Anda di halaman 1dari 9

Nama : Rachel Dita Insania Sitorus

NIM : E1112211010

Prodi : Hubungan Internasional PPAPK

Mata Kuliah : Diplomasi

Dosen Pengampu : Hardi Alunaza SD, S.IP., M.H.I

Tema : Diplomasi Mulilateral Negara Asia Tenggara

Diplomasi Multilateral antara Indonesia dan ASEAN dalam proses


penyelesaian sengketa di Laut Cina Selatan

Pendahuluan

Laut Cina Selatan merupakan konflik di kawasan perairan yang melibatkan


China dan Negara di Asia Tenggara. Konflik ini juga merupakan konflik
yang penuntasannya sangat sulit dan memerlukan waktu yang cukup lama.
Negara- Negara tersebut berselisih soal klaim teritorial dan penghapusan
perbatasan laut kawasan. Sengketa tersebut awalnya muncul karena
Republik Rakyat China (RRC) mengklaim Wilayah Laut Natuna Utara,
bagian dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, di bawah United
Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982). Klaim sepihak
China didasarkan pada Nine-Dash Line (NDL), peta sembilan titik Laut
China Selatan yang mencakup Kepulauan Paracel, Kepulauan Spratly, dan
beberapa pulau kecil lainnya, termasuk Natuna. Namun, permintaan China
tidak memiliki dasar yang jelas, tidak diakui secara internasional oleh
Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS), dan merupakan
permintaan sepihak. Negara-negara yang wilayahnya dilintasi sembilan garis
putus-putus, termasuk Indonesia, sangat membela klaim sepihak ini
berdasarkan NDL. Menghadapi konflik ini, Indonesia telah melakukan
beberapa upaya sepihak. Diantaranya adalah penggantian nama wilayah
yang dikenal dengan Laut Cina Selatan menjadi Laut Natuna Utara.
Perubahan nama ini tidak sesederhana penamaan suatu daerah, terutama
daerah perbatasan, hal ini menunjukkan pihak mana yang berkuasa di
daerah tersebut. Dalam hal ini, penggantian nama Laut China Selatan
menjadi Laut Natuna Utara merupakan upaya Indonesia untuk menegaskan
kekuasaan di kawasan tersebut. Selain itu, Indonesia juga mengambil
tindakan tegas terhadap pelanggaran di wilayah konflik ini. Misalnya,
peringatan dan penangkapan ABK kapal illegal fishing yang melanggar batas
wilayah. Presiden Indonesia juga mengunjungi Laut Natuna utara untuk
memberi sinyal kepada China bahwa Indonesia berkomitmen untuk
mempertahankan hak kedaulatannya di Natuna, bahkan tidak segan-segan
Indonesia akan melakukan kekerasan. Namun, upaya Indonesia masih belum
efektif, karena konflik terus berlanjut dan RRC terus melakukan pelanggaran.
Melalui diplomasi multilateral ASEAN, upaya damai telah dilakukan untuk
menyelesaikan sengketa, seperti penerbitan Deklarasi Perilaku (DOC) dan
Kode Etik (COC).

ISI

Sengketa Laut China Selatan antara China dan negara-negara ASEAN


diawali melalui kekalahan Jepang pada tragedi Perang Dunia II, di mana
Jepang menyerahkan seluruh wilayahnya termasuk Laut China Selatan dan
daerah sekitarnya sejak tahun 1901. Memandang kekosongan teritorial di
Laut China Selatan pada akhirnya China yang dikenal sebagai negara yang
hebat setelah Perang Dunia II, mereka mengklaim seluruh wilayah Laut
China Selatan. Hal ini dianggap China sebagai hak historis dan karena itu
ada dalam dinasti Laut Han Timur yang menjadi wilayah dinasti. Tapi
mengidentifikasi klaim semacam itu sulit untuk dibenarkan. Meskipun China
mencoba untuk mempertahankan klaim tersebut dengan sekuat-kuatnya baik
itu melalui diplomasi ataupun kekuatan militer mereka. Sementara itu,
negara-negara ASEAN mengklaim sebagian dari perairan China, hal ini telah
diperebutkan sejak zaman kolonial. Seperti Vietnam Memiliki hak historis
atas Kepulauan Paracel. Brunei juga mengklaim Beting Louisia. Warisan
kedaulatan penuh atas pemerintahan Inggris. Klaim dari Negara ASEAN
terhadap kawasan Laut Cina Selatan tergantung pada kepentingan regional.
Perdagangan dunia yang sangat strategis dan kekayaan maritim di
dalamnya. Berbicara tentang minyak dan gas Bumi, yang sangat kaya, telah
dieksplorasi hingga 11 miliar barel. Terletak di selatan laut, mereka dapat
mengabaikan kemungkinan di bidang memancing Perairan China atau
Indonesia bagian utara yaitu Laut Natuna bisa menghasilkan 500.000 ton.
Banyak Kapal Vietnam dan China Secara Ilegal dalam setahun masuk ke
perairan Natuna, tindakan pengamanan yang ketat harus dilakukan. Tidak
akan mudah bagi ASEAN untuk menyelesaikan sengketa di Laut China
Selatan diperlukan penilaian yang cermat. Ini dikarenakan di dalam anggota
ASEAN negara menghadapi masalah terkait klaim di Laut China Selatan
ASEAN, di sisi lain, ASEAN didirikan atas prinsip tidak mengganggu
negara-negara anggota. Dan akhirnya, prinsip perdamaian yang ditegakkan
ASEAN memiliki pandangan yang berbeda terhadap negara anggota dalam
proses menyelesaikan masalah ini.

