Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Pemilikan tanah diawali dengan menduduki suatu wilayah yang oleh


masyarakat adat disebut sebagai tanah komunal (milik bersama). Khususnya
diwilayah pedesaan diluar Jawa, tanah ini diakui oleh hukum adat tak tertulis baik
berdasarkan hubungan keturunan maupun wilayah. Seiring dengan perubahan pola
sosial ekonomi dalam setiap masyarakat tanah milik bersama masyarakat adat ini
secara bertahap dikuasai oleh anggota masyarakat melalui penggarapan yang
bergiliran. Sistem pemilikan individual kemudian mulai dikenal didalam sistem
pemilikan komunal.
Situasi ini terus berlangsung didalam wilayah kerajaan dan kesultanan sejak
abad ke lima dan berkembang seiring kedatangan colonial Belanda pada abad ke
tujuh belas yang membawa konsep hukum pertanahan mereka.
Selama masa penjajahan Belanda, pemilikan tanah secara perorangan menyebabkan
dualisme hukum pertanahan, yaitu tanah-tanah dibawah hukum Adat dan tanah-
tanah yang tunduk kepada hukum Belanda. Menurut hukum pertanahan colonial,
tanah bersama milik adat dan tanah milik adat perorangan adalah tanah dibawah
penguasaan Negara.
Hak individual atas tanah, seperti hak milik atas tanah, diakui terbatas
kepada yang tunduk kepada hukum barat. Hak milik ini umumnya diberikan atas
tanah-tanah diperkotaan dan tanah perkebunan di pedesaan. Dikenal pula beberapa
tanah instansi pemerintah yang diperoleh melalui penguasaan.
Persoalan sengketa tanah mengenai hak Milik tak pernah reda. Masalah tanah bagi
manusia tidak ada habis-habisnya karena mempunyai arti yang amat penting dalam
penghidupan dan hidup manusia sebab tanah bukan saja sebagai tempat berdiam
juga tempat bertani, lalu lintas, perjanjian dan pada akhirnya tempat manusia
berkubur.
Sebagaimana diketahui sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria
berlaku bersamaan dua perangkat hukum tanah di Indonesia (dualisme). Satu
bersumber pada hukum adat disebut hukum tanah adat dan yang lain bersumber
pada hukum barat disebut hukum tanah Barat. Dengan berlakunya hukum agraria
yang bersifat nasional (UU No. 5 Tahun 1960) maka terhadap tanah-tanah dengan
hak barat maupun tanah-tanah dengan hak adat harus dicarikan padanannya di
dalam UUPA. Untuk dapat masuk ke dalam sisem dari UUPA diselesaikan dengan
melalui lembaga konversi. Setelah adanya UUPA masih saja ada masalah yang
lingkupnya pada hak atas tanah, seharusnya ada suatu peraturan yang menjelaskan
lebih jelas dan mengikat mengenai hak atas tanah.
Undang-undang pertanahan tersebut diharapkan secepatnya dibuat dan
diundangkan agar dapat memberikan kepastian hukum dan jaminan perlindungan
hukum kepemilikan dan penguasaan hak atas tanah.
B. IDENTIFIKASI MASALAH

1. Bagaimana sejarah Hak Atas Tanah ?


2. Apa yang dimaksud dengan Hak Atas Tanah?
3. Apa saja yang termasuk Hak Atas Tanah?
4. Bagaimanakah contoh kasus dalam permasalahan Hak Atas Tanah?

C. TUJUAN PENELITIAN

Pembuatan makalah yang berjudul Hak Atas Tanah ini memiliki tujuan yang ingin
dicapai, yaitu :
1. Agar kita dapat mengetahui bagaimana sejarah Hak Atas Tanah
2. Agar kita dapat mengetahui apakah yang dimaksud dengan Hak Atas Tanah
3. Agar kita dapat mengetahui apa saja yang termasuk dalam Hak Atas Tanah
4. Agar kita mengetahui contoh-contoh kasus dalam permasalahan Hak Atas
Tanah
TINJAUAN PUSTAKA
BAB II
PENJELASAN

