Anda di halaman 1dari 13

Nama Kelompok 3 :

1. Annisa Amelia Putri 2105040055


2. Estabella Rinaldy 2105040060
3. Verga Syaharani Sukma 2105040083
Dosen Pengampu :
1. Rina S. Shahrullah,Ph.D
2. Ninne Zahara S.,MH
Case Based Learning

KASUS KLAIM CINA ATAS LAUT NATUNA UTARA MILIK INDONESIA

A. KASUS POSISI
Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki wilayah sebesar 60% adalah wilayah
perairan sedangkan 40% berada pada wilayah daratan. Salah satu wilayah kepulauan di
Indonesia yang memiliki sumber daya alam yang sangat kaya adalah Natuna yang berad di
Provinsi Kepulaun Riau. Kabupaten Natuna memiliki luas wilayah 264.198,37 km2 dengan
luas daratan 2.001,30 km2 dan lautan 262.197,07 km2. Ranai sebagai Ibukota Kabupaten
Natuna. Di kabupaten ini terdapat 154 pulau, dengan 27 pulau (17,53 persen) yang
berpenghuni dan sebagian besar pulau (127 buah) tidak berpenghuni. Dua pulau terbesar
diantaranya adalah Pulau Bunguran dan Pulau Serasan. Kabupaten Natuna terletak pada titik
koordinat 1016’-7019’ LU (Lintang Utara) dan 105000’-110000’ BT (Bujur Timur) dengan
perbatasan wilayah sebagai berikut:

1. Bagian utara berbatasan alngsung dengan laut Cina Selatan


2. Bagian selatan berbatasan langsung dengan Kabupaten Bintan
3. Bagian barat yang berbatasan langsung dengan Semenanjung Malaysia
4. Bagian timur yang berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan
Merujuk pada pandangan yang telah disampaikan diatas maka pada dasarnya kepulauan
Natuna milik Indonesia berbatasan secara langsung dengan negara Malaysia dan Cina.
Hubungan baik yang dijalin antara Malaysia dan Cina berlangsung dengan baik. Namun
kemudia hubungan baik tersebut secara khusus hubungan baik antara Indonesia dengan Cina
kembali memanas dikarenakan keluar sebuah pandangan dari negara Cina bahwa kepulauan
Natuna merupakan miliki Cina.

Pada dasarnya kepulauan Natuna merupakan kepulauan yang dilalui sebagai jalur
pelayaran Internasional bagi negara Hongkong, Jepang, Korea Selatan dan Taiwan. Tak
hanya itu saja, kepulauan Natuna juga menjadi salah satu kepulauan penghasil minyak dan
gas yang ada di Indonesia. Hal inilah yang menjadikan perairan Natuna banyak di incar oleh
pihak asing karena berbagai kekayaan yang ada di dalamnya. Padahal secara garis ZEE
perairan Natuna sudah jelas menjadi kepemilikan bangsa Indonesia.

Klaim Cina atas perairan Natuna diawali pada 25 Februari 1992 yang ditandai dengan
sebuah pengumuman pemerintahan Cina yang mengeluarkan Hukum Laut Teritorial dan
Zona Tambahan Negara Cina. Dalam pengumuman tersebut disampaikan terkait dengan
posisi Kepulauan Natuna yang menjadi bagian dari Yurisdiksi Teritorial Cina. Namun
sayangnya klaim dari Cina terhadap Kepulauan Natuna hingga saat ini tidak dapat
dibuktikan. Sejak tahun 1996 bangsa Indonesia semakin memperkuat wilayah perbatasan
khususnya di Kepulauan Natuna dengan mengirimkan personil TNI untuk menjaga laut
Natuna dari berbagai tantangan, ancaman, rintangan serta hambatan yang merugikan bagi
bangsa Indonesia.

