BAB I
PENDAHULUAN
manusia baik melalui perang maupun perundingan sejak zaman dahulu. Pada
mulanya seluruh laut dan samudera di dunia ini dibagi menjadi dua bagian oleh
Paus Alexander XII pada tahun 1493 melalui piagam yang disebut dengan Inter
Caetera.1 Piagam tersebut berisi tentang pembagian wilayah dan samudera di dunia
menjadi dua kekuasaan yaitu Portugal dan Spanyol sebagai upaya penyelesaian
konflik diantara keduanya. Hal ini dikarenakan saat itu Portugis dan Spanyol adalah
dua kerajaan yang bersaing secara ketat untuk dapat mengakomodir kepentingan
akan jalur perdagangan.2 Portugis dan Spanyol merupakan kerajaan yang memiliki
angkatan laut yang kuat dilengkapi dengan perlengkapan kapal serta sistem
navigasi yang mumpuni. Selain itu adanya pembagian wilayah ini juga merupakan
selanjutnya mendorong kedua belah pihak untuk membentuk suatu perjanjian yang
1
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Binacipta, Bandung, 1978, h. 8.
2
Wahyono S. K, “Wilayah Laut”, Jurnal Ketahanan Nasional, VI (2), Agustus 2001, h. 71.
3
Chairul Anwar, Horizon Baru Hukum Laut Internasional, Penerbit Djambatan, Jakarta,
1989, h. 1.
1
TESIS IMPLEMENTASI NATIONAL PLAN…. ADHITYA NINI RIZKI APRILIANA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
2
tahun 1494 ini, Portugis dan Spanyol sepakat untuk membagi wilayah laut di
seluruh dunia dan sejak saat itu laut merupakan wilayah yang bersifat tertutup atau
Pembagian ini dilakukan untuk melarang pihak selain Portugis dan Spanyol
Pembagian laut ini juga tidak hanya dilakukan oleh Portugis dan Spanyol
melainkan jaga dilakukan oleh Kerajaan Denmark atas klaimnya yang disebut
dengan klaim dominio maris.6 Kerajaan Denmark menyatakan bahwa pihak mereka
Portugis dan Spanyol. Selain Kerajaan Denmark, Kerajaan Inggris di bawah raja-
raja dari Skotlandia juga menerapkan klaim dominio maris khususnya di wilayah
lautan sekitar Kepulauan Inggris. 7 Klaim ini dilakukan oleh Raja Charles II untuk
4
Mochtar Kusumaatmadja, Op.Cit., h. 8.
5
Ibid.
6
Klaim dominio maris pada mulanya dianut oleh Denmark dan Inggris dalam upayanya
untuk melindungi wilayah laut miliknya dari bajak laut. Atas klaimnya tersebut Kerajaan Denmark
mampu mempengaruhi Portugis dan Spanyol untuk tidak mengganggu wilayah kekuasaannya.
Portugis dan Spanyol pada saat itu juga mengakui kedaulatan Kerajaan Denmark atas alut di
sekitaran Norway, Ibid, h. 10.
7
Ibid, h. 11.
8
Ibid, h. 11.
terlebih dahulu dari Inggris. Mengacu pada hal tersebut maka mulai muncul kritikan
dari Hugo Grotius melalui bukunya yang berjudul Mare Liberum.9 Garis besar
prinsip freedom of the sea11 dan prinsip freedom of navigation12 di seluruh wilayah
laut di dunia. Mare liberum dalam hal ini memiliki arti bahwa laut bersifat bebas.
Konsep mare liberum dikembangkan oleh Hugo Grotius yang menyatakan bahwa
laut pada dasarnya tidak dapat dimiliki oleh siapapun.13 Laut bersifat terbuka dan
perdagangan. Menurut Hugo Grotius, perikanan harus terbuka bagi semua orang
dikarenakan laut merupakan sumber kekayaan yang dapat dikelola oleh setiap
negara.
