Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Negara Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan (archipelagic state) yang terdiri dari lebih dari
17.000 pulau dengan kekayaan alam melimpah di berbagai sektor sumber daya alam.[1] Selain negara
kepulauan Indonesia merupakan negara kelautan dan wilayah perairannya lebih luas daripada wilayah
daratannya, Indonesia sendiri mempunyai perairan laut seluas 5,8 juta km2 yang terdiri dari perairan
kepulauan dan teritorial seluas 3,1 juta km2 serta perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI)
seluas 2,7 juta km2 dengan potensi lestari sumber daya ikan sebesar 6.11 juta ton per tahun.[2] Yang
mana dalam perairan kepulauan, perairan teritorial maupun zona Ekonomi Eksklusif memiliki banyak
kekayaan alam hayati maupun non hayati yang dapat dimanfaatkan bagi kebutuhan suatu bangsa untuk
mencapai kesejahteraan warga negaranya.

Zona Ekonomi Eklusif (ZEE) sendiri adalah zona yang luasnya 200 mil dari garis dasar pantai, sebuah
negara pantai mempunyai hak atas kekayaan alam di dalamnya, dan berhak menggunakan kebijakan
hukumnya, kebebasan bernavigasi, terbang di atasnya, ataupun melakukan penanaman kabel dan pipa.
Selain negara berpantai yang mempunyai hak atas Zona Ekonomi Eklusif (ZEE), negara-negara lain,
negara-negara tak berpantai, dan negara-negara yang secara geografis tak beruntung juga memiliki hak
atas Zona Ekonomi Eksklusif tersebut.

Konsep dari ZEE muncul dari kebutuhan yang mendesak. Sementara akar sejarahnya berdasarkan pada
kebutuhan yang berkembang semenjak tahun 1945 untuk memperluas batas jurisdiksi negara pantai
atas lautnya, sumbernya mengacu pada persiapan untuk UNCLOS III. Konsep dari ZEE telah jauh
diletakan di depan untuk pertama kalinya oleh Kenya pada Asian-African Legal Constitutive Committee
pada Januari 1971, dan pada Sea Bed Committee PBB di tahun berikutnya. Proposal Kenya menerima
support aktif dari banyak Negara Asia dan Afrika. Dan sekitar waktu yang sama banyak Negara Amerika
Latin mulai membangun sebuah konsep serupa atas laut patrimonial. Dua hal tersebut telah muncul
secara efektif pada saat UNCLOS dimulai, dan sebuah konsep baru yang disebut ZEE telah dimulai.

Ketentuan utama dalam Konvensi Hukum Laut yang berkaitan dengan ZEE terdapat dalam bagian ke-5
konvensi tersebut. Sekitar tahun 1976 ide dari ZEE diterima dengan antusias oleh sebagian besar
anggota UNCLOS, mereka telah secara universal mengakui adanya ZEE tanpa perlu menunggu UNCLOS
untuk mengakhiri atau memaksakan konvensi.
Penetapan universal wilayah ZEE seluas 200 mil akan memberikan setidaknya 36% dari seluruh total
area laut. Walaupun ini porsi yang relatif kecil, di dalam area 200 mil yang diberikan menampilkan
sekitar 90% dari seluruh simpanan ikan komersial, 87% dari simpanan minyak dunia, dan 10% simpanan
mangan. Lebih jauhnya, sebuah porsi besar dari penelitian scientific kelautan mengambil tempat di jarak
200 mil dari pantai, dan hampir seluruh dari rute utama perkapalan di dunia melalui ZEE negara pantai
lain untuk mencapai tujuannya. Melihat begitu banyaknya aktifitas di zona ZEE untuk mengambil
manfaat di zona tersebut, keberadaan pengaturan dari ZEE dalam Konvensi Hukum Laut menjadi sangat
penting adanya.[3]

Manfaat dan aktivitas yang terdapat dalam ZEE sangat besar dan merupakan penghasil keuntungan bagi
suatu negara, pengolahan dan implementasi penegekan hukum pada zona tersebut menjadi mutlak
adanya. Indonesia yang juga merupakan negara kelautan yang batas-batas wilayah kelautan Indonesia
dengan negara-negara lain lebih mendominasi daripada batas-batas wilayah darat. Beberapa negara
yang berbataskan langsung dengan Indonesia melalui laut adalah India, Thailand, Singapura, Malaysia,
Vietnam, Thailand, Filipina, Republik Palau, Timor Leste, Papua Nugini, dan Australia. Dari negara-negara
di atas, Malaysia, Papua Nugini, dan Timor Leste adalah dua negara yang berbatasan langsung dengan
Indonesia via darat.

Rezim hukum internasional melalui United Nations Convention Law of The Sea 1982 (UNCLOS
1982) telah menentukan batas-batas kelautan sebuah negara. Batas-batas ini menjadi tolok ukur bagi
sebuah negara dalam menentukan batas wilayah kelautan terluar. UNCLOS 1982 menetapkan bahwa
zona maritim terdiri dari zona laut teritorial sejauh 12 mil, zona tambahan atau contiguous zone sejauh
24 mil, dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sejauh 200 mil. Semua jarak ini dihitung dari batas darat/pulau
terluar dari sebuah negara (baselines).[4]

Berbeda dengan perbatasan darat yang lebih definitif pematokan ukuran dan batas-batasnya, ukuran
dan batas-batas kelautan dalam prakteknya seringkali berbeda antar satu negara dengan negara lain
meskipun sudah ada UNCLOS 1982. Dari ketiga zona maritim di atas, boleh dikatakan bahwa hanya zona
laut teritorial saja yang mutlak diakui sebagai batas kedaulatan sebuah negara. Itupun diakui sepanjang
tidak bersinggungan dengan kedaulatan negara lain. Sementara itu, kedaulatan negara pada jarak
maksimal zona tambahan (24 mil) dan ZEE (200 mil) ada sepanjang tidak bersinggungan dengan batas
kelautan negara tetangga dan sesuai dengan yang disepakati oleh antar negara melalui perjanjian
bilateral atau multilateral (maritime boundaries agreement). Apabila perjanjian tadi tidak ada, potensi
munculnya konflik atau sengketa perbatasan kelautan dipastikan akan ada karena ZEE sendiri
merupakan zona yang memiliki kekayaan yang bermanfaat bagi suatu negara.[5]
B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Pengaturan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di Indonesia?

2. Apakah Manfaat Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) bagi Indonesia?

3. Bagaimana Pengolahan, Pengawasan, Pencegahan Pelanggaran dan Implementasi Penegakan


Hukum di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di wilayah Indonesia?