1. Sejarah Hak atas Tanah

Tujuan yang dikandung oleh hukum tidak terlepas dari siapa yang membuat
hukum tersebut. Jika sebelum Bangsa Indonesia merdeka, sebagian besar Hukum
agrarian dibuat oleh penjajah terutama masa penjajahan Belanda, maka jelas tujuan
dibuatnya adalah semata-mata untuk kepentingan dan keuntungan penjajah.
Hukum agrarian yang berlaku sebelum diundangkannua Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA) adalah hukum agrarian yang sebagian besar tersusun berdasarkan
tujuan dan keinginan sendiri-sendiri dari pemerintah jajahan dan sebagian
dipengaruhi olehnya. Sehingga ketentuan Hukum agraria yang ada dan berlaku di
Indonesia sebelum UUPA dihasilkan oleh bangsa sendiri masih bersifat Hukum
Agraria Kolonial yang sangat merugikan bagi kepentingan bangsa Indonesia.[1]

Dalam perjalanan sejarah pemerintah Hindia Belanda di Indonesia terdapat


dualism hukum yang menyangkut Hukum Agraria Barat, dan dipihak lain berlaku
Hukum Agraria Adat. Akhirnya sistem tanam paksa yang merupakan pelaksanaan
politik kolonial konservatif dihapuskan dan dimulailah sistem liberal. Politik liberal
adalah kebalikannya dari politik konservatif dihapuskan dsn dimulailah sistem
liberal. Prinsip politik liberal adalah tidak adanya campur tangan pemerintah
dibidang usaha, swasta diberikan hak untuk mengembangkan usaha dan modalnya
di Indonesia. Hal ini disebabkan karena semakin tajamnya kritik yang dialamatkan
kepada Pemerintah Belanda karena kebijakan politik agrarianya mendorong
dikeluarkannya kebijakan kedua yang disebut Agrarisch Wet (dimuat dalam
Staatblad 1870 Nomor 55).[2]

Terkait dengan sejarah hak-hak atas tanah berdasarkan hal-hal diatas, maka
hak-hak atas tanah dapat dibedakan dalam 2 masa, yaitu masa kolonial (sebelum
kemerdekaan) dan setelah kemerdekaan.

1. Masa Kolonial (sebelum kemerdekaan)

Hak-hak atas tanah yang ada pada masa colonial ini, tentunya tunduk pada Hukum
Agraria Barat yang diatur dalam KUH Perdata, diantara hak-hak yang diatur
tersebut antara lain :

a)      Hak Eigendom (hak milik)

Pasal 570 KUH Perdata menyebutkan; Eigendom adalah hak untuk dengan
bebas mempergunakan suatu benda sepenuh penuhnya dan untuk menguasai
seluas luasnya, asal saja tidak bertentangan dengan undang undang atau peraturan
peraturan umum yang ditetapkan oleh instansi (kekuasaan) yang berhak
menetapkannya, serta tidak menganggu hak hak orang lain; semua itu kecuali
pencabutan eigendom untuk ke pentingan umum dengan pembayaran yang layak
menurut peraturan peraturan umum.

Hak Eigendom, atau lengkapnya disebut ” eigendom recht” atau “right of property”
dapat diterjemahkan sebagai ” hak milik “, diatur dalam buku II BW ( burgerlijke
wetboek) atau KUHPerdata (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ).

Hak Eigendom merupakan hak kepemilikan keperdataan atas tanah yang terpenuh,
tertinggi yang dapat dipunyai oleh seseorang. Terpenuh karena penguasaan hak
atas tanah tersebut bisa berlangsung selamanya, dapat diteruskan atau diwariskan
kepada anak cucu. Tertinggi karena hak atas atas tanah ini tidak dibatasi jangka
waktu, tidak seperti jenis hak atas tanah yang lain, misalnya hak erfpacht  atau hak
opstal.

b)      Hak Erfpacht (hak usaha)

Hak erpacht, adalah hak benda yang paling luas yang dapat dibebankan atas
benda orang lain. Pada pasal 720 KUH Perdata disebutkan, bahwa suatu hak
kebendaan untuk menikmati sepenuhnya akan kegunaan suatu barang tak bergerak
milik orang lain dengan kewajiban member upeti tahunan. Disebutkan didalamnya
pula bahwa pemegang erfpacht mempunyai hak untuk mengusahakan dan
merasakan hasil benda itu dengan penuh. Hak ini bersifat turun temurun, banyak
diminta untuk keperlua pertanian. Di Jawa dan Madura Hal erfpacht diberikan untuk
pertanian besar, tempat tempat kediaman di pedalaman, perkebunan dan pertanian
kecil. Sedang di daerah luar Jawa hanya untuk pertanian besar, perkebunan dan
pertanian kecil.

