit, input layanan teknis, termasuk juga riset dan
perluasannya.
3. Di negeri-negeri yang padat penduduknya, skema bagi pemindahan
penduduk yang terstruktur (structured settlement scheme) bisa menjadi
pengganti kedua yang terbaik, atau juga program tambahan, dari redistribusi
tanah-tanah yang sudah berlaku.
4. Sebagaimana diketahui, struktur pertanian kecil dapat menghasilkan
pekerjaan untuk menampung tenaga kerja di wilayah-wilayah yang padat di
mana tidak ada prospek jangka pendek untuk menampungnya di pekerjaan
nonpertanian atau pertanian besar.
5. Dalam hal adanya perkebunan berskala besar yang efisien, maka hal ini
tidak perlu dibagi-bagi, akan tetapi harus diterima dalam arti tujuan
landreform terealisasi bila pada usaha pertanian tersebut diterapkan system
pajak progresif.
6. Perlu dilibatkannya riset guna menghasilkan kebijakan pemindahan
penduduk yang berbiaya rendah (low-cost settlement policy).
7. Perlu dipahami bahwa penerima tanah yang tadinya tunawisma dan kini
menjadi petani independen untuk pertama kalinya, perlu disediakan kredit
jangka pendek dan jangka panjang serta kredit konsumsi untuk tiga atau
empat masa tanam.
8. Penghapusan terhadap penyakapan bisa tidak dimungkinkan di negeri negeri
di mana kebutuhan akan tanah oleh tunawisma dan petani kecil melebihi
tanah yang tersedia. Untuk itu, pengaturan bagi hasil dapat bersifat efisiensi.
BAB IX

RUMAH SUSUN

A. LATAR BELAKANG
Pemerintah mengeluarkan UU Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun'.
Dalam diktum UU Nomor 16 Tahun 1985 dinyatakan bahwa:
Untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan peningkatan taraf hidup rakyat,
khususnya dalam usaha pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok akan
perumahan sebagaimana diamanatkan Garis-Garis Besar Haluan Negara,
diperlukan peningkatan usaha-usaha penye diaan perumahan yang layak,
dengan harga yang dapat dijangkau oleh daya beli rakyat terutama golongan
masyarakat yang mempunyai penghasilan rendah.

B. LANDASAN DAN TUJUAN PEMBANGUNAN RUMAH SUSUN


Pembangunan rumah susun berlandaskan pada asas kesejahteraan umum,
keadilan dan pemerataan, serta keserasian dan keseimbangan dalam penghi
dupan (Pasal 2). Sejalan dengan ketentuan Pasal 3 UU Nomor 16 Tahun 1985
serta
penjelasan umum UU Nomor 16 tersebut, dalam penjelasan Pasal 3 dinyatakan
bahwa:
Yang dimaksud dengan perumahan yang layak adalah perumahan yang
memenuhi syarat-syarat teknis, kesehatan, keamanan, kesehatan, dan norma-
norma sosial budaya.

C. PEMBANGUNAN RUMAH SUSUN


Dalam Pasal 5 UU Nomor 16 Tahun 1985 dinyatakan bahwa, rumah susun
dibangun sesuai dengan tingkat keperluan dan kemampuan masyarakat terutama
masyarakat yang berpenghasilan rendah.
D. PEMILIKAN SATUAN RUMAH SUSUN
Oleh karena itu, perumahan tersebut harus memenuhi standar sebagai hunian
yang harus memenuhi syarat, baik dari kesehatan, kenyamanan dan keasrian
dari rumah tersebut. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 8 yang menyatakan, bahwa:
Satuan rumah susun dimiliki oleh perorangan atau badan hukum yang
memenuhi syarat sebagaimana pemegang hak atas tanah. Hak milik atas satuan
rumah susun' adalah hak milik atas satuan yang bersifat perseorangan dan
terpisah.

E. PEMBEBANAN DENGAN HIPOTEK DAN FIDUSIA


Hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 12 UU Nomor 16 Tahun 1985 dinyatakan
bahwa:
Rumah susun berikut tanah tempat bangunan itu berdiri serta benda lainnya
yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dapat dijadikan jaminan
utang dengan: (a) dibebani hipotek, jika tanahnya tanah hak pakai atau hak guna
bangunan; (b) dibebani fidusia, jika tanahnya tanah hak pakai atas tanah negara.
Hipotek dan fidusia dapat juga dibebankan atas tanah beserta rumah susun yang
dibangun sebagai jaminan pelunasan kredit yang dimaksudkan untuk membiaya
pelaksanaan pembangunan rumah susun yang telah direncanakan di atas tanah
yang bersangkutan dan yang pemberian kreditnya dilakukan secara bertahap
sesuai dengan pelaksanaan pembangunan rumah susun tersebut.

