Anda di halaman 1dari 97

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hukum Laut Internasional


A.1. Pengertian Hukum Laut Internasional

Hukum laut internasional adalah seperangkat norma hukum yang

mengatur hubungan hukum antara negara pantai atau yang berhubungan

dengan pantai, yang terkurung oleh daratan dan atau organisasi maupun

subyek hukum internasional lainnya, yang mengatur mengenai kedaulatan

negara atas laut, yuridiksi negara dan hak-hak negara atas perairan tersebut.

Hukum laut internasional mempelajari tentang aspek-aspek hukum dilaut dan

peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi di laut.

Akhir-akhir ini di kalangan para ahli hukum maupun di luar

lingkungan yang terbatas ini telah disadari pentingnya hukum laut bagi

kehidupan bangsa Indonesia. Kiranya tidak berlebihan apabila dikatakan

bahwa dibandingkan dengan bidang-bidang hukum lainnya, perkembangan

hukum laut (publik) Indonesia jauh lebih pesat. Bahkan dapat dikatakan

bahwa Indonesia memegang peranan yang cukup penting dalam

perkembangan hukum laut internasional publik masa kini.

Perjuangan Indonesia di bidang hukum laut tidak saja menghasilkan

pengakuan universal terhadap konsepsi negara kepulauan (archipelagic state

principle), tetapi telah membantu tercapainya kedudukan negara pantai yang

secara menyeluruh lebih kuat terhadap negara maritim daripada di masa-masa

sebelumnya.

13
Dalam beberapa puluh tahun belakangan ini sejak dicetuskannya

konsepsi “common heritage of mankind” dalam Sidang Majelis Umum PBB

di tahun 1967,1 hukum laut internasional publik telah mengalami proses

perubahan yang sangat mendasar dan menyeluruh. Perubahan-perubahan yang

telah terjadi berupa bertambahnya kekuasaan negara atas laut hingga 200 mil

dari pantai,2 bertambahnya wewenang negara tepi (riparian state) atas lalu

lintas kapal di selat dan bertambahnya wewenang negara untuk mengambil

tindakan-tindakan perlindungan lingkungan laut.

Hukum laut internasional yang hingga kini belum selang beberapa

lama merupakan penjelmaan supremasi negara maritim besar di lautan

berdasarkan doktrin “mare liberum” (laut bebas) Hugo Grotius3 dengan

demikian telah mengalami transformasi menjadi suatu perangkat ketentuan

hukum yang menggambarkan keseimbangan antara kepentingan negara

maritim dan negara non-maritim yang lebih baik.

Karena negara maritim pada umumya merupakan negara industri dan

maju, sedangkan negara non-maritim merupakan negara berkembang, maka

perjuangan-perjuangan negara berkembang untuk mencapai suatu tata hukum

laut internasional baru, sebagaimana juga perjuangan negara-negara

berkembang untuk mencapai tata ekonomi internasional baru, merupakan

suatu perjuangan negara-negara berkembang untuk suatu tata kehidupan

1
Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia (Edisi Revisi),
PT Refika Aditama, Bandung, 2014, h. 192.
2
Suryo Sakti Hadiwijoyo, Aspek Hukum Wilayah Negara Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2012,
h. 47.
3
Mochtar Kusumaatmadja, “Hukum Laut Internasional”, Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Kehakiman Penerbit Binacipta, Bandung, 1986, h. 12.

14
internasional baru (new international order) yang lebih adil dan berimbang.

Itu sebabnya maka tata hukum laut internasional akan merupakan suatu

hukum laut internasional yang baru (new international of the Sea).

Walaupun demikian hukum laut internasional baru yang sedang dalam

proses pembentukannya, tidak dapat sama sekali dilepaskan daripada hukum

laut internasional dewasa ini yang dasar-dasarnya diletakkan dalam abad ke

XVI di Eropa Barat.4 Hal ini disebabkan karena bagaimanapun juga

perkembangan-perkembangan yang kini sedang terjadi dalam bidang hukum

laut internasional publik tidak bisa sama sekali dipisahkan dari apa yang telah

ada dan terjadi sebelumnya. Perkembangan yang kini sedang terjadi di bidang

hukum laut internasional merupakan lanjutan daripada suatu proses perubahan

yang telah dimulai sejak akhir Perang Dunia ke-II.

Uraian mengenai hukum laut internasional perlu diawali dengan

pembahasan mengenai berbagai fungsi laut bagi umat manusia. Dalam

sejarah, laut terbukti telah mempunyai pelbagai fungsi, antara lain sebagai:

1. Sumber makanan bagi umat manusia;

2. Jalan raya perdagangan;

3. Sarana untuk penaklukan;

4. Tempat pertempuran-pertempuran;

5. Tempat bersenang-senang; dan

6. Alat pemisah atau pemersatu bangsa.

4
Chairul Anwar, Hukum Internasional “Horizon Baru Hukum Laut Internasional” (Konvensi
Hukum Laut 1982), Djambatan, Jakarta, 1989, h. 1.

15
Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), maka

fungsi laut telah bertambah lagi dengan ditemukannya bahan-bahan tambang

dan galian yang berharga di dasar laut dan usaha-usaha mengambil sumber

daya alam.5

Bertitik tolak dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa laut dapat

digunakan oleh umat manusia sebagai sumber daya alam bagi

penghidupannya, jalur pelayaran, kepentingan pertahanan dan keamanan dan

pelbagai kepentingan lainnya. Fungsi-fungsi laut yang disebutkan di atas telah

dirasakan oleh umat manusia, dan telah memberikan dorongan terhadap

penguasaan dan pemanfaatan laut oleh masing-masing negara atau kerajaan

yang didasarkan atas suatu konsepsi hukum.

A.2. Perkembangan Hukum Laut Internasional

Hukum dan ketertiban internasional laut di dunia telah diminta untuk

mengatur kepentingan beragam semua bangsa. Hukum laut di salah satu

cabang tertua hukum internasional, bagaimanapun, sumber kodifikasi dan

perkembangan progresif undang-undang ini adalah tiga Konferensi

Perserikatan Bangsa-Bangsa yang diselenggarakan pada tahun 1958, 1960 dan

1973-1982. Perkembangan hukum laut telah memiliki sejarah yang panjang

dan membingungkan, dipengaruhi oleh pendapat penulis, praktik Negara, dan

persidangan konferensi dan Konvensi konsekuen mereka.6

5
Hasyim Djalal, “Perjuangan Indonesia Di Bidang Hukum Laut”, Badan Pembinaan Hukum
Nasional Departemen Kehakiman Penerbit Binacipta, Bandung, 1979, h. 1.
6
Mazen Adi, The Application of the Law of the Sea and the Covention on the Mediterranean Sea,
United Nations-Nippon Foundation Fellow 2008 – 2009, Division For Ocean Affairs and The Law of
the Sea, Office of Legal Affairs, The United Nation, New York, 2009, h. 7.

16
Seiring waktu, telah diterima bahwa negara-negara pantai berhak

untuk mengklaim kedaulatan dan yurisdiksi atas laut yang berdekatan dan

dasar laut. Klaim ini telah dibuat untuk berbagai keperluan. Faktor keamanan

dan pertahanan adalah yang pertama yang membuat negara-negara memulai

proses ini. Hukum Laut Internasional mengalami perkembangan yang terus

menerus mengalami penyempurnaan dari waktu ke waktu untuk kepentingan

umat manusia melalui aturan-aturan yang berlaku untuk setiap negara.

Pemikiran-pemikiran para ahli dan konferensi-konferensi tentang hukum laut

internasional turut mewarnai proses perkembangan Hukum Laut Internasional

saat ini.

A.2.1. Zaman Romawi

Pada Zaman Romawi telah berkembang pemikiran dan aturan yang

berkaitan dengan laut. Lahirnya konsepsi hukum laut internasional tersebut

tidak dapat dilepaskan dari sejarah pertumbuhan hukum laut internasional

yang mengenal pertarungan antara 2 konsepsi, yaitu:

a. Res Communis, yang menyatakan bahwa laut itu adalah milik semua

orang, jadi laut adalah milik bersama masyarakat internasional, dan

karena itu tidak dapat diambil atau dimiliki oleh masing-masing negara;

b. Res Nulius, yang menyatakan bahwa laut itu tidak ada yang memiliki,

dan karena itu dapat diambil dan dimiliki oleh masing-masing negara.

Di laut berlaku “first come first serve” mereka yang datang lebih dahulu

maka merekalah yang berhak menguasai wilayah tersebut.7

7
Hasyim Djalal, “Perjuangan Indonesia Di Bidang Hukum Laut”, Op.Cit., h. 11.

17
Pertumbuhan dan perkembangan kedua doktrin tersebut diawali

dengan sejarah panjang mengenai penguasaan laut oleh Imperium Roma.

Kenyataan bahwa Imperium Roma menguasai tepi Lautan Tengah dan

karenanya menguasai seluruh Lautan Tengah secara mutlak. Dengan

demikian menimbulkan suatu keadaan di mana Lautan Tengah menjadi lautan

yang bebas dari gangguan bajak-bajak laut, sehingga semua orang dapat

mempergunakan Lautan Tengah dengan aman dan sejahtera yang dijamin

oleh pihak Imperium Roma. Pemikiran hukum bangsa Romawi terhadap laut

didasarkan atas doktrin res communis omnium (hak bersama seluruh umat

manusia), yang memandang penggunaan laut bebas atau terbuka bagi setiap

orang. Asas res communis omnium di samping untuk kepentingan pelayaran,

menjadi dasar pula untuk kebebasan menangkap ikan.8

Bertitik tolak dari perkembangan doktrin res communis omnium

tersebut di atas, tampak bahwa embrio kebebasan di laut lepas sebagai prinsip

kebebasan di laut lepas telah diletakkan jauh sejak lahirnya masyarakat

bangsa-bangsa. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa doktrin ini dalam sejarah

hukum laut internasional merupakan tonggak bagi perkembangan hukum laut

internasional pada masa-masa berikutnya.

Di sisi lain, dalam melaksanakan kekuasaannya di laut, banyak tanda-

tanda yang menunjukkan bahwa dalam pandangan orang Romawi laut itu

dapat dimiliki, di mana dalam zaman itu hak penduduk pantai untuk

menangkap ikan di perairan dekat pantainya telah diakui.9 Pemilikan suatu

8
Mochtar Kusumaatmadja, “Hukum Laut Internasional”, Op.Cit., h. 3.
9
Hasyim Djalal, “Perjuangan Indonesia Di Bidang Hukum Laut”, Op.Cit., h.12.

18
kerajaan dan negara atas laut yang berdekatan dengan pantainya didasarkan

atas konsepsi res nulius.

Menurut konsepsi res nulius, laut bisa dimiliki apabila yang berhasrat

memilikinya bisa menguasai dengan mendudukinya. Pendudukan ini dalam

hukum perdata Romawi dikenal sebagai konsepsi “occupatio” (occupation).

Keadaan yang dilukiskan di atas berakhir dengan runtuhnya Imperium

Romawi dan munculnya pelbagai kerajaan dan negara di sekitar Lautan

Tengah yang masing-masing merdeka dan berdiri sendiri yang satu lepas dari

yang lain. Walaupun penguasaan mutlak Lautan Tengah oleh Imperium

Romawi sendiri telah berakhir, akan tetapi pemilikan lautan oleh negara-

negara dan kerajaan tetap menggunakan asas-asas hukum Romawi.10

A.2.2. Masa Abad Pertengahan

Negara-negara yang muncul setelah runtuhnya Imperium Roma

disekitar tepi Laut Tengah masing-masing menuntut sebagian dari laut yang

berbatasan dengan pantainya berdasarkan alasan yang bermacam-macam.11

1. Teori Bartolus dan Baldus

Kebutuhan untuk menyusun suatu teori hukum tentang status antar

negara atas laut menyebabkan ahli-ahli hukum Romawi yang lazimnya

disebut Post-Glossator atau Komentator mencari penyelesaian hukumnya

didasarkan atas asas-asas dan konsepsi-konsepsi hukum Romawi.

Kebutuhan untuk memberikan dasar teoritis bagi klaim kedaulatan atas laut

10
Mochtar Kusumaatmadja, “Hukum Laut Internasional”, Op. Cit., h. 4.
11
Ibid., h. 5.

19
oleh negara-negara ini antara lain menimbulkan beberapa teori yang

dikemukakan oleh Bartolus dan Baldus, dua ahli hukum terkemuka di abad

pertengahan.12

a. Bartolus

Bartolus meletakan dasar bagi pembagian dua atas laut yakni

bagian laut yang berada di bawah kekuasaan kedaulatan negara pantai

dan di luar itu berupa bagian laut yang bebas dari kekuasaan dan

kedaulatan siapapun. Teori ini kelak merupakan dasar pembagian dua

atas laut yang klasik dalam Laut Teritorial (Wilayah) dan Laut Lepas.

b. Baldus

Konsepsi Baldus agak berlainan dan sebenarnya lebih maju. Ia

membedakan 3 (tiga) konsepsi bertalian dengan penguasaan atas laut

yakni:

- Pemilikan atas laut;

- Pemakaian laut;

- Yurisdiksi atas laut dan wewenang untuk melakukan

perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan di laut.13

2. Pada tahun 1493

Suatu peristiwa penting di dalam sejarah hukum laut internasional

adalah pembagian seluruh laut dan samudera dunia ini di dalam dua bagian

dengan batasnya garis meridian 100 leagues (kira-kira 400 mil laut) sebelah
12
Ibid., h. 6.
13
Ibid., h.7.

20
barat Azores. Sebelah barat dari meridian tersebut (yang mencakup

Samudera Atlantik barat, Teluk Mexico, dan Samudera Pasifik) menjadi

milik Spanyol, sedangkan sebelah timurnya (yang mencakup Samudera

Atlantik sebelah selatan Marokko dan Samudera India) menjadi milik

Portugal,14 yang dilakukan oleh Paus Alexander VI ditahun 1493 dengan

piagam yang dinamakan Inter Caetera.

