Anda di halaman 1dari 22

MATERI KULIAH HUKUM LAUT

DOSEN : MUHENRI SIHOTANG, S.H.,M.H.

PENYELESAIAN SENGKETA LAUT

Sub pokok bahasan:

1. Sengketa Negara terhadap wilayah Laut


2. Penyelesaian sengekta berdasar Kovensi Hukum Laut
3. Bentuk Hukum Penyelesaian Sengketa Laut
4. Penyelesaian melalui Peradilan

PEMBAHASAN :

1. Sengketa Negara terhadap wilayah Laut.

Berlakunya Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS)1982, mengakibatkan


pengaturan-pengaturan sebelumnya tidak berlaku lagi sehinggamembawa perubahan
besar dalam perkembangan hukum laut internasional. Konvensi ini kemudian diratifikasi
Indonesia dengan Undang-Undang Nomor17 Tahun 1985 tentang Pengesahan
UNCLOS, yang selanjutnya disebut Konvensi Hukum Laut 1982 (KHL 1982),begitu
jugadengan Malaysia meratifikasinya pada tahun 1996. Adabanyak hal yang
melatarbelakangi diratifikasinya konvensi ini oleh beberapa negara, faktor yang paling
dominan diantaranya adalah penetapan batas laut, hakdan kewajiban negara di laut, dan
sebagainya yang berlaku universal.

Diantaranya tentang tiga jenis garis pangkal bagi negara-negara dalam pengukuran lebar
lautnya yakni : garis pangkal normal, garis pangkal lurus, dan garis pangkal
kepulauan.Berdasarkan ketentuan KHL 1982 ini Indonesia dan Malaysia memiliki
kualifikasi atau kedudukan yang berbeda. Malaysia merupakan negara pantai
(coastalstate), sedangkan Indonesia di samping sebagai negara pantai juga
merupakannegara kepulauan (archipelagic state). Perbedaan kedudukan ini juga
berartiperbedaan hak dalam menggunakan garispangkal.

1
Negara pantai biasa dalam delimitasi negara lautnya menggunakan garis pangkal normal
(normal baselines) atau jika garis pangkal normal tidak dapat digunakan karena kondisi
pantai yang menjorok atau kondisi lain yang dibenarkan dalam KHL 1982, boleh
menggunakan garis pangkal lurus (straight baselines).

Sementara negara kepulauan dalam menentukan delimitasi lautnya menggunakan garis


pangkal kepulauan (archipelagic baselines) yang menghubungkan titik-titik dari
pulauterluarnya.Walaupun Indonesia dan Malaysia telah meratifikasi KHL 1982 akan
tetapi Malaysia masih menggunakan peta tahun1979 dalam menentukan batas lautnya
yang bersifat unilateral dan tidak disetujui oleh negara-negara yang berbatasan laut
dengan Malaysia misalnya: Indonesia, Singapura, Thailand, Filipina, Brunei Cina, dan
Vietnam.

Tindakan Malaysia yang menggunakan peta tahun 1979 dalam menentukan batas
lautnya sangat merugikan negara-negara tetangganya misalnya, Indonesia dalam contoh
kasus Pulau Sipadan dan Ligitan dimana Mahkamah Internasional pada tanggal 17
Desember 2002 dengan perbandingan 16:1 telah memberikan kedaulatan atas Pulau
Sipadan dan Ligitan kepada Malaysia.Mahkamah Internasional berpendapatbahwa
Inggris sebagai penjajah Malaysia lebih melakukan effectiveness ketimbang Belanda
sebagai penjajah Indonesia, bahkan Indonesia setelah merdeka. Bukti yang disampaikan
Malaysia tentang adanya effectiveness oleh Inggris menjadi titik penentu kedaulatan
kedua pulau tersebut. Inggris telah memenuhi syarat dengan adanya berbagai peraturan
yang dikeluarkan yaitu ketentuan tentang penarikan pajak bagi pengambilan telur penyu
sejak tahun1917 dan ketentuan tentang cagar burung(birds sanctuaries) di Pulau
Sipadan.

Sebaliknya Indonesia dianggap tidak memiliki klaim yang lebih tinggi. Justru dalam peta
yang dilampirkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Prp Tahun 1960 tentang Penentuan
Laut Teritorial Indonesia, dua pulau yang disengketakan tidak dimasukkan. Titik krusial
dalam penentuan pemberian kedaulatan kedua pulau tersebut kepada Malaysia terletak
pada tindakan effectiveness berupa produk perputaran perundang-undangan dan
tindakan nyata atau kegiatan fisik yang dilakukan olehsuatu negara. Setelah berakhirnya
kasus Sipadan dan Ligitan, muncul kembali permasalahan yaitu konflik Indonesia dan

2
Malaysia tentang Blok Ambalat. Malaysia mendasarkan klaimnya atas dasar putusan
Mahkamah Internasional yang memetakan Pulau Sipadan dan Ligitan menjadi milik
Malaysia dan peta Malaysia tahun 1979. Sedangkan Indonesia sudah melakukan
eksplorasi di wilayah Blok Ambalat sejak tahun 1960. Eksplorasi tersebut dilakukan tanpa
adanya keberatan dari pihak manapun termasuk Malaysia sehingga Indonesia tidak
menerima klaim Malaysia tersebut.

2. Penyelesaian sengekta berdasar Kovensi Hukum Laut.

Bagi suatu negara berdaulat yang berarti kedaulatan negara mempunyai otonomi penuh
dan tanggung jawab yang penuh terhadap perkembangan bangsa dan negara baik yang
bersifat ke dalam maupun ke luar dengan segala kebijaksanaan di berbagai bidang
maupun politik, ekonomi, hukum, pertahanan dan keamanan serta menjalin hubungan
dengan negara-negara serta bangsa-bangsa lain di dunia.

Konsep kedaulatan negara tidak terlepas dari pembahasan konsep kedaulatan atas laut.
Menurut rezim hukum internasional yang mengatur hak-hak kedaulatan atas wilayah
daratan dan perairan mempunyai perbedaan yang sangat mendasar. Perbedaan tersebut
mencakup perbedaan substantif dan prosedural, secara substantif hak atas wilayah
dapat diperoleh berdasarkan fakta kepemilikan secara fisik, sedangkan hak atas daerah
laut diperoleh berdasarkan pelaksanaan hukum yang adil bagi para pihak.

Selanjutnya secara prosedural apabila terjadi sengketa wilayah darat, maka


penyelesaiannya dapat dilakukan atas persetujuan negara-negara yang bersengketa.
Dalam hal terjadinya sengketa wilayah laut, maka penyelesaiannya dilakukan sesuai
dengan ketentuan Bab V UNCLOS mengenai penyelesaian sengketa-sengketa juga
memuat sejumlah ketentuan yang ambisius.