C. TUJUAN

1. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana Pengaturan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di
Indonesia.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis apakah manfaat Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) bagi Indonesia.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana Pengolahan, Pengawasan, Pencegahan


Pelanggaran dan Implementasi Penegakan Hukum di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di wilayah Indonesia.
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGATURAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF (ZEE) DI INDONESIA

1. Pengertian ZEE

Menurut Konvensi Hukum Laut yang baru, yang dimaksud dengan ZEE adalah: “The exlusive Economic
Zone is a are a beyond and adjacent to the territorial sea, subject to the specific legal rezim established
in this part under which the rights and jurisdiction of the coastal State and the rights and freedom of
other States are governed by the relevant provisions of this Convention”.[6]

Dalam UNCLOS 1982 dinyatakan bahwa ZEE adalah jalur diluar dan dengan laut wilayah, yang tunduk
kepada rezim hukum khusus sebagaimana yang ditetapkan pada bagian ini yang meliputi hak-hak dan
yurisdiksi negara pantai dan hak-hak serta kebebasan-kebebasan dari pada Negara-negara lain yang
ditentukan sesuai dengan konvensi ini. Kemudian batasan yang hampir dengan ketentuan pasal tersebut
di atas adalah batasan yang diberikan oleh Pasal 2 UU No. 5 tahun 1983, yang menetapkan bahwa. “ZEE
Indonesia adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan
berdasarkan undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah
dibawahnya dan air diatasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis pangkal laut
wilayah Indonesia.”[7]

2. Perkembangan ZEE

Latar belakang lahirnya konsepsi zona ekonomi eksklusif tidak terlepaskan dari tindakan sepihak
Amerika Serikat dalam bentuk Proklamasi Truman Tahun 1945. Klaim Negara-negara Amerika Latin
dalam mengikuti tindakan Amerika Serikat ini, seperti Chli, Peru Dan Equador sudah jauh menyimpang
dari pengertian “continental shelf” dalam arti geologis. Negara-negara ini bukan saja menuntut
perluasan yurisdiksi yang ditujukan kepada penguasaan kekayaan alamnya yang terdapat di dasar laut
dan tanah di bawahnya, tetapi juga meliputi perairan diatasnya. Pada waktu berlangsungnya Konferensi
Hukum Laut PBB I di Jenewa Tahun 1958, Peru, negara-negara Amerika Latin mengajukan usul yang
dinamakan “economic zone”. Tetapi usul Peru ini tidak mendapat tanggapan yang menggembirakan
karena pada waktu itu negara-negara peserta mengangagapnya terlalu ekstrim. Dan oleh Peru usul
“economic zone” ini mendapat dukungan negara-negara Afrika dan pada waktu negara-negara Afrika
mengadakan seminar di Yaounda salah satu keputusannya berisi dukungan terhadap“economic zone”.
Selain mendapat dukungan negara-negara sedang berkembang, konsepsi “economic zone” mulai
menarik dukungan negara-negara maju, seperti Kanada dan Norwegia. Walaupun pada mulanya negara
Amerika Serikat, Uni Soviet dan negara-negara tak berpantai (“land locked countries”) serta negara-
negara yang secara geografis tidak beruntung (“geographically disadvantages”) menentang konsepsi ini,
tetapi pada kenyataannya konsepsi “economic zone”dianggap sebagai usul yang dikompromikan dengan
diterimanya konsepsi ini sebagai suatu rejim hukum baru dalam Hukum Laut Internasional yang terdapat
pengaturannya dalam Konvensi Hukum Laut 1982.

Sedangkan di Indonesia konsep tentang zona ekonomi eksklusif diawali dengan paham wawasan
nusantara yang termuat dalam Deklarasi Djuanda 1957 yang kemudian dituangkan dalam UU No
4/Prp./1960 tentang Perairan, yang menyatakan bahwa Teritorriale Zee en Maritieme Kringen
Ordonantie 1939 diganti dengan Wawasaan Nusantara atau Archipelago Principle. Paham ini
diperjuangkan dalam berbagai konferensi laut internasional antara lain dalam Konferensi Jenewa tahun
1977. Konferensi ini berhasil menyusun konsep satu paket persetujuan umum, yang dikenal sebagai
Informal Compesite Negotiating Text (ICNT). Walau bukan persetujuan resmi, namun ICNT menjadi
referensi penting dalam perundingan-perundingan selanjutnya mengenai hukum laut. Dalam konferensi
itu, telah diakui prinsip wilayah laut territorial yang lebarnya 12 mil ditambah 188 mil Zona Ekonomi,
sehingga seluruhnya berjumlah 200 mil dihitung dari garis dasar laut negara bersangkutan. Kemudian
pengumuman tentang zona ekonomi eksklusif Indonesia dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia tanggal
21 Maret 1980.[8]

Salah satu perbedaan yang radikal antara hukum laut klasik dan hukum baru tercermin dalam prinsip
zona ekonomi eksklusif (ZEE). Dalam hal ini perlu dikemukakan beberapa hal beberapa hal mengenai
jalannya perundingan yang mengakibatkan timbulnya perubahan ini.

Dalam pembukuan Konvensi Hukum laut III tampak adanya dua kubu yang berbeda. Banyak negara
(khususnya negara-negara yang sedang berkembang) menunjukkan dirinya sebagai pembela kelompok
yang menghendaki suatu perluasan hak negara pantai secara drastis, di pihak lain (khususnya negara-
negara industri) menginginkan sesedikit mungkin pengurangan kebebasan di laut lepas. Seperti
biasanya, pendirian ini didasari oleh kepentingan masing-masing. Negara-negara yang sedang
berkembang mengharapkan untungan yang lebih besar daripada eksploitasi perairan sekitar pantainya,
misalnya dengan mensyaratkan semacam pembayaran kepada kapal-kapal ikan asing. Sementara itu,
negara-negara industri memiliki kepentingan untuk tetap mempertahankan kebebasan seluas mungkin
karena bagaimanapun juga mereka memiliki kemampuan teknologi dan modal untuk menggunakan
kebebasan tersebut secara efektif.

Pada pembukaan Konvensi Hukum Laut III tersebut, dua pendapat yang sangat ekstrem yakni di satu
pihak berupa usul yang menginginkan ditetapkannya lebar laut teritorial 3 mil dengan hak perikannan
yang terbatas bagi negara pantaibdi luar batas laut teritorial tersebut, sedangkan di pihak lain ada suatu
usul yang menghendaki perluasan laut teritorial sampai 200 mil dari pantai. Akhirnya dicapai suatu
kompromi yang menetapkan lebar laut teritorial 12 mil dan di luar itu terdapat zona ekonomi eksklusif
yang lebarnya tidak boleh melebihi 200 mil laut dari pantai.[9]

3. Pengaturan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dalam UNCLOS 1982


Zona Ekonomi eksklusif dalam UNCLOS 1982 diatur dalam BAB V mengenai Zona Ekonomi Eksklusif
tepatnya pada Pasal 55 sampai Pasal 75.

3.1.Pengertian Zona Ekonomi Ekslusif

Dalam pasal 55 dinyatakan bahwa Zona ekonomi eksklusif adalah suatu daerah di luar dan
berdampingan dengan laut teritorial, yang tunduk pada rejim hukum khusus yang ditetapkan dalam Bab
ini berdasarkan mana hak-hak dan yurisdiksi Negara pantai dan hak-hak serta kebebasan-kebebasan
Negara lain, diatur oleh ketentuan-ketentuan yang relevan Konvensi ini.

