Anda di halaman 1dari 9

TERBATAS

HUKUM LAUT INTERNASIONAL

Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan Negara kepulauan ( Archipelogic


state ) terbesar didunia yang memiliki 17504 pulau besar maupun kecil, maka NKRI
sebagai negara kepulauan, memandang laut dan daratan sebagai suatu kesatuan dan
menempatkan laut sebagai pengikat seluruh aspek kehidupan bangsa. Dilandasi oleh
Konferensi PBB tahun 1982, tentang hukum laut internasional (UNCLOS-82) pengakuan
terhadap konsep negara kepulauan telah merubah secara mendasar pengaturan atas laut
dengan disepakatinya negara kepulauan. Dengan demikian maka pembagian laut perairan
yurisdiksi negara kepulauan adalah meliputi perairan pedalaman, perairan kepulauan,
perairan teritorial, zona tambahan, landasan kontinen dan Zona Ekonomi Eksklusif.
Sebagai negara kepulauan Indonesia terletak pada posisi silang tidak hanya dalam arti
geografi serta demografi tetapi juga dalam arti ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya
serta militer. Posisi demikian memiliki arti yang sangat penting dalam hubungan
internasional, namun sekaligus menimbul kerawanan, karena posisi Indonesia yang terbuka
dapat didekati dari segala arah. Oleh karena itu kecenderungan pihak luar dalam
mengeksploitasi setiap permasalahan di Indonesia dalam berbagai kepentingan hendaknya
dapat diwaspadai, terlebih lagi berkaitan dengan wilayah perbatasan. Indonesia yang
berbatasan dengan sepuluh negara sampai dengan saat ini masih menyisakan beberapa
persoalan antara lain batas wilayah yang belum terselesaikan serta adanya 12 pulau yang
rawan terhadap kemungkinan konflik kepemilikan dan konflik perbatasan. Dengan
melihat kerawanan posisi wilayah Indonesia tersebut, maka diperlukan keterlibatan semua
komponen bangsa khususnya TNI sebagai komponen utama pertahanan negara untuk
mengamankan pulau-pulau terluar dari ancaman baik yang bersifat tradisional maupun
yang bersifat non tradisional, yang langsung maupun tidak langsung mengancam
kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Masalah landas kontinen adalah salah satu masalah yang rumit dalam
perkembangan Hukum Laut dewasa ini. Masalah utamanya adalah soal batas tertularnya,
terutama karena sangat kaburnya kriteria “exploitability” yang diakui oleh Konvensi
Geneva 1958. Karena kekaburan tersebut, maka beberapa negara ingin agar batas Landas
Kontinen tersebut ditetapkan saja dengan kedalaman atau jarak yang pasti, misalnya sejauh

TERBATAS
TERBATAS
2

kedalaman air 200 meter atau sejauh 200 mil dari garis dasar yang dipakai untuk mengukur
lebar laut wilayah. Walau bagaimanapun landas kontinen yang ditetapkan oleh Konvensi
Geneva 1958 bukanlah batas continental.