Negara-negara diwajibkan untuk menyelesaikan dengan cara-cara damai setiap


sengketa mengenai interpretasi atau penerapan Konvensi. Apabila tidak berhasil
mencapai persetujuan atas dasar perundingan, maka negara-negara itu harus
mengajukan sebagian tipe sengketa kepada suatu prosedur wajib yang mengeluarkan
keputusan mengikat; ketentuan berkenaan dengan hal ini dikemukan dalam Seksi 2 yang
berjudul “Prosedurprosedur Wajib yang Menghasilkan Keputusan-keputusan yang

3
Mengikat” (Compulsory Procedures Entailing Binding Decision). Negara-negara memiliki
empat pilihan dalam prosedur wajib tersebut.

Menurut ayat 1 Pasal 287 (pasal kedua dalam Seksi 2) suatu negara pada waktu
menandatangani, meratifikasi atau mengaksesi konvensi atau pada setiap waktu setelah
itu, bebas untuk memilih dengan membuat pernyataan tertulis, satu atau lebih cara
penyelesaian sengketa-sengketa perihak interpretasi dan penerapan Konvensi : The
International Court of Justice, Tribunal/ITLOS, Arbitrasi di bawah annex VII UNCLOS,
atau Arbitrasi Khusus di bawah annex VIII.

Penyelesaian sengketa dalam bidang hukum laut sebelum Konvensi Hukum Laut 1982
dilakukan dalam kerangka penyelesaian sengketa internasional pada umumnya. Dalam
hal ini sengketa hukum laut diselesaikan melalui mekanisme-mekanisme dan institusi-
institusi peradilan internasional yang telah ada, seperti Mahkamah Internasional Dengan
demikian, terdapat perbedaan sejarah mengenai perkembangan hakhak milik di
permukaan daratan dan wilayah laut.

Permukaan daratan di bumi sebagian besar telah dibagi pada saat perang belum
dinyatakan sebagai pelanggaran hukum. Oleh karena itu, pada pokoknya wilayah daratan
dialokasikan melalui penjatahan secara fisik yang dilakukan oleh negara-negara besar.
Sedangkan pada masa itu kawasan samudera dianggap res communi yaitu sesuatu yang
merupakan milik kelompok orang-orang dan bisa digunakan oleh setiap anggota
kelompok tetapi tidak bisa dimiliki oleh siapapun karena adanya kesulitan untuk membagi
wilayah laut.

Namun, ketika peralatan praktis dan teknologi untuk memanfaatkan samudera secara
eksklusif sudah berkembang, saat itu pula terbentuk institusi legal bagi alokasi laut secara
efektif. Kemudian timbul dimensi politik berkenaan dengan pendistribusiannya
berdasarkan kriteria tertentu dan bukan berdasarkan politik kekuatan seperti
sebelumnya. Kawasan perairan dialokasikan dengan hukum, melalui proses-proses legal
dan bukan lagi melalui cara kekerasan, serta sesuai dengan ide-ide dasar mengenai
keadilan.

4
Fakta lain yang membedakan sejarah kedaulatan negara atas daratan dan perairan atau
laut bahwa daratan lebih mudah diduduki daripada perairan. Demikian pula dengan
kenyataan yang selanjutnya berkembang dimana timbulnya berbagai dimensi ekonomi
berkenaan dengan masalah laut. Hal ini juga didorong oleh kenyataan bahwa mengingat
kawasan laut tidak bisa diduduki seperti halnya wilayah daratan, maka kepemilikan atas
kawasan laut terutama ditujukan untuk pengambilan sumber-sumbernya. Oleh karena itu
doktrin bahwa hak wilayah laut ditentukan berdasarkan hukum semakin berkembang
demikian pula dengan mekanisme penyelesaian sengketanya dan perkembangan paling
signifikan adalah dengan diterimanya rezim hukum laut dalam UNCLOS.

Pada masa ketika rezim hukum mengenai hak-hak eksklusif atas wilayah daratan telah
berkembang, kawasan laut tetap dianggap res communis yang tersedia bagi semua
pihak. Mare liberum (“free sea”) berlaku bagi semua kawasan samudera atau laut lepas,
kecuali jalur laut teritorial yang berbatasan dengan pantai-pantai yang digunakan untuk
melindungi kepentingan perikanan lokal dan keamanan. Perkembangan perangkat
hukum dan institusi yang mengatur alokasi hak-hak atas wilayah laut termasuk relatif
baru.

Hak-hak atas wilayah laut dialokasikan melalui proses yang berbeda dengan
pengalokasian daratan dan menurut yurisprudensi yang sangat berbeda. Alokasi wilayah
laut adalah berdasarkan ketentuan hukum dan dipisahkan dari tindakan fisik okupasi.
Disamping itu, Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) merupakan perjanjian multilateral
pertama yang memuat ketentuanketentuan mandatori bagi penyelesaian konflik. Pada
tahun 1982 tepatnya 30 April 1982 di New York, Konvensi hukum laut PBB (UNCLOS-
United Nations Convention on the Law of the Sea) telah diterima baik dalam konferensi
PBB tentang Hukum Laut III. UNCLOS tersebut mengatur tentang rezim-rezim hukum
laut, termasuk Negara Kepulauan.

Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) 1982 secara komprehensif telah mengkodifikasi hukum
internasional yang berkaitan dengan berbagai permasalahan lain, seperti hak-hak
pelayaran, pengawasan polusi, riset ilmiah kelautan dan ketentuan perikanan. Cara
alokasi yang diadopsi UNCLOS untuk memiliki wilayah laut tidak didasarkan pada
kepemilikan atau kontrol seperti kepemilikan tanah, tetapi melalui proses yuridikasi.

5
Doktrin tersebut menyatakan bahwa alokasi tidak tergantung pada penggunaan fisik atau
kepemilikan tetapi pada perkiraan geografis yang kemudian disebut doktrin ab initio, yang
artinya jatah atau bagian tersebut sudah dimiliki sejak awal yang merupakan bagian yang
sudah menyatu dan tidak perlu upaya tertentu bagi negara pantai untuk memperolehnya.
Mahkamah Internasional menyatakan doktrin ab initio yang diadopsi pada Konferensi
Jenewa sebagai sarana untuk melindungi negara-negara pantai yang tidak membuat
pernyataan atas hak-hak mereka terhadap landas kontinen dan tidak memiliki alat untuk
mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber-sumber mereka.

