Anda di halaman 1dari 31

UNIVERSITAS INDONESIA

LANDAS KONTINEN DALAM HUKUM INTERNASIONAL

MAKALAH KELAS HUKUM LAUT

SHERLEY MEGA SANDIORI (1306412400)


FLORIANTI KURNIA (1306412413)

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM SARJANA
DEPOK
DESEMBER 2016
A) Perkembangan Konsep Landas Kontinen

Secara geografis, hampir seluruh dasar laut di muka bumi ini terdiri dari dasar laut
dalam dengan kedalaman ribuan meter di bawah permukaan laut. Di antara dataran
abisal dan daratan ini, terdapat teras atau landasan yang secara geologis merupakan
bagian dari benua dan tertutup dengan perairan yang cukup dangkal.1 Dasar laut yang
berdampingan dengan pantai terbagi ke dalam tiga bagian: (i) landas kontinen atau
paparan benua (continental shelf); (ii) lereng benua (continental slope); dan (iii)
jedulan benua (continental rise). Keseluruhan dari tiga bagian dasar laut ini disebut
sebagai tepi benua yang membentuk seperlima dari seluruh dasar laut di muka bumi.
Tepi benua, terutama Landas Kontinen, memiliki kekayaan sumber daya alam yang
sangat melimpah, khususnya minyak, gas bumi, dan mineral. Selain itu, tepi benua
menjadi habitat bagi spesies-spesies sedentari di laut seperti tiram, kerang, lobster,
dan kepiting. Kekayaan sumber daya alam di wilayah ini membuat pembahasan
mengenai hukum yang berlaku atasnya menjadi sangat penting.2

Hingga awal abad 20, negara-negara telah secara umum menerima bahwa
kepemilikan negara pantai atas laut teritorial turut memberikan negara pantai hak
milik atas sumber daya dari laut tersebut, termasuk yang terdapat di dasar laut dan
tanah di bawahnya. Hukum pada masa itu juga telah berkembang hingga dapat
membedakan kepemilikan terhadap dasar laut teritorial dan laut bebas, di mana dasar
laut teritorial secara otomatis berada di bawah milik negara pantai sementara dasar
laut bebas membutuhkan pendudukan efektif untuk menjadi hak milik dari sebuah
negara. Negara juga dapat menyatakan hak miliknya atas dasar laut bebas dengan
melakukan eksploitasi secara tetap dan terus menerus atau menegakkan hak atas
kontrol terhadap wilayah tertentu dari dasar laut bebas. Praktik ini secara umum
dilakukan oleh negara-negara pada masa itu, seperti Inggris yang menyatakan hak
berdaulatnya atas peternakan mutiara dan kerang di lepas pantai Ceylon (Sri Lanka)
dan Perancis atas peternakan bunga karang di lepas pantai Tunis.3 Praktik tersebut
dilakukan di luar wilayah perairan teritorial kedua negara. Meskipun begitu, baik

1
James Crawford, Brownlie’s Principles of Public International Law, Edisi 8, (Oxford:
Oxford University Press, 2012), hlm. 269.
2
R. R. Churchill dan A. V. Lowe, The Law of the Sea, Edisi 2, (Manchester: Manchester
University Press, 1988), hlm. 120.
3
Ibid., hlm. 121.

1
Inggris di dalam hukumnya pada tahun 1811 maupun Perancis di dalam Fisheries
Convention of 1939 memberikan batas secara jelas. 4 Klaim hak berdaulat untuk
mengambil sumber daya laut dari dasar laut bebas tersebut diterima secara luas karena
dianggap tidak mengganggu kebebasan berlayar dan penangkapan ikan yang
dilakukan di perairan di atasnya. Meskipun begitu, negara tetap tidak dapat
mengapropriasi wilayah dasar laut bebas karena wilayah tersebut merupakan res
communis.5

Mengenai tanah di bawah dasar laut, pada tahun 1912, Oppenheim berusaha
menyimpulkan lima prinsip hukum yang mengaturnya:6
1. Tanah di bawah dasar laut di laut bebas merupakan tanah tak
bertuan (no man’s land) yang bisa didapatkan oleh negara pantai
melalui okupasi, dimulai dari tanah di bawah dasar laut di bawah
laut teritorialnya.
2. Okupasi dapat terjadi ipso facto lewat terowongan atau tambang
yang digali dari pesisir sampai kepada tanah di bawah dasar laut
bebas.
3. Okupasi dari tanah di bawah dasar laut bebas dapat diperluas
sampai ke batas dari laut teritorial negara lain, sebab negara tidak
memiliki hak eksklusif untuk melakukan okupasi atas dasar laut
bebas yang berdampingan dengan dasar laut dari laut
teritorialnya.
4. Okupasi tidak akan diterima jika mengganggu kebebasan di laut
bebas.
5. Perjanjian yang mengatur bagian dari tanah di bawah dasar laut
bebas yang telah sebelumnya diokupasi untuk kepentingan yang
sah tidak diizinkan karena akan membahayakan kebebasan dari
laut bebas.

4
Suzette V. Suarez, The Outer Limits of the Continental Shelf: Legal Aspects of their
Establishment, (Berlin: Springer Science and Business Media, 2008), hlm. 21-22.
5
Ibid., hlm. 121.
6
L. (Lassa) Oppenheim, International Law. A Treatise. Volume I (of 2) Peace. Second
Edition, (London: Longmans, Green and Co., 1912), hlm. 836-837.

2
Hukum laut atas Landas Kontinen mulai berkembang ketika negara-negara mulai
mapan secara teknologi maupun ekonomi untuk mengeksploitasi sumber daya alam di
dasar laut, khususnya minyak bumi lepas pantai. 7 Dengan semakin meningkatnya
kesadaran negara-negara terhadap kekayaan sumber daya alam di dasar laut, negara-
negara pun mulai mengambil tindakan hukum terhadap dasar laut yang berdampingan
dengan pantainya. Perjanjian internasional pertama yang mengatur mengenai dasar
laut merupakan perjanjian bilateral antara Inggris, mewakili Trinidad, dan Venezuela
pada tahun 1942 mengenai dasar laut di luar laut teritorial mereka di Teluk Paria.
Perjanjian itu membagi dasar laut di Teluk Paria menjadi dua, di mana pada satu
bagian Inggris berjanji untuk tidak menegakkan hak berdaulat atau kontrol dan akan
mengakui hak berdaulat atau kontrol yang ditegakkan oleh Venezuela, dan begitu
pula sebaliknya dengan Venezuela pada bagian yang lain. Perjanjian ini hanya secara
tegas menyatakan bahwa negara pihak lain tidak boleh menyatakan kedaulatannya
atas sebuah teritori, tetapi tidak menyatakan kedaulatannya sendiri atas teritori
tersebut karena kedaulatan tersebut tetap harus timbul dari pendudukan efektif.
Meskipun begitu, perjanjian ini telah menjadi perjanjian pertama mengenai
pembatasan Landas Kontinen sebelum masuknya konsep Landas Kontinen ke dalam
kerangka hukum internasional.8

Pada tahun 1945, Presiden Amerika Serikat, Harry S. Truman, mengeluarkan


pernyataan monumental mengenai kepemilikan negara pantai terhadap Landas
Kontinen.9 Di dalam pernyataannya yang dikenal sebagai Truman Proclamation, ia
berkata10
…the Government of the United States regards the natural resources of the subsoil
and seabed of the continental shelf beneath the high seas but contiguous to the coasts
of the United States as appertaining to the United States, subject to its jurisdiction
and control.

Di dalam pernyataan Truman tersebut, yang dimaksud dengan Landas Kontinen


adalah tepi benua yang memiliki kedalaman tidak lebih dari 100 depa (fathom). 11
Proklamasi tersebut dikeluarkan oleh Pemerintah Amerika Serikat atas dasar intensi

7
Peter Malanczuk, Akehurst’s Modern Introduction to International Law, Edisi 7, (New York:
Routledge, 1997), hlm. 191.
8
R. R. Churchill dan A. V. Lowe, hlm. 122.
9
James Crawford, op. cit., hlm. 270.
10
R. R. Churchill dan A. V. Lowe, loc. cit.
11
Peter Malanczuk, loc. cit.