Landas Kontinen yaitu suatu dataran luas (Shelf) di lepas pantai yang umumnya
kedalamannya tidak lebih dari 200 meter, dan merupakan perpanjangan alamiah dari
daratan. Pengertian tersebut hanya didasarkan atas unsur-unsur geomorfologi serta
geografis dan tidak ada hubungannya dengan masalah sumber alam yang terkandung di
dalamnya. Dan karena sifat alamiahnya itu tidak senantiasa dapat diharapkan bahwa
semua kontinen pulau atau daratan akan memiliki landas kontinen tersebut. Pencaharian
sumber alam terutama minyak bumi sudah berkembang sejak lama dan eksplorasi dan
eksploitasi minyak tersebut tidak sulit untuk dilakukan di perairan dangkal dan hal ini
sudah dilakukan oleh Amerika di lepas pantai teluk Meksiko sampai sejauh 40 mil pada
tahun 1916. Dengan demikian hubungan antar sumber alam dengan daerah lepas pantai
sebenarnya sudah dimulai. Meskipun belum berkembang menjadi tuntutan atas wilayah
sumber alam itu sendiri. Perjanjian internasional pertama (bilateral) yang melakukan claim
wilayah sumber alam meskipun tidak di bawah nama landas kontinen tetapi “submarine
area” adalah perjanjian antara Inggris dan Venezuela pada tahun 1942 untuk menentukan
batas wilayah eksplorasi dan eksploitasi minyak yang terletak antara daratan
Venezuela dengan Trinidad yang menjadi koloni Inggris pada tahun 1945. Amerika
untuk mencukupi kebutuhan sumber alamnya telah mengeluarkan proklamasi No. 2667.
Tuntutan Amerika tersebut bukanlah tuntutan teritorial, karena yang dituntut hanyalah
sumber alam yang terletak di landas kontinen Amerika. Sedangkan status dari perairan di
atas landas kontinen dinyatakan tetap berlaku kebebasan-kebebasan seperti kebebasan
yang berlaku di laut bebas. Sampai dengan proklamasi Presiden Truman tersebut di atas,
belum ada batas-batas pengertian landas kontinen menurut ketentuan hukum, sehingga
pengertian “jurisdiction and control” atas sumber alam dan atas wilayah landas kontinen
dalam arti geologis. Perumusan di atas yang sebenarnya harus memberikan rasa keadilan
dan kepastian hukum bagi kegiatan negara-negara di lepas pantai, tetapi dengan adanya
kalimat “200 metres or beyond that limit, to where the depth of the superjacent waters
admits of the exploitation”, timbulnya ketidakadilan dan ketidakpastian, karena banyak
negara yang ternyata tidak mempunyai shelf atau shelfnya kecil, dan juga bahwa hak
negara atas sumber alam di landas kontinen digantungkan kepada kemampuan teknologi.

TERBATAS
TERBATAS
3

Perumusan landas kontinen menurut konvensi Genewa 1958 tersebut jelas


menggambarkan kepentingan sepihak, yaitu kepentingan negara maju saja dan kurang
memperhatikan negara-negara berkembang yang pada waktu itu jumlahnya memang relatif
sedikit, sehingga akhirnya konvensi tersebut tidak dapat menjamin ketertiban dunia
terhadap claim negara-negara secara sepihak. Untuk mencegah timbulnya gejala
“creepingjurisdiction” karena meningkatnya kebutuhan sumber daya maka setelah 10
tahun berlakunya konvensi Genewa 1958, segera diperlukan untuk menata kembali
ketentuan-ketentuan hukum laut. Perumusan pengertian Landas Kontinen menurut Genewa
1958 dirombak total, dan kini menurut konvensi Hukum Laut 1982 menjadi sebagai
berikut : “The continenal shelf of a coastal state comprises the seabed and subsoil of the
submarine areas that extend beyond its land teritorial sea the natural prolongation of its
land territory to the outee edge of the continental margin, or to a distance of 200 natural
miles from the baselines from which the breadth of the teritorial ses is measured where the
outer edge of the continental margin does not extend up to the distance”. Art.76 (1)
Selanjutnya untuk menetapkan batas terluar dari landas kontinen yang menjadi hak negara
pantai konvensi menetapkan sebagai berikut : “The fixed ponds comprising the line of
outer limits of the continental shelf on the sebed, drown in accodance with paragraph 4 (a)
(i) and (ii), either shall not exceed 350 natural mils from the baselines from which the
breadth of the teritorial sea is measured or shall not exceed 100 nautical miles from the
2.500 metre isobath, which is a line connecting the depth of 2.500 metres”. Art.76 (5).
Dari perumusan di atas dapat disimpulkan bahwa landas kontinen suatu negara meliputi
dasar laut dan tanah di bawahnya yang terletak di luar laut teritorial, mengikuti
perpanjangan alamiah daratan sampai tepi terluar Tepi Kontinen (continental margin), atau
sampai sejauh 200 mil, atau sejauh-jauhnya sampai 350 mil apabila tepi terluar tepi
kontinen melebihi jarak 200 mil dari garis dasar laut teritorial. Perumusan landas kontinen
pada Konvensi 1982 merupakan hasil kompromi yang paling banyak memakan waktu,
karena pertumbuhan kepentingan antara negara-negara yang telah diuntungkan oleh
konvensi Genewa 1958, yaitu terutama negara-negara yang memiliki landas kontinen
(geologis) yang luas dengan negara-negara yang tidak puas terhadap akibat buruk yang
diterima dari perumusan Genewa 1958, dan tantangan-tantangan yang berasal dari negara-
negara yang kedudukan geografisnya tidak menguntungkan (geographical Disanvantage
States) seperti misalnya negara-negara yang tidak memiliki laut, atau lautnya kecil.
Nampaknya dalam rangka mewujudkan batas-batas landas kontinen antara dua negara