Bertujuan untuk perdamaian dunia dan stabilitas ekonomi di Asia


Tenggara, ASEAN melakukan upaya untuk menyelesaikan masalah Laut
Cina Selatan. Tetap berlandaskan perdamaian agar stabilitas ekonomi tetap
terjaga bahkan dalam proses penyelesaian sengketa, ASEAN harus
melindungi laut dan alam sekitarnya agar tetap lestari, dan agar kawasan
tersebut diingat untuk tidak mempengaruhi kawasan berbahaya yang
dilindungi dari bahaya dan pembajakan, serta jalur perdagangan narkoba
dan selundupan dan lain-lain. Empat dari negara di ASEAN berkonflik
langsung dengan China terkait Laut China Selatan. Vietnam dan Filipina
telah mengambil sikap yang lebih tegas dalam menghadapi China dalam
sengketa tersebut, sedangkan Malaysia dan Brunei memiliki sikap berbeda
yang cenderung lebih rileks. Dan negara ASEAN lainnya cenderung diam
kecuali Indonesia yang lebih memperhatikan sengketa Laut China Selatan ini
tidak lain adalah Laut Natuna Indonesia berbatasan langsung dengan Laut
China Selatan. Dalam penuntasan sengketa ini, Indonesia memiliki peran
yang besar yaitu langkah diplomasi harus dilakukan agar stabilitas ASEAN
bisa terjaga dengan baik dan tidak lari pada dasar hukum internasional. Pada
tahun 2011, Indonesia ditetapkan sebagai pemimpin di ASEAN dengan
kesempatan tersebut ASEAN menyetujui deklarasi bersama China dan
memunculkan Guidelines for the Implementation of the DOC (Declaration on
conduct of the Parties in the South China Sea) pada pertemuan ASEAN
foreign Ministers Meeting di Bali. Hasil dari deklarasi ini adalah jawaban atas
kontroversi yang muncul. Sejak pengesahan DOC, telah membuat kemajuan
dalam masalah Laut Cina Selatan dan telah disempurnakan oleh dokumen
formal yang lebih mengikat secara hukum, bersama dengan Kode Etik
(COC). Bahkan setelah COC terbentuk, negara-negara ASEAN dan China
harus tetap berkomitmen terhadap hasil keputusan deklarasi tersebut.

Adapun hambatan dalam proses penyelesaian sengketa ini yaitu Isu-isu yang
muncul di Laut China Selatan merupakan isu kompleks yang ditentang oleh
negara-negara ASEAN dan China, dan tidak mudah untuk diselesaikan.
Konflik di Laut Cina Selatan terjadi di perbatasan di wilayah kepulauan
seperti Kepulauan Paracel, Kepulauan Spratly, dan Kepulauan Paratu, serta
wilayah non-perbatasan. Setelah China mengklaim kedaulatan hukum atas
Laut China Selatan dan mengesahkan UU yang mencakup Kepulauan
Spatley, semakin sulit untuk menyelesaikan batasan dalam sengketa. China
juga memiliki pasukan militer di Laut China Selatan. Adanya konflik sejarah
yang sangat panjang telah mendorong terjadinya isu melawan China,
dimulai dengan masa penjajahan Inggris, Jepang dan Belanda di kawasan
ASEAN. Kekayaan alam Laut China Selatan membuat negara-negara tersebut
berlomba-lomba memperebutkan teknologi untuk melakukan operasi
penambangan di kawasan tersebut. Laut Cina Selatan telah lama menjadi
masalah keamanan dan stabilitas dalam hubungan Cina-ASEAN sejak
Perang Dingin dimulai. Area tersebut adalah wilayah laut yang ada di antara
perbatasan negara-negara tersebut, dan sengketa ini melibatkan banyak
negara sehingga sulit untuk diselesaika. Akibatnya, negara-negara dengan
perbatasan langsung juga bersaing untuk kepentingan di Laut Cina Selatan.
Filipina adalah salah satu negara yang enggan untuk berdamai dengan China
dalam masalah ini, dengan bergabungnya Amerika Serikat, Filipina
didukung oleh negara adidaya, membantu mempertahankan perbatasan
wilayah Filipina dan menjaga keamanan, dan menciptakan keunggulan
antara Filipina dan Amerika Serikat. Hubungan antara Amerika Serikat dan
Filipina baik, sisi militer meningkat, dan China semakin serius tentang
konflik. Pihak China menggunakan skema klaim Laut China Selatan untuk
membuat peta baru, dan karena Partai Komunis berkuasa di China pada saat
itu.

