Anda di halaman 1dari 6

Nama : Humaa Siyan Indie

Nim : 201810360311388

Short Paper Hukum Internasional

United Nations Convention on The Law of the Sea : Studi Kasus Sengketa China dengan
Filiphina

1. Short Introduction

The United Natons Convention on The Law of the Sea atau UNCLOS adalah sebuah
perjanjian di level internasional yang mengatur hukum laut yang diratifikasi pada 10 Desember
1982 yang diratifikasi 119 negara di Teluk Montego Jamaika dan disebut juga konvensi PBB
mengenai Hukum Laut. Hukum laut ini dibuat setelah perang dunia kedua dimana masyarakat
internasional meminta PBB mempertimbangkan hukum yang ada di lautan 1. UNCLOS memiliki
3 fase, yaitu UNCLOS I, UNCLOS II, UNCLOS III dimana UNCLOS II berusaha untuk
melengkapi dari UNCOS I tetapi gagal dalam memenuhi hal tersebut. Pada akhirnya
dilaksanakan pembuatan UNCLOS III yang berlangsung dari 1973 sampai 1982. Sejarah hukum
laut mempunyai perkembangan yang sangat Panjang dimana pada abad ke-12 laut menjadi
perhatian karena banyak faktor yang mempengaruhinya, seperti jalut laut, pemanfaatan sumber
daya laut, dan perlindungan laut. Sebelum masuknya masa kerajaan dan bangsa bangsa2.
Sebelumnya, pada masa Romawi kuna tidak ada bangsa yang menantang peraturan menganai
keluatan yang dikeluarkan oleh Romawi. Pada abad ke-2 dan ke-2 itu memiliki dua prinsip yang
dikeluarkan oleh mada kejayaan Rhodes, yaitu Res Communis (laut adalah milik Bersama dan
tidak bisa dimiliki oleh siapapun) dan Res Nulius (tidak ada yang memiliki dan dapat diambil
atau dimiliki oleh negara-negaa).

Namun, pada masa abad ke-19 dan setelahnya persengketaan wilayah laut sudah diatur
oleh UNLCOS 1982 dimana diratifikasi oleh negara yang menyetejui. Wilayah darat tidak terlalu
memiliki kompleksitias dalam perbatasanya, tidak seperti laut yang tidak jelas batasanya dan
bisa saja berdempetan dengan negara lainya. salah satu konflik yang memiliki pusat di level

1
Emon Purbo Asmoro, 2019, “TINJAUAN YURIDIS NORMATIF TERHADAP KAPAL ASING YANG
MEMASUKI PERAIRAN INDONESIA”, Skirpsi Juruan Hubungan Internasional, FISIP-Universitas Muhammadiyah
Malang, hal. 14.
2
Ibid.
internasional adalah konflik yang berada di Laut China Selatan atau Laut Tiongkok Selatan.
Negara seperti China, Taiwan, Vietnam, Filipina, Brunei Darussalam, dan Malaysia adalah
negara yang memiliki konflik batas wilayah laut di Luat Tiongkok Selatan. Pada tahun 2006 dan
tahun 2009, konflik Laut Tiongkok Selatan antara Filipina dengan China mengalami intensitas
sengketa yang tinggi dan menjadi pusat perhatian di level internasional. Konflik yang terjadi
lantaran China mengklaim bahwa Laut Tiongkok Selatan dimiliki oleh China dalam sejarah,
tetapi sebagaian Laut China Selatan dimiliki oleh beberapa negara lainya yang diatur Konvensi
Hukum Laut Internasional atau UNCLOS 19823. Pada tulisan ini penlis akan membahas
mengenai UNCLOS 1982 dengan konlflik China dengan Filipina dimana Pulau Paracel dan
Spartly yang menjadi sengketa kedua negara tersebut.