Pembagian seluruh lautan dan samudera di dunia antara Portugal dan

Spanyol yang pada hakekatnya merupakan pembagian dunia ke dalam dua

lingkungan kekuasaan yang masing-masing dinyatakan berada di bawah

kedaulatan raja-raja Portugal dan Spanyol ini merupakan usaha untuk

menyelesaikan persaingan dan sengketa antara dua kerajaan Katholik ini

yang mulai timbul sejak jatuhnya Constantinopel (sekarang Istanbul) ke

tangan Turki di tahun 1453.15

3. Dalam perkembangannya terjadi “Battle of the Books” dimana para ahli

hukum saling berargumen. Para ahli hukum berpendapat bahwa laut

bebas (mare liberum) lawan laut tertutup (mare calusum)

a. Mare Liberum

Azas kebebasan laut (Freedom of the Sea) pertama kali

dikemukakan oleh Hugo Grotius dalam bukunya Mare Liberum yang

terbit ditahun 1609. Buku ini yang beranak judul (subtitle) “on the right

of the Dutch to sail to the East Indies” (tentang hak orang Belanda untuk

14
Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia(Edisi
Revisi), Op.Cit., h. 4.
15
Mochtar Kusumaatmadja, “Hukum Laut Internasional”, Op.Cit., h.8.

21
berlayar ke Hindia Timur) ditulis oleh Grotius sebagai pembelaan hak

orang Belanda atau orang lain selain orang Portugis dan Spanyol untuk

mengarungi lautan.

Dalam tahun yang sama (1609) raja James I dari Inggris telah

mengeluarkan larangan bagi nelayan Belanda untuk menangkap ikan di

dekat pantai Inggris.

Inilah sebabnya mengapa buku Grotius yang sebenarnya di

tujukan pada orang Portugis dan Spanyol yang telah menutup laut-laut

tertentu bagi pelayaran oleh orang lain dan tidak terhadap pembatasan

perikanan yang dilakukan oleh Inggris, telah menimbulkan reaksi yang

hebat dari penulis-penulis Inggris seperti Welwood dan kemudian Selden

sehingga menimbulkan apa yang dinamakan “pertempuran buku-buku”

(battle of the books).

Pikiran Grotius tentang kebebasan berlayar yang mula-mula

dibentangkan dalam buku “Mare Liberum” dikembangkannya kemudian

dalam buku “De Iure Praedae” dan akhirnya dalam “De Iure Belli ac

Paccis” yang meliputi tiga jilid.

Alasan-alasan yang dikemukakan Grotius dalam bukunya “Mare

Liberum” untuk menyangkal kebenaran politik Portugal dan Spanyol

melarang pihak lain berlayar ke Timur Jauh didasarkan atas pendirian

bahwa laut terbuka untuk siapapun juga karena tidak ada yang

memilikinya.

22
Sebagaimana diketahui sekarang buku “Mare Liberum” semula

sebenarnya dimaksudkan sebagai bab ke-12 dari buku “De Jure

Praedae” yang ditulis untuk menyerang politik Portugal dan Spanyol

yang merampas kapal-kapal bangsa lain yang melayari laut dan samudera

yang mereka anggap hanya boleh dilayari kapal-kapal mereka.

Keputusan untuk menerbitkan bab ini sebagai suatu buku tersendiri

didorong oleh keinginan dan harapan untuk meyakinkan pihak Spanyol

dengan alasan-alasan yang termuat didalamnya.

Walaupun “Mare Liberum” ditulis untuk membela kebebasan

berlayar (freedom of navigation) di laut terhadap klaim bangsa-bangsa

Portugis dan Spanyol namun buku ini menyinggung juga perihal

kebebasan untuk menangkap ikan. Pendirian Grotius tentang hak

menangkap ikan di laut yang menurut dia harus terbuka untuk siapapun

didasarkan alasan bahwa laut itu merupakan suatu sumber kekayaan laut

yang tak ada batasnya.16

b. Mare Clausum

Ajaran Grotius mengenai “Mare Liberum” sebagaimana

disebutkan di atas mendapat tantangan dari berbagai penulis sejamannya.

Mereka antara lain Gentilis, William Welwood, John Borough, Paulo

Sarol, dan John Shelden. Tantangan atas ajaran Grotius mencegah

kemenangan teorinya atas kedaulatan pada bagian-bagian tertentu dari

laut bebas pada waktu itu. Kemajuan yang dibuat berdasarkan teori

16
Ibid., h. 12-14.

23
“Mare Liberium” hanya dalam satu hal, yaitu kebebasan pelayaran

(freedom of navigation) di laut.

Yang terpenting dari para penentang Grotius adalah John

Sheldon. Penentangnya ini mengemukakan dalam bukunya “Mare

Clausum: the Right and Dominion In the Sea (1636). Menurut Sheldon,

okupasi memang penting bagi kepemilikan. Namun, sejarah telah

membuktikan bahwa negara-negara telah menjalankan kekuasaan mereka

atas lautan, dan karena itu melalui prescription itu dapat dimiliki.

Karenanya laut itu bukan “Mare Liberium” tetapi “Mare Clausum”.

Sifatnya yang cair tak menyebabkan laut tidak dapat dimiliki, karena

sungai dan perairan di sepanjang pantai yang cair diakui dapat dimiliki.17

Selden kembali mengemukakan bahwa selama laut dikuasai oleh

suatu negara tertentu, maka negara tersebut mempunyai kekuasaan atas

laut tersebut. Teori ini dikembangkan oleh Pontanus yang

mengemukakan bahwa: Kedaulatan suatu Negara (souvereignty) atas laut

mencakup didalamnya wewenang untuk melarang pihak ketiga, sehingga

wewenang untuk melarang melakukan perikanan dan pelayaran tidak lagi

dikaitkan dengan pemilikan (dominium) atas laut. Dengan demikian

dihindarkannya persoalan dapat atau tidaknya laut itu dimiliki, suatu segi

yang merupakan salah satu titik kelemahan dalam argumentasi Grotius.18

17
Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia(Edisi
Revisi), Op.Cit., h. 6.
18
Mochtar Kusumaatmadja, “Hukum Laut Internasional”, Op.Cit., h. 19.

24
Kurang lebih seratus tahun setelah terbitnya “Mare Liberum”

seorang ahli hukum terkemuka bangsa Belanda lainnya Cornelis van

Bynkershoek menulis sebuah buku berjudul “De Dominio Maris

Dissertatio”. Dalam tulisan ini ia menolak dalil John Selden, yang

mengklaim bagian-bagian laut yang luas bagi negara pantai, dengan

menyarankan suatu jalur yang berbeda di bawah kedaulatan negara pantai

dengan suatu ukuran lebar yang tidak terlalu besar. Untuk ini ia

mengemukakan suatu rumusan dalil, sebagai penjelmaan dari asas

penguasaan laut dari darat, berupa suatu kaidah tembakan meriam yang

berbunyi : “Terrae protestas finitur ubi finitur armorum vis” (kedaulatan

territorial berakhir dimana kekuatan senjata berakhir). Menurut dalil ini

jalur laut territorial menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari wilayah

(territori) daratan dan perbedaan antara pemilikan dan kedaulatan dengan

demikian lenyap sama sekali. Dengan demikian sempurnalah pembagian

dua laut yang dipelopori oleh Pontanus dan selesailah “perang buku”

antara doktrin “Mare Liberum” dan “Mare Clausum”.19

4. Jarak tembakan meriam dan asal-usul kaidah lebar laut territorial 3 (tiga)

mil

Sudah menjadi anggapan umum bahwa kaidah lebar laut tiga mil

yang pernah dianggap sebagai suatu ukuran lebar laut territorial yang

berlaku umum berasal dari kaidah tembakan meriam. Akan tetapi penelitian

19
Ibid., h. 20.

25
yang diadakan beberapa waktu yang lalu telah mengemukakan beberapa

fakta yang membantah anggapan tadi. 20

Untuk lebih jelasnya baik apabila kita teliti sejarah penetapan lebar

laut teritorial ini setelah konsepsi laut wilayah ini lahir dengan membagi dua

laut dalam dua bagian yakni laut wilayah (territorial) yang berada di bawah

kedaulatan negara pantai dan laut lepas yang berstatus bebas.

Dalam awal masa sejarah hukum laut ada beberapa ukuran yang

dipergunakan orang untuk menetapkan lebar laut teritorial sebagai jalur

yang berada di bawah kedaulatan negara pantai. Diantaranya yang

terpenting adalah (1) ukuran tembakan meriam, (2) ukuran pandangan mata,

dan (3) ukuran "marine league". Baru jauh kemudian muncul ukuran 3 mil

laut yang untuk waktu yang cukup lama dianggap ukuran lebar laut teritorial

yang berlaku umum.

Diantara tiga ukuran tersebut di atas yang paling banyak

diperbincangkan adalah ukuran tembakan meriam dan lama sekali orang

mengira bahwa ukuran tembakan meriam inilah yang merupakan asal mula

dari kaidah laut territorial tiga mil, yakni suatu jalur laut yang terbentang

sepanjang pantai dan lebarnya tiga mil terhitung dari garis pasang surut.

Karenanya menarik kiranya kita ikuti sejarah perkembangan ukuran

tembakan meriam ini dan hubungannya dengan kaidah lebar laut tiga mil.

Dalam praktek antara negara ukuran tembakan meriam ini untuk

pertama kalinya disebut dalam sengketa antara Negeri Belanda dan Inggris

dalam nota wakil inggris, Gerbier di Brussel kepada Rajanya yang menulis

20
Ibid.

26
antara bahwa "............ orang Belanda tidak dapat mengakui Paduka Yang

Mulia memiliki kekuasaan di laut yang melampaui jarak tembakan

meriam".21

Dalil Bynkershoek yang dikemukakan seratus tahun setelah kejadian

di atas lekas sekali menjadi suatu teori yang diterima secara umum oleh

ahli-ahli hukum internasional antara lain Surland, Moser dan Vattel. Lebih

menarik lagi adalah usaha-usaha yang mencoba untuk menggambarkan dalil

tembakan meriam dalam ukuran jarak yang konkrit, yang pertama kali

dilakukan oleh Galiani, seorang penulis Italia yang dalam bukunya "Dei

doveri dei principii neutrali verso i principii guerregianti, e diquesto verso i

netrali” (Naples, 1782), menghubungkannya secara khusus dengan suatu

jalur netralitas yang lebarnya tiga mil.

Lebih terkenal lagi sebagai orang yang menyamakan dalil tembakan

meriam dengan kaidah 3 mil adalah penulis Italia Domenico Anzuni yang

mengemukakan pendapatnya itu dalam buku berjudul “Sistema universale

dei principii del dirrito marittimo dell’ Europa”, yang diterjemahkan dalam

bahasa Perancis dan kemudian bahasa Inggris.22

Disamakannya dalil tembakan meriam Bynkershoek dengan ukuran

3 mil laut yang dipelopori oleh Galiani dan Anzuni dalam abad ke-18, ini

ternyata mempunyai pengaruh yang cukup besar atas pemikiran dan

penulisan selanjutnya di bidang ini. Walaupun pada mulanya dalil tembakan

meriam dan kaidah tiga mil lebar laut teritorial disebut sebagai dua alternatif

yang identik (sama benar) dan dapat dipertukarkan satu sama lainnya,

21
Ibid., h. 21.
22
Ibid., h. 22.

27
diantara penulis-penulis hukum internasional kemudian timbul

kecenderungan untuk menyebutnya secara terpisah.

Menurut penelitian yang diadakan oleh Riesenfeld mengenai

pendapat dan tulisan-tulisan sarjana hukum internasional tentang batas lebar

laut teritorial dalam abad ke-19 dan ke-20, sebagian besar menganut

pendirian bahwa ukuran tembakan meriam atau 3 mil merupakan ukuran

lebar laut teritorial yang berlaku umum. Tetapi, ditambahkannya bahwa

sebagian besar daripada penulis ini hanya mengutip dan mengulang penulis-

penulis lain sebelumnya tanpa penelitian sendiri sehingga arti daripada

pendapat yang menyamakan dalil tembakan meriam dengan kaidah tiga mil

karenanya sangat berkurang.

A.2.3. Zaman Modern

Pada zaman modern, hukum laut internasional mengalami

perkembangan yang sangat luar biasa. Perkembangan hukum laut

internasional pada masa ini lebih banyak melibatkan negara-negara di dunia

melalui konferensi sebagai pemikir dan pembuat aturan-aturan dalam

perumusan hukum laut.

1. Den Haag Convention 1930

Di dalam tahun 1930 Liga Bangsa-Bangsa mengadakan Konferensi

kodifikasi Hukum Internasional yang meliputi 3 masalah yakni:

1. Kewarganegaraan (Nationality);

2. Perairan Territorial (Territorial Waters);

28
3. Tanggungjawab negara untuk kerugian yang ditimbulkan dalam

wilayahnya terhadap pribadi atau kekayaan orang asing

(Responsibility of State).

Patut disimak bahwa persoalan laut territorial ini dibicarakan dan

dibahas di dalam Konferensi Den Haag tahun 1930 tentang Laut Teritorial.

Konferensi ini didahului dengan pembentukan Panitia Persiapan pada tahun

1929 yang menyusun dasar perbincangan (bases of discussion) dari

konferensi. Sebelum Konferensi Den Haag diadakan, Panitia Persiapan ini

menyusun rancangan pasal-pasal perihal laut teritorial dan jalur tambahan.

Dasar perbincangan konferensi itu antara lain menyebutkan bahwa suatu

negara memiliki kedaulatan atas suatu jalur laut yang dinamakan laut

teritorial.23

Konferensi kodifikasi yang diadakan oleh Liga Bangsa-Bangsa ini di

dalam sejarah hukum internasional dapat dianggap sebagai usaha lanjutan

atas usaha kodifikasi hukum internasional dari masyarakat bangsa-bangsa

yang untuk pertama kalinya diadakan tahun 1899 pada waktu diadakannya

konferensi perdamaian di kota yang sama.

Dalam tahun 1899 hingga 1901 diselenggarakan Konferensi-

Konferensi Perdamaian di Den Haag yang merupakan usaha pertama dari

masyarakat bangsa-bangsa untuk melakukan perumusan kaidah-kaidah

hukum yang mengatur hubungan antara negara dalam bentuk tertulis.

Konferensi-Konferensi Perdamaian Den Haag ini kemudian disusun dengan

23
Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia(Edisi
Revisi), Op.Cit., h. 7.

29
Konferensi Kodifikasi tahun 1907 menghasilkan Konvensi-Konvensi

tentang Perang dan Netralitas.24

Liga Bangsa-Bangsa setelah berakhirnya Perang Dunia I dengan

melanjutkan usaha ini menunjukkan optimisme dan kepercayaan anggota-

anggota akan kemampuan badan ini untuk paling tidak mengusahakan

terpeliharanya perdamaian melalui kodifikasi atas ketentuan-ketentuan

hukum internasional yang berlaku dipilihnya hukum mengenai Laut

Teritorial sebagai salah satu masalah hukum yang perlu dikodifikasikan

menggambarkan keinginan masyarakat bangsa-bangsa waktu itu untuk

memperoleh ketegasan dalam suatu bidang hukum yang telah berkembang

sejak beberapa abad.