China adalah satu-satunya negara yang memprotes secara diplomatis.


Setelah Filipina dan Amerika Serikat bekerja sama dalam pertahanan militer
di perbatasan Laut China Selatan dan juga memperingatkan China untuk
fokus pada pertahanan militer. Dimulai dengan saat itu, tidak lama setelah
AS membantu Filipina, China juga mengirimkan pasukan untuk berpatroli
dan menjaga perairan Laut China Selatan. Akibatnya, itu juga memicu
pengaruh komunis di Asia Tenggara, dikarenakan China lebih sering
mengunjungi kawasan Laut China Selatan dan menjaga hubungan baik
dengan negara ASEAN yang tidak memiliki masalah langsung dengan Laut
Cina Selatan. Tidak hanya Filipina, tetapi juga konflik China-Vietnam tinggi
di setelah kemerdekaan Vietnam dari Prancis. Prancis pada waktu itu
memerintah dan mengembalikan semua wilayah ke Vietnam, dan Spartan
dan Kepulauan Paracel yang dikonfirmasi oleh Vietnam sebagai milik
Vietnam. China, yang juga mengklaim kepulauan, memaksa Vietnam untuk
memberlakukan undang-undang perbatasan negara. Secara terpisah, Inggris
juga mengklaim wilayah tersebut tidak dapat disangkal bahwa ada tiga
negara yang ingin mempertahankan wilayah Vietnam dan memperbesar
masalah. Ini adalah karena cadangan minyak dan gas di Pulau Soartly dan
Pulau Paracel. Sementara itu, Malaysia dan Cina juga berselisih klaim
teritorial di Laut Cina Selatan, Kepulauan Spartly. Namun, klaim Malaysia
atas wilayah tersebut lebih lemah dibandingkan klaim Vietnam dan Filipina.
Malaysia adalah Negara terbaru yang mengklaim kepulauan setelah
Malaysia membuat peta terbaru. Tidak hanya itu, Brunei juga ikut dalam
kontroversi setelah Malaysia mengeluarkan peta terbaru yang mengklaim
pulau-pulau yang diklaim oleh China, Vietnam dan Filipina. Karena Tiga
Puluh Pulau di Louisa Crane dekat dengan Brunei. Brunei dan Malaysia
adalah koloni Inggris yang sebelumnya diklaim oleh Inggris. Dan setelah
Malaysia dan Brunei merdeka, wilayahnya menjadi pertempuran antara
Malaysia dan Brunei. Meskipun Malaysia dan Brunei pada dasarnya melalui
proses diplomatik yang baik, ada juga negara dalam sengketa ini ermasuk
adalah kekuatan Brunei yang belum diselesaikan di bawah UNCLOS 1892
dan di mana wilayah itu adalah terusan dari landasan 100 fathom. Karena
sejarahnya yang panjang dan banyak negara yang terlibat, perselisihan ini
sulit diselesaikan, dan adanya diplomasi antar negara tidak memudahkan
penyelesaian Penetapan batas wilayah di Laut Cina Selatan yang tidak jelas.
Namun, letak geografis Laut Cina Selatan terletak di tengah-tengah antara
Asia, Pasifik, dan Asia Tenggara, sehingga menimbulkan perselisihan di
antara negara di kawasan tersebut. Wilayah terluas di dunia adalah pada
bagian perairan, dan sumber daya alam yang tersedia tentu melimpah di
perairan tersebut. Negara memiliki tanggung jawab untuk memperkaya
rakyatnya dan memenuhi kebutuhannya. Laut Cina Selatan, yang
menyimpan sumber dayanya yang melimpah, membuat banyak Negara
memperebutkan kawasan ini.

