Anda di halaman 1dari 175

1

Berkarya Sampai Menutup Mata....


Menulis sampai Nafas Habis.....
• Mischief Reef yang diklasifikasikan
sebagai atol -- pulau karang berbentuk
lingkaran dengan di bagian tengah
terdapat danau atau laguna -- diketahui
terletak di perairan berjarak 250 kilometer
dari wilayah Filipina. Daratan itu telah
diduduki dan dikuasai China sejak tahun
1995 lalu.
BAB I
PENDAHULUAN

• 1. Umum

• Dalam sejarah, telah mempunyai berbagai fungsi


• Tahun 1958 dalam Konfrensi PBB tentang Hukum
Laut ke I di Jenewa. Delegasi Indonesia untuk
pertama kali melemparkan gagasan Asas Negara
Nusantara walaupun sambutan sidang masih negatif.
Konfrensi PBB tentang Hukum Laut ke II juga
dilangsungkan di Jenewa Tahun 1960.
• Usaha masyarakat internasional untuk
mengatur masalah kelautan melalui
konfrensi PBB tentang Hukum Laut yang
Ketiga telah berhasil mewujudkan United
Nations Convention on the Law of the Sea
(UNCLOS 1982)
• Konvensi Hukum Laut 1982, perjuangan bangsa
Indonesia di forum internasional, khususnya melalui
forum Konperensi Hukum Laut PBB yang ke-III,
telah sampai pada tingkat kemantapan kedudukan
Indonesia sebagai suatu Negara kepulauan.
• Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1982
tentang hukum laut (United Nations Convention On
The Law of The Sea/ Unclos 1982), Indonesia sudah
mensahkannya (meratifikasi) dengan Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 1985.
• Setiap peraturan Per UU-an nasional yang
mengatur tentang laut, seyogyalah dibuat
sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang
diatur dalam Unclos 1982.
• Dalam kegiatan-kegiatan di laut, Indonesia
sudah seharusnyalah mematuhi dan
menerapkan ketentuan-ketentuan yang
ada dalam pasal-pasal Konvensi PBB
Tahun 1982 tentang Hukum Laut untuk
penegakan hukum dan kedaulatannya
• .
• Sudah sangat mendesak bagi bangsa Indonesia
menyusun peraturan Per-UU-an di bidang maritim
sesuai dengan berbagai konvensi internasional yang
telah diratifikasi dan yang telah berlaku internasional.
• Bagi Indonesia penanda-tanganan Konvensi ini
sangat penting karena memberikan landasan hukum
internasional bagi kepentingan-kepentingan
Indonesia yang menyangkut urusan internasional.
2. Sejarah Lahirnya Konvensi PBB Tahun 1982
tentang Hukum Laut (Unclos 1982).
• a. Perkembangan Konprensi Hukum Laut.
1) Pada tahun 1945, USA mengumumkan Yuris
diksinya atas kekayaan sumber daya alam.
2) Atas dasar pentingnya tuntutan pengaturan
laut itu, Komisi Hukum Internasional menyiap
kan draft tentang Hukum Laut.
3) Konperensi PBB tentang Hukum Laut ke II
dilangsungkan pada tahun 1960 di Jenewa
untuk menyelesaikan masalah yang belum
terpecahkan dalam Konperensi yang pertama.
• Kegagalan dari Konperensi kedua tersebut di atas
dalam merumuskan berbagai hak dan kewajiban
negara-negara tentang laut.
b.Konperensi PBB Tentang Hukum Laut Ke III
1) Disepakati oleh para negara anggota PBB bahwa
Konperensi ke III ini akan menampung semua
permasalahan tentang laut dan dikelompokkan
menjadi beberapa Komite sebagai berikut :
a)Komite Pertama, mencakup permasalahan
tentang eksplorasi dan eksploitasi sumber
daya alam
• b) Komite Kedua, mencakup permasalahan
tentang :
• (1) Laut wilayah dan zona tambahan.
• (2) Hak lintas melalui selat untuk keperluan navigasi
internasional.
• (3) Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
• (4) Landas Kontinen
• (5) Laut Bebas
• (6) Negara Kepulauan (Asas Negara Nusantara)
• (7) Hak dan Kepentingan landlocked states.
• (8) Rezim Pulau.
• (9) Laut terkurung dan setengah terkurung.
• c) Komite Ketiga, mencakup permasalahan
tentang :
• (1) Alih teknologi.
• (2) Pelestarian lingkungan maritim
• (3) Penelitihan ilmiah.
• d) Komite Keempat, tentang penyelesaian
perbedaan pendapat dan perselisihan, serta
perumusan fungsi Preparatory Commision
(Sea-Bed Committee)
• 3. Sifat dan arti Hukum Laut.
• Adapun sifat dari Hukum Laut adalah bahwa
laut merupakan sebagian dari isi permukaan
bumi dan karena penuh risiko ketidakpastian,
maka sifat hukum laut adalah sebagai
pelengkap.
• Terkecuali kalau sesuatu sudah dapat diatur
dari semula, ketentuan-ketentuan yang
bersangkutan merupakan suatu ketentuan
yang mutlak (dwingend), artinya ketentuan
ketentuan tersebut tidak boleh
dikesampingkan.
• Yang dimaksud dengan arti Hukum Laut
adalah suatu kumpulan dari peraturan-
peraturan dan ketentuan-ketentuan yang
mengatur kegiatan-kegiatan (lalu lintas) di
laut.
• Maksud dan arti ini sudah jelas tidak
memberikan arti yang tegas. Karena “lalu
lintas di laut” bukan hanya mengenai
hubungan antar warga dengan warga lain,
melainkan juga mengenai hubungan
antara pelbagai Negara Negara yang satu
dengan Negara lainnya.
4. Kekayaan Laut Indonesia

• Kekayaan laut (potensi) yang berlimpah tersebut memerlukan


pengelolaan yang terencana demi kesejaterahan masyarakat
khususnya masyarakat maritim. Adapun potensi-potensi yang
terdapat di laut antara lain :
• Potensi perikanan :
• Potensi Pariwisata Pantai dan Bahari
• Potensi Pertambangan dan Energi
• Potensi Perhubungan Laut
• Potensi Industri Maritim
• Potensi Kepelabuhan
• Potensi Pendidikan, Penelitian, Pertahanan dan Keamanan
Negara
5. Indonesia sebagai Negara maritim
terbesar di dunia.
• Indonesia adalah Negara maritim dan kepulauan (the
maritime and archipelagic state) terbesar di dunia, dengan
memiliki kurang lebih 17. 508 pulau dan 81.000 km garis
pantai (terpanjang kedua setelah Kanada) serta 75 % (5,8
juta km²) wilayahnya berupa laut termasuk Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE). Indonesia memiliki batas-batas wilayah
berupa perairan laut dengan 10 negara yang berbatasan
langsung dengan Indonesia, Yaitu : Filiphina, India, Malaysia,
Thailand, Vietnam, Singapura, Australia, papua Nugini, Timor
Leste dan Palau.
Ciri-ciri negara Maritim adalah :

• Negara maritim adalah sebuah Negara yang memiliki


kawasan territorial laut yang luas.
• Negara maritim umumnya berbentuk Negara kepulauan atau
Negara yang memiliki banyak pulau.
• Negara maritim adalah satu Negara yang memiliki berbagai
kekayaan alam dalam kekuasaan laut yang cukup luas.
• Negara maritim adalah Negara yang secara geografis
dikelilingi oleh wilayah perairan dan laut.
• Martitim memiliki pengertian wilayah laut. Penduduk Negara
maritim pada umumnya berprofesi sebagai nelayan.
• Hakekat dan konsep Negara maritim adalah menggunakan
segala sumber kekayaan laut untuk kepentingan dan
kesejaterahan rakyat.
BAB II
TATA LAUT (REZIM HUKUM LAUT)

• Konvensi PBB 1982 tentang Hukum Laut (United


Convention On The Law of The Sea/ Unclos 1982/
Unclos 1982) juga mengatur tentang Tata Laut atau
rezim-rezim hukum laut sebagaiman ditentukan
dalam pasal-pasal pada Unclos 1982 tersebut.
Pembagian rejim hukum laut ini mengakibatkan
adanya kewenangan yang berbeda dalam suatu laut
bagi Negara-negara pantai untuk melakukan
penegakan hukum Untuk Tata Laut (rezim hukum
laut) di Indonesia dapat digambarkan dalam peta
yurisdiksi Indonesia yang mengatur Rezim yaitu :
Teori Kedaulatan dikemas dengan teori hukum Sui
Generis bersama-sama teori berdaulat.
Sui Generis artinya area laut diukur dari garis pangkal

• Dalam area laut yang sama terdapat yurisdiksi/ kewe


nangan rezim-rezim hukum laut yang berbeda yaitu :
• Laut Pedalaman
• Perairan Nusantara/ Perairan Kepulauan
• Laut Teritorial/ Laut Wilayah
• Zona Tambahan
• Landas Kontinen
• Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI)
• Laut Bebas/ Laut Lepas
• Kawasan Dasar Laut Bebas
• Dalam area laut yang sama terdapat yurisdiksi/ kewenangan
rezim-rezim hukum laut yang berbeda adalah :
• Laut/ Perairan Pedalaman : berlaku hukum daratan, kedaulatan
penuh, tidak perlu mempredektif hak-hak.masyarakat
internasional.
• Laut/ Perairan Kepulauan atau biasa juga disebut sebagai
Perairan Nusantara : Perairan yang terletak antara pulau yang
satu dengan pulau lainnya, Negara pantai memiliki kedaulatan
penuh di Perairan Kepulauan. Hak Lintas Damai (innocent
passage) berlaku di perairan kepulauan tersebut.
• Laut Teritorial : lebarnya 12 mil dari garis pangkal (base line), di
laut teritorial ini negara pantai memiliki kedaulatan penuh.
Hukum nasional Negara pantai yang berlaku di daratannya
dapat diterapkan di laut territorial, kecuali diatas kapal
berbendera asing yang berlaku adalah hukum Negara bendera
(flag state)
• Zona Tambahan : lebarnya 24 mil, Negara pantai memiliki hak-
hak berdaulat di water coulom yaitu hak-hak pengawasan
terhadap imigrasi, fiskal dan sebagainya. Zona tambahan
merupakan laut bebas (high seas).

• Zona Ekonomi Eksklusif : merupakan laut bebas. hak-hak


berdaulat penangkapan ikan, konstruksi bangunan.

• Landas Kontinen : dasar laut dan tanah dibawahnya yang


lebarnya 200 mil dan bisa mencapai 350 mil laut.
• Laut Lepas (High Seas) : semua bagian dari laut yang
tidak termasuk dalam zona ekonomi eksklusif, dalam
laut teritorial atau dalam perairan pedalaman suatu
Negara, atau dalam perairan kepulauan suatu Negara
kepulauan. Ketentuan ini tidak mengakibatkan
pengurangan apapun terhadap kebebasan yang
dinikmati semua Negara di zona ekonomi eksklusif.

