Anda di halaman 1dari 20

Hierarki Hak Atas Tanah dalam Hukum Tanah Nasional

KELOMPOK :2

NAMA ANGGOTA KELOMPOK : Biovember Silalahi EAA 114 022

Gita barlevi ginting EAA 114 033

Leonardo siregar EAA 114 032

Marudut siboro EAA 114 018

Pantry M sihombing EAA 114 039

Rita noviana EAA 114 023

Sahat tua richard EAA 114 059

Yarnie EAA 114 001

Yoko kaisaroh EAA 114 009

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS PALANGKA RAYA

FAKULTAS HUKUM

2015
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan karunia-
Nya penulis dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Hukum Agraria ini dengan
keterlambatan waktu ini kami mohon di maklumi.
Penulis mengucapakan terima kasih kepada dosen mata kuliah atas toleransi yang
diberikan kepada kami untuk menyelesaikan makalah ini. Penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang memberikan dukungan untuk pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini belum sempurna oleh sebab itu penulis
menerima saran serta masukan yang dapat membangun pembuatan makalah kedepannya.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi semua pihak.
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Tanah merupakan salah satu sumber kehidupan yang sangat vital bagi manusia, baik
dalam fungsinya sebagai sarana untuk mencari penghidupan (pendukung mata pencaharian)
di berbagai bidang seperti pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, industri, maupun
yang dipergunakan sebagai tempat untuk bermukim dengan didirikannya perumahan sebagai
tempat tinggal.
Ketentuan yuridis yang mengatur mengenai eksistensi tanah yaitu terdapat dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
(selanjutnya disebut UUPA), yang merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 33 ayat (3)
Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Adapun pengejawantahan lebih lanjut mengenai hukum tanah banyak
tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya seperti Peraturan Pemerintah
Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas
Tanah; Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999
tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak atas
Tanah; dan lain-lain.
Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi yang disebut
permukaan bumi. Tanah yang dimaksudkan di sini bukan mengatur tanah dalam segala
aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya yaitu tanah dalam pengertian
yuridis yang disebut hak. Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1)
UUPA yaitu “Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2
ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat
diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan
orang lain serta badan-badan hukum.”
Berdasarkan latar belakang diatas Kami bermaksud membuat Makalah dengan judul
“Hak Warga Negara Asing terhadap Penguasaan Tanah di Indonesia”.
B.     Rumusan masalah
Untuk mendapat hasil yang sesuai dan tidak keluar dari judul pembahasan maka kami
merumuskan permasalahan ke dalam beberapa pertanyaan, yaitu:
1. Apa yang dimaksud dengan hierarki?
2. Siapa saja yang boleh memiliki Hak Atas Tanah?
3. Apakah WNA boleh memiliki Hak Atas Tanah?

C.    Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:


1. Penjelasan pengertian Hierarki
2. Untuk mengetahui siapa saja yang boleh memiliki Hak Atas Tanah di Indonesia.
3. Untuk mengetahui apakah WNA boleh memiliki Hak Atas Tanah atau tidak.
BAB II
PEMBAHASAN

Hirarki (Bahasa Yunani: hierarchia), dari hierarches, "pemimpin ritus suci, imam
agung") adalah suatu susunan hal (objek, nama, nilai, kategori, dan sebagainya) di mana hal-
hal tersebut dikemukakan sebagai berada di "atas," "bawah," atau "pada tingkat yang sama"
dengan yang lainnya. Secara abstrak, sebuah hirarki adalah sebuah kumpulan yang disusun.

