Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

Hukum Agraria

Tentang

Sejarah dan Perkembangan Hukum Agraria

Dosen Pengampu
Masna Yunita, SH. M.Hum

Disusun Oleh : Kelompok 2

Qatrunnada Avytia Putri : 2013040021


Jelita Juliandra : 2013040023
Nurul Hasana : 2013040026

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
UIN IMAM BONJOL PADANG
1444 H/2023 M
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tanah merupakan salah satu modal pokok bagi bangsa Indonesia dan suatu
unsur yang utama dalam pembangunan menuju terbentuknya masyarakat adil dan
makmur berdasarkan Pancasila sebagai landasan idiil dan Undang-Undang Dasar
1945 sebagai landasan konstitusional. Sebelum berlakunya UUPA, Hukum Tanah
Indonesia bersifat dualistis yaitu selain diakui berlakunya Hukum Tanah Adat
yang bersumber pada Hukum Adat, diakui pula peraturan-peraturan mengenai
tanah yang didasarkan pada Hukum Barat. 1 Oleh karena itu dualisme dalam
Hukum Agraria perlu dihapus dan diganti agar lebih mengarah kepada hukum
nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hukum tanah sebelum berlakunya uupa?
2. Bagaimana hukum tanah dualistik dan pluralistik?
3. Bagaimana hukum tanah administratif pemerintahan jajahan hindia
belanda/ hukum agraria kolonial?

1 Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, (Jakarta : Sinar
Grafika, 2006), hlm. 1.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hukum Tanah Sebelum Berlakunya UUPA


Tanah merupakan salah satu modal pokok bagi bangsa Indonesia
dan suatu unsur yang utama dalam pembangunan menuju terbentuknya
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila sebagai landasan idiil
dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional. Sebelum
berlakunya UUPA, Hukum Tanah Indonesia bersifat dualistis yaitu selain
diakui berlakunya Hukum Tanah Adat yang bersumber pada Hukum Adat,
diakui pula peraturan-peraturan mengenai tanah yang didasarkan pada
Hukum Barat. Oleh karena itu dualisme dalam Hukum Agraria perlu
dihapus dan diganti agar lebih mengarah kepada hukum nasional
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menentukan bahwa :
“Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945
kemakmuran rakyat menjadi tujuan utama dalam penggunaan bumi, air,
dan ruang angkasa, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
khususnya tanah.
Sebagai realisasi dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 maka bumi, air
dan kekayaan alam diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Salah satu tujuan
pokok dibentuknya UUPA adalah meletakkan dasar-dasar untuk
memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat
seluruhnya.2 Untuk mewujudkan kepastian hukum mengenai hak-hak atas
tanah bagi rakyat seluruhnya, maka dilalukan kegiatan pendaftaran tanah
sehingga pemegang hak atas tanah memperoleh sertipikat tanah. Dengan
berlakunya UUPA di Indonesia maka hak atas tanah barat dan hak atas
2 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah,
Djambatan, (Jakarta : Djambatan, 2008), hlm. 29.

2
tanah adat dikonversi (diubah) menjadi hak atas tanah menurut UUPA.
Hak-hak atas tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA diubah menjadi
hak-hak atas tanah yang ditetapkan oleh UUPA.3

B. Hukum Tanah Dualistik dan Pluralistik

Sebagaimana halnya hukum perdata yang bersumber pada KUH


Perdata, maka hukum agrarian lama pun bersifat dualistik sebagai akibat
dari politik agraria era Belanda terdahulu. Dualisme dalam hukum agrarian
memiliki pengertian bahwa disamping berlakunya hukum agraria yang
bersumber pada hukum adat, pada masa itu juga berlaku hukum agrarian
barat yang bersumber pada ketentuan perdata barat. Hak-hak atas tanah
yang diatur menurut hukum adat disebut dengan Tanah Adat atau Tanah
Indonesia.

Sumber hukum adat sifatnya tidak tertulis, karena jiwa gotong


royong dan kekeluargaannya disesuaikan dengan sifat-sifat hukum adat.
Meskipun hukum agrarian adat tersebut pokok-pokok dan asas-asasnya
sama, tetapi menunjukkan juga bahwa terdapat perbedaan-perbedaan
berdasarkan daerah atau masyarakat tempat berlakunya hukum agraria adat
tersebut. Oleh sebab itu, terlihat bahwa hukum agraria adat tersebut isinya
beraneka ragam sehingga disebut pluralistis. Hukum agraria adat memiliki
kelemahan, disamping formulasinya yang tidak tertulis, juga tidak tegas
serta tidak menjamin kepastian hukum.