3
untuk menguasai sumber daya minyak yang tersimpan di dasar lautnya serta mineral-
mineral. 12 Pemerintah Amerika Serikat kemudian menegaskan bahwa proklamasi
tersebut tidak akan mengganggu kebebasan berlayar dari laut bebas pada perairan di
atasnya.13

Pernyataan Truman mendorong negara-negara lain untuk ikut menyatakan klaimnya


atas Landas Kontinen, 14 seperti Orders in Council 1948 yang terkait dengan
Kepulauan Bahama dan Jamaika, proklamasi Saudi Arabia, dan proklamasi
kesultanan Teluk di bawah perlindungan Inggris pada tahun 1949.15 Beberapa negara
tidak hanya mengklaim yurisdiksi dan kontrol atas sumber daya alam yang terdapat di
dalamnya, namun juga kedaulatan atas landasan tersebut. Di Amerika Latin, beberapa
negara seperti Argentina dan El Salvador16 bahkan turut mengklaim perairan di atas
Landas Kontinen sampai ke ruang udara di atasnya. Proklamasi dari Chile dan Peru,
khususnya, menjadi kontroversial karena secara geologis Chile dan Peru tidak
memiliki Landas Kontinen. Dasar laut pesisir pantai mereka langsung menghujam ke
kedalaman laut yang besar. Oleh karena itu, Chile dan Peru melakukan klaim atas
dasar laut dan tanah di bawahnya sepanjang 200 mil dari pesisir, termasuk perairan
dan ruang udara di atasnya. Proklamasi ini ditentang oleh Amerika Serikat dan
negara-negara lain.17 Begitu beragamnya praktik-praktik negara pada masa itu hingga
Lord Asquith di dalam putusan arbitrase pada kasus Petroleum Development Ltd
melawan Sheik Abu Dhabi mengatakan bahwa tidak ada kepastian mengenai hukum
internasional apa yang secara definitif mengatur mengenai Landas Kontinen.18

Pemerintah Inggris selanjutnya mengeluarkan pernyataan yang berusaha merangkum


posisi-posisi negara terkait status hukum Landas Kontinen:19

12
Hugh G. Morris, “The Continental Shelf-an International Dilemma,” Osgoode Hall Law
Journal 1.1 (1958), hlm. 38.
13
Harrop A. Freeman, “Law of the Continental Shelf and Ocean Resources – An Overview,”
Cornell International Law Journal: Vol. 3: Iss. 2 (1970), Article 1, hlm. 111.
14
Ram P. Anand, Law of the Sea – Caracas and Beyond, (New Delhi: Radiant Publishers,
1978), hlm. 147.
15
James Crawford, loc.cit.
16
Malcolm Shaw, International Law, Edisi 5, (Cambridge: Cambridge University Press,
2003), hlm. 522.
17
Peter Malanczuk, loc. cit.
18
R. R. Churchill dan A. V. Lowe, loc. cit.
19
Hugh G. Morris, op.cit., hlm. 41.

4
1. Landas Kontinen adalah res communis dan tidak dapat diokupasi
oleh negara apapun. Hanya organisasi internasional yang dapat
melakukan okupasi.
2. Landas Kontinen adalah res nullius dan dapat diokupasi ketika
ada pendudukan efektif, yaitu eksploitasi secara fisik.
3. Landas Kontinen adalah res nullius dan dapat diokupasi melalui
proklamasi.
4. Landas Kontinen bukan merupakan res nullius, namun
merupakan hak milik dari negara pantai.

Delapan belas tahun kemudian, United Nations Conference on the Law of the Sea I
yang diadakan di Jenewa tahun 1958 melakukan kodifikasi hukum internasional
pertama mengenai Landas Kontinen, di mana 86 negara yang hadir 20 mengadopsi
Continental Shelf Convention.21 Dengan hanya 44 negara yang meratifikasi konvensi
tersebut, 22 Continental Shelf Convention merupakan bagian dari perkembangan
progresif hukum internasional. Namun, Pasal 1, 2, dan 3 dari konvensi tersebut
kemudian diakui sebagai kebiasaan internasional. Pasal 1 mendefinisikan Landas
Kontinen menggunakan batas exploitability, dengan mendefinisikan Landas Kontinen
sebagai, “…the seabed and subsoil of the submarine areas adjacent to the coast but
outside the area of the territorial sea, to a depth of 200 metres or beyond that limit, to
where the depth of the superjacent waters admits of the exploitation of the natural
resources of the said areas.”23 Pasal 2 mendefinisikan hak berdaulat negara pantai
atas kekayaan sumber daya alam yang tersimpan di dalam Landas Kontinen. Hak
tersebut merupakan hak eksklusif dan tidak membutuhkan proklamasi. 24 Signifikansi
dari Continental Shelf Convention dapat dilihat di dalam Pasal 2 dari konvensi ini
yang memberikan negara hak berdaulat atas Landas Kontinen, dan bukan kedaulatan.
Prinsip ini dianggap sesuai dengan kebutuhan negara pada masa itu dan juga dengan
prinsip freedom of the seas yang selama ini dijunjung. 25 Hak berdaulat ini tidak

20
James Harrison, Making of the Law of the Sea, (Cambridge: Cambridge University Press,
2011), hlm. 35.
21
R. R. Churchill dan A. V. Lowe, loc. cit.
22
Ram P. Anand, loc. cit.
23
Peter Malanczuk, op. cit., hlm. 191-192.
24
James Crawford, op.cit., hlm. 271.
25
Ying Cai, “International law principles of continental shelf delimitation and Sino-Japanese
East China Sea disputes,” World Maritime University Dissertations Paper 162 (2006), hlm. 6.

5
menghilangkan juga kebebasan negara lain untuk melakukan kegiatan militer, yang
baru kemudian diatur dan dibatasi lewat Seabed Arms Control Treaty pada tahun
1971.26

Selanjutnya, Pasal 3 menjaga status hukum terhadap perairan di atas Landas Kontinen
sebagai laut bebas beserta dengan ruang udara di atasnya. 27 Pasal 5 kemudian
menyatakan bahwa di dalam melakukan eksplorasi dan eksploitasi Landas Kontinen,
negara memiliki kewajiban untuk tidak mengganggu aktivitas navigasi, penangkapan
ikan, konservasi ikan, atau penelitian keilmuan. Negara juga memiliki hak untuk
membangun instalasi untuk eksplorasi dan eksploitasi, namun instalasi tersebut tidak
akan memiliki status hukum seperti sebuah pulau. Negara hanya berhak untuk
menetapkan wilayah aman (safety zone) dengan radius 500 meter dari instalasi
tersebut. Pasal 2, 3, dan 5 dari Continental Shelf Convention ini nantinya akan
diadopsi oleh United Nations Convention on the Law of the Sea (selanjutnya,
“UNCLOS”) 1982.28

Prinsip bahwa negara pantai memiliki hak berdaulat atas sumber daya alam di Landas
Kontinen, sudah menjadi prinsip yang sangat diterima luas oleh negara-negara.
Mahkamah Internasional (ICJ) di dalam kasus North Sea Continental Shelf pada
putusannya pun menguatkan prinsip tersebut dengan menyatakan bahwa pada Landas
Kontinen, sebagai perpanjangan alamiah dari wilayah darat di bawah kedaulatan
sebuah negara pantai, melekat hak berdaulat negara untuk melakukan eksplorasi dan
eksploitasi di dasar laut. Menurut Churchill, sejak saat itu, keabsahan prinsip tersebut
di ranah hukum internasional tidak pernah tergoyahkan lagi.29

Pada awal berkembangnya konsep Landas Kontinen, pertanyaan mengenai seberapa


jauh batas Landas Kontinen dari darat menuju ke laut tidak menjadi isu yang
signifikan. International Law Commission (ILC) memberikan definisi awal Landas
Kontinen sebagai seluruh dasar laut yang berdampingan dengan pantai di mana
kedalaman dari perairan di atasnya memungkinkan eksploitasi dari sumber daya alam

26
Rex Zedalis, “Foreign State Military Use of Another State’s Continental Shelf and
International of the Sea,” Rutgers Law Journal Vol. 16 (Fall 1984): 26, 30.
27
James Crawford, op.cit., hlm. 271.
28
Peter Malanczuk, op.cit., hlm. 192.
29
R. R. Churchill dan A. V. Lowe, op.cit., hlm. 123.