• Kawasan Dasar Laut Lepas (Bebas) : Dasar laut dan


tanah di bawahnya yang letaknya di luar landas kontinen
negara pantai (Coast State).
Peta Baru NKRI
• Ada 5 (lima) hal yang berubah dalam peta baru Negara
Kesatuan Republik Indonesia ini yaitu sebagai berikut :
– Batas dengan Malaysia di Selat Malaka : Yurisdiksi ZEE di
Selat Malaka lebih maju menekan ke daerah Malaysia.
– Perbatasan antara RI, Singapura, dan Malaysia di Selat
Riau: P. Pedra Branca (Singapura) dan Pulau South Ledge
diberi zona perairan selebar 500 meter.
– Laut China Selatan : berubah nama menjadi Laut Natuna
Utara.
– Batas dengan Filipina di Laut Sulawesi : Perbatasan dengan
Filipina sudah menyatu karena perjanjian ZTE sudah
selesai.
– Perbatasan dengan Kepulauan Palau : memperluas batas
ZEE.
• 4 alasan yang menjadi latar belakang memperbarui peta :

• 1. Adanya perjanjian perbatasan laut teritorial yang sudah


berlaku antara Indonesia dan Singapura pada sisi barat dan
timur. Selain itu, ada perjanjian batas ZEEI-Filipina yang telah
disepakati dan diratifikasi. Untuk Indonesia-Filipina terkait
perjanjian ZEE sudah disepakati dan diratifikasi sehingga
dalam waktu yang tidak akan lama lagi akan berlaku.
• 2.Adanya keputusan arbitrase Filipina-China.
Keputusan tersebut memberikan
yurisprudensi hukum internasional. Diberikan
yurisprudensi hukum internasional bahwa
pulau-pulau yang kecil yang ada di tengah
laut yang tidak bisa menyokong kehidupan
manusia tidak memiliki hak ZEE 200 mil laut
dan landas kontinen. Oleh karena itu, ada
beberapa pulau kecil milik negara tetangga
kita yang hanya diberikan batas 12 mil laut.
• 3.Ada dampak pada perubahan nama Laut Natuna menjadi
Laut Natuna Utara, hal ini dilandaskan kontinen di kawasan
tersebut sejak 1970-an. Kita updating kolom laut di utara
Natuna. Ini melihat kontinen di kawasan tersebut sejak 1970-an
menggunakan nama Blok Natuna Utara, Blok Natuna Selatan,
Blok Natuna Timur, Blok Natuna Tenggara yang menggunaklan
refrensi arah mata angin Jadi biar ada kejelasan , kesamaan
antara kolom air di atasnya dengan landas kontinen .
Perubahan nama itu juga berdampak terhadap eksistensi
kedaulatan Indonesia di laut.
.
• 4. Ingin mempertegas klaim di Selat
Malaka dengan melakukan simplikasi
klaim garis batas. Selain itu, di kawasan
dekat perbatasan Singapura sudah ada
garis batas yang jelas. Hal ini untuk
mempermudah penegakan hukum
sehingga aparat keamanan dan penegak
hukum akan mudah mengadakan patroli
disana.
BAB III
MAKNA DAN MANFAAT KONVENSI HUKUM LAUT 1982 BAGI
BANGSA INDONESIA
Dengan adanya Unclos 1982 ada beberapa manfaat dan
keberuntungan yang dimiliki Indonesia yaitu :

• 1. Menjadi Negara kepulauan yang terbesar di dunia.


– a. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
– b.Deklarasi Djuanda pada 13 Desember 1957.
– c. Peraturan Zona Laut
– d. Indonesia adalah negara kepulauan dengan 17.508
pulau.
• 2. Lebar Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
200 mil laut

• Dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, luas


ZEE menduduki peringkat pertama, artinya Indonesia me
miliki ZEE yang paling luas yakni seluas 1. 577. 300 mil
persegi . dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya
pun luas ZEE Indonesia masih tetap menduduki peringkat
pertama. ZEE Indonesia yang terluas di Asia Tenggara.
3. Lebar laut teritoria/ Laut Wilayah 12 mil laut.
• Terwujudnya Lebar laut territorial/ laut wilayah 12 mil laut tidak
terlepas dari perjuangan Indonesia di bidang hukum laut mulai
dari Konvensi Geneva I tahun 1958, Konvensi Geneva II bulan
Maret 1960 sampai Konvensi PBB III tahun 1982 yang
dituangkan dalam 17 bab dan 320 pasal.

• Bagi Indonesia, penandatanganan Konvensi PBB tentang


Hukum Laut yang baru itu merupakan puncak perjuangan
pengakuan dunia internasional atas asas negara kepulauan,
lebar laut teritorial 12 mil yang diterapkan dalam penentuan
luas wilayah negara yang meliputi seluruh daratan pulau dan
laut di antara serta disekelilingnya. Perjuangan besar itu
dimulai sejak diumumkannya Deklarasi Juanda pada tanggal
13 Desember 1957.
4. Tidak ada laut bebas antara pulau yang
satu dengan pulau
• Konvensi PBB ke III Tahun 1982 tentang Hukum Laut merupakan
harapan bangsa Indonesia untuk mempersatukan wilayahnya
yang terdiri dari banyak pulau yang tersebar di laut yang luas.
Pulau-pulau yang banyak tersebut dahulu diistilahkan oleh
banyak orang dipisahkan oleh perairan karena antara pulau yang
satu dengan pulau yang lain dimungkinkan ada perairan
internasional sebab sebelum lahirnya Konvensi PBB ke III Tahun
1982 tentang Hukum Laut lebar laut territorial hanya 3 mil laut
saja, misalnya saja antara pulau Jawa dan pulau Kalimantan
perairannya yang lebarnya melebihi 6 mil laut sudah pasti ada
perairan bebasnya.
5. Indonesia mempunyai Alur Laut Kepulauan.
• Dengan mempunyai alur laut kepulauan, Indonesia
akan lebih mudah menentukan di wilayah mana
suatu kapal asing dapat melintas menggunakan hak
lintas ALKI. Penetapan alur laut kepulauan juga
membuat negara pantai lebih mudah memonitor dan
memantau kapal-kapal asing yang melintas di
perairan kepulauan yang telah ditetapkan negara
Indonesia. Dengan menentukan alur laut kepulauan
dapat dikatakan Indonesia telah menggiring kapal
asing untuk lewat di alur yang diinginkan oleh
Indonesia sebagai negara pantai juga agar lebih
mudah untuk mengawasi kapal asing yang melintas
di alur laut kepulauan Indonesia.
BAB IV
HAK LINTAS DALAM HLI

• LINTAS DAMAI (Innocent Passage)

• LINTAS TRANSIT (Transit Passage)

• LINTAS ALUR LAUT KEPULAUAN


(Archipelagic Sealanes Passage)

. LINTAS KHUSUS.

Cat : Lintas Akses dan Komunikasi

18
1. HAK LINTAS DAMAI
RIGHT OF INNOCENT PASSAGE
• Dasar hukum :
1. Ps. 18 jo 19 UNCLOS 1982
2. Ps. 11 ayat (3) UU No. 6/96 ttg Perairan Indonesia.
3. Ps. 2 PP. No. 36/2002 ttg Lintas Damai.
BAGI SETIAP KAPAL DI SEMUA NEGARA, BAIK NEGARA BERPANTAI,
NEGARA TIDAK BERPANTAI, DAPAT MENIKMATI HAK LINTAS
DAMAI MELALUI LAUT TERITORIAL NEGARA LAIN.

LALIN KAPAL ASING DIANGGAP MELINTAS DGN DAMAI, JIKA TIDAK


BERTENTANGAN DENGAN :
- KEAMANAN
- KETERTIBAN
- PERDAMAIAN.

KAPAL SELAM/ KAPAL ASING:


 NAV. PERMUKAAN. (PS 20 UNCLOS’82).
19
LINTAS TRANSIT DI SELAT INTERNAS

• SEMUA KAPAL & PESUD MEMILIKI HAK TRANSIT DI


SELAT INTERNASIONAL.

• LINTAS TRANSIT TIDAK BERLAKU JIKA PADA SISI


KEARAH LAUT PULAU TSB TERDAPAT ROUTE
PELAYARAN YG MENGHUBUNGKAN LAUT LEPAS
MELALUI ZEE.

23
3. Alur Lintas Kep.
 Hrs lintas dlm normal mode – langs
dan secepatnya
 Diterapkan utk pesud & kapal
 Tdk dpt di tangguhkan
 Termsuk hak penerbang bg pesud
 Kpl selam dpt lintas di permukaan

26
Indonesian Archipelago

32
4. Hak Lintas Khusus
• Selain Pasal 47 ayat (6) hak yang dimiliki negara tetangga di
perairan kepulauan negara pantai diatur juga pada pasal 51
ayat (1) Unclos 1982 :

• Hak Lintas Akses dan Komunikasi (Hak Lintas Khusus) adalah


Hak yang dimiliki oleh negara tetangga melintasi alur laut
negara tetangganya (negara kepulauan) dikarenakan beberapa
bagian negara tersebut terpisah akibat dari penetapan negara
tersebut menjadi negara kepulauan.
• Contoh : Negara Malaysia yang memiliki hak lintas khusus di
perairan Indonesia.
BAB V
BERBAGAI PERMASALAHAN INDONESIA DALAM
HUKUM LAUT INTERNASIONAL
• Adapun permasalahan-permasalahan tersebut
dapat dikategorikan sebagai permasalahan
potensial dan permasalahan factual, sebagai
berikut :
• 1. Permasalahan batas laut RI dengan
negara
• tetangga .
• Ada 12 batas wilayah perbatasan Laut yang perlu
diwaspadai menjadi sengketa selain Ambalat. Dari
ke-12 batas tersebut ada delapan negara yang
bersinggungan langsung dengan pulau-pulau di
Indonesia. Pulau-pulau mencakup Pulau Rondo
dengan India, Pulau Berhala dengan Malaysia,
Pulau Nipah dengan Singapura, Pulau Sekatung
dengan Vietnam, Pulau Marore dengan Filipina,
Pulau Vani dan Pulau Vanilda dengan Republik
Palau, Pulau Batok dengan Timor Leste dan Pulau
Dana dengan Australia.
Ada 10 negara yang mempunyai batas laut
dengan Indonesia yaitu :
• Batas Laut Indonesia dengan Malaysia :
• Segmen Selat Malaka (ZEE) dan Segmen Laut Sulawesi.
• Batas Laut Indonesia dengan Thailand
• Batas ZEE Indonesia-Thailand sampai saat ini belum ditetapkan
• Batas Laut Indonesia dengan Singapura
• garis batas laut wilayah antara Indonesia adalah di bagian timur selat
Singapura .
• Batas Laut Indonesia dengan Vietnam
• batas laut (Zona Ekonomi Eksklusif) Indonesia dengan Vietnam yang terletak
di Laut Cina Selatan di sebelah utara Kepulauan Natuna
• Batas Laut Indonesia dengan Filipina
• garis batas maritim RI-Phil di laut Sulawesi dan sebelah selatan Mindanao
(sejak 1973). Namun sampai sekarang belum ada kesepakatan karena salah
satu pulau milik Indonesia (Pulau Miangas) yang terletak dekat Filipina,
diklaim miliknya.
• Batas Laut Indonesia dengan Palau

• Batas Laut Indonesia dengan Papuia New


Guinea
• Batas Laut Indonesia dengan Timor Leste
• Batas Laut Indonesia dengan Australia
• Batas Laut Indonesia dengan India
2. Permasalahan Pulau-Pulau Terluar milik
Indonesia
• Pulau Rondo (Aceh)
• Pulau Berhala (Sumut)
• Pulau Nipah (Kepri)
• Pulau Sekatung (Kepri)
• Pulau Marore (Sulut)
• Pulau Miangas (Sulut)
• Pulau Marampit (Sulut)
• Pulau Fani (Papua Barat)
• Pulau Fanildo (Papua)
• Pulau Brass (Papua)
• Pulau Batek (NTT)
• Pulau Dana (NTT)
BAB VI
PENEGAKKAN KEDAULATAN DAN HUKUM
DI PERAIRAN INDONESIA

• Menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996


tentang Perairan Indonesai, penegakan
kedaulatan dan hukum di perairan Indonesia,
ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di
bawahnya termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya serta sanksi atas
pelanggarannya, dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan Konvensi hukum internasional
lainnya, dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
• Pasal 27 ayat (1) Konvensi PBB tentang Hukum Laut
menyatakan bahwa yurisdiksi criminal negara pantai tidak
dapat dilaksanakan di atas kapal asing yang sedang melintasi
laut teritorial untuk menangkap siapapun atau untuk
mengadakan penyidikan yang bertalian dengan kejahatan
apapun yang dilakukan di atas kapal selama lintas demikian,
kecuali :
• (a) apabila akibat kejahatan itu dirasakan di negara pantai;
• (b) apabila kejahatan itu termasuk jenis yang mengganggu
kedamaian negara tersebut atau ketertiban laut wilayah.
• (c) apabila telah diminta bantuan penguasa setempat oleh
nahkoda kapal atau oleh wakil diplomatik atau pejabat konsuler
negara bendera; atau
• (d) apabila tindakan demikian diperlukan untuk menumpas
perdagangan gelap narkotika atau bahan psikotropika & int
crimes lainnya.
• Selanjutnya, pasal 28 Konvensi PBB tentang Hukum Laut
menyatakan bahwa yurisdiksi perdata tidak dapat
dilakukan terhadap kapal asing atau orang yang berada di
atasnya, kecuali :
• (a) hanya apabila berkenaan dengan kewajiban atau
tanggung jawab ganti rugi yang diterima atau yang dipikul
oleh kapal itu sendiri dalam mel;akukan atau untuk
maksud perjalanannya pelalui perairan Indonesia; atau
• (b) untuk melaksanaka eksekusi atau penangkapan
sesuai dengan undang-undang yang berlaku dengan
tujuan atau guna keperluan proses perdata terhadapsuatu
kapal asing yang berada atau melintasi laut teritorial atau
perairan kepulauan setelah meninggalkan perairan
pedalaman.
1. Penegakan Kedaulatan di Perairan Indonesia
• Penegakan kedaulatan di perairan Indonesia adalah
menegakkan kedaulatan negara di laut teritorial
Indonesia, mempertahankan keutuhan wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap
bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari
ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan
negara yang dilaksanakan dengan Operasi Militer untuk
Perang (OMP) dan Operasi Militer Selain Perang
(OMSP). Dalam pelaksanaan operasi militer tersebut
selalu melibatkan penggunaan kekuatan yang harus
diatur secara efektif dalam Aturan Pelibatan /Rules of
Engagement (RoE)
• Penegakkan kedaulatan di laut dengan penegakkan
hukum di laut adalah dua hal yang hampir sama
pelaksanaannya, tetapi penegakkan kedaulatan di laut
dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam
hal ini TNI Angkatan Laut, sedangkan penegakkan hukum
di laut selain dilakukan oleh TNI Angkatan Laut juga
dilakukan oleh instansi-instansi lain seperti halnya
Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Kementarian
Kelautan dan Perikanan (KKP), Ditjen Imigrasi
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
(Kemenkumham), Kementerian Perhubungan. Ditjen Bea
dan Cukai, Kementerian Keuangan dan lain-lain.
• Ancaman terhadap kedaulatan negara yang semula
bersifat konvensional (fisik) dan saat ini berkembang
menjadi multi-dimensional tersebut dapat bersumber
baik dari permasalahan ideologi, politik, ekonomi,
sosial budaya maupun permasalahan keamanan yang
terkait dengan kejahatan internasional, antara lain
terorisme, imigran gelap, bahaya narkotika,
pemncurian kekayaan alam, bajak laut, dan perusakan
lingkungan. Tetapi masalah yang mungkin dapat
membuat Indonesia bersengketa dengan negara lain
misalnya :
• Kasus Ambalat
• Posisi Kasus :
Kasus Ambalat :
• Posisi Kasus :
• Membuka lembaran hukum laut internasional atau konvensi
hukum laut PBB yang telah dituangkan/ ratifikasi dalam UU
No.17 tahun 1985, ternyata Ambalat juga diakui dunia
Internasional sebagai wilayah Indonesia. Anehnya, Malaysia
tetap ngotot. Mereka mengirim kapal perangnya untuk patroli
di perairan ini. Ada nelayan Indonesia melaut ditangkap dan
dipukul, juga diusir.
• Sesungguhnya yang mereka incar bukan
hanya keinginan memperluas batas
wilayah negara, di sini ada kekayaan alam
yang berlimpah di sini. Bahkan menurut
Departemen Energi dan Sumber Daya
Manusia di Ambalat ada tambahan
kandungan minyak dengan produksi
30.000 – 40.000 barel per hari.
• Mengapa Ambalat jadi rebutan?  Blok Ambalat
dengan luas 15.235 kilometer persegi,
ditengarai mengandung kandungan minyak dan
gas yang dapat dimanfaatkan hingga 30 tahun.
Bagi masyarakat perbatasan, Ambalat adalah
asset berharga karena di sana diketahui
memiliki deposit minyak dan gas yang cukup
besar.
• Kelak, jika tiba waktunya minyak dan gas
tersebut bisa dieksploitasi, rakyat di sana
juga yang mendapatkan dampaknya.
Ambalat memang menjadi wilayah yang
disengketakan oleh Malaysia dan
Indonesia. Bahkan, pada 2005 sempat
terjadi ketegangan di wilayah itu karena
Angkatan Laut Indonesia dan Malaysia
sama-sama dalam keadaan siap tempur.
Upaya Pemerintah Mempertahankan Kedaulatan NKRI
di Ambalat.
• Pertama :
• Penyelesaian sengketa wilayah Ambalat melalui
konfrontasi bersenjata akan merugikan kedua belah
pihak, yang tidak saja secara politik sebagai akibat
langsung konfrontasi, tetapi juga di bidang ekonomi
dan sosial. Secara politik, citra kedua negara akan
tercoreng, paling tidak, di antara negara-negara
anggota ASEAN. Kedua negara termasuk pelopor
berdirinya ASEAN, di mana ASEAN didirikan
sebagai sarana resolusi konflik, maka cara-cara
penyelesaian konflik yang konfrontatif dapat
menjatuhkan citra mereka di ASEAN.
Kedua :
• Menetapkan wilayah sengketa sebagai status quo
dalam kurun waktu tertentu. Pada tahap ini, bisa saja
dilakukan eksplorasi di Blok Ambalat sebagai sarana
untuk menumbuhkan rasa saling percaya kedua
belah pihak (confidence building measures).Pola ini
pernah dijalankan Indonesia-Australia dalam
mengelola Celah Timor.
Ketiga :
Memanfaatkan organisasi regional sebagai sarana
resolusi konflik, misalnya, melalui ASEAN dengan
memanfaatkan High Council seperti termaktub dalam
Treaty of Amity and Cooperation yang pernah
digagas dalam Deklarasi Bali 1976.
• Jika langkah ketiga tersebut tidak juga berjalan, masih ada
cara lain. Membawa kasus itu ke Mahkamah Internasional
(MI) sebagai langkah nonpolitical legal solution. Mungkin,
ada keengganan Indonesia untuk membawa kasus tersebut
ke MI karena pengalaman pahit atas lepasnya Sipadan dan
Ligitan. Tetapi, jika Indonesia mampu menunjukkan bukti
yuridis dan fakta-fakta lain yang kuat, peluang untuk
memenangkan sengketa itu cukup besar..
• Pasal-pasal yang ada pada UNCLOS 1982
cukup menguntungkan Indonesia, bukti ilmiah
posisi Ambalat yang merupakan kepanjangan
alamiah wilayah Kalimantan Timur, bukti sejarah
bahwa wilayah itu merupakan bagian dari
Kerajaan Bulungan, dan penempatan kapal-
kapal patroli TNI-AL adalah modal bangsa
Indonesia untuk memenangkan sengketa
tersebut
b. Kasus Laut Cina Selatan
1) Posisi Kasus :

• Meskipun Indonesia tidak terlibat secara


langsung dalam sengketa Laut China Selatan,
namun mempunyai kepentingan vital nasional
berupa kedaulatan dan hak berdaulat di perairan
dan yurisdiksi Indonesia. Klaim Tiongkok atas
perairan Kepulauan Natuna sebagai daerah
tradisional nelayannya merupakan pelanggaran
berat karena Tiongkok berupaya mengekspansi
wilayah maritimnya ke dalam wilayah berdaulat
NKRI.
• Padahal secara jelas berdasarkan undang-
undang nasional, maupun hukum internasional
termasuk UNCLOS tahun 1982, wilayah tersebut
merupakan bagian integral dari wilayah NKRI,
dan negara lain tidak berhak untuk memasuki
wilayah tersebut apalagi mengeksplorasi hasil
alamnya, sebagaimana dilakukan oleh nelayan-
nelayan China yang dikawal oleh aparat Coast
Guard-nya. Tindakan kapal ikan dan kapal
Coast Guard China tersebut seolah ingin
menekan Indonesia mengakui wilayah klaim 9
dashed lines China.
• Hal tersebut sudah tertuang jelas dalam berbagai macam
undang undang yang menyatakan bahwa wilayah tersebut
merupakan bagian dari klaim Indonesia atas perairan
Indonesia & perairan yurisdiksi Indonesia di Utara Natuna,
berdasarkan; (1)Undang-Undang Nomor 43 tahun 2008
tentang Wilayah Negara, (2) Pasal 33 UNCLOS 1982, yang
telah diratifikasi menjadi Undang-Undang nomor 17 tahun
1985 tentang Ratifikasi UNCLOS tahun 1982, (3) Undang-
Undang Nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia,
dinyatakan Laut teritorial yg diukur 12 Nm dari garis
pangkal. (4) Klaim Unilateral ZEEI,
• Berdasarkan pasal 55 UNCLOS 1982, dan
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1983 tentang
ZEEI. Klaim Unilateral ZEE Indonesia 200 Nm.
(5) Batas Landasan Kontinental Indonesia di
Utara Natuna, sesuai pasal 76 UNCLOS Tahun
1982, UU No.1 Tahun 1973 tentang Landas
Kontinen Indonesia, dan Perjanjian Landas
Kontinen Indonesia dengan Malaysia dan
Indonesia dengan Vietnam.
• Atas dasar hukum tersebut secara jelas
Natuna memang menjadi bagian
kepentingan vital nasional dan menjadi
bagian integral wilayah NKRI yang tidak
bisa diganggu gugat oleh siapapun, dan
klaim Tiongkok atas wilayah Natuna
sebagai traditional fishing ground hanya
berlandaskan sejarah dan artefak kuno
yang dimilikinya, dan itu tidak bisa menjadi
acuan dasar sebuah pengakuan wilayah
yang berdaulat.
• Selain itu perairan yurisdiksi Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia yang tumpang tindih dengan
klaim Nine Dash Line Cina. Seluas 83.315,62
km2 atau seluas 6 kali pulau Bali, wilayah
Indonesia terkooptasi oleh klaim Nine Dash Line
Cina harus dipertahankan kedaulatannya,
karena di perairan yurisdiksi tersebut telah
ditetapkan melalui perjanjian landas kontinen 2
(dua) negara antara Indonesia-Malaysia dan
Indonesia-Vietnam. Perjanjian itu sudah menjadi
hukum positif Indonesia, serta sebagai
penguatan terhadap klaim unilateral ZEEI
sepanjang 200 Nm dari titik dasar Kepulauan
Natuna.
2). Upaya pemerintah dalam menegakkan
kedaulatan di Laut China Selatan :
• Soal klaim Cina atas Laut China  Pemerintah Indonesia
meminta Cina untuk berhati-hati dalam menentukan peta
perbatasan lautnya. Sikap keras yang ditunjukkan Pemerintah
ini bukan tanpa alasan, Indonesia menjadi salah satu negara
yang dirugikan akibat aksi sepihak China yang menggambar
sembilan titik wilayah baru hingga memasuki perbatasan
Kepulauan Natuna. Jika itu terjadi, maka Cina telah
melanggar Zona Ekonomi Eksklusif milik RI."Sembilan titik
garis yang selama ini diklaim Tiongkok dan menandakan
perbatasan maritimnya tidak memiliki dasar hukum
internasional. 
• Langkah agresif yang diambil Cina ini membuat
Indonesia was-was. Apalagi, perairan Natuna
sebagian kecil masuk dalam zona yang diklaim.