Selain itu, hukum agraria barat yang bersumber pada hukum


perdata barat, khususnya yang diatur dalam KUHPerdata yang dominansi
dimuat dalam buku II, III, dan IV. Sifat hukum agraria barat ialah tertulis,
yang dapat dilihat dari formulasinya yang tegas, mudah dipaksanakan
pemberlakuannya sebagai hukum positif. Jiwa dari hukum agraria barat
ialah liberal individualistis, yakni berdasarkan asas konkordansi dalam
penyusunan perundang-undangan Hindia Belanda dahulu, sehingga KUH
3 Effendi Perangin-angin, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta :Rajawali Pers, 1991), hlm. 45.

3
Perdata Indonesia juga konkoran dengan BW Negeri Belanda yang berjiwa
liberal individualistis.

Konsekuensi dari sifat dualistik hukum agraria perdata ialah


berakibat pada hubungan-hubungan dan peristiwa-peristiwa hukum yang
terjadi di kalangan orang-orang dari golongan Eropa dan yang
dipersamakan akan diselesaikan menurut hukum barat. Apabila terjadi
hubungan-hubungan dan peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi antara
orang-orang dari golongan Indonesia asli dengan orang-orang dari
golongan Eropa. Untuk mengatasi persoalan hukum seperti ini ada yang
disebut dengan Hukum Antar Golongan. Dalam hal ini terdapat
pemberlakuan asas “tanah itu mempunyai status hukum tersendiri yang
terlepas dan tidak dipengaruhi oleh status atau hukum dari subyek yang
menghendaki. Oleh sebab itu, tanah adat (Indonesia) tetap tunduk pada
hukum agrarian adat, meskipun dipunyai oleh golongan Eropa, demikian
pula sebaliknya.

Asas hukum agrarian antar-golongan seperti tersebut diatas, tidak


merupakan ketentuan hukum tertulis, tetapi diperkuat/dipertegas dalam
berbagai putusan pengadilan. Pada waktu itu, tanah mempunyai pasaran
bebas, yang berarti baik orang-orang dari golongan Eropa dan yang
dipersamakan dengan itu dapat mempunyai tanah adat.

Demikian pula sebaliknya orang-orang dari golongan bumi putera


dapat mempunyai tanah barat/Eropa. Dalam perkembangan selanjutnya
bagi orangorang bukan Indonesia asli untuk memperoleh tanah-tanah adat
(Indonesia) diadakan pembatasan, yaitu dengan dikeluarkannya peraturan
Larangan Pengasingan Tanah (grond vervreemdings verbod). Maksud
dikeluarkannya peraturan larangan pengasingan tanah: (a) untuk
melindungi bangsa Indonesia yang kedudukannya lemah dalam bidang
ekonomi apabila dibandingkan dengan bukan bangsa Indonesia asli; dan
(b) untuk kepentingan pemerintah colonial sendiri yaitu agar kultur kopi

4
Gubermen dapat terlindungi, sebab pemerintah menganggap pengusaha-
pengusaha Eropa sangat membahayakan.

Sehingga, dapat dijelaskan bahwa sifat dualisme yang terkandung


dalam hukum agrarian mengandung banyak sekali masalah-masalah yang
sulit untuk dipecahkan, meskipun hukum agraria antar-golongan akhirnya
mampu untuk mengatasinya.

C. Hukum Tanah Administratif Pemerintahan Jajahan Hindia Belanda/


Hukum Agraria Kolonial

1. Pada Masa VOC


VOC didirikan pada tahun 1602-1799 sebagai badan perdagangan
sebagai upaya guna menghindari persaingan antara pedagang Belanda
kala itu. VOC tidak mengubah struktur penguasaan dan pemilikan
tanah, kecuali pajak hasil dan kerja rodi. berikut beberapa
kebijaksanaan politik pertanian yang sangat menindas rakyat Indonesia
yang ditetapkan oleh VOC, antara lain :
a. Contingenten
Pajak hasil atas tanah pertanian harus diserahkan kepada
penguasa kolonial (kompeni). Petani harus menyerahkan sebagian
dari hasil pertaniannya kepada kompeni tanpa dibayar sepeser pun.
b. Verplichte leveranten.
Suatu bentuk ketentuan yang diputuskan oleh kompeni
dengan para raja tentang kewajiban meyerahkan seluruh hasil
panen dengan pembayaran yang harganya juga sudah ditetapkan
secara sepihak.