6
yang terdapat di dasar laut dan tanah di bawahnya. Definisi tersebut dirasa rancu oleh
sejumlah negara, sehingga ILC di dalam laporannya pada tahun 1953 kemudian
menggantinya dengan batas yang lebih tegas, yaitu 200 meter isobath. Namun, pasca-
Inter-American Specialised Conference on Conservation of Natural Resources pada
tahun 1956, sebagian besar dari ILC ingin mengenalkan kembali batas ‘exploitability’
sebagai batas alternatif dari Landas Kontinen. Hal ini memungkinkan negara pantai
untuk melakukan eksploitasi terhadap sumber daya laut di luar batas 200 meter. Usul
ini kemudian diterima dan dimuat di dalam Pasal 1 dari Continental Shelf Convention
tahun 1958. ICJ kemudian memperkukuh prinsip batas ini di dalam North Sea
Continental Shelf dengan menyatakan bahwa Pasal 1 dari konvensi tersebut
merupakan kebiasaan internasional.30

Namun, dengan berkembangnya teknologi lepas pantai, penerapan dari batas


‘exploitability’ menjadi berbahaya karena kemajuan teknologi akan terus mendorong
batas tersebut. Selain itu, definisi yang dimuat di dalam Pasal 1 dari konvensi tahun
1958 juga memiliki kelemahan dengan kaburnya pengertian ‘exploitability’ serta
penggunaan frase ‘adjacent’. Selain dapat memicu konflik antarnegara, kekaburan
dalam pengertian Landas Kontinen ini dapat membuat negara-negara dengan
teknologi maju memonopoli eksploitasi dari dasar laut. Oleh karena itu, batas tegas
dari Landas Kontinen diperlukan.31

Diskusi mengenai batas tersebut dilakukan di dalam UNCLOS III. Meskipun aturan
mengenai batas 200 mil laut sudah diterima secara luas, khususnya dengan adanya
aturan mengenai Zona Ekonomi Eksklusif, namun kesepakatan akan batas Landas
Kontinen masih sulit diraih karena negara-negara seperti Inggris, Amerika Serikat,
dan Uni Soviet memiliki tepi kontinental lebih dari 200 mil tidak ingin menyerahkan
klaim terhadap sumber daya alam yang terdapat di tepi paling luarnya. Oleh karena
itu, UNCLOS pada akhirnya mendefinisikan Landas Kontinen sebagai32
…the sea-bed and subsoil of the submarine areas that extend beyond its
territorial sea throughout the natural prolongation of its land territory to the
outer edge of the continental margin, or to a distance of 200 nautical miles
from the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured

30
Ibid., hlm. 124-125.
31
Ibid., hlm. 125-126.
32
Ibid., hlm. 126.

7
where the outer edge of the continental margin does not extend up to that
distance.

B) Landas Kontinen dan Delimitasi

Pengaturan mengenai Landas Kontinen telah diakui secara luas dengan diaturnya
rezim ini dalam UNCLOS 1982 lebih spesifiknya lagi pada Part VI (Pasal 76-85).
Berdasarkan Pasal 76 UNCLOS 1982, Landas Kontinen meliputi dasar laut dan isinya
yang merupakan kelanjutan alamiah dari sebuah negara pantai. Apabila kelanjutan ini
tidak mencapai 200 mil laut, maka Landas Kontinen dapat ditarik hingga 200 mil laut
dari garis pantai. Pasal 76 ayat (1) UNCLOS 1982 menyatakan bahwa
Landas Kontinen suatu negara pantai meliputi dasar laut dan tanah di
bawahnya dari daerah di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut
teritorialnya sepanjang kelanjutan alamiah dari wilayah daratannya hingga
pinggiran luar tepi kontinen, atau hingga suatu jarak 200 mil laut dari garis
pangkal darimana lebar laut teritorial diukur, dalam hal pinggiran luar tepi
kontinen tidak mencapai jarak tersebut.33

Pasal tersebut mengisyaratkan bahwa untuk Landas Kontinen hingga 200 mil laut
tidak perlu melakukan submisi untuk mendapatkan haknya selama tidak mengganggu
kepentingan negara lain yang berbatasan. Dengan kata lain, untuk mengklaim Landas
Kontinen hingga 200 mil laut, berbeda dengan Laut Teritorial, Zona Tambahan, dan
Zona Ekonomi Eksklusif (selanjutnya, “ZEE”)—yang menyangkut badan air, bukan
dasar laut dan isinya—negara tidak perlu membuat deklarasi formal. 34 Sedangkan,
untuk menikmati hak berdaulat—sovereign rights dan bukan sovereignty—atas
sebuah Landas Kontinen Ekstensi, 35 negara pantai diwajibkan untuk melakukan
submisi ke Commission on the Limits of the Continental Shelf (CLCS) sesuai dengan
prosedur teknis yang telah ditentukan. Adapun Landas Kontinen Ekstensi adalah
Landas Kontinen yang Diperpanjang atau disebut dengan Extended Continental
Shelf.36 Pasal 76 ayat (4) UNCLOS 1982 menyebutkan bahwa suatu negara pantai

33
Badan Pembinaan Hukum Nasional, “Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang
Tentang Landas Kontinen (Lanjutan),” (2012): 19, diakses pada 25 Oktober 2016,
http://www.bphn.go.id/data/documents/na_ruu_tentang_landas_kontinen.pdf.
34
Nikki Krisadtyo, “Rezim Landas Kontinen Ekstensi dalam Hukum Internasional,” Skripsi
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014, hlm. 2.
35
Usmawadi Amir, “Penegakan Hukum IUU Fishing Menurut UNCLOS 1982 (Studi Kasus:
Volga Case),” Jurnal Opinio Juris Volume 12 (Januari – April 2013).
36
Penggunaan istilah “Landas Kontinen Ekstensi” merupakan terjemahan dari istilah
“Extended Continental Shelf” sesuai dengan tulisan-tulisan Badan Pembinaan Hukum Nasional,

8
dapat menentukan batas terluar kelanjutan alamiahnya apabila melebihi 200 mil laut.
Selanjutnya, Pasal 76 ayat (5) UNCLOS 1982 menyebutkan bahwa batas terluar
Landas Kontinen tidak dapat melebihi 350 mil laut dari garis pantai dari mana laut
territorial diukur atau tidak dapat melebihi 100 mil laut dari 2.500 meter isobath.
Setiap negara pantai yang ingin menggunakan kesempatannya untuk mengajukan
klaim Landas Kontinen lebih dari 200 mil laut haruslah terlebih dahulu memenuhi
persyaratan seperti yang telah diatur dalam UNCLOS 1982 yang secara umum terbagi
ke dalam 4 (empat) tahapan, yaitu pengumpulan data, desktop study, survey lapangan,
dan submisi.

Terkait dengan konsep delimitasi itu sendiri, Pasal 76 ayat (10) UNCLOS 1982
mengatakan bahwa “The provisions of this article are without prejudice to the
question of delimitation of the continental shelf between States with opposite or
adjacent coasts.” Pasal tersebut menegaskan bahwa adanya Landas Kontinen yang
diakui oleh suatu negara pantai tetaplah harus tunduk pada ketentuan terkait dengan
batas-batas Landas Kontinen yang berseberangan maupun berdampingan dengan
wilayah negara pantai lainnya. Adapun delimitasi batas-batas wilayah yang lahir dari
penentuan wilayah Landas Kontinennya bergantung pada apakah negara tersebut
mengakui wilayah Landas Kontinennya kurang dari atau lebih dari 200 mil laut.37

(Gambar 1: Dalam hal di mana garis terluar dari landas kontinen kurang dari 200 mil laut)

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Lihat: Naskah Akademis Rancangan
Undang-Undang Tentang Landas Kontinen (Lanjutan) pada tahun 2012, hlm. 31.
37
Yoshifumi Tanaka, The International Law of the Sea, (Cambridge: Cambridge University
Press, 2012), hlm. 8-9.

9
(Gambar 2: Dalam hal di mana garis terluar dari landas kontinen lebih dari 200 mil laut)

Indonesia sendiri dalam menentukan batas wilayah maritimnya terkait dengan Landas
Kontinen yang berseberangan maupun berdampingan dengan batas negara lain telah
mengadakan berbagai perjanjian dengan negara tetangga lainnya. Hingga hari ini,
Indonesia telah mengadakan 6 (enam) perjanjian bilateral dengan negara lain terkait
dengan batas-batas delimitasi Landas Kontinen, yaitu:38
1. Indonesia – Malaysia
Pada tahun 1969, perjanjian batas landas kontinen di Laut Tiongkok Selatan
melalui perjanjian Delimitation of the Continental Shelves between the Two
Countries yang diratifikasi Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 89
Tahun 1969, Lembar Negara No. 54 Tahun 1969.
2. Indonesia – Thailand
Pada tahun 1971, perjanjian Delimitation of a Continental Shelf Boundary
between the Two Countries in the Northern Part of the Strait of Malacca and
in the Andaman Sea yang diratifikasi Indonesia melalui Keputusan Presiden
No. 21 Tahun 1972, Lembar Negara No. 16 Tahun 1972.39
3. Indonesia – India
a) Pada tahun 1974, perjanjian Continental Shelf Boundary between the
Two Countries in the Andaman Sea and the Indian Ocean yang

38
Etty R. Agoes, “Archipelagic Resources in South East Asia Region: A Case Study of
Indonesian Fisheries” Indonesian Center for the Law of the Sea (ICLOS) (2011): 4, diakses pada 24
September 2016, http://www.virginia.edu/colp/pdf/Bali-Agoes.pdf.
39
Gillian Triggs, “Confucius and Consensus: International Law In The Asian Pacific,”
Melbourne University Law Review Volume 21 (1997): 657, diakses pada 24 September 2016,
http://www.austlii.edu.au/au/journals/MelbULawRw/1997/23.pdf.