3.2. Pengaturan hak dan kewajiban

a. Hak-hak, yurisdiksi dan kewajiban Negara pantai dalam zona ekonomi eksklusif

Hak-hak ini dijelaskan dalam Pasal 56 UNCLOS 1982:

1. Dalam zona ekonomi eksklusif, Negara pantai mempunyai :

(a) Hak-hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber
kekayaan alam, baik hayati maupun non-hayati, dari perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut dan
tanah di bawahnya dan berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi
ekonomi zona tersebut, seperti produksi energi dari air, arus dan angin;

(b) Yurisdiksi sebagaimana ditentukan dalam ketentuan yang relevan Konvensi ini berkenaan dengan :

(i) pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi dan bangunan;

(ii) riset ilmiah kelautan;

(iii) perlindungan dan pelestarian lingkungan laut;

(c) Hak dan kewajiban lain sebagaimana ditentukan dalam Konvensi ini.

2. Di dalam melaksanakan hak-hak dan memenuhi kewajibannya berdasarkan Konvensi ini dalam
zona ekonomi eksklusif, Negara Pantai harus memperhatikan sebagaimana mestinya hak-hak dan
kewajiban Negara lain dan harus bertindak dengan suatu cara sesuai dengan ketentuan Konvensi ini.

3. Hak-hak yang tercantum dalam pasal ini berkenaan dengan dasar laut dan tanah di bawahnya
harus dilaksanakan sesuai dengan Bab VI.

b. Hak-Hak Dan Kewajiban Negara Lain Di Zona Ekonomi Eksklusif

Hak-hak dan kewajiban Negara lain di zona ekonomi eksklusif dIjelaskan dalam Pasal 58 UNCLOS 1982

1. Di zona ekonomi eksklusif, semua Negara, baik Negara berpantai atau tak berpantai,
menikmati, dengan tunduk pada ketentuan yang relevan Konvensi ini, kebebasan kebebasan pelayaran
dan penerbangan, serta kebebasan meletakkan kabel dan pipa bawah laut yang disebut dalam pasal 87
dan penggunaan laut lain yang sah menurut hukum internasional yang bertalian dengan kebebasan-
kebebasan ini, seperti penggunaan laut yang berkaitan dengan pengoperasian kapal, pesawat udara,
dan kabel serta pipa di bawah laut, dan sejalan dengan ketentuan-ketentuan lain Konvensi ini.

2. Pasal 88 sampai 115 dan ketentuan hukum internasional lain yang berlaku diterapkan bagi zona
ekonomi eksklusif sepanjang tidak bertentangan dengan Bab ini.

3. Dalam melaksanakan hak-hak memenuhi kewajibannya berdasarkan Konvensi ini di zona


ekonomi eksklusif, Negaranegara harus memperhatikan sebagaimana mestinya hak-hak dan kewajiban
Negara pantai dan harus mentaati peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Negara pantai
sesuai dengan ketentuan Konvensi ini dan peraturan hukum internsional lainnya sepanjang ketentuan
tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan Bab ini.

c. Hak Negara-Negara Tak Berpantai

Hak Negara-negara tak berpantai dijelaskan dalam Pasal 69

1. Negara tak berpantai mempunyai hak untuk berperan serta atas dasar keadilan, dalam eksploitasi
bagian yang pantas dari kelebihan sumber kekayaan hayati zona ekonomi eksklusif Negara-negara
pantai dalam sub-region atau region yang sama, dengan memperhatikan keadaan ekonomi dan geografi
yang relevan semua Negara yang berpentingan dan sesuai dengan ketentuan pasal ini dan pasal-pasal 61
dan 62.

2. Persyaratan dan cara peran serta demikian akan ditetapkan oleh Negara-negara yang
berkepentingan melalui perjanjian bilateral, sub-regional atau regional dengan memperhatikan, inter
alia :

(a) kebutuhan untuk menghindari akibat yang merugikan bagi masyarakat nelayan atau industri
penangkapan ikan Negara pantai;

(b) sejauh mana Negara tak berpantai tersebut, sesuai dengan ketentuan pasal ini, berperan serta
atau berhak untuk berperan serta berdasarkan perjanjian bilateral, sub-regional atau regional yang ada
dalam mengeksploitasi sumber kekayaan hayati zona ekonomi eksklusif Negara-negara pantai lainnya;

(c) sejauh mana Negara tak berpantai lainnya dan Negara yang secara geografis tak beruntung
berperan serta dalam eksploitasi sumber kekayaan hayati zona ekonomi eksklusif Negara pantai
tersebut dan kebutuhan yang timbul karenanya untuk menghindari suatu beban khusus bagi suatu
Negara pantai tertentu atau suatu bagian dari padanya;

(d) kebutuhan gizi penduduk masing-masing Negara.

3. Bilamana kapasitas tangkap suatu Negara pantai mendekati suatu titik yang memungkinkan
Negara itu untuk menangkap seluruh jumlah tangkapan yang diperbolehkan dari sumber kekayaan
hayati di zona ekonomi eksklusifnya, maka Negara pantai dan Negara-negara lain yang berkepentingan
harus bekerjasama dalam menetapkan pengaturan yang adil atas dasar bilateral, sub-regional atau
regional untuk memperbolehkan peran serta Negara-negara berkembang tak berpantai di sub-region
atau region yang sama dalam suatu eksploitasi sumber kekayaan hayati di zona ekonomi eksklusif
Negara-negara pantai di dalam sub-region atau region sebagaimana layaknya dengan memperhatikan
kepada dan atas dasar persyaratan yang memuaskan bagi semua pihak. Dalam pelaksanaan ketentuan
ini faktor-faktor yang disebut dalam ayat 2 juga harus diperhatikan.

4. Negara maju tak berpantai, berdasarkan ketentuan pasal ini, berhak untuk berperan serta dalam
eksploitasi sumber kekayaan hayati hanya dalam zona ekonomi eksklusif Negara pantai yang maju dalam
sub-region atau region yang sama dengan memperhatikan sejauh mana Negara pantai, dalam
memberikan kesempatan kepada Negara lain untuk memanfaatkan sumber kekayaan hayati di zona
ekonomi eksklusifnya, telah memperhatikan kebutuhan untuk memperkecil akibat yang merugikan bagi
masyarakat nelayan dan dislokasi ekonomi di Negara yang warganegaranya telah bisa menangkap ikan
dalam zona tersebut.

5. Ketentuan di atas adalah tanpa mengurangi arti pengaturan yang disepakati di sub-region atau
region dimana Negara pantai dapat memberikan kepada Negara-negara tak berpantai dalam sub-region
dan region yang sama hak-hak yang sama atau yang didahulukan untuk eksploitasi sumber kekayaan
hayati di zona ekonomi eksklusif.

d. Hak Negara yang secara geografis tak beruntung

Hak Negara yang secara geografis tak beruntung dijelaskan dalam Pasal 70

1. Negara yang secara geografis tak beruntung mempunyai hak untuk berperan serta, atas dasar yang
adil, dalam eksploitasi suatu bagian yang layak dan surplus sumber kekayaan hayati zona ekonomi
eksklusif Negara-negara pantai di subregion atau region yang sama, dengan memperhatikan keadaan
ekonomi dan geografis yang relevan dari semua Negara yang berkepentingan dan sesuai dengan
ketentuan-ketentuan pasal ini dan pasal-pasal 61 dan 62.