Semua negara pantai menerima doktrin tersebut tanpa keraguan terutama disebabkan
oleh konsekuensi negatif yaitu mencegah terjadinya perlombaan kepemilikan wilayah
dan pengambilan sumbersumber di dasar laut oleh beberapa negara. Dengan telah
disahkannya Konvensi Hukum Laut 1982, tidaklah berarti bahwa konvensi tersebut telah
dapat menampung segala kepentingan negara-negara. Salah satu penggunaan laut yang
dapat menimbulkan sengketa adalah mengenai pengaturan dan pengamanan hak lintas
bagi kapal-kapal asing pada perairan yang berada dibawah yuridiksi suatu negara.
Pengaturan dan pengamanan hak lintas bagi kapal asing melalui selat yang digunakan
untuk pelayaran internasional akan mempunyai dampak tidak hanya bagi negara-negara
pemakai selat maupun negaranegara lain, baik secara langsung maupun tidak langsung
akan merasakan akibatnya pada segi-segi kehidupan politik, militer dan ekonomi.
Berkaitan dengan masalah perbatasan antarnegara, adanya perbedaan rezim hukum
landas kontinen dalam Konvensi Hukum Laut 1982 dan pengaturan sebelumnya, dimana
kriteria keterikatan geomorfologis (natural prolongation) dinilai tidak lagi menjadi ukuran
dalam perhitungan klaim landas kontinen suatu negara pantai.

Sebaliknya Konvensi Hukum Laut 1982 memperkenalkan faktor jarak sebagai salah satu
faktor penentu dalam pengukuran dan penetapan batas wilayah negara, mengingat klaim
minimal landas kontinen dapat diajukan negara pantai hingga 200 mil laut. Konvensi
Hukum Laut 1982 menghasilkan rumusan baru tentang rezim hukum landas kontinen
dengan memberikan batas klaim minimal sejauh 200 mil laut dan klaim maksimal sejauh
350 mil laut bagi negara pantai dengan kriteria tertentu. Dengan berdasarkan pada

6
rumusan baru tersebut, keterkaitan faktor geomorfologis dan geofisik dengan daratan
suatu negara pantai hanya berkaitan dengan klaim maksimal landas kontinen.

3. Bentuk Hukum Penyelesaian Sengketa Laut.

Mekanisme penyelesaian perselisihan Hukum Laut adalah suatu bidang akademik yang
hebat, ekonomis, dan kepentingan politik di mana hubungan antara hukum publik dan
hukum privat dalam evolusi penuh dan terus-menerus menunjukkan tantangan baru.

Setelah berlakunya 1994 dari 1982 Konvensi Hukum Laut (LOSC), metode penyelesaian
sengketa berkembang dan pasang surut masih meningkat dua puluh tahun kemudian.
Negara sebagian besar tetap menjadi pemain utama dalam bentuk metode penyelesaian
sengketa ini tetapi ada beberapa jalan bagi aktor swasta untuk terlibat karena
kepentingan mereka hampir selalu berada di belakang kepentingan aktor Negara..

Sarana penyelesaian sengketa berikut di bawah hukum laut telah berkembang sejak saat
itu 1994 dan perkembangan serta kasus utama akan disorot yang mekanisme
penyelesaiannya dapat melalui antara lain:

 Perundingan;

 Mediasi;

 Perdamaian;

 Arbitrasi;

 Penyelesaian Yudisial;

 Komisi untuk Landas Kontinen.

1. Perundingan

Aturan rinci di bawah hukum laut kontemporer, Meningkatnya minat untuk


mengeksploitasi sumber daya dan ancaman mekanisme penyelesaian sengketa wajib
mendorong negara untuk melakukan negosiasi. Mengidentifikasi fakta bahwa
perundingan berjalan maju sulit karena Negara sering membuat mereka diam. Namun
penelitian telah melaporkan 16 negosiasi dari 1994 untuk 2012, beberapa dari mereka
berhasil, seperti 2003 Negosiasi antara Azerbaijan, Kazakhstan dan Federasi Rusia, itu

7
2004 Negosiasi antara Australia dan Selandia Baru, itu 2008 Perjanjian Pembatasan EEZ
Mauritius-Seychelles, dll.

Negosiasi kadang-kadang mengarah pada resolusi perselisihan dalam bentuk perjanjian


atau bentuk-bentuk lain mekanisme penyelesaian perselisihan. Negosiasi sejauh ini
merupakan metode penyelesaian perselisihan yang disukai oleh Negara-negara dan
jalan-jalan lain yang dipertimbangkan hanya ketika negosiasi macet.

Dalam konteks penetapan batas, ada beberapa kerugian nyata dalam mengejar
mekanisme perselisihan wajib dan keuntungan yang cukup besar dalam bernegosiasi.
Selama negosiasi, para pihak memegang kendali atas serangkaian masalah yang sangat
penting termasuk hasil yang tepat dari batas yang dibatasi, cara garis didefinisikan, syarat
dan waktu perjanjian dan cara perjanjian disajikan secara publik. Secara umum diyakini
bahwa litigasi selalu membawa risiko bagi para pihak dan bahwa jangkauan temuan
hukum yang tersedia untuk pengadilan lebih terbatas daripada kisaran pilihan yang
terbuka bagi para negosiator.

Juga, ketika muncul di hadapan pengadilan yang menerapkan hukum internasional, para
pihak beroperasi dalam kerangka tertentu yang tidak memiliki fleksibilitas dan
menyisakan sedikit ruang untuk kreativitas dan cenderung memihak pada satu sisi
sementara gagal mempertimbangkan kepentingan semua aktor. Namun, selama
negosiasi, para pihak mengejar proses pengembangan bersama di ruang maritim dan
mampu mengesampingkan perselisihan hukum untuk fokus pada langkah-langkah
praktis untuk mengamankan tujuan masing-masing pihak yang mendasarinya,
khususnya ketika masing-masing pihak ingin mengejar berbagai jenis eksploitasi.

2. Mediasi

Sebaliknya, Negara jarang menggunakan mediasi atau kantor yang baik. Sebagai
contoh, itu 2015 Mediasi OAS dari Perselisihan Perbatasan Belize-Guatemala belum
menyelesaikan perselisihan dan telah mengarahkan para pihak untuk membawa
masalah ini ke Pengadilan Internasional Keadilan.

3. Perdamaian

8
Konsiliasi diatur dalam Bagian 15 Konvensi Hukum Laut tetapi hampir tidak pernah
digunakan oleh Negara. Itu 1981 Perselisihan Landas Islandia / Norwegia Mengenai
Pulau Jay Mayen adalah salah satu dari sedikit konsili yang pernah dicatat.