A.    Subjek Hak Milik Atas Tanah


Pada asasnya hak milik hanya dapat dipunyai oleh orang-orang (het natuurlijke
persoon), baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain. Badan hukum tidak dapat
mempunyai tanah dengan hak milik, kecuali badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah
dan telah dipenuhi syarat-syaratnya. Demikian pasal 21 ayat (1) dan (2) UUPA.
Menurut hukum agraria yang lama setiap orang boleh mempunyai dengan hak
eigendom, baik ia warga negara maupun warga asing, baik bukan Indonesia asli maupun
bukan Indonesia asli. Bahkan badan hukum pun berhak mempunyai hak eigendom, baik
badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing.
Dalam pengertian konteks agraria, tanah berarti permukaan bumi paling luar
berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. Hukum tanah di sini buakan mengatur
tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya saja yaitu
aspek yuridisnya yang disebut dengan hak-hak penguasaan atas tanah.
Dalam hukum, tanah merupakan sesuatu yang nyata yaitu berupa permukaan fisik
bumi serta apa yang ada di atasnya buatan manusia yang disebut fixtures1. Walaupun
demikian perhatian utamanya adalah bukan tanahnya itu, melainkan kepada aspek
kepemilikan dan penguasaan tanah serta perkembangannya. Objek perhatiannya adalah hak-
hak dan kewajiban-kewajiban berkenaan dengan tanah yang dimiliki dan dikuasai dalam
berbagai bentuk hak penguasaan atas tanah.

Hirarki hak-hak atas penguasaan atas tanah dalam hukum tanah nasional adalah :
1
Perlengkapan
1. Hak bangsa Indonesia atas tanah;
Dalam Pasal 1 ayat 2, dalam hubungannya dengan Hak Bangsa. Dinyatakan dalam
ayat tersebut: Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat
Indonesia, yang telah bersatu sebagai bangsa Indonesia.
Dengan pernyataan dalam ayat 2 dan 1 tersebut berarti bahwa, demikian dinyatakan
dalam Penjelasan Umum: bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah Republik Indonesia
yang kemerdekaannya diperjuangkan oleh bangsa sebagai keseluruhan, menjadi hak pula
dari bangsa Indonesia, jadi tidak semata-mata menjadi hak dari para pemiliknya saja.
Demikian pula tanah-tanah di daerah- daerah dan pulau-pulau, tidaklah semata-mata
menjadi hak rakyat asli dari daerah atau pulau yang bersangkutan. Dengan pengertian
demikian maka hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang-angkasa
Indonesia merupakan semacam hubungan Hak Ulayat, yang diangkat pada tingkatan yang
paling atas, yaitu tingkatan yang mengenai seluruh wilayah Negara.
Pernyataan bahwa Hak Bangsa adalah semacam Hak Ulayat 2 berarti bahwa dalam
konsepsi Hukum Tanah Nasional hak tersebut merupakan hak penguasaan atas tanah
yang tertinggi.
Ini berarti bahwa hak-hak penguasaan atas tanah yang lain, termasuk Hak Ulayat dan
hak-hak individual atas tanah yang dimaksudkan oleh Penjelasan Umum di atas, langsung
ataupun tidak, scmuanya bersumber pada Hak Bangsa.
HAK BANGSA MELlPUTI SEMUA TANAH Kata "Seluruh" dalam kalimat:
Seluruh bumi, air dan ruang-angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya, dalam wilayah Republik Indonesia adalah bumi, air dan ruangangkasa bangsa
Indonesia dalam Pasal 1 ayat 2, menunjukkan bahwa tidak ada sejengkal tanah pun di
Negara kita yang merupakan apa yang disebut "res nullius" (tanah tak ber-"tuan")

2. Hak menguasai negara atas tanah

2
Kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu
Negara memiliki kewenangan sebagai pengatur, perencana, pengelola sekalisus sebagai
pengawas pengelolaan, penggunaan dan pemanfaatan SDA3 nasional. Maka Negara

berkewajiban untuk :

 Segala bentuk pemanfaatan bumi dan air dan serta hasil yang didapat didalamnya
[kekayaan alam], harus secara nyata meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan
masyarakat.
 Melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat didalam atau diatas
bumi dan air yang dapat dihasilkan secara langsung atau dinikmati langsung oleh
rakyat.
 Mencegah rakyat tidak mempunyai kesempatan atau kehilangan hak yang terdapat di
dalam dan di atas bumi dan air.

3. Hak ulayat masyarakat hukum adat;


Hak ulayat adalah kewenangan, yang menurut hukum adat, dimiliki oleh
masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan warganya,
dimana kewenangan ini memperbolehkan masyarakat untuk mengambil manfaat dari
sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya.
Masyarakat dan sumber daya yang dimaksud memiliki hubungan secara lahiriah dan
batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan
wilayah yang bersangkutan.