2. Untuk tujuan Bab ini, “Negara yang secara geografis tak beruntung” berarti Negara pantai,
termasuk Negara yang berbatasan dengan laut tertutup atau setengah tertutup, yang letak geografisnya
membuatnya tergantung pada eksploitasi sumber kekayaan hayati zona ekonomi eksklusif Negara lain di
sub-region atau region untuk persediaan ikan yang memadai bagi keperluan gizi penduduknya atau
bagian

3. Persyaratan dan cara peran serta demikian harus ditetapkan oleh Negara-negara yang
bersangkutan melalui persetujuan bilateral, sub-region atau regional dengan memperhatikan, inter alia :

(a) kebutuhan untuk menghindari akibat yang merugikan bagi masyarakat nelayan atau industri
Penangkapan ikan Negara Pantai;
(b) sampai sejauh mana negara yang secara geografis tak beruntung, sesuai dengan ketentuan pasal
ini, berperan serta atau berhak untuk berperan serta berdasarkan persetujuan bilateral, sub-regional
atau regional yang ada dalam eksploitasi sumber kekayaan hayati di zona ekonomi eksklusif Negara
pantai lain;

(c) sampai sejauh mana Negara yang secara geografis tak beruntung lainnya dan Negara tak berpantai
berperan serta dalam eksploitasi sumber kekayaan hayati zona ekonomi eksklusif Negara pantai dan
kebutuhan yang timbul karenanya untuk menghindari suatu beban khusus bagi suatu Negara pantai
tertentu atau satu bagian dari padanya;

(d) kebutuhan gizi penduduk masing-masing Negara.

4. Bilamana kapasitas tangkap suatu Negara pantai mendekati suatu titik yang memungkinkan
Negara itu untuk memanfaatkan seluruh jumlah tangkapan yang diperbolehkan dari sumber kekayaan
hayati di zona ekonomi eksklusif, maka Negara pantai dan negara lain yang berkepentingan harus
bekerjasama untuk menetapkan pengaturan yang adil, atas dasar bilateral, sub-regional atau regional
untuk memperbolehkan peran serta Negara-negara berkembang yang secara geografis tak beruntung di
sub-region atau region yang sama dalam eksploitasi sumber kekayaan hayati zona ekonomi eksklusif
Negara pantai di sub-region atau region sebagaimana layaknya sesuai dengan keadaan dan berdasarkan
persyaratan yang memuaskan bagi semua pihak. Dalam pelaksanaan ketentuan ini faktor-faktor yang
disebut dalam ayat 3 juga harus diperhatikan.

5. Negara maju yang secara geografis tak beruntung, berdasarkan ketentuan pasal ini, berhak untuk
berperan serta dalam eksploitasi sumber kekayaan hayati hanya di zona ekonomi eksklusif Negara
pantai yang maju dalam subregion atau region yang sama dengan memperhatikan sampai sejauh mana
Negara pantai, dalam memberikan kesempatan kepada Negara lain untuk memanfaatkan sumber
kekayaan hayati zona ekonomi eksklusifnya, telah memperhatikan kebutuhan untuk memperkecil akibat
yang merugikan bagi masyarakat nelayan dan dislokasi ekonomi di Negara yang warganegaranya telah
biasa menangkap ikan dizona tersebut.

6. Ketentuan di atas adalah tanpa mengurangi arti pengaturan yang telah disepakati di sub-region
atau region dimana Negara pantai dapat memberikan kepada Negara-negara yang secara geografis tak
beruntung dalam sub-region atau region yang sama hak yang sama atau hak yang didahulukan untuk
eksploitasi sumber kekayaan hayati di zona ekonomi eksklusif.

3.3. Penegakan Peraturan Perundang-undangan Negara Pantai

Penegakan Peraturan perundang-undangan Negara pantai dijelaskan dalam Pasal 73

1. Negara pantai dapat, dalam melaksanakan hak berdaulatnya untuk melakukan eksplorasi,
eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di zona ekonomi eksklusif mengambil
tindakan demikian, termasuk menaiki kapal, memeriksa, menangkap dan melakukan proses peradilan,
sebagaimana diperlukan untuk menjamin ditaatinya peraturan perundang-undangan yang
ditetapkannya sesuai dengan ketentuan Konvensi ini.
2. Kapal-kapal yang ditangkap dan awak kapalnya harus segera dibebaskan setelah diberikan suatu
uang jaminan yang layak atau bentuk jaminan lainnya.

3. Hukuman Negara pantai yang dijatuhkan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan


perikanan di zona ekonomi eksklusif tidak boleh mencakup pengurungan, jika tidak ada perjanjian
sebaliknya antara Negara-negara yang bersangkutan, atau setiap bentuk hukuman badan lainnya.

4. Dalam hal penangkapan atau penahanan kapal asing Negara pantai harus segera memberitahukan
kepada Negara bendera, melalui saluran yang tepat, mengenai tindakan yang diambil dan mengenai
setiap hukuman yang kemudian dijatuhkan.

3.4. Penetapan batas zona ekonomi eksklusif antara Negara yang pantainya berhadapan atau
berdampingan

1. Penetapan batas zona ekonomi eksklusif antara Negara yang pantainya berhadapan atau
berdampingan harus diadakan dengan persetujuan atas dasar hukum internasional, sebagaimana
ditetapkan dalam Pasal 38 Status Mahkamah Internasional, untuk mencapai suatu pemecahan yang adil.

2. Apabila tidak dapat dicapai persetujuan dalam jangka waktu yang pantas, Negara-negara yang
bersangkutan harus menggunakan prosedur yang ditentukan dalam Bab XV.

3. Sambil menunggu suatu persetujuan sebagaimana ditentukan dalam ayat 1, Negara-negara yang
bersangkutan, dengan semangat saling pengertian dan kerjasama, harus melakukan setiap usaha untuk
mengadakan pengaturan sementara yang bersifat praktis dan, selama masa peralihan ini, tidak
membahayakan atau menghalangi dicapainya suatu persetujuan akhir. Pengaturan demikian tidak boleh
merugikan bagi tercapainya penetapan akhir mengenai perbatasan.

4. Dalam hal adanya suatu persetujuan yang berlaku antara negara-negara yang bersangkutan,
maka masalah yang bertalian dengan Penetapan batas zona ekonomi eksklusif harus ditetapkan sesuai
dengan ketentuan persetujuan itu.

3.5. Delimitasi

Mengingat ZEE yang merupakan zona baru,dalam penerapannya oleh negara-negara menimbulkan
situasi bahwa negara-negara yang berhadapan atau berdampingan yang jarak pantainya kurang dari
200 mil laut harus melakukan suatu delimitasi (batasan) ZEE satu sama lain.seperti halnya delimitasi
batas landas kontinen,prinsip hukum delimitasi ZEE diatur dalam pasal 74 konvensi hukum laut
1982.rumusan pasal ini secara mutatis mutandis sama dengan pasal 83 tentang delimitasi landas
kontinen.