9
Chairul Anwar, Op.Cit., h. 2.
10
Menurut Hugo Grotius terdapat perbedaan yang sangat fundamental antara sovereignty
dengan ownership. Suatu negara dapat berdaulat atas bagian-bagian laut tertentu akan tetapi mereka
tidak dapat memiliki laut tersebut, Sudirman Saad, Hak Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan,
LKIS, Yogyakarta, 2009, h. 34.
11
Konsep freedom of the high sea berarti bahwa tidak ada satupun negara yang dapat
menundukkan kegiatan apapun di laut lepas karena laut lepas merupakan wilayah yang
dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan damai, Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan
dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Alumni, Bandung, 2003, h. 314.
12
Konsep freedom of the navigation adalah prinsip tertua yang paling diakui dalam hukum
laut internasional. Menurut Hugo Grotius, konsep ini dibentuk dikarenakan laut merupakan salah
satu wadah untuk melakukan komunikasi dan kerjasama antar negara-negara, dengan demikian laut
pada saat itu harus bebas dari hambatan dan tidak dikendalikan oleh negara manapun, Rüdiger
Wolfrum, “Freedom of The Navigation: New Challenges”, www.itlos.org, diakses pada tanggal 10
Juli 2019, h. 2.
13
Awal mula diterbitkannya Buku Mare Liberum milik Hugo Grotius adalah karena pada
tahun 1609 muncul larangan dari raja James I kepada nelayan Belanda untuk menangkap ikan di
sekitaran pantai Inggris. Mare Liberum sendiri memiliki arti bahwa laut bersifat bebas. Walaupun
Mare Liberum ditulis untuk membela kebebasan berlayar (freedom of navigation) di laut terhadap
klaim bangsa-bangsa Portugis dan Spanyol namun buku ini menyinggung juga perihal kebebasan
menangkap ikan, Mochtar Kusumaatmadja, Op.Cit, 1978, h. 14.
akan pentingnya wilayah laut, konsep yang dikembangkan oleh Hugo Grotius
macam pedoman dan langkah aksi yang dapat digunakan oleh negara-negara untuk
mewujudkan penggunaan laut secara bebas namun diseimbangi dengan tata cara
yang bertanggung jawab.14 Pada regional Asia Tenggara dan Australia misalnya,
terdapat soft law yang disebut dengan Regional Plan of Action to Promote
Unregulated Fishing in the Southeast Asia Region 2007 atau yang selanjutnya
IUU 2007 sebagai salah satu upaya pemberantasan illegal fishing di tataran
Singapura; Thailand; Timor Leste; dan Vietnam, satu negara di luar Asia Tenggara
yakni Australia, dan empat advisory bodies yakni Asia-Pacific Fishery Commision
14
Bebas dalam hal ini tidak mengacu pada kebebasan mutlak dalam koridor anarchy
melainkan merujuk pada kebebasan dalam pemanfaatan wilayah laut sebagaimana dinyatakan oleh
Hugo Grotius melalui konsep mare liberum.
15
ASEAN telah mengadakan pertemuan Southeast Asian Fisheries Development Center
(SEAFDEC) Council ke-51 untuk membahas mengenai komitmen regional terkait keberlanjutan
sumber daya perikanan di Kawasan Asia Tenggara. Beberapa isu yang menjadi pembahasan utama
dalam pertemuan ini adalah illegal fishing serta penggunaan prinsip pengelolaan perikanan
berkelanjutan dalam melakukan penangkapan ikan. Kedua isu tersebut memiliki keterkaitan
dikarenakan dalam menerapkan prinsip pengelolaan perikanan berkelanjutan dibutuhkan komitmen
berkelanjutan.
illegal fishing yang dilakukan oleh RPOA-IUU 2007 dilakukan melalui konservasi
Cina Selatan, Laut Sulu-Sulawesi, Bagian Teluk Thailand dan Laut Arafura.17 11
Plan of Action ini juga didasari oleh instruksi Food and Agriculture Organization
atau yang selanjutnya disebut menjadi FAO, melalui International Plan of Action
to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing 2001
antar negara untuk menghentikan praktik illegal fishing, Lilly Aprilya Pregiwati, “Indonesia
Bersama SEAFDEC Dorong Penguatan Kerja Sama Regional Untuk Keberlanjutan Sumber Daya
Perikanan”, www.kkp.go.id, 19 Maret 2019, diakses pada tanggal 30 Agustus 2019.