5
c. Roerendiensten
Kebijaksanaan ini dikenal dengan kerja rodi, yang
dibebankan kepada rakyat Indonesia yang tidak mempunyai tanah
pertanian.

2. Pada Masa Pemerintahan Gubernur Herman Willem Daendles


Awal dari perubahan struktur penguasaan dan pemilikan tanah
dengan penjualan tanah. hingga menimbulkan tanah, partikelir.
Kebijakannya itu adalah dengan menjual tanah-tanah rakyat Indonesia
kepada orang-orang Cina, Arab maupun bangsa Belanda sendiri.
Tanah itulah yang kemudian disebut tanah partikelir. Tanah partikelir
adalah tanah eigendom yang mempunyai sifat dan corak istimewa.
Yang membedakan dengan tanah eigendom lainnya ialah adanya hak-
hak pada pemiliknya yang bersifat kenegaraan yang disebut
landheerlijke rechten atau hak pertuanan, hak pertuanan antara lain :
a. Hak untuk mengangkat atau mengesankan kepemilikan serta
memberhentikan kepal kepala kampung/desa
b. Hak untuk menuntut kerja paksa (rodi) atau memungut uang
pengganti kena paksa dan penduduk
c. Hak untuk mengadakan pungutan-pungutan, baik yang berupa
uang maupun hasil pertanian dari penduduk
d. Hak untuk mendirikan pasar-pasar
e. Hak untuk memungut biaya pemakaian jalan dan penyebrangan
f. Hak untuk mengharuskan penduduk tiga hari sekali memotong
rumput untuk keperluan tuan tanah, sehari dalam seminggu untuk
menjaga rumah atau gudang-gudangnya dan sebagainya.

3. Pada Masa Pemerintahan Gubernur Thomas Stamfore Raffles


Pada masa Rafles semua tanah yang berada di bawah kekuasaan
govemment dinyatakan sebagai eigendom government. Dengan dasar

6
ini setiap tanah dikenakan pajak bumi. Tujuan raffles dalam menata
system administrasi pertanahan dengan system domain, yaitu ingin
menerapkan system penarikan pajak bumi seperti apa yang
dipergunakan oleh inggris di India.

4. Pada Masa Pemerintahan Gubernur Johanes Van Den Bosch


Pada tahun 1830 Gubemur Jenderal van den Bosch menetapkan
kebijakan pertanahan yang dikenal dengan sistern Tanam Paksa atau
Cultuur Stelsel. Van den bosch dalam menjalankan system tanam
paksa ini tetap mengacu kepada teori yang dilakukan oleh raffles
sebelumnya yaitu tanah adalah milik pemenatan para kepala desa
dianggap menyewa kepada pemerintah dan selanjutnya kepala desa
meminjamkan kepada petani.
Dalam sistem tanam paksa ini petani dipaksa untuk menanam suatu
jenis tanaman tertentu yang secara langsung maupun tidak lengsung
dibutuhkan oleh pasar internasional pada waktu itu. Hasil pertanian
tersebut diserahkan kepada pemerintah kolonial tanpa mendapat
imbalan apapun, sedangkan bagi rakyat yang tidak mempunyai tanah
pertanian wajib menyerahkan tenaga kerjanya yaitu seperlima bagian
dari masa kerjanya atau 66 hari untuk waktu satu tahun.

5. Pada Masa Berlakunya Agrarische Wet


Pada tahun 1870 lahirlah Agrarische Wet yang merupakan pokok
penting dan hukum agraria dan semua peraturan pelaksanaan yang
dikeluarkan pemerintah masa itu sebagai permulaan hukum agraria
barat. Ide awal dikeluarkannya Agrarische Wet (AW) ini adalah
sebagai respon terhadap keinginan perusahaan-perusahaan asing yang
bergerak dalam bidang pertanian untuk berkembang di Indonesia,
namun hak-hak rakyat atas tanahnya harus dijamin.4

4 Harsono, Boedi Harsono, Hukum Agrarian Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang


Pokok Agrarian, Isi Dan Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, (Jakarta : Djambatan,
1994)