• Oleh karena itu, Cina telah terus-menerus


bersikeras bahwa klaim kedaulatannya atas
kepulauan dan hak maritim di Laut Cina Selatan
tidak boleh dipengaruhi oleh kebutuhan yang
tidak masuk akal dari pemukiman permanen.
• China mengklaim kedaulatan atas Laut Cina
Selatan terutama melekat pada 'Sembilan-dash-
line' (jiuduanxian) doktrin, yang dirilis pada peta
Cina pada tahun 1947 dan menyatakan
kedaulatannya dan hak maritim atas semua
pulau-pulau dan perairan dlm Sembilan daerah -
dash-line, meskipun Beijing resmi menerbitkan
peta baru pada tahun 2014 menggunaka n
sepuluh-dash-line sbg demarkasi itu.
2. Penegakan hukum di Perairan
Indonesia.
• Ada beberapa instansi yang mempunyai
kewenangan menegakkan hukum di laut :
• Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI
AL)
• Kepolisian Republik Indonesia (Polri)
• Kementarian Kelautan dan Perikanan (KKP)
• Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia (Kemenkumham)
• Kementerian Perhubungan.
• Ditjen Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan
• Badan Keamanan Laut
BAB VI
TNI ANGKATAN LAUT SEBAGAI PENEGAK
HUKUM DAN SEKALIGUS PENYIDIK TINDAK
PIDANA TERTENTU DI LAUT

• TNI Angkatan Laut (TNI AL), selain sebagai


penegak hukum di laut juga sebagai penyidik
tindak pidana di laut. Kewenangan yang dimiliki
oleh TNI AL selain berdasarkan undang-undang/
hukum nasional juga didasarkan oleh hukum
internasional dalam hal ini Konvensi PBB
Tentang Hukum Laut 1982 (United Convention
On The Law Of The Sea 1982/ Unclos 1982).
Beberapa Tindak Pidana tertentu di laut dan
TNI AL sebagai penyidiknya :
• 1. Tindak :
Pidana Perompakan :
Tindak pidana pembajakan/ perompakan
sebagaimana dinyatakan dalam Bab XXIX
terutama pasal 438 s/d pasal 440 KUHP adalah
merupakan kejahatan pelayaran yang pada
umunya dilakukan karena adanya keinginan
untuk mendapatkan materi dari hasil
pembajakan/ perompakan tersebut.
• 2. Tindak Pidana di ZEE Indonesia.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia,
Tindak Pidana di ZEE Indonesia yaitu diatur pada
pasal 5 dinyatakan: barang siapa melakukan
eksplorasi dan/atau eksploitasi ekonomis seperti
pembangkitan tenaga dari air, arus dan angina di
zona ekonomi eksklusif , melakukan eksplorasi
dan/atau eksploitasi sumber daya alam hayati
yang dilakukan tanpa izin pemerintah Indonesia.
• 3. Tindak Pidana Perikanan

• Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004


tentang Perikanan dan juga berdasarkan Undang-
Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan dinyatakan bahwa tindak pidana perikanan
adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan
penangkapan ikan, pengelolaan dan pemanfaatan
sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari
praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan
pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem
bisnis perikanan yang tidak memiliki ijin dari pemerintah
Indonesia atau melanggar ketentuan dalam ijin tersebut.
4. Tindak Pidana Pelayaran.
• Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2008 tentang Pelayaran sebagaimana dinyatakan
dalam Bab XIX Ketentuan Pidana pada pasal 284
s/d pasal 336 pada intinya melakukan kegiatan
pelayaran tanpa dilengkapi Surat Ijin Berlayar
(SIB) atau melakukan kegiatan berlayar tetapi
tidak sesuai dengan ijin yang telah diberikan
dalam SIB nya.
5. Tindak Pidana Pelanggaran Wilayah
• Berdasarkan pasal 12 ayat (1) huruf h Ordonansi
(Undang-Undang) Lautan Territoor (Maritim) 1939
Territorial ZEE en Maritime Kringen Ordonantie 1939
(TZMKO 1939), tindak pidana pelanggaran wilayah
dinyatakan bahwa barang siapa, yang tanpa berhak
untuk itu seperti tercantum pasal 10 dan 11 (nahkoda
kapal-kapal, tongkang-tongkang yang mengibarkan
bendera asing), berlabuh atau tinggal mengambang
dengan kapal atau tongkangnya dalam lingkaran
maritime atau daerah laut Negara Republik Indonesia.
Kalau hanya melintas, apalagi lintas damai (innocence
passage) di laut territorial bukan merupakan
pelanggaran wilayah.
Dasar Hukum TNI AL sebagai Penyidik Tindak
Pidana Tertentu.
• 1. Perompakan : Pasal 13 dan14 TZMKO Thn 1939
• 2. Tindak Pidana di ZEEI : Pasal 14 (1)
• Undang-Undang No. 5 Tahun 1983
• 3. Tindak pidana Perikanan adalah pasal
• 73 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31
• Tahun 2004 tentang Perikanan.
• 4. Tindak Pidana Pelayaran : Pasal 282 dan
• penjelasannya Undang-Undang Nomor 17
• Tahun 2008 tentang Pelayaran.
• 5. Tindak Pidana Pelanggaran Wilayah :
• Pasal 13 dan 14 TZMKO Thn 1939.
BAB VII
KASUS PULAU SIPADAN LIGITAN DAN
KASUS MV LUSITANIA EXSPRESSO

1. Kasus Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan.


RI-Malaysia memasukkan pulau Sipadan dan
pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya .
Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan
dinyatakan dalam keadaan status status quo akan
tetapi ternyata pengertian ini berbeda.
• Malaysia memahami status quo sebagai
tetap berada di bawah Malaysia sampai
persengketaan selesai, sedangkan pihak
Indonesia mengartikan bahwa dalam
status ini berarti status kedua pulau tadi
tidak boleh ditempati/diduduki sampai
persoalan atas kepemilikan dua pulau ini
selesai.
• Indonesia taat pada hukum internasional
yang melarang mengunjungi daerah status
quo, ketika anggota kita pulang dari sana
membawa laporan, malah dimarahi.
Sedangkan Malaysia malah membangun
resort di Sipadan dan Ligitan tiba-tiba
menjadi berita, awal bulan lalu. Ini, gara-
gara di dua pulau kecil yang terletak di
Laut Sulawesi itu dibangun cottage. Di
atas Sipadan, pulau yang luasnya hanya 4
km2 itu.
Rincian Kronologi kasus
Sipadan Ligitan
• Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan
muncul pertama kali pada perundingan
mengenai batas landas kontinen antara RI
dan Malaysia di Kuala Lumpur (9-12
September 1969). Hasil Kesepakatan:
kedua pihak agar menahan diri untuk tidak
melakukan kegiatan-kegiatan yang
menyangkut kedua pulau itu sampai
penyelesaian sengketa.
.      Keputusan Mahkamah
Internasional

Pada tahun 1998 masalah sengketa


Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ,
kemudian pada hari Selasa 17 Desember
2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang
kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-
Ligitan antara Indonesia dengan Malaysia.
• Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia
dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1
orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17
hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI,
sementara satu hakim merupakan pilihan
Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia.
sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak
1960-an.
• Kemenangan Malaysia, oleh karena
berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa
memutuskan pada pertanyaan dari perairan
teritorial dan batas-batas maritim), yaitu
pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah
melakukan tindakan administratif secara nyata
berupa penerbitan ordonansi/ Undang-Undang
perlindungan satwa burung, pungutan pajak
terhadap pengumpulan telur penyu.
• Sementara itu, kegiatan pariwisata yang
dilakukan Malaysia tidak menjadi
pertimbangan, serta penolakan
berdasarkan chain of title (rangkaian
kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi
gagal dalam menentukan batas di
perbatasan laut antara Malaysia dan
Indonesia di selat Makassar.
Kekalahan dan Letak Kesalahan Indonesia Mengenai
Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan

• Kekalahan Indonesia di Sipadan dan Ligitan


adalah karena Indonesia tidak bisa menunjukkan
bukti bahwa Belanda (penjajah Indonesia) telah
memiliki kedua pulau itu; sementara Malaysia bisa
menunjukkan bukti bahwa Inggris (penjajah
Malaysia) memiliki dan mengelola kedua pulau itu.
• Dalam Hukum Internasional dikenal istilah
“Uti Possidetis Juris” yang artinya negara
baru akan memiliki wilayah atau batas
wilayah yang sama dengan bekas
jajahannya.

• Uti Possidetis Juris, adalah prinsip hukum


internasional yang mengesahkan Papua
menjadi bagian dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia (N
• Prinsip ini menyatakan, teritori dan
properti lainnya tetap berada di tangan
pemiliknya, kecuali jika hal yang berbeda
diatur oleh suatu perjanjian.

• Prinsip hukum ini digunakan sebagai


penentu batas wilayah sebuah negara
mengikuti batas wilayah negara itu saat
masih dijajah. Dalam konteks Indonesia,
batas wilayahnya mengikuti batas wilayah
saat masih berstatus Hindia Belanda,
termasuk di dalamnya ada Papua.
• penting atas kedua pulau itu berupa
pungutan pajak atas pemungutan telur
penyu, operasi mercu suar, dan aturan
perlindungan satwa.
• Ada tiga hal yang mengakibatkan Indonesia
kalah terhadap Malaysia dalam kasus lepasnya
Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, yaitu :

1. Malaysia secara terus menerus berada di pulau-


pulau tersebut (continuous presence).

2. Penguasaan efektif pulau oleh Malaysia


(effective occupation), termasuk adminstrasi;
dan
3. Perlindungan serta pelestarian ekologis
(maintenance and ecology reservation).
• KESIMPULAN
• Upaya-upaya yang dilakukan RI untuk menyelesaikan
sengketa pulau Sipadan Ligitan sudah intensif, namun
masih terdapat kekurangan-kekurangan, antara lain :
• 1) Sejak terbentuk negara kesatuan RI tahun 1945,
• Indonesia tidak pernah melakukan aktivitas
• ekonomi di pulau Sipadan dan Ligitan, jadi
• Indonesia tidak ada upaya dalam pengelolaan
• sumberdaya yang terdapat pada pulau Sipadan
• dan Ligitan. Sebaliknya Malaysia sejah tahun
• 1980-an telah menjadikan pulau Sipadan dan
• Ligitan sebagai pulau wisata bahari.
• 2.Undang-Undang Nomor 4/Prp/1960
tentang Perairan Indonesia terdapat “Ke-
alpaan” para penyusun Undang-Undang
tersebut yaitu dengan tidak mencantum
kan Sipadan dan Ligitan dalam wilayah
kedaulatan negara Indonesia
3. Sistem pengarsipan Indonesia terhadap
dokumen-dokumen sejarah, khususnya
menyangkut dokumen wilayah perbatasan
yang ada sejak tahun 1900-an sangat
lemah, sehingga saat dokumen dibutuhkan
kita harus ke negeri Belanda dan Inggris
untuk menelusurinya.
• Pengelolaan pulau-pulau kecil yang
terletak di wilayah perbatasan belum
mendapatkan perhatian yang memadai
dari pemerintah pusat, khususnya aspek
ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan
keamanan sehingga beberapa pulau kecil
diperbatasan secara bebas didatangi
orang
• Akibat kekalahan RI dalam sengketa Pulau
Sipadan dan Ligitan, maka lebar Laut territorial
dan ZEE masing-masing negara tentunya
berubah dan perlu pembahasan lagi.