16
Regional Plan of Action Official Website, www.rpoaiuu.org, diakses pada tanggal 1
September 2019.
17
Ibid.
atau yang selanjutnya disebut sebagai IPOA-IUU 2001 yang merupakan bagian
integral dari Code of Conduct for Responsible Fisheries 1995 atau yang selanjutnya
disebut sebagai CCRF 1995. Sebagai bentuk perwujudan dari implementasi CCRF
hingga tahun 2016 telah membentuk National Plan of Action To Prevent, Deter and
disebut sebagai Indonesian National Plan of Action. Pembentukan rencana aksi ini
dengan tugas dan fungsinya. Selain itu Indonesian National Plan of Action juga
landasan hukum.
sumber daya ikan serta iklim usaha perikanan yang kondusif bagi pembangunan
dan dikelola oleh pihak-pihak tertentu serta hanya memenuhi kepentingan bisnis
sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan pada tahun 2014 lalu, Susi Pudjiastuti
kapal bagi pelaku praktik illegal fishing.20 Upaya yang dilakukan oleh Susi
18
Moratorium izin dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Republik Indonesia Nomor 56/PERMEN-KP/2014 Tentang Penghentian Sementara (Moratorium)
Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
Pemberlakuan aturan ini bersifat sementara dengan tujuan untuk membenahi dan mengarsip ulang
perizinan kapal yang telah secara sah dinyatakan resmi oleh pemerintah Republik Indonesia.
19
Pelarangan penggunaan beberapa alat penangkap ikan berbahaya seperti pukat hela dan
pukat tarik dilakukan dengan berdasar pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
2/PERMEN-KP/2015 Tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls)
dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
20
Sesuai dengan Pasal 69 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.
National Plan of Action. Akan tetapi praktik illegal fishing di Indonesia masih
terjadi dan terus berkembang. Hal ini disebabkan karena akumulasi dari beberapa
faktor seperti jenis perikanan di wilayah laut Indonesia yang diminati oleh banyak
negara21 dan perjanjian batas negara yang belum juga diselesaikan. Sepanjang
Agustus 2014 hingga Agustus 2015 terdapat 36 kapal pelaku illegal fishing yang
siap untuk diledakkan.22 Selanjutnya selama September 2015 terdapat 16 kapal baru
Kelautan dan Perikanan dengan TNI Angkatan Laut dan tujuh kapal ditangkap oleh
Pada tahun 2016 khususnya selama periode 17 Agustus 2016 hingga awal
Desember 2016, Kementerian Kelautan dan Perikanan beserta Satgas 115 telah
menangkap 122 kapal pelaku illegal fishing. Kapal ilegal tersebut didominasi oleh
kapal Vietnam. Sebanyak 22 kapal Vietnam ditangkap oleh TNI Angkatan Laut, 11
kapal oleh Polisi Air, dan satu kapal oleh Badan Keamanan Laut. 24 Selanjutnya
tahun 2017 jumlah kasus penanganan tindak pidana perikanan pada tahun 2017
21
Praktik illegal fishing di Indonesia masih terus terjadi disebabkan karena keberagaman
sumber daya hayati yang terdapat di wilayah perbatasan Indonesia dengan Vietnam yakni Laut
Natuna. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh pihak Kementerian Kelautan dan
Perikanan terhadap para nelayan kapal ikan Vietnam yang tertangkap melakukan praktik illegal
fishing di wilayah Indonesia, mereka menyatakan bahwa ikan-ikan yang terdapat di Laut Natuna
lebih mendominasi dari segi rasa dan kuantitas dibanding yang terdapat di perairan mereka,
Muhammad Idris, “Tak Jera, Ini Alasan Nelayan Vietnam Sering Curi Ikan di Laut RI”,
www.finance.detik.com, 18 Juli 2017, dikunjungi pada tanggal 29 September 2019.