Pengadilan Arbitrase memutuskan bahwa tidak ada bukti sejarah bahwa


Cina hanya menguasai sumber daya Laut Cina Selatan dan Cina mengklaim
teritorial di seluruh Laut Cina Selatan, termasuk terumbu karang dan pulau-
pulau. Keputusan pengadilan arbitrase juga menemukan bahwa reklamasi
pulau yang dilakukan oleh Cina di perairan teritorial ini tidak memberikan
hak apa pun kepada pemerintah Cina. Hal ini dikarenakan unsur tanah
dalam Hukum Laut Internasional dapat dibagi menjadi beberapa bagian
yaitu kepulauan Untuk dapat dianggap sebagai sebuah pulau, sebuah negara
di tengah lautan harus mampu "mendukung kehidupan manusia atau
kegiatan ekonomi secara mandiri". Jika suatu negara memiliki pulau, ia
berhak untuk memanfaatkan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). (ZEE) yaitu
sumber daya alam (termasuk penangkapan ikan atau eksplorasi) hingga jarak
atau bertambah 200 mil laut.

Menurut sumber yang saya baca. Para hakim Pengadilan ini membuat
Putusan berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum
Laut yang tertuang dalam UNCLOS (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang Hukum Laut 1982) yang ditandatangani oleh pemerintah Cina dan
Filipina. Keputusannya mengikat tetapi majelis arbitrase tidak memiliki
kekuatan untuk menegakkannya, begitu pula pengadilan. Sengketa Laut
Cina Selatan yang ditangani oleh Pengadilan ini secara khusus tidak akan
diakui atau diberlakukan." Namun, jika putusan Pengadilan berpihak pada
Filipina, itu akan merusak reputasi China dan membuatnya tampak sebagai
negara yang menentang hukum internasional. Ketegangan juga diperkirakan
akan meningkat antara China dan Filipina atau Amerika Serikat, yang
memiliki aset militer di Laut China Selatan. Ketegangan di Laut Cina Selatan
menyebabkan perusahaan konsultan pertahanan IHS Jane's, meskipun posisi
Filipina yang digarisbawahi oleh Presiden Rodrigo Duterte siap untuk
berbagi sumber daya alam di Laut Cina Selatan dengan Beijing. Belanja
pertahanan Asia-Pasifik diperkirakan akan meningkat sebesar seperempat
pada akhir abad ini. Anggaran pertahanan di Laut Cina Selatan akan
meningkat menjadi $533 miliar pada 2020 dari $435 miliar tahun lalu.
Pengeluaran militer global juga akan bergeser dari Eropa Barat dan Amerika
Utara kepasar negara berkembang, terutama Asia. Namun, pada Senin 25 Juli
2016, Filipina akhirnya menyetujui untuk menarik permintaannya agar
pertemuan ASEAN tetap mengeluarkan pernyataan bersama. Negara-negara
Asia Tenggara akhirnya mencapai kesepakatan pada hari Selasa setelah
Filipina dalam pernyataan bersama menarik permintaannya untuk
mengadakan pengadilan internasional atas sengketa Laut Cina Selatan.

Dalam pernyataan bersama yang akhirnya disepakati, ASEAN


menyerukan penyelesaian sengketa secara damai di Laut China Selatan
berdasarkan hukum internasional, termasuk Hukum Laut Perserikatan
Bangsa-Bangsa, yang menjadi acuan bagi arbitrase internasional. Kedua belah
pihak harus menyelesaikan sengketa wilayah dan yurisdiksi secara damai
melalui konsultasi bersahabat dan negosiasi langsung dengan Negara-negara
berdaulat, tanpa menggunakan ancaman atau penggunaan kekuatan, sesuai
dengan prinsip-prinsip hukum internasional yang diterima secara umum,
termasuk UNCLOS1982. Negara-negara ini sepakat untuk menahan diri dari
kegiatan yang akan memperburuk konflik dan merusak perdamaian dan
stabilitas di kawasan Laut Cina Selatan, namun, pernyataan ini tidak
mengacu pada Putusan Pengadilan Arbitrase Internasional (PCA) mengenai
Laut Cina Selatan di Den Haag, Belanda, 12 Juli 2016, PCA memutuskan
bahwa klaim Beijing atas perairan yang kaya sumber daya tidak memiliki
dasar hukum.