F. PENGHUNIAN DAN PENGELOLAAN SERTA PENGAWASAN


RUMAH SUSUN
Dalam kaitannya dengan ketentuan dalam Pasal 18 di atas, maka dalam
penjelasan Pasal 18 dinyatakan bahwa:
Bila rumah susun yang sudah selesai dibangun setelah diadakan pemeriksaan
terbukti sesuai dengan persyaratan dan ketentuan yang tercantum dalam Surat
Izin Mendirikan Bangunan, maka oleh pemerintah daerah dikeluarkan izin layak
huni berupa surat keterangan layak huni, sebagai salah satu syarat untuk
menerbitkan sertifikat hak milik atas satuan-satuan rumah susun yang
bersangkutan. Izin layak huni tersebut diperlukan juga bagi rumah susun yang
bukan hunian. Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk menjalin keselamatan,
keamanan, ketenteraman, serta ketertiban para penghuni dan pihak lainnya.

G. PEMILIKAN TEMPAT TINGGAL ORANG ASING DI INDONESIA


Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat
Tinggal oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia. Pemberian
kebijakan orang asing diperbolehkan memiliki tanah di Indonesia. Hal yang
sama diatur dalam ketentuan UU Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun.
1. Penentuan Orang Asing yang Dapat Memiliki Rumah Tempat Tinggal
di Indonesia
Untuk menentukan apakah semua orang asing dapat diperbolehkan memiliki
rumah tempat tinggal atau hunian di Indonesia tersebut, masalah ini telah
diatur dalam Pasal 1 ayat (1) dan (2) dinyatakan bahwa:
Orang asing yang berkedudukan di Indonesia dapat memiliki sebuah rumah
untuk tempat tinggal atau hunian dengan hak atas tanah tertentu. Orang
asing yang berkedudukan di Indonesia adalah orang asing yang
kehadirannya di Indonesia memberikan manfaat bagi pembangunan
nasional.
2. Persyaratan Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Orang Asing
Dalam Pasal 2 PP Nomor 41 Tahun 1996 dinyatakan:
Rumah tempat tinggal atau hunian yang dapat dimiliki oleh orang asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah (a) Hak Pakai atas Tanah
Negara; (b) Yang dikuasai berdasarkan perjanjian dengan pemegang hak
atas tanah. Satuan rumah susun
BAB X
TATA GUNA TANAH

A. DASAR HUKUM TATA GUNA TANAH


Untukmelakukan penataan tersebut, diaturlah hal itu dalam Pasal 14 ayat (1)
yang dinyatakan sebagai berikut. Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam
Pasal 2 ayat (2) dan (3), Pasal 9 ayat (2) serta Pasal 10 ayat (1) dan (2).
pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana umum
mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa
serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya: (a) untuk keperluan negara;
(b) untuk keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya, sesuai
dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa; (c) untuk keperluan pusat-pusat
kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan, dan lain-lain kesejahteraan; (d)
untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan, dan
perikanan serta sejalan dengan itu; (e) untuk keperluan memperkembangkan
industri, transmigrasi, dan pertambangan.
B. KONSOLIDASI TANAH
Merupakan anugerah yang tidak dapat disia-siakan, sebab tanah mempunyai arti
yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah. secara
yuridis, pe ngertian konsolidasi tanah adalah kebijaksanaan pertanahan
mengenai penataanm kembali.
1. Tujuan, Sasaran, dan Pelaksanaan Konsolidasi Tanah
Dalam Pasal 1 PP Nomor 4 Tahun 1991 dinyatakan bahwa:
Konsolidasi tanah adalah kebijaksanaan pertanahan mengenai penataan kembali
penguasaan dan penggunaan tanah serta usaha pengadaan tanah untuk
kepentingan pembangunan, untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan
pemeliharaan sumber daya alam dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat.
2. Sumbangan Tanah untuk Pembangunan
Hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 6 Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Nasional (BPN) yang dinyatakan sebagai berikut:
Dalam rangka pelaksanaan penataan penguasaan dan penggunaan tanah objek
konsolidasi tanah, para peserta menyerahkan tanahnya sebagai sumbangan tanah
untuk pembangunan yang akan digunakan untuk pembangunan prasarana jalan
dan fasilitas umum lainnya dan pembiayaan pelaksanaan konsolidasi tanah (ayat
(1)). Besarnya sumbangan tanah untuk pembangunan ditetapkan berdasarkan
kesepakatan bersama peserta konsolidasi tanah dengan tetap mengacu kepada
tata ruang daerah (ayat (2). Peserta yang persil tanahnya terlalu kecil sehingga
tidak mungkin menyerahkan sebagian tanahnya sebagai sumbangan tanah untuk
pembangunan dapat mengganti sumbangan tersebut dengan bentuk uang atau
bentuk lainnya yang disetujui bersama oleh para peserta konsolidasi tanah.

