Prasti Martiarini
2212011043
(Fakultas Hukum, Universitas Lampung 2023)
Abstrak
Paper ini memfokuskan perhatian pada isu kedaulatan teritorial dalam konteks sengketa
Laut China Selatan. Sengketa ini melibatkan sejumlah negara, termasuk Republik Rakyat
Tiongkok, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei, yang bersaing untuk mengklaim wilayah
dan sumber daya di Laut China Selatan. Sengketa ini memiliki implikasi luas, termasuk
aspek hukum, keamanan regional, dan stabilitas geopolitik.
Paper ini mencoba untuk menyajikan pemahaman yang lebih mendalam tentang dinamika
sengketa ini dengan mengeksplorasi latar belakang sejarah, aspek hukum internasional yang
relevan, serta peran aktor-aktor regional dan internasional dalam penyelesaian sengketa.
Paper ini juga menganalisis berbagai upaya yang telah dilakukan untuk menyelesaikan
sengketa ini, termasuk peran Pengadilan Arbitrase Internasional yang mengeluarkan
putusan pada tahun 2016 mengenai sengketa antara Tiongkok dan Filipina.
Dalam pembahasan implikasi, paper ini membahas bagaimana sengketa Laut China Selatan
mempengaruhi stabilitas regional dan hubungan antar-negara di Asia Tenggara, serta
dampak ekonomi dari sengketa ini terutama terkait dengan hak eksplorasi dan eksploitasi
sumber daya alam.
Paper ini menyoroti pentingnya kerja sama regional dan perundingan sebagai langkah-
langkah yang dapat diambil untuk mengurangi ketegangan dan meningkatkan prospek
perdamaian dalam konteks sengketa Laut China Selatan. Penelitian ini menegaskan
perlunya pendekatan yang berlandaskan pada hukum internasional dan dialog multilateral
untuk mencapai solusi yang adil dan berkelanjutan dalam isu kedaulatan teritorial di
wilayah tersebut.
Pendahuluan
Hakikat negara sebagai subjek Hukum kedaulatan nasional). Di wilayah Laut
internasional punya banyak hal apa yang Timur Saat ini sedang terjadi konflik
kita sebut kedaulatan (kedaulatan) adalah teritorial menyiratkan setidaknya 6
kekuasaan tertinggi yang tidak bisa negara-negara menuntut haknya
dipecahkan - rusak dan terpecah - juga kedaulatan atas zona maritim Tiongkok
terpecah ditempatkan di bawah wewenang Selatan, khususnya Tiongkok, Taiwan,
lainnya1. Kedaulatan tidak bersifat inheren Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei.
mutlak tetapi harus dihormati kedaulatan Konflik di Laut Timur juga berpotensi
negara lain dan ketundukan tentang hukum terkait Indonesia, meski tidak mengklaim
internasional atau disebut (Relatif kedaulatan atas perairan Tiongkok.
1 T.May Rudy, Hukum Internasional 1 (Bandung : Refika Aditama, 2006), halaman 21
Hukum Internasional
Kedaulatan Teritorial Terhadap Kasus Sengketa Laut China
tidak jelas properti bisa menjadi Masalah 1. Apa status hukum laut Cina Selatan saat
serius seperti perang antar negara di ini?
kemudian hari jika tidak segera teratasi. 2. Apa posisi kekuasaan militer di wilayah
Berdasarkan penjelasan di atas, masalah sengketa Internasional, khususnya maritim
yang Anda inginkan dinyatakan dalam Tiongkok Selatan masuk akal menurut
dokumen ini Timur: hukum internasional?
Analisa
Dalam perkembangan konflik Laut Cina (DoC) pada November 2002 dan Treaty of
Selatan, negara pengeklaim lain seperti Amity and Cooperation (TAC) setahun
Filipina, Vietnam, dan Malaysia dapat setelahnya. Kedua perjanjian ini efektif
dikategorikan sebagai negara defensif dalam membendung gerakan-gerakan
realis, karena perilaku mereka yang tidak provokatif antara negara-negara
ekspansionis dan sikap mereka yang masih
terbuka terhadap kooperasi. Sedangkan,
permasalahan mengenai sifat alamiah Cina
membuat perdebatan yang lebih intensif,
sebab tidak seperti negara lainnya yang
terlibat, Cina sering dituduh agresif, tegas,
dan keras di dalam konflik Laut Cina
Selatan (Raditio 2015). Namun, menurut
Raditio (2015) beberapa orang berargumen
bahwa perilaku Cina pada akhir tahun
1900an sampai pertengahan 2000an
mencerminkan negara realis defensif,
dimana pada periode ini Cina cenderung
menahan diri, akomodatif, dan
meyakinkan. Tidak ada ketegangan
dramatis yang terjadi, bahkan Cina
menjadi lebih terbuka dalam
mendiskusikan isu Laut Cina Selatan
dengan ASEAN. Cina seakan menyadari
bahwa tanpa kestabilan regional, mereka
akan sulit mencapai perkembangan dalam
negeri. Periode ini disebut oleh Emmers
(2009) sebagai periode deeskalasi. Situasi
yang kondusif ini berkontribusi pada
penandatanganan Declaration on the
Conduct of Parties in the South China Sea
2 Evelyn Goh, Meeting the China Challenge: The U.S. in Southeast Asian Regional Security
Strategies, (East-West Center Washington, 2005), halaman 31
Hukum Internasional
Kedaulatan Teritorial Terhadap Kasus Sengketa Laut China
Laut Cina Selatan dengan ASEAN, yang in the Face of South China Sea Dispute”,
dalam M
menghasilkan penandatanganan perjanjian
seperti Declaration on the Conduct of Evelyn Goh, Meeting the China Challenge: The
Parties in the South China Sea (DoC) dan U.S. in Southeast Asian Regional Security
Strategies, (East-West Center Washington,
Treaty of Amity and Cooperation (TAC). 2005),
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, T.May Rudy, Hukum Internasional 1 (Bandung :
Refika Aditama, 2006), halaman
Cina telah menunjukkan
ketidakberpihakan untuk berkompromi
dalam klaimnya terhadap kedaulatan
teritorial di Laut Cina
Selatan. Hal ini tercermin dalam tindakan
Cina yang secara sepihak mendirikan
pangkalan militer di Kepulauan Spratly
dan Paracel. Hal ini bisa diinterpretasikan
sebagai strategi Cina untuk mengklaim apa
yang ia anggap secara historis adalah
miliknya, meskipun hal ini telah
meningkatkan ketegangan dalam
hubungan antarnegara yang terlibat.
Kesimpulannya, Cina telah mengalami
perubahan dalam sikapnya terkait konflik
Laut Cina Selatan, mulai dari realisme
defensif menuju sikap yang lebih keras
dan tidak kooperatif. Konflik ini
mencerminkan dinamika dalam hubungan
internasional di mana negara-negara saling
bersaing dalam memperjuangkan
kepentingan nasional dan eksistensi
mereka.
Daftar Pustaka
Harini, Setyasih, 2011. “Kepentingan Nasional
China Dalam Konflik Laut Cina Selatan”
dalam Transformasi, 14 (21):