Sebelum zona ini lahir, negara-negara pada umumnya mengenal konsepsi zona perikanan sehingga
perjanjian yang dibuat adalah perjanjian batas zona perikanan pula.perjanjian batas ZEE antar negara
berdasarkan konvensi hukum laut 1982 masih belum begitu banyak.Indonesia baru menetapkan
perjanjian ZEE hanya dengan australia melalui perjajian antara pemerintah republik Indonesia dengan
pemerintah Australia tentang penetapan batas Zona Ekonomi Ekssklusif dan batas-batas dasar laut
tertentu yang ditandatangani di Perth, pada tanggal 14 Maret 1997. Indonesia masih harus membuat
perjanjian ZEE dengan seluruh negara yang berbatasan laut dengan Indonesia kecuali Australia[10]

3.6 Peta dan daftar koordinat geografis

Peta dan daftar koordinat geografis dijelaskan dalam Pasal 75

1. Dengan tunduk pada ketentuan-ketentuan Bab ini, garis batas terluar zona ekonomi eksklusif dan
garis penetapan batas yang ditarik sesuai dengan ketentuan pasal 74 harus dicantumkan pada peta
dengan skala atau skala-skala yang memadai untuk menentukan posisinya. Dimana perlu, daftar titik-
titik koordinat-koordinat geografis, yang memerinci datum geodetik, dapat menggantikan garis batas
terluar atau garis-garis penetapan Perbatasan yang demikian.

2. Negara pantai harus mengumumkan sebagaimana mestinya peta atau daftar koordinat geografis
demikian dan harus mendepositkan satu copy setiap peta atau daftar demikian pada Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa-Bangsa.

4. Pengaturan Zona Ekonomi Eksklusif dalam Undang-Undang Tentang ZEE di Indonesia

Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (1) adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut wilayah
Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-undang yang berlaku tentang perairan
Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah dibawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua
ratus) mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia. (Pasal 2 UU Nomor 5 Tahun 1983
Tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia).

Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, yang selanjutnya disebut ZEEI (2) adalah jalur di luar dan
berbatasan dengan laut teritorial Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-undang yang
berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah dibawahnya, dan air diatasnya
dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut yang diukur dari garis pangkal laut teritorial Indonesia.
(Pasal 1 Angka 21 UU Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan).

Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (3) adalah suatu area di luar dan berdampingan dengan laut teritorial
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai perairan Indonesia
dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur.
(Pasal 1 Angka 8 UU Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Wilayah Negara). Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia,
yang selanjutnya disebut ZEEI (4) adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut teritorial Indonesia
sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang
meliputi dasar laut, tanah dibawahnya, dan air diatasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut
yang diukur dari garis pangkal laut teritorial Indonesia. (Pasal 1 Angka 21 UU Nomor 45 Tahun 2009
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan).[11]
5. Pengukuran

Pada tanggal 13 Desember 1957 Pemerintah Indonesia mengeluarkan deklarasi yang dikenal dengan
nama Deklarasi Juanda yang melahirkan Wawasan Nusantara. Di dalam deklarasi itu ditentukan bahwa
batas perairan wilayah Indonesia adalah 12 mil dari garis dasar pantai masing-masing pulau sampai titik
terluar.

Pada tanggal 21 Maret 1980 Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan batas Zona Ekonomi Eksklusif
(ZEE) Indonesia sepanjang 200 mil, diukur dari garis pangkal wilayah laut Indonesia. Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE) adalah wilayah laut sejauh 200 mil dari pulau terluar saat air surut. Pada zona ini
Indonesia memiliki hak untuk segala kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam permukaan
laut, di dasar laut, dan di bawah laut serta mengadakan penelitian sumber daya hayati maupun sumber
daya laut lainnya.[12]

Gambar Batas Wilayah Perairan Indonesia

http://t1.gstatic.com/images?
q=tbn:ANd9GcTo27_IgTMWilMweXYLeqeF6kHAcJLf4JPcP7RnBSXUSnH_HhOw

6. Keharusan Negara-Negara Mengumumkan Peta Zona Ekonomi Ekslusif

Negara-negara diharuskan untuk mengumumkan peta-peta yang menunjukkan batas-batas sebelah luar
dari Zona Ekonomi Ekslusif mereka atau dimana mungkin daftar koordinat geografis serta menyimpan
masing-masing copynya pada Sekretaris Jenderal PBB.[13]

B. Manfaat Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) bagi Indonesia

http://t0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSg31FkNtF0pD-ODpmb15AdszDTyDSA7LHCwNXjQj-_GiuV-
erH

Zona ekonomi eksklusif diartikan sebagai suatu daerah di luar laut teritorial yang lebarnya tidak boleh
melebihi 200 mil diukur dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial (Pasal 55
dan 57). Menurut pengertian Pasal 56, negara pantai di zona ekonomi eksklusif dapat menikmati
beberapa hal berikut:

1. Hak-hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan segala
sumber kekayaan alam di dasar laut dan tanah dibawahnya serta pada perairan diatasnya. Demikian
pula terhadap semua kegiatan untuk tujuan eksploitasi secara ekonomis dari zona tersebut ( seperti
produksi energi dari air, arus, angin).
2. Yurisdiksi, sebagaimana yang ditetapkan dalam konvensi ini, atas pendirian dan penggunaan pula-
pulau buatan, riset ilmiah kelautan, serta perlindungan lingkungan laut.

3. Hak-hak dan kewajiban lain sebagaimana yang ditetapkan dalam konvensi ini. [14]

Keperluan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam, baik hayati
maupun non-hayati, dari perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah di bawahnya dan
berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi ekonomi zona tersebut,
seperti produksi energi dari air, arus dan angin; Merupakan Sumber-sumber mana sangat bermanfaat
bagi pelaksanaan pembangunan di wilayah Indonesia sendiri selain itu banyak sekali aktivitas kegiatan
di Zona tersebut misalnya:

a. pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi dan bangunan;

b. riset ilmiah kelautan;

c. perlindungan dan pelestarian lingkungan laut;

Hal tersebut merupakan aktivitas yang memberi manfaat bagi Negara Indonesia sendiri. Manfaat lain
dari ZEE bagi indonesia antara lain:

1. Bertambah luasnya daerah teritoial laut indonesia

2. Indonesia mempunyai hak atas kekayaan alam berdasarkan 200 mil dari pantai

3. Untuk mengetahui titik batas yang ditarik dari titik dalam laut hingga titik luar kedalaman pantai yaiti
200 meter/12 mil dari permukaaan air laut[15]

Kekayaan mineral seperti minyak dan gas bumi, kerang, rumput laut, sponges, dan sumber hayati
lainnya menyimpan harapan untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia. Laut sendiri memiliki banyak
fungsi / peran / manfaat bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya karena di dalam dan di atas
laut terdapat kekayaan sumber daya alam yang dapat kita manfaatkan diantaranya yaitu :

1. Tempat rekreasi dan hiburan

2. Tempat hidup sumber makanan kita

3. Pembangkit listrik tenaga ombak, pasang surut, angin, dsb.

4. Tempat budidaya ikan, kerang mutiara, rumput laun, dll.

5. Tempat barang tambang berada

6. Salah satu sumber air minum (desalinasi)

7. Sebagai jalur transportasi air

8. Sebagai tempat cadangan air bumi

9. Tempat membuang sampah berbahaya (fungsi buruk)


10. Sebagai objek riset penelitian dan pendidikan

Namun perlu diperhatikan bahwa Negara pantai “hanya” menikmati hak-hak berdaulat dan bukan
kedaulatan. Bahwa zona ekonmi eksklusif bukan laut teritorial dapat juga dilihat dari ketentuan Pasal 58
yang menyatakan bahwa di zona ekonomi eksklusif semua negara dapat menikmati kebebasan berlayar
dan terbang di atasnya serta kebebasan untuk meletakkan pipa dan kabel dibawah laut, dan juga untuk
penggunaan sah lainnya berkenaan dengan kebebasan tersebut. Sesuai ketentuan tersebut aspek-aspek
kebebasan di laut lepas berlaku juga di zona ekonomi eksklusif. Apakah dari ketentuan ini dapat
disimpulkan bahwa zona ekonomi eksklusif sebagai laut lepas merupakan suatu masalah yang tidak
jawab secara tegas oleh konvensi? Tampaknya kemungkinan paling besar adalah bahwa zona ekonomi
eksklusif merupakan zona yang “ sui generis” .