• Mengoptimalkan upaya penyelesaian masalah


perbatasan dengan 10 negara tetangga, melalui
sinergis instansi terkait, sehingga pembangunan
dan pengembangan wilayah perbatasan dapat
dilaksanakan secara komprehensif.
• Penjagaan dan penegakkan kedaulatan di
perairan Indonesia, khususnya di laut
yang rawan pelanggaran harus lebih di
intensifkan agar perairan Indonesia
terbebas dari ancaman pelaggaran
wialayah.
2. Kasus MV Lusitania Expresso
• Insiden Dili 12 Nopember 1991 disebut juga
sebagai insiden Santa Cruz telah
menimbulkan reaksi dunia internasional
terutama yang menyangkut hak-hak asasi
manusia. Hal ini dimanfaatkan Portugal
dalam melancarkan kampanye menghadapi
Indonesia dalam penyelesaian Timor Timur
di forum Internasional.
• Tanggal 24 Januari 1992 pihak Portugal
telah memberangkatkan ekspedisi/
kunjungan yang diberi nama”PEACENIKS”
dengan menggunakan kapal Ferry
Lusitania Expresso (LE), menuju Darwin
Australia dengan tujuan akhir ke Dili Timor
Timur untuk meletakkan karangan bunga
bagi korban insiden di makam Santa Cruz.
• Dikemukakan bahwa kunjungan itu bertujuan
untuk menyampaikan simpati pada korban
kerusuhan di Dili pada bulan November 1991,
dengan menaburkan bunga di Dili.
• Indonesia merespon berita tersebut dengan
mengeluarkan Press release suatu statement
pada tanggal 25 Februari 1992 yang
menyatakan bahwa tindakan itu termasuk
provokatif dan bahwa pemerintah Indonesia
belum menerima permohonan entry permit dari
aktivis perdamaian tersebut.
• Dalam statementnya Indonesia
menyebutkan bahwa pelayaran tersebut
sebagai ’provocative in nature, that it is not
at all humanitarian but politically motivated
and designed to instigate confrontation,
aggravate tension, induce divisiveness
and incite disturbances in East
Timor.’Statement itu selanjutnya
menyatakan bahwa laut territorial
Indonesia tertutup untuk kapal Lusitania
Exspresso.
• Walaupun menyadari ekpedisi tersebut
akan ditolak oleh Indonesia, namun
Portugal bertindak nekad dengan
menganggap bahwa Timor Timur
merupakan bagian dari negara Portugal
sehingga mereka tidak perlu mendapatkan
ijin masuk, visa dan sebagainya dari pihak
Indonesia.
• Juga diharapkan langkah tersebut dapat
memancing pihak Indonesia agar terjebak
melakukan tindakan-tindakan yang
mengundang reaksi negative dari berbagai
pihak terutama yang merugikan Indonesia
di forum Internasional.
• Pada tanggal 11 Maret 1992, kapal Lusitania
Exspresso (LE) mulai memasuki perairan Indonesia.
Pada saat kapal LE sudah memasuki perairan
Indonesia kira-kira 2 mil laut, KRI Yos Sudarso dan
KRI Ki Hadjar Dewantara mencoba untuk
menghubungi kapal itu dan memerintahkan untuk
segera meninggalkan wilayah perairan Indonesia.
KRI Yos Sudarso melakukan manuver tertentu untuk
menghadang laju feri, sedangkan KRI Ki Hadjar
Dewantara membayang-bayangi tindakan yang
dilakukan oleh KRI Yos Sudarso.
• Dengan demikian bisa dikatakan bahwa hak
lintas damai kapal Lusitania Exspresso
tersebut ditangguhkan karena ada dugaan
tindakan para aktivis tersebut akan
membahayakan keamanan negara pantai
(provokatif). Lintasan kapal tersebut dapat
dikategorikan sebagai lintasan “tidak damai”
menurut pasal 19 ayat (2) Unclos 1982.
• Lintas suatu kapal asing dalam hal ini
kapal Lusitania Exspresso harus
dianggap membahayakan kedamaian,
ketertiban atau keamanan negara pantai,
apabila kapal tersebut di laut teritorial
melakukan kegiatan/perbuatan
propaganda yang bertujuan
mempengaruhi pertahanan dan keamanan
BAB VIII
HAK NEGARA-NEGARA DI ZEE NEGARA PANTAI
A. Definisi ZEE
Pasal 55
•Rezim hukum khusus zona ekonomi eksklusif
•Zona ekonomi eksklusif adalah suatu daerah di luar dan
berdampingan dengan laut teritorial, yang tunduk pada rejim
hukum khusus yang ditetapkan dalam Bab ini berdasarkan
mana hak-hak dan yurisdiksi Negara pantai dan hak-hak serta
kebebasan-kebebasan Negara lain, diatur oleh ketentuan-
ketentuan yang relevan Konvensi ini.
•Pasal 57
Lebar zona ekonomi eksklusif
•Zona ekonomi eksklusif tidak boleh melebihi 200 mil laut dari
garis pangkal darimana lebar laut teritorial diukur.
• B. Hak-Hak Negara Pantai di ZEE nya
• Pasal 60
Pulau buatan, instalasi dan bangunan-bangunan di zona ekonomi
eksklusif
• 1.       Di zona ekonomi eksklusif, Negara pantai mempunyai hak
eksklusif untuk membangun dan untuk menguasakan dan
mengatur pembangunan operasi dan penggunaan :
• (a)     pulau buatan;
• (b)     instalasi dan bangunan untuk keperluan sebagaimana
ditentukan dalam pasal 56 dan tujuan ekonomi lainnya;
• (c)     instalasi dan bangunan yang dapat mengganggu
pelaksanaan hak-hak Negara pantai dalam zona tersebut.
• 2.       Negara pantai mempunyai yurisdiksi eksklusif atas pulau
buatan, instalasi dan bangunan demikian, termasuk yurisdiksi
yang bertalian dengan peraturan perundang-undangan bea
cukai, fiskal, kesehatan, keselamatan dan imigrasi.
• 3. Pemberitahuan sebagaimana mestinya harus diberikan
mengenai pembangunan pulau buatan, instalasi atau
bangunan demikian dan sarana tetap guna pemberitahuan
adanya instalasi atau bangunan demikian harus dipelihara.
Setiap instalasi atau bangunan yang ditinggalkan atau tidak
terpakai harus dibongkar untuk menjamin keselamatan
pelayaran, dengan memperhatikan setiap standar
internasional yang diterima secara umum yang ditetapkan
dalam hal ini oleh organisasi internasional yang berwenang.
Pembongkaran demikian harus memperhatikan dengan
semestinya penangkapan ikan, perlindungan lingkungan laut,
dan hak-hak serta kewajiban Negara lain. Pengumuman yang
tepat harus diberikan mengenai kedalaman, posisi dan
dimensi setiap instalasi atau bangunan yang tidak dibongkar
secara keseluruhan.
• 4.  Negara pantai, apabila diperlukan, dapat
menetapkan zona keselamatan yang pantas di
sekeliling pulau buatan, instalasi dan bangunan
demikian dimana Negara pantai dapat mengambil
tindakan yang tepat untuk menjamin baik
keselamatan pelayaran maupun keselamatan pulau
buatan, instalasi dan bangunan tersebut.
• 5.       Lebar zona keselamatan harus ditentukan oleh Negara
pantai dengan memperhatikan standar-standar internasional
yang berlaku. Zona keselamatan demikian harus dibangun
untuk menjamin bahwa zona keselamatan tersebut sesuai
dengan sifat dan fungsi pulau buatan, instalasi dan bangunan
tersebut dan tidak boleh melebihi jarak 500 meter sekeliling
bangunan tersebut, diukur dari setiap titik terluar, kecuali
apabila diijinkan oleh standar internasional yang diterima
secara umum atau di rekomendasikan oleh organisasi
internasional yang berwenang. Pemberitahuan yang
semestinya harus diberikan tentang luas zona keselamatan
tersebut.
• 6.       Semua kapal harus menghormati zona keselamatan ini
dan harus memenuhi standar internasional yang diterima
secara umum yang bertalian dengan pelayaran di sekitar
pulau buatan, instalasi, bangunan dan zona keselamatan.

• 7.       Pulau buatan, instalasi dan bangunan-bangunan serta


zona keselamatan di sekelilingnya tidak boleh diadakan
sehingga dapat mengakibatkan gangguan terhadap
penggunaan alur laut yang diakui yang penting bagi pelayaran
internasional.

• 8.      Pulau buatan, instalasi dan bangunan tidak mempunyai


status pulau. Pulau buatan, instalasi dan bangunan tidak
mempunyai laut teritorialnya sendiri, dan kehadirannya tidak
mempengaruhi penetapan batas laut teritorial, zona ekonomi
eksklusif atau landas kontinen.
• C. Hak dan Kewajiban Negara Lain di ZEE
Negara Pantai.
• Pasal 58
Hak-hak dan kewajiban Negara lain di zona ekonomi
eksklusif
• 1.       Di zona ekonomi eksklusif, semua Negara, baik
Negara berpantai atau tak berpantai, menikmati, dengan
tunduk pada ketentuan yang relevan Konvensi ini, kebebasan
kebebasan pelayaran dan penerbangan, serta kebebasan
meletakkan kabel dan pipa bawah laut yang disebut dalam
pasal 87 dan penggunaan laut lain yang sah menurut hukum
internasional yang bertalian dengan kebebasan-kebebasan
ini, seperti penggunaan laut yang berkaitan dengan
pengoperasian kapal, pesawat udara, dan kabel serta pipa di
bawah laut, dan sejalan dengan ketentuan-ketentuan lain
Konvensi ini.
3. Dalam melaksanakan hak-hak memenuhi kewajibannya
berdasarkan Konvensi ini di zona ekonomi eksklusif,
Negaranegara harus memperhatikan sebagaimana
mestinya hak-hak dan kewajiban Negara pantai dan
harus mentaati peraturan perundang-undangan yang
ditetapkan oleh Negara pantai sesuai dengan ketentuan
Konvensi ini dan peraturan hukum internsional lainnya
sepanjang ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan
ketentuan Bab ini. Bab V tentang Zona Ekonomi
Eksklusif.
Untuk di ZEE Indonesia ;

-Kebebasan pelayaran dan penerbangan atau (Freedom of


Navigation and Freedom of Overflight ) berhubungan dengan
Pasal 87 Unclos 1982 berarti bebas berlayar, dan melakukan
penerbangan secara normal bukan melakukan Latihan Militer
(Military Exercises ) baik di ZEE maupun di udara di atas ZEE
Indonesia.

-Latihan Militer Negara lain di ZEE Indonesia memang tidak


dilarang, juga tidak diatur. Oleh karena tidak diatur maka latihan
militer tersebut tidak bisa dilakukan karena tidak ada ketentuan
yang menjadi dasar hukum (Legal Standing ) untuk mengatur
lebih rinci/ lebih khusus latihan tsb.
-Apabila ada militer negara asing ingin melakukan latihan di
ZEE Indonesia, maka bentuknya dalam kerjasama latihan
dengan Indonesia agar Indonesia bisa mengendalikan dan
menentukan area latihan supaya tidak merusak lingkungan Laut
dan tidak mengganggu nelayan menangkap ikan.