10
diratifikasi Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 51 Tahun 1974;
dan
b) Pada tahun 1977, perpanjangan perjanjian sebelumya yang diratifikasi
Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1977, Lembar
Negara No. 32 Tahun 1977.
4. Indonesia – Australia
Terdapat tiga perjanjian antara kedua belah pihak terkait dengan delimitasi
continental shelf yang mana dalam konteks ini mengacu pada seabed, yaitu:
a) Pada tahun 1971, perjanjian Certain Seabed Boundaries yang
diratifikasi Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 42 Tahun 1971,
Lembar Negara No. 42 Tahun 1971;
b) Pada tahun 1972, perjanjian Certain Seabed Boundaries in the Area of
the Timor and Arafura Seas yang diratifikasi Indonesia melalui
Keputusan Presiden No. 66 Tahun 1972, Lembar Negara No. 45 Tahun
1972; dan
c) Pada tahun 1977, perjanjian Exclusive Economic Zone Boundary and
Certain Seabed Boundaries yang belum diratifikasi oleh Indonesia.
5. Indonesia – PNG
Pada tahun 1982, perjanjian Maritime Boundaries between the Republic of
Indonesia and Papua New Guinea and Cooperation on Related Matters yang
diratifikasi Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 21 Tahun 1982.
6. Indonesia – Vietnam
Pada tahun 2007, perjanjian Delimitation of the Continental Shelf Boundary
yang diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang No. 18 Tahun 2007,
Lembar Negara No. 43 Tahun 2007.40

C) Landas Kontinen dan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE)41

Konsep hak berdaulat pada wilayah Landas Kontinen atas kekayaan alam pada
wilayah seabed menjadi hal yang sering dikaitkan dengan konsep yurisdiksi negara
pada wilayah ZEE-nya. Adapun berdasarkan Gambar 1 dan Gambar 2 terdahulu telah

40
Etty R. Agoes, “Indonesia: Problems Encountered in Some Unresolved Boundaries and the
Outermost Islands Issues,” Jurnal Hukum Internasional Volume 9 Number 1 (Oktober 2011): 7-10.
41
Vivian Louis Forbes, Indonesia’s Delimited Maritime Boundaries, (Berlin: Springer, 2014),
hlm. 30.

11
diketahui bahwa konsep hukum suatu wilayah Landas Kontinen negara bisa berbeda
dengan keadaan alamiah yang sebenarnya dimiliki oleh negara tersebut. Konsep
hukum Landas Kontinen sesungguhnya adalah suatu konsep yang dependen atau
bergantung pada keadaan alamiah atau natural prolongation dari shelf suatu negara
pantai (baik untuk kepanjangan yang diukur dengan mil laut atau kedalaman yang
diukur dengan isobath) sedangkan ZEE dari suatu negara pantai tidaklah sama sekali
bergantung pada keadaan alamiah dari seabed yang berada di bawahnya dan hanya
bergantung pada garis pangkal negara pantai yang maksimal adalah 200 mil laut dari
garis pangkal tersebut. Dengan kata lain, terlepas dari panjangnya atau dalamnya
suatu wilayah Landas Kontinen atau bahkan ada tidaknya Landas Kontinen dari
semula, keberadaan wilayah maritim ZEE akan hanya bergantung pada penarikan 200
mil laut dari garis pangkal suatu negara pantai. Adapun terdapat dua alasan yang
mendasari urgensi kejelasan hubungan antara konsep wilayah Landas Kontinen
dengan wilayah ZEE terkait dengan hak-hak negara pada kedua wilayah maritim
tersebut, yaitu:
1. Suatu negara pantai harus memproklamasikan wilayah ZEE-nya sedangkan
untuk wilayah Landas Kontinen tidak dibutuhkan proklamasi yang demikian
untuk negara dapat menerapkan hak berdaulatnya. Konsekuensi logis dari hal
tersebut adalah negara pantai akan tetap dapat menerapkan hak-hak
berdaulatnya terkait dengan pemanfaatan kekayaan alam yang berada pada
seabed di luar wilayah laut teritorialnya di saat bahkan tidak ada wilayah yang
telah diatur terlebih dahulu oleh negara tersebut.
2. Dalam hal negara pantai telah mengatur wilayah ZEE-nya hingga sejauh yang
diperbolehkan oleh UNCLOS (200 mil laut dari garis pangkal negara pantai),
batas terluar dari Landas Kontinen yang melebihi 200 mil laut dari garis
pangkal negara pantai akan diatur menyesuaikan dengan keadaan topografi
negara pantai tersebut terkait apakah ada karakteristik wilayah Landas
Kontinen yang ditunjukkan atau tidak. Wilayah Landas Kontinen yang
melebihi 200 mil laut tersebut tidaklah boleh melebihi 350 mil laut dari garis
pangkal atau 100 mil laut dari 2.500 meter isobath, suatu garis yang mengukur
kedalaman hingga 2.500 meter (vide Pasal 76 ayat (5)).

Dalam hal terdapat wilayah ZEE dan terdapat pula wilayah Landas Kontinen, dua
rezim wilayah maritim akan berlaku bersama-sama dan wilayah seabed dari negara

12
pantai tersebut pun akan masuk ke dalam pengaturan terkait dengan ZEE. Hal tersebut
sejalan dengan ketentuan Pasal 56 ayat (3) UNCLOS 1982 di mana seabed yang
demikian kini menjadi “seabed of the EEZ” atau disebut juga “the primary seabed”
untuk membedakan dari “outer shelf” yang merupakan wilayah seabed di luar dari
wilayah ZEE. Outer shelf akan menjadi wilayah maritim sendiri yang tunduk pada
rezim Landas Kontinen yang dikenal dalam Bab VI dari UNCLOS 1982 sedangkan
seabed of the EEZ akan masuk ke dalam rezim ZEE sebagaimana dikenal dalam Bab
V dari UNCLOS 1982. Berikut adalah tabel perbedaannya:
Landas Kontinen Zona Ekonomi Eksklusif
Landas kontinen merupakan dasar laut dan ZEE merupakan kolom air di atas dari
tanah di bawahnya. dasar laut.
Landas kontinen merupakan perpanjangan ZEE merupakan zona maritim yang
wilayah darat sebuah negara. bergantung pada penarikan 200 nm dari
garis pangkal.
Landas kontinen tidak perlu ZEE harus dikonstitusikan.
dikonstitusikan, karena menjadi sudah
menjadi kedaulatan yang inheren dari
negara pantai.
Landas kontinen dapat melebihi 200 nm, ZEE memiliki batas maksimum 200 nm.
namun tidak boleh melebihi 350 nm atau
100 nm dari 2.500 m isobath (Pasal 76
ayat (5) dari UNCLOS). Hal ini karena
karakteristik wilayah landas kontinen
sebagai perpanjangan wilayah darat.
Hak berdaulat negara atas sumber daya Hak berdaulat negara atas sumber daya
alam di dalam landas kontinen adalah hak alam di ZEE tidak eksklusif. Negara
yang eksklusif. pantai memiliki kewajiban untuk
membagi surplus eksploitasi sumber
daya alamnya kepada negara landlocked
(Pasal 69-70 dari UNCLOS).

D) Hak Negara pada Wilayah Landas Kontinen

13
Hal-hal fundamental terkait dengan wilayah landas kontinen dapat ditemui dari
putusan International Court of Justice (ICJ) terhadap kasus North Sea Continental
Shelf pada tahun 1969 yang pada pokoknya menegaskan tentang konsep
appurtenance, 42 exploitability, dan adjacency dari wilayah landas kontinen yang
membedakannya dari wilayah maritim lainnya. Dalam putusan tersebut ICJ
menyatakan bahwa wilayah landas kontinen adalah wiayah di mana negara pantai
memiliki hak berdaulat sebab wilayah tersebut merupakan kelanjutan alamiah atau
natural prolongation dari wilayah negaranya yang mana secara ipso facto dan ab
initio merupakan wilayah kedaulatan penuh dari suatu negara pantai sehingga karena
hal tersebutlah atas kepanjangan tersebut dapat diberlakukan terhadapnya hak-hak
berdaulat negara pantai yang bersangkutan, yaitu untuk tujuan eksplorasi dan
eksploitasi daratan bawah laut guna mengambil kekayaan bawah laut yang ada.43 ICJ
lebih lanjut lagi mengatakan bahwa hak berdaulat yang demikian merupakan inherent
right yang mana menjadi hal yang paling fundamental dari segala aturan terkait
dengan landas kontinen. Hal tersebutlah yang kemudian membawa ICJ kepada
kesimpulan bahwa hal yang demikian tidak perlu diinkorporasikan secara formal ke
dalam konstitusi suatu negara sebab memang telah seyogyanya dimiliki oleh negara
pantai yang bersangkutan (its existence can be declared but not need to be
constituted, sic.).44

