Hukum Agraria
Tentang
Dosen Pengampu
Masna Yunita, SH. M.Hum
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tanah merupakan salah satu modal pokok bagi bangsa Indonesia dan suatu
unsur yang utama dalam pembangunan menuju terbentuknya masyarakat adil dan
makmur berdasarkan Pancasila sebagai landasan idiil dan Undang-Undang Dasar
1945 sebagai landasan konstitusional. Sebelum berlakunya UUPA, Hukum Tanah
Indonesia bersifat dualistis yaitu selain diakui berlakunya Hukum Tanah Adat
yang bersumber pada Hukum Adat, diakui pula peraturan-peraturan mengenai
tanah yang didasarkan pada Hukum Barat. 1 Oleh karena itu dualisme dalam
Hukum Agraria perlu dihapus dan diganti agar lebih mengarah kepada hukum
nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hukum tanah sebelum berlakunya uupa?
2. Bagaimana hukum tanah dualistik dan pluralistik?
3. Bagaimana hukum tanah administratif pemerintahan jajahan hindia
belanda/ hukum agraria kolonial?
1 Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, (Jakarta : Sinar
Grafika, 2006), hlm. 1.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
tanah adat dikonversi (diubah) menjadi hak atas tanah menurut UUPA.
Hak-hak atas tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA diubah menjadi
hak-hak atas tanah yang ditetapkan oleh UUPA.3
3
Perdata Indonesia juga konkoran dengan BW Negeri Belanda yang berjiwa
liberal individualistis.
4
Gubermen dapat terlindungi, sebab pemerintah menganggap pengusaha-
pengusaha Eropa sangat membahayakan.
5
c. Roerendiensten
Kebijaksanaan ini dikenal dengan kerja rodi, yang
dibebankan kepada rakyat Indonesia yang tidak mempunyai tanah
pertanian.
6
ini setiap tanah dikenakan pajak bumi. Tujuan raffles dalam menata
system administrasi pertanahan dengan system domain, yaitu ingin
menerapkan system penarikan pajak bumi seperti apa yang
dipergunakan oleh inggris di India.
7
AW ini merupakan undang-undang di negeri Belanda, yang
diterbitkan pada tahun 1870, dengan diundangkan dalam 5.1870-55
dimasukkannya ke Indonesia, dengan memasukkan Pasal 62 RR yang
pada mulanya terdiri dari 3 ayat dengan penambahan 5 ayat tersebut
sehingga Pasal 62 RR menjadi 8 Ayat, yakni ayat 4 sampai dengan
ayat 8. Pada akhirnya pasal 62 RR ini menjadi pasal 51 IS.
Terbentuknya AW merupakan upaya desakan dari para kalangan
pengusaha di negeri Belanda yang karena keberhasilan usahanya
mengalami kelebihan modal karenanya memerlukan bidang usaha baru
untuk menginvestasikannya. Dengan banyaknya persediaan tanah
hutan di jawa yang belum dibuka, para pengusaha itu menuntut untuk
diberikannya kesempatan membuka usaha di bidang perkebunan besar.
Sejalan dengan semangat liberalisme yang sedang berkembang dituntut
pergantian sistem monopoli negara dan kerja paksa dalam
melaksanakan cultuur stelsel, dengan sistem persaingan bebas dan
sistem kerja bebas, berdasarkan konsepsi kapitalisme liberal.
Tuntutan untuk mengakihiri sistem tanam paksa dan kerja paksa
dengan tujuan bisnis tersebut, sejalan dengan tuntutan (berdasarkan
pertimbangan kemanusiaan dari golongan lein di negeri Belanda, yang
mellihat terjadinya penderitaan yang sangat hebat di kalangan petani
Jawa, sebagai akibat penyalahgunaan wewenang dalam melaksanakan
cultuur stelsel oleh para pejabat yang bersangkutan.
Dari itu jelaslah tujuan dikeluarkannya AW adalah untuk membuka
kemungkinan dan memberikan jaminan hukum kepada para pengusaha
swasta agar dapat berkembang di Hindi Belanda. Selain itu AW juga
bertujuan untuk :
a. Memperhatikan perusahaan swasta yang bermodal besar dengan
jalan
1. Memberikan tanah-tanah negara dengan hak Erfacht
yangberjangka waktu lama, sampai 75 tahun.
8
2. Untuk memberikan kemungkinan bagi para pengusaha untuk
menyewakan tanah adat/rakyat.
b. Mempematikan kepentigan rakyat asli, dengan jalan
1. Melindungi hak-hak tanah rakyat asli.
2. Memberikan kepada rakyat asli untuk memperoleh hak tanah
baru (Agrarische eigendom).
9
"Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Pasal 2 dan
3 Agrarische Wet tetap dipertahankan asas, bahwa semua tanan yang
pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak eigendomnya, adalah
domein negara (milik) negara".