4. Hak-hak perseorangan, meliputi :

Pertama-tama harus diperhatikan, bahwa hak perseorangan atas tanah dibatasi oleh hak
ulayat Sebagai seorang warga persekutuan maka tiap individu mempunyai hak untuk:

 Mengumpulkan hasil-hasil hutan, seperti rotan dan lain sebagainya.


 Memburu binatang liar yang hidup di wilayah kekuasaan persekutuan.
 Mengambil hasil dari pohon-pohon yang tumbuh liar.
 Membuka tanah daan kemudian mengerjakan tanah itu terus-menerus.
 Mengusahakan untuk diurus selanjutnya suatu kolam ikan

3
Sumber Daya Alam
Dengan perbuatan-perbuatan khususnya yang dimaksudkan ayat c, d dan e diatas, maka
terjadi suatu perhubungan perseorangan antara seorang warga persekutuan dengan
masing-masing pohon, tanah dan kolam itu. Agar dimaklumi oleh warga-warga
persekutuan lainya lazimnya diberikan tanda pelarangan yang yang religio-magis4 itu,
sehingga hasil pohon, tanah ataupun kolam tersebut hanya dapat diambil oleh yang
berkepentingan saja, lain orang tidak diperbolehkan mengambil hasilnya.

Jika perhubungan perseorangan ini kemudian terputu, sehingga hak perseorangan


menjadi ilang,maka hak persekutuan (hak ulayat) untuk menguasai hidup kembali.

a. Hak-hak atas tanah, meliputi :


1) Hak milik atas tanah
Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang yang
mempunyai hak untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah
tersebut. Hak atas tanah berbeda dengan hak penggunaan atas tanah.
2) Hak guna usaha
Pengertian Hak Guna Usaha
 Di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-Pokok
Agraria Pasal 28 ayat (1) menyebutkan bahwa Hak Guna Usaha adalah hak untuk
mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu
sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan, atau
peternakan.
Sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960, pengertian tanah negara
ditemukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1953 (L.N. 1953, No. 14,
T.L.N. No. 362). Dalam Peraturan Permerintah tersebut tanah negara dimaknai
sebagai tanah yang dikuasai penuh oleh negara. Substansi dari pengertian tanah
negara ini adalah tanah-tanah memang bebas dari hak-hak yang melekat diatas
tanah tersebut, apakah hak barat maupun hak adat (vrij landsdomein). Dengan
terbitnya UUPA tahun 1960, pengertian tanah Negara ditegaskan bukan dikuasai
penuh akan tetapi merupakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara. Artinya,
negara di kontruksikan bukan sebagai pemilik tanah. negara sebagai organisasi
kekuasaan rakyat yang bertindak selaku badan penguasa, yang diberikan
wewenang dalam hal sebagai berikut :

4
Hukum adat selalu berkaitan dengan persoalan magis dan spiritualisme atau kepercayaan atas roh nenek
moyang.
 mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaannya;
 menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas ( bagian dari )
bumi, air dan ruang angkasa itu;
 menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dan perbuatan hukum yang mengenai buni, air dan ruang angkasa.”
Setelah lahirnya UUPA5, di dalam berbagai peraturan perundang-undangan
disebutkan bahwa pengertian tanah negara adalah tanah yang tidak dilekati dengan
sesuatu hak atas tanah.

3) Hak guna bangunan


Pengertian Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai
bagunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu 30 tahun,
yang atas permintaan pemegang hak mengikat keperluan serta keadaan bangunan-
bangunannya. Jangka waktu 30 tahun terhadap pemegang hak guna bangunan
tersebut dapat diperpanjang sampai dengan jangka waktu maksimum 20 tahun.

Terjadinya Hak Guna Bangunan, sebagai berikut :


(1) Hak guna bangunan atas tanah negara ini terjadi dengan keputusan pemberian
hak oleh menteri agraria atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Hak guna bangunan atas tanah hak pengelolaan terjadi dengan keputusan
pemberian hak oleh menteri agraria atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan
usul dari pemegang hak pengelolaan.
(3) Hak guna bangunan atas tanah milik terjadi dengan pemberian oleh pemegang
hak milik dengan akta perjanjian yang dibuat oleh PejabatPpembuat Akta
Tanah (PPAT).