Hal fundamental lainnya terkait dengan wilayah landas kontinen adalah bahwa pada
wilayah tersebut diberikan kebebasan negara untuk melakukan ekploitasi terhadap
wilayah landas kontinenya. Konsep exploitability ini secara jelas terdapat pada
pengaturan Pasal 77 UNCLOS 1982 terkait dengan hak negara untuk mengeksplorasi
dan mengeksploitasi kekayaan alamnya pada wilayah landas kontinen. 45 Terkait
dengan hak negara untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi terhadap landas
kontinen tersebut tetap tidak dapat mengganggu gugat hak negara terhadap wilayah
maritim yang melekat di atas landas kontinen tersebut (adjacent water, sic.) di mana
dalam Pasal 78 UNCLOS 1982 dikatakan bahwa “The rights of the coastal State over

42
Lihat Putusan ICJ tahun 1969 paragraf 95 bahwa “the appurtenance of the continental shelf
to the State whose territory it does in fact prolong.”
43
Thomas Cottier, Equitable Principles of Maritime Boundary Delimitation, (Cambridge:
Cambridge University Press, 2015), hlm. 78.
44
Ram P. Anand, op.cit., hlm. 160-161.
45
Mochtar Kusumaatmadja, “Konsepsi Hukum Negara Nusantara pada Konferensi Hukum
Laut Ke-III,” Jurnal Hukum Indonesia Volume 1 Number 1 (Oktober 2003): 32.

14
the continental shelf do not affect the legal status of the superjacent waters or of the
air space above those waters.”

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa hak-hak berdaulat (sovereign


rights), sebagaimana tercantum dalam Pasal 77 UNCLOS 1982, merupakan hak
negara pantai yang bersifat sui generis yang artinya hak ini bukan merupakan
kelanjutan dari hak atas laut wilayah dan bukan pula berasal dari rezim hukum laut
lepas, melainkan merupakan hak baru yang berasal dari hukum laut internasional
yang mana diberikan oleh hukum internasional karena keberadaan kedaulatan negara
pada awalnya. Lebih lanjut lagi, yurisdiksi nasional negara atas Landas Kontinen
bersifat eksklusif, artinya tidak ada hak negara lain di atasnya dan tidak pula
diperlukan tindakan pengumuman (proclamation) dan tidak perlu dilaksanakan
melalui cara pendudukan (occupation). Demikianlah hak berdaulat negara pantai
terhadap wilayah landas kontinennya hingga bahkan apabila suatu negara pantai tidak
memanfaatkan sumber kekayaan alamnya, wilayah landas kontinen tersebut tetap
tidak dapat dijadikan wilayah bagi negara lain untuk melakukan eksploitasi tanpa
persetujuan tegas (expressed consent) dari pemerintah negara pantai tersebut.46

E) Praktik Negara-Negara

Sampai pada tahun 1978, ratusan negara pantai telah menegakkan yurisdiksinya atas
mineral lepas pantai. 39 negara di antaranya mengklaim wilayah dengan kedalaman
lebih dari 200 meter, baik dengan mengeluarkan sewa atas perairan dengan
kedalaman lebih dari 200 meter, dengan penetapan, dengan perjanjian bersama negara
tetangga, atau dengan mengumumkan kebijakan nasional.47 Berdasarkan Pasal 76 ayat
(8) dari UNCLOS tahun 1982, negara-negara yang ingin menegakkan yurisdiksinya
atas Landas Kontinen lebih dari 200 mil laut harus mengajukannya terlebih dahulu
kepada Commission on the Limits of the Continental Shelf. Hingga tanggal 21
Oktober 2016, sudah terdapat 77 negara yang mengajukan proposalnya.

Date of Presentation Subcommission Recommendations


Submission by [State] adopted on
submission to the CLCS* established [For summaries of the

46
Badan Pembinaan Hukum Nasional, op.cit., hlm. 85.
47
Ram P. Anand, op. cit., hlm. 159.

15
recommendations
follow the link to the
respective submission
page]

20
27 June
1. Russian Federation December See CLCS/32 See CLCS/32
2002 See CLCS/34
2001
Russian Federation -
28
partial revised 11 March 2014 See
1a. February See CLCS/80 See CLCS/80
Submission in respect CLCS/83
2013
of the Okhotsk Sea
Russian Federation -
partial revised 3 August
1b. See CLCS/93 See CLCS/93
Submission in respect 2015
of the Arctic Ocean
17 May 4 April
2. Brazil See CLCS/42 See CLCS/42
2004 2007 See CLCS/54
Brazil - partial revised
Submission - in respect 10 April
2a. See CLCS/90 See CLCS/90
of the Brazilian 2015
Southern Region
15
9 April
3. Australia November See CLCS/44 See CLCS/44
2008 See CLCS/58
2004
Ireland - Porcupine 25 May 5 April
4. See CLCS/48 See CLCS/48
Abyssal Plain 2005 2007 See CLCS/54
19 April 22 August
5. New Zealand See CLCS/52 See CLCS/52
2006 2008 See CLCS/60
Joint submission by
France, Ireland, Spain
and the United
Kingdom of Great 19 May 24 March
6. See CLCS/52 See CLCS/52
Britain and Northern 2006 2009 See CLCS/62
Ireland - in the area of
the Celtic Sea and the
Bay of Biscay
Norway - in the North 27
27 March
7. East Atlantic and the November See CLCS/54 See CLCS/54
2009 See CLCS/62
Arctic 2006
France - in respect of
the areas of French 22 May 2 September
8. See CLCS/56 See CLCS/56
Guiana and New 2007 2009 See CLCS/64
Caledonia
Mexico - in respect of 13
31 March
9. the western polygon in December See CLCS/58 See CLCS/58
2009 See CLCS/62
the Gulf of Mexico 2007
8 May 15 April
10. Barbados See CLCS/60 See CLCS/62
2008 2010 See CLCS/66
25 July 13 April
10a. Barbados - revised --- See CLCS/72
2011 2012 See CLCS/74
United Kingdom of
Great Britain and 9 May 15 April
11. See CLCS/60 See CLCS/62
Northern Ireland - 2008 2010 See CLCS/66
Ascension Island

16
Indonesia - North West 16 June 28 March
12. See CLCS/62 See CLCS/62
of Sumatra Island 2008 2011 See CLCS/70
12
19 April
13. Japan November See CLCS/62 See CLCS/64
2012 See CLCS/74
2008
Joint submission by the
Republic of Mauritius
1
and the Republic of 30 March
14. December See CLCS/62 See CLCS/66
Seychelles - in the 2011 See CLCS/70
2008
region of the
Mascarene Plateau
5
30 March
15. Suriname December See CLCS/64 See CLCS/66
2011 See CLCS/70
2008
16
16. Myanmar December See CLCS/64
2008
France - areas of the
5 February 19 April
17. French Antilles and the See CLCS/66 See CLCS/68
2009 2012 See CLCS/74
Kerguelen Islands
Yemen - in respect of
20 March
18. south east of Socotra See CLCS/68
2009
Island
United Kingdom of
Great Britain and
31 March
19. Northern Ireland - in See CLCS/64
2009
respect of Hatton
Rockall Area
Ireland - in respect of 31 March
20. See CLCS/64
Hatton-Rockall Area 2009
7 April 19 August
21. Uruguay See CLCS/64 See CLCS/70
2009 2016 See CLCS/95
Philippines - in the 8 April 12 April
22. See CLCS/64 See CLCS/70
Benham Rise region 2009 2012 See CLCS/74
The Cook Islands -
16 April 19 August
23. concerning the See CLCS/64 See CLCS/72
2009 2016 See CLCS/95
Manihiki Plateau
20 April
24. Fiji See CLCS/64
2009
21 April See CLCS/64 & 11 March
25. Argentina See CLCS/76
2009 CLCS/76 2016 See CLCS/93
28 April 5 September
26. Ghana See CLCS/64 See CLCS/76
2009 2014 See CLCS/85
Iceland - in the Ægir
Basin area and in the
29 April 10 March
27. western and southern See CLCS/78 See CLCS/76
2009 2016 See CLCS/93
parts of Reykjanes
Ridge
Denmark - in the area
29 April See 11 March 2014 See
28. north of the Faroe See CLCS/76
2009 CLCS/64 &CLCS/78 CLCS/83
Islands
30 April 13 March 2015 See
29. Pakistan See CLCS/80 See CLCS/80
2009 CLCS/88

