Anda di halaman 1dari 2

Insidenmasuknya kapal Tiongkok, KM Kway Fey ke wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE)

dan laut territorial Indonesia 19 Maret 2016 lalu, telah disikapi dengan cara berbeda. Ada
yang memandang kejadian itu sebagai pelanggaran hak Indonesia terkait penangkapan ikan di
ZEE, namun ada juga yang melihatnya sebagai pelanggaran hak berdaulat dan kedaulatan.

Pada dasarnya yang dilakukan oleh Tiongkok tentu tidak terlepas dari klaim sepihaknya
terkaitdengan "nine dash line", yang jelas-jelas masuk ke daerah yurisdiksi Indonesia di
Natuna, Kepulauan Riau.

Tindakan Tiongkok tersebut dalam hukum internasional dikenal sebagai unilateral claim,
yang tidak serta-merta bisa mengikat dan memaksa negara lain untuk mengakuinya karena
hukum internasional mengenal apa yang dikatakan sebagai "persistent objection" (penolakan
secara terus-menerus).

Indonesia selalu melakukan "persistent objection" sejak awal dan tidak bergeming dengan
sikapnya sampai saat ini.

Dalam pembelaannya, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok mengatakan, kapal
Tiongkok yang ditangkap oleh kapal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sedang
melakukan "normal activity" di wilayah "traditional fishing ground", yang artinya berada di
ZEE Indonesia. Hal yang mengingatkan kita pada klaim "historical title"Tiongkok di Laut
China Selatan.

Beberapa catatan hukum terhadap tindakan sepihak Tiongkok yang disinyalir bukan yang
pertama ini antara lain:

1. Klaim Tiongkok sama sekali tidak berdasar dalam hukum internasional.

Hukum laut tidak mengenal "traditional fishing ground", yang ada hanya "traditional fishing
right" di wilayah perairan kepulauan (bukan di ZEE maupun laut territorial), dan harus diatur
melalui perjanjian antar negara.

Dengan demikian, tidak satu pun kapal ikan asing bisa menangkap ikan di ZEE satu negara
tanpa ada izin dari negara pantainya.

2. Dengan mengemukakan dalih di atas, terimplikasi bahwa Tiongkok tidak mengakui ZEE
Indonesia. Padahal Indonesia telah mengklaim ZEE sejak 1983 melalui UU No 5 Tahun
1983, dan tidak pernah ada keberatan dari Tiongkok akan hal itu.

Karena itu, berdasarkan hukum internasional, Tiongkok telah mengakui klaim Indonesia atas
ZEE-nya.

3. Tiongkok mengirimkan penjaga pantainya untuk menjaga kapal ikannya jauh keluar dari
laut teritorial dan ZEETiongkok, yang diukur dari mainland of China.

Hal ini tentu dapat diartikan bahwa China menganggap perairan Natuna adalah daerah
perairan, di mana mereka memiliki yurisdiksi yang selama ini mereka cerminkan dalam
klaim sepihak "nine dash line".
4. Klaim sepihak Tiongkok terkait "historical title" di Laut China Selatan merupakan klaim
yang "absurd" dan tidak memiliki alas hukum yang sah.

Sejak awal berkembangnya hukum laut jelas bahwa laut tidak ada yang memiliki. Lalu
lambat laun negara mengklaim laut yang berbatasan dengan daratannya dengan alasan
keamanan negara pantai (national security), dimulai dari hanya mengklaim laut teritorial
hingga kemudian juga mengklaim zona tambahan, landas kontinen dan ZEE.

Dengan demikian, jelas tidak ada klaim terhadap laut tanpa adanya daratan. Sementara jarak
antara Tiongkok dan titik terluar nine dash line-nya sangat jauh, melebihi apa yang
dimungkinkah oleh hukum laut yang hanya diakui 200 mil laut dari pantai untuk ZEE.

Jika memang "historical title" terhadap laut diakui, semua samudra di dunia akan sangat
mungkin diklaim oleh Inggris. Itu karena Inggris-lah yang telah menguasai lautan sejak dulu
kala.

Untuk menghadapi Tiongkok yang melakukan "test the water" kepada Indonesia, ada
beberapa hal yang dapat dan perlu dilakukan oleh Indonesia, antara lain:

1. Menanggapi permasalahan ini bukan hanya sebagai sengketa terkait perikanan, tetapi lebih
penting lagi sebagai permasalahan pelanggaran zona maritim, pelanggaran hak berdaulat, dan
kedaulatan yang tidak bisa dibiarkan begitu saja tanpa ada kejelasan.

2. Protes diplomatik yang harus terus-menerus dilakukan dengan keras dan


berkesinambungan, selama Tiongkok tetap bertahan dengan klaimnya.

Jika memang "nine dash line"Tiongkok bukan klaim wilayah, perlu ada pernyataan secara
tertulis mengenai apa yang dimaksudkan oleh Tiongkok dengan itu, dan bahwa mereka
mengakui ZEE Indonesia yang terkena line tersebut.

3. Melakukan "peaceful display of sovereignty" di daerah Natuna dan daerah lain yang
terhimpit oleh klaim "nine dash line" dengan menghadirkan "patroli berkesinambungan,
pemantauan radar yang efektif dan berdaya jangkau tinggi, dan pembangunan pangkalan TNI
AL di daerah terdekat".

Sebagai peserta UNCLOS 1982 sejak 1996, Tiongkok harus bisa menghormati hak berdaulat
dan kedaulatan Indonesia. Terutama tentu tidak mengklaim zona maritim tanpa ada alas hak
yang sah sesuai hukum laut yang berlaku.

Jika ingin berdaulat di laut, Indonesia harus bisa tegas terhadap semua pelanggaran
kedaulatan dan hak berdaulat di lautnya, termasuk terhadap tindakan semena-mena Tiongkok.

Anda mungkin juga menyukai