Jangka waktu Hak Guna Bangunan atas tanah negara dan tanah hak
pengelolaan diberikan maksimum 30 tahun dan dapat diperpanjang maksimum 20
tahun. Setelah jangka waktu tersebut berakhir, kepada pemegang hak guna
bangunan tersebut dapat diberikan pembaharuan hak. Permohonan perpanjangan
atau pembaharuan hak harus diajukan selambat-lambatnya 2 tahun sebelum
berakhirnya jangka waktu hak guna bangunan.

5
Undang-Undang Pokok Agraria
4) Hak pakai
Hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah negara atau tanah
milik orang lain yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam
keputusan atau perjanjian pemberiannya (Pasal 41) tapi tidak bersumber pada
hubungan sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah.
Jangka waktu : hak pakai yang diberikan selama waktu tertentu atau selama
tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu. Dalam praktek pada umumnya
pemberiahhak pakai oleh pemerintah jangka waktunya 10 tahun.
Hapusnya hak pakai:
§  Jangka waktu berakhir
§  Dicabut untuk kepentingan umum
§  Tanahnya musnah
§  Dilepaskan oleh pemengan haknya sebelum jangka waktu berakhir

5) Hak sewa
Hak mempergunakan tanah milik orang lain untuk sesuatu keperluan dengan
membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa (Pasal 44). Antara
HGU6, HGB7, HP8, dan HS9 terdapat kesamaan, yaitu hak yang memberi
wewenang untuk memakai/menggunakan tanah yang bukan miliknya sendiri dan
dapat dikelompokan sebagai hak pakai.

6) Hak membuka tanah


Dalam perkembangan UUPA yang mulai diatur dalam PMA No.9 tahun 1960,
kemudian dikenal dan dikembangkan pula hak pengelolaan. Pengelolaan sebagai
jenis hak belum disebut dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA, tetapi mengelola tanah
negara sendiri sebagai fungsi sebenarnya sudah terbaca dalam penjelasan angka
II/2 UUPA.
Hak pengelolaan adalah hak untuk menguasi atas tanah yang langsung dikuasai
oleh negara yang memberi wewenang kepada pemegang haknya untuk :
 Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan
menggunakan tanah tersebut untuk pelaksanaan tugasnya.

6
Hak Guna Usaha
7
Hak Guna Bangunan
8
Hak Pakai
9
Hak Sewa
 Menyerahkan bagian-bagian dari tanah itu kepada pihak ketiga dengan hak
pakai dengan jangka waktu 6 tahun (Perauran Mentri Agraria No.9 tahun1965)
 Menerima uang pemasukan/uang wajib tahunan

Di samping itu, UUPA mengenal pula hak-hak yang bersifat sementar yang
disebut dalam Pasal 53, yaitu :
1.  Hak gadai
2.  Hak usaha bagi hasil
3.  Hak menumpang
4.  Hak sewa tanah pertanian(Pasal 16 ayat (1) jo Pasal 53)
BW (KUHP perdata) menganal berbagai jenis hak atas tanah sebagai barang tidak
bergerak, yaitu :
a.  Bezit (kedudukan berkuasa)
b. Eigendom (hak milik)
c.  Burenrecht (hak bertetangga = hak jiran)
d.  Herendienst (hak kerja rodi)
e.  Erfaienst baarheid (hak pengabdian tanah)
f.  Het regt van opstaal (hak numpang karang)
g. Het erfpachtsregt (hak usaha)
h. Grondrenten en tienden (bunga tanah dan hasil sepersepuluh)
i.  Het vrucht gebruik (hak pakai hasil)
j.   Het recht van gebruik en de bewoning (hak pakai dan hak mendiami)

7) Hak memungut hasil hutan


Hak Mengambil Hasil Hutan:
Yang berhak mengambil hasil hutan yakni:
1. Orang atau perorangan warga negara Indonesia
a. Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan hanya dapat dipunyai oleh
warga negara Indonesia dan diatur dengan peraturan Perundang- undangan
(Pasal 46 UU Pokok Agraria).
b. Masyarakat berhak memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan
peraturan perundang- undangan yang berlaku.