2. Truman Proclamation 28 September 1945

Pada tanggal 28 September 1945 Presiden Amerika Serikat Harry S.

Truman telah mengeluarkan suatu proklamasi yang di dalam paragrap-

paragrap pokoknya menyatakan sebagai berikut:25

Now, therefore, I, Harry S. Truman President of the United


States of America, do hereby proclaim the following policy of
United States of America with respect to the natural resources
of the subsoil and seabed of the continental shelf. Having
concern for the urgency of conserving and prudently utilizing its
natural resources, the Government of the United States regards
the natural resources of the subsoil and seabed of the
continental shelf beneath the high seas but contiguous to the
coasts of the United States are appertaining to the United States,
subject to its jurisdiction and control. In cases where the
continental shelf extends to the shores of another State, or is
shared with an adjacent State, the boundary shall be determined

24
Mochtar Kusumaatmadja, “Hukum Laut Internasional”, Op.Cit., h. 54.
25
Proclamation No. 2667, “Policy of the United States with Respect to the Natural Resources of
the Subsoil and Sea Bed of the Continental Shelf”, 28 Sept. 1945, 10 Fed. Reg. 12,305 (1945); 3
CFR, 1943-1948 Compt., p.67.

30
by the United States and the State concerned in accordance with
equitable principles. The character as high seas of the waters
above the continental shelf and the right to their free and
unimpeded navigation are in no way thus affected.
Dengan proklamasi Presiden Truman tahun 1945 di atas dimulailah

suatu perkembangan dalam hukum laut masa kini yang didasarkan atas

pengertian yang baru dalam hukum laut yakni pengertian geologi

“continental shelf” atau dataran kontinen. Tindakan Presiden Amerika

Serikat ini bertujuan mencadangkan kekayaan alam pada dasar laut dan

tanah dibawahnya yang berbatasan dengan pantai Amerika Serikat untuk

kepentingan rakyat dan bangsa Amerika Serikat, terutama kekayaan mineral

khususnya minyak dan gas bumi.

Di dalam pertimbangannya proklamasi Truman tersebut di atas

antara lain menyatakan perlunya dirangsang pencarian sumber-sumber baru

atas minyak bumi dan barang tambang lain mengingat kebutuhan dunia

jangka panjang akan sumber minyak bumi dan barang tambang lainnya.

Tindakan ini perlu diadakan demi eksplorasi dan eksploitasi sumber

kekayaan alam yang terdapat dalam dasar laut (seabed) dan tanah bawah

(subsoil) dataran kontinen yang teratur, yang dengan kemajuan teknik yang

telah tercapai sudah dapat di eksploitasikan. Sebagai alasan atas tindakan

Pemerintah Amerika Serikat untuk mengamankan cadangan kekayaan alam

yang terdapat pada dasar dataran kontinen dan tanah dibawahnya

dikemukakan bahwa sudah selayaknya tindakan demikian diambil oleh

negara pantai karena “continental shelf” dapat dianggap sebagai kelanjutan

alamiah atas wilayah daratan dan bagaimana pun juga usaha-usaha untuk

mengolah kekayaan alam yang terdapat di dalamnya memerlukan kerja

31
sama dan perlindungan dari pantai. Dengan demikian maka demi keamanan

pengusahaan sumber alam yang terdapat dari dalam continental shelf,

seyogyanya kekuasaan untuk mengaturnya ada pada negara pantai yang

berbatasan dengan dataran kontinen yang bersangkutan.26

Tindakan Pemerintah Amerika Serikat ini didasarkan atas pendapat

ahli-ahli geologi minyak bumi bahwa bagian-bagian tertentu dari dataran

kontinen di luar batas 3 mil mengandung endapan-endapan minyak bumi

yang sangat berharga. Tindakan ini memungkinkan untuk

mengeksploitasikan secara teratur suatu daerah di bawah permukaan laut

(sub marine area) yang luasnya 750.000 mil persegi yang di tutup oleh air

yang dalamnya tidak lebih dari 100 fathom.

Kesimpulan ini didasarkan atas pengamatan dan penelitian atas

struktur-struktur geologi yang terdapat dalam teluk Texas. Juga indikasi

yang sama terdapat di dalam struktur-struktur yang terdapat dalam teluk

Mexico. Pemerintah sekali lagi menekankan bahwa diumumkannya

penguasaan Amerika Serikat atas kekayaan mineral yang terdapat di dalam

dataran kontinen tidak sekali-kali bermaksud untuk mengurangi hak

kebebasan berlayar atas, atau melalui perairan yang terdapat di atas

"continental shelf” (dataran kontinen) yang tetap meliputi statusnya sebagai

laut lepas. Proklamasi ini juga tidak bermaksud untuk memperluas batas-

batas laut teritorial Amerika Serikat.

26
Ibid.

32
Dari bunyi teks proklamasi Truman yang dikutip di atas dan

penjelasan-penjelasan yang menyertainya kiranya jelas bahwa tindakan

Pemerintah Amerika Serikat ini bertujuan mengamankan atau

mencadangkan kekayaan mineral yang terdapat dalam dasar laut dan tanah

di bawahnya yang berbatasan dengan pantai tidak bermaksud mengganggu

pelayaran bebas yang terdapat dalam laut lepas. Dengan demikian

proklamasi Truman secara sekaligus memperluas wewenang Amerika

Serikat untuk mengambil kekayaan alam dari dasar laut yang berbatasan

dengan pantainya termasuk tanah yang ada di bawahnya sambil tetap

mempertahankan kebebasan berlayar yang juga menjadi kepentingan

Amerika Serikat dalam perairan di atasnya dengan menegaskan bahwa

kedaulatan atau yurisdiksi penuh tetap terbatas pada laut teritorial 3 mil.

3. Konferensi Hukum Laut Jenewa Tahun 1958 (UNCLOS I)

Dari tanggal 24 Februari hingga 27 April 1958 di kota Jenewa,

Switzerland telah diselenggarakan suatu konferensi internasional tentang

hukum laut yang dihadiri oleh wakil-wakil dari 86 negara. Daftar negara

peserta memperlihatkan perubahan yang telah terjadi dalam keanggotaan

masyarakat bangsa dengan telah masuknya negara-negara yang memperoleh

kemerdekaannya setelah akhir Perang Dunia ke-II.27

Kenyataan dan faktor bertambah pentingnya laut sebagai sumber

kekayaan alam dan kemajuan teknologi memungkinkan penggaliannya yang

telah dijelaskan dalam tulisan diatas, menjadikan Konferensi Hukum Laut

27
Mochtar Kusumaatmadja, “Hukum Laut Internasional”, Op.Cit., h. 109.

33
yang diadakan di Jenewa pada tahun 1958 ini suatu kejadian yang penting

dalam perkembangan hukum laut masa kini.

Konferensi Hukum Laut Jenewa tahun 1958 diadakan berdasarkan

resolusi Majelis Umum PBB No. 1105 (XI) tanggal 21 Februari 1957.

Paragraf operatif (operative paragraph) yang mengandung pokok isi

resolusi berbunyi sebagai berikut:28

"The General Assembly,


(2) Decides ...... that an international conference of
plenipotentiaries should be convoked to examine the law of the
sea, taking account not only of the legal but also of the
technical, biological, economic and political aspects of the
problem, and to embody the results of its work in one or more
international conventions or such other instrument as it may
deem appropriate."

Resolusi di atas yang merupakan dasar bekerja bagi konferensi dan

menetapkan batas-batas tugas konferensi dengan tegas menetapkan bahwa

konferensi harus membahas hukum laut tidak hanya dari sudut hukum,

melainkan harus pula mempertimbangkan aspek-aspek teknis, biologis,

ekonomis, dan politik atas masalah ini.

Untuk memahami persoalan sedalam-dalamnya perlu dijelaskan arti

dari aspek-aspek non-yuridis yang telah ditegaskan dalam resolusi di atas

dan pengaruhnya atas pertumbuhan hukum laut. Selanjutnya akan ditinjau

dengan cara bagaimana aspek-aspek non-yuridis ini dapat turut

dipertimbangkan di dalam membahas masalah hukum laut.

28
UN General Assembly, Official Records, 11th session, plenary meeting 658th, February 21, 1957.
Res. 1105 (XI), p. 54.

34
Pembahasan atas persoalan-persoalan atau pertanyaan pre-liminer ini

perlu, karena akhirnya penilaian tentang berhasil atau tidaknya Konferensi

Hukum Laut Jenewa tahun 1958 dalam menunaikan tugasnya harus kita

lakukan menurut batas-batas tugas (terms of reference) yang telah diberikan.

Hasil Konferensi Hukum Laut Jenewa Tahun 1958 menghasilkan 4

(empat) Konvensi antara lain:29

a. Convention on the Territorial Sea and Contigous Zone (Konvensi

mengenai Laut Teritorial dan Zona Tambahan);

b. Convention on the High Seas (Konvensi mengenai Laut Lepas);

c. Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources

of the High Seas (Konvensi mengenai Perikanan dan Perlindungan

Kekayaan Hayati Laut Lepas);

d. Convention on the Continental Shelf (Konvensi mengenai Landas

Kontinen).

4. Konferensi Hukum Laut Jenewa Tahun 1960 (UNCLOS II)

Antara tahun 1958 dan 1960, terdapat berbagai perbedaan dalam

klaim terhadap laut teritorial. Islandia menetapkan jalur tambahan perikanan

selebar 12 mil. Pembicaraan yang diadakan pada Committee of The Wole

berlangsung dari tanggal 17 Maret 1960 sampai dengan 26 April 1960.

Agendanya ialah tentang masalah lebar laut teritorial dan zona tambahan

perikanan. Berbagai usul dikemukakan seperti enam mil plus enam mil

(Kanada), enam mil laut teritorial dikombinasikan dengan dua belas mil

29
Mochtar Kusumaatmadja, “Hukum Laut Internasional”, Op.Cit., h. 128.

35
zona perikanan (Amerika Serikat), namun kesemuanya mengalami

kegagalan untuk menentukan lebar laut teritorial. Kelemahan lainnya ialah

pengaturan yang terlalu kompleks dari Konvensi tentang Perikanan dan

Konservasi Sumber-Sumber Hayati Laut Lepas.30 Dengan demikian jelas,

diperlukan adanya suatu konferensi hukum laut berikutnya untuk membahas

masalah laut teritorial dan masalah perikanan.

5. United Nations Seabed Committe 18 Desember 1967 (Komisi PBB

mengenai Seabed)

Konferensi Hukum Laut III ini diadakan berdasarkan Resolusi

Majelis Umum PBB No. 2750 (XXV) tertanggal 17 Desember 1970.

Resolusi tersebut mengukuhkan mandat yang telah diberikan kepada The

Committe of the Peaceful Uses of the Seabed and Ocean Floor beyond the

Limits of national jurisdiction yang lebih dikenal dengan nama aslinya UN

Seabed Committe yang lahir sebagai hasil atas inisiatif Malta pada tahun

1967. UN Seabed Committe ditetapkan menjadi Panitia Persiapan bagi suatu

Konferensi Hukum Laut yang diadakan pada tahun 1973. Konferensi ini

ditugaskan untuk membahas:

a. Pengaturan hukum (regime) yang mengatur: “the area and the

resources of the seabed and ocean floor and the subsoil beyond

the limits of national jurisdiction, ...”;

b. Ketentuan-ketentuan mengenai pengaturan laut lepas (high seas);

c. Landas Kontinen (continental shelf);

30
Chairul Anwar, Hukum Internasional “Horizon Baru Hukum Laut Internasional” (Konvensi
Hukum Laut 1982), Op.Cit., h. 5.

36
d. Territorial Sea, termasuk masalah lebar laut teritorial dan masalah

selat internasional;

e. Perikanan dan perlindungan sumber daya hayati di laut lepas;

f. Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut (termasuk

pencegahan pencemaran); dan

g. Penelitian ilmiah kelautan.31

6. United Nations Convention on the Law of the Sea III (UNCLOS III) 10

Desember 1982, Montego Bay, Jamaica.

Konvensi Hukum laut 1982 merupakan puncak karya dari PBB

tentang hukum laut, yang disetujui di Montego Bay, Jamaica tanggal 10

Desember 1982. Konvensi hukum laut dengan hasil gemilang ini yang

ditandatangani oleh 119 negara pada hari pertama konvensi ini terbuka

untuk penandatanganan, diberi nama julukan sebagai Konstitusi Lautan

(Constitution for the Ocean) oleh Presiden dari Konferensi Hukum Laut

PBB III. Terdiri dari 17 Bagian (Parts) dan 9 Annex, konvensi ini antara

lain terdiri dari ketentuan-ketentuan tentang batas-batas dari yurisdiksi

nasional di ruang udara di atas laut, navigasi, perlindungan dan

pemeliharaan lingkungan laut, riset ilmiah, pertambangan dasar laut dan

eksploitasi lainnya dari sumber-sumber non hayati dan ketentuan-ketentuan

tentang penyelesaian perselisihan. Di samping itu konvensi ini juga

mengatur tentang pendirian dari badan-badan internasional untuk

31
Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia (Edisi
Revisi), Op.Cit.,
h. 11.

37
menyelenggarakan fungsi-fungsi untuk realisasi tujuan-tujuan tertentu dari

konvensi ini.

Pada tahun 1967 Majelis Umum membicarakan konsep Common

Heritage of Mankind (warisan umum kemanusiaan) dalam kaitan dengan

pemeliharaan dasar laut secara eksklusif untuk perdamaian, di mana

sebelumnya konsep warisan umum kemanusiaan ini belum pernah

dibicarakan dalam forum internasional. Pekerjaan dari Konferensi Ketiga

PBB tidaklah didasarkan kepada rancangan pasal-pasal yang dipersiapkan

oleh International Law Commission seperti halnya dalam Konferensi

Geneva tahun 1958, tetapi kesimpulan-kesimpulan didasarkan atas dasar

rasional yang merupakan paket dari konsep tersebut.