22
Laporan Tahunan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Tahun
2017, www.kkp.go.id, 2017, diakses pada tanggal 25 September 2019, h. 5.
23
Sebanyak tujuh kapal berasal dari Vietnam, empat kapal dari Filipina dan lima kapal
milik perusahaan Indonesia, Ibid.
24
Data Kementerian Kelautan dan Perikanan kepada Kata Data, databoks.katadata.co.id,
12 September 2016, diakses pada tanggal 25 September 2019.
mencapai 193 kasus dengan keputusan inkracht van gewijsde atau telah mendapat
tindak pidana perikanan mencapai 621 kasus dengan jumlah kasus tindak pidana
perikanan yang telah mendapat kekuatan hukum tetap sebanyak 266 kasus. 26
menangkap 106 kapal perikanan yang melakukan penangkapan ikan secara ilegal.
Sejumlah kapal pelaku illegal fishing tersebut terdiri dari 38 kapal perikanan asing
dan 65 kapal perikanan Indonesia yang ditangkap oleh sejumlah 34 armada Kapal
PSDKP bersama-sama dengan Kejaksaan Agung, TNI Angkatan Laut, Polisi Air,
dan intansi terkait lain yang dikoordinasikan Satgas 115 pada tahun 2018 secara
dalam praktik illegal fishing di perairan Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan data
25
Laporan Tahunan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Tahun
2017, Ibid.
26
Ibid.
27
Kapal perikanan asing yang ditangkap oleh Kapal Pengawas Perikanan didominasi oleh
kapal berbendera Vietnam sebanyak 29 kapal, diikuti oleh kapal berbendera Malaysia 7 kapal, dan
Filipina sebanyak 5 kapal, dikutip dari. Menurut data yang diberikan oleh Direktorat Jenderal
Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan, pada
tahun 2018 terdapat 26 kapal perikanan Vietnam yang sudah berstatus inkracht di pengadilan,
Direktorat Jenderal PSDKP Kementerian Kelautan dan Perikanan, “Kapal Pengawas KKP Tangkap
106 Kapal Illegal Fishing di 2018”, www.kkp.go.id, 28 Januari 2019, diakses pada tanggal 26
September 2019.
28
Kapal perikanan asing tersebut terdiri atas 83 kapal Vietnam, 22 kapal Malaysia, 15 kapal
Filipina, satu kapal Thailand, Lilly Aprilya Pregiwati, “Hari Kemerdekaan, Pemerintah
Tenggelamkan 125 Kapal Pelaku Illegal Fishing”, www.kkp.go.id, 21 Agustus 2018, diakses pada
tanggal 26 Sepetember 2019.
dari Kementerian Kelautan dan Perikanan yang terhitung sampai awal April 2019
terdapat 13 kapal perikanan Vietnam yang terlibat kasus praktik illegal fishing di
Batam.
menyatakan dalam hal penangkapan kapal illegal fishing, sejak Januari hingga
pertengahan April 2019 telah berhasil menangkap 38 kapal ikan ilegal yang terdiri
dari 28 kapal perikanan asing dan 10 kapal perikanan Indonesia.29 Apabila jumlah
penangkapan kapal illegal fishing tersebut dirangkum secara singkat dalam sebuah
Tabel 1.1
Kapal Pelaku Praktik Illegal Fishing sejak tahun 2015 sampai dengan pertengahan tahun 2019
29
Kapal perikanan asing tersebut terdiri atas 15 kapal yang berasal dari Vietnam dan 13
kapal yang berasal dari Malaysia, Direktorat Jenderal PSDKP Kementerian Kelautan dan Perikanan,
“Kinerja Pengawasan KKP Sepanjang Triwulan 1/2019 Tunjukan Capaian Positif”, www.kkp.go.id,