17
Norway - in respect of
4 May
30. Bouvetøya and See CLCS/66 See CLCS/80
2009
Dronning Maud Land
South Africa - in
respect of the mainland
5 May
31. of the territory of the See CLCS/68 See CLCS/83
2009
Republic of South
Africa
Joint submission by the
Federated States of
Micronesia, Papua
5 May
32. New Guinea and See CLCS/66 See CLCS/83
2009
Solomon Islands -
concerning the Ontong
Java Plateau
Joint submission by
Malaysia and Viet
6 May
33. Nam - in the southern See CLCS/64
2009
part of the South China
Sea
Joint submission by
France and South
Africa - in the area of 6 May
34. See CLCS/68 See CLCS/83
the Crozet Archipelago 2009
and the Prince Edward
Islands
6 May See
35. Kenya See CLCS/90
2009 CLCS/64 &CLCS/85
Mauritius - in the
6 May
36. region of Rodrigues See CLCS/64 See CLCS/83
2009
Island
Viet Nam - in North 7 May
37. See CLCS/64
Area (VNM-N) 2009
7 May
38. Nigeria See CLCS/64 See CLCS/90
2009
Seychelles -
concerning the 7 May
39. See CLCS/64 See CLCS/93
Northern Plateau 2009
Region
France - in respect of
La Réunion Island and 8 May
40. See CLCS/80 See CLCS/95
Saint-Paul and 2009
Amsterdam Islands
8 May
41. Palau See CLCS/68
2009
8 May See
42. Côte d'Ivoire See CLCS/95
2009 CLCS/64 &CLCS/95
8 May
43. Sri Lanka See CLCS/95
2009
11 May
44. Portugal See CLCS/66
2009
United Kingdom of
11 May
45. Great Britain and See CLCS/66
2009
Northern Ireland - in

18
respect of the Falkland
Islands, and of South
Georgia and the South
Sandwich Islands
11 May
46. Tonga See CLCS/66
2009
Spain - in respect of 11 May
47. See CLCS/66
the area of Galicia 2009
11 May
48. India See CLCS/68
2009
12 May
49. Trinidad and Tobago See CLCS/66
2009
12 May
50. Namibia See CLCS/66
2009
1 June
51. Cuba See CLCS/66
2009
52. Mozambique 7 July 2010 See CLCS/70
26 July
53. Maldives See CLCS/70
2010
Denmark - Faroe- 2
54. Rockall Plateau December See CLCS/70
Region 2010
25
55. Bangladesh February See CLCS/72
2011
29 April
56. Madagascar See CLCS/72
2011
6
57. Guyana September See CLCS/74
2011
Mexico - in respect of 19
58. the eastern polygon in December See CLCS/74
the Gulf of Mexico 2011
United Republic of 18 January
59. See CLCS/76
Tanzania 2012
10 April
60. Gabon See CLCS/78
2012
Denmark - in respect
of the Southern 14 June
61. See CLCS/95
Continental Shelf of 2012
Greenland
Joint Submission by
Tuvalu, France and
7
New Zealand
62. December See CLCS/80
(Tokelau) - in respect
2012
of the area of the
Robbie Ridge
14
China - in Part of the
63. December See CLCS/80
East China Sea
2012
24
64. Kiribati See CLCS/80
December

19
2012
26
65. Republic of Korea December See CLCS/80
2012
Nicaragua - in the
24 June
66. southwestern part of See CLCS/83
2013
the Caribbean Sea
Federated States of
30 August
67. Micronesia - in respect See CLCS/83
2013
of the Eauripik Rise
Denmark - in respect
26
of the North-Eastern
68. November See CLCS/95
Continental Shelf of
2013
Greenland
6
69. Angola December See CLCS/90
2013
6
Canada - in respect of
70. December
the Atlantic Ocean
2013
6 February
71. Bahamas
2014
France - in respect of
16 April
72. Saint-Pierre-et- See CLCS/95
2014
Miquelon
Tonga - in the western
23 April
73. part of the Lau- See CLCS/88
2014
Colville Ridge
21 July
74. Somalia See CLCS/95
2014
Joint Submission by
Cabo Verde, The
Gambia, Guinea,
Guinea-Bissau,
25
Mauritania, Senegal
75. September See CLCS/90
and Sierra Leone - in
2014
respect of areas in the
Atlantic Ocean
adjacent to the coast of
West Africa
Denmark - in respect
15
of the Northern
76. December See CLCS/95
Continental Shelf of
2014
Greenland
Spain - in respect of 17
77. the area west of the December See CLCS/90
Canary Islands 2014

20
(Tabel 1: Pengajuan batas Landas Kontinen oleh negara-negara sampai pada tanggal 21
48
Oktober 2016)

Indonesia sendiri telah mengajukan proposal mengenai batas Landas Kontinen di


barat daya Sumatera pada tanggal 16 Juni 2008. Di dalam presentasi yang
disampaikan oleh Bapak Arif Havas Oegrosseno pada tanggal 24 Maret 2009, zona
maritim tersebut sedang tidak berada di bawah sengketa. Pada tahun 1974, Indonesia
telah menyepakati sebuah perjanjian dengan India mengenai perbatasan tersebut. 49
Terhadap pengajuan tersebut, Commission on the Limits of the Continental Shelf pada
tanggal 28 Maret 2011 mengadopsi sebuah rekomendasi yaitu “Recommendations of
the Commission on the Limits of the Continental Shelf in regard to the submission
made by Indonesia in respect of the area North West of Sumatra on 16 June 2008”
dengan jumlah suara 11 melawan 2, dengan dua suara abstain.50

F) Indonesia dan Landas Kontinen

Studi Kasus Pertama


Adapun potensi klaim landas kontinen antara Indonesia dengan negara lain akan
selalu terbuka sepanjang Indonesia terus melakukan penelitian demi penelitian guna
mengakomodasi kepentingan bangsa yang terkait dengan zona maritim Indonesia.
Pada tahun 2006, penelitian yang diadakan oleh Pemerintah Indonesia menunjukkan
adanya kemungkinan bagi Indonesia untuk dapat mengajukan klaim landas kontinen
lebih dari 200 nautical miles (selanjutnya, “nm”), untuk wilayah:
1. Sebelah barat Sumatera yang berbatasan dengan India;
2. Sebelah selatan Sumbawa;
3. Sebelah utara Irian Jaya yang berbasatan dengan Palau, mikronesia, dan
Papua Nugini.51

48
Commission on the Limits of the Continental Shelf, Submissions, through the Secretary-
General of the United Nations, to the Commission on the Limits of the Continental Shelf, pursuant to
article 76, paragraph 8, of the United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982,
http://www.un.org/depts/los/clcs_new/commission_submissions.htm, diakses tanggal 25 Oktober 2016.
49
Commission on the Limits of the Continental Shelf, CLCS/62, 20 April 2009, ¶40.
50
Commission on the Limits of the Continental Shelf, CLCS/70, 25 Mei 2011, ¶9.
51
Chairijah, “Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen,”
Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia (2011), diakses pada 24 September,
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/files/doc/1276_Chairijah%20BAHAN%20Aidir%20ttg%20LAND
AS%20KONTINEN.pdf.

21
Sumber: Presentasi Dr. Ing. Khafid dari Pusat Geodesi dan Geodinamika Badan Koordinasi
Survei dan Pemetaan Nasional yang berjudul pada Sosialisasi RUU tentang Landas
Kontinen, Selasa, 26 April 2011.

Keniscayaan tersebut akhirnya pada 17 Agustus 2010 terealisasi dengan Indonesia


yang telah memasukkan kepada United Nations-Commission on the Limit of the
Continental Shelf (“UN-CLCS”) pernyataannya terkait dengan landas kontinen
Indonesia yang melebihi 200 nm sehubungan dengan bagian Barat Laut dari Sumatra.
Rangkaian pertemuan-pertemuan teknis sebelumnya telah diadakan antara Pemerintah
Indonesia dengan suatu Sub-Commission yang bekerja di bawah UN-CLCS yang
bertujuan untuk menangani hal-hal terkait dengan Indonesia dan wilayah landas
kontinen yang diperpanjangnya (Extended Continental Shelf, “ECS”). Hasil dari
submisi Indonesia tersebut adalah adanya suatu area yang luasnya setara dengan 4209
km2 pada bagian Barat Laut dari Pulau Sumatera yang kini menjadi bagian resmi dari
wilayah landas kontinen Indonesia yang diperpanjang (ECS) yang mana melahirkan
hak berdaulat Indonesia terhadapnya.52

Adapun pada mulanya hal tersebut ditempuh Indonesia sebagai perwujudan dari Pasal
76 ayat (1) UNCLOS yang menjadi nafas dari Pasal 2 ayat (1) Rancangan Undang-
Undang tentang Landas Kontinen Indonesia53 bahwa

52
Sobar Sutisna dan Sora Lokita, “Indonesia’s First Experiences in Delineating Extended
Continental Shelf Submission to the UN-CLCS,” Jurnal Hukum Internasional Volume 8 Number 4
(2011): 682-692.
53
Adapun sampai detik ini RUU terkait masih berstatus ‘dalam proses’ dengan tahapan
‘dikembalikan ke Pemrakarsa’ yaitu Kementerian Hukum dan HAM. “Rancangan Undang-Undang

22
Landas Kontinen Indonesia adalah meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya
dari area di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorial,
sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratan hingga pinggiran luar tepi
kontinen, atau hingga suatu jarak 200 (dua ratus) mil laut dari garis pangkal
dari mana lebar laut teritorial diukur, dalam hal pinggiran luar tepi kontinen
tidak mencapai jarak tersebut, hingga paling jauh 350 (tiga ratus lima puluh)
mil laut sampai dengan jarak 100 (seratus) mil laut dari garis kedalaman—
bold dari Penulis.