10
memberikan kemajuan yang berarti bagi rakyat. Aturan ini tetap tidak
mengakui hak milik individual masyarakat. Semua tanah yang tidak
memiliki alas hak atau bukti kepemilikan menjadi milik negara
(domein van den staat), yang umum disebut domein verklaaring. Tanah
petani pun dianggap sebagai tanah negara tak bebas, sedangkan semua
tanah tak bertuan atau terlantar digolongkan sebagai tanah negara
bebas. Politik agrarian ini jelas sangat merugikan rakyat, akibatnya
terjadi protest bahkan sampai menimbulkan kekacauan. Sejarah
mencatat, bentuk-bentuk perlawanan, baik individual maupun kolektif,
sekadar aksi unjuk rasa hingga pemberontakan, kerap dilakukan.
Pemberontakan petani Banten, gerakan rakyat Samin, pemberontakan
Ciomas, peristiwa Cimareme dan berbagai peristiwa lain yang
mewarnai sejarah protes rakyat di era ini.
Menurut perkiraan Onghokham, salah satu sejarawan Indonesia,
pada tahun 1994, sejak pemberontakan Diponegoro selesai tahun 1830
hingga awal mula lahirnya pergerakan nasional tahun 1908, telah
terjadi lebih dari 100 pemberontakan dan keresahan oleh para
penyangga tatanan negara Indonesia (petani). Dari berbagai aksi
tersebut, para ulama dari tokoh pemimpin informal setempat menjadi
ujung tombak aksi perlawanan yang mewakili masing-masing daerah.
Politik pertanahan pada masa penjajahan Belanda dibagi dalam dua
bentuk, yaitu (a) politik pertanahan konservatif; dan (b) politik
pertanahan liberal. Politik pertanahan konservatif merupakan politik
pertanahan yang mempertahankan status quo penjajahan sehingga
sangat merugikan rakyat Indonesia. Masa-masa pemerintahan pada
zaman penjajahan Hindia Belanda dan Inggris yang menggunakan
politik pertanahan konservatif dalam kebijakan bidang, yakni:
contingenten, verplichte leveranten, roerendiensten pada masa VOC,
dan landheerlijke rechten atau hak pertuanan pada zaman
pemerintahan Gubernur Herman William
11
Daendels, kebijakan land rent atau pajak tanah pada masa
pemerintahan Gubernur Thomas Stamford Raffles, dan sistem tanam
paksa yang diberlakukan pada masa pemerintahan Gubernur van den
Bosch. Sedangkan, hal yang menandakan penerapan politik pertanahan
Liberal pada zaman penjajahan Belanda ialah dengan disahkannya
Agrarische Wet yang adalah hasil dari rancangan yang diajukan oleh
Menteri Jajahan de Waal yang diundangkan dalam Stb. 1970 No. 55,
sebagai tambahan ayat-ayat baru Pasal 62 RR (Regeling Reglement)
Stb. 1854 No. 2, yang terdiri atas 8 ayat. Pasal 62 RR kemudian
menjadi pasal 51 Indische Staatregeling (IS) Stb. 1925 No. 447, yang
kurang lebih isinya seperti berikut :
a. Gubernur jenderal tidak boleh menjual tanah
b. Dalam tanah diatas tidak termasuk tanah-tanah yang tidak luar,
yang diperuntukkan bagi perluasan kota dan desa, serta
pembangunan kegiatan-kegiatan usaha
c. Gubernur jenderal dapat menyewakan tanah menurut ketentuan-
ketentuan yang ditetapkan oleh ordonansi, tidak termasuk yang
boleh disewakan tanah-tanah kepunyaan orang-orang pribumi asal
pembukaan hutan, demikian juga tanah-tanah yang sebagai tempat
pengembangan umum atas dasar lain merupakan kepunyaan desa
d. Menurut ketentuan yang ditetapkan dengan ordonansi, diberikan
tanah dengan hak erfpacht selama tidak lebih dari 75 tahun
e. Gubernur jenderal menjaga jangan sampai terjadi pemberian tanah
yang melanggar hak-hak rakyat pribumi
f. Gubernur jenderal tidak boleh mengambil tanah-tanah kepunyaan
rakyat asal pembukaan hutan yang digunakan untuk keperluan
sendiri, demikian juga tanah-tanah sebagai tempat penggembalaan
umum atau atas dasar lain merupakan kepunyaan desa, kecuali
untuk kepentingan umum berdasarkan Pasal 133 atau untuk
keperluan penanaman tanaman-tanaman yang diselenggarakan atas
12
perintah penguasa menurut peraturan-peraturan yang bersangkutan,
semuanya dengan pemberian ganti rugi yang layak
g. Tanah-tanah yang dimiliki oleh orang-orang pribumi dengan hak
pakai pribadi yang turun-temurun (yang dimaksudkan adalah hak
milik adat) atas permintaan pemiliknya yang sah dapat diberikan
kepadanya dengan hak eigendom, dengan pembatasan-pembatasan
yang diperlukan sebagai yang ditetapkan dengan ordonansi dan
dicantumkan dalam surat eigendom-nya, yaitu mengenai
kewajibannya terhadap Negara dan desa yang bersangkutan,
demikian juga mengenai wewenangnya untuk menjualnya kepada
bukan pribumi
h. Persewaan atau serah pakai tanah oleh orang-orang pribumi kepada
non-pribumi dilakukan menurut ketentuan yang diatur dengan
ordonansi.
13
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
14
DAFTAR PUSTAKA
Santoso, Urip. 2005. Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah. Jakarta : Kencana.
15