Klaim China mengenai Sembilan garis putusputus China tidak bisa disahkan sebagai
suatu perbatasan teritorial milik China secara utuh karena tidak sesuai dengan hukum
internasional. Dalam hukum internasional telah diatur mengenai perbatasan teritorial yang
harus bersifat stabil dan terdefinisi dengan baik. Dalam hal sengketa China tersebut,
Sembilan garis putus-putus tersebut tidak stabil karena dari sebelas garis menjadi sembilan
garis tanpa alasa dan tidak ada definisi secara jelas dan kuat. Selain itu juga garis-garis
tersebut tidak memiliki koordinat geografis dan tidak dapat menjelaskan bentuk bila semua
garis saling berhubungan dan bersambungan.

Merujuk pada pandangan yang telah disampaikan diatas maka pada dasarnya
permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia sebagai bangsa yang merdeka sangatlah
kompleks. Hal ini dikarenakan Indonesia menjadi negara yang besar yang memiliki berbagai
kekayaan sumber daya alam yang ada di dalamnya membuat banyak negara menginginkan
kewilayahan Indonesia. Begitupun juga dengan Perairan Natuna sebagai salah satu wilayah
Indonesia yang memiliki berbagai kekayaan sumber daya alam didalamnya. Klaim Cina
terhadap perairan Natuna menjadi permasalahan yang termasuk ke dalam Hukum Laut
Internasional. Oleh karenanya kajian tentang hal tersebut akan dibahas lebih mendalam.

B. PERMASALAHAN HUKUM

1. Klaim nine dash line yang dikeluarkan oleh Cina dari sudut pandang UNCLOS
Tahun 1982
2. Hak berdaulat Indonesia berlandaskan pada Hukum Nasional
3. Hak berdaulat Indoensia menurut Hukum Internasional.

C. ARGUMENTASI PARA PIHAK


Cina

Pengakuan wilayah Laut China Selatan yang diklaim oleh China atas wilayah
territorial yang kemudian dituangkan ke dalam Peta Sembilan Garis Putus-Putus (NineDash
Line) didasarkan atas sejarah historis pada masa dahulu yang mereka yakini sebagai wilayah
kepunyaan mereka. China mengklaim wilayah yang ada di Laut China Selatan atas dasar
fakta sejarah atau historis dari era Dinasti Han 110 sebelum masehi dimana pada era itu
terjadi ekspedisi laut ke pulau Spratly yang dilakukan oleh bangsa China. Ketika dipimpin
oleh Dinasti Ming pada tahun 1403-1433 masehi, China memperkuat klaimnya dengan
langsung menggambarkan dan mengeluarkan peta Sembilan garis putus-putus.Pada tahun
1947 dan Mei 2009 berdasarkan atas dasar historis di atas dan berdasarkan peta yang
digambarkan itu, China mengklaim bahwa perairan-perairan yang ada di wilayah tersebut
yang termasuk ke dalam peta Sembilan garis putus-putus adalah miliknya termasuk dengan
kandungan maupun tanah yang ada di bawah perairan tersebut.

Oleh karena pengakuan sepihak yang dilakukan China tersebut maka negara-negara
yang terletak di sekitar kawasan Laut China Selatan yang merasa wilayah perairan dan
yurisdiksinya diklaim secara sepihak oleh China tidak dapat menerima keputusan sepihak itu.
China menyatakan wilayah Laut China Selatan yang mencakup 95% dari luas wilayah atau
sekitar 3,5 juta km² merupakan daerah kepemilikan China. Kawasan ini merupakan kawasan
yang diandalkan oleh China sebagai pemasok 85% impor minyak mentah. Maka dari itu,
China melakukan klaim tersebut beserta dengan penggambaran peta Sembilan garis putus-
putus untuk dapat menguasai kawasan Laut China Selatan demi mencapai tujuannya.

Fakta sejarah kuno ini bermula pada abadke 2 sebelum masehi, Menurut Cina pulau
dan wilayah Laut Cina Selatan ditemukan oleh pendahulu Cina, kepulauan tersebut yang
mempunyai alasan kepemilikan Pulau Paracel (Pulau Hainan) dan peninggalan sejarah yang
konon berasal dari Dinasti Han sejak abad ke 2 sebelum masehi, kemudian pada abad 12
sebelum masehi pulau-pulau dan wilayah laut Laut Cina Selatan di masukkan oleh negara
Cina kedalam peta teritori Cina oleh Dinasti Yuan, berlanjut pada abad ke 13 sebelum
Masehi Cina meyakini nine-dash line tersebut karena diperkuat dengan adanya Dinasti Ming
dan Dinasti Qing pada abad ke 13 sebelum masehi.