Kajian-kajian dan persiapan-persiapan untuk melakukan submisi kepada UN-CLCS


ini telah dilakukan oleh Indonesia sejak pertama meratifikasi UNCLOS 1982 pada
tahun 1985 terkait dengan Pasal 76 yang membuka kemungkinan baginya untuk
memiliki wilayah landas kontinen lebih dari 200 nm. Hal ini tentunya sangat berbeda
dengan Indonesia saat masih menganut prinsip-prinsip dalam Undang-Undang No. 1
Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia yang mana tidak mengenal prinsip-
prinsip ESC tersebut.54 Sejalan dengan semangat itulah, bermula pada tahun 1996,
Indonesia melaksanakan survei-survei pendahuluan atas landas kontinen dengan
fokus untuk mendapatkan data-data melalui proyek Digital Marine Resources
Mapping (DMRM). Berdasarkan data-data tersebutlah kemudian dilakukan Desktop
Study untuk mengidentifikasi potensi wilayah landas kontinen Indonesia di luar batas
200 nm. 55 Adapun studi tersebut dilakukan oleh Badan Koordinasi Survei dan
Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) bersama dengan Kementerian Luar Negeri,
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Kelautan dan
Perikanan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia, dan Tentara Nasional Indonesia.56 Setelah pada akhirnya usaha Indonesia
untuk melakukan submisi ini berjalan selama 14 tahun, pada technical meeting yang
terakhir antara Pemerintah Indonesia dengan Sub-Commission, submisi Indonesia pun
diterima dan memberikan pengakuan kepada wilayah landas kontinen Indonesia yang
diperpanjang.

Republik Indonesia tentang Landas Kontinen Indonesia,” http://www.peraturan.go.id/rancangan-


undang-undang-landas-kontinen-indonesia.html, diakses pada 26 September 2016.
54
Adapun alasan mengapa Indonesia tidak mengamandemen undang-undang a quo adalah
karena sejatinya hak negara atas wilayah landas kontinennya bukanlah satu hal yang harus
diproklamasikan—terlebih diundangkan—sebab hak negara yang demikian secara serta merta sudah
melekat pada negara sebagai konsekuensi logis dari kepemilikan negara terhadap daratan yang menjadi
tempat perpanjangan alamiahnya dimulai (lihat Pasal 77 ayat (3) UNCLOS).
55
Disampaikan oleh Dr. Ing. Khafid dari Pusat Geodesi dan Geodinamika Badan Koordinasi
Survei dan Pemetaan Nasional dalam “Pengalaman melakukan Parsial Submisi Landas Kontinen
Indonesia” pada Sosialisasi RUU tentang Landas Kontinen, Selasa, 26 April 2011.
56
Sobar Sutrisna dan Sora Lokita, op.cit., hlm. 686.

23
G) Kasus Internasional: North Sea Continental Shelf Cases

North Sea Continental Shelf Cases merupakan sengketa perbatasan antara Republik
Federal Jerman melawan Belanda dan Denmark mengenai perbatasan negara di
Landas Kontinen yang terletak di Laut Utara. Wilayah tersebut sudah dibagi atas
dasar garis median menurut Pasal 6 dari Continental Shelf Convention di dalam
perjanjian multilateral antara Inggris, Norwegia, Denmark, dan Belanda. Meskipun
begitu, Jerman, yang sudah menandatangani namun tidak meratifikasi Continental
Shelf Convention, tidak setuju atas penerapan prinsip garis median atau equidistance
principle tersebut karena dianggap tidak adil. 57 Garis pantai Jerman yang sangat
berliku dan melengkung ke dalam di antara Norwegia dan Belanda membuat
pembatasan tersebut menjadi tidak setara.58

Belanda dan Denmark berusaha membuktikan bahwa Pasal 6 dari Continental Shelf
Convention dan equidistance principle merupakan prinsip hukum yang seharusnya
berlaku, namun usulan itu ditolak oleh ICJ. Menurut ICJ, aturan di dalam Pasal 6
diusulkan secara tergesa-gesa, bukan merupakan hukum di masa depan (de lege
ferenda) ataupun merupakan hukum yang sedang ada (de lege lata) namun seperti
sebuah percobaan belaka. ICJ menetapkan bahwa di dalam situasi ketika negara
berbatasan secara berdampingan, equitable principle seharusnya diterapkan karena
penerapan equidistance principle dapat berakibat pada pembagian yang tidak adil.
Penerapan equitable principle pada situasi ini, menurut ICJ, sudah merupakan
kebiasaan internasional.59

Di dalam putusannya, ICJ menetapkan beberapa prinsip-prinsip penting mengenai


Landas Kontinen. Pertama, bahwa Landas Kontinen merupakan perpanjangan
alamiah dari wilayah darat negara pantai sehingga memiliki hak yang melekat pada
wilayah tersebut, yaitu hak berdaulat untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi
sumber daya alam yang tersimpan di dalamnya. ICJ mendeskripsikan prinsip tersebut
57
Ram P. Anand, op. cit., hlm. 160.
58
Anthony D’Amato, “Manifest Intent and the Generation by Treaty of Customary Rules of
International Law,” Northwestern University School of Law Scholarly Commons Papers 128 (1970): 2.
59
Masahiro Miyoshi, “Some Thoughts on Maritime Boundary Delimitation” dalam Maritime
Boundary Disputes, Settlement Processes, and the Law of the Sea, ed. Seoung Young Hon, Jon M. Van
Dyke, (Leiden: Koninklijke Brill NV, 2009), hlm. 113.

24
sebagai “…the most fundamental of all rules of law relating to the continental shelf…
enshrined in Article 2 of the 1958 Geneva Convention, though quite independent of
it.” ICJ kemudian melanjutkan bahwa di dalam menikmati hak-hak tersebut, negara-
negara tidak perlu melalui proses-proses hukum khusus atau melakukan tindakan-
tindakan hukum tertentu. Keberadaan hak-hak tersebut dapat dideklarasikan, namun
tidak harus dikonstitusikan. 60

Fakta bahwa secara fisik Landas Kontinen merupakan perpanjangan alamiah


(“natural prolongation”) dari teritori negara pantai ditekankan beberapa kali oleh ICJ
di dalam putusan tersebut. ICJ justru menolak konsep kedekatan atau proximity.
Menurut ICJ, kedekatan sebuah negara pantai dengan Landas Kontinennya tidak serta
merta memberikannya hak milik.61

Studi Kasus Kedua


Perjanjian Celah Timor atau Timor Gap Treaty tahun 1989 mengenai kerjasama
pengelolaan migas di Laut Timor antara Australia dan Indonesia adalah sebuah
perjanjian internasional yang dipandang sebagai sebuah perjanjian yang cukup
merugikan bagi Indonesia sebab besarnya pengaruh Australia terhadap Indonesia pada
masa itu.62 Walaupun pada akhirnya perjanjian tersebut berakhir karena merdekanya
Timor Leste setelah referendum,63 isu delimitasi maritim masih merupakan isu yang
sangat kental bagi Indonesia di mana pada tahun 2002 Timor Leste memperluas
secara sepihak zona maritimnya sejauh 100 mil laut dengan menggunakan garis-garis
bekas Celah Timor sehingga kembali membuka ruang bagi terancamnya keberadaan
sumber daya migas Indonesia yang berada di sebelah barat dan timur dari garis-garis
tersebut.64

60
Mahkamah Internasional, “North Sea Continental Shelf (Federal Republic of
Germany/Denmark; Federal Republic of Germany/Netherlands),” (1969): 3, ¶19.
61
Ibid., ¶41-42.
62
Marcel Hendrapati, “Maritime Expansion and Delimitation After The Timor Gap Treaty,”
Indonesia Law Review Vol. 1 (2015): 69-87.
63
Adapun Timor Leste merupakan provinsi Republik Indonesia ke-27 sedari tahun 1975
hingga 1999.
64
Victor Prescott dan Clive Schofield, The Maritime Political Boundaries of the World,
(Leiden: Martinus Nijhoff Publishers, 2005), hlm. 462–463. Lihat juga, “Celah timor, Daerah tumpang
tindih,” Teropong Kompas (2001): 25.