2. Discussion

Pada penulisan ini penulis menggunakan analisis melalui jurnal dan refrensi lainya yang
mendukung pembahasan pada tulisan ini. Melalui data yang penulis kumpulkan, penulis akan
menganalisa imlpikasi studi kasus dengan UNCLOS 1982. Pada penelitian ini, penulis berusaha
menjelaskan fenome atau studi kasus yang terjadi dengan sumber-sumber skunder hukum,
seperti literatur yang berkaitan dengan kasus yang dianalisikan. UNCLOS 1982 menjadi
landasan hukum yang dipakai dilevel internasonal untuk membagi batas-batas laut setiap negara-
negara termasuk antara China dengan Vietnam. Konflik tersebut tidak lain didasari oleh Sumber
Daya Alam yang dimiliki Laut Tiongkok Selatan dan faktor kepentingan lainya antara kedua
negara. Pengaturan kepemilikan wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) diatur dalam pasal 4
lampiraran II UNCLOS4. Dasar hukum ini yang menjadi klaim setiap negara dan menimbulkan
sengketa di Laut Tiongkok Selatan. China mengkalim Kepulauan Paracel dan Spartly sebagai
bagian dari wilayahnya didasari oleh landasan historis negaranya. Bagi China sebuah kedaulatan
adalah sesuatu yang tidak bisa di ganggu gugat maka dari itu China menginginkan jalan
negoisasi dalam menyelesaikan isu-isu Laut Tiongkok Selatan. Bagi seorang wakil Duta Besar
China pada artikel yang ditulisnya untuk Assocation of South East Asian Nations (ASEAN)
3
Muhar Junef, “SENGKETA WILAYAH MARITIM DI LAUT TIONGKOK SELATAN
(Maritime Territorial Dispute in South China Sea)”, Jurnal Penelitian DE JURE Vol.18, No.2, 2018, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hukum Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia R.I., hal, 220.
4
Firdaus Amir, Sri Yuniati dan Abubakar Eby Hara, “Penolakan China terhadap Arbitrase Filipina atas
Penyelesaian Klaim Laut China Selatan(China’s Refusal against the Philippine's Arbitration on the Settlement of
South China Sea
Claims)”, jurnal E-SOSPOL, Volume IV, Edisi 2, Tahun 2017, Universitas Jember, hal, 92
kolonialisme membuat penderitaan sebuah bangsa bahkan sebuah penghinaan dan menurut
China negara yang dijajah China paham dan tau apa yang dirasakan 5. Wilayah batas ditentukan
dari hasil penjajah sebelumnya karena hal itu China tidak menerima hal tersebut.

Filipina memilih mengambil pada jalur Arbitrase Internasional untuk menyelesaikan


konflik dengan China di Laut Tiongkok Selatan. China yang mengetahui hal itu tidak mengikuti
jalur hukum Arbitrase Internasional karena bagi China kedaulatan adalah segalanya dan pada
tahun 2016, China telah membuat pernyataan dibawah pasal 298 bahwa pemerintah China tidak
menerima segala prosedur yang diatur dalam bagian 2 Bab XV Konvensi terkait dengan semua
kategori sengketa dalam paragraf (a)-(c) pasal 298 UNCLOS 1982, sehingga menurut China,
Filipina melanggar ketentuan UNCLOS 19826. Penolakan ini juga dilator belakangi oleh China
dikarenakan kepentingan nasional dari China sendiri sehingga bagi China negoisasi adalah jalan
terbaik dalam menyelesaikan konflik yang berada di Laut Tiongkok Selatan.

Pada akhirnya UNCLOS 1982 masih belum dapat menjadi penengah dari konflik yang
dialami di Laut Tiongkok Selatan terutama konflik antara China dengan Filipina. Arbitrase
Internasional secara sah mengatakan mengikat tamun pada dasarnya adalah keputusan yang
keluar adalah bagaimana negara yang terlibat konflik akan menerima keputusan dari Arbitrase
Internasional sehingga tidak dikucilkan oleh Masyarakat Internasional. Selain itu, China terus
berusaha untuk melakukan negoisasi dalam bentuk Joint Devolepment mengenai ekplorasi
Sumber Daya Alam yang berada di Laut Tiongkok Selatan.

Klaim Filipina terhadap Kepulauan Paracel dan Spartly dilandasi oleh sejarah, penemuan,
kelanjutan wilayah laut, kedekatan lokasi, dan yang terpenting berdasarkan UNCLOS 19827.
Selain itu, China dalam menanggapi tersebut juga bersikeras dalam batas wilayah berdasarkan
UNCLOS 1982 pasal 14, yaitu aturan ini tidak akan mempengaruhi hak-hak historis Republik
Rakyat Cina. Setelah penulis membaca dari literataru dan sumber-sumber, Hukum Laut
Internasional atau UNCLOS 1982 masih banyak mempunyai kelemahan dari segi mengikat
dalam yuridis hukumnya dan bertentangan dengan hal-hal lainya. sehingga permasalahan yang
dialami China dengan Filipina tidak dapat terselesaikan. Kedua negara sama-sama mengklaim
5
Ibid, hal, 90
6
Mifta Hanifah, Nanik Trihastuti, Peni Susetyorini, “Penyelesaian Sengeketa Gugatan Filipina Terhadap China
Mengenai Laut China Selatan Melalui Permanent Court of Arbitration”, Diponegoro Law Journal Vol.6, No.1,
Tahun 2017, Universitas Diponegoro, Hal. 7.
7
Muhar Junef, Op. Cit, hal. 224.
bahwa secara historis kedua negara tersebut memiliki sejarah dalam bagian kepemilikan Laut
China Selatan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Muhar Junef menuliskan bahwa isu-isu baru
yang munculpun belum diatur dalam hukum laut, seperti kabel bawah laut, peningkatan
aktivitas-aktivias bio-prospecting, peningkatan jumlah instalasi yang usang, peningkatan wisata
maritim, dan bangunan di laut yang mempengaruhi kemanan navigasi khususnya jika sudah
ditempati lagi8. Perbedaan penafsiran dalam UNCLOS 1982 juga menjadi faktor konflik batas
wilayah laut tidak dapat diselesaikan dan Prinsip non-intervensi antar negara menjadi pendukung
antar negara untuk tetap bersikeras mempertahankan kepentingan nasionalnya masing-masing.