C. PELAKSANAAN KONSOLIDASI TANAH DI MALAYSIA


Untuk memberikan gambaran yang lebih rinci terhadap pelaksanaan Land
Readjustment di Malaysia, maka pada kesempatan ini akan diuraikan
pelaksanaan tersebut dengan bertumpu pada empat hal:
1. Paradigma Pelaksanaan Konsolidasi Tanah
Dalam tataran praktis operasional, pelaksanaan Readjustment itu
dilaksanakan sebagai upaya yang sistematis untuk melaksanakan kegiatan
pembangunan rutin pada umumnya. Artinya, dengan segala kebijakan public
dikembangkannya terutama di bidang pertanahan, Land Readjustment
tersebut sekaligus dilakukan di dalam kegiatan tersebut.
2. Kondisi dan Perkembangan Konsolidasi Tanah
Pelaksanaan Land Readjustment di Malaysia bukan saja difokuskan untuk
mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan
pemeliharaan tanah untuk tanah-tanah perkotaan semata, tetapi secara lebih
jauh dari itu kegiatan Land Readjustment itu juga dilakukan secara simultan
untuk daerah-daerah pertanian.
3. Materi, Struktur, dan Budaya Hukum Konsolidasi Tanah
Hal ini terbukti dalam pelaksanaan pengaturan hukum pertanahan
khususnya Land Readjustment yang telah diformulasikan dalam Kanun
Tanah Negara sebagai suatu sistem hukum. Penerapan sistem hukum anglo
saxon pada pelaksanaan Readjustment tidak menutup kemungkinan juga
mempergunakanpaham legisme yang tertulis dalam bentuk undang-undang
(akta).
Kemajuan teknologi khususnya teknologi penerbangan pada abad kini memberi
akibat yang positif kepada tingkat kehidupan manusia yang sekarang telah
mampu melakukan penerbangan-penerbangan ke dan di ruang angkasa.
1. Pengaturan Hukum Internasional Mengenai Kegiatan di Ruang
Angkasa
2. Perbedaan Antara Ruang Hukum Udara dan Hukum Ruang Angkasa
3. Prinsip-Prinsip dalam Hukum Udara dan Hukum Angkasa
Suherman, dalam hukum angkasa terdapat beberapa prinsip, Prinsip-prinsip itu
adalah sebagai beriku:
1. Prinsip tidak dapat dimiliki (non-appropriation principle).
2. Prinsip kebebasan eksplorasi dan pemanfaatan (Freedom of exploration and
use).
3. Prinsip bahwa Hukum International Umum berlaku (Applicability of
General International Law).
4. Prinsip pembebasan kegiatan militer (restriction on military activities).
5. Status hukum Ruang Angkasa sebagai res extra commercium atau res
Omnium communis.
6. Prinsip common interest dan common heritage.
7. Prinsip kerja sama international (principle of international cooperation).
8. Prinsip tanggung jawab (principle ofresponsibility and liability).

3. Hak Tata Ruang di Lautan dan di Bawah Tanah


Dalam Pasal 1 ayat (1) dinyatakan bahwa ruang adalah wadah yang meliputi
ruang daratan, ruang 308 Hukum Agraria lautan, dan ruang udara sebagai satu
kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan
kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.
a. Hak Tata Ruang di Lautan
b. Peraturan-Peraturan Pendukung Penentuan Batas Maritim
c. Pengaturan Batas Maritim Hukum Laut Internasional
d. Batas-Batas Maritim Antara Republik Indonesia dengan Negara Tetangga
4. Pengaturan Tata Ruang di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
5. Penataan Ruang di Bawah Tanah

Anda mungkin juga menyukai