Konvensi juga berisi pengaturan tentang penetapan batas zona ekonomi ekslusif antara negara-negara
yang pantainya berhadapan maupun berdampingan. Penetapan batas tersebut harus ditetapkan melalui
perjanjian dengan didasarkan pada hukum internasional untuk mendapatkan suatu penyelesaian yang
adil. Apabila tidak tercapai suatu persetujuan, negara-negara yang bersangkutan harus
menyelesaikannya melalui prosedur yang ditetapkan dalam konvensi mengenai penyelesaian sengketa
(Pasal 74). Pasal 121 juga penting untuk penetapan batas zona ekonomi ekslusif ini karena dalam pasal
tersebut dinyatakan “batu karang” (dengan kata lain, pulau) yang tidak mendukung adanya kediaman
manusia atau kehidupan ekonomi tidak berhak untuk memiliki zona ekonomi eksklusif.

Perlu dicatat bahwa negara-negara pantai telah menikmati hak-hak berdaulat atas dasar laut dan tanah
dibawahnya di luar laut teritorial bukan menurut konvensi mengenai landas kontinen saja, tetapi juga
berdasar kan hukum internasional publik umum. Walaupun hak-hak tersebut terikat dengan keadaan
geologis dari landas kontinen (sebagaimana dikukuhkan oleh Mahkamah Internasional dalam kasus “
North Sea Continental Shelf”.

Hak-hak negara pantai terhadap dasar laut dalam artian prinsip zona ekonomi eksklusif terpisah dengan
anggapan ini, hal ini dapat diterapkan pada daerah-daerah yang secara geologis merupakan bagian dari
dasar samudera dalam, sepanjang daerah-daerah tersebut berada dalam batas 200 mil.[16]

C. Pengolahan ZEE, Pengawasan, Pencegahan Pelanggaran dan Implementasi Penegakan Hukum di


Zona Ekonomomi Eksklusif di wilayah Indonesia

1. Pengelolaan dan Pengawasan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia

Berdasarkan konvensi hukum laut 1982, wilayah perairan Indonesia meliputi kawasan seluas 3,1 juta
km² terdiri atas perairan kepulauan seluas 2,8 juta km² dan laut dengan luas sekitar 0,3 juta km²
Indonesia juga memiliki hak berdaulat atas berbagai sumber kekayaan alam serta berbagai kepentingan
yang melekat pada ZEE seluas 2,7 juta km² dan hak partisipasi dalam pengelolaan kekayaan alam di laut
lepas di luar batas 200 mil ZEE, serta pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam dasar laut perairan
internasional di luar landas kontinen. Pasal 192 – 237 UNCLOS membebankan kewajiban bagi setiap
negara pantai untuk mengelola dan melestarikan sumber daya laut mereka.
Kekayaan mineral seperti minyak dan gas bumi, kerang, rumput laut, sponges, dan sumber hayati
lainnya menyimpan harapan untuk dikelola sesuai peraturan dan dengan tetap memperhatikan
kelestarian lingkungan hidup di laut. Disamping itu, kerjasama dengan nelayan asing yang sudah maju
teknologinya perlu dilakukan, baik mengenai alih teknologi, tukar pengetahuan, maupun dalam hal
penjualan hasil tangkapan ikan, cara ini diharapkan nelayan kita bertambah ketrampilannya. Untuk
pengelolaan sumber daya alam di zona ekonomi eksklusif ini diperlukan kerjasama dengan negara lain,
dengan Pemerintah Daerah dan kerjasama antar sektor.

Pada tahun 2005 muncul gagasan dari Dewan Maritim Indonesia untuk membentuk Badan Penataan
Batas Wilayah dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang bertujuan untuk mempertegas kedaulatan
negara dan meningkatkan keamanan laut yang memiliki tugas:

1. menuntaskan dan memelihara batas wilayah NKRI;

2. melakukan penelitian dan pengembangan basis data sumebr daya alam kelautan di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia;

3. melakukan pengendalian dan pengawasan pemanfaatan sumber daya alam di Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia;

4. melakukan pengamanan wilayah laut di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia;

5. mengkoordinasikan pengembangan wilayah pulau-pulau perbatasan dengan instansi terkait di pusat


dan daerah.

Dalam upaya penerapan tindakan pemantauan (monitoring), pengendalian (controlling), dan


pengawasan (surveillance) secara efektif terhadap kegiatan penangkapan ikan di Zona Ekonomi Eksklusif
(ZEE) di perairan Indonesia, Departemen Kelautan dan Perikanan memberlakukan sistem pemantauan
kapal atau VMS (Vessel Monitoring System) dengan maksud mempermudah pemantauan seluruh
aktivitas kapal. Melalui sistem pemantauan ini, dapat diketahui tingkat pemanfaatan sumberdaya
perikanan yang ada di Indonesia.Ketentuan Code of Conduct for Responsible Fisheries (FAO 1995)
menetapkan bahwa negara bertanggung jawab menyusun serta mengimplementasikan sistem
Monitoring, Controlling, Surveillance terhadap pengelolaan penangkapan ikan. Konvensi hukum laut PBB
1982 menyebutkan pula bahwa pengelolaan sumber daya ikan mempunyai tiga tujuan utama. Pertama,
pemanfaatan sumber daya ikan secara rasional. Kedua, pelestarian sumber daya ikan. Ketiga, keserasian
usaha pemanfaatan. Dengan ketentuan itu, jelas setiap negara wajib melakukan pengelolaan sumber
daya ikan secara lestari dan bertanggung jawab. Dalam konteks inilah VMS sebagai bagian dari MCS
menjadi sangat penting dan relevan.

Proyek VMS muncul sebagai akibat dari keprihatinan karena semakin banyak kapal ilegal yang
beroperasi, baik lokal maupun kapal asing. VMS juga eksis lantaran ada dorongan untuk mengurangi
kerugian negara akibat pencurian ikan (illegal fishing). Permasalahan lain yang cukup serius adalah
bagaimana pemerintah dapat menekan adanya kerugian dari sektor perikanan yang mencapai nilai
mendekati 2 miliar dollar AS per tahun. Munculnya angka kerugian pemerintah yang mendekati 2 miliar
dollar AS per tahun itu adalah karena beberapa penyebab berikut ini. Pertama, adanya penangkapan
ikan di zona ekonomi eksklusif (ZEE) dan ekspornya yang tidak termonitor, sekitar 4.000 kapal yang
kerugiannya berkisar 1,2 miliar dollar AS per tahun. Kedua, kapal eks impor dengan penetapan
pengadilan negeri sebanyak 475 kapal yang diperkirakan mencapai 142 juta dollar AS tiap tahun. Ketiga,
kapal-kapal illegal fishing yang melanggar daerah penangkapan sebanyak 1.275 kapal berkisar 573 juta
dollar AS tiap tahun. Keempat, kapal eks impor sebanyak 650 unit dengan anak buah kapal asing yang
tidak mengurus (membayar) iuran tenaga kerja sebesar 7,8 juta dollar AS.