7
AW ini merupakan undang-undang di negeri Belanda, yang
diterbitkan pada tahun 1870, dengan diundangkan dalam 5.1870-55
dimasukkannya ke Indonesia, dengan memasukkan Pasal 62 RR yang
pada mulanya terdiri dari 3 ayat dengan penambahan 5 ayat tersebut
sehingga Pasal 62 RR menjadi 8 Ayat, yakni ayat 4 sampai dengan
ayat 8. Pada akhirnya pasal 62 RR ini menjadi pasal 51 IS.
Terbentuknya AW merupakan upaya desakan dari para kalangan
pengusaha di negeri Belanda yang karena keberhasilan usahanya
mengalami kelebihan modal karenanya memerlukan bidang usaha baru
untuk menginvestasikannya. Dengan banyaknya persediaan tanah
hutan di jawa yang belum dibuka, para pengusaha itu menuntut untuk
diberikannya kesempatan membuka usaha di bidang perkebunan besar.
Sejalan dengan semangat liberalisme yang sedang berkembang dituntut
pergantian sistem monopoli negara dan kerja paksa dalam
melaksanakan cultuur stelsel, dengan sistem persaingan bebas dan
sistem kerja bebas, berdasarkan konsepsi kapitalisme liberal.
Tuntutan untuk mengakihiri sistem tanam paksa dan kerja paksa
dengan tujuan bisnis tersebut, sejalan dengan tuntutan (berdasarkan
pertimbangan kemanusiaan dari golongan lein di negeri Belanda, yang
mellihat terjadinya penderitaan yang sangat hebat di kalangan petani
Jawa, sebagai akibat penyalahgunaan wewenang dalam melaksanakan
cultuur stelsel oleh para pejabat yang bersangkutan.
Dari itu jelaslah tujuan dikeluarkannya AW adalah untuk membuka
kemungkinan dan memberikan jaminan hukum kepada para pengusaha
swasta agar dapat berkembang di Hindi Belanda. Selain itu AW juga
bertujuan untuk :
a. Memperhatikan perusahaan swasta yang bermodal besar dengan
jalan
1. Memberikan tanah-tanah negara dengan hak Erfacht
yangberjangka waktu lama, sampai 75 tahun.

8
2. Untuk memberikan kemungkinan bagi para pengusaha untuk
menyewakan tanah adat/rakyat.
b. Mempematikan kepentigan rakyat asli, dengan jalan
1. Melindungi hak-hak tanah rakyat asli.
2. Memberikan kepada rakyat asli untuk memperoleh hak tanah
baru (Agrarische eigendom).

Untuk pelaksanaan AW tersebut, maka diatur lebih lanjut dalam


berbagai peraturan dan keputusan diantaranya dalam Agransche
Besluit.

6. Pada Masa Berlakunya Agrarische Besluit


Ketentuan-ketentuan AW pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam
peraturan dan keputusan. Salah satu keputusan yang paling penting
adalah apa yang dimuat dalam Koninklijk Besluit (KB), yang
kemudian dikenal dengan nama Agrarische Besluit (AB), S.1870-118.
AB terdiri dari tiga bab, yaitu:
a. Pasal 1-7 tentang hak atas tanah:
b. Pasal 8-8b tentang pelepasan tanah:
c. Pasal 19-20 tentang peraturan campuran.

Dalam Pasal 1 AB tersebut dimuat satu pernyataan yang asas yang


sangat penting bagi perkembangan dan pelaksanaan hukum tanah
administratif Hindi Belanda. Asas tersebut dinilai sebagai kurang
menghargai, bahkan "memperkosa" hak-hak rakyat atas tanah yang
bersumber pada hukum adat Dinyatakan dalam Pasal 1 AB tersebut :

"Behoudens opvolging van de tweede en derde bepaling der


voormelde wet blijft het beginsel gehandhaafd dat alle grond, waarop
niet anderen reght van eigendom wordt bewezen. domein van de staat
is” Jika diterjemahkan

9
"Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Pasal 2 dan
3 Agrarische Wet tetap dipertahankan asas, bahwa semua tanan yang
pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak eigendomnya, adalah
domein negara (milik) negara".

AB hanya berlaku untuk jawa dan Madura, maka apa yang


dinyatakan dalam Pasal 1 AB tersebut, yang dikenal sebagai Domein
Verklaring (Pernyataan Domein) semulanjuga berlaku untuk Jawa dan
Madura saja. Tetapi kemudian pernyataan domein tersebut
diberlakukan juga untuk daerah pemerintahan langsung di luar Jawa
dan Madura, dengan suatu ordonansi yang diundangkan dalam S.1875-
119a.