-Apabila Indonesia tidak ikut dalam kerjasama pada latihan


militer dan hanya cukup memberikan izin saja, maka Latihan
Militer tersebut akan dilakukan sebagaimana keinginan negara
peserta latihan bahkan latihan tersebut cenderung menjadi
arena Show of Force negara negara peserta latihan.
• Pasal 62
Pemanfaatan sumber kekayaan hayati

• 4.       Warganegara Negara lain yang menangkap ikan di


zona ekonomi eksklusif harus mematuhi tindakan konservasi,
ketentuan dan persyaratan lainnya yang ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan Negara pantai. Peraturan
perundang-undangan ini harus sesuai dengan ketentuan
konvensi ini dan dapat meliputi, antara lain hal-hal berikut :
• (a)     pemberian ijin kepada nelayan, kapal penangkap ikan
dan peralatannya, termasuk pembayaran bea dan pungutan
bentuk lain, yang dalam hal Negara pantai yang berkembang,
dapat berupa kompensasi yang layak di bidang pembiayaan,
peralatan dan teknologi yang bertalian dengan industri
perikanan;
• (b)     penetapan jenis ikan yang boleh ditangkap, dan
menentukan kwota-kwota penangkapan, baik yang bertalian
dengan persediaan jenis ikan atau kelompok persediaan jenis
ikan suatu jangka waktu tertentu atau jumlah yang dapat
ditangkap oleh warganegara suatu Negara selama jangka
waktu tertentu;

• (c)     pengaturan musim dan daerah penangkapan, macam


ukuran dan jumlah alat penangkapan ikan, serta macam,
ukuran dan jumlah kapal penangkap ikan yang boleh
digunakan;

• (d)     penentuan umum dan ukuran ikan dan jenis lain yagn
boleh ditangkap;
• e)     perincian keterangan yang diperlukan dari kapal
penangkap ikan, termasuk statistik penangkapan dan usaha
penangkapan serta laporan tentang posisi kapal;

• (f)      persyaratan, di bawah penguasaan dan pengawasan


Negara pantai, dilakukannya program riset perikanan yang
tertentu dan pengaturan pelaksanaan riset demikian,
termasuk pengambilan contoh tangkapan, disposisi contoh
tersebut dan pelaporan data ilmiah yang berhubungan;

• (g)     penempatan peninjau atau trainee diatas kapal tersebut


oleh Negara pantai;

• (h)     penurunan seluruh atau sebagian hasil tangkapan oleh


kapal tersebut di pelabuhan Negara pantai;
• (i)      ketentuan dan persyaratan bertalian dengan usaha
patungan atau pengaturan kerjasama lainnya;
• (j)      persyaratan untuk latihan pesonil dan pengalihan
teknologi perikanan, termasuk peningkatan kemampuan
Negara pantai untuk melakukan riset perikanan;
• (k)     prosedur penegakan.
5.  Negara pantai harus mengadakan pemberitahuan
sebagaimana mestinya mengenai peraturan konservasi dan
pengelolaan.
BAB IX
REZIM LAUT LEPAS (HIGH SEAS)
• 1.Prinsip-Prinsip kebebasan di laut lepas dan
Perkembangannya
Pasal 87
Kebebasan laut lepas
• 1. Laut lepas terbuka untuk semua Negara, baik Negara
pantai atau tidak berpantai. Kebebasan laut lepas,
dilaksanakan berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan
dalam Konvensi ini dan ketentuan lain hukum internasional.
Kebebasan laut lepas itu meliputi, inter alia, baik untuk Negara
pantai atau Negara tidak berpantai :
– kebebasan berlayar;
– kebebasan penerbangan;
– kebebasan untuk memasang kabel dan pipa bawah laut,
dengan tunduk pada Bab VI;
– kebebasan untuk membangun pulau buatan dan instalasi
lainnya yang diperbolehkan berdasarkan hukum
internasional, dengan tunduk pada Bab VI;
– kebebasan menangkap ikan, dengan tunduk pada
persyaratan yang tercantum dalam bagian 2;
– kebebasan riset ilmiah, dengan tunduk pada Bab VI dan
XIII.
• 2. Kebebasan ini akan dilaksanakan oleh semua Negara,
dengan memperhatikan sebagaimana mestinya kepen
tingan Negara lain dalam melaksanakan kebebasan
laut lepas itu, dan juga dengan memperhatikan
sebagaimana mestinya hak-hak dalam Konvensi ini yang
bertalian dengan kegiatan di Kawasan.

Pasal 88
Pencadangan laut lepas untuk maksud damai
Laut lepas dicadangkan untuk maksud damai.
Pasal 89
Tidak sahnya tuntutan kedaulatan laut lepas
Tidak ada suatu Negara pun yang dapat secara sah menundukkan
kegiatan manapun dari laut lepas pada kedaulatannya.
•  

Pasal 90
Hak berlayar
Setiap Negara, baik berpantai atau tidak berpantai, mempunyai
hak untuk melayarkan kapal di bawah benderanya di laut lepas.

Pasal 91
Kebangsaan kapal
1. Setiap Neg harus menetapkan persyaratan bagi
pemberian kebangsaannya pada kapal, untuk pendaftaran
kapal di dalam wilayah, dan untuk hak mengibarkan
benderanya. Kapal memiliki kebangsaan Neg yang benderanya
secara sah dapat dikibarkan olehnya. Harus ada suatu kaitan
yang sungguh-sungguh antara Negara dan kapal itu.
2. Setiap Negara harus memberikan kepada kapal yang
olehnya diberikan hak untuk mengibarkan benderanya dokumen
yang diperlukan untuk itu.
Pasal 92
Status kapal
•1. Kapal harus berlayar di bawah bendera suatu Negara
saja dan kecuali dalam hal-hal luar biasa yang dengan jelas
ditentukan dalam perjanjian internasional atau dalam Konvensi
ini, harus tunduk pada yurisdiksi eksklusif Negara itu di laut
lepas. Suatu kapal tidak boleh merobah bendera
kebangsaannya sewaktu dalam pelayaran atau sewaktu berada
di suatu pelabuhan yang disinggahinya, kecuali dalam hal
adanya suatu perpindahan pemilikan yang nyata atau
perubahan pendaftaran.
•2. Sebuah kapal yang berlayar di bawah bendera dua
Negara atau lebih, dan menggunakannya berdasarkan
kemudahan, tidak boleh menuntut salah satu dari kebangsaan
itu terhadap Negara lain manapun, dan dapat dianggap sebagi
suatu kapal tanpa kebangsaan.
Pasal 93
Kapal yang memakai bendera Perserikatan Bangsa-
Bangsa, badan-badan
khususnya dan Badan Tenaga Atom Internasional
•Pasal-pasal yang terdahulu tidak mempunyai pengaruh
terhadap masalah kapal-kapal yang digunakan dalam dinas
resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa, badan-badan khususnya
atau Badan Tenaga Atom Internasional (International Atomic
Energy Agency), yang mengibarkan bendera organisasi
tersebut.
Pasal 94
Kewajiban Negara Bendera
•1. Setiap Negara harus melaksanakan secara efektif
yurisdiksi dan pengawasannya dalam bidang administratif,
teknis dan sosial atas kapal yang mengibarkan benderanya.
• 2. Khususnya setiap Negara harus :

– memelihara suatu daftar (register) kapal-kapal yang


memuat nama dan keterangan-keterangan lainnya tentang
kapal yang mengibarkan benderanya, kecuali kapal yang
dikecualikan dari peraturan-peraturan internasional yang
diterima secara umum karena ukurannya yang kecil, dan

– menjalankan yurisdiksi di bawah perundang-undangan


nasionalnya atas setiap kapal yang mengibarkan
benderanya dan nakhoda, perwira serta awak kapalnya
bertalian dengan masalah administratif, teknis dan sosial
mengenai kapal itu.
• 3. Setiap Negara harus mengambil tindakan yang
diperlukan bagi kapal yang memakai benderanya, untuk
menjamin keselamatan di laut, berkenaan, inter alia,
dengan :
– konstruksi, peralatan dan kelayakan laut kapal;
– pengawakan kapal, persyaratan perburuhan dan latihan
awak kapal, dengan memperhatikan ketentuan
internasional yang berlaku;
– pemakaian tanda-tanda, memelihara dan pencegahan
tubrukan.
• 4. Tindakan demikian harus meliputi tindakan
yang diperlukan untuk menjamin :
– bahwa setiap kapal, sebelum pendaftaran dan sesudah
pada jangka waktu tertentu, diperiksa oleh seorang
surveyor kapal yang berwenang, dan bahwa di atas kapal
tersedia peta, penerbitan pelayaran dan peralatan
navigasi dan alat-alat lainnya yang diperlukan untuk
navigasi yang aman kapal itu;
– bahwa setiap kapal ada dalam pengendalian seorang
nakhoda dan perwira-perwira yang memiliki persyaratan
yang tepat, khususnya mengenai seamanship
(kepelautan), navigasi, komunikasi dan permesinan
kapal, dan bahwa awak kapal itu memenuhi syarat dalam
kualifikasi dan jumlahnya untuk jenis, ukuran, mesin dan
peralatan kapal itu;
• bahwa nakhoda, perwira, dan sedapat mungkin awak kapal
sepenuhnya mengenal dan diharuskan untuk mematuhi
peraturan internasional yang berlaku tentang keselamatan
jiwa di laut, pencegahan tubrukan dan pencegahan,
pengurangan dan pengendalian pencemaran laut serta
pemeliharaan komunikasi melalui radio.

5. Dalam mengambil tindakan yang diharuskan dalam ayat 3


dan 4 setiap Negara diharuskan untuk mengikuti peraturan-
peraturan, prosedur dan praktek internasional yang umum
diterima dan untuk mengambil setiap langkah yang mungkin
diperlukan untuk pentaatannya.
• 6. Suatu Negara yang mempunyai alasan yang kuat
untuk mengira bahwa yurisdiksi dan pengendalian yang layak
bertalian dengan suatu kapal telah tidak terlaksana, dapat
melaporkan fakta itu kepada Negara bendera. Setelah
menerima laporan demikian, Negara bendera harus
menyelidiki masalah itu dan, apabila diperlukan, harus
mengambil tindakan yang diperlukan untuk memperbaiki
keadaan.
• 7. Setiap Negara harus mengadakan pemeriksaan yang
dilakukan oleh atau dihadapan seorang atau orang-orang
yang berwenang, atas setiap kecelakaan kapal atau insiden
pelayaran di laut lepas yang menyangkut kapal yang
mengibarkan benderanya dan yang mengakibatkan hilangnya
nyawa atau luka berat pada warganegara dari Negara lain
atau kerusakan berat pada kapal-kapal atau instalasi instalasi
Negara lain atau pada lingkungan laut. Negara bendera dan
Negara yang lain itu harus bekerjasama dalam
penyelenggaraan suatu pemeriksaan yang diadakan oleh
Negara yang lain itu terhadap setiap kecelakaan laut atau
insiden pelayaran yang demikian itu.
• Pasal 95
Kekebalan kapal perang dilaut lepas
• Kapal perang di laut lepas memiliki kekebalan penuh
terhadap yurisdiksi Negara manapun selain Negara bendera.
•  
• Pasal 96
Kekebalan kapal yang hanya digunakan untuk dinas
pemerintah non-komersial
• Kapal yang dimiliki atau dioperasikan oleh suatu Negara dan
digunakan hanya untuk dinas pemerintah non-komersial di
laut lepas, memiliki kekebalan penuh terhadap yurisdiksi
Negara lain manapun kecuali Negara bendera.
 