Negara-negara tidak cenderung menggunakan konsiliasi karena begitu mereka


memutuskan untuk menyerahkan kendali atas perselisihan dan memungkinkan
keputusan formal oleh badan pihak ketiga, Negara-negara lebih memilih untuk
mengambil keputusan yang mengikat. Tidak banyak yang bisa diraih dari suatu proses
yang sangat mirip arbitrase tanpa manfaat kepastian hukum yang mengalir dari
penerbitan putusan arbitrase. Juga, Negara juga akan lebih memilih untuk kehilangan
arbitrase dan memiliki alasan untuk mengesampingkan putusan daripada kehilangan
konsiliasi dan tidak memiliki dasar hukum untuk mengesampingkan hasilnya..

4. Arbitrasi

Terkadang, para pihak akan mencapai jalan buntu selama negosiasi tetapi tetap harus
menyelesaikan perselisihan karena mereka mungkin tidak dapat mengeksploitasi sumber
daya. Mereka kemudian akan beralih ke resolusi perselisihan wajib. Beberapa negara,
seperti Nikaragua, sangat akrab dengan proses dan telah muncul di beberapa
kesempatan sebelum ICJ pada berbagai kesempatan. Negara-negara yang lebih akrab
dengan proses tersebut, semakin besar kemungkinan mereka lebih memilih
penyelesaian sengketa Hukum Laut di masa depan.

Sejak 1994, arbitrase telah menjadi sarana paling populer untuk menyelesaikan
perselisihan maritim. Di bawah Lampiran VII Konvensi Hukum Laut, pengadilan terdiri
dari 5 arbiter, masing-masing pihak yang bersengketa menunjuk seorang arbiter dan
mereka bersama-sama menunjuk tiga lainnya. Dalam hal itu diperlukan, Presiden ITLOS
berfungsi sebagai otoritas penunjukan. Majelis arbitrase memutuskan prosedurnya
sendiri yang memberikan banyak fleksibilitas.

Beberapa contoh Arbitrase LOSC Annex VII meliputi:

 Australia dan Selandia Baru v. Jepang (“Arbitrasi Tuna Bluefin Selatan”)


 Irlandia v. UK (“Arbitrasi Tumbuhan Mox”)
 Malaysia v. Singapura (“Arbitrase Reklamasi Tanah”)

9
 Barbados v. Arbitrase Pembatasan Maritim Trinidad dan Tobago
 Guyana v. Arbitrase Pembatasan Maritim Suriname
 Bangladesh v. India (“Arbitrase Batas Maritim Teluk Bengal”)
 Maurice V. UK (“Arbitrase Kepulauan Chagos”)
 Argentina v. Ghana ("ARA Libertad Arbitration")
 Filipina v. Cina ("Cina Selatan / Arbitrase Laut Filipina Barat ”)
 Malta v. Sao Tome dan Principe (“Arbitrase Integritas Duzgit”)
 Belanda v. Federasi Rusia (“Arbitrase matahari terbit Arktik”)
 Denmark sehubungan dengan Kepulauan Faroe v. Uni Eropa (“Arbitrasi Herring
Atlanto-Skandinavia”)

Konvensi Hukum Laut tidak, dengan sendirinya, berusaha untuk mengatasi masalah
kedaulatan atas wilayah. Karena itu penting untuk diingat, dalam analisis arbitrase
Lampiran VII, bahwa masalah yurisdiksi muncul setiap kali pengadilan diminta untuk
memutuskan apa yang kedaulatan Negara atas wilayah tertentu.

Sebagai contoh, di Arbitrase Kepulauan Chagos, Mauritius mengklaim bahwa


administrasi Kepulauan Inggris tidak sah dan bahwa wilayah Mauritius harus mencakup
Kepulauan Chagos. Ketika Mauritius membawa proses masuk 2010, ia mencoba
membingkainya dengan cara yang hanya secara tidak langsung menyentuh masalah
kedaulatan. Namun, di bulan Maret 2015, pengadilan menemukan bahwa pengadilan
tidak memiliki yurisdiksi karena sengketa tersebut secara langsung menyangkut
kedaulatan, yang tidak berada dalam lingkup yurisdiksinya. Namun pengadilan
menyatakan bahwa beberapa masalah kecil kedaulatan, tambahan untuk klaim yang
mendasarinya, bisa dikuasai.

Di Filipina v. Arbitrase China, Filipina menantang kegiatan China di Laut Cina Selatan
dan Daerah Dasar Laut dan berpendapat bahwa klaim China atas wilayah yang dibatasi
oleh "Garis Sembilan Garis Garis" tidak sah menurut hukum di bawah Hukum Konvensi
Laut. Karena itu Filipina mencari temuan bahwa klaim China atas wilayah ini melanggar
hukum. Filipina juga meminta pengadilan untuk menentukan apakah beberapa fitur yang
diklaim oleh Filipina dan Cina memenuhi syarat sebagai pulau, dan temuan mengenai
hak-hak Filipina di luar zona ekonomi eksklusifnya. Tiongkok menolak yurisdiksi

10
pengadilan antara lain dengan alasan bahwa inti dari pokok perselisihan adalah
kedaulatan. Sidang tentang yurisdiksi dijadwalkan untuk Juli 2015 dan, jika yurisdiksi
ditemukan, sidang tentang manfaat akan dilakukan nanti 2015.

Negara-negara menggunakan arbitrase semakin banyak karena pengadilan cepat


mengeluarkan keputusan dan memberi para pihak banyak kendali atas prosedur.
Kelemahan arbitrase adalah fakta bahwa itu lebih mahal daripada proses pengadilan.

5. Penyelesaian peradilan

 ITLOS

Salah satu fitur penting dari Konvensi Hukum Laut adalah pembentukan lembaga baru,
Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut (ITLOS) di Hamburg, yang mungkin
mendengar kasus yang kontroversial dan tidak kontroversial untuk hukum penyelesaian
sengketa laut.

21 hakim dipilih untuk 9 tahun oleh Negara-negara Pihak mengabdi di ITLOS. Setiap
Negara Pihak dapat mengajukan hingga dua kandidat. Ada proses untuk memastikan
distribusi yang adil di antara para hakim dan jangka waktu sepertiga dari mereka berakhir
setiap tiga tahun. ITLOS beroperasi agak mirip dengan ICJ dalam hal memiliki beberapa
keabadian pada institusi dan sistem rotasi.

ITLOS memiliki kekhususan untuk dapat mendengar kasus-kasus "pelepasan segera"


yang terjadi dengan dasar yang dipercepat ketika Negara pantai telah menyita kapal
asing dan awaknya. (biasanya di Zona Ekonomi Eksklusif) dan membawanya ke port-
nya.

Berdiri tidak terbatas pada aktor Negara dan orang-orang alami atau yuridis dapat muncul
sebelum ITLOS (meskipun mereka harus mendapatkan izin dari Negara Bendera
mereka).