Majelis Umum kemudian membentuk Komite Ad Hoc untuk

mempelajari Peaceful Uses of the Sea-bed and Ocean Floor di luar batas-

batas yurisdiksi nasional, yang diberi nama Sea-Bed Committee untuk

menentukan ide dan konsep baru mengenai hal tersebut.32 Sebagai

kelanjutan dari pelaksanaan Konvensi telah dibentuk antara lain,

Commission on the Limits of the Continental Shelf (CLC), dan International

Sea-bed Authority (ISBA). Di samping itu, juga telah dicapai beberapa

perjanjian tambahan yang merupakan aturan pelaksanaan dari konvensi,

yaitu Agreement relating to the Implementation of Part XI of the Convention

tahun 1994.

32
Chairul Anwar, Hukum Internasional “Horizon Baru Hukum Laut Internasional” (Konvensi
Hukum Laut 1982), Op.Cit., h. 7.

38
Ada pun ketentuan-ketentuan yang merupakan perkembangan

progresif dalam Konvensi Hukum Laut 1982 adalah selat yang digunakan

untuk pelayaran internasional, negara kepulauan, zona ekonomi eksklusif,

pengelolaan dan konservasi sumber daya hayati di laut lepas, pulau, laut

tertutup atau separuh tertutup, perlindungan dan pelestarian lingkungan laut

(termasuk pencegahan pencemaran), penelitian ilmiah dan alih teknologi

kelautan dan penyelesaian sengketa kelautan.33

Kemudian ternyata bahwa Konvensi Hukum Laut 1982 yang

berhasil mengkodifikasikan perkembangan di atas tidak dapat

menyelesaikan masalah perikanan tangkap. Ketentuan Pasal 63 ayat 2 dan

Pasal 64 ayat 1 Konvensi ini sudah tidak efektif dalam mengatur masalah

konservasi dan pengelolan jenis ikan yang beruaya terbatas dan jenis ikan

yang beruaya jauh.

Demikian pula, ketentuan-ketentuan dalam Bab VII Konvensi tidak

efektif dalam mengatur konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan di

laut lepas dan ketentuan-ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982 yang terkait

dengan pengelolaan dan konservasi sumber daya hayati di laut lepas.

Ketidakefektifan kedua ketentuan tersebut menimbulkan kegiatan illegal,

unreported and unregulated (IUU) fishing yang memerlukan perhatian, baik

dari masyarakat nasional maupun masyarakat internasional. Kegiatan IUU

fishing ini merupakan kegiatan penangkapan ikan tidak bertanggung jawab

33
Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia (Edisi
Revisi), Op.Cit., h. 13.

39
yang mengakibatkan persediaan sumber-sumber daya ikan yang terus

mengalami penurunan drastis.

Konvensi Hukum Laut 1982 juga tidak memberikan pengertian

genuine link secara jelas yang menimbulkan banyak interpretasi dan

mendorong maraknya praktik bisnis penggunaan flags of convenience

(bendera pura-pura). Keadaan-keadaan yang disebutkan di atas mendorong

disusunnya the Agreement to Promote with International Conservation and

Management Measures by Fishing Vessels on the High Seas (the 1993 FAO

Compliance Agreement) dan Persetujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa

tentang Pelaksanaan Ketentuan-Ketentuan Konvensi Perserikatan Bangsa-

Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember yang berkaitan dengan

Konservasi dan Pengelolaan Persediaan Ikan yang Beruaya Terbatas dan

Persediaan Ikan yang Beruaya Jauh (Persetujuan PBB tentang Persediaan

Ikan 1995).

Instrumen-instrumen hukum perikanan internasional penting lainnya

yang telah berhasil disusun adalah the 1995 FAO Code of Conduct for

Responsible Fisheries (untuk selanjutnya akan disebut sebagai CCRF)

(aturan perilaku tentang pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab)

dan the 2001 FAO International Plan of Action to Deter, Prevent and

Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (untuk selanjutnya

akan disebut sebagai IPOA-IUU) (rencana aksi global untuk memberantas

kegiatan penangkapan ikan yang melanggar hukum, tidak diatur dan tidak

40
dilaporkan).34 Suatu uraian tentang perkembangan hukum laut internasional

sesudah berlakunya Konvensi Hukum Laut 1982 dan instrumen-instrumen

internasional lainnya tidak akan lengkap tanpa menguraikan usaha dan

tindakan Indonesia di bidang ini. Langkah-langkah yang telah diambil oleh

Indonesia di bidang ini merupakan implementasi dari ratifikasi Indonesia

terhadap Konvensi ini melalui Undang-Undang No. 17 Tahun 1985.

A.3. Sumber-Sumber Hukum Laut Internasional

Semenjak laut dimanfaatkan untuk kepentingan pelayaran,

perdagangan, dan sebagai sumber kehidupan seperti penangkapan ikan,

semenjak itu pulalah para ahli hukum mulai mencurahkan perhatiannya

pada hukum laut. Sebagai suatu bentuk dari hukum laut yang paling dini

pada abad ke-12 telah dikenal beberapa kompilasi dari peraturan-peraturan

yang dipakai di laut di Eropa. Di Laut Tengah “Lex Rhodia” atau Hukum

Laut Rhodia mulai dikenal sejak abad ketujuh.

Kemudian suatu koleksi hukum maritim, yang mungkin merupakan

koleksi yang paling dini, sebagai kompilasi dari hakim-hakim, kapten-

kapten kapal dan pedagang-pedagang ternama, diterbitkan pada tahun 1494,

yang dinamakan Consolato del Mare (Konsulat dari Lautan).

Himpunan Rolles d'Oleron di dalam bahasa Perancis kuno,

merupakan aturan pokok lautan untuk daerah Atlantik. Sea Code of Wisby

merupakan himpunan hukum laut penting yang diterapkan di Eropa Utara.

Bagian pertamanya merupakan terjemahan ke dalam bahasa Flam dari 24

34
Ibid., h. 14.

41
Bab (Rolles d'Oleron), sedangkan bagian keduanya “Ordonancie”

kelihatannya disusun di Amsterdam tahun 1407.35

Kemudian pada abad ke-16 dan abad ke-17 keinginan untuk

menguasai lautan merupakan hal yang diperebutkan oleh negara-negara

maritim di Eropa. Spanyol dan Portugis yang menguasai lautan berdasarkan

Perjanjian Tordesillas tahun 1494, memperoleh tantangan baik dari Inggris

yang di bawah Elizabeth I menghendaki kebebasan di laut dan tantangan

dari Belanda, yang tercermin dalam karangan Grotius tahun 1609 yang

berjudul “mare liberum”. Pada abad ke-17 Raja James I dari Inggris

memproklamirkan bahwa penangkapan ikan dipantai negara-negara di

bawah kekuasaannya hanya diperkenankan dengan memakai izin. Hal ini

berarti bahwa nelayan-nelayan Belanda harus membayar semacam royalty

di perairan Inggris. Beberapa waktu kemudian hal ini membawa kepada

perdebatan yuridis yang sengit antara yurist Belanda Grotius yang

mempertahankan mare liberum dengan pembelaan Selden dari Inggris yang

bergejolak dalam bukunya mare clausum. Masing-masing antara Belanda

dan Inggris sama-sama tidak menghendaki monopoli Spanyol dan Portugis

atas lautan.

Ahli-ahli hukum yang berusaha meletakkan konsep-konsep dasar

tentang hukum laut, biasanya membagi teori-teori tentang lautan secara

legalistik dalam empat bagian, yaitu (1) perairan pedalaman, (2) laut

teritorial, (3) zona tambahan, (4) laut lepas. Terlihat dalam perkembangan

yang cepat dari hukum laut internasional dengan diperkenalkannya

35
Chairul Anwar, Hukum Internasional “Horizon Baru Hukum Laut Internasional” (Konvensi
Hukum Laut 1982), Op.Cit., h. 1.

42
pengaturan tentang “landas kontinen” dalam UNCLOS I dan regim baru

“Zona Ekonomi Eksklusif”, “Negara Kepulauan”, “Kawasan Dasar Laut

Internasional” dan lain-lain. Adapun konferensi internasional utama yang

membahas masalah laut teritorial ialah Codification Conference pada tahun

1930 di Den Haag, yang dilangsungkan di bawah naungan Liga Bangsa-

Bangsa.

Konferensi Kodifikasi ini berlangsung dari tanggal 13 Maret sampai

tanggal 12 April 1930, yang dihadiri oleh delegasi dari 47 negara.

Konferensi tidak mencapai kata sepakat tentang batas luar dari laut teritorial

dan hak menangkap ikan dari negara-negara pantai pada zona tambahan.

Peserta konferensi pendapatnya terbagi di dalam beberapa versi, di

antaranya ada yang menginginkan lebar laut teritorial 3 mil (20 negara), ada

pula yang menghendaki 6 mil laut teritorial (12 negara), serta negara-negara

Nordic menghendaki laut teritorial selebar 4 mil. Konferensi Kodifikasi Den

Haag tidak menghasilkan suatu konvensi, kecuali beberapa rancangan pasal-

pasal yang disetujui sementara. Konferensi Kodifikasi Den Haag merupakan

satu-satunya konferensi hukum laut yang dilangsungkan di bawah naungan

Liga Bangsa-Bangsa.

Berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB tanggal 21 Februari 1957,

disepakatilah untuk mengadakan konferensi hukum laut di dalam bulan

Maret 1958. Resolusi Majelis Umum tersebut diambil berdasarkan

rekomendasi dari International Law Commission yang menyarankan untuk

diadakannya suatu konferensi internasional tentang hukum laut, yang

dibicarakan oleh Sixth Committee dari Majelis Umum PBB pada akhir tahun

43
1976. Demikianlah Konferensi PBB II tentang hukum laut berlangsung di

Geneva dari tanggal 24 Februari 1958 sampai dengan tanggal 27 April

1958, yang dihadiri oleh 700 delegasi dari 86 negara. (UNCLOS I) Sebagai

basis dokumen dari konferensi ialah rancangan dari berbagai pengaturan

hukum laut yang telah disiapkan oleh International Law Commission, dan

diharapkan akan dapat disetujui konferensi sebagai konvensi-konvensi

tentang hukum laut. Konferensi terbagi atas empat Komite serta untuk

keputusan tentang hal-hal mendasar diperlukan suara dua pertiga dari yang

hadir dan memberikan suaranya.36

Komite Satu

Komite Satu bertugas menangani soal-soal yang bertalian dengan

laut teritorial dan jalur tambahan (teritorial sea and contiguous zone).

Bermacam-macam usul tentang laut teritorial dan jalur tambahan diajukan

di dalam Komite Satu ini, antara lain Kanada mengusulkan 6 mil laut

teritorial dan tambahan 6 mil zona perikanan dan Amerika Serikat

mengajukan 6 mil laut teritorial dan 6 mil zona perikanan. Usul lainnya

ialah yang mengusulkan 12 mil lebar laut teritorial oleh negara Mexico,

India, Indonesia, Maroko, Saudi Arabia, Republik Persatuan Arab dan

Venezuela. Untuk negara-negara yang mengajukan claim kurang dari 12

mil, mereka dapat melakukan claim atas zona perikanan ekslusif sampai 12

mil.

Dari usul-usul di atas tidak ada yang memperoleh suara terbanyak

sewaktu diadakan pemungutan suara, sehingga UNCLOS I ini telah gagal

36
Ibid., h. 3.

44
untuk menetapkan lebar laut teritorial dan jalur tambahan. Majelis Umum

PBB tahun 1958 menentukan untuk mengadakan konferensi kedua untuk

menetapkan masalah lebar laut teritorial dan jalur tambahan.

Komite Dua

Komite Dua yang bertugas membicarakan laut lepas (the high seas),

masalah yang banyak berkaitan dengan kebebasan di laut lepas yang oleh

International Law Commission telah dipersiapkan sebagai berikut:

1. Kebebasan pelayaran;

2. Kebebasan menangkap ikan;

3. Kebebasan meletakkan kabel di bawah laut dan pipa-pipa;

4. Kebebasan terbang di atas laut lepas.

Rancangan International Law Commission tersebut seluruhnya

diterima dan dimasukkan ke dalam pasal 2 dari Konvensi tentang Laut

Lepas 1958.

Komite Tiga

Komite Tiga membahas rancangan-rancangan International Law

Commission tentang penangkapan ikan yang didasarkan atas prinsip-prinsip

yang disetujui pada United Nations Technical Conference on Living

Resources of the Sea di Roma, tahun 1955.

Pasal-pasal dari International Law Commission meliputi:

1. Definisi;

2. wilayah penangkapan ikan oleh satu negara;

3. wilayah penangkapan ikan oleh dua atau lebih negara;

4. penangkap-penangkap ikan baru;

45
5. kepentingan khusus dari negara pantai pada perairan lepas pantai;

6. hak-hak negara pantai untuk mengadakan tindakan-tindakan secara

unilateral tetapi tidak memihak;

7. kepentingan khusus dari pihak ketiga tentang upaya-upaya

konservasi;

8. pendirian dari Komisi Arbitrase.

Komite Empat

Komite Empat membahas pengaturan perihal landas kontinen.

Dengan demikian Konferensi Hukum Laut PBB I (UNCLOS I) telah

berhasil menyetujui empat buah konvensi, yaitu:

1. Convention on The Territorial Sea and Contiguous Zone;

2. Convention on The High Seas;

3. Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of

the High Seas;

4. Convention on Continental Shelf.

Di samping itu konferensi juga menyetujui sembilan resolusi

meliputi test nuklir di laut lepas, polusi laut lepas oleh bahan-bahan radio

aktif, konservasi perikanan internasional, kerjasama di dalam upaya-upaya

konservasi, pembunuhan oleh manusia terhadap makhluk hidup kelautan,

situasi khusus tentang penangkapan ikan pantai, ketentuan-ketentuan

tentang perairan sejarah, dan penyelenggaraan konferensi hukum laut kedua.

Antara tahun 1958 dan 1960, terdapat berbagai perbedaan dalam

claim terhadap laut teritorial. Islandia menetapkan jalur tambahan perikanan

selebar 12 mil. Pembicaraan yang diadakan pada Committee of The Wole

46
berlangsung dari tanggal 17 Maret 1960 sampai dengan 26 April 1960.

Agendanya ialah tentang masalah lebar laut teritorial dan zona tambahan

perikanan. Berbagai usul dikemukakan seperti enam mil plus enam mil

(Kanada), enam mil laut territorial dikombinasikan dengan dua belas mil

zona perikanan (Amerika Serikat), namun kesemuanya mengalami

kegagalan untuk menentukan lebar laut teritorial. Kelemahan lainnya ialah

pengaturan yang terlalu kompleks dari Konvensi tentang Perikanan dan

Konservasi Sumber-Sumber Hayati Laut Lepas. Dengan demikian jelas,

diperlukan adanya suatu konferensi hukum laut berikutnya untuk membahas

masalah laut teritorial dan masalah perikanan.