TERBATAS
TERBATAS
4

yang berhadapan berdasarkan atas konvensi yang baru, pengertian landas kontinen dalam
arti geologi masih berpengaruh, dan hal ini akan dihubungkan dengan pengertian “natural
prologation” seperti tertera pada konvensi yang baru”. (Hanjar)

Perairan Kepulauan (Archipelagic Waters) disebut juga perairan nusantara,


dimana di dalamnya terdapat perairan pedalaman (laut wilayah), zone tambahan, Landas
Kontinen dan Zone Ekonomi Eksklusif Indonesia. Berlakunya konvensi hukum laut
PBB mulai tanggal 16 Nopember 1994 mangandung arti lebih memantapkan pengakuan
azas negara kepulauan. Indonesia sendiri telah meratifikasi dengan Undang-undang
Nomor 17 tahun 1985 berupa disepakati adanya rejim hukum perairan. Dengan
berlakunya ketentuan landas kontinen dan Zone Ekonomi Eksklusif Indonesia, hak kita
atas pemanfaatan kekayaan alam dari laut bertambah lebar sampai 200 mil dari garis dasar,
dengan hak khusus atau eksplorasi dan eksploitasi sumber energi yang dikandung air, arus
dan angin di zone itu, maupun eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam yang dikandung
dalam air, dasar laut dan tanah dibawahnya dalam zone itu. (Hanjar)

Sesuai dengan UNCLOS dan Undang-Undang RI nomor 6 tahun 1996, luas


Kepulauan Indonesia dan laut teritorialnya adalah 3,1 juta kilometer persegi (diukur 12 mil
dari garis pangkal pada surut terendah), sedangkan luas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE)
yang dimiliki adalah 2,7 juta kilometer persegi yang menyangkut hak eksplorasi,
eksploitasi dan pengelolaan sumberdaya hayati dan non hayati. Menurut Undang-Undang
RI nomor 5 tahun 1983, batas terluar ZEE adalah 200 mil dari garis pangkal pada surut
rendah (low water line). Dengan demikian, total luas keseluruhan Kepulauan Indonesia dan
perairannya termasuk ZEE adalah 5,8 juta kilometer persegi. Secara geografis, Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memiliki batas laut dengan 10 (sepuluh) negara
yakni: a. India di ujung utara Sumatera (dengan Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam,
dimana pulau terluarnya yaitu Pulau Raya, Pulau Rusa, Pulau Benggala, Pulau Rondo); b.
Malaysia disepanjang Selat Malaka (berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara,
Kepulauan Riau, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur), dengan pulau yang merupakan
titik terluar adalah Pulau Berhala di Sumatera Utara, Pulau Anambas di Provinsi Riau,
Pulau Sebatik di Provinsi Kalimantan Timur); c. Singapura disepanjang Selat Philip,
dimana pulau terluarnya adalah Pulau Nipa (Provinsi Riau); d. Thailand dibagian Utara
Selat Malaka dan Laut Andaman (pulau terluarnya adalah Pulau Rondo (Provinsi NAD); e.