Kemudian pada tahun 1947 Cina memproduksi peta Laut Cina Selatan dengan
Sembilan garis putus-putus yang membentuk huruf U, serta menyatakan semua wilayah yang
ada di dalam di garis merah putus-putus tersebut adalah wilayah teritorial Cina. Klaim nine-
dash line yang dilakukan oleh Cina tersebut membuat salah satu negara yang berbatasan
dengan laut Cina Selatan tidak tinggal diam. Negara Philipina yang termasuk dalam klaim
tersebut membawa sengketa ini pada Permanent Court Of Arbitration (PCA). Permanent
Court Of Arbitration (PCA) merupakan badan arbitrase yang menyelesaikan sengketa antar
negara yang sudah berdiri sejak lama dan memiliki hukum acaranya yang terletak di Den
Haag Belanda.

Selanjutnya Cina masih tetap mengklaim Nine-Dash Line, kemudian pada tanggal 23
desember 2019 kapal Negara Cina masuk kedalam Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di
Laut Natuna Utara dan Kembali mengklaim nine-dash line, seperti yang sudah dijelaskan
dipembahasan Cina juga mengatakan tidak seharusnya nelayan Cina ditangkap oleh KKP
karena mereka hanya melakukan kegiatan traditional fishing ground. Sebenarnya ini bukan
kali pertama Cina memasuki ZEEI, Cina masuk dan mulai mengklaim di ZEEI pada tanggal
16 juni. Sebenarnya Cina memang tidak masalah jika masuk dan berlayar di ZEEI, yang jadi
permasalahannya adalah Cina memasuki ZEEI selain mengklaim Nine-dash line pada saat itu
Cina juga melakukan kegiatan Ilegal Fishing. Jika berbicara secara History dan secara hukum
laut Internasional kepemilikan laut Natuna utara adalah milik Indonesia.

Merujuk pada pandangan yang disampaikan diatas maka pada dasarnya klaim Cina ini
didasarkan pada perjalanan sejarah yang diyakininya. Pemerintahan Cina meyakini bahwa
kepulauan Natuna di masa lalu merupakan bagian dari wilayah Cina. Hal inilah yang
dilandasi oleh Cina untuk mengklaim kehadiran kepulauan Natuna. Padahal apabila dikaji
secara mendalam baik dalam hukum nasional dan internasional kepulauan Natuna menjadi
bagian dari Indonesia.

Indonesia

Indonesia sebagai bangsa yang besar tentunya telah memiliki banyak keberagaman
yang lahir didalamnya. Tidak dapat dielakkan bahwasanya luas wilayah Indonesia yang
terdiri dari beribu pulau telah menjadikan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang besar nan
beragam. Keberagaman ini pun menjadikan bangsa Indonesia tidak hanya besar akan luas
negaranya namun bangsa Indonesia pun kaya akan keberagamannya. Hal ini dibuktikan
dengan kayanya akan berbedaan yang tumbuh dan lahir didalam masyarakat Indonesia.
Keberagaman ini tidak dijadikan sebagai perlawanan, tetapi perbedaan ini dijadikan sebagai
bentuk persatuan bangsa Indonesia (Kemendikbud, 2018).

Sumber: babel.bpk.go.id

Berdasarkan peta diatas menjadi bukti bahwa memang bangsa Indonesia merupakan bangsa
yang besar. Negara kepulauan menjadi julukan atau sebutan bagi bangsa Indonesia yang
memiliki banyak kepulauan. Menurut data yang dikeluarkan oleh Badan Informasi
Geospasial (BIG) mengatakan bahwa jumlah pulau yang ada di Indonesia pada tahun 2021
mencapai kurang lebih 17.000. Dengan luas wilayah yang mencapai 8.300.000 KM 2 pulau-
pulau tersebut tersebar di wilayah Indonesia.