Meskipun ketersediaan pengadilan yang sangat kuat ini di Hamburg mampu mendengar
kasus yang kontroversial dan tidak kontroversial, litigasi sebelum ITLOS sangat
sederhana. Itu 22 kasus-kasus yang terdaftar hampir semuanya terkait dengan masalah
“rilis cepat” dan ITLOS sangat jarang memutuskan kasus berdasarkan kemampuan.

11
Meskipun kebanyakan negara lebih suka pergi sebelum ICJ, semakin banyak kasus
terdaftar sebelum ITLOS (seperti ITLOS Kasus No. 16 “Perselisihan mengenai
penetapan batas laut antara Bangladesh dan Myanmar di Teluk Bengal ”dan Kasus
ITLOS No. 23 “Perselisihan mengenai Pembatasan Batas Maritim antara Ghana dan
Pantai Gading di Samudera Atlantik ”).

 ICJ

Niscaya, forum nomor satu bagi Negara-negara yang mencari penyelesaian yudisial
terkait Hukum Laut adalah Mahkamah Internasional (ICJ) yang tidak terbatas pada
hukum masalah laut dan kemudian dapat memutuskan masalah maritim dan kedaulatan.

Beberapa putusan ICJ tentang hukum laut sejak itu 1994 termasuk:

 1998 Yurisdiksi Perikanan (Spanyol v. Kanada) 2001 Pertanyaan tentang


Pembatasan Maritim dan Wilayah (Qatar v. Bahrain)
 2002 Batas Darat dan Maritim (Kamerun v. Nigeria: Guinea Ekuatorial ikut campur)
 2007 Sengketa Wilayah dan Maritim di Laut Karibia (Nikaragua v. Honduras)
 2012 Sengketa Wilayah dan Maritim (Nikaragua v. Kolumbia)
 2009 Pembatasan Maritim di Laut Hitam (Romania v. Ukraina)
 2014 Sengketa Maritim (Peru v. Chili)
 2014 Perburuan paus di Antartika (Australia v. Jepang: Selandia Baru melakukan
intervensi)

Yurisprudensi ICJ cukup kuat dan memberikan kontribusi besar untuk pemahaman kita
tentang bagaimana Hukum Laut sengketa harus diputuskan. Sebagai contoh, bertahun-
tahun, metodologi yang digunakan untuk membatasi sangat tidak pasti tetapi dalam
beberapa dekade terakhir, yurisprudensi, khususnya terkait dengan sengketa Laut Hitam,
telah menetapkan pendekatan tiga bagian untuk penetapan batas (pertama, pengadilan
menarik garis yang berjarak sama sementara dari titik dasar di pantai kedua Negara
Pihak ke sengketa penetapan batas; kedua, pengadilan mempertimbangkan faktor-faktor
yang menuntut penyesuaian seperti benjolan kecil di pantai suatu Negara yang secara
drastis berdampak pada garis sementara yang sama.; ketiga, pengadilan melakukan

12
analisis proporsionalitas di mana pengadilan melihat dua bagian air yang dibatasi, melihat
rasio dan garis pantai dan memutuskan apakah ada disproporsi yang signifikan dalam
ruang maritim yang diberikan kepada masing-masing Negara.). Ada banyak fleksibilitas
dalam pendekatan pengadilan dan yurisprudensi kontemporer menunjukkan konteks itu,
khususnya di hadapan pulau atau fitur lainnya, banyak artinya. Tergantung pada
ukurannya, pulau-pulau kadang-kadang akan sangat berarti dan akan menjadi penentu
di mana garis pemerataan sementara ditarik, atau kadang-kadang akan disingkirkan oleh
pengadilan dan tidak akan digunakan dalam memutuskan kasus.

Pertimbangan geografis adalah kekuatan dominan yang mendorong kasus-kasus ini.


Masalah tentang entitas Negara mana yang berhak atas area mana, sumber daya
ekonomi dan aktor mana yang lebih berwawasan lingkungan tidak dipertimbangkan.

 Opini Penasihat

ICJ atau ITLOS dapat memberikan Pendapat Penasihat. ITLOS baru-baru ini
mengeluarkan Opini Penasihat pertamanya untuk Komisi Perikanan Sub-Regional Afrika
Barat. Komisi mengajukan empat pertanyaan yang berkaitan dengan ITLOS, antara lain,
terhadap hak dan kewajiban Negara-negara bendera dan pesisir mengenai penangkapan
ikan di Zona Ekonomi Eksklusif. Latar belakang permintaan tersebut adalah tuduhan oleh
Negara-negara Afrika bahwa Negara ketiga tidak mengatur kapal mereka dengan baik.
Dua puluh dua Negara Pihak pada Konvensi mengajukan pernyataan tertulis sebelum
ITLOS. Niscaya, lebih banyak Opini Penasihat akan diminta di masa depan untuk
mendapatkan panduan lebih lanjut mengenai hak dan kewajiban Negara berdasarkan
hukum internasional.

Ada juga kemungkinan untuk mendapatkan Opini Penasihat dari Kamar Sengketa Dasar
Laut, sub unit ITLOS yang keduanya dapat mendengar perselisihan antara aktor Negara
dan non Negara dan mengeluarkan Pendapat Penasihat. Di 2011, itu memberikan Opini
Penasihat pertama tentang Penambangan Dasar Laut.

 Komisi Rak Kontinental

13
Di bawah LOSC, hampir setiap Negara mendapatkan Landas Kontinental hingga 200 mil
laut tetapi Negara terkadang berpendapat bahwa Continental Shelf mereka terus
melewati garis ini. Memperluas Landas Kontinental Negara memungkinkannya untuk
mengeksploitasi sumber daya lebih jauh tetapi juga menghilangkan kemampuan Negara
lain untuk mengeksploitasi sumber daya di daerah tersebut.

Konvensi Hukum Laut menciptakan Komisi untuk mendengarkan berbagai Klaim Shelf
Kontinental yang Diperpanjang dan argumen ilmiah yang mendasarinya. Komisi tersebut
terdiri dari 21 anggota, ahli di bidang geologi dan fisika, siapa yang akan memutuskan
klaim dan mengeluarkan Rekomendasi ke mana batas Landas Kontinental harus ditarik
dan yang mana, jika diikuti, dianggap sebagai batasan yang mengikat sebaliknya semua
pihak ke LOSC.

Tujuh puluh tujuh Negara telah mengajukan pengajuan kepada Komisi untuk
mendapatkan Rekomendasi tersebut dan dua puluh dua Rekomendasi telah dikeluarkan
sejauh ini.