12 April 2019, diakses pada tanggal 25 September 2019.
2018 38 65 106
2018-2019 28 10 38
Sebagaimana terlihat pada tabel 1.1 kapal asing yang melakukan illegal fishing
penurunan pada dua tahun terakhir. Akan tetapi penurunan ini juga disertai dengan
yang masih tidak menyentuh daerah pelosok sedangkan sebagian besar nelayan
Indonesia berasal dari daerah pelosok.30 Kurangnya alternatif mata pencaharian lain
juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kapal domestik turut berperan
dalam praktik illegal fishing. Selain itu faktor lainnya bisa jadi berasal dari kurang
30
Pengusaha atau nelayan kapal perikanan wajib mengurus administrasi, sebagaimana
diatur dalam regulasi di Indonesia mengenai perikanan. Sesuai Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor 17 Tahun 2006, kapal perikanan dengan berat 10 hingga 30 GT wajib memiliki
SIPI dan/atau SIKPI. Sementara kapal-kapal di bawah 10 GT telah dibebaskan dari perizinan dan
tinggal melaut tapi tetap berkewajiban untuk melaporkan diri dan berkoordinasi dengan birokrasi
pemerintahan daerah. Akan tetapi kewajiban ini tidak disertai dengan fasilitas yang mumpuni
dikarenakan birokrasi yang lambat seringkali dikeluhkan nelayan yang ingin mengurus perizinan.
Selain itu sebagian besar nelayan datang dari pelosok daerah sehingga pengurusan administrasi sulit
terjangkau oleh nelayan-nelayan tersebut.
mengenai langkah nyata dari penerapan Indonesia Plan of Action sebagai pedoman
Mengacu pada latar belakang tersebut maka dapat ditarik dua rumusan
Plan of Action;
Action;
31
Peningkatan kualitas monitoring, controlling and surveillance merupakan isu nasional
yang perlu dikaji lebih lanjut oleh Indonesia. Hal ini dikarenakan terdapat tiga kendala yang dihadapi
oleh Indonesia terkait dengan monitoring, controlling and surveillance, antara lain: penataan
perijinan; armada dan sarana yang kurang masif untuk melakukan pengawasan di lapangan; dan
sistem penegakan hukum khususnya yang berkaitan dengan kewenangan lembaga yang melakukan
pengawasan, Harmin Sarana, “Desain Sistem Monitoring, Control and Surveillance Nasional dalam
Pembangunan Kelautan Indonesia”, Disertasi, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, 2007,
h. 45.
Action;
daya perikanan yang dimilikinya dengan prinsip pengelolaan yang tepat sehingga
dapat terus berkembang dan tidak menjadi langka di masa yang akan datang. Pola
32
Akhmad Fauzi, Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004, h. 98.
lautan menjadi over exploited. Selain itu pola pikir memaksimalkan produksi
perikanan untuk mengejar keuntungan juga merupakan pemikiran yang tidak tepat
Pengelolaan perikanan harus dilaksanakan dengan efisien dan didasari oleh sistem
dilakukan dengan beberapa cara seperti melarang penangkapan ikan pada suatu
musim tertentu, menutup daerah penangkapan tertentu dan membatasi jumlah ikan
dan pungutan yang dapat mendatangkan investasi akan tetapi disertai juga dengan
dalam hal pengaturan izin dibutuhkan untuk menyaring investor yang masuk ke
33
Lukman Adam, “Kebijakan Pelarangan Penangkapan Ikan Tuna Sirip Kuning: Analisis
Dampak dan Solusinya”, Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik, Vol. 7 No. 2 Desember 2016,
www.jurnal.dpr.go.id, h 198, diakses pada tanggal 20 September 2019.