Merujuk pada pandangan yang disampaikan salah satu kepulauan yang dimiliki oleh
Indonesia adalah Perairan Natuna. Posisi perairan Natuna yang memiliki banyak kekayaan
sumber daya alam menjadikannya banyak di minati oleh negara lain termasuk juga Cina.
Salah satu masalah dari klaim China adalah garis demarkasi yang tidak bisa menunjukkan
titik koordinat seperti apa bentuk garis tersebut dalam peta manapun dan tidak ada penjelasan
apapun dari pihak China mengenai klaim tersebut. Klaim China mengenai Sembilan garis
putusputus China tidak bisa disahkan sebagai suatu perbatasan teritorial milik China secara
utuh karena tidak sesuai dengan hukum internasional. Dalam hukum internasional telah diatur
mengenai perbatasan teritorial yang harus bersifat stabil dan terdefinisi dengan baik. Dalam
hal sengketa China tersebut, Sembilan garis putus-putus tersebut tidak stabil karena dari
sebelas garis menjadi sembilan garis tanpa alasa dan tidak ada definisi secara jelas dan kuat.
Selain itu juga garis-garis tersebut tidak memiliki koordinat geografis dan tidak dapat
menjelaskan bentuk bila semua garis saling berhubungan dan bersambungan. Menurut
Kementerian Luar Negeri Indonesia, klaim China atas Natuna telah melanggar ZEE
Indonesia dan Posisi Perairan Natuna sangat jauh dari China bahkan Natuna justru berdekatan
dengan batas Vietnam dan Malaysia Sehingga tidak masuk akal jika China mengklaim
Perairan Natuna masuk dalam wilayahnya.

Di wilayah laut Indonesia tidak semua zona Indonesia memiliki kedaulatan penuh
namun hanya memiliki hak berdaulat saja yang menimbulkan kekuasaan hukum. Apabila hal
ini terjadi maka pada dasarnya akan digunakan hukum internasional. ZEE indonesia hanya
memberi hak-hak berdaulat dan yurisdiksi di zona tersebut yang mengartikan bahwa
Indoensia memiliki hak untuk mampu mengelola kekayaan luat dan negara lain berhak
memanfaatkan kekayaan laut Indonesia. Pada tanggal 21 Maret 1980 Indonesia
mengumumkan tentang ZEEnya yang memberikan hak-hak berdaulat (souvereign rights)
sebagaimana terdapat dalam UNCLOS 1982 yang menyatakan bahwa negara pantai memiliki
hak berdaulat seperti hak untuk mengeksplorasi, mengeksploitasi dan konservasi sumber
daya alam laut milik negara pantai. Hal ini telah diatur dalam pasal 2 Undang-Undang No. 5
tahun 1983 tentang ketentuan ZEE Indonesia yang menyatakan bahwa; “ZEE Indonesia
adalah jalur yang berada di luar laut territorial Indonesia berdasarkan undang-undang tentang
perairan Indonesia dimana jalur atau zona tersebut meliputi dasar laut, tanah dibawahnya dan
air diatasnya dengan batas terluar hingga 200 mil laut diukur dari garis pangkal laut
territorial”. Namun klaim yang dilakukan oleh Cina tidaklah berdasarkan pada aturan hukum.

D. PERTIMBANGAN HAKIM

Laut Natuna Utara merupakan laut yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan. Laut
Cina Selatan merupakan zona laut bebas yang berada di selatan Cina dengan titik koordinat
4°48’ Lintang Utara - 108°01’ Bujur Timur dari utara kepulauan Natuna milik negara
republik Indonesia. laut Cina Selatan bersinggungan dengan batas-batas Zona ekonomi
eksklusif dibeberapa negara yaitu di Asia Tenggara, Malaysia dan Vietnam disebelah barat
dan barat daya, Filipina di timur, Brunei Darussalam serta Malaysia disebelah tenggara dan
Indonesia disebelah selatan.