2. Masyarakat adat
Masyarakat hukum adat berhak untuk melakukan pemungutan hasil hutan
untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari masyarakat bersangkutan dengan
Pasal 67, dalam huruf (a) "melakukan pemungutan hasil hutan untuk
pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan"
Undang- Undang No 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan).

Hak memungut hasil hutan, diberikan oleh pemerintah kepada warga Negara
yang merupakan kontribusi pemerintah dalam memberikan kesejahteraan kepada
masyarakat warga Negara. Pemungutan hasil hutan ada yang berasal dari hasil
kayu maupun non kayu. Rotan adalah jenis yang utama diantara NTFP dari mana
hampir semua rumah tangga mendapat uang tunai. Suatu rotan dikumpulkan bisa
mendapat lebih dari Rp. 1,000,000 uang tunai di dalam 16 hari di, selain rotan
madu juga menjadi hasil hutan yang sangat besar bagi masyarakat. Karena
masyarakat tidak perlu mendapatkan ijin dari pemerintah terlebih dahulu. Dari
hasil hutan yang di peroleh , sebagian ada yang di jual dan sebagian di konsumsi
sendiri.
Dengan keahlian yang dimiliki para masyarakat mereka akan lebih mudah untuk
mengelola dan membudidayakan hutan dan mengambil hasil dari pengelolaan
hutan tersebut.
PP no 6 th 1999 Tentang pengusahaan dan pemungutan hasil hutan pada hutan
produksi.

Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Hutan adalah suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohon yang secara
keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam
lingkungannya dan yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagai hutan.
2. Hutan Negara adalah kawasan hutan dan hutan yang tumbuh di atas tanah
yang tidak dibebani hak milik.
3. Hasil Hutan ialah benda-benda hayati yang dihasilkan dari hutan.
4. Kawasan Hutan ialah wilayah-wilayah tertentu yang oleh Menteri ditetapkan
untuk dipertahankan sebagai hutan tetap.
5. Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang diperuntukkan guna produksi
hasil hutan untuk memenuhi keperluan masyarakat pada umumnya dan
khususnya untuk pembangunan, industri dan ekspor.
6. Hutan Alam adalah suatu lapangan yang bertumbuhan pohon-pohon alami
yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta
alam lingkungannya.
7. Hutan Tanaman adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan
potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur intensif.
8. Pengusahaan Hutan adalah kegiatan pemanfaatan hutan yang didasarkan atas
asas kelestarian fungsi dan asas perusahaan yang meliputi penanaman,
pemeliharaan dan pengamanan, pemanenan hasil, pengolahan dan pemasaran
hasil hutan.
9. Hak Pengusahaan Hutan adalah hak untuk mengusahakan hutan di dalam
kawasan hutan produksi, yang kegiatannya terdiri dari penanaman,
pemeliharaan, pengamanan, pemanenan hasil, pengolahan dan pemasaran
hasil hutan.
10. Areal Kerja Hak Pengusahaan Hutan adalah kawasan hutan produksi yang
dibebani Hak Pengusahaan Hutan.
11. Hak Pemungutan Hasil Hutan adalah hak untuk memungut hasil hutan baik
kayu maupun non kayu pada hutan produksi dalam jumlah dan jenis yang
ditetapkan dalam surat izin.
12. Areal Kerja Hak Pemungutan Hasil Hutan adalah kawasan hutan produksi
yang dibebani Hak Pemungutan Hasil Hutan.
13. Kesatuan Pengusahaan Hutan Produksi adalah suatu kesatuan pengusahaan
hutan terkecil atas kawasan hutan produksi yang layak diusahakan secara
lestari dan secara ekonomi.
14. Tanaman Pokok adalah jenis tanaman hutan yang memiliki luas dan atau nilai
ekonomi dominan.
15. Daur Tanaman adalah jangka waktu yang diperlukan bagi suatu jenis tanaman
sejak mulai penanaman sampai mencapai masak tebang.
16. Keputusan Pemberian Hak Pengusahaan Hutan adalah izin yang diberikan
oleh Menteri untuk melaksanakan pengusahaan hutan.
17. Keputusan Pemberian Hak Pemungutan Hasil Hutan adalah izin yang
diberikan oleh Bupati Kepala Daerah Tingkat II untuk melaksanakan
pemungutan hasil hutan.
18. Masyarakat setempat adalah kelompok-kelompok orang warga negara
Republik Indonesia yang tinggal di dalam atau sekitar hutan dan yang
memiliki ciri sebagai suatu komunitas, yang didasarkan pada kekerabatan,
kesamaan mata pencaharian yang berkait dengan hutan (profesi), kesejarahan,
keterikatan tempat tinggal bersama serta faktor ikatan komunitas lainnya.
19. Dana Reboisasi (DR) adalah dana yang dipungut dari Pemegang Hak
Pengusahaan Hutan dan Pemegang Hak Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan
dari hutan alam yang berupa kayu dalam rangka reboisasi dan rehabilitasi
lahan.
20. Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) adalah pungutan yang dikenakan
sebagai pengganti nilai intrinsik dari hasil hutan yang dipungut dari hutan
negara.
21. Dana Jaminan Kinerja Hak Pengusahaan Hutan yang pencairannya
didasarkan pada penilaian keberhasilan atau kegagalan dalam memenuhi
ketentuan pengusahaan hutan secara lestari.