Vessel Monitoring System merupakan salah satu bentuk sistem pengawasan yang dapat memantau
kegiatan kapal perikanan yang memiliki transmitter. Berdasarkan Surat Edaran Nomor 003/DJ. P2S
DKP/2007 maka bagi kapal yang minimal bermuatan 60 GT wajib memasang transmitter. Pembangunan
VMS di Indonesia di pegang oleh pihak Departemen Kelautan dan Perikanan yang bekerja sama dengan
PT. CLS ARGOS untuk membentuk sistem antara transmitterdan satelit. Terpantaunya posisi kapal
karena transmitter yang dipasang di atas kapal akan memancarkan sinyal ke satelit kemudian dikirimkan
ke Processing Center untuk diolah lebih lanjut dan disampaikan ke Pusat Pemantauan Kapal Perikanan
Direktorat Jendral Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan di Jakarta.
Melalui VMS dapat diketahui kegiatan kapal di laut misalnya sedang melakukan kegiatan penangkapan
atau menuju fishing groundpelabuhan yang diinterpretasi berdasarkan kecepatan kapal dan trek kapal
dalam jangka waktu tertentu. Melalui layar monitor dari sistem VMS juga terpantau kegiatan kapal yang
menjurus ke arah pelanggaran. Beberapa contohnya yaitu, terdeteksinya beberapa kapal asing yang
melakukan kegiatan penangkapan di perairan teritorial. Hal ini melanggar UNCLOS Pasal 62 Tahun 1982
yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia yang tertuang dalam UUNo.17/1985, karena izin yang
diberikan adalah hanya diperairan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE).[17]

2. Pencegahan Pelanggaran di Zona Ekonomi Eksklusif

Pencegahan terjadinya pelanggaran di Zona Ekonomi Eksklusif sangatlah penting untuk dilakukan, agar
negara-negara tetangga tidak bisa mengambil keuntungan dari sumber daya alam yang kita miliki
sekaligus untuk menegakkan hukum yang berlaku. Beberapa caranya antara lain:

1. Rutin melakukan sosialisasi bahya dan akibat melakukan pemancingan illegal di wilayah Zona
Ekonomi Eksklusif

2. Selalu mengawasi jalur penangkapan ikan

3. Bekerja sama dengan instansi tertentu untuk selalu melakukan operasi agar tidak lagi ada
penyundup yang memasuki Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia

4. Memeriksa kapal-kapal yang aktivitasnya berupa menangkap ikan

5. Memproses apabila terjadinya pelanggaran hukum di Zona Eksklusif Indonesia sehingga timbul rasa
jera terhadap penangkap ikan illegal

Laut di Indonesia begitu dilindungi oleh pemerintah karena semua orang mengetahui manfaat laut bagi
kehidupan sangat banyak terutama sebagai sumber makanan karena makanan laut sangat enak disantap
dan mengandung banyak minya ikan yang bermanfaat untuk meningkatkan imunitas. Salah satu
makanan yang banyak digemari oleh masyarakat adalah ikan air tawar. [18]

3. Penegakan hukum di Zona Eksklusif Indonesia (ZEE)

Masalah yang tidak kalah pentingnya dari ZEE ini adalah aspek “law enforcement” atau penegakan
hukumnya. akan tidak ada artinya sama sekali jika kita mempunyai hak-hak berdaulat dari yurisdiksi di
ZEE, tetapi kita sendiri tidak dapat menegakkan hukum disana. Di lain pihak, kita semua menyadari
bahwa bagaimana sulitnya penegakan hukum di daerah laut yang sangat luas tersebut yang merupakan
bahan tambahan, disamping itu penegakan hukum di perairan Indonesia yang sudah amat luas.

Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa masalah penegakan hukum ataupun pengawasan ini menjadi
lebih berat lagi jika diperhitungkan bahwa daerah-daerah yang diliputi pengawasan tersebut tidak hanya
terbatas pada perairan Nusantara dan laut wilayah 12 mil itu, tetapi juga landas kontinen dan zona
Ekonomi eksklusif Indoensia selebar 200 mil laut. Bertambah luasnya wilayah laut dan daerah-daerah
kewenangan Indonesia tentu saja memerlukan perjuangan perluasan kemampuan untuk
mengamankannya.

Penegakan hukum (law enforcement) disini diartikan sebagai bagian dari jurisdiksi negara. Jurisdiksi
dimaksud meliputi dan mempunyai pengertian yang antara lain adalah :

1. Jurisdiksi of legislation atau jurisdiction to prescribe (wewenang membuat aturan-aturan hukum


untuk mengatur berbagai kepentingan, dan

2. Jurisdiction to enforce the law (wewenang menegakkan aturan hukum yang berlaku.

Dasar hukum berlakunya (adanya) wewenang penegakan hukum ini dapat

bersumber pada:

1. Kedaulatan.

Sovereignty of State yang mendasari / melandasi segala aktivitas segala aktivitas negara baik terhadap
orang, benda, wilayah, negara dan lainlainnnya demi eksistensi dan kelangsungan hidup dan kegidupan
bangsa dan negara. Di samping kedaulatan ini merupakan kekuasaan tertinggi dari negara maka
kedaulatan juga merupakan hak dasar (fundamental rights) daripada negara yang perwujudannya
berupa hak-hak dan kewenangan-kewenangan tertentu yang dituangkan dalam UUD, Tap. MPR,
undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya. pada umumnya setiap hak dan
kewenangan ini dibarengi pula dengan kewajiban serta tanggung jawab tertentu pula.

2. Ketentuan hukum Internasional.

Selain hak-hak dan wewenangan yang bersumber pada kedaulatan negara, maka berdasarkan
ketentuan Hukum Internasional baik ketentuan hukuminternasional yang berupa “conventional
law/treaty” maupun kebiasaankebiasaan internasiona dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang
diakui oleh bangsa-bangsa / negara yang beradab, maka negara sebagai subjek hukum internasional
adalah pendukung hak dan kewajiban hukum yang tertentu dapat juga dimilki negara sepeti halnya hak
berdaulat dan yurisdiksi tertentu yang dimiliki negara pantai pada zona-zona tertentu dilaut atau objek-
objek tertentu di laut.