Dilihat secara historis, Laut Cina Selatan merupakan wilayah yang berpotensi dilanda
konflik karena berbatasan dan bersinggungan langsung dengan batas-batas zona ekonomi
eksklusif negara-negara di Asia Tenggara maupun negara Asia Muka seperti Cina dan Jepang
maka dari ituIndonesia melakukan Pembenanahan peta wilayah Indonesia yang dilakukan
oleh pemerintah Indonesia adalah penegasan batas-batas zona maritim di daerah Natuna
Utara yang bersinggungan dengan Laut Cina Selatan. Kemudian Pada tahun 1957, kepulauan
Natuna awalnya masuk dalam wilayah Kerajaan Petani dan Kerajaan Johor di Malaysia.
Namun pada abad ke 19, kepulauan Natuna akhirnya masuk kedalam penguasaan Kesultanan
Riau dan menjadi wilayah dari Kesultanan Riau, dimana kepulauan Natuna berada di jalur
strategis dari pelayaran internasional. Setelah Indonesia merdeka, Delegasi dari Riau ikut
menyerahkan kedaulatan pada Republik Indonesia yang berpusat di Pula Jawa. Pada 18 Mei
1956, pemerintah Indonesia resmi mendaftarkan kepulauan Natuna sebagai wilayah
kedaulatan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Konflik kewilayahan yang terjadi pun tidak dapat dibendung. Hal ini dikarenakan
Cina sebagai negara yang besar masih bersikukuh menganggap bahwasanya kepulauan
Natuna merupakan milik Cina. Padahal secara ZEE sudah jelas bahwa kepulauan Natuna
milik Indonesia. Klaim Cina pun tidak mendasar dan sulit untuk dibuktikan. Untuk
menyikapi permasalahan ini dilibatkan pula organisasi regional yaitu ASEAN. Pada dasarnya
ASEAN ingin agar sengketa di wilayah Laut China Selatan tidak berubah menjadi konflik
bersenjata. Oleh Karena itu, Joint Development Authorities dibentuk di wilayah tersebut
untuk mengembangkan dan membagi hasil pada daerah tersebut tanpa menyelesaikan isu
kedaulatan di wilayah tersebut. Pada dasarnya, China ingin menyelesaikan sengketa di
wilayah tersebut secara bilateral, namun sejumlah negara ASEAN memilih untuk melakukan
diskusi secara multilateral dan ASEAN yakin bahwa negara-negara ASEAN akan dirugikan
dalam negosiasi bilateral dengan China Karena China adalah negara besar.

E. PUTUSAN HAKIM

Klaim Cina atas zona ekonomi eksklusif Indonesia di laut Natuna Utara kedalam
Sembilan Garis Putus-putus Cina merupakan bentuk arogansi Cina yang ingin menguasai
penuh wilayah Laut Cina Selatan tersebut.17 Klaim nine-dash line dilaut Natuna Utara
merupakan klaim atas sembilan garis putus-putus yang berbentuk seperti lidah atau huruf U
dan diakui sebagai hak maritim Cina dan telah dipercaya masyarakat Cina sejak lama. Jika
dikaji dalam hukum laut Internasional lebar laut teriorial sendiri diatur pada pasal 3
UNCLOS 198220 yang menyatakan “Every State has the right to establish the breadth of its
territorial sea up to a limit not exceeding 12 nautical miles, measured from baselines
determined in accordance with this Convention.” Pada pasal tersebut menjelaskan bahwa
setiap negara berhak menarik garis laut teritorialnya sejauh 12 mil, selanjutnya dalam hal ini
negara pantai mempunyai kedaulatan atas laut teritorialnya tersebut dan dalam
pelaksanaannya kedaulatan atas laut teritorial ini tunduk pada ketentuan hukum
internasional.22 Pada pasal tersebut menjelaskan bahwa setiap negara berhak menarik garis
laut teritorialnya sejauh 12 mil, berarti Klaim Cina terhadap Ninedash line atas laut Natuna
Utara sudah melanggar pasal 3 UNCLOS 1982 karena garis yang ditarik oleh negara Cina
melebihi ketentuan yang telah diatur oleh UNCLOS 1982, Cina sendiri telah mengklaim
seluruh wilayah Laut Cina Selatan seluas 2000.000 km2 atau 90% dimana laut Natuna Utara
masuk dalam klaim tersebut. Pemerintah Cina mengatakan bahwa mereka memasuki wilayah
ZEEI karena melakukan Traditional Fishing Ground, Cina melakukan kegiatan ini dengan
berdasarkan sejarah kuno yang telah mereka yakini dari abad ke 2 sebelum masehi.