4. Penyelesaian melalui Badan Peradilan.

1. Penyelesaian Sengketa Internasional Melalui Lembaga Arbitrase Internasional Publik

Arbitrase adalah penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga yang netral
serta putusan yang dikeluarkan sifatnya final dan mengikat. Badan arbitrase dewasa ini
sudah semakin populer dan semakin banyak digunakan dalam menyelesaikan sengketa-
sengketa internasional. Penyerahan suatu sengketa kepada arbitrase dapat dilakukan
dengan pembuatan suatu compromise atau kesepakatan, yaitu penyerahan kepada
arbitrase suatu sengketa yang telah lahir; atau melalui pembuatan suatu klausul arbitrase
dalam suatu perjanjian sebelum sengketanya lahir (clause compromissoire). Orang yang
dipilih untuk melakukan arbitrase disebut arbitrator atau arbiter.

Pemilihan arbitrator sepenuhnya berada pada kesepakatan para pihak. Biasanya


arbitrator yang dipilih adalah mereka yang telah ahli mengenai pokok sengketa serta
disyaratkan netral. Ia tidak selalu harus ahli hukum. Bisa saja ia menguasai bidang-
bidang lainnya. Ia bisa insinyur, pimpinan perusahaan (manajer), ahli asuransi, ahli

14
perbankan, dan lain-lain. Setelah arbitrator ditunjuk, selanjutnya arbitrator
menetapkan terms of reference atau 'aturan permainan' (hukum acara) yang menjadi
patokan kerja mereka. Biasanya dokumen ini memuat pokok masalah yang akan
diselesaikan, kewenangan arbitrator (jurisdiksi) dan aturan-aturan (acara) sidang
arbitrase. Sudah barang tentu muatan terms of reference tersebut harus disepakati oleh
para pihak Mekanisme penyelesaian sengketa melalui arbitrase sudah semakin meningkat.

Dari sejarahnya, cara ini sudah tercatat sejak jaman Yunani kuno. Namun penggunaannya dalam
arti modern dikenal pada waktu dikeluarkannya the Hague Convention for the Pacific Settlement
of International Disputes tahun 1889 dan 1907. Konvensi ini melahirkan suatu badan arbitrase
internasional yaitu Permanent Court of Arbitration. Batasan mengenai badan arbitrase
internasional publik ini adalah: “Suatu alternative penyelesaian sengketa melalui pihak ketiga
(badan arbitrase) yang ditunjuk dan disepakat para pihak (negara) secara sukarela untuk memutus
sengketa yang bukan bersifat perdata dan putusannya bersifat final dan mengikat.”

Istilah yang digunakan adalah “alternatif” dan “pihak ketiga” (badan arbitrase). Istilah pertama
digunakan karena badan arbitrase adalah salah satu dari berbagai alternatif penyelesaian sengketa
yang tersedia dan diakui oleh hukum internasional. Istilah kedua yaitu pihak ketiga (badan
arbitrase) digunakan karena badan ini tidak selalu menggunakan istilah arbitrase. Dalam
penyelesaian sengketa di GATT (sebelum diganti menjadi WTO), istilah yang digunakan bukan
arbitrase, tetapi Panel. Dalam studi hukum internasional, istilah lain yang digunakan untuk badan
ini antara lain disebut juga dengan Claims Tribunal. Sebagai salah satu alternatif penyelesaian
sengketa, arbitrase dipandang sebagai cara yang efektif dan adil. Sumbangan badan ini terhadap
perkembangan hukum internasional secara umum cukup signifikan.
Sengketa Kepulauan Palmas (Miangas) antara Amerika Serikat dan Belanda yang diputus oleh
arbitrator tunggal Max Huber merupakan salah bukti peranan badan ini terhadap hukum
internasional.

Penyelesaian melalui arbitrase dapat ditempuh melalui beberapa cara: penyelesaian oleh seorang
arbitrator, secara terlembaga (institutionalized) atau kepada suatu badan arbitrase ad
hoc (sementara). Badan arbitrase terlembaga adalah badan arbitrase yang sudah berdiri
sebelumnya dan memiliki hukum acaranya.

15
Contoh badan arbitrase seperti ini yang terkenal adalah the Permanent Court of Arbitration (PCA)
di Den Haag. Sedangkan badan arbitrase ad hoc adalah badan yang dibuat oleh para pihak untuk
sementara waktu. Badan arbitrase sementara ini berakhir tugasnya setelah putusan untuk suatu
sengketa tertentu dikeluarkan.

Penunjukan badan arbitrase ad hoc ini sedikit banyak akan menimbulkan kesulitan dikemudian
hari. Masalahnya adalah bahwa Para pihak harus betul-betul memahami sifat-sifatarbitrase dan
merumuskan hukum acaranya. Badan arbitrase akan berfungsi apabila para pihaksepakat untuk
menyerahkan sengketa kepadanya. Para pihak dapat menyerahkan kepadaarbitrase ketika sengketa
itu sendiri belum atau telah lahir.

Proses penyelesaian sengketamelalui arbitrase memiliki beberapa unsur positif:


a. Para pihak memiliki kebebasan dalam memilih hakimnya (arbitrator) baik secaralangsung
maupun tidak langsung (dalam hal ini dengan bantuan pihak ketiga misalnyapengadilan
internasional untuk menunjuk arbitrator untuk salah satu atau kedua belahpihak. Hal ini penting
karena apabila suatu negara menyerahkan sengketanya kepadapihak ketiga (dalam hal ini:
arbitrase), maka negara tersebut harus mempercayakansengketanya diputus oleh pihak ketiga
tersebut, yang sedikitnya menurut negara tersebutbisa diandalkan, dipercayai dan memiliki
kredibilitas;
b. Para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan hukum acara atau persyaratanbagaimana
suatu putusan akan didasarkan; misalnya dalam menentukan hukum acara danhukum yang akan
diterapkan pada pokok sengketa, dan lain-lain.
c. Putusan arbitrase pada prinsipnya sifatnya adalah final dan mengikat;
d. Persidangan arbitrase dimungkinkan untuk dilaksanakan secara rahasia, apabila parapihak
menginginkannya.
Contoh persidangan arbitrase yang dibuat secara rahasiamisalnya saja persidangan dan argumen
atau dengar pendapat secara lisan yang tertutupdalam kasus Rainbow Warriors Arbitration. Hal
yang sama tampak dalam kasus Anglo-French Continental Shelf Case.
e. Para pihak sendiri yang menentukan tujuan atau tugas badan arbitrase.

Di samping unsur positif, badan arbitrase internasional publik memiliki kekurangan berikut ini:

16
1) Pada umumnya negara masih enggan memberikan komitmennya untuk
menyerahkansengketanya kepada badan-badan pengadilan internasional, termasuk badan
arbitrase internasional;
2) Proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak menjamin bahwa putusannya akan
mengikat. Hukum internasional tidak menjaminan bahwa pihak yang kalah atau tidakpuas
dengan putusan yang dikeluarkan akan melaksanakan putusan tersebut.