c)      Hak Opstal (hak numpang karang)

Hak Opstal adalah hak untuk mempunyai rumah, bangunan atau tanam
tanaman di atas tanah orang lain. Menurut Pasal 711 KUH Perdata disebutkan
bahwa hak kebendaan untuk mempunyai gedung-gedung, bangynan-bangunan dan
penanaman diatas pekarangan orang lain.
Sebelum UUPA

Hukum agrarian sebelum adanya UUPA mempunyai sifat dualisme hukum,


dikarenakan berlakunya peraturan-peraturan dari hukum adat, disamping
peraturan-peraturan dari dan yang didasarkan atas hukum Barat. Hal mana selain
menimbulkan berbagai masalah antargolongan yang serba sulit, juga tidak sesuai
dengan cita-cita persatuan bangsa. Hal ini pun terjadi dalam sejarah pemberlakuan
hak-hak atas tanah di Indonesia. Sifat dualisme Hukum Agraria kolonial ini meliputi
bidang-bidang sebagai berikut :

1)      Hukumnya

Pada saat yang sama berlaku macam-macam Hukum Agraria, yang meliputi :

a. Hukum Agraria Barat yang diatur dalam Bugerlijk Wetboek, Agrarische Wet,
dan Agrarische Besluit.
b. Hukum Agrarian Adat yang diatur dalam Hukum Adat daerah masing-masing
c. Hukum Agraria Swapraja yang berlaku didaerah-daerah Swapraja (seperti :
Yogyakarta, Surakarta, dan Aceh)
d. Hukum Agraria Antar-Golongan (Agrarische Interdentielrecht) yaitu hukum
yang digunakan untuk menyelesaikan hubungan-hubungan hukum dalam
bidang pertanahan antarorang-orang pribumi dengan orang-orang bukan
pribumi

2)      Hak Atas Tanah

a. Hak-hak atas tanah yang tunduk pada Hukum Agraria Barat yang diatur
dalam KUHPerdata, misalnya  hak eigendom, hak erfpacht, hak postal, Recht
van gebruik (hak pakai), bruikleen (hak pinjam pakai)
b. Hak-hak atas tanah yang tunduk pada Hukum Agraria Adat daerah masing-
masing yang disebut tanah-tanah hak adat, misalnya tanah yayasan, tanah
kas desa, tanah gogolan, tanah pangonan (penggembalaan), tanah kuburan.
c. Hak-hak atas tanah yang merupakan ciptaan Pemerintah Hindia Belanda,
misalnya hak agrarische (tanah milik adat yang ditundukkan diripada
Hukum Agraria Barat), landerijen bezitrecht (tanah yang subjek hukumnya
terbatas pada orang-orang dari golongan Timur Asing/ Tionghoa)
d. Hak-hak atas tanah yang merupakan ciptaan Pemerintah Swapraja, misalnya
grant sultan (semacam hak milik adat yang diberikan oleh Pemerintah
Swapraja khusus bagi para kaula swapraja, didaftar di kantor Pejabat
Swapraja)
1. Hak atas Tanah setelah UUPA

HAK ATAS TANAH Definisi hak atas tanah adalah hak yang memberi
wewenang kepada seseorang yang mempunyai hak untuk mempergunakan atau
mengambil manfaat atas tanah tersebut. Hak atas tanah berbeda dengan hak
penggunaan atas tanah.

Ciri khas dari hak atas tanah adalah seseorang yang mempunyai hak atas
tanah berwenang untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah yang
menjadi haknya. Hak–hak atas tanah yang dimaksud ditentukan dalam pasal 16 jo
pasal 53 UUPA, antara lain:

1. Hak Milik
2. Hak Guna Usaha
3. Hak Guna Bangunan
4. Hak Pakai
5. Hak Sewa
6. Hak Membuka Tanah
7. Hak Memungut Hasil Hutan
8. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang
ditetapkan oleh undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara
sebagaimana disebutkan dalam pasal 53.