Apabila dikaji Didalam hukum laut Internasional pada UNCLOS 1982 hukum
tersebut tidak pernah mengatur mengenai traditional fishing ground, melainkan UNCLOS
1982 mengatur mengenai traditional fishing rights. Tradisional fishing rights diatur pada
pasal 51 ayat 1 menyatakan:

”Without prejudice to article 49, an archipelagic State shall respect existing


agreements with other States and shall recognize traditional fishing rights and other
legitimate activities of the immediately adjacent neighbouringWithout prejudice to
article 49, an archipelagic State shall respect existing agreements with other States
and shall recognize traditional fishing rights and other legitimate activities of the
immediately adjacent neighbouring States in certain areas falling within archipelagic
waters. The terms and conditions for the exercise of such rights and activities,
including the nature, the extent and the areas to which they apply, shall, at the request
of any of the States concerned, be regulated by bilateral agreements between them.
Such rights shall not be transferred to or shared with third States or their nationals.
States in certain areas falling within archipelagic waters. The terms and conditions for
the exercise of such rights and activities, including the nature, the extent and the areas
to which they apply, shall, at the request of any of the States concerned, be regulated
by bilateral agreements between them. Such rights shall not be transferred to or shared
with third States or their nationals.”
Selanjutnya dalam Pasal 47 Ayat (6) UNCLOS 1982 mengatur terkait dengan Traditional
Fishing Rights yang menyatakan:

“If a part of the archipelagic waters of an archipelagic State lies between two parts of
an immediately adjacent neighbouring State, existing rights and all other legitimate
interests which the latter State has traditionally exercised in such waters and all rights
stipulated by agreement between thoseStates shall continue and be respected.”
Melalui pasal tersebut menunjukkan bahwa negara kepulauan yang bertetangga atau langsung
berdampingan wajib kiranya untuk membuat perjanjian bilateral diantara kedua negara
pantai. Tindakan yang dilakukan oleh Cina mengenai daerah perairan Natuna. Klaim Cina
mengenai daerah kegiatan perairan Cina di zona ekonomi eksklusif Indonesia yang
berdasarkan Traditional Fishing Grounds di laut Natuna Utara bersifat unilateral dan klaim
tersebut salah, karena UNCLOS 1982 hanya mengenal Traditioal Fishing Right.

F. ANALISIS

Perkembangan dunia yang begitu pesat telah membawa perubahan yang begitu masif
dalam kehidupan manusia. Kini setiap orang dapat dengan mudah memperoleh berbagai
informasi. Tak hanya sampai disitu, perkembangan dan perubahan ini telah mempengaruhi
pola kehidupan manusia. Namun perkembangan ini tidak hanya membawa dampak yang baik
saja. Tetapi terdapat dampak yang buruk juga. Salah satunya adalah semakin meningkatnya
kejahatan baik dalam lingkup nasional hingga lingkup internasional. Kejahatan ini tentunya
mengganggu ketertiban dunia dan berdampak pada kehidupan manusia.

Untuk menciptakan ruang-ruang kehidupan yang aman baik dalam lingkup nasional
atau pun internasional maka muncullah sebuah komsepsi tentang hubungan internasional.
Konsep ini telah lama berkembang dan hadir dalam kehidupan tiap-tiap Negara di dunia.
Pada awalnya hubungan internasional ini berkaitan dengan hukum internasional yang pada
masa itu hanya terbatas dan dilakukan oleh Negara-negara saja. Namun kini setiap individu
ataupun kelompok ataupun organisasi dapat melakukan hubungan internasional tanpa
terhalang oleh jarak dan waktu.