Ada dua perbedaan utama antara badan arbitrase internasional publik dengan pengadilan
internasional:
1) Arbitrase memberikan para pihak kebebasan untuk memilih atau menentukan
badanarbitrasenya. Sebaliknya dalam hal pengadilan, komposisi pengadilan berada di
luarpengawasan atau Kkontrol para pihak;
2) Arbitrase memberikan kebebasan kepada para para pihak untuk memilih hukum yang akan
diterapkan oleh badan arbitrase. Kebebasan seperti ini tidak ada dalam pengadilaninternasional
pada umumnya. Misalnya pada Mahkamah Internasional, Pengadilan terikatuntuk menerapkan
prinsip-prinsip hukum internasional yang ada, meskipun putusannya dibolehkan dengan
menerapkan prinsip exaequo et bono.

Sumber hukum internasional mengenai penggunaan arbitrase antara lain dapat ditemukan dalam
beberapa instrumen hukum berikut:
1) The Hague Convention for the Pacific Settlement of International Dispute (tahun 1899
dan1907);
2) Pasal 13 Covenant of the League of Nations. Pasal 13 ayat 1 Konvenan antara lainmewajibkan
negara-negara anggotanya untuk menyerahkan sengketa-sengketa merekakepada badan
arbitrase (atau pengadilan internasional) apabila sengketa-sengketa tersebuttidak dapat
diselesaikan secara diplomatik. Ketentuan ini diperkuat dengan dibentuknyasuatu protokol di
Jenewa pada tahun 1924. Namun protokol tersebut tidak berlaku karenanegara yang
merafikasinya sedikit.
3) The General Act for the Settlement of International Dispute pada tanggal 26 September1928.
Dibuatnya the General Act ini dipengaruhi oleh kegagalan Protokol 1924. SuatuKomisi khusus
yaitu the Convention on Arbitration and Security dibentuk untukmerumuskan the General Act.

17
Perjanjian tersebut berlaku pada tanggal 16 Agustus 1929dan diratifikasi oleh 23 negara
termasuk negara besar yaitu Perancis, Inggris dan Italia.
4) Pasal 33 Piagam PBB yang memuat beberapa alternatif penyelesaian sengekta, antara
lainarbitrase, yang dapat dimanfaatkan oleh negara-negara anggota PBB;
5) The UN Model on Arbitration procedure, yang disahkan oleh Resolusi Majelis Umum PBB
1962 (XIII) tahun 1958. Model Law ini sebenarnya adalah hasil karya ILC (Komisi Hukum
Internasional) yang menaruh perhatian besar terhadap arbitrase.

Special Rapporteur ILC, Georges Scelle, memimpin pengkajian arbitrase selama sekitar 10 tahun.
Rancangan pengkajiannya berisi 32 Pasal diserahkan kepada Majelis Umum PBB padatahun 1952.
Setelah mendapat usulan dari Negara-negara anggota, rancangan perjanjianarbitrase ini diserahkan
kembali pada tahun 1955. Namun demikian negara-negara tidakmemberi reaksi positif terhadap
rancangan Scelle tersebut. Pada tahun 1955, ILC kembalimengkaji ulang seluruh rancangan
perjanjian dan mengubah nama perjanjian tersebutmenjadi sekedar Model Hukum (Model Law).

Prasyarat terpenting dalam proses penyelesaian sengketa melalui badan arbitrase ini adalahkata
sepakat atau consensus dari negara-negara yang bersengketa. Sepakat merupakan refleksidan
konsekuensi logis dari atribut negara yang berdaulat. Kedaulatan suatu negara menyatakanbahwa
suatu negara tidak tunduk pada subyek-subyek hukum internasional lainnya tanpa adakesepakatan
atau kehendak dari negara tersebut. Tanpa kata sepakat dari salah satu negara,badan arbitrase tidak
pernah berfungsi.

Salah satu Arbitrase yang dianggap telah terlembaga menurut ketentuan hukuminternasional
adalah Badan Arbitrase ICSID (International Centre for Settlement of Investment Disputes) yang
dibentuk berdasarkan Konvensi Washington, 1965 atau disebut pula Konvensi Bank Dunia. Badan
Arbitrase ini boleh dikatakan dewasa ini banyak dimanfaatkan oleh pelaku-pelaku bisnis untuk
menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara mereka di satu pihak dengannegara di lain pihak.

ICSID adalah lembaga internasional ciptaan International Bank For Reconstruction and
Development (IBRD), atau lazim disebut Bank Dunia. Bagi Negara berkembang, Bank
Duniamerupakan Lembaga Internasional yang diharapkan dapat menyalurkan dana bagi Negara-
negara berkembang yang membutuhkan, meskipun sebenarnya Bank Dunia menghendaki
kebutuhan dana tersebut dapat dipenuhi oleh para penanam modal dari negara-negara asing.

18
2. Penyelesaian Sengketa Internasional Melalui Mahkamah Internasional.

Metode yang memungkinkan untuk menyelesaikan sengketa selain cara-cara tersebut di atas
adalah melalui pengadilan. Penggunaan cara ini biasanya ditempuh apabila cara-cara penyelesaian
yang ada ternyata tidak berhasil. Pengadilan dapat dibagi ke dalam dua kategori, yaitu pertama
adalah, pengadilan permanen dan pengadilan ad hoc atau pengadilan khusus. Sebagai contoh
pengadilan internasional permanen adalah Mahkamah Internasional (the International Courtof
Justice).

Kedua adalah pengadilan ad hoc atau pengadilan khusus. Dibandingkan dengan pengadilan
permanen, pengadilan ad hoc atau khusus ini lebih populer, terutama dalam kerangka suatu
organisasi ekonomi internasional. Badan pengadilan ini berfungsi cukup penting dalam
menyelesaikan sengketa-sengketa yang timbul dari perjanjian-perjanjian ekonomi internasional.

Salah satu alternatif penyelesaian sengketa secara hukum atau 'judicial settlement'dalam hukum
internasional adalah penyelesaian melalui badan peradilan internasional (worldcourt atau
international court).
Dalam hukum internasional, penyelesaian secara hukumdewasa ini dapat ditempuh melalui
berbagai cara atau lembaga, yakni:
 Permanent Court of International Justice (PCIJ atau Mahkamah Permanen Internasional),
 International Court of Justice (ICJ atau Mahkamah Internasional),
 the International Tribunal for the Law of the Sea (Konvensi Hukum Laut 1982), atau
 International Criminal Court (ICC).86PCIJ pendahulu Mahkamah Internasional (ICJ),

Dibentuk berdasarkan Pasal XIV Kovenan Liga Bangsa-bangsa (LBB) pada tahun 1922. Badan
LBB yang membantu berdirinya PCIJ adalah Dewan (Council) LBB. Dalam sidangnya pada awal
1920, Dewan menunjuk suatu Advisory Committee of Jurists untuk membuat laporan mengenai
rencana pembentukan PCIJ.