22. Iuran Hak Pengusahaan Hutan adalah pungutan yang dikenakan kepada
pemegang Hak Pengusahaan Hutan atas suatu kompleks hutan tertentu yang
dilakukan sekali pada saat hak tersebut diberikan.
23. Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan
hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya pada prinsip koperasi
sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas
kekeluargaan.
24. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang kehutanan.
8) Hak-hak yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan
ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara
sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53 (UUPA).
a. Wakaf tanah hak milik
b. Hak jaminan atas tanah (hak tanggungan)
c. Hak milik atas satuan rumah susun.
Dengan demikian, jelaslah bahwa tanah dalam artu yuridis adalah
permukaan bumi, sedangkan hak atas tanah hak atas sebagiaan tertentu permukaan
bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.
Sesuai dengan pasal 9 ayat (1) UUPA, menurut pasal 21 ayat (1) UUPA
hanya warga negara Indonesia saja dapat mempunyai hak milik, sebagaimana
telah dijelaskan, bahwa larangan tidak diadakan perbedaan antara orang-orang
Indonesia asli dan keturunan asing. Meskipun, menurut pasal 9 ayat (2) UUPA,
tidak diadakan perbedaan antara sesama warga negara dalam hal pemilikan tanah
diadakan perbedaan antara mereka yang berkewarganegaraan tunggal dan
rangkap.
Berkewarganeragaan rangkap artinya, bahwa disamping kewarganegaraan
Indonesia dipunyai pula kewarganegaraan lain. Pasal 24 ayat (4) UUPA
menentukan, bahwa selama seseorang disamping kewarganegaraan Indonesia
mempunyai kewarganegaraan asing, ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak
tanah. Ini berarti, bahwa ia selama itu dalam hubungannya dengan soal pemilikan
tanah dipersamakan dengan orang asing.
Di dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan, bahwa sudah selayaknya
orang-orang yang membiarkan diri disamping kewarganegaraan Indonesia
mempunyai kewarganegaraan lain dalam hal pemilikan tanah dibedakan dari
warga negara Indonesia lainnya. Dengan demikian, maka yang boleh mempunyai
tanah dengan hak milik itu hanyalah warga negara Indonesia tunggal saja.
Sekarang kedudukan anak tetap mengikuti kewarganegaraan orang tuanya, juga
setelah ia menjadi dewasa.
Kalau orang tuanya telah melepaskan kewarganegaraan Indonesia,
anaknya tetap berkewarganegaraan Indonesia. Untuk menjadi warga negara
Indonesia, harus ditempuh cara pewarganegaraan, atau naturalisasi. Kita telah
mengetahui, bahwa selain syarat kewarganegaraan Indonesia tunggal, khusu untuk
pemilikan tanah pertanian masih diperlukan syarat-syarat lain. Syarat-syarat itu
berkaitan dengan ketentuan mengenai maksimum luas tanah pertanian yang boleh
dimiliki dan dikuasai seseorang (Pasal 1 jo. 6 UU Nomor 56 (Perpu Tahun 1960)
mengenai pemilikan bersama tanah pertanian yang luasnya kurang dari dua hektar
(Pasal 9 ayat 2 dan 33 UUPA).
UU Nomor 56 (Perpu) 1960, dan mengenai larangan pemilikan tanah
pertanian secara absentee atau guntai (Pasal 3 PP Nomor 224 Tahun 1961 jo. PP
Nomor 41 Tahun 1964). Kalau syarat yang disebutkan pada pasal 21 ayat 1 jo.
Ayat 4 UUPA disebut syarat umum bagi perorangan untuk mempunyai tanah
dengan hak milik, artinya syarat tersebut wajib dipenuhi oleh setiap pemilik.
Karena itu, apa yang ditentukan oleh peraturan-peraturan Landreform merupakan
syarat-syarat khusus, artinya khusus untuk pemilikan tanah pertanian. Bagi tanah
pertanian, tidak disyaratkan bahwa pemiliknya harus seorang petani.