Ancaman dan tantangan akan konflik akan dialami oleh setiap Negara tanpa terkecuali.
Konflik ini dapat terjadi dalam berbagai bentuk seperti peperangan, genosida, terorisme, dan
lain sebagainya. Akibat dari munculnya ancaman akan konflik tersebut akan berdampak pada
kondisi kehidupan dalam berbagai aspek seperti aspek politik yang tidak stabil, ekonomi
yang semakin memburuk hingga pada kondisi masyarakat yang semakin memburuk. Oleh
karenanya, kehadiran organisasi regional ini menjadi suatu wadah untuk menjalin kerjasama
karena pada dasarnya setiap Negara tidak bisa hidup individualis namun bergantung terhadap
Negara lainnya. Perjalanan Negara-negara di dunia tidak akan lepas dari sebuah konsepsi
dinamika hubungan internasional didalamnya.
Laut Natuna Utara yang berada dalam lingkup kewilayahan Indonesia pada dasarnya
merupakan wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang terletak di wilayah Provinsi Riau,
Kabupaten Natuna. Laut Natuna utara berbatasan dengan laut Cina Selatan, tidak hanya
negara Indonesia saja yang berbatasan dengan laut Cina Selatan melainkan negara lain seperti
Cina, Taiwan, Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia, Singapura, Brunei Darusalam, dan
Filiphina. Laut Cina Selatan kerap menjadi problematika diantara beberapa negara yang
berbatasan seperti Cina, Cina telah lama mengklaim nine-dash line atau sembilan garis putus-
putus di Laut Cina Selatan.
Sejak tahun 1958, Indonesia sudah sangat aktif dalam berbagai perundingan khususnya
di bidang kelautan, yaitu Konferensi Hukum Laut I. Dalam perundingan tersebut delegasi
Indonesia menandatangani hasil konferensi Hukum Laut I yaitu mengenai Landas Kontinen
(Convention on the Continental Shelf), Konvensi mengenai Perikanan dan Sumberdaya
Hayati di Laut Lepas (Convention of Fishing and Conservation of the Living Resources of the
High Seas), serta Konvensi mengenai Laut Lepas (Convention on the High Sea), kecuali
konvensi mengenai Laut Teritorial yang tidak di tanda tangani. Setelah tiga tahun konvensi
ini diratifikasi dalam Undang-undang No. 19 Tahun 1961 tentang Persetujuan Atas Tiga
Konvensi Jenewa Tahun 1958 mengenai Hukum Laut. Konvensi mengenai Laut Teritorial
tidak di tanda tangani dan diratifikasi karena bertentangan dengan prinsip yang berlaku dalam
Deklarasi Djuanda dan UU No.4/PRP/1960 yang menyatakan bahwa wilayah laut Indonesia
dengan daratan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Tak berhenti sampai disitu saja, Indonesia juga melakukan berbagai perundingan di
kelas internasional terkait dengan hukum laut internasional. Pada tanggal 10 Desember 1982
ditandatangani Konvensi PBB mengenai Hukum Laut atau yang disebut dengan nama
UNCLOS 1982. Pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi konvensi ini dalam Undang-
undang No. 17 Tahun 1985 pada tanggal 31 Desember 1985. Konvensi PBB tentang Hukum
Laut UNCLOS 1982 melahirkan delapan zonasi pengaturan hukum laut yaitu:
1. Perairan Pedalaman
2. Perairan Kepulauan, termasuk di dalamnya selat yang digunakan untuk pelayaran
internasional
3. Laut Teritorial
4. Zona Tambahan
5. Zona Ekonomi Eksklusif
6. Landas Kontinen
7. Laut Lepas
8. Kawasan Dasar Laut Internasional

Dalam rangka mengimplementasikan UNCLOS 1982, Indonesia mengeluarkan peraturan-


peraturan yang berkaitan dengan hal tersebut sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang aturan pelaksanaannya terdapat dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal Asing dalam
Melaksanakan Lintas Damai melalui Perairan Indonesia, Kemudian Peraturan Pemerintah
Nomor 37 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam
Melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan melalui Alur Laut Kepulauan yang telah
ditetapkan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat
Geografis Tititk-Tiitik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.