Masalah penegakan hukum ini ketentuan-ketentuan penegakan hukum ZEE berdasarkan pada Konvensi
Hukum Laut yang baru, maka secara garis besarnya dapat diperincikan sebagai berikut :

a. The coastal State may, in the exerciase if its sovereign rights to explore, exploit, conserve and
manage the living resources in the ZEE, take such resources, including boarding, inspection, arrest and
judicial proceedings, as may necessary to ensure compliance with the laws and regulations adopted by it
in conformity with this convention. Maksudnya, dalam melaksanakan hak kedaulatannya untuk
mengekplorasi, melestarikan dan mengelola sumber daya alam hayati di ZEE, negara pantai dapat
mengambil tindakan-tindakan seperti menaiki kapal, menginspeksi, menahan dan melakukan,
penuntutan hukum sesuai kebutuhan untuk menegakkan hukum negaranya dengan
mempertimbangkan ketentuanketentuan daripada konvensi (ayat 1)

b. Arrested vessels and their crews shall be promotly released upon the posting of reasonable
bond or ather security. Artinya kapal dan anakanak-anak buah kapal yang ditahan harus dilepaskan
setelah tanggungan dibayarkan atau jamian keamanan lainnya (ayat 2).

c. Coastal state pinalties for violations of fisheries laws and regulations in the ZEE may not include
imprisonment, inte absence of agreements to the contarary by the states concerned, or any other form
of cuporal punishment. Artinya adalah kurang lebih adalah tindakan / hukuman yang boleh dijatuhkan
terhadap nelayan asing di ZEE oleh Negara pantai tidak termasuk hukum penjara (ayat 3).

d. In cases of arrest or detention of foreign vessel the coastal State shall promptly notify the flag
state, throght appropriate channels, of the any penalties subsequently imposed. Maksudnya bilamana
sampai melakukan penahanan, negara pantai harus segera memberitahukan hal tersebut kapada
perwakilan Negara bendera kapal (ayat 4).

Demikianlah mengenai penegakan hukum yang berkaitan dengan rezim hukum ZEE menurut Konvensi
Hukum laut yang baru, sedangkan penegakan hukum menurut perundang-undangan nasional yaitu
Menurut ketentuan pasal 13 UU No.5 tahun 1983, ditetapkan bahwa dalam rangka melaksanakan hak
berdaulat, hak-hak lain, yurisdiksi dan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat
(1), aparatur penegak hukum Republik Indonesia yang berwenang, dapat mengambil tindakan-tindakan
penegakan hukum sesuai dengan UU No. 8 tahun 1981 tentang kitab Undangundang Hukum Acara
Pidana (KUHAP), dengan pengecualian sebagai berikut:

a. Pengkapan terhadap kapal dan/atau orang-orang yang diduga melakukan pelanggaran di ZEE
Indonesia meliputi tindakan penghentian kapal sampai dengan diserahkannya kapal dan/atau orang-
orang tersebut di pelabuhan dimana perkara tersebut dapat diproses lebih lanjut;

b. Penyerahan kapal dan/atau orang-orang tersebut harus dilakukan secepat mungkin dan
tidak boleh melebihi jangka waktu 7 (tujuh) hari, kecuali apabila terdapat keadaan force majeure;

c. Untuk kepentingan penahanan, tindak pidana yang diatur dalam pasal 16 dan pasal 17
termasuk dalam golongan tindak pidana sebagimana diamksudkan pasal 21 ayat (4) huruf b. UU No. 8
tahun 1981 tentang KUHAP.
Kemudian ditetapkan pula bahwa permohonan untuk membebaskan kapal dan atau orang-orang yang
ditangkap akarena didakwa melakukan perlanggaran terhadap UU ini, dapat dilakukan setiap waktu
sebelum ada keputusan dari Pengadilan Negeri yang berwenang. dari ketentuan di atas, dapat
dijelaskan bahwa permohonan membebaskan kapal/orang yang ditangkap karena melakukan
perlanggaran sesuai dengan praktek yang berlaku diajukan oleh perwakilan negara dari kapal asing yang
bersangkutan. Kemudian penetapan besarnya uang jaminan ditentukan berdasarkan harga kapal, alat-
alat perlengkapan dan hasil dari kegiatannya ditambah besarnya jumlah denda maksimum.[19]

e. Masalah batas ZEE dengan Negara tetangga

Di samping Timor Lester dan Republik Palau, Indonesia belum juga mencapai kesepakatan khususnya
mengenai ZEE dengan Malaysia terutama di Selat Malaka. Sejauh ini, Indonesia dan Malaysia telah
menyepakati perjanjian bilateral terkait zona laut teritorial dan landas kontinen. Namun, terkait ZEE
kedua negara ini masih belum sepakat. Tidaklah heran bahwa sering terjadi saling klaim terkait wilayah
kelautan oleh kedua negara. Bahkan, penyusupan kapal masing-masing negara melewati batas wilayah
yang menjadi sengketa pun kerap terjadi. Dampaknya, Illegal, Unreported and Unregulated (IIU) Fishing
sering terjadi. Ketiadaan perjanjian bilateral ini berimplikasi kepada ketidakpastian hukum khususnya
yang menyangkut perlindungan kekayaan alam laut Indonesia dan nelayan Indonesia itu sendiri. Dengan
adanya perjanjian tadi, batas-batas ZEE dapat ditentukan dan pergesekan antara aparat kedua negara
tidak akan terjadi lagi. Selain itu, kedaulatan kelautan Indonesia pun akan terjaga.[20]

Indonesia memiliki wilayah perairan laut yang sangat luas dan kurang terjaga sehingga mudah
mendatangkan ancaman sengketa batas wilayah dengan negara tetangga. Untuk landas kontinen negara
kita berhak atas segala kekayaan alam yang terdapat di laut sampai dengan kedalaman 200 meter. Batas
laut teritorial sejauh 12 mil dari garis dasar lurus dan perbatasan laut zona ekonomi ekslusif (ZEE) sejauh
200 mil dari garis dasar laut.

Pertama sekali yang harus dilakukan adalah inventarisasi perjanjian-perjanjian yang telah dan belum
ditandatangani oleh Indonesia dengan negara-negara lain yang berbatasan laut dengan Indonesia.
Apabila perjanjian telah ditandatangani, analisa sangat penting untuk dilakukan untuk melihat
kekurangan atau kelemahan perjanjian dan potensi masalah strategis yang mungkin terjadi yang bakal
merugikan Indonesia baik dari segi ekonomi maupun pertahanan dan keamanan. Apabila belum ada
perjanjian, maka penting juga untuk melakukan analisa terhadap hal-hal apa yang sebaiknya diatur dan
diperjanjikan yang tentu saja dapat menguntungkan para pihak (mutual consent). Ketersediaan data-
data penunjang terkait batas wilayah tentu saja adalah keniscayaan dan sangat diperlukan untuk
pembuktian serta menunjang negosiasi. Hilangnya Pulau Sipadan dan Ligitan dari tangan Indonesia salah
satunya adalah karena persoalan kekurangan data sebagai pembuktian klaim.

Disamping inventarisasi dan analisa tadi, diplomasi maritim diperlukan untuk mewujudkan komunikasi
keinginan Indonesia terhadap negara lain. Hal ini untuk mendorong pembicaraan lebih lanjut dengan
negara-negara tetangga tadi. Hasil akhirnya, diplomasi dan pembicaraan tadi diharapkan akan
memastikan secara hukum batas-batas wilayah kelautan Indonesia dengan negara-negara lain melalui
perjanjian bilateral (maritime boundaries agreement) [21]

Anda mungkin juga menyukai