Dalam pasal 16 UU Agraria disebutkan adanya dua hak yang sebenarnya


bukan merupakan hak atas tanah yaitu hak membuka tanah dan hak memungut
hasil hutan karena hak–hak itu tidak memberi wewenang untuk mempergunakan
atau mengusahakan tanah tertentu. Namun kedua hak tersebut tetap dicantumkan
dalam pasal 16 UUPA sebagai hak atas tanah hanya untuk menyelaraskan
sistematikanya dengan sistematika hukum adat. Kedua hak tersebut merupakan
pengejawantahan (manifestasi) dari hak ulayat. Selain hak–hak atas tanah yang
disebut dalam pasal 16, dijumpai juga lembaga–lembaga hak atas tanah yang
keberadaanya dalam Hukum Tanah Nasional diberi sifat “sementara”. Hak–hak yang
dimaksud antara lain :

1. Hak gadai,
2. Hak usaha bagi hasil,
3. Hak menumpang,
4. Hak sewa untuk usaha pertanian.

Hak–hak tersebut bersifat sementara karena pada suatu saat nanti sifatnya
akan dihapuskan. Oleh karena dalam prakteknya hak–hak tersebut menimbulkan
pemerasan oleh golongan ekonomi kuat pada golongan ekonomi lemah (kecuali hak
menumpang). Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan asas–asas Hukum Tanah
Nasional (pasal 11 ayat 1). Selain itu, hak–hak tersebut juga bertentangan dengan
jiwa dari pasal 10 yang menyebutkan bahwa tanah pertanian pada dasarnya harus
dikerjakan dan diusahakan sendiri secara aktif oleh orang yang mempunyai hak.
Sehingga apabila tanah tersebut digadaikan maka yang akan mengusahakan tanah
tersebut adalah pemegang hak gadai. Hak menumpang dimasukkan dalam hak–hak
atas tanah dengan eksistensi yang bersifat sementara dan akan dihapuskan karena
UUPA menganggap hak menumpang mengandung unsur feodal yang bertentangan
dengan asas dari hukum agraria Indonesia. Dalam hak menumpang terdapat
hubungan antara pemilik tanah dengan orang lain yang menumpang di tanah si A,
sehingga ada hubungan tuan dan budaknya.
Feodalisme masih mengakar kuat sampai sekarang di Indonesia yang oleh
karena Indonesia masih dikuasai oleh berbagai rezim. Sehingga rakyat hanya
menunngu perintah dari penguasa tertinggi. Sutan Syahrir dalam diskusinya dengan
Josh Mc. Tunner, pengamat Amerika (1948) mengatakan bahwa feodalisme itu
merupakan warisan budaya masyarakat Indonesia yang masih rentan dengan
pemerintahan diktatorial. Kemerdekaan Indonesia dari Belanda merupakan tujuan
jangka pendek. Sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah membebaskan
Indonesia dari pemerintahan yang sewenang–wenang dan mencapai kesejahteraan
masyarakat. Pada saat itu, Indonesia baru saja selesai dengan pemberontakan G 30
S/PKI. Walaupun PKI sudah bisa dieliminir pada tahun 1948 tapi ancaman bahaya
totaliter tidak bisa dihilangkan dari Indonesia. Pasal 16 UUPA tidak menyebutkan
hak pengelolaan yang sebetulnya hak atas tanah karena pemegang hak pengelolaan
itu mempunyai hak untuk mempergunakan tanah yang menjadi haknya. Dalam
UUPA, hak–hak atas tanah dikelompokkan sebagai berikut :

1. Hak atas tanah yang bersifat tetap, terdiri dari :


1) Hak Milik
2) Hak Guna Usaha
3) Hak Guna Bangunan
4) Hak Pakai
5) Hak Sewa Tanah Bangunan
6) Hak Pengelolaan
2. Hak atas tanah yang bersifat sementara, terdiri dari :
1) Hak Gadai
2) Hak Usaha Bagi Hasil
3) Hak Menumpang
4) Hak Sewa Tanah Pertanian
Pencabutan Hak Atas Tanah