Kemudian mengenai Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), perkembangan zona ekonomi


eksklusif (exclusive economic zone) mencerminkan kebiasaan internasional (international
customs) yang diterima sebagai kaidah hukum kebiasaan internasional (customary
international law) karena memenuhi dua syarat penting, yaitu praktik negara-negara (state
practice) dan opinio juris sive necessitatis. Pada Pasal 55 UNCLOS 1982 mengatur mengenai
definisi ZEE dan Pasal 57 yang menjelaskan bahwa setiap negara berhak untuk menetapkan
ZEEnya dengan jaraknya yang tidak boleh melebihi 200 mil laut diukur dari garis pangkal
yang sama yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorialnya, serta membahas
mengenai yurisdiksi, hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang dapat dinikmati oleh negara-
negara lain.

Sebagai negara berkembang Indonesia pun sering kali mengalami permasalahan yang
berkenaan dengan ZEE. Hal ini dikarenakan negara-negara yang memiliki kekuasaan sering
kali menggunakan kekuasaannya untuk memperebutkan kewilayahan Indonesia termasuk
juga Cina yang hingga saat ini terus berupaya untuk memperoleh kepulauan Natuna. Klaim
yang dilakukan oleh Cina untuk mengklaim bahwa wilayah kepulauan Natuna adalah milik
Cina pada dasarnya telah melanggar aturan yang berlaku dalam UNCLOS 1982. Persoalan
mengenai klaim wilayah laut sebenarnya sudah diatur dengan jelas dalam UNCLOS 1982
yang menyatakan bahwa setiap negara pantai atau coastal state berhak untuk melakukan
klaim terhadap wilayah laut teritorial sejauh 12 mil laut, 24 mil laut zona tambahan, 200 mil
laut Zona Ekonomi Eksklusif dan tidak boleh lebih dari 350 mil laut wilayah landas kontinen.

Permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia dan Cina telah membawa Indonesia
bertindak dengan tegas dan lugas. Hal ini ditunjukkan dengan sikap yang diambil oleh
Indonesia yang dirumuskan sebagai berikut:

1. Sikap yang diambil oleh Indonesia adalah bahwa wilayah Indonesia merupakan
wilayah yang ditetapkan dengan ketentuan UNCLOS 1982, maka dari itu untuk
mempertegas kedaulatan negara Republik Indonesia Berdasarkan putusan mahkamah
internasional melalui mahkamah arbitrase internasional pada bulan juli 2016
mengganti nama laut Natuna Utara. Dasar negara Indonesia mengganti nama laut
Natuna Utara adalah sebagai berikut:
(1) Pengakuan Indonesia sebagai negara kepulauan dalam United Nations
Conventions On The Law Of The Sea 1982 yang menegaskan hak-hak Indonesia
Dalam menentukan batas-batas dan menamai wilayah lautnya
(2) Penamaan laut Natuna Utara dilakukan diwilayah Yurisdiksi laut Indonesia
(3) Penamaan Laut Natuna Utara merupakan bagian dari upaya Indonesia untuk
mempertegas kedaulatan atas wilayah laut di Utara Natuna
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri yang dipimpin oleh Retno
Marsudi Nota Protes Diplomatik atas persoalan klaim Nine-dash Line tersebut, yakni:
(1) Terkait masalah pelanggaran hak berdaulat dan yuridiksi Indonesia di Kawasan
ZEE dan landas kontinen
(2) Protes upaya yang dilakukan oleh Kapal Coast Guard Cina untuk mencegah upaya
penegakanhukum yang dilakukan otoritas Indonesia di wilayah ZEE dan landas
kontinen;
(3) Protes adanya pelanggaran terhadap kedaulatan laut territorial Indonesia
2. Sikap kedua Indonesia adalah negara Cina dan Indonesia sama-sama merupakan
negara anggota peserta UNCLOS 1982 makadari itu Republik Indonesia mengambil
sikap dengan cara mengajak Cina agar menghormati, implementasi dari hukum laut
internasional. kemudian Indonesia tidak akan pernah mengakui nine-dash line atau
sembilan garis putus-putus, karena klaim yang dilakukan oleh Cina ini tidak diakui
oleh hukum baik itu hukum nasional maupun hukum internasional yakni UNCLOS
1982.

Anda mungkin juga menyukai