Kepentingan-kepentingan dunia atas hukum laut yang telah terlihat

dalam perjalanan sejarah dunia mencapai puncaknya pada abad ke-20 ini.

Modernisasi dalam segala bidang kehidupan, tersedianya kapal-kapal yang

lebih cepat, bertambah pesatnya perdagangan dunia, tambah canggihnya

komunikasi internasional, pertambahan penduduk dunia yang membawa

konsekuensi bertambahnya perhatian yang diarahkan kepada usaha

penangkapan ikan serta kekayaan dari lautan, kesemuanya telah membuat

dunia membutuhkan suatu pengaturan dan tatanan hukum laut yang lebih

sempurna.

Di dalam dekade-dekade dari abad ke-20 ini telah empat kali

diadakan usaha-usaha untuk memperoleh suatu himpunan hukum laut yang

menyeluruh, yaitu:

(1) Konferensi Kodifikasi Den Haag 1930 (The Hague Codification

Conference in 1930) di bawah naungan Liga Bangsa-Bangsa.

47
(2) Konferensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1958 (The U.N.

Conference on the law of The Sea in 1958).

(3) Konferensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1960 (The U.N.

Conference on the Law of The Sea in 1960).

(4) Konvensi Hukum Laut 1982, yang dihasilkan oleh Konferensi

Hukum Laut PBB III.

Konferensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1958 telah

menghasilkan empat konvensi penting, yaitu:

(1) Konvensi tentang Laut Teritorial dan Jalur Tambahan (The

Convention on Territorial Sea and Contiguous zone);

(2) Konvensi tentang Laut Lepas (The Convention on The High Seas);

(3) Konvensi tentang Landas Kontinen (The Convention on Continental

Shelf);

(4) Konvensi tentang Perikanan dan Perlindungan Sumber-sumber

Hayati di Laut Lepas (The Convention on Fishing and Conservation

of Living Resources of The High Seas).

Konvensi Hukum Laut 1982 adalah merupakan puncak karya dari

PBB tentang hukum laut, yang disetujui di Montego Bay, Jamaica tanggal

10 Desember 1982. Konvensi hukum laut dengan hasil gemilang ini yang

ditandatangani oleh 119 negara pada hari pertama konvensi ini terbuka

untuk penandatangan, diberi nama julukan sebagai Konstitusi lautan

(Constitution for the Ocean) oleh Presiden dari Konferensi Hukum Laut

PBB III. Terdiri dari 17 Bagian (Parts) dan 9 Annex, konvensi antara lain

terdiri dari ketentuan-ketentuan tentang batas-batas dari yurisdiksi nasional

48
di ruang udara di atas laut, navigasi, perlindungan dan pemeliharaan

lingkungan laut, riset ilmiah, pertambangan dasar laut dan eksploitasi

lainnya dari sumber-sumber non hayati dan ketentuan-ketentuan tentang

penyelesaian perselisihan. Di samping itu konvensi ini juga mengatur

tentang pendirian dari badan-badan internasional untuk menyelenggarakan

fungsi-fungsi untuk realisasi tujuan-tujuan tertentu dari konvensi.37

B. Ketentuan Hukum Laut Internasional tentang Pulau


B.1. Pengertian Pulau

Dalam upaya memberikan pengertian pulau sebelum Konvensi Hukum

Laut 1982, pertama-tama kita perlu merujuk pada Konferensi Liga Bangsa-

Bangsa mengenai Kodifikasi Hukum Internasional (Konferensi Kodifikasi

Den Haaq) Tahun 1930, yang meliputi 3 masalah yakni :

1. Kewarganegaraan (nationality);

2. Perairan teritorial (territorial waters); dan

3. Tanggungjawab negara untuk kerugian yang ditimbulkan dalam

wilayahnya terhadap pribadi atau kekayaan orang asing

(responsibility of states).38

Bertalian dengan perairan teritorial, Sub Komite II memperbincangkan

delapan persoalaan yang bertalian erat dengan laut teritorial, yaitu: (1) garis

pangkal laut teritorial; (2) teluk; (3) pelabuhan; (4) dermaga; (5) pulau; (6)

selat; (7) lintas kapal perang melalui selat; dan (8) penutupan laut teritorial

37
Ibid., h. 7.
38
Mochtar Kusumaatmadja, “Hukum Laut Internasional”, Op.Cit., h. 54.

49
pada muara sungai.39 Dalam hubungannya dengan persoalan pulau tersebut,

Sub Komite II Konferensi Kodifikasi Den Haaq Tahun 1930 memberikan

definisi pulau sebagai berikut:

“An island is an area of land, surrounded by water, which is


permanently above highwater mark.40 (pulau merupakan suatu
daratan yang dikelilingi oleh air dan yang ada di atas permukaan
air pada waktu air pasang).

Dalam rangka mempersiapkan rancangan pasal mengenai pulau untuk

penyelenggaraan Konferensi Hukum Laut I Tahun 1958, Komisi Hukum

Internasioal menggunakan karya Konferensi Kodifikasi Den Haaq 1930,

dengan memasukan rancangan pasal mengenai pulau. Menurut Rancangan

Pasal 10 Laporan Akhir Komisi Hukum Internasional bahwa setiap pulau

mempunyai laut teritorialnya. Dalam pada itu, definisi pulau yang dimuat

dalam Pasal 10 ayat 1 Konvensi Hukum Laut Jenewa I 1958 mengenai Laut

Teritorial dan Jalur Tambahan,41 berbunyi sebagai berikut:

“An island is a naturally-formed area of land, surrounded by


water, which is above water at high-tide”. (sebuah pulau adalah
suatu kawasan tanah atau daratan yang dikelilingi oleh perairan,
yang tampak di atas permukaan pada waktu perairan tersebut
pasang).

Rumusan yang sama mengenai definisi pulau ini diberikan oleh Pasal

121 ayat 1 Konvensi Hukum Laut 1982, yaitu:42

39
Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia (Edisi
Revisi), Op.Cit.,
h. 218.
40
Candidate Number: 8031, “Islands and Their Capacity to Generate Maritime Zones Case law
Romania v. Ukraine”, Thesis, Faculty of Law, University of Oslo, 2008, h. 7.
41
I Wayan Parthiana, Landas Kontinen dalam Hukum Laut Internasional, Mandar Maju, Bandung,
2005, h. 38.
42
Article 121 para. (1) United Nations Convention on the Law of the Sea 1982.

50
“An island is a naturally-formed area of land, surrounded by
water, which is above water at high-tide”.

Dari bunyi ketentuan di atas nampak bahwa pulau merupakan suatu

daratan yang dibentuk secara alamiah yang dikelilingi oleh air dan yang ada

di atas permukaan air pada waktu air pasang.

Dari uraian di atas, nampak bahwa definisi pulau yang dirumuskan

dalam Konferensi Kodifikasi Den Haaq Tahun 1930 merupakan definisi

pertama mengenai pulau, yang kemudian dikuatkan oleh Konvensi Hukum

Laut Jenewa I 1958 dan Konvensi Hukum Laut 1982.

Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan

2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi )beserta kesatuan ekosistemnya. Pulau-

Pulau Kecil Terluar (disingkat = PPKT) adalah pulau-pulau kecil yang

memiliki titik-titik dasar koordinat geografis yang menghubungkan garis

pangkal laut kepulauan sesuai dengan hukum internasional dan nasional.43

Berdasarkan penjelasan diatas kategori Pulau-Pulau Kecil Terluar

ialah tidak memiliki luas area yang besar (kecil), sehingga daripada itu untuk

melindungi kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI di atas laut, Pemerintah

Indonesia mengeluarkan peraturan dalam bentuk Peraturan Presiden.

Peraturan Presiden No. 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau

Kecil Terluar dan Peraturan Pemerintah No. 62 Tahun 2010 tentang

Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar.

43
Pasal 1 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah No. 62 Tahun 2010 tentang pemanfaatan Pulau-
Pulau Kecil Terluar.

51
Pulau Kecil Terluar adalah pulau dengan luas areal kurang atau sama

dengan 2000 km2 (dua ribu kilomenter persegi) yang memiliki titik-titik dasar

koordinat geografis yang menghubungkan garis pangkal laut kepulauan sesuai

dengan hukum internasional dan nasional.44

B.2. Kategori Pulau

Bertitik tolak dari uraian di atas, maka untuk mendalami kategori

pulau, baiknya kita lebih mengenal apa yg dimaksud dengan “pulau alami”

dan “pulau buatan”. Dalam uraian berikut akan dijelaskan kategori dalam

“pulau” yang dimaksud tersebut.

B.2.1. Pulau Alami

Sehubungan dengan karakteristik pulau, menurut hukum internasional

paling tidak ada 7 karakteristik tradisional yang harus dipenuhi oleh suatu

pulau, yaitu:

1. Suatu wilayah daratan;

2. Dibentuk secara alamiah;

3. Ukurannya cukup luas;

4. Dikelilingi oleh air;

5. Ada di atas permukaan air pada waktu air pasang;

6. Untuk dapat didiami oleh manusia; dan

7. Mempunyai kelangsungan hidup di bidang ekonomi.

Pasal 10 ayat 1 Konvensi Hukum Laut Jenewa I 1958 mengenai Laut

Teritorial dan Jalur Tambahan hanya memuat kriteria nomor 1, 2, 4 dan 5,


44
Pasal 1 butir (b) Peraturan Presiden No. 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil
Terluar.

52
sedangkan Pasal 121 Konvensi Hukum Laut 1982 memuat kriteria nomor 1,

2, 4, 5, 6 dan 7. Kriteria nomor 3 tentang "ukurannya cukup luas" tidak

dikenal dalam ketentuan Konvensi Hukum Laut Jenewa I 1958 dan Konvensi

Hukum Laut 1982.

Hal ini berarti bahwa keenam kriteria yang ditetapkan dalam Konvensi

Hukum Laut 1982 merupakan kriteria yang mengikat masyarakat

internasional untuk menentukan suatu pulau. Dalam uraian berikut ini akan

dijelaskan secara singkat mengenai karakteristik-karakteristik yang

disebutkan di atas.45

1. Suatu Wilayah Daratan

Agar suatu pulau dapat menjadi pengertian yuridis, maka

syaratnya harus memenuhi dua unsur. Pertama, daratan yang terbentuk

harus tersambung dengan dasar laut agar mempunyai karakteristik

sebagai pulau. Kedua, daratan tersebut harus merupakan terra firma

(wilayah daratan luas) yang stabil.

Berdasarkan uraian di atas, maka dasar laut itu merupakan

kelanjutan alamiah dari wilayah daratan. Harus diakui bahwa wilayah

daratan yang terbentuk secara alamiah itu merupakan pondasi untuk

mendirikan bangunan-bangunan di atasnya untuk berbagai aktivitas

manusia.

2. Dibentuk Secara Alamiah

Pencantuman kalimat "dibentuk secara alamiah" dalam definisi

pulau menurut Pasal 121 ayat 1 Konvensi Hukum Laut 1982 (kursip
45
Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia (Edisi
Revisi), Op.Cit.,
h. 221.

53
peneliti) berarti bahwa kriteria pulau ini tidak mencakup pulau buatan

dengan kapasitasnya untuk membentuk zona-zona maritim. Menurut

doktrin yang dianut bahwa laut teritorial tidak dapat dibentuk oleh

instalasi-instalasi buatan, seperti mercusuar, menara, dan lain-lain.

Dalam sejumlah tulisan pakar hukum laut internasional acapkali

dicantumkan istilah “insular formations” yang tidak ditemukan dalam

Pasal 121 Konvensi Hukum Laut 1982. Menurut pakar hukum laut

internasional "insular formations" diartikan sebagai “those formations

which are included by treaty law as legal terms, namely islands and low-

tide elevations" (elevasi surut). Istilah ini mencakup pulau-pulau, batu

karang, karang dan segala bentuk elevasi surut, sehingga penerjemahan

format pulau-pulau dari "insular formations" dianggap kurang tepat.

Karena istilah "pulau" itu sendiri merupakan terjemahan dari island

menurut Pasal 121 Konvensi Hukum Laut 1982. Hanya saja ketentuan

Pasal 121 tidak menjelaskan mengenai elevasi surut dan kedudukan

hukumnya dalam konteks delimitasi maritim.

3. Ukuran Wilayahnya Cukup Luas

Kriteria ukuran luasnya pulau ini tidak ditetapkan dalam definisi

pulau yang dikemukakan di atas. Oleh karena itu, baik Konferensi

Kodifikasi Den Haag Tahun 1930 maupun Pasal 10 (1) Konvensi Hukum

Laut Jenewa I 1958 mengenai Laut Teritorial dan Jalur Tambahan tidak

menetapkan kriteria ukuran besar atau kecilnya suatu pulau. Namun

demikian, sejumlah pakar hukum laut internasional menggunakan kriteria

ukuran pulau sebagai salah satu syarat untuk menentukan status pulau

54
penuh. Dalam kaitan ini menarik pendapat McDougal dan Burke yang

menyatakan bahwa apabila ada wilayah daratan yang cukup luas, maka

tidak perlu dipersoalkan jenis-jenis daratannya selama wilayah tersebut

mampu membentuk laut teritorial.

Dikaitkan dengan wilayah sebagai salah satu unsur negara

menurut Konvensi Mentevideo 1933, memang tidak penting apakah

daerah yang didiami secara tetap oleh rakyat itu besar atau kecil. Dapat

saja wilayah yang berupa pulau (kursip peneliti) tersebut hanya terdiri

dari satu kota saja, sebagaimana halnya dengan suatu negara kota. Tidak

dipersoalkan pula apakah seluruh wilayah tersebut dihuni atau tidak.

Unsur wilayah dan unsur rakyat tidak ada batas tertentu, baik

jumlah penduduk maupun luas daerahnya. Sebagai contoh, Tuvalu hanya

mempunyai penduduk 10.000 orang (tahun 2002), dan luas negerinya

hanya 26 Km2. Negeri kecil ini disebut dengan negara „mini‟, „mikro‟,

atau sarjana lain menyebut juga sebagai very small state.46

Pengaturan penting dalam hukum internasional dewasa ini

mengenai kriteria ukuran pulau adalah ketentuan Pasal 121 Konvensi

Hukum Laut 1982 yang tidak menetapkan syarat mengenai ukuran besar

atau kecilnya suatu pulau. Ketentuan pasal inilah yang mengikat negara-

negara dalam menentukan kriteria ukuran luasnya pulau.