Maksud dari pencabutan hak atas tanah adalah pengambilan tanah secara
paksa oleh negara yang mengakibatkan hak atas tanah itu hapus tanpa yang
bersangkutan melakukan pelanggaran atau lalai dalam memenuhi kewajiban hukum
tertentu dari pemilik hak atas tanah tersebut. Menurut Undang–undang nomor 20
tahun 1961 tentang pencabutan hak atas tanah dan benda–benda diatasnya hanya
dilakukan untuk kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan negara serta
kepentingan bersama milik rakyat merupakan wewenang Presiden RI setelah
mendengar pertimbangan apakah benar kepentingan umum mengharuskan hak
atas tanah itu harus dicabut, pertimbangan ini disampaikan oleh Menteri Dalam
Negeri, Menteri Hukum dan HAM, serta menteri lain yang bersangkutan. Setelah
Presiden mendengar pertimbangan tersebut, maka Presiden akan mengeluarkan
Keputusan Presiden yang didalamnya terdapat besarnya ganti rugi untuk pemilik
tanah yang haknya dicabut tadi. Kemudian jika pemilik tanah tidak setuju dengan
besarnya ganti rugi, maka ia bisa mengajukan keberatan dengan naik banding pada
pengadilan tinggi.
BAB III
ANALISIS
PENGERTIAN-PENGERTIAN :

HAK MILIK
Hak milik diatur didalam pasal 20-27 UUPA. Hak milik bersifat turun-
temurun, terkuat, dan terpenuh, berfungsi sosial. Maksudnya adalah, turun temurun
contohnya dapat diwariskan, terkuat maksudnya dapat dipertahankan, terpenuh
maksudnya adalah tidak mengenal jangka waktu, dan berfungsi sosial yaitu harus
sesuai dengan sifat dan tujuannya (pasal 6 UUPA).
Hak milik dapat dialihkan kepada siapa saja, dapat didirikan Hak guna bangunan
diatasnya.
Subjek hak milik :
1. Warga Negara Indonesia\
2. Badan hukum tertentu ( PP No. 38 tahun 1963) yaitu, badan hukum
perbankan negara, koperasi pertanian, dan usaha sosial/keagamaan.
Luas kepemilikan hak atas tanah dibatasi oleh CEILING yang dibatasi secara
maksimum dan minimum.