TERBATAS
TERBATAS
5

Vietnam didaerah Laut Cina Selatan dengan pulau terluarnya adalah Pulau Sekatung
(Provinsi Riau Kepulauan, Kabupaten Natuna); f. Philipina di daerah utara Selat Makasar,
dengan pulau-pulau terluarnya adalah Pulau Marore dan Miangas yang terletak di Provinsi
Sulawesi Utara; g. Republik Palau di daerah utara Laut Halmahera, dimana pulau
terluarnya adalah Pulau Fani, Fanildo dan Bras (Provinsi Papua); h. Australia disekitar
selatan Pulau Timor dan Pulau Jawa; i. Timor Leste disekitar wilayah Maluku dan NTT
dengan pulau terluarnya adalah P Asutubun (Provinsi Maluku), Pulau Batek (Provinsi
NTT), Pulau Wetar (Provinsi Maluku); j. Papua Nugini disekitar wilayah Jayapura dan
Merauke (tidak memiliki pulau terluar).

Perkembangan lingkungan sangat mempengaruhi kepentingan-kepentingan suatu


negara dalam memanfaatkan potensi kelautan dan isinya. Kecenderungan terjadinya
konflik akibat pelanggaran perbatasan laut masih sering terjadi. Setiap pelanggaran yang
mengindikasikan timbulnya kemungkinan perselisihan atau sengketa antar negara
sangat memiliki dampak yang luas, sehingga perlu dilakukan berbagai alternatif
pemecahannya antara lain dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu penyelesaian secara
damai dan penyelesaian secara paksa. Penyelesaian Secara Damai, antara lain : a.
Sengketa legal dan sengketa politis. Perselisihan/sengketa internasional dapat timbul dari
bermacam-macam sebab, dan sengketa-sengketa tersebut pada umumnya dapat
digolongkan menjadi dua, yaitu sengketa-sengketa hukum yang politis. Yang dimaksudkan
dengan perselisihan/sengketa “hukum” adalah sengketa-sengketa dimana pihak-pihak
terlibat mendasarkan tuntutan-tuntutan dan sengketa-sengketa dimana pihak-pihak terlibat
mendasarkan tuntutan-tuntutan dan sengketa-sengketa pada dasar-dasar yang diakui oleh
Hukum Internasional. Perselisihan/sengketa-sengketa yang lainnya umumnya disebut
sebagai “politis” atau sebagai “konflik-konflik kepentingan-kepentingan”. Perbedaan
kedua jenis sengketa tersebut juga sering disebut sebagai yang dapat diadili dan yang tidak
dapat diadili; atau yang tertuju pada “hak-hak” dan konflik-konflik kepentingan-
kepentingan”. Meskipun perbedaan kedua jenis sengketa-sengketa tersebut adalah penting
untuk keperluan-keperluan praktis, tetapi hal tersebut adalah masih diragukan apakah
sesuai perjanjian untuk keharusan penyelesaian secara damai dapat menetapkan sengketa-
sengketa mana yang dapat diadili sesuai hukum yang mengikat ataupun sesuai prosedur-
prosedur perwasitan (scheidrechterlijk); b. Perundingan (Negosiasi). Cara-cara yang
paling sederhana dalam menyelesaikan sengketa antar negara serta yang sebagai kebiasaan