Peran ASEAN dalam menangani konflik tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip non-
intervensi dimana ASEAN berusaha untuk tidak mendukung salah satu pihak. Selain itu, Stigma
China terhadap ASEAN yang diduga didukung oleh Amerika Serikat membuat China kurang
mempercayai konflik terhadap ASEAN9. Konflik yang sudah terjadi cukup lama ini pada
akhirnya juga dimanfaat oleh aktor non-negara yang sangat disayangkan. UNCLOS sebagai
hukum yang mengatur batas wilayah belum dapat menjadi harapan dalam mengatur suatu
wilayah karena setiap negara memiliki kepentingan nasional masing-masing dan ini yang harus
menjadi perhatian oleh Masyarakat Internasional. Jika hukum belum dapat menyelesaikan
konflik yang terjadi antar batas laut dan arbitrase juga belum dapat menyelesaikan hal tersebut,
maka pada akhirnya negoisasi antara negara harus dapat terjadi dimana ada negara yang harus
mengalah dalam konflik tersebut.

3. Conclution

Konflik yang terjadi di Laut Tiongkok sudah terjadi dalam waktu yang sangat Panjang.
Konflik yang terjadi bukan saja bilateral melainkan menjadi multilateral. China yang memiliki
kepentingan nasional tinggi tidak ingin mengalah begitu saja kepada negara-negara yang
bersengketa. Pada dasarnya China sangat menghormati Hukum Laut Internasional atau
UNCLOS 1982 tetapi China mempunyai Declaration of Conduct (DOC) tersendiri dalam
memenangkan kepentingan nasionalnya. Filiphina memakai peluang untuk memenangkan
sengketa dengan membawa kepada Aribitrase Internasional, tetapi China tidak mau mengikuti
hal tersebut lantaran China menganggap kedaulatan dan hak historis adalah segalanya. China
juga memilih jalur negoisasi dalam menyelesaikan konflik tersebut dimana hal ini juga diatur
8
Muhar Junef, Ibid, hal. 232.
9
Muhar Junef, Ibid, hal. 234.
oleh UNCLOS 1982 dimana sengketa dapat diselesaikan melalui jalur negoisasi. Bersikeras
antara kedua negara membuat konflik yang terjadi tidak dapat selesai. UNCLOS 1982 masih
belum dapat menjadi penyelesaian akhir pada kasus konflik karena sifat paksaan pada UNCLOS
1982 tidak ada. Printip non-intervensi antar negara pada kebiasaan internasional menjadi faktor
lainya suatu negara dapat mempertahankan kepentingan nasionalnya. UNCLOS 1982 harus
dikaji Kembali karena isu-isu terbaru juga belum dapat diselesaikan oleh peraturan hukum laut
tersebut. Pada akhirnya negoisasi dan salah satu pihak mengalah adalah solusi terbaik dalam
menyelesaikan persengketaan tetapi pada kasus Laut Tiongkok Selatan, dikarenakan Sumber
Daya Alam pada Laut Tiongkok Selatan menyebabkan antara terus bersikeras untuk memaksa
kepentingan nasional dengan cara apapun. Bahkan dalam penelitian Muhar Junef, China tidak
segan untuk menggunakan kekuatan militer dalam sengketa di Laut Tiongkok Selatan10.

Daftar Pustaka

10
Muhar Junef, Ibid, hal. 29.
Amir, Firdaus, dkk, “Penolakan China terhadap Arbitrase Filipina atas Penyelesaian Klaim
Laut China Selatan(China’s Refusal against the Philippine's Arbitration on the Settlement of
South China Sea Claims)”, jurnal E-SOSPOL, Volume IV, Edisi 2, Tahun 2017, Universitas
Jember.

Asmoro, Emon Purbo, 2019, “TINJAUAN YURIDIS NORMATIF TERHADAP KAPAL ASING
YANG MEMASUKI PERAIRAN INDONESIA”, Skirpsi Juruan Hubungan Internasional, FISIP-
Universitas Muhammadiyah Malang.

Hanifah, Mifta, dkk, “Penyelesaian Sengeketa Gugatan Filipina Terhadap China Mengenai
Laut China Selatan Melalui Permanent Court of Arbitration”, Diponegoro Law Journal Vol.6,
No.1, Tahun 2017, Universitas Diponegoro,

Junef, Muhar, “SENGKETA WILAYAH MARITIM DI LAUT TIONGKOK SELATAN (Maritime


Territorial Dispute in South China Sea)”, Jurnal Penelitian DE JURE Vol.18, No.2, 2018, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hukum Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak
Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia R.I.

Anda mungkin juga menyukai