B. Hak Milik Atas Tanah Warga Negara Asing


Meskipun pada asasnya hanya orang-orang warga negara Indonesia tunggal saja
yang dapat memiliki tanah, dalam hal-hal tertentu selama dalam waktu yang terbatas
UUPA masih memungkinkan orang-orang asing dan warga negara Indonesia yang
berkewarganegaraan rangkap untuk mempunyai tanah dengan hak milik. Diberikannya
kemungkinan itu adalah atas dasar pertimbangan peri kemanusiaan.
Pasal 21 ayat 3 UUPA menentukan, bahwa orang asing yang sesudah tanggal 24
september 1960 memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran
harta karena perkawinan, wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu satu tahun sejak
diperolehnya hak tersebut. Ketentuan itu berlaku juga terhadap seorang warga negara
Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah tanggal 24 september 1960 kehilangan
kewarganegaraannya.
Jangka waktu satu tahun tersebut dihitung sejak hilangnya kewarganegaraan
Indonesia itu. Bagaimanakah ketentuannya jika yang menerima hak milik secara
demikian seorang Indonesia yang berkewarganegaraan rangkap atau jika seorang pemilik
semula berkewarganegaraan Indonesia tunggal, menurut hemat penulis (Eddy Ruchiyat,
S.H.), pasal 21 ayat 3 UUPA berlaku juga terhadap mereka berdasarkan ketentuan pasal
21 ayat 4 UUPA.
Cara-cara yang disebutkan dalam ayat 3 diatas adalah cara memperoleh hak tanpa
melakukan sesuatu tindakan positif yang sengaja ditujukan pada terjadinya peralihan hak
yang bersangkutan. Demikian penjelasan pasal 21 ayat 3 UUPA tersebut. Cara-cara lain
tidak diperbolehkan karena dilarang oleh pasal 26 ayat 2 UUPA, juga beli, tukar menukar,
hibah, dan pemberian dengan wasiat (legat).
Memperoleh hak milik dengan kedua cara tersebut diatas masih dimungkinkan
bagi orang-orang asing dan warga negara Indonesia yang berkewarganegaraan rangkap,
tetapi dalam waktu satu tahun pemilikan itu harus diakhiri. Bagaimana cara
mengakhirinya? Dikatakan dalam ayat tersebut, bahwa di dalam waktu satu tahun hak
miliknya itu harus dilepaskan. Kalau hak miliknya itu tidak dilepaskan, hak tersebut
menjadi hapus dan tanahnya menjadi tanah negara, yaitu tanah yang dikuasai langsung
oleh negara. Maksudnya, setelah itu bekas pemilik diberi kesempatan untuk meminta
kembali tanah yang bersangkutan dengan hak dapat dipunyainya, yaitu bagi orang asing
hak pakai dan bagi orang Indonesia yang berkewarganegaraan rangkap, HGU, HGB, atau
hak pakai.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam Pasal 1 dan sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Umum Undang
Undang No. 5/1960 – UUPA dikenal dengan istilah Hak Bangsa Indonesia, dimana
berdasarkan Hak ini, maka konsep hukum tanah Indonesia dinyatakan bahwa pada
dasarnya seluruh tanah yang ada di Indonesia merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha
Esa kepada seluruh bangsa Indonesia.
Karena keseluruhan tanah yang ada di Indonesia konsepnya merupakan karunia
dari Tuhan Yang Maha Esa, maka untuk menghindari kekacauan dalam peruntukan dan
pemilikannya, diperlukan suatu pengaturan terhadap peruntukan dan pemilikan tanah
tersebut. Untuk itu lebih lanjut dalam pasal 2 juncto pasal 8 UUPA dikenal dengan Hak
Menguasai Negara.
Hak Menguasai Negara adalah hak yang dimiliki oleh Negara untuk melakukan
pengaturan tanah yang merupakan Karunia dari Tuhan Yang Maha Esa baik dalam
peruntukan maupun kepemilikan terhadap tanah di Indonesia.
Dengan pengaturan yang dilakukan oleh Negara diharapkan cita-cita Undang
Undang Dasar pasal 33 ayat 3 dapat tercapai, yaitu; “Bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.”
Dalam Hak Bangsa Indonesia, terdapat hak yang diberi kewenangan khusus, yaitu
Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Hak Ulayat pada dasarnya hampir sama dengan
Hak Bangsa Indonesia, karena Hak Ulayat adalah milik semua anggota masyarakat
hokum adat setempat. Kepala adat berhak dalam melakukan pengaturan penggunaan
maupun pengelolaan tanah atas Hak Ulayat. Hak Ulayat ini sebagaimana telah dipertegas
dalam ketentuan pasal 3 juncto pasal 5 UUPA.
Kembali kepada Hak Menguasai Negara, maka konsekuensinya mengakibatkan
seluruh tanah yang belum ada kepemilikannya (kecuali tanah ulayat sebagaimana
dijelaskan sebelumnya), adalah dikuasai oleh Negara. Sehingga jika ada seorang warga
Negara Indonesia hendak memiliki atau mempergunakan sebuah lahan tanah, maka warga
tersebut hanya dapat dinyatakan sebagai pemilik jika sudah mengajukan permohonan hak
atas tanah. Atau, jika orang ini sudah menempati lahan tanah tersebut selama lebih dari 30
tahun, maka dapat mengajukan permohonan pengakuan hak.
B. Saran
Kami menyarankan kepada pemerintah untuk lebih menguasai hak-hak yang
seharusnya dikuasai oleh negara. Dan lebih mempertanggung jawabkan atas
konsekuensinya yang telah dicatat dan yg telah dipertanggung jawabkan oleh pemerintah
agar pemerintah lebih menguasai hak atas tanahnya dan dibatasi mana yg milik negara
dan mana yang bukan milik negara karna hak atas milik tanah negara sudah tercampur
dengan hak milik atas tanah orang lain.
DAFTAR PUSTAKA

Harsono, Boedi. 2004. Hukum Agraria Indonesia. Djambatan.

Koeswahyono, Imam. 2007. Hukum Agraria Indonesia Dalam Perspektif Sejarah. Refika
Aditama.

Muljadi, Kartini. 2005. Hak-hak Atas Tanah. Jakarta: Prenada Media.

Parlindungan, A.P. 1987. Beberapa Masalah Dalam UUPA. Bandung; Alumni.

Ruchiyat, Eddy. 2004. Politik Pertanahan Nasional Sampai Orde Reformasi. Bandung:
Alumni.

Soimin, Soedharyo. 2008. Status Hak dan Pembahasan Tanah. Jakarta: Sinar Grafika.

Sutedi, Adrian. 2011. Sertifikat Hak Atas Tanah. Jakarta: Sinar Grafika.

Anda mungkin juga menyukai