Pasal 97
Yurisdiksi pidana dalam perkara tubrukan laut atau tiap
insiden pelayaran lainnya
•1. Dalam hal terjadinya suatu tubrukan atau insiden
pelayaran lain apapun yang menyangkut suatu kapal laut lepas,
berkaitan dengan tanggung jawab pidana atau disiplin nakhoda
atau setiap orang lainnya dalam dinas kapal, tidak boleh
diadakan penuntutan pidana atau disiplin terhadap orang-orang
yang demikian kecuali di hadapan peradilan atau pejabat
administratif dari atau Negara bendera atau Negara yang orang
demikian itu menjadi warganegaranya
• 2. Dalam perkara disiplin, hanya Negara yang telah
mengeluarkan ijazah nakhoda atau sertifikat kemampuan
atau ijin yang harus merupakan pihak yang berwenang,
setelah dipenuhinya proses hukum sebagaimana mestinya,
untuk menyatakan penarikan sertifikat demikian, sekalipun
pemegangnya bukan warganegara dari Negara yang
mengeluarkannya.

• 3. Tidak boleh penangkapan atau penahanan terhadap


kapal, sekalipun sebagai suatu tindakan pemeriksaan,
diperintahkan oleh pejabat manapun kecuali oleh pejabat
pejabat dari Negara bendera.
Pasal 98
Kewajiban untuk memberikan bantuan

•1. Setiap Negara harus mewajibkan (meminta) nakhoda


suatu kapal yang berlayar di bawah benderanya untuk,
selama hal itu dapat dilakukannya tanpa bahaya yang besar
bagi kapal, awak kapal atau penumpang :
– untuk memberikan pertolongan kepada setiap orang
yang ditemukan di laut dalam bahaya akan hilang;
– untuk menuju secepatnya menolong orang yang dalam
kesulitan, apabila mendapat pemberitahuan tentang
kebutuhan mereka akan pertolongan, sepanjang
tindakan demikian sepatutnya dapat diharapkan dari
padanya;
– setelah suatu tubrukan, untuk memberikan bantuan
pada kapal lain itu, awak kapal dan penumpangnya dan
dimana mungkin, untuk memberitahukan kepada kapal
lain itu nama kapalnya sendiri, pelabuhan registrasinya
dan pelabuhan terdekat yang akan didatanginya.

• 2. Setiap Negara pantai harus menggalakkan


diadakannya, pengoperasian dan pemeliharaan dinas
search and rescue (SAR) yang memadai dan efektif
berkenaan dengan keselamatan di dalam dan di atas laut
dan, dimana keadaan menghendakinya, bekerjasama
dengan Negara tetangga untuk tujuan ini dengan cara
pengaturan regional.
• Pasal 99
Larangan pengangkutan budak belian
• Setiap Negara harus mengambil tindakan efektif untuk
mencegah dan menghukum pengangkutan budak belian
dalam kapal yang diijinkan untuk mengibarkan benderanya
dan untuk mencegah pemakaian tak sah benderanya untuk
keperluan itu. Setiap budak belian yang melarikan diri keatas
kapal manapun, apapun benderanya, akan ipso facto
memperoleh kemerdekaannya.

Pasal 100
Kewajiban untuk kerjasama dalam
penindasan pembajakan di laut
• Semua Negara harus bekerjasama sepenuhnya dalam
penindasan pembajakan di laut lepas di tempat lain manapun
di luar yurisdiksi sesuatu Negara.
Pasal 101 Batasan pembajakan di laut
Pembajakan di laut terdiri dari salah satu di antara tindakan sbb :
(a) setiap tindakan kekerasan atau penahanan yang
tidak syah, atau setiap tindakan memusnahkan, yang dilakukan
untuk tujuan pribadi oleh awak kapal atau penumpang dari suatu
kapal atau pesawat udara swasta, dan ditujukan :
•(i) di laut lepas, terhadap kapal atau pesawat udara lain atau
terhadap orang atau barang yang ada di atas kapal atau pesawat
udara demikian;
•(ii) terhadap suatu kapal, pesawat udara, orang atau barang
di suatu tempat di luar yurisdiksi Negara manapun;
•(b) setiap tindakan turut serta secara sukarela dalam
pengoperasian suatu kapal atau pesawat udara dengan
mengetahui fakta yang membuatnya suatu kapal atau pesawat
udara pembajak.
•(c) setiap tindakan mengajak atau dengan sengaja membantu
tindakan yang disebutkan dalam sub-ayat (a) atau (b).
• Pasal 102
Perompakan oleh suatu kapal perang, kapal atau
pesawat
udara pemerintah yang awak kapalnya telah berontak
•  
• Tindakan-tindakan perompakan sebagaimana ditentukan
dalam pasal 101, yang dilakukan oleh suatu kapal perang,
kapal atau pesawat udara pemerintah yang awak kapalnya
telah berontak dan telah mengambil alih pengendalian atas
kapal atau pesawat udara itu disamakan dengan tindakan-
tindakan yang dilakukan oleh suatu kapal atau pesawat
udara perompak.
•  
• Pasal 103
Batasan kapal atau pesawat udara perompak
•  
• Suatu kapal atau pesawat udara dianggap suatu kapal atau
pesawat udara perompak apabila ia dimaksudkan oleh orang
yang mengendalikannya digunakan untuk tujuan melakukan
salah satu tindakan yang dimaksud dalam pasal 101. Hal
yang sama berlaku apabila kapal atau pesawat udara itu telah
digunakan untuk melakukan setiap tindakan demikian, selama
kapal atau pesawat udara itu berada di bawah pengendalian
orang-orang yang bersalah melakukan tindakan itu.
Pasal 104
Tetap dimilikinya atau kehilangan kebangsaan kapal atau
pesawat udara perompak
•Suatu kapal atau pesawat udara dapat tetap memiliki
kebangsaannya walaupun telah menjadi suatu kapal atau
pesawat udara perompak. Tetap dimilikinya atau kehilangan
kebangsaan ditentukan oleh undang-undang Negara yang telah
memberikan kebangsaan itu.
Pasal 105
Penyitaan suatu kapal atau pesawat udara perompak
•Di laut lepas, atau disetiap tempat lain di luar yurisdiksi
Negara manapun setiap Negara dapat menyita suatu kapal
atau pesawat udara perompak atau suatu kapal atau pesawat
udara yang telah diambil oleh perompak dan berada di bawah
pengendalian perompak dan menangkap orang-orang yang
menyita barang yang ada di kapal. Pengadilan Negara yang
telah melakukan tindakan penyitaan itu dapat menetapkan
hukuman yang akan dikenakan, dan juga dapat menetapkan
tindakan yang akan diambil berkenaan dengan kapal-kapal,
pesawat udara atau barang-barang, dengan tunduk pada hak-
hak pihak ketiga yang telah bertindak dengan itikad baik.
• 
• Pasal 106
Tanggung jawab atas penyitaan tanpa alasan yang cukup
• Apabila penyitaan suatu kapal pesawat udara yang dicurigai
melakukan perompakan dilakukan tanpa alasan yang cukup,
maka Negara yang telah melakukan penyitaan tersebut harus
bertanggung jawab terhadap Negara yang kebangsaannya
dimiliki oleh kapal atau pesawat udara tersebut untuk setiap
kerugian atau kerusakan yang disebabkan oleh penyitaan
tersebut.
• Pasal 107
Kapal atau pesawat udara yang berhak menyita karena
perompakan 
• Suatu penyitaan karena perompakan hanya dapat dilakukan
oleh kapal perang atau pesawat udara militer, atau kapal
atau pesawat udara lain yang secara jelas diberi tanda dan
dapat dikenal sebagai dalam dinas pemerintah dan yang
diberi wewenang untuk melakukan hal demikian.
Pasal 108
Perdagangan gelap obat narkotik atau bahan-bahan
psikotropis
• 1. Semua Negara harus bekerjasama dalam
penumpasan perdagangan gelap obat narkotik dan
bahan-bahan psikotropis yang dilakukan oleh kapal di
laut lepas bertentangan dengan konvensi internasional.
• 2. Setiap Negara yang mempunyai alasan yang
layak untuk mengira bahwa suatu kapal yang
mengibarkan benderanya terlibat dalam perdagangan
gelap obat narkotik atau bahan psikotropis dapat
meminta kerjasama Negara lain untuk menumpas
perdagangan demikian.
Pasal 109
Penyiaran gelap dari laut lepas
•1. Semua Negara harus bekerjasama dalam menumpas
siaran gelap dari laut lepas.
•2. Untuk maksud Konvensi ini, “penyiaran gelap” berarti
transmisi dari pada suara radio atau siaran televisi dari kapal
atau instalasi di laut lepas yang ditujukan untuk penerimaan
oleh umum secara bertentangan dengan peraturan
internasional tetapi tidak termasuk didalamnya transmisi
permintaan pertolongan.
• 3. Setiap orang yang melakukan penyiaran gelap dapat
dituntut dimuka pengadilan :
– Negara bendera kapal;
– Negara registrasi instalasi;
– Negara dimana orang itu menjadi warganegara;
– setiap Negara dimana transmisi itu dapat diterima; atau
– setiap Negara dimana komunikasi radio yang sah
mengalami gangguan.
• 4. Di laut lepas, suatu Negara yang mempunyai
yurisdiksi sesuai dengan ayat 4, sesuai dengan Pasal 110,
dapat menangkap setiap orang atau kapal yang melakukan
siaran gelap dan menyita peralatan pemancaran tersebut
Pasal 110
Hak melakukan pemeriksaan
1. Kecuali apabila perbuatan mengganggu berasal dari wewenang
yang berdasarkan perjanjian, suatu kapal perang yang menjumpai
suatu kapal asing di laut lepas, selain kapal yang memiliki kekebalan
penuh sesuai pasal-pasal 95 dan 96, tidak dibenarkan untuk
menaikinya kecuali kalau ada alasan yang cukup untuk menduga
bahwa :
•(a) kapal tersebut terlibat dalam perompakan;
•(b) kapal tersebut terlibat dalam perdagangan budak;
•(c) kapal tersebut terlibat dalam penyiaran gelap dan Negara
bendera kapal perang tersebut mempunyai yurisdiksi berdasarkan
pasal 109;
•(d) kapal tersebut tanpa kebangsaan; atau
•(e) walaupun mengibarkan suatu bendera asing atau menolak
untuk memperlihatkan benderanya, kapal tersebut, dalam
kenyataannya, memiliki kebangsaan yang sama dengan kapal perang
tersebut.
• 2. Dalam hal-hal yang ditentukan dalam ayat 1, kapal
perang tersebut dapat melaksanakan pemeriksaan atas hak
kapal tersebut untuk mengibarkan benderanya. Untuk
keperluan ini, kapal perang boleh mengirimkan sekoci, di
bawah perintah seorang perwira ke kapal yang dicurigai.
Apabila kecurigaan tetap ada setelah dokumen-dokumen di
periksa, dapat diteruskan dengan pemeriksaan berikutnya di
atas kapal, yang harus dilakukan dengan memperhatikan
segala pertimbangan yang mungkin.
• 3. Apabila ternyata kecurigaan itu tidak beralasan dan
apabila kapal yang diperiksa tidak melakukan suatu
perbuatan yang membenarkan pemeriksaan itu, kapal
tersebut akan menerima ganti kerugian untuk setiap kerugian
atau kerusakan yang mungkin diderita.
• 4. Ketentuan-ketentuan ini berlaku mutatis mutandis
bagi pesawat udara militer.
• 5. Ketentuan-ketentuan ini berlaku juga bagi setiap
kapal atau pesawat udara lain yang berwenang dan
mempunyai tanda-tanda jelas dan dapat dikenal sebagai
kapal atau pesawat udara dalam dinas pemerintah.
Pasal 111
Hak Pengejaran seketika
(Right of hot pursuit)