4. Dikelilingi oleh Air

Definisi pulau ini sesungguhnya dianggap lebih penting daripada

persyaratan suatu pulau harus dikelilingi oleh air. Apabila sebuah pulau

46
Ibid., h. 223.

55
tersambung ke daratan dengan tanah tandus atau melalui pembangunan

dam, maka tanah tandus tersebut tidak dianggap sebagai sebuah pulau.

Walaupun demikian, tanah atau fitur tersebut merupakan bagian yang

tidak terpisahkan dari garis pantai, yang dapat dipergunakan oleh Negara

pantai untuk menetapkan garis pangkalnya dan membentuk zona maritim

yang berada di dalam fitur tersebut.

5. Ada di atas Permukaan Air Pada Waktu Air Pasang

Berdasarkan pada definisi pulau yang dikemukakan di atas, maka

pulau harus berada di atas permukaan air baik pada waktu air pasang

maupun pada waktu air surut. Berdasarkan hal itu, maka perbedaan

antara pulau dan bagian daratan yang hanya timbul di atas permukaan air

di waktu pasang surut menjadi penting. Karena hanya pulau yang tetap

berada di atas permukaan air yang mempunyai status pulau penuh

menurut hukum internasional, sehingga mempunyai kapasitas untuk

membentuk zona maritim.

6. Tempat Untuk Didiami oleh Manusia

Kriteria pulau yang dapat didiami oleh manusia tidak dibicarakan

dalam pembahasan Pasal 10 dari Komite Pertama Konferensi Hukum

Laut tahun 1958 di Jenewa. Hal ini berarti bahwa kriteria tersebut bukan

merupakan kriteria penting untuk dicantumkan dalam ketentuan Pasal 10

(1) Konvensi Hukum Laut Jenewa I 1958 mengenai Laut Teritorial dan

Jalur Tambahan. Hal yang penting adalah wilayah yang layak didiami

oleh manusia harus merupakan wilayah yang dapat mendukung

56
kehidupan manusia atau memiliki kehidupan ekonomi yang mandiri

sesuai dengan ketentuan Pasal 121 ayat 3 Konvensi Hukum Laut 1982.

7. Mempunyai Kelangsungan Hidup di Bidang Ekonomi

Acapkali kriteria kelangsungan hidup di bidang ekonomi di suatu

pulau terkait dengan kriteria pulau apakah dapat didiami atau tidak oleh

manusia. Karena banyak pulau kecil yang terisolasi dan pulau tandus

yang terbentuk di atas permukaan air tidak memiliki kriteria demikian.

Rockall merupakan salah satu contoh penting pulau tandus. Rockall

merupakan batu karang yang sangat kecil dengan ketinggian 70 kaki dan

80 kaki dalam bentuk lingkaran yang menjorok dan berada di atas

Samudra Atlantik. Batu karang ini merupakan suatu bentukan geologi

yang terisolasi yang jaraknya 226 mil laut dari daratan terdekat, yaitu

Country Donegal di Republik lrlandia. Memperhatikan hal di atas, maka

batu karang tersebut selain tidak dapat dihuni oleh manusia, juga tidak

mempunyai nilai ekonomis, dan sangat membahayakan bagi pelayaran.

Kondisi ini hanya berlaku untuk daerah ini dan belum tentu berlaku

untuk batu karang di daerah lainnya.

Pandangan di atas kiranya sejalan dengan ketentuan Pasal 121

ayat 3 Konvensi Hukum Laut 1982 yang mendiskualifikasi batu karang

yang tidak dapat mendukung kehidupan manusia atau tidak memiliki

kehidupan ekonomi yang mandiri untuk tidak dapat mempunyai ZEE

atau landas kontinennya sendiri. Bagaimana pun kriteria kelangsungan

57
hidup di bidang ekonomi di suatu pulau, laut dan sumber daya alamnya

sangat penting dalam menyokong kehidupan manusia.47

B.2.2. Pulau Buatan

Sebagai istilah yang paling menentukan apa yang membedakan "pulau

buatan" dari "pulau alami" dalam ketentuan hukum laut, adalah satu-satunya

hasil atau efek dari aktivitas manusia. Itu bisa menjadi bagian dari tanah,

ditumpuk atau dikeraskan, atau bisa juga berupa konstruksi (terbuat dari

beton, logam, plastik atau kaca). Tidak ada kasus yang berpengaruh pada

situasi hukumnya.

Meskipun baik Konvensi 1982 tentang Hukum Laut maupun Konvensi

Jenewa 1958 di Landas Kontinen mencakup definisi tentang pulau buatan,

instalasi atau struktur, upaya definisi semacam itu bisa sama, mengingat

komponen yang ada dari definisi pulau. Dengan demikian dapat dikatakan

bahwa "pulau buatan adalah konstruksi buatan manusia atau bagian dari tanah

yang berada di laut dan dikelilingi oleh air, yang berada di atas air pada saat

air pasang dan keduanya dipasang pada atau dipasang di dasar laut atau

mengapung permukaan air ".

Mengingat kemajuan teknis dan persyaratan baru, definisi sebelumnya

harus diperluas untuk mencakup, bersama dengan konstruksi stasioner yang

dipasang secara permanen, atau dipasang di dasar laut, juga konstruksi yang

mengambang atau tergantung pada permukaan air. Sebuah "pulau buatan"

juga harus terletak di dan dikelilingi oleh laut, dan tetap berada di atas

permukaan laut pada saat air pasang. Konstruksi yang tidak dikelilingi oleh

47
Ibid., h. 225.

58
air merupakan bagian dari fasilitas pelabuhan atau pelabuhan dan, jika gagal

tetap berada di atas permukaan laut, maka hal itu dianggap sebagai

"konstruksi bawah laut atau instalasi" sehingga kehilangan status "pulau

alami".48

Karena menyangkut klasifikasi pulau-pulau buatan dari sudut pandang

konstruksi mereka, harus diterima bahwa yang penting di sini bukanlah

ukuran pulau atau bahan yang digunakan untuk pembangunannya tapi

pertanyaan apakah pulau itu adalah pulau yang permanen, atau unit

mengambang. Di sini pulau buatan tampaknya terbagi dalam empat kategori:

a) pulau-pulau yang didirikan dan dipasang secara permanen ke dasar

laut;

b) pulau-pulau tetap ke bawah saat beroperasi namun dapat bergerak;

c) pulau mengapung atau agak berkelanjutan di permukaan laut

(berlabuh, diderek atau digerakkan oleh arus laut atau angin);

d) pulau yang membawa peralatan navigasi (self-propulsion atau

peralatan lainnya).

Dari sudut pandang lokasi mereka, orang harus membedakan antara:

a) pulau-pulau di perairan dalam dan laut teritorial (dalam kedaulatan

teritorial suatu Negara);

b) pulau-pulau di zona ekonomi dan landas kontinen;

c) pulau-pulau di laut lepas.

48
Pasal 11 dari Konvensi Hukum Laut 1982 mengatakan bahwa pekerjaan pelabuhan permanen
terluar yang merupakan bagian integral dari sistem pelabuhan dianggap sebagai bagian dari
pantai, berisi sebuah kalimat tambahan yang mengatakan bahwa instalasi lepas pantai dan pulau
buatan tidak boleh dipertimbangkan. sebagai pelabuhan permanen.

59
Klasifikasi ini sangat penting dalam menentukan siapa yang memiliki

hak untuk mendirikan pulau-pulau buatan dan menjalankan yurisdiksi atas

mereka. Dalam Hukum Laut, masalah pulau buatan menimbulkan beberapa

masalah namun saya membahas hanya status hukum mereka.

Demikian juga dengan Konvensi di Landas Kontinen, UNCLOS III

dalam Pasal 60 (8) mengatakan:

“Artificial islands, installations and structures do not possess


the status of islands. They have no territorial sea of their own,
and their presence does not affect the delimitation of the
territorial sea, the exclusive economic zone or the continental
shelf.”

Istilah “pulau buatan” tidak hanya meliputi pulau-pulau buatan dalam

arti sebenarnya, tetapi juga termasuk setiap instalasi lainnya untuk maksud

eksplorasi dan eksploitasi zona ekonomi eksklusif serta setiap instalasi yang

mempengaruhi pelaksanaan hak-hak negara pantai di ZEE-nya. Hal yang

sama berlaku juga untuk pulau-pulau buatan di landas kontinen.49

Pulau-pulau buatan tunduk kepada yurisdiksi eksklusif negara

pantai.50 Pendirian pulau-pulau buatan harus diumumkan dan keberadaan

instalasi tersebut harus disertai dengan tanda peringatan, pulau-pulau buatan

yang tidak digunakan lagi harus dibongkar, pulau-pulau buatan tidak boleh

didirikan pada alur laut yang diakui dan sangat penting bagi pelayaran

internasional.51 Negara pantai harus menetapkan zona keselamatan yang

49
Albert W. Koers, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut (Suatu Ringkasan),
Konsorium Ilmu Hukum, Dep. Pendidikan dan Kebudayaan, Nederlandse Raad voor Juridische
Samenwerking met Indonesie, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1991, h. 41.
50
Article 60 para. (2) United Nations Convention on the Law of the Sea 1982.
51
Article 60 para. (3) and (7) United Nations Convention on the Law of the Sea 1982.

60
ditetapkan berdasarkan standar internasional, dan kecuali untuk situasi

tertentu yang diatur dalam standar internasional atau yang direkomendasikan

oleh organisasi, zona tersebut seharusnya tidak melebihi 500 meter di

sekeliling pulau buatan, dan zona tersebut harus dilakukan tindakan-tindakan

untuk menjamin keselamatan pulau tersebut maupun pelayaran.52 Semua

kapal harus menghormati zona keselamatan dan standar internasional yang

berlaku mengenai navigasi di sekitar pulau buatan.53 Pulau-pulau buatan tidak

memiliki laut teritorial dan keberadaannya tidak mempengaruhi penetapan

batas laut teritorial, ZEE maupun landas kontinen.54 Dalam kasus pelanggaran

zona keamanan di dalam zona ekonomi atau landas kontinen, Negara pantai

memiliki hak untuk melakukan pengejaran seketika.55

Di UNCLOS III, zona aman dan hak pengejaran yang seketika adalah

subyek diskusi yang kuat karena dua pendekatan menemukan diri mereka

berselisih: yang pertama berusaha memperluas zona keselamatan, sementara

yang lain berpendapat bahwa, dengan ribuan instalasi sekarang Di laut,

perluasan zona keamanan bisa sangat menghambat navigasi internasional.

Karena menyangkut hak pengejaran yang dilakukan, hal itu seharusnya

dilakukan jika pelanggaran zona keamanan menyebabkan kerusakan yang

terjadi di pulau atau instalasi. Usulan ini dibuang, fakta bahwa pulau-pulau

buatan dan instalasi bukanlah wilayah tercermin dalam bagian yang

mengatakan bahwa semua instalasi dan struktur yang telah banyak atau habis

harus dihapus untuk memastikan keamanan navigasi.

52
Article 60 para. (4) and (5) United Nations Convention on the Law of the Sea 1982.
53
Article 60 para. (6) United Nations Convention on the Law of the Sea 1982.
54
Article 60 para. (8) United Nations Convention on the Law of the Sea 1982.
55
Article 111 United Nations Convention on the Law of the Sea 1982.

61
B.3. Fungsi Pulau dalam Penentuan Wilayah Laut

Pertanyaan yang terkait dengan hak pulau untuk memiliki ruang laut

khususnya landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif menjadi subyek

perundingan negosiasi. Selama Konferensi Hukum Laut III, isu-isu ini

dibahas di tiga bidang:

a) bersamaan dengan definisi pulau;

b) bersamaan dengan lokasi pulau tersebut sehubungan dengan pantai

negara lain; dan

c) dalam hubungannya dengan status politik pulau, apakah pulau itu

berada di bawah kekuasaan asing atau kolonial.

Wilayah perairan atau disebut juga perairan teritorial adalah bagian

perairan yang merupakan wilayah suatu negara. Ini berarti bahwa, di samping

perairan yang tunduk pada kedaulatan negara karena merupakan bagian

wilayahnya ada pula bagian perairan yang berada di luar wilayahnya atau

tidak tunduk pada kedaulatan negara. Perairan seperti ini contohnya adalah

laut lepas (high sea). Tidak semua negara di dunia ini memiliki wilayah

perairan. Misalnya negara-negara yang seluruh wilayah daratannya dikelilingi

oleh wilayah daratan negara lain. Negara-negara seperti ini dikenal dengan

sebutan negara tak berpantai atau negara buntu (land lock states). Seperti

misalnya negara Afganistan, Laos, Nepal, dan Bhutan di Asia, negara Afrika

Tengah, Uganda, Niger, dan Chad di Afrika, negara Swiss, Austria, Hungaria

dan Luxemburg di Eropa, negara Paraguay di Amerika Latin.

Dalam konteks hukum nasional Indonesia, Wilayah Perairan diatur

dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.

62
Wilayah Perairan atau Perairan Teritorial (Territorial Waters) Indonesia

meliputi Laut Teritorial (Territorial Sea), Perairan Kepulauan (Archipelagic

Waters), dan Perairan Pedalaman (Inlands waters).56 Sedangkan Perairan

Pedalaman (Inland Waters) terdiri atas Laut Pedalaman (Internal Sea) dan

Perairan Darat (lnlands Waters).57

Wilayah Perairan Indonesia adalah segala perairan di sekitar, di antara,

dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian-bagian pulau yang

termasuk daratan Negara Republik Indonesia yang berada di bawah

kedaulatan Negara Republik Indonesia.58 Lebih lanjut, berkaitan dengan

kedaulatan negara, melalui Pasal 4 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996

dikatakan bahwa kedaulatan Negara Republik Indonesia di Perairan Indonesia

meliputi Laut Teritorial, Perairan Kepulauan, dan Perairan Pedalaman, serta

dasar laut dan tanah di bawahnya termasuk sumber kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya.59

B.3.1. Laut Teritorial

Laut Teritorial (territorial sea) adalah bagian laut atau jalur laut yang

terletak pada sisi luar dari garis pangkal (base line) dan sebelah luarnya

dibatasi oleh garis atau batas luar (outer limit). Yang dimaksud dengan garis

pangkal adalah garis yang ditarik pada pantai pada waktu air laut surut.