34
Ibid.
35
Ibid.
yang selektif terhadap investor maka hal ini akan menyebabkan stok ikan di laut
menjadi over exploited. Mengacu pada hal tersebut maka regulasi yang diberikan
oleh pemerintah dalam hal ini berfungsi untuk menstabilkan kegiatan pemanfaatan
atau yang kemudian disebut dengan UNCED 1992, dengan tiga pilar utama yakni
diversity); dan
36
Instabilitas dalam hal ini berarti pengelolaan perikanan tersebut merusak tatanan dalam
masyarakat. Lukman Adam, Op.Cit., h. 200.
37
Ibid, h. 520.
38
Ibid, h. 523.
sebagai pokok yang menjadi prioritas dalam agenda komunitas internasional. Pada
yang terdapat di laut dan daerah pesisir. Article 17.1 menyatakan bahwa negara-
negara memiliki kewajiban untuk menentukan dasar yang dapat digunakan baik
pada perkembangannya merupakan ide dari lahirnya CCRF 1995 yang merupakan
pedoman teknis dalam melaksanakan pola perilaku bagi praktik yang bertanggung
dilakukan oleh kapal perikanan asing, melainkan dapat juga dilakukan oleh kapal
perikanan domestik secara tidak prosedural. Pada dasarnya illegal fishing berangkat
dari istilah Illegal, Unreported, Unregulated Fishing (IUU Fishing), akan tetapi
pada penelitian ini selanjutnya akan disebut sebagai illegal fishing karena pada
dasarnya unsur unreported dan unregulated dalam IUU Fishing telah diakomodir
2001, praktik illegal fishing mengacu pada beberapa pemenuhan unsur, yakni:
yurisdiksi suatu negara, tanpa izin dari negara itu, atau bertentangan
RFMO tersebut;
sesungguhnya39;
Sebelum definisi illegal fishing secara jelas ditemukan dalam IPOA-IUU 2001,
definisi illegal fishing telah terlebih dahulu dikemukakan dalam CCRF 1995. Akan
mengenai definisi illegal fishing. CCRF 1995 pada Article 6 khususnya pada poin
39
Hal ini berarti kapal tersebut secara tidak konsisten mengibarkan bendera yang
digunakan di atas kapal yang berlayar untuk melakukan penangkapan ikan di wilayah kompetensi
RFMO.
ikan berlebih yang pada akhirnya akan memuncak menjadi kerusakan sumber daya
perikanan di dunia. Walaupun tidak dijelaskan dengan rinci namun secara tidak
langsung peraturan ini juga turut menentang adanya praktik illegal fishing
mengingat illegal fishing akan selalu disertai dengan tindakan over fishing ataupun
lingkungan.
CCRF 1995 pada Article 7 khususnya pada poin 7.1.8 bagian umum,
fishing serta harus memastikan bahwa suatu upaya penangkapan ikan sudah sesuai
dengan penggunaan sumber daya perikanan yang berkelanjutan. Pada Article yang
sama namun bagian yang berbeda yakni bagian 7.5 mengenai pengaturan
adanya kerusakan laut yang berlebih. Dalam praktiknya, illegal fishing tidak
semata.
Secara terminologi illegal fishing berasal dari bahasa Inggris yang terdiri
dari dua kata, illegal dan fishing. Illegal artinya tidak sah, dilarang atau
bertentangan dengan hukum dan fishing artinya penangkapan ikan sebagai mata
pencaharian atau tempat menangkap ikan. Mengacu pada pengertian secara harfiah
40
Deklarasi Rio 1992 menyebutkan bahwa precautionary approach atau pendekatan
kehati-hatian adalah pendekatan yang harus diterapkan untuk melindungi lingkungan hidup.