•1. Pengejaran seketika suatu kapal asing dapat dilakukan apabila


pihak yang berwenang dari Negara pantai mempunyai alasan cukup untuk
mengira bahwa kapal tersebut telah melanggar peraturan perundang-
undangan Negara itu. Pengejaran demikian harus dimulai pada saat kapal
asing atau salah satu dari sekocinya ada dalam perairan pedalaman,
perairan kepulauan, laut teritorial atau zona tambahan negara pengejar, dan
hanya boleh diteruskan di luar laut teritorial atau zona tambahan apabila
pengejaran itu tidak terputus. Adalah tidak perlu bahwa pada saat kapal
asing yang berada dalam laut teritorial atau zona tambahan itu menerima
perintah untuk berhenti, kapal yang memberi perintah itu juga berada dalam
laut teritorial atau zona tambahan. Apabila kapal asing tersebut berada
dalam zona tambahan, sebagaimana diartikan dalam pasal 33, pengejaran
hanya dapat dilakukan apabila telah terjadi pelanggaran terhadap hak-hak
untuk perlindungan mana zona itu telah diadakan.
• 2. Hak pengejaran seketika harus berlaku, mutatis
mutandis bagi pelanggaran-pelanggaran di zona ekonomi
eksklusif atau di landas kontinen, termasuk zona-zona
keselamatan disekitar instalasi-instalasi di landas kontinen,
terhadap peraturan perundang-undangan Negara pantai
yang berlaku sesuai dengan Konvensi ini bagi zona ekonomi
eksklusif atau landas kontinen, termasuk zona keselamatan
demikian.
• 3. Hak pengejaran seketika berhenti segera setelah
kapal yang dikejar memasuki laut teritorial Negaranya
sendiri atau Negara ketiga.
4. Pengejaran seketika belum dianggap telah dimulai kecuali
jika kapal yang mengejar telah meyakinkan diri dengan cara-cara
praktis yang demikian yang mungkin tersedia, bahwa kapal yang
dikejar atau salah satu sekocinya atau kapal lain yang
bekerjasama sebagai suatu team dan menggunakan kapal yang
dikejar sebagai kapal induk berada dalam batas-batas laut
teritorial atau sesuai dengan keadaannya di dalam zona
tambahan atau zona ekonomi eksklusif atau di atas landas
kontinen. Pengejaran hanya dapat mulai setelah diberikan suatu
tanda visual atau bunyi untuk berhenti pada suatu jarak yang
memungkinkan tanda itu dilihat atau didengar oleh kapal asing
itu.
5. Hak pengejaran seketika dapat dilakukan hanya oleh
kapal-kapal perang atau pesawat udara militer atau kapal-kapal
atau pesawat udara lainnya yang diberi tanda yang jelas dan
dapat dikenal sebagai kapal atau pesawat udara dalam dinas
pemerintah dan berwenang untuk melakukan tugas itu.
6. Dalam hal pengejaran seketika dilakukan oleh suatu
pesawat udara :
•(a) ketentuan-ketentuan dalam ayat 1 dan 4 harus berlaku
mutatis mutandis;
•(b) pesawat udara yang memberikan perintah untuk
berhenti harus melakukan pengejaran kapal itu secara aktif
sampai kapal atau pesawat udara Negara pantai yang dipanggil
oleh pesawat udara pengejar itu tiba untuk mengambil alih
pengejaran itu, kecuali apabila pesawat udara itu sendiri dapat
melakukan penangkapan kapal tersebut. Adalah tidak cukup
untuk membenarkan suatu penangkapan di luar laut teritorial
bahwa kapal itu hanya terlihat oleh pesawat udara sebagai
suatu pelanggar atau pelanggar yang dicurigai, jika kapal itu
tidak diperintahkan untuk berhenti dan dikejar oleh pesawat
udara itu sendiri atau oleh pesawat udara atau kapal lain yang
melanjutkan pengejaran itu tanpa terputus.
• 7. Pelepasan suatu kapal yang ditahan dalam yurisdiksi
suatu Negara dan dikawal ke pelabuhan Negara itu untuk
keperluan pemeriksaan di hadapan pejabat-pejabat yang
berwenang tidak boleh dituntut semata-mata atas alasan
bahwa kapal itu dalam melakukan perjalanannya, dikawal
melalui sebagian dari zona ekonomi eksklusif atau laut lepas
jika keadaan menghendakinya.

• 8. Dalam hal suatu kapal telah dihentikan atau ditahan di


luar laut teritorial dalam keadaan yang tidak membenarkan
dilaksanakannya hak pengejaran seketika, maka kapal itu
harus diberi ganti kerugian untuk setiap kerugian dan
kerusakan yang telah diderita karenanya.
Pasal 112
Hak untuk memasang kabel dan pipa bawah laut
1. Semua Negara mempunyai hak untuk memasang kabel dan
pipa bawah laut di atas dasar laut lepas di luar L. kontinen.
2. Pasal 79 ayat 5, berlaku terhadap kabel dan pipa demikian.
 Pasal 113
Pemutusan atau kerusakan kabel atau pipa bawah laut
Setiap Negara harus menetapkan peraturan perundang undangan
yang diperlukan untuk mengatur bahwa pemutusan atau kerusakan
pada kabel bawah laut di bawah laut lepas yang dilakukan dengan
sengaja atau karena kelalaian yang sangat oleh sebuah kapal yang
mengibarkan benderanya atau oleh seorang yang tunduk pada
yurisdiksinya, sedemikian rupa sehingga besar kemungkinannya
memutuskan atau menghalangi komunikasi telegrap atau telepon,
demikian pula,pemutusan atau kerusakan pada pipa atau kabel
listrik voltase tinggi di bawah laut merupakan suatu pelanggaran
yang dapat dihukum.
• Ketentuan ini juga harus berlaku terhadap perbuatan yang
diperhitungkan dapat atau kemungkinan besar berakibat
pemutusan atau kerusakan demikian. Akan tetapi, ketentuan
tersebut tidak berlaku bagi setiap pemutusan atau kerusakan
yang disebabkan oleh orang-orang yang hanya bertindak
dengan tujuan sah untuk menyelamatkan nyawa atau
kapalnya, setelah mereka melakukan segala upaya
pencegahan untuk menghindarkan terjadinya pemutusan atau
kerusakan demikian.
Pasal 114
Pemutusan atau kerusakan oleh pemilik kabel atau pipa
bawah laut
terhadap kabel atau pipa bawah laut lainnya
 
Setiap Negara harus menetapkan peraturan perundang-
undangan yang diperlukan untuk mengatur bahwa apabila
orang-orang yang tunduk pada yurisdiksinya, yang merupakan
pemilik kabel atau pipa bawah laut di bawah laut lepas,
sewaktu melakukan pemasangan atau perbaikan kabel atau
pipa itu, mengakibatkan terjadinya pemutusan atau kerusakan
pada kabel atau pipa laut lain, mereka harus menanggung
biaya perbaikannya.
• 
Pasal 115
Ganti rugi untuk kerugian yang diderita dalam
usaha untuk mencegah
kerusakan pada kabel atau pipa bawah laut
•Setiap Negara harus menetapkan peraturan perundang-undangan
yang diperlukan untuk menjamin bahwa pemilik kapal yang dapat
membuktikan bahwa mereka telah mengorbankan sebuah jangkar,
sebuah jaring atau peralatan penangkapan ikan lainnya dalam
usaha untuk mencegah terjadinya kerusakan pada kabel atau pipa
bawah laut, harus diberi ganti kerugian oleh pemilik dari kabel atau
pipa tersebut, dengan ketentuan bahwa pemilik kabel itu telah
mengambil segala tindakan pencegahan yang wajar sebelumnya.

• 
BAGIAN 2.
KONSERVASI DAN PENGELOLAAN SUMBER
KEKAYAAN HAYATI DI LAUT LEPAS

Pasal 116
Hak untuk menangkap ikan di laut lepas
•Semua Negara mempunyai hak bagi warganegaranya untuk
melakukan penangkapan ikan di laut lepas dengan tunduk
pada :
•(a) kewajibannya berdasarkan perjanjian internasional;
•(b) hak dan kewajiban maupun kepentingan Negara pantai,
yang ditentukan, inter alia, dalam pasal 63, ayat 2, dan pasal-
pasal 64 sampai 67; dan
•(c) ketentuan bagian ini.
• 
• Pasal 117
Kewajiban Negara untuk mengadakan tindakan bertalian
dengan warga
negaranya untuk konservasi sumber kekayaan hayati di
laut lepas

Semua Negara mempunyai kewajiban untuk mengambil


tindakan atau kerjasama dengan Negara lain dalam
mengambil tindakan demikian bertalian dengan warga
negara masing-masing yang dianggap perlu untuk
konservasi sumber kekayaan hayati di laut lepas.
• Pasal 118
Kerjasama Negara-negara dalam konservasi dan
pengelolaan sumber kekayaan hayati

• Negara-negara harus melakukan kerjasama satu dengan


lainnya dalam konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan
hayati di daerah laut lepas. Negara-negara yang
warganegaranya melakukan eksploitasi sumber kekayaan
hayati yang sama atau sumber kekayaan hayati yang
berlainan di daerah yang sama, harus mengadakan
perundingan dengan tujuan untuk mengambil tindakan yang
diperlukan untuk konservasi sumber kekayaan hayati yang
bersangkutan. Mereka harus, menuntut keperluan,
bekerjasama untuk menetapkan organisasi perikanan sub-
regional atau regional untuk keperluan ini.
Pasal 119
Konservasi sumber kekayaan hayati di laut lepas
1. Dalam menetapkan jumlah tangkapan yang
diperbolehkan dan menetapkan lain-lain tindakan konservasi
sumber kekayaan hayati di laut lepas. Negara-negara harus :
•(a) mengambil tindakan yang direncanakan berdasarkan
bukti ilmiah terbaik yang tersedia pada Negara yang
bersangkutan, memelihara atau memulihkan populasi jenis-
jenis yang ditangkap pada taraf yang dapat memberikan hasil
tangkap lestari maksimum, sebagaimana ditentukan oleh faktor
lingkungan dan ekonomi yang relevan, termasuk kebutuhan
khusus dari Negara berkembang, dan dengan memperhatikan
pola-pola penangkapan ikan, saling ketergantungan antara
persediaan jenis ikan dan setiap standar minimum internasional
yang secara umum direkomendasikan pada taraf sub-regional,
regional maupun global.
• (b) memperhatikan akibat terhadap jenis yang
berhubungan dengan atau tergantung dari jenis yang
ditangkap dengan tujuan untuk memelihara atau
memulihkan populasi jenis yang berhubungan atau
tergantung demikian di atas taraf dimana reproduksinya
menjadi sangat terancam.
• 2. Keterangan ilmiah yang tersedia, statistik tentang
penangkapan dan upaya penangkapan ikan dan lain-lain data
yang relevan dengan konservasi persediaan jenis ikan harus
disumbangkan dan dipertukarkan secara teratur melalui
organisasi internasional yang berwenang baik sub-regional,
regional atau global, dimana perlu dan dengan serta semua
Negara yang berkepentingan.
• 3. Negara yang berkepentingan harus menjamin bahwa
tindakan konservasi dan pelaksanaannya tidak mengadakan
diskriminasi formal atau diskriminasi nyata terhadap nelayan
dari Negara manapun juga.
Pasal 120
Mamalia laut
• Pasal 65 juga berlaku bagi konservasi dan pengelolaan
mamalia laut di laut lepas.

Anda mungkin juga menyukai