NIM : E1112211010
Pendahuluan
ISI
Adapun hambatan dalam proses penyelesaian sengketa ini yaitu Isu-isu yang
muncul di Laut China Selatan merupakan isu kompleks yang ditentang oleh
negara-negara ASEAN dan China, dan tidak mudah untuk diselesaikan.
Konflik di Laut Cina Selatan terjadi di perbatasan di wilayah kepulauan
seperti Kepulauan Paracel, Kepulauan Spratly, dan Kepulauan Paratu, serta
wilayah non-perbatasan. Setelah China mengklaim kedaulatan hukum atas
Laut China Selatan dan mengesahkan UU yang mencakup Kepulauan
Spatley, semakin sulit untuk menyelesaikan batasan dalam sengketa. China
juga memiliki pasukan militer di Laut China Selatan. Adanya konflik sejarah
yang sangat panjang telah mendorong terjadinya isu melawan China,
dimulai dengan masa penjajahan Inggris, Jepang dan Belanda di kawasan
ASEAN. Kekayaan alam Laut China Selatan membuat negara-negara tersebut
berlomba-lomba memperebutkan teknologi untuk melakukan operasi
penambangan di kawasan tersebut. Laut Cina Selatan telah lama menjadi
masalah keamanan dan stabilitas dalam hubungan Cina-ASEAN sejak
Perang Dingin dimulai. Area tersebut adalah wilayah laut yang ada di antara
perbatasan negara-negara tersebut, dan sengketa ini melibatkan banyak
negara sehingga sulit untuk diselesaika. Akibatnya, negara-negara dengan
perbatasan langsung juga bersaing untuk kepentingan di Laut Cina Selatan.
Filipina adalah salah satu negara yang enggan untuk berdamai dengan China
dalam masalah ini, dengan bergabungnya Amerika Serikat, Filipina
didukung oleh negara adidaya, membantu mempertahankan perbatasan
wilayah Filipina dan menjaga keamanan, dan menciptakan keunggulan
antara Filipina dan Amerika Serikat. Hubungan antara Amerika Serikat dan
Filipina baik, sisi militer meningkat, dan China semakin serius tentang
konflik. Pihak China menggunakan skema klaim Laut China Selatan untuk
membuat peta baru, dan karena Partai Komunis berkuasa di China pada saat
itu.
Menurut sumber yang saya baca. Para hakim Pengadilan ini membuat
Putusan berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum
Laut yang tertuang dalam UNCLOS (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang Hukum Laut 1982) yang ditandatangani oleh pemerintah Cina dan
Filipina. Keputusannya mengikat tetapi majelis arbitrase tidak memiliki
kekuatan untuk menegakkannya, begitu pula pengadilan. Sengketa Laut
Cina Selatan yang ditangani oleh Pengadilan ini secara khusus tidak akan
diakui atau diberlakukan." Namun, jika putusan Pengadilan berpihak pada
Filipina, itu akan merusak reputasi China dan membuatnya tampak sebagai
negara yang menentang hukum internasional. Ketegangan juga diperkirakan
akan meningkat antara China dan Filipina atau Amerika Serikat, yang
memiliki aset militer di Laut China Selatan. Ketegangan di Laut Cina Selatan
menyebabkan perusahaan konsultan pertahanan IHS Jane's, meskipun posisi
Filipina yang digarisbawahi oleh Presiden Rodrigo Duterte siap untuk
berbagi sumber daya alam di Laut Cina Selatan dengan Beijing. Belanja
pertahanan Asia-Pasifik diperkirakan akan meningkat sebesar seperempat
pada akhir abad ini. Anggaran pertahanan di Laut Cina Selatan akan
meningkat menjadi $533 miliar pada 2020 dari $435 miliar tahun lalu.
Pengeluaran militer global juga akan bergeser dari Eropa Barat dan Amerika
Utara kepasar negara berkembang, terutama Asia. Namun, pada Senin 25 Juli
2016, Filipina akhirnya menyetujui untuk menarik permintaannya agar
pertemuan ASEAN tetap mengeluarkan pernyataan bersama. Negara-negara
Asia Tenggara akhirnya mencapai kesepakatan pada hari Selasa setelah
Filipina dalam pernyataan bersama menarik permintaannya untuk
mengadakan pengadilan internasional atas sengketa Laut Cina Selatan.
Kesimpulan
Sengketa di Laut Cina Selatan merupakan salah satu sengketa yang paling
sulit dipecahkan dan sudah berjalan sangat lama. Salah satu alasan mengapa
proses penyelesaian sengketa sulit adalah kenyataan bahwa negara terlibat
dalam sengketa tersebut. Keterlibatan Cina sebagai negara adikuasa
membuat kontroversi ini terlihat lebih rumit karena memiliki kekuatan yang
berbeda dan Cina juga tidak menghormati atau membiarkan dan
menerapkan aturannya sendiri. Karena beberapa negara ASEAN terlibat
dalam konflik ini, ASEAN telah menjadi sebuah organisasi regional yang
menaungi negara ASEAN, namun negara-negara ASEAN sendiri tidak dapat
memberikan pendapat, sedikit sulit untuk menjadi mediator, karena
negosiasi tidak dapat dilakukan. lebih sulit untuk diproses. Meskipun
Indonesia bukan penggugat, Indonesia berkepentingan untuk menyelesaikan
sengketa Laut Cina Selatan. Pertama, konflik yang berlarut-larut berpotensi
mengganggu stabilitas kawasan karena alasan seperti seringnya terjadinya
konflik, perbedaan pendapat antar negara di kawasan, dan pengekangan
eksplorasi sumber daya alam dan konflik ekonomi lainnya. Gangguan
terhadap stabilitas di kawasan ini pada akhirnya akan berdampak negatif
bagi Indonesia yang berada di kawasan yang sama. Ada juga kekhawatiran
bahwa eskalasi persaingan akan tumbuh lebih jauh jika terseret lebih jauh.
Klaim China juga dipandang sebagai ancaman bagi kedaulatan Indonesia,
dikarenakan wilayah Indonesia yaitu Kepulauan Natuna yang berbatasan
langsung dengan Laut China Selatan, dan pernah di buntuti China melalui
Sembilan garis putus-putus yang dikeluarkan Cina.