Ditetapkannya pada waktu air laut surut disebabkan oleh karena garis air laut

surut adalah merupakan batas antara daratan dan perairan (laut). Garis
56
Pasal 1 butir 4 dan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan
Indonesia.
57
Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
58
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
59
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.

63
tersebut merupakan titik-titik atau garis pertemuan antara daratan dengan air

laut.

Berdasarkan Konvensi Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982), lebar laut

teritorial maksimum negara-negara disepakati sejauh 12 mil laut dari garis

pangkal. Selanjutnya menurut hukum internasional dikenal 3 (tiga) macam

garis pangkal, yaitu:

(1) Garis Pangkal Normal (Normal Base Line)

Garis Pangkal Normal (Normal Base Line) adalah garis pangkal

yang ditarik dari pantai pada saat air laut surut dengan mengikut lekukan-

lekukan pantai. Dengan demikian, arah dari Garis Pangkal Normal sejajar

dengan arah atau lekukan pantai tersebut. Untuk menentukan dan

mengukur lebar laut teritorial, ditarik garis tegak lurus dari garis pangkal

normal ke arah luar/laut sesuai dengan lebar laut teritorial masing-masing

negara.

Titik-titik atau garis pada bagian luar itulah yang disebut dengan

garis luar atau batas luar (outer limit) laut teritorial. Garis luar atau batas

luar ini merupakan garis yang selalu sejajar dengan garis pangkal, karena

ditarik pada titik-titik yang ada pada garis pangkal secara tegak lurus ke

arah luar/laut. Dalam sejarah pengukuran lebar laut teritorial, garis

pangkal ini merupakan garis pangkal normal (Normal Base Line) tertua.

64
Gambar 1.1 Normal Base Line

(2) Garis Pangkal Lurus (Straight Base Line)

Garis Pangkal Lurus (Straight Base Line) merupakan garis

pangkal yang ditarik di pantai pada saat air laut surut, dengan

menghubungkan titik-titik atau ujung-ujung terluar dari pantai. Oleh

sebab itu metode ini disebut juga dengan Garis Pangkal Lurus Ujung ke

Ujung (Straight Base Line Point to Point). Penarikan Garis Pangkal

Lurus dilakukan pada pantai-pantai yang berliku atau jika di depan pantai

tersebut terdapat pulau, deretan pulau atau gugusan pulau.

Dalam Konvensi Hukum Laut 1958 (UNCLOS 1958)60 maupun

Konvensi Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982)61 Garis Pangkal Lurus

(Straight Base Line) digunakan sebagai salah satu garis pangkal yang

60
Pasal 4-5 Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958 (UNCLOS I).
61
Article 7 United Nations Convention on the Law of the Sea 1982.

65
dapat diterapkan dalam pengukuran lebar laut teritorial selain Garis

Pangkal Normal (Normal Base Line).

Gambar 1.2 Straight Base Line Point to Point

Namun demikian dalam implementasinya, penggunaan Garis

Pangkal Lurus (Straight Base Line) terdapat pembatasan-pembatasan

sebagai berikut:

(a) Penarikan Garis Pangkal Lurus (Straight Base Line) tidak boleh

menyimpang terlalu jauh dari arah umum pantai, kecuali karena

alasan-alasan hak-hak sejarah (historis right) dan hak-hak

ekonomi (economic right) yang memang sudah dinikmati jauh

sebelumnya oleh negara yang bersangkutan;

(b) Bagian-bagian laut yang terletak pada sisi dalam dari Garis

Pangkal Lurus harus cukup dekat ikatannya dengan daratan untuk

66
dapat ditundukkan pada rezim perairan pedalaman (internal

water);

(c) Garis Pangkal Lurus (Straight Base Line) tidak boleh ditarik dari

elevasi surut (low tide elevation)62, kecuali jika di atas elevasi

surut tersebut didirikan mercusuar atau instalasi yang serupa yang

secara permanen selalu tampak di atas permukaan air laut;

(d) Garis Pangkal Lurus (Straight Base Line) tidak boleh diterapkan

dengan cara sedemikian rupa sehingga memotong hubungan laut

teritorial negara lain dari laut lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif

(ZEE).

(3) Garis Pangkal Kepulauan (Archipelagic Base Line)

Garis Pangkal Kepulauan (Archipelagic Base Line) mulai

dipergunakan sebagai salah satu cara untuk pengukuran laut teritorial

mulai diberlakukan sejak ditandatanganinya Konvensi Hukum Laut

Tahun 1982 (UNCLOS 1982), yang secara tegas tertuang dalam Pasal

46-54 UNCLOS 1982. Menurut TALOS sebagaimana dikutip oleh

Arsana63, Garis Pangkal Kepulauan (Archipelagic Base Line) ditarik

untuk menghubungkan titik terluar dari pulau terluar dan karang, dalam

sebuah kepulauan.

62
Elevasi Surut (Low Tide Elevation) adalah bagian dasar laut yang tampak di permukaan air laut
pada saat air laut surut, tetapi tidak tampak (berada di bawah permukaan air laut) pada saat air
laut pasang atau normal.
63
I Made Andi Arsana, Batas Maritim Antarnegara (Sebuah Tinjauan Teknis dan Yuridis), Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta, 2007, h. 16.

67
Dalam implementasinya, penggunaan Garis Pangkal Kepulauan

(Archipelagic Base Line) menurut Pasal 47 UNCLOS 1982 harus

memenuhi 4 (empat) syarat sebagai berikut:

(1) Seluruh daratan utama dari negara yang bersangkutan harus

menjadi bagian dari sistem Garis Pangkal Kepulauan;

(2) Perbandingan antara luas perairan dan daratan di dalam sistem

garis pangkal harus berkisar antara 1:1 dan 9:1;

(3) Panjang segmen Garis Pangkal Kepulauan tidak boleh melebihi

100 mil laut, kecuali hingga 3 persen dari keseluruhan jumlah

garis pangkal meliputi suatu negara kepulauan boleh melebihi 100

mil laut hingga panjang maksimum 125 mil laut;

(4) Arah Garis Pangkal Kepulauan yang ditentukan tidak boleh

menjauh dari konfigurasi umum kepulauan.

Penggunaan Garis Pangkal Kepulauan (Archipelagic Base Line)

tidak serta merta mengakibatkan negara-negara peserta konvensi tidak

boleh menggunakan Garis Pangkal Normal (Normal Base Line) ataupun

Garis Pangkal Lurus (Straight Base Line). Dalam arti suatu negara

kepulauan selain menerapkan Garis Pangkal Kepulauan (Archipelagic

Base Line) dapat saja menggunakan Garis Pangkal Normal (Normal Base

Line) maupun Garis Pangkal Lurus (Straight Base Line) dalam

pengukuran lebar laut teritorialnya.

68
Dalam konteks Indonesia sebagai negara kepulauan, Laut

Teritorial merupakan Jalur Laut yang terletak pada sisi luar dari garis

pangkal dan di sebelah luar dibatasi oleh garis atau batas luar (outer

limit) atau jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut yang diukur dari garis

pangkal kepulauan Indonesia.64 Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor

6 tahun 1996 menetapkan bahwa Garis Pangkal Kepulauan Indonesia

ditarik dengan menggunakan Garis Pangkal Lurus Kepulauan, sedangkan

dalam Pasal 5 ayat (2) dijelaskan bahwa apabila Garis Pangkal Lurus

Kepulauan tidak dapat digunakan sebagai acuan dalam penetapan batas,

maka digunakan Garis Pangkal Biasa atau Garis Pangkal Lurus.

Ketentuan mengenai Garis Pangkal Kepulauan Indonesia juga

tertuang dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996

yang menyatakan bahwa Garis Pangkal Lurus Kepulauan adalah garis-

garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis rendah

pulau-pulau dan karang-karang kering terluar dari Kepulauan

Indonesia.65 Lebih lanjut melalui Pasal 5 ayat (4) dinyatakan bahwa Garis

Pangkal Lurus Kepulauan tidak boleh melebihi 100 (seratus) mil laut,

kecuali 3% dari jumlah keseluruhan garis-garis pangkal yang

mengelilingi Kepulauan Indonesia dapat melebihi kepanjangan tersebut,

hingga suatu kepanjangan maksimum 125 mil laut.

64
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
65
Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.

69
B.3.2. Perairan Kepulauan (Archipelagic Water)

Perairan Kepulauan (archipelagic water) merupakan zona maritim

yang tidak dimiliki oleh semua negara pantai, namun hanya dimiliki oleh

negara-negara pantai yang dikategorikan sebagai negara kepulauan. Menurut

Pasal 49 UNCLOS 1982 yang dimaksud dengan Perairan Kepulauan adalah

perairan yang dilingkupi oleh Garis Pangkal Kepulauan (archipelagic base

line) tanpa memperhatikan kedalaman dan jaraknya dari garis pantai.66

Sebuah negara yang dikategorikan sebagai negara kepulauan memiliki

kedaulatan penuh di dalam wilayah perairan kepulauannya, ruang udara di

atasnya, dalam dasar laut di bawahnya, di bawah tanah dan juga atas

kekayaan yang terkandung di dalamnya.

Gambar 1.3 Perairan Kepulauan


66
Article 49 United Nations Convention on the Law of the Sea 1982.

70
Seperti halnya di Perairan Pedalaman dan Laut Teritorial, di Perairan

Kepulauan juga berlaku Hak Lintas Damai (right of the innocent passage)

bagi kapal niaga asing. Namun demikian, apabila berkaitan dengan aspek

keamanan dan pertahanan, sebuah negara kepulauan dapat menghentikan

pemberlakuan Hak Lintas Damai di Perairan Kepulauannya tanpa ada

pengecualian.

Dalam konteks Indonesia, Perairan Kepulauan Indonesia adalah semua

perairan yang terletak pada sisi Garis Pangkal Lurus Kepulauan tanpa

memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai.67 Perairan Kepulauan

Indonesia yaitu perairan yang terletak pada sisi dalam dari Garis Pangkal

Lurus (berupa garis-garis lurus) yang menghubungkan titik-titik terluar dari

pulau-pulau Indonesia terluar di mana lebar Laut Teritorial Indonesia diukur

secara tegak lurus selebar 12 mil, kecuali bagian perairan yang berada di sisi

dalam dari Garis-Garis Penutup (closing line). Berkaitan dengan hak lintas

damai, Pemerintah Indonesia telah menetapkan Alur Lintas Kepulauan

Indonesia (ALKI) yaitu jalur pelayaran kapal di dalam perairan kepulauan

Indonesia.

B.3.3. Perairan Pedalaman

Perairan Pedalaman ini terjadi sebagai akibat dari penarikan garis

pangkal lurus dari ujung ke ujung. Dengan penerapan garis pangkal lurus ini

pada pantai yang berliku-liku atau pada pantai yang di depannya terdapat

pulau atau gugusan pulau, maka akan mengakibatkan adanya bagian perairan

67
Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.

71
atau laut yang terletak di sebelah dalam dari garis pangkal lurus tersebut.

Perairan inilah yang disebut dengan perairan pedalaman. Sebagaimana halnya

dengan laut teritorial, perairan pedalaman inipun merupakan bagian dari

wilayah negara. Pada perairan pedalaman inipun juga diakui adanya hak lintas

damai (right of innocent passage) bagi kapal-kapal asing.

Secara teoritis, perairan pedalaman yaitu perairan yang terletak pada

sisi dalam dari garis pangkal lurus. Perairan Pedalaman Indonesia adalah

semua perairan yang terletak pada sisi darat dari Garis Pangkal air terendah

dari pantai-pantai Indonesia, termasuk di dalamnya semua bagian dari

perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu Garis Penutup.68 Di dalam

Perairan Kepulauan, untuk menetapkan batas Perairan Pedalaman, Pemerintah

Indonesia dapat menarik Garis-garis Penutup pada mulut sungai, kula, teluk,

anak laut dan pelabuhan.69 Lain daripada itu, Parthiana menyatakan bahwa

Perairan Pedalaman Indonesia adalah semua perairan pada sisi dalam Garis

Pangkal Normal. Apabila pada pantai yang garis pangkalnya hanya diterapkan

Garis Pangkal Normal, maka tidak akan terdapat Laut Pedalaman, yang ada

hanyalah Perairan Darat, yaitu bagian perairan yang terletak di sebelah dalam

Garis Pangkal Normal.70

Jadi secara garis besar, Perairan Pedalaman terdiri atas: Pertama, Laut

Pedalaman yaitu bagian laut yang terletak pada sisi dalam dari garis pangkal

lurus dan sisi luar dari bekas garis pangkal normal. Kedua, Perairan Darat

yaitu bagian perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis pangkal normal

68
Pasal 3 ayat (4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
69
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
70
I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Op.Cit., h. 139.

72
maupun bekas garis pangkal normal. Perairan darat ini bisa terdiri atas

perairan sungai, danau, terusan, waduk, dan perairan pada pelabuhan. Ketiga,

Perairan Kepulauan (archipelagic water) yaitu perairan yang terletak pada sisi

dalam dari garis pangkal kepulauan. Perairan Kepulauan ini khusus bagi

Negara Kepulauan (archipelagic state) sebagaimana diatur dalam pasal 46

sampai dengan Pasal 54 Konvensi Hukum Laut 1982.71 Seperti halnya Laut

Teritorial, pada Perairan Pedalaman (internal water) ini juga diakui adanya

Hak Lintas Damai (right of the innocent passage) bagi kapal-kapal niaga

asing.

Gambar 1.4 Zona Maritim

71
Simela Victor Muhamad, Batas Wilayah Negara Dalam Perspektif Hukum Internasional, dalam
Batas Wilayah dan Situasi Perbatasan Indonesia: Ancaman Terhadap Integritas Teritorial, Tiga
Putra Utama, Jakarta, 2004,
h. 31-32.

73
C. Konsep Negara Kepulauan menurut Hukum Laut
Internasional
C.1. Pengertian Negara Kepulauan (Archipelagic State)

Rezim hukum negara kepulauan (Archipelagic State) yang diatur

dalam Bab IV Konvensi Hukum Laut 1982, memuat ketentuan-ketentuan

yang menyangkut definisi negara kepulauan, cara penarikan garis pangkal

kepulauan, status hukum perairan kepulauan, hak lintas damai dan hak lintas

alur-alur kepulauan.72

Definisi negara kepulauan dan kepulauan ditetapkan dalam Pasal 46

UNCLOS 1982 sebagai berikut:

(a) Negara kepulauan adalah negara yang seluruhnya terdiri dari satu

atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain.