Berakhirnya suatu hak milik atas tanah yaitu dapat dengan cara :
1. Pencabutan hak
2. Melanggar prisip nasionalitas
3. Terlantar
4. Penyerahan secara sukarela
5. Tanahnya musnah misalnya karena bencana alam longsor
Dasar hak milik :
Konversi dari tanah-tanah eks-BW dan dari tanah eks-tanah adat
Dari hasil pengelolaan yang teruang dalam perjanjian pendirian hak tersebut
SK pemberhentian hak oleh pemerintah BPN
HAK GUNA USAHA
Hak guna usaha diatur didalam pasal 28-34 UUPA, dan PP No. 40 tahun 1996.
Hak guna usaha merupakan hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai oleh
negara. Obyeknya merupakan tanah negara.
Subyek hak guna usaha :
Warga Negara Indonesia
Badan HukumIndonesia
Hak guna usaha dapat dapat dialihkan asal kepada WNI. Hal ini berdasarkan prinsip
asas nasionalitas.
Penggunaan hak guna usaha dapat digunakan untuk pertanian (perkebunan),
perikanan, peternakan. Dan dapat dijadikan objek hak tanggunangan atau dapat
dijaminkan.
Jangkau waktunya : Didalam UUPA 25 tahun, diperpanjang maksimal 35 tahun
dengan perpanjangan waktu 25 tahun, perpanjangan atau pembaharuan dapat
diberikan sekaligus (pasal 11 PP 40 Tahun 1996) 30 tahun diperbaharui.
Berakhirnya hak : waktunya berakhir melanggar syarat pemberian, dilepas haknya,
dicabut haknya untuk kepentingan umum, tanahnya musnah, melanggar prinsip
nasionalitas.
Dasar hak : PMDN No 6 Tahun 1972 jo. Peraturan kepala BPN No 16 Tahun 1990
sampai dengan 100 HA asal tidak dengan fasilitas penanaman modal oleh Kanwil
BPN ; diatas 100 HA oleh Kepala BPN (Pasal 2 s.d 18 PP No 40 Tahun 1996)
HAK GUNA BANGUNAN
Hak untuk mengusahakan dan mempunyai bangunan atas tanah bukan milik sendiri
Subyeknya : .
WNI
Badan Hukum Indonesia
Hak guna Bangunan dapat dialihkan asal kepada WNI, berdasarkan asas nasionalitas
Dapat sebagai objek hak tanggungan
Jangka waktu hak guna bangunan : paling lama 30 tahun dapat diperpanjang 20
tahun, perpanjangan/ pembaharuan dapat diberikan sekaligus
Berakhirnya hak guna bangunan:
Jangka waktunya berakhir, dihentikan sebelum jangka waktu berakhir, dilepas oleh
pemegang hak, dicabut untuk kepentingan umum, ditelantarkan, tanah musnah,
bukan WNI lagi (pasal 30 ayat 2 jo pasal 20 PP 40/ 1996
Alas/ dasar hak guna bangunan
PMDN 6/1972 sampai 2000m2 oleh kepala BPN ps 22 PP 40/1996
Hak pengelolaan Vide PMDN 1/77 jo PMDN 6/1972 jo ps 22 ayat (2) PP 40/1996
Konversi tanah ex adat
Kinversi tanah ex BW : hak eigendom, hak opstal, hak erfacht
Karena perjanjian, pemilik HM dan seseorang untuk menimbulkan hak guna
bangunan
4. HAK PAKAI
Hak pakai keperdataan
Hak untuk menggunakan dan memungut hasil dari tanah yang dikuasai negara/
tanah yang dikuasai seseorang dengan hak milik
Subjeknya : WNI, Badan Hukum Indonesia, orang asing penduduk Indonesia ( pasal
39 PP 40/ 1996), badan hukum asing yang mempunyai manfaat bagi penduduk
Indonesia dan badan hukum asing yang ada ijin operasional
Dapat dialihkan ; dapat menjadi objek tanggungan
Berakhirnya hak : jangka waktu berakhir, tanah musnah, dicabut untuk kepentingan
umum, ditelantarkan
Jangka waktu :
Tidak jelas ( pasal 41-43 UUPA)
PMDN 6/1972 = 10 tahun
Pasal 45 PP 40/ 1996 -25 tahun dengan perpanjangan 20 tahun
Hak pakai di atas hak milik = 25 tahun dengan pembaharuan 25 tahun
Hak pakai khusus :
Hak milik mempergunakan tanh untuk pelaksanaan tugas yang berasal dari tanah
yang dikuasai negara.
Subjeknya ialah departemen, LPND, PEMDA, perwakilan negara asing, lembaga
keagamaan, dan lembaga sosial (Lembaga pemerintah non departemen).
Tidak dapat dialihkan :
Tidak dapat dijadikan objek hak tanggungan
Berakhirnya hak:
Jika tidak dapat dipergunakan lagi kembali kepada negara.
Jangka waktu :
Tidak terbatas selama masih dipergunakan (pasal 45 ayat 1 PP. 40 tahun 1996).

HAK HAK SEMENTARA

PENGERTIAN
Hak hak yang bersifat sementara dikatakan sementara karena mengandung sifat-
sifat yang bertentangan dengan UUPA (mengandung unsur pemerasan). Maka hal-
hal tersebut diusahakan agar dapat dihapus dalam waktu singkat, sebelum ada
peraturan-peraturan yang baru, sementara ketentuan yang sudah ada dianggap
masih berlaku. Hak-hak tersebut adalah:
Hak Usaha Bagi Hasil, berasal dari hukum adat ”hak menggarap”, yaitu hak
seseorang untuk mengusahakan pertanian diatas tanah milik orang lain dengan
perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi bagi kedua belah pihak berdasarkan
perjanjian. Diatur dalam Undang-Undang No.2 tahun 1960 tentang perjanjian bagi
hasil, Permenag No. 8 tahun 1964, Inpres No.13 tahun 1980.
Hak Gadai, berasal dari hukum adat “Jual Gadai”, yaitu penyerahan sebidang tanah
oleh pemilik kepada pihak lain dengan membayar uang kepada pemilik tanah
dengan perjanjian, bahwa tanah itu akan dikemalikan apabila pemilik
mengembalikan uang kepada pemegang tanah. Hal itu diatur lebih lanjut dalam
Undang-Undang No.56/ Prp/ 1960 tentang penetapan luas tanah pertanian, pasal 7 :
“Barangsiapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai, sudah berlangsung 7
tahun atau lebih, wajjib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam waktu
sebulan stelah tanaman selesai dipanen. Dengan tidak ada hak untuk menuntut
pembayaran uang tebusan.”