TERBATAS
TERBATAS
6

dilakukan oleh negara-negara sebelum menggunakan cara-cara lain ialah dengan cara
perundingan. Perundingan adalah langkah pertama untuk menyelesaikan sengketa-
sengketa internasional dan bagian terbesar perjanjian-perjanjian mengenai penyelesaian
damai mengakui serta menerimanya; c. Jasa-jasa baik dan perantara pendamai. Bila
pihak yang berselisih tidak suka menyelesaikan perbedaan-perbedaan pendapatnya dengan
perundingan, atau bilamana perundingan-perundingan tidak menghasilkan saling
pengertian, sebuah negara ketiga bisa mengusahakan penyelesaian melalui jasa-jasa
baiknya (good offices) atau perantaranya untuk mendamaikan (mediation). Bantuan
tersebut bisa diadakan karena permintaan salah satu atau kedua belah pihak yang
bersengketa ataupun karena atas inisiatifnya sendiri. Perantaraan secara kolektif juga bisa
dilakukan oleh beberapa negara. Seperti dalam bulan Agustus 1947 maka Dewan
Keamanan PBB mengajukan jasa-jasa baiknya untuk penyelesaian secara damai sengketa
antara Republik Indonesia dengan Kerajaan Belanda, sehingga dalam bulan Nopember
1947 ditentukan komisi jasa-jasa baik yang terdiri dari Belgia, Australia dan Amerika
Serikat; d. Konsiliasi/Mempertemukan (conciliation). Konsiliasi adalah proses
penyelesaian sengketa dengan melalui suatu komisi yang terdiri dari orang-orang dengan
tugas untuk mencari kejelasan fakta-fakta dan (umumnya setelah mendengarkan pihak-
pihak yang bertentangan dan setelah berusaha mencapai suatu persesuaian) membuat
laporan yang berisikan saran-saran penyelesaiannya, tetapi yang tidak mengikat. Secara
historis, konsiliasi dapat dianggap suatu pengembangan/penyelesaian di luar komisi-komisi
internasional Commissions of Inquiry dan lain-lain. Sebanarnya konsiliasi berada diantara
proses oleh komisi-komisi internasional tadi dan proses arbitrasi dan penyelesaian dengan
jalan hukum. Perbedaannya dengan Commissioins of Inquiry terletak dalam tujuan
utamanya, yaitu commissioins ini bertugas menerangkan fakta-fakta dengan harapan
setelah itu pihak-pihak yang berselisih dapat menyelesaian perselisihannya/sengketanya
secara langsung/tanpa perantara; sedangkan tujuan utama konsiliasi ialah jasa-jasa komisi
perorangan yang secara aktif mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa sampai
didapatkan persetujuan; e. Arbitrasi (Penengahan). Arbitrasi berarti penentuan
penyelesaian perselisian/sengketa antara negara melalui keputusan legal dari satu (umpire)
atau lebih, ataupun pengadilan/mahkamah yang dipilih oleh pihak-pihak yang bersengketa
di luar Mahkamah Internasional; f. Penyelesaian peradilan/hukum (Mahkamah
Internasional). Mahkamah Arbitrasi yang bersipat permanen di Den Haag tidaklah bisa
dianggap sebagai mahkamah peradilan dalam pengertian yang bisa. Hal tersebut,

TERBATAS
TERBATAS
7

disebabkan, karena pertama-tama ia bukan merupakan pengadilan yang menentukan, tetapi