7. Politik Agraria Kolonial


Pada masa kolonialisme, karakteristik yang melekat pada politik
agraria pada masa ini ialah dominansi, eksploitasi, diskriminasi dan
dependensi. Keempat karakteristik ini sangat dipengaruhi oleh politik
hukum agrarian yang menganut prinsip dagang. Hal ini tercermin
dalam sistem sewa tanah yang diberlakukan pada masa kolonial.
Negara sebagai pemegang kedaulatan merupakan pemilik tanah satu-
satunya, sedangkan masyarakat adalah penggarapnya dan wajib
membayar sewa tanah sebagai bentuk perpajakan. Pada tahun 1870,
pemerintah colonial Belanda menerbitkan Agrarische Wet (UU
Agraria) dan Agrarische Besluit (Peraturan Agraria).
Kedua regulasi atau pengaturan ini ada untuk menjamin kebebasan
ekonomi bagi perusahaan perkebunan swasta dan secara perlahan
menghapuskan sistem tanam paksa yang berada di bawah monopoli
negara.
Walaupun demikian, konstelasi politik pemerintah kolonial
Belanda dari kaum konservatif kepada kalangan liberal itu tidak

10
memberikan kemajuan yang berarti bagi rakyat. Aturan ini tetap tidak
mengakui hak milik individual masyarakat. Semua tanah yang tidak
memiliki alas hak atau bukti kepemilikan menjadi milik negara
(domein van den staat), yang umum disebut domein verklaaring. Tanah
petani pun dianggap sebagai tanah negara tak bebas, sedangkan semua
tanah tak bertuan atau terlantar digolongkan sebagai tanah negara
bebas. Politik agrarian ini jelas sangat merugikan rakyat, akibatnya
terjadi protest bahkan sampai menimbulkan kekacauan. Sejarah
mencatat, bentuk-bentuk perlawanan, baik individual maupun kolektif,
sekadar aksi unjuk rasa hingga pemberontakan, kerap dilakukan.
Pemberontakan petani Banten, gerakan rakyat Samin, pemberontakan
Ciomas, peristiwa Cimareme dan berbagai peristiwa lain yang
mewarnai sejarah protes rakyat di era ini.
Menurut perkiraan Onghokham, salah satu sejarawan Indonesia,
pada tahun 1994, sejak pemberontakan Diponegoro selesai tahun 1830
hingga awal mula lahirnya pergerakan nasional tahun 1908, telah
terjadi lebih dari 100 pemberontakan dan keresahan oleh para
penyangga tatanan negara Indonesia (petani). Dari berbagai aksi
tersebut, para ulama dari tokoh pemimpin informal setempat menjadi
ujung tombak aksi perlawanan yang mewakili masing-masing daerah.
Politik pertanahan pada masa penjajahan Belanda dibagi dalam dua
bentuk, yaitu (a) politik pertanahan konservatif; dan (b) politik
pertanahan liberal. Politik pertanahan konservatif merupakan politik
pertanahan yang mempertahankan status quo penjajahan sehingga
sangat merugikan rakyat Indonesia. Masa-masa pemerintahan pada
zaman penjajahan Hindia Belanda dan Inggris yang menggunakan
politik pertanahan konservatif dalam kebijakan bidang, yakni:
contingenten, verplichte leveranten, roerendiensten pada masa VOC,
dan landheerlijke rechten atau hak pertuanan pada zaman
pemerintahan Gubernur Herman William