25
Dalam perundingan terkait dengan Celah Timor, Australia berpendirian bahwa pada
palung Timor tersebut agar ditetapkan batasnya dengan menggunakan prinsip
“bathymetric axis” atau poros batimetrik.65 Di lain sisi, Indonesia menuntut agar pada
palung Timor itu ditetapkan prinsip “median line” atau garis tengah antara pantai
Selatan Pulau Timor dan pantai Utara Australia. Adanya beda pendapat tersebut
didasari oleh perbedaan pengukuran dan penghitungan batas maritim wilayah laut
landas kontinen oleh kedua negara. Australia menganggap bahwa landas kontinen
antara Indonesia dan negaranya itu merupakan “natural prolongation” atau kelanjutan
alamiah dari pantainya yang terputus di Palung Timor. Dengan anggapan seperti itu,
menurut Indonesia, tidaklah bisa menuntut penggunaan metode bathymetric axis
namun haruslah menggunakan prinsip “median line”. Alotnya perdebatan yang ada
antara kedua belah pihak menyebabkan celah yang demikian menjadi area sengketa
(disputed area, sic.) antara kedua negara yang mempengaruhi sektor-sektor lain
dalam hubungan bilateral Indonesia-Australia. Pada akhirnya, sengketa penafsiran
batas landas kontinen yang demikian diselesaikan dengan Indonesia yang pada tahun
1972 datang dengan solusi “Joint Development Zone” (selanjutnya, “JDZ”) atau Zona
Pembangunan Bersama sebagai upaya pemecahan sementara sebelum dapat
ditetapkan garis batas permanen di area Timor Timur tersebut.66

65
Ans, “Celah timor terancam Lepas,” Teropong Kompas (2001): 26. Lihat juga Sun Pyo
Kim, Maritime Delimitation and Interim Arrangements in North East Asia, (The Hague: Martinus
Nijhoff Publishers, 2004), hlm. 103.
66
Idris, “Reaktualisasi Timor Gap Treaty 1989 dalam Kerangka Pengembangan Mata Kuliah
Hukum Sumber Daya,” Juris Vol. 5 (Juni 2015): 25-96.

26
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Anand, Ram P. Law of the Sea – Caracas and Beyond. New Delhi: Radiant
Publishers, 1978.

Kim, Sun Pyo. Maritime Delimitation and Interim Arrangements in North East Asia.
The Hague: Martinus Nijhoff Publishers, 2004.

Churchill, R.R. dan A. V. Lowe, The Law of the Sea. Edisi 2. Manchester:
Manchester University Press, 1988.

Cottier, Thomas. Equitable Principles of Maritime Boundary Delimitation.


Cambridge: Cambridge University Press, 2015.

Crawford, James. Brownlie’s Principles of Public International Law. Edisi 8. Oxford:


Oxford University Press, 2012.

Forbes, Vivian Louis. Indonesia’s Delimited Maritime Boundaries. Berlin: Springer,


2014.

Harrison, James. Making of the Law of the Sea. Cambridge: Cambridge University
Press, 2011.

Hendrapati, Marcel. “Maritime Expansion and Delimitation After The Timor Gap
Treaty.” Indonesia Law Review Vol. 1 (2015): 69-87.

Idris. “Reaktualisasi Timor Gap Treaty 1989 dalam Kerangka Pengembangan Mata
Kuliah Hukum Sumber Daya.” Juris Vol. 5 (Juni 2015): 25-96.

Malanczuk, Peter. Akehurst’s Modern Introduction to International Law. Edisi 7.


New York: Routledge, 1997.

Miyoshi, Masahiro. “Some Thoughts on Maritime Boundary Delimitation” dalam


Maritime Boundary Disputes, Settlement Processes, and the Law of the Sea,
diedit oleh Seoung Young Hon, Jon M. Van Dyke. Leiden: Koninklijke Brill NV,
2009.

Oppenheim, L. International Law. A Treatise. Volume I (of 2) Peace. Edisi 2.


London: Longmans, Green and Co, 1912.
Prescott, Victor dan Clive Schofield. The Maritime Political Boundaries of the World.
Leiden: Martinus Nijhoff Publishers, 2005.

Shaw, Malcolm. International Law. Edisi 5. Cambridge: Cambridge University Press,


2003.

Suarez, Suzette V. The Outer Limits of the Continental Shelf: Legal Aspects of their
Establishment. Berlin: Springer, 2008.

Tanaka, Yoshifumi. The International Law of the Sea. Cambridge: Cambridge


University Press, 2012.

Jurnal

Agoes, Etty R. “Archipelagic Resources in South East Asia Region: A Case Study of
Indonesian Fisheries.” Indonesian Center for the Law of the Sea (ICLOS) (2011).
Hlm. 4. Diakses pada 24 September 2016. http://www.virginia.edu/colp/pdf/Bali-
Agoes.pdf.

Agoes, Etty R. “Indonesia: Problems Encountered in Some Unresolved Boundaries


and the Outermost Islands Issues.” Jurnal Hukum Internasional Volume 9
Number 1 (Oktober 2011). Hlm. 7-10.

Amir, Usmawadi. “Penegakan Hukum IUU Fishing Menurut UNCLOS 1982 (Studi
Kasus: Volga Case).” Jurnal Opinio Juris Volume 12 (Januari – April 2013).

Baker, Betsy. “Law, Science and the Continental Shelf: The Russian Federation and
the Promise of Arctic Cooperation.” American University International Law
Review 25, no. 2 (2010). Hlm. 251-281.

Cai, Ying. “International law principles of continental shelf delimitation and Sino-
Japanese East China Sea disputes.” World Maritime University Dissertations.
Paper 162 (2006).

D’Amato, Anthony. “Manifest Intent and the Generation by Treaty of Customary


Rules of International Law.” Northwestern University School of Law Scholarly
Commons Papers 128 (1970).

Freeman, Harrop A. “Law of the Continental Shelf and Ocean Resources – An


Overview.” Cornell International Law Journal: Vol. 3: Iss. 2 (1970). Hlm. 105-
120.

Krisadtyo, Nikki. “Rezim Landas Kontinen Ekstensi dalam Hukum Internasional.”


Skripsi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014.

Kusumaatmadja, Mochtar. “Konsepsi Hukum Negara Nusantara pada Konferensi


Hukum Laut Ke-III.” Jurnal Hukum Indonesia Volume 1 Number 1 (Oktober
2003). Hlm. 32.

Morris, Hugh G. “The Continental Shelf-an International Dilemma.” Osgoode Hall


Law Journal 1.1 (1958). Hlm. 37-46.

Sobar Sutisna dan Sora Lokita, “Indonesia’s First Experiences in Delineating


Extended Continental Shelf Submission to the UN-CLCS.” Jurnal Hukum
Internasional Volume 8 Number 4 (2011). Hlm. 682-692.

Triggs, Gillian. “Confucius and Consensus: International Law In The


Asian Pacific.” Melbourne University Law Review Volume 21
(1997). Hlm. 657. Diakses pada 24 September 2016.
http://www.austlii.edu.au/au/journals/MelbULawRw/1997/23.pdf.

Zedalis, Rex. “Foreign State Military Use of Another State’s Continental Shelf and
International of the Sea.” Rutgers Law Journal Vol. 16 (Fall 1984). Hlm. 2-103.

Lain-lain

Badan Pembinaan Hukum Nasional, “Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang


Tentang Landas Kontinen (Lanjutan).” (2012). Diakses pada 25 Oktober 2016,
http://www.bphn.go.id/data/documents/na_ruu_tentang_landas_kontinen.pdf.

Chairijah, “Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas


Kontinen.” Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum
dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (2011). Diakses pada 24 September
2016,
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/files/doc/1276_Chairijah%20BAHAN%20Ai
dir%20ttg%20LANDAS%20KONTINEN.pdf.
Commission on the Limits of the Continental Shelf, Submissions, through the
Secretary-General of the United Nations, to the Commission on the Limits of the
Continental Shelf, pursuant to article 76, paragraph 8, of the United Nations
Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982. Diakses pada 25
Oktober 2016,
http://www.un.org/depts/los/clcs_new/commission_submissions.htm.

Commission on the Limits of the Continental Shelf. CLCS/62. 20 April 2009.

Commission on the Limits of the Continental Shelf. CLCS/70. 25 Mei 2011.

Mahkamah Internasional. “North Sea Continental Shelf (Federal Republic of


Germany/Denmark; Federal Republic of Germany/Netherlands).” (1969).

Treves, Tullio. “1958 Geneva Conventions on the Law of the Sea.” United Nations
Audiovisual Library of International Law (2008). Diakses pada 25 Oktober 2016.
http://legal.un.org/avl/pdf/ha/gclos/gclos_e.pdf.

Anda mungkin juga menyukai