hanya suatu daftar yang bisa dipilih oleh pihak-pihak yang bersengketa dan dengan itu
menyusun pengadilan. Dan keduanya, karena arbitrator dipilih oleh pihak-pihak yang
bersengketa untuk tiap-tiap peristiwa, maka dalam banyak hal terdapatlah berlain-lainan
orang yang bertindak sebagai arbitrator, sehingga tidak terdapat kontinuitas dalam
administrasinya; g. Konsoliasi dalam hubungan dengan arbitrasi dan penyelesaian hukum.
Sistem perjanjian-perjanjian yang telah berkembang untuk menyelesaikan sengketa-
sengketa internasional secara damai ialah; bahwa arbitrasi dan penyelesaian hukum adalah
hanya sesuai untuk jenis pertentangan/ persengketaan “hukum” (“yang dapat diadili”).
Karenanya telah berkembang kecenderungan untuk mendapatkan cara, guna penyelesaian
damai terhadap semua jenis sengketa; h. PBB dan penyelesaian sengketa. Para negara
anggota liga Bangsa-Bangsa berjanji untuk tidak memulai suatu perang dalam
menyelesaikan sengketa antar negara, sebelum menyerahkan sengketanya kepada
penyelesaian kepada penyelesaian sesuai prosedur yang telah ditentukan oleh perjanjian.
Juga mereka menerima untuk bertindak sesuai yang direkomendasikan oleh Dewan atau
Sidang. Dalam PBB, maka terutama Dewan Keamanan adalah alat utama untuk
penyelesaian sengketa dan memiliki kekuasaan-kekuasaan untuk : (1) Investigasi, (2)
konsoliasi dan mediasi, (3) rekomendasi mengenai prosedur dan cara penyelesaiannya, (4)
menyuruh dan memaksakan cara-cara penyelesaian; i. Pengurangan dan pembatasan
persenjataan. Masalah pengurangan dan pembatasan persenjataan adalah sangat erat
hubungannya dengan mekanisme penyelesaian sengketa-sengketa secara damai. Apa yang
oleh umum dikenal sebagai “perlucutan senjata” pada dasarnya bukanlah meniadakan sama
sekali persetujuan suatu atau beberapa negara; akan tetapi pengurangan dan pembatasan
berarti suatu usaha pengurangan persenjataan sampai batas-batas terendah tertentu yang
masih sepadan dengan kebutuhan keselamatan nasional negara dan sepadan dengan
pemenuhan tugas-tugas internasional. Penyelesaian Paksa, cara-cara paksa dalam
penyelesaian sengketa-sengketa/ perselisihan antar negara adalah tindakan-tindakan
paksaan tertentu yang dilakukan oleh suatu (beberapa) negara dengan tujuan agar negara-
negara lain menyetujui suatu penyelesaian sengketa (pertentangan/ perselisihan),
sebagaimana yang dituntut oleh pihak yang tersebut pertama. Terdapat empat cara yang
berbeda, yaitu : a . Retorsi. Retorsi adalah istilah teknis untuk “pembalasan dengan
tindakan-tindakan yang sama atau sejenis” terhadap tindakan-tindakan yang dianggap tidak
sopan tidak selaras, tidak jujur atau tidak adil. Tindakan, terhadap mana dilakukan

TERBATAS
TERBATAS
8

pembalasan tersebut bukanlah merupakan suatu tindak tidak berdasarnya berdasarkan


hukum (“legal wrongs”). Tetapi setiap negara dapat melakukan berbagai tindakan
legislatif, administratif ataupun hukum, yang berupa tindakan-tindakan tidak bersahabat
terhadap negara lain atau tidak jujur atau adil, meskipun tindakan-tindakan tersebut secara
internasional tidak merupakan tindakan tidak berdasarkan hukum. Bilamana negara yang
menjadi korban dalam perlakuan tersebut mengganggu tindakan-tindakannya terhadap
tidak bisa diterima, maka terjadilah perselisihan politik, yang bisa diselesaikan dengan
retorsi; b. Represaille (tindak pembalasan). Represaille adalah tindakan negara terhadap
negara lain yang sangat merugikan dan juga secara internasional adalah tidak
berdasarkan hukum. Selain itu represaille secara luar biasa sangat diijinkan dengan
tujuan untuk memaksakan suatu persetujuan dari negara lain, guna menyelesaikan suatu
sengketa secara memuaskan yaitu sengketa yang disebabkan pelanggaran internasional
/hukum oleh pihak tersebut terakhir; c. Blokade damai. d. Intervensi. f. Penyelesaian
paksa antara anggota PBB; g. Penyelesaian paksa oleh PBB dan pemakaian dari pada
piagam. (Hanjar)