11
Daendels, kebijakan land rent atau pajak tanah pada masa
pemerintahan Gubernur Thomas Stamford Raffles, dan sistem tanam
paksa yang diberlakukan pada masa pemerintahan Gubernur van den
Bosch. Sedangkan, hal yang menandakan penerapan politik pertanahan
Liberal pada zaman penjajahan Belanda ialah dengan disahkannya
Agrarische Wet yang adalah hasil dari rancangan yang diajukan oleh
Menteri Jajahan de Waal yang diundangkan dalam Stb. 1970 No. 55,
sebagai tambahan ayat-ayat baru Pasal 62 RR (Regeling Reglement)
Stb. 1854 No. 2, yang terdiri atas 8 ayat. Pasal 62 RR kemudian
menjadi pasal 51 Indische Staatregeling (IS) Stb. 1925 No. 447, yang
kurang lebih isinya seperti berikut :
a. Gubernur jenderal tidak boleh menjual tanah
b. Dalam tanah diatas tidak termasuk tanah-tanah yang tidak luar,
yang diperuntukkan bagi perluasan kota dan desa, serta
pembangunan kegiatan-kegiatan usaha
c. Gubernur jenderal dapat menyewakan tanah menurut ketentuan-
ketentuan yang ditetapkan oleh ordonansi, tidak termasuk yang
boleh disewakan tanah-tanah kepunyaan orang-orang pribumi asal
pembukaan hutan, demikian juga tanah-tanah yang sebagai tempat
pengembangan umum atas dasar lain merupakan kepunyaan desa
d. Menurut ketentuan yang ditetapkan dengan ordonansi, diberikan
tanah dengan hak erfpacht selama tidak lebih dari 75 tahun
e. Gubernur jenderal menjaga jangan sampai terjadi pemberian tanah
yang melanggar hak-hak rakyat pribumi
f. Gubernur jenderal tidak boleh mengambil tanah-tanah kepunyaan
rakyat asal pembukaan hutan yang digunakan untuk keperluan
sendiri, demikian juga tanah-tanah sebagai tempat penggembalaan
umum atau atas dasar lain merupakan kepunyaan desa, kecuali
untuk kepentingan umum berdasarkan Pasal 133 atau untuk
keperluan penanaman tanaman-tanaman yang diselenggarakan atas

12
perintah penguasa menurut peraturan-peraturan yang bersangkutan,
semuanya dengan pemberian ganti rugi yang layak
g. Tanah-tanah yang dimiliki oleh orang-orang pribumi dengan hak
pakai pribadi yang turun-temurun (yang dimaksudkan adalah hak
milik adat) atas permintaan pemiliknya yang sah dapat diberikan
kepadanya dengan hak eigendom, dengan pembatasan-pembatasan
yang diperlukan sebagai yang ditetapkan dengan ordonansi dan
dicantumkan dalam surat eigendom-nya, yaitu mengenai
kewajibannya terhadap Negara dan desa yang bersangkutan,
demikian juga mengenai wewenangnya untuk menjualnya kepada
bukan pribumi
h. Persewaan atau serah pakai tanah oleh orang-orang pribumi kepada
non-pribumi dilakukan menurut ketentuan yang diatur dengan
ordonansi.

13
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

1. Sejarah Hukum agraria yang berlaku sebelum Indonesia merdeka masih


menggunakan hukum barat yaitu Agrarische Wet yang memberikan
jaminan hukum kepada pengusaha swasta. dengan Hak Erpacht dan
Agrarische Besluit yang melahirkan azas Domein Verktanng dimana
Semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak
Eigendom nya adalah domein atau milik negara. Maka tanah tanah diatur
dengan hak-hak barat seperti tanah eigendom, tanah erfacht, tanah postal
dan lain-lain. Sedang tanah-tanah yang dikenal dengan hak-hak Indonesia
adalah tanah tanah ulayat, tanah milik tanah usaha, tanah gogolan, tanah
bengkok, tanah agrarich eigendom
2. Dari segi berlakunya. Hukum Agraria di Indonesia dapat dibagi menjadi 2
(dua), yaitu
a. Hukum agrana Kolonial yang berlaku sebelum Indonesia merdeka
bahkan berlaku sebelum diundangkannya UUPA yaitu tanggal 24
September 1960 dan
b. Hukum Agraria oasional yang berlaku setelah diundangkannya UUPA.
3. Dengan mulai berlakunya UUPA terjami perubahan tundamental pada
tinum agrarian Indonesia terutama no-mit nilang patarban Perubahan
coinersitat mendasar dan fundamental, karena baik mengenai struktur
perangkat hukumnya, mengenai konsepsi yang mendasarinya, maupun
isinya, yang dinyatakan dalam bagian Berpendapat, UUPA harus sesuai
dengan kepentingan rakyat Indonesia serta memenuhi pula keperluan
menurut permintaan zaman.

14
DAFTAR PUSTAKA

Harsono, Boedi. 1994. Hukum Agrarian Indonesia, Sejarah Pembentukan


Undang-Undang Pokok Agrarian, Isi Dan Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum
Tanah Nasional. Jakarta : Djambatan.

Santoso, Urip. 2005. Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah. Jakarta : Kencana.

Soedikno, Mertokusumo, Soedikno. 1988. Hukum dan Politik Agraria. Jakarta :


Karunika.

Suardi. 2005. Hukum Agraria. Jakarta : Badan Penerbit Iblam.

Supriadi. 2006. Hukum Agrarian. Jakarta : Sinar Grafika.

15

Anda mungkin juga menyukai