Kesimpulan

Sengketa di Laut Cina Selatan merupakan salah satu sengketa yang paling
sulit dipecahkan dan sudah berjalan sangat lama. Salah satu alasan mengapa
proses penyelesaian sengketa sulit adalah kenyataan bahwa negara terlibat
dalam sengketa tersebut. Keterlibatan Cina sebagai negara adikuasa
membuat kontroversi ini terlihat lebih rumit karena memiliki kekuatan yang
berbeda dan Cina juga tidak menghormati atau membiarkan dan
menerapkan aturannya sendiri. Karena beberapa negara ASEAN terlibat
dalam konflik ini, ASEAN telah menjadi sebuah organisasi regional yang
menaungi negara ASEAN, namun negara-negara ASEAN sendiri tidak dapat
memberikan pendapat, sedikit sulit untuk menjadi mediator, karena
negosiasi tidak dapat dilakukan. lebih sulit untuk diproses. Meskipun
Indonesia bukan penggugat, Indonesia berkepentingan untuk menyelesaikan
sengketa Laut Cina Selatan. Pertama, konflik yang berlarut-larut berpotensi
mengganggu stabilitas kawasan karena alasan seperti seringnya terjadinya
konflik, perbedaan pendapat antar negara di kawasan, dan pengekangan
eksplorasi sumber daya alam dan konflik ekonomi lainnya. Gangguan
terhadap stabilitas di kawasan ini pada akhirnya akan berdampak negatif
bagi Indonesia yang berada di kawasan yang sama. Ada juga kekhawatiran
bahwa eskalasi persaingan akan tumbuh lebih jauh jika terseret lebih jauh.
Klaim China juga dipandang sebagai ancaman bagi kedaulatan Indonesia,
dikarenakan wilayah Indonesia yaitu Kepulauan Natuna yang berbatasan
langsung dengan Laut China Selatan, dan pernah di buntuti China melalui
Sembilan garis putus-putus yang dikeluarkan Cina.

ASEAN akan menyelesaikan sengketa di Laut Cina Selatan berdasarkan


prinsip "ASEAN Way" dan hukum internasional, serta akan menghindari
kekuatan militer untuk menjaga stabilitas ekonomi dan perdamaian dunia.
Mekanisme diplomatik yang selalu dijalankan oleh ASEAN telah
memastikan bahwa negara-negara yang terlibat konflik terorganisir dengan
baik dan tetap damai. Negara anggota ASEAN yang tidak memiliki konflik
langsung selalu mendukung penyelesaian sengketa dan berupaya
menyelesaikan sengketa ini. Sebagai contoh, Indonesia sendiri telah terlibat
dalam pengembangan DOC (Pedoman pelaksanaan DOC) dan telah terlibat
dalam desain penyelesaian dan mekanisme sengketa. COC sebagai
pendekatan diplomatic cocok untuk China dan negara-negara ASEAN.
Prinsip yang diusulkan oleh ASEAN mengusulkan jalan menuju perdamaian
sesuai dengan prinsip-prinsip yang disepakati. Namun demikian, ASEAN
harus menjaga stabilitas dan keteguhan perdamaian antara negara-negara
ASEAN dan Cina. Masalah Laut Cina Selatan tidak sederhana. ASEAN harus
berkontribusi pada misi perdamaian dunia, menghindari konfrontasi atas
perbedaan di antara negara-negara anggota, dan membentuk komunitas
politik perdamaian dan stabilitas.

Keputusan ini sejalan dengan keberatan yang diajukan oleh Filipina.


Sebuah pengadilan arbitrase memutuskan bahwa tidak ada bukti sejarah
bahwa Cina menguasai sumber daya Laut Cina Selatan, Hal itu telah
menyebabkan "kerusakan parah pada lingkungan terumbu karang". Hakim
pengadilan tersebut mengeluarkan Putusan berdasarkan United Nations
Convention on the Law of the Sea UNCLOS yang ditandatangani oleh
pemerintah China dan Filipina. Pada hari Senin 25 Juli 2016, Filipina akhirnya
setuju untuk menarik permintaannya agar Konferensi ASEAN tetap
mengeluarkan pernyataan bersama. Dalam pernyataan bersama yang
disepakati, ASEAN sepakat untuk mencari dan menarik kembali
penyelesaian damai sengketa Laut China Selatan sesuai dengan hukum
internasional, termasuk Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang
menjadi acuan bagi arbitrase internasional. Dari kegiatan yang
meningkatkan konflik dan mempengaruhi perdamaian dan stabilitas di
kawasan Laut Cina Selatan.

Anda mungkin juga menyukai