Rumus : 7+0.5 – Waktu Berlangsungnya Gadai x Uang gadai


7

Hak Menumpang, yaitu hak yang mengizinkan seseorang untuk mendirikan serta
untuk menempati rumah diatas tanah pekarangan orang lain dengan tidak
membayar kepada pemilik pekarangan tersebut, seperti hak pakai, tetapi sifatnya
sangat lemah, karena setiap saat pemilik dapat mengambil kembali tanahnya.
Hak Sewa Tanah Pertanian, bersifat sementara karena berkaitan dengan pasal 10
ayat 1 UUPA yang menghendaki setiap orang atau badan hukum yang mempunyai
suatu hak atas tanah pertanian. Pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau
mengusahakan sendiri secara aktif dengan cara mencegah cara pemerasan.
Contoh Kasus :
Sengketa Lahan Meruya
Kasus ini bermula pada 1972. Waktu itu, Haji Djuhri bin Haji Geni, Yahya bin Haji
Geni, dan Muhammad Yatim Tugono membeli tanah-tanah girik dari warga Meruya
Udik, yang kini menjadi Kelurahan Meruya Selatan. Seluruh tanah ini mencapai luas
78 hektare dan kemudian dijual dengan harga Rp 300 per meter persegi ke
perusahaan properti milik Beny Rachmat itu.
Masalah muncul ketika Portanigra menuduh tiga mandor itu belakangan membuat
girik palsu dan menjual lagi tanah tersebut ke beberapa pihak. Kasus pemalsuan
girik ini ditemukan oleh Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Pusat
pimpinan Laksamana Sudomo pada 1978.
Dalam proses pemeriksaan, tiga mandor tadi mengaku menjual lagi girik tersebut
kepada beberapa perusahaan. Di antaranya ke pemerintah DKI Jakarta pada 1974
seluas 15 hektare, kepada PT Intercone (2 hektare) dan PT Copylas (2,5 hektare)
pada 1975, serta kepada BRI seluas 3,5 hektare pada 1977.
Pada 1986, Djuhri divonis hukuman setahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta
Barat. Di tingkat banding, Yahya terkena vonis setahun penjara. Adapun Tugono,
kasasinya ditolak Mahkamah Agung sehingga ia harus masuk penjara pada 1989.
Berbekal putusan pidana itu, Portanigra kemudian menggugat perdata ketiga
mandor tersebut pada 1996. Ketika itu, Pengadilan Negeri Jakarta Barat sudah
meletakkan sita jaminan terhadap tanah seluas 44 hektare yang diklaim milik Porta.
Gugatan ini sempat ditolak di tingkat pertama dan banding.
Namun, pada 2001, nasib berbalik memihak Porta ketika perkara sampai di
Mahkamah Agung. Mahkamah memenangkan Porta. Putusan perkara pidana dan
bukti jual-beli yang jadi pegangan putusan kasasi.
Meskipun bukan pihak yang bersengketa, warga kini berusaha melawan putusan
Mahkamah Agung dengan mengajukan gugatan perlawanan hukum ke Pengadilan
Negeri Jakarta Barat.
Warga juga berusaha menghalangi eksekusi dengan mengadukan Portanigra ke
polisi karena adanya sejumlah kejanggalan di berkas perkara.
Kejanggalan itu di antaranya menyangkut domisili perusahaan tersebut di Duta
Merlin yang ternyata kosong dan nomor wajib pajak ganda atas nama Portanigra.
Dari tiga terpidana, kini cuma Haji Djuhri yang sudah berusia 80 tahun dan pikun itu
yang ikut melawan. Sebab, Yahya sudah meninggal dan Tugono pindah entah ke
mana.
Portanigra sendiri kini menunggu upaya Dewan Perwakilan Rakyat mencari solusi
untuk tak merugikan pihak ketiga atau warga dalam sengketa tanah tersebut.
Badan Pertanahan Jakarta yang disebut-sebut ikut punya andil membuat masalah
ini jadi kisruh sepertinya malah tak diganggu gugat. Padahal jika dokumen tanah
berupa hak girik dipegang PT Portanigra dan tanah tersebut berstatus sengketa,
mestinya ribuan warga itu tak bisa memiliki sertifikat hak milik. Mestinya BPN tidak
mengeluarkan dokumen kepemilikan tanah di atas lahan yang terlibat sengketa.
Nasi telah menjadi bubur. BPN mengeluarkan sertifikat itu dan kini jadi masalah.
Sumber : www.tempointeraktif.com
Analisis Kasus
Perspektif Legal
Kasus Meruya sebenarnya adalah persoalan pidana antara PT Porta Nigra dengan
Juhri CS. PT Porta Nigra yang dalam hal ini dirugikan dengan penipuan yg dilakukan
Juhri CS dalam proses pengambilalihan lahan di Meruya. Secara legal, tanah yang
dibeli Porta Nigra dari Juhri CS belum beralih karena dasar hukum atas tanah
tersebut, dalam hal ini girik dinyatakan palsu oleh pengadilan pidana dan
berdasarkan putusan pengadilan negeri dimusnahkan.
Selain itu, dalam proses peralihan hak atas tanah, PT.Portanigra sebagai perusahaan
developer melakukan kesalahan karena tidakmelakukan transaksi beli tanah sesuai
aturan dan tidak mengurus sertifikat pasca transaksi maka Porta Nigra belum dapat
disebut sebagai pemilik secara yuridis atas tanah tersebut.
Perspektif Yurisdiksi
Putusan Mahkamah Agung untuk melakukan eksekusi tanah di Meruya memang
patut dipertanyakan karena penerbitan sertifikat tanah adalah putusan dari BPN
(pejabat negara). jadi, yang dapat mempertanyakan sertifikat tersebut adalah
peradilan Tata Usaha Negara. Seharusnya putusan dari MA adalah memaksa Juhri CS
untuk mengganti kerugian akibat penipuan yang dilakukannnya dan bukan
menyerahkan tanah yg menjadi objek jual beli pada awalnya. terlebih secara hukum
proses peralihan hak atas tanah tersebut belum terjadi. Atau setidaknya tidak ada
dokumen hukum yang menunjukkan hal tersebut.
BAB IV
KESIMPULAN

Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang yang
mempunyai hak untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah
tersebut. Di dalam pelaksanaannya banyak terdapat masalah-masalah akibat
ketidaktahuan atau ketidakmengertian masyarakat terhadap hak-hak atas tanah.
Masalah tanah bagi manusia seperti tidak ada habisnya karena tanah mempunyai
arti yang sangat penting dalam penghidupan manusia
Oleh karena itu sangat penting bagi kita untuk mengetahui dan mengerti mengenai
hak-hak atas tanah agar kejadian-kejadian persengketaan tanah seperti kasus
diatas tidak terulang kembali.
DAFTAR PUSTAKA

Harsono,Boedi,2008, Hukum Agraria Indonesia ,Himpunan Peraturan-peraturan


Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta
Catatan kuliah Hukum Agraria
Harsono, Boedi, 2008, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah pembentukan Undang-
undang Pokok Agraria, isi dan pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta
Perangin, Effendi, 1986, 401 Pertanyaan dan Jawaban Tentang Hukum Agraria,
PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta
www.google.com/kasushakatastanah
www.google.com/hakatastanah
http://id.wikipedia.org/wiki/Hak_atas_tanah"
https://rifqiharrys.wordpress.com/tag/hak-atas-tanah/
MAKALAH

HAK ATAS TANAH SECARA HISTORY

KELOMPOK 1
NAMA :
ADE MUHAMMAD EAA 114 042
RIAN KALEB GARANG EAA 114 006
FIRNANDO EAA 114 036
TURYANTO EAA 114 008
SANDRI PRASETIO EAA 114 056
EKO PRASETYO EAA 114 064
KALMAS DWI P. EAA 114 019
WISKY RIANTONI EAA 114 029
MISTERKO EAA 114 045
ALIANSYAH EAA 114 065
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini.

   
   Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan
kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ini.
   
    Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
maupun inpirasi terhadap pembaca.

Anda mungkin juga menyukai