tersebut maka dapat didefinisikan bahwa illegal fishing adalah kegiatan menangkap
ikan atau kegiatan perikanan yang dilakukan secara tidak sah.41 Kegiatan illegal
kawasan yang memasuki perairan suatu negara secara ilegal.42 Akan tetapi pada
perkembangannya praktik illegal fishing tidak hanya dilakukan oleh kapal asing
melainkan juga kapal domestik. Mengacu pada definisi illegal fishing yang
diberikan oleh IPOA-IUU 2001, poin yang menentukan suatu praktik penangkapan
ikan dikategorikan sebagai praktik illegal fishing terletak pada prosedur yang
penangkapan yang ditempuh untuk menangkap ikan secara ilegal di perairan negara
yang dituju tidak dapat dipertanggungjawabkan, baik secara dokumen atau secara
teknik yang digunakan untuk menangkap ikan. Hasil perikanan yang ditangkap
secara ilegal tersebut selanjutnya dijual di luar negara target dengan keuntungan
yang berlipat ganda.43 Penangkapan ikan seperti ini tentu merugikan negara yang
menjadi target praktik illegal fishing karena telah ikut menurunkan produktivitas
dan hasil tangkapan secara signifikan.44 Selain itu praktik sedemikian juga akan
mengancam sumber daya perikanan laut negara yang menjadi target tersebut.
Praktik illegal fishing yang dilakukan oleh nelayan asing atau nelayan domestik
41
Nunung Mahmudah, Illegal Fishing, Sinar Grafika, Jakarta, 2015, h. 80.
42
Simela Victor Muhammad, “Illegal Fishing di Perairan Indonesia: Permasalahan dan
Upaya Penanganannya Secara Bilateral di Kawasan”, Politica, Vol. 3 No. 1 Mei 2012,
www.jurnal.dpr.go.id, h. 61, diakses pada tanggal 20 September 2019.
43
Ibid, h. 60.
44
Sebagai contoh kerugian ekonomi akibat illegal fishing yang terjadi di Indonesia bukan
hanya berupa kehilangan pendapatan negara yang mencapai Rp 30 triliun per tahun, tetapi juga
hilangnya peluang satu juta ton ikan setiap tahunnya yang harus dipanen oleh nelayan Indonesia,
Ibid, dikutip dari Akhmad Solihin, Politik Hukum Kelautan dan Perikanan, Nuansa Aulia, Bandung,
2010, h. 8.
menjadi bagian dari suatu jaringan lintas negara yang beroperasi secara sistematis
dan berkelanjutan.45
Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan
hukum primer dan sumber hukum sekunder. Bahan hukum primer adalah bahan
hukum yang bersifat mengikat antara lain: Undang-Undang Dasar Negara Republik
seperti UNCLOS 1982, FAO Compliance 1993, UNFSA 1995, CCRF 1995, IPOA-
45
Ibid, h. 61, dikutip dari Pujo Wahjono, “Transnational Crime and Security Threats in
Indonesia,” Strategy Research Project, US Army War College, Pennsylvania, 2010.
46
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, h.133.
47
Ibid, h.177.
IUU 2001, RPOA 2007, Indonesian National Plan of Action dan perjanjian lain
illegal fishing yang hingga saat ini masih berlaku. Indonesian National Plan of
Action merupakan objek yang akan diteliti dalam penelitian ini untuk kemudian
primer. Adapun yang dimaksud sebagai bahan hukum sekunder adalah bahan
hukum yang tidak mengikat namun dapat membantu menganalisis, memahami dan
menjelaskan bahan hukum primer. Dalam penelitian ini bahan hukum sekunder
meliputi literatur hukum, jurnal hukum, pendapat para ahli hukum serta segala
informasi hukum tentang permasalahan yang sedang dibahas dalam penelitian ini
48
Ibid, h . 237.
49
Ibid, h. 2.
masalah yang akan dibahas. Hal yang melatarbelakangi penelitian ini adalah
praktik illegal fishing. Praktik illegal fishing masih terjadi dan terus
jawaban dari rumusan masalah. Selain itu dalam bab ini juga akan diberikan
penelitian ini.