Kewajiban untuk tukar menukar pendapat bila timbul sengketa antar negara
(Pasal 283 UNCLOS 1982). Bila pihak yang berselisih tidak suka menyelesaikan
perbedaan-perbedaan pendapatnya dengan perundingan, atau bilamana perundingan-
perundingan tidak menghasilkan saling pengertian, sebuah negara ketiga bisa
mengusahakan penyelesaian melalui jasa-jasa baiknya (good offices) atau perantaranya
untuk mendamaikan (mediation). Bantuan tersebut bisa diadakan karena permintaan salah
satu atau kedua belah pihak yang bersengketa ataupun karena atas inisiatifnya sendiri.
Perantaraan secara kolektif juga bisa dilakukan oleh beberapa negara. Seperti dalam bulan
Agustus 1947 maka Dewan Keamanan PBB mengajukan jasa-jasa baiknya untuk
penyelesaian secara damai sengketa antara Republik Indonesia dengan Kerajaan Belanda,
sehingga dalam bulan Nopember 1947 ditentukan komisi jasa-jasa baik yang terdiri dari
Belgia, Australia dan Amerika Serikat. Dalam Konvensi Den Haag untuk penyelesaian
Damai daripada Sengketa-sengketa Internasional disebutkan antara lain : a. Bahwa negara-
negara ketiga yang tidak ada hubungannya dalam suatu sengketa berhak mengajukan jasa-
jasa baiknya atau perantaraannya, dan hal tersebut tidak boleh dianggap sebagai tindak
permusuhan; b. Jasa-jasa baik dan perantaraan bersifat sopan dan tidak mengikat; c.
Penerimaan suatu perantaraan tidak bertujuan mengganggu, menghambat atau
mengganggu mobilisasi atau tindakan militernya, bilamana perang telah pecah sebelum
diterimanya persiapan perang lainnya ataupun operasi-operasi perantaraan; terkecuali
bilamana suatu persetujuan telah menetapkan yang lain (hal yang sebaliknya). Perlu

TERBATAS
TERBATAS
9

diingat bahwa nilai daripada jasa-jasa baik dan perantaraannya untuk penyelesaian secara
baik konflik-konflik internasional adalah besar sekali. Karenanya, maka dalam Piagam
PBB juga disebutkan bahwa setiap negara anggota maupun Sekretariat Jenderal PBB.
Untuk menyelesaikan setiap sengketa atau setiap situasi. Yang bisa menjurus ke arah
keretakan internasional atau menyebabkan suatu persengketaan, dengan mengajukan
kepada Dewan Keamanan atau sidang umum. (Hanjar)

Dari uraian diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa laut, khususnya ZEEI
sebagai suatu bagian wilayah yang menjadi tanggung jawab suatu negara tertentu memiliki
eksistensi yang spesifik dan memerlukan pengaturan secara tersendiri disesuaikan dengan
situasi dan kondisi yang ada di lingkungan laut itu sendiri. Sejarah perkembangan hukum
laut sudah membuktikan adanya kekhususan eksistensi laut sebagai suatu bagian wilayah
yang menjadi tanggung jawab suatu negara, yaitu dapat dilihat dari penetapan bagian
wilayah laut sebagai bagian wilayah suatu negara yang didasarkan pada kesepakatan
bersama negara-negara sebagai akibat dari adanya kepentingan negara yang bersangkutan.
Kekhususan eksistensi laut, khususnya ZEEI ini adalah wilayah tersebut berawal dari
wilayah bersama semua bangsa, yang kemudian karena adanya kepentingan keamanan
lingkungan laut secara bersama, disamping kepentingan lain negara-negara pantai dan
negara-negara kepulauan, timbul kesepakatan untuk memberikan kedaulatan, hak dan
kewajiban atas bagian wilayah laut tertentu sesuai dengan rezim hukum yang berlaku.
Disini arti kedaulatan melekat penegakan hukum, dimana bagi Indonesia penegakan
hukum untuk terselenggaranya kedaulatan di ZEEI belum didukung peraturan perundang-
undangan secara penuh, dalam arti baru diatur tentang bagaimana memeriksa dan
membawa/mengawal kapal yang berdasarkan bukti kuat telah melakukan kegiatan yang
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sementara
untuk proses pembuktian sampai dengan pengajuan tuntutan perkara ke pengadilan dan
pelaksanaan putusan hakim masih bergantung pada pengaturan KUHAP yang dapat
dikatakan kurang relevan bagi penegakan hukum di ZEEI.

TERBATAS

Anda mungkin juga menyukai