Yurisdiksi Mahkamah Internasional ada dua (2) macam yaitu:

1. Yurisdiksi memutuskan perkara-perkara pertikaian (Contentious Case)

19
Didalam hal Mahkamah mengadili sengketa yang menyangkut perselisihan hukum, telah
ditetapkan bahwa hanya negaralah yang boleh menjadi pihak dalam Perkara-perkara di muka
Mahkamah.

Negara-negara tersebut secara jelas dikelompokkan dalam 3 (tiga) kategori yaitu:


Pertama, mencakup semua anggota PBB yang badasarkan Pasal 93 ayat 1Piagam PBB;
Kedua, Negara-negara yang bukan anggota PBB yang menunjukan hasrat berasosiasi tetap dengan
Mahkamah menurut syarat-syarat yang ditentukan dalam tiap-tiap kasus oleh Majelis Umum
berdasarkan rekomendasi dari Dewan Keamanan PBB;
Ketiga, Negara-negara yang bukan anggota PBB, namun ingin tampil di muka Mahkamah
sebagaipihak-pihak dalam sengketa tertentu tetapi tanpa menjadi peserta Statuta.

Menurut Pasal 35 (2) Statuta dan resolusi Dewan Keamanan 15 Oktober 1946 dimungkinkan
mengenakan persyaratan-persyaratan terhadap negara-negara itu yaitu bahwa negara-negara
tersebutharus mematuhi keputusan-keputusan Mahkamah dan memenuhi syarat-syarat dalam
Pasal 94 Piagam, yang menyatakan bahwa :“setiap anggota PBB berusaha memenuhi keputusan-
keputusan Mahkamah Agung Internasional dalam hal apapun di mana anggota tersebut menjadi
suatu pihak”
Yurisdiksi Mahkamah Internasional pada prinsipnya berdasarkan atas kesepakatan para pihak
sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 36 (1):"Wewenang dan Mahkamah akan menempuh
semua perkara yang diajukan oleh pihak-pihak dan semua hak terutama yang ditentukan dalam
Piagam PBB ataudalam perjanjian dan konvensi-konvensi yang berlaku".

Kalimat "semua” perkara yang diajukan oleh pihak-pihak” pada ketentuan diatasmengacu kepada
seluruh kelompok yang bersengketa, namun sebelum Mahkamah Internasional menjalankan
yurisdiksinya terhadap sengketa yang diajukan tersebut dibutuhkanwaktu pernyataan dari para
pihak untuk tunduk pada yurisdiksi Mahkamah. Sehubungan dengan hal tersebut dengan salah satu
prinsip umum Hukum Internasionalyang menegaskan bahwa suatu negara tidak dapat dipaksa
untuk diadili dimuka Mahkamahtanpa, kehendaknya sendiri artinya bahwa Mahkamah
Internasional hanya dapat mengadili perkara antara kedua belah pihak negara dengan persetujuan
kedua belah pihak itu pula.

Mahkamah Internasional dalam mengadili sengketa-sengketa tersebut menerapkan ketentuan-


ketentuan yang tercantum dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasionalyang

20
menetapkan bahwa: Bagi Mahkamah yang tugasnya memberi keputusan sesuai dengan Hukum
Internasional bagi perselisihan-perselisihan yang diajukan kepadanya, akan berlaku:
a. Konvensi-konvensi Internasional baik yang bersifat umum maupun yang bersifatkhusus yang
dengan tegas menyebut ketentuan-ketentuan yang diakui oleh Negara-negara yang berselisih.
b. Kebiasaan-kebiasaan Internasional yang terbukti merupakan praktek-praktek umumyang
diterima sebagai hukum.
c. Asas-asas hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab.
d. Keputusan-keputusan pengadilan dan ajaran-ajaran dari para ahli hukum yang terkenaldi
berbagai Negara, sebagai bahan pelengkap untuk peraturan-peraturan hukum.

2. Yurisdiksi memberi Opini-opini Nasehat (Advisory Opinion)

Advisory Opinion, ini adalah keputusan mengenai masalah hukum suatu sengketa yang bersifat
sebagai nasihat. Advisory opinion tidak mengikat meskipun bagi yang meminta.

Yang dapat dimintakan Advisory Opinion adalah:


a. Sengketa antar Negara yang sedang ditangani badan /organ PBB;
b. Sengketa yang terjadi dalam badan PBB atau Organisasi internasional lain Advisory Opinion
dapat diminta oleh : a. Majelis Umum PBB dan Dewan Keamanan PBB. b. Badan atau organ
selain Majelis Umum dan Dewan Keamanan atau Organisasi Internasional, selain PBB dengan
kuasa Majelis PBB.

Mahkamah Internasional di dalam menjatuhkan putusannya didasarkan pada :

1. Putusan Berdasarkan Hukum Internasional

Dalam Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional dinyatakan secara tegas bahwa sumber-
sumber hukum yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa adalah sumber-sumber hukum
internasional, yaitu :
a. konvensi atau perjanjian internasional, baik yang bersifat umum atau khusus, mengandung
ketentuan-ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara-negara yang bersengketa;

b. kebiasaan-kebiasaan internasional sebagaimana telah dibuktikan sebagai suatu praktek umum


yang diterima sebagai hukum;
c. prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab;

21
d. putusan-putusan pengadilan dan ajaran-ajaran sarjana yang paling terkemuka dari berbagai
negara sebagai sumber hukum subsider (tambahan) untuk menetapkan kaidah-kaidah hukum.

2. Putusan Berdasarkan Prinsip Ex Aequo et Bono.

Berdasarkan Pasal 38 ayat 2 Statuta Mahkamah Internasional berwenang untuk memutus perkara
berdasarkan pada prinsip Ex Aequo et Bono (kepatutan dan kelayakan, keadilan dalam hukum
internasional) apabila para pihak menyetujuinya. Hal ini berarti bahwa Mahkamah dapat
memberikan keputusan atas dasar-dasar objektif kepatutan dan keadilan tanpa secara eksklusif
terikat oleh kaidah-kaidah hukum. Sumber hukum ini belum pernah dilaksanakan dalam
penyelesaian sengketa di Mahkamah Internasional.

== S e l e s a i ==

22

Anda mungkin juga menyukai