(b) Kepulauan adalah suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau, dan

perairan di antara pulau-pulau tersebut dan wujud alamiah lainnya

yang hubungannya satu sama lain demikian eratnya, sehingga pulau-

pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya merupakan suatu kesatuan

geografi, ekonomi dan politik yang hakiki, atau yang secara historis

dianggap demikian.

Pengertian sederhana kepulauan secara geografis di atas menjadi lebih

khusus karena disertai dengan syarat-syarat baru. Dengan demikian tidak

setiap gugusan pulau dapat diartikan sebagai kepulauan menurut pengertian

Konvensi. Seperti kepulauan, pengertian pulau juga tidak sesederhana

72
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, “Pengantar Hukum Internasional”, Pusat Studi
Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan Bekerjasama dengan Penerbit P.T. ALUMNI
Bandung, 2003, h. 178.

74
pengertiannya sebagai suatu konsepsi geografis. Ke dalam pengertian pulau

secara yuridis, Pasal 121 ayat 1 Konvensi mengartikan pulau adalah suatu

daratan yang dibentuk secara alamiah yang dikelilingi oleh air dan yang ada

di atas permukaan air pada air pasang. Lebih lanjut, ayat 2 menetapkan bahwa

setiap pulau, kecuali kalau pulau itu merupakan karang-karang yang tidak

dapat mendukung kediaman manusia atau kehidupan ekonomi tersendiri,

dapat mempunyai laut teritorial, zona ekonomi eksklusif dan landas

kontinennya sendiri.

Merujuk pada ketentuan Pasal 46 Konvensi Hukum Laut 1982, tidak

semua negara yang wilayahnya terdiri dari kumpulan pulau-pulau dapat

dianggap negara kepulauan. Dari sejumlah 24 negara yang diteliti hanya 19

negara yang secara nyata telah menyatakan dirinya sebagai Negara

Kepulauan. Dari peraturan perundang-undangan yang dikumpulkan dan

dipublikasikan dalam situs jaringan UN-DOALOS ada sembilan negara yang

telah menetapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

negara kepulauan, yaitu Antigua dan Barbuda, Bahamas, Comoros, Cape

Verde, Fiji, Filipina, Indonesia, Jamaica, Kiribati, Maldives, Marshall Islands,

Papua Nugini, Solomon Islands, Saint Vincent and the Grenadines, Sao Tome

and Principe, Seychelles, Trinidad and Tobago, Tuvalu, dan Vanuatu.73

C.2. Pengaturan Hukum Laut Internasional tentang Negara Kepulauan

Selanjutnya perlu diperhatikan ketentuan Pasal 47 ayat 1 yang

menetapkan bahwa negara kepulauan dapat menarik garis pangkal lurus

73
Etty R. Agoes, “ Praktik Negara-Negara Atas Konsepsi Negara Kepulauan”, Jurnal Hukum
Internasional, Volume 1 Nomor 3 April 2004, h. 455-456.

75
kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar dan

karang-karang kering terluar dari kepulauan dengan syarat perbandingan

antara wilayah laut dan wilayah darat, termasuk pulau karang adalah 1:1

sampai 9:1. Dalam ayat 2 ditegaskan bahwa panjang garis pangkal lurus

kepulauan tidak boleh melebihi 100 (seratus) mil laut, kecuali bahwa 3% (tiga

per seratus) dari jumlah keseluruhan garis-garis pangkal dapat melebihi 100

mil laut hingga suatu kepanjangan maksimum 125 (seratus dua puluh lima)

mil laut.

Kemudian, ayat 3,4 dan 5 memuat syarat-syarat yang harus

diperhatikan di dalam menggunakan penarikan garis pangkal lurus kepulauan

dari ujung ke ujung. Syarat pertama adalah bahwa garis-garis pangkal lurus

demikian tidak boleh menyimpang terlalu banyak dari arah umum pantai (ayat

3).

Syarat kedua adalah garis-garis pangkal lurus tidak boleh ditarik di

antara dua pulau atau bagian daratan yang hanya timbul di atas permukaan air

di waktu pasang surut atau elevasi surut (low-tide elevations), kecuali apabila

di atasnya telah didirikan mercusuar-mercusuar atau instalasi-instalasi serupa

yang setiap waktu ada di atas permukaan air dan penarikan garis-garis lurus

dari elevasi ini atau apabila elevasi surut tersebut terletak seluruhnya atau

sebagian pada suatu jarak yang tidak melebihi lebar laut teritorial dari pulau

yang terdekat (ayat 4).74

Ketentuan ini hampir serupa dengan ketentuan Pasal 7 ayat 4 yang

berlaku untuk penarikan garis pangkal lurus, namun penggunaan elevasi surut

74
Mochtar Kusumaatmadja, “Hukum Laut Internasional”, Op. Cit., h. 131-132.

76
sebagai titik pangkal dikenakan persyaratan letak atau jarak yang harus

kurang dari atau tidak melebihi laut teritorial, diukur dari pulau terdekat.75

Syarat ketiga adalah bahwa penarikan garis pangkal lurus kepulauan

tidak boleh dilakukan sedemikian rupa hingga memutuskan hubungan laut

teritorial negara lain dengan laut lepas atau zona ekonomi eksklusif (ayat 5).

Syarat lain yang harus diperhatikan dalam penarikan garis pangkal

lurus kepulauan terhadap negara tetangga yang berdekatan termuat dalam ayat

6 yang berbunyi:

(6) If part of the archipelagic waters of an archipelagic State


lies between two parts of an immediately adjacent neighbouring
State, existing rights and all other legitimate interests which the
latter State has traditonally exercised in such waters and all
rights stipulated by agreement between those States shall
continue and be respected.

Ketentuan ayat 5 dan 6 di atas ditetapkan untuk mengurangi dampak

penarikan garis-garis pangkal lurus kepulauan terhadap hak dan kepentingan

negara tetangga, khususnya agar tidak menyebabkan tertutupnya akses dari

laut teritorial negara tetangga. Dampak lain bagi negara tetangga yang

dilindungi oleh Konvensi Hukum Laut 1982 adalah terhadap kemungkinan

putusnya komunikasi melalui laut antara dua bagian wilayah dari suatu negara

tetangga terdekat, atau hapusnya hak-hak dan kepentingan sah lainnya yang

secara tradisional telah dilaksanakan oleh negara tersebut di bagian laut yang

sekarang menjadi perairan kepulauan.76

75
Etty R. Agoes, “ Praktik Negara-Negara Atas Konsepsi Negara Kepulauan”, Jurnal Hukum
Internasional,
Op., Cit., h. 447.
76
Ibid., h. 448.

77
Selanjutnya, ayat 8 menyatakan bahwa hasil penarikan garis-garis

pangkal tersebut harus digambarkan dalam peta, atau sebagai gantinya dapat

dibuat daftar dari titik-titik koordinat geografis yang secara tegas memerinci

datum geodetik. Peta tersebut harus dibuat dengan skala atau skala-skala yang

memadai untuk menegaskan posisinya. Ayat 9 mewajibkan negara kepulauan

untuk mengumumkan sebagaimana mestinya peta-peta atau daftar-daftar

koordinat geografis demikian serta menyerahkan satu salinan peta atau daftar

demikian dan didepositkan pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-

Bangsa. Ketentuan-ketentuan tersebut sama dengan ketentuan Pasal 16 yang

menetapkan kewajiban negara pantai untuk penarikan garis-garis pangkal laut

teritorial.

Berdasarkan ketentuan Pasal 48 garis-garis pangkal lurus yang ditarik

menurut Pasal 47 di atas akan merupakan titik awal atau garis pangkal untuk

pengukuran lebar laut teritorial, zona tambahan, ZEE dan landas kontinen

bagi suatu negara kepulauan. Ketentuan Pasal 48 tersebut menguatkan bahwa

garis-garis pangkal lurus kepulauan memiliki fungsi yang sama dengan garis-

garis pangkal biasa, atau garis-garis pangkal lurus. Penarikan garis-garis

pangkal lurus kepulauan tidak menghilangkan hak negara kepulauan untuk

menetapkan bagian dari perairannya sebagai perairan pedalaman. Untuk itu

Pasal 50 Konvensi Hukum Laut menetapkan bahwa negara kepulauan dapat

menarik garis-garis penutup dalam perairan kepulauannya untuk penetapan

batas perairan pedalaman sesuai dengan Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11.

Istilah penetapan (delimitation) biasanya digunakan dalam ketentuan-

ketentuan yang mengatur tentang garis batas antar negara. Dalam ketentuan di

78
atas garis batas yang dimaksud adalah suatu garis penutup (closing line)

sebagaimana yang berlaku untuk mulut sungai, teluk dan pelabuhan yang

akan memisahkan perairan pedalaman dari perairan kepulauan.77

Mengenai status hukum dari perairan kepulauan, Pasal 49 menetapkan

bahwa:

(1) Kedaulatan negara kepulauan meliputi perairan yang ditutup oleh

garis pangkal kepulauan yang ditarik sesuai dengan ketentuan Pasal

47, disebut sebagai perairan kepulauan, tanpa memperhatikan

kedalaman atau jaraknya dari pantai;

(2) Kedaulatan ini selain meliputi ruang udara di atas perairan kepulauan,

juga dasar laut dan tanah di bawahnya dan sumber daya alam yang

terkandung di dalamnya, khususnya sumber daya ikan;

(3) Kedaulatan negara kepulauan ini harus dilaksanakan sesuai dengan

ketentuan Bab IV dari Konvensi Hukum Laut 1982; dan

(4) Rezim hak lintas alur-alur laut kepulauan tidak akan mempengaruhi

status hukum perairan kepulauan, termasuk alur-alur laut dan

pelaksanaan kedaulatan negara kepulauan atas perairan kepulauan,

dan ruang udara di atas perairan kepulauan, dasar laut dan tanah di

bawahnya serta sumber daya alam yang terkandung di dalamnya.

Bertitik tolak dari ketentuan di atas, dapat dikatakan bahwa berbeda

dengan akibat penarikan garis-garis pangkal biasa dan garis-garis pangkal

lurus dimana status hukum dari perairan yang tertutup oleh garis pangkal

menjadi perairan pedalaman, dalam penarikan garis-garis pangkal lurus

77
Ibid., h. 450-452.

79
kepulauan perairan yang tertutup oleh garis-garis pangkal tersebut akan

memiliki status sebagai perairan kepulauan.78

Perlu diperhatikan bahwa kedaulatan negara kepulauan di perairan

kepulauan tidak dapat disamakan dengan di laut teritorial, karena perairan

kepulauan merupakan suatu konsep yang sui generis, yang menurut Pasal 49

ayat 3 harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Bab IV dari Konvensi.

Meskipun bukan perairan pedalaman, perairan kepulauan mempunyai sifat

laut teritorial karena diakuinya lintas damai bagi kapal-kapal asing. Yang

perlu diperhatikan dari ketentuan-ketentuan Bab IV ini adalah bahwa

wewenang eksklusif negara kepulauan di perairan kepulauannya tersebut

harus diimbangi dengan pengakuan atas hak-hak negara lain. Berbeda dengan

negara pantai biasa di perairan pedalaman, Konvensi membatasi kedaulatan

negara di perairan kepulauannya, dengan kewajiban-kewajiban untuk

memberikan jaminan atas hal-hal sebagai berikut:

Pertama, negara kepulauan menurut Pasal 51 ayat 1 wajib

menghormati perjanjian-perjanjian internasional yang berlaku dan mengakui

hak perikanan tradisional dan juga kegiatan-kegiatan lainnya yang sah dari

negara tetangga yang langsung berdampingan, di bagian tertentu dari perairan

kepulauannya.

Kedua, negara kepulauan menurut ayat 2 harus menghormati kabel-

kabel laut yang ada yang dipasang oleh negara lain, dan mengijinkan

pemeliharaan dan penggantian kabel-kabel tersebut.

78
Ibid., h. 448.

80
Ketiga, negara kepulauan menurut Pasal 52 ayat 1 wajib menghormati

hak lintas damai kapal-kapal dari semua negara untuk melewati perairan

kepulauannya sesuai dengan Bab II, Seksi 3 Konvensi.

Keempat, negara kepulauan menurut Pasal 53 ayat 2 berkewajiban

menghormati hak lintas alur laut kepulauan bagi semua jenis kapal dan

pesawat udara negara asing melalui perairan kepulauannya dan rute

penerbangan di atas alur tersebut.

Meskipun demikian, kewajiban-kewajiban tersebut di atas diimbangi

dengan pelbagai kewenangan negara kepulauan sebagaimana diatur dalam

ketentuan 52 ayat 2 dan Pasal 53 ayat 1, yaitu untuk:

1. Menangguhkan lintas damai bagi kapal asing di bagian tertentu dari

perairan kepulauannya apabila penangguhan demikian sangat

diperlukan untuk perlindungan keamanan negaranya. Tindakan

penangguhan itu tidak boleh membedakan antara kapal-kapal asing

yang satu dengan yang lainnya, dan hanya berlaku setelah dilakukan

pengumuman;

2. Menetapkan alur-alur laut pada perairan kepulauannya dan rute

penerbangan di atas alur-alur laut kepulauannya yang cocok

digunakan untuk lintas pelayaran dan penerbangan yang terus

menerus dan secepat mungkin yang diperuntukkan bagi kapal, dan

pesawat udara asing jenis apa pun melalui atau di atas perairan

kepulauan dan laut teritorial yang berdampingan.

Dilihat dari hal-hal tersebut di atas, Organisasi Maritim Internasional

(International Maritime Organization) tidak memiliki kewenangan dalam

81
penetapan rule penerbangan. Hal ini sudah barang tentu harus dikaitkan

dengan ketentuan Pasal 39 ayat 2 yang berdasarkan Pasal 54 berlaku mutatis

mutandis bagi lintas alur laut kepulauan, dimana berlaku kewajiban bagi

pesawat udara untuk menaati ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan oleh

Organisasi Penerbangan Sipil Internasional sebagai organisasi internasional

yang berwenang di bidang penerbangan sipil. Mengingat bahwa pengakuan

hak lintas penerbangan bagi pesawat udara di atas alur-alur kepulauan ini

dimaksudkan untuk mengakomodasikan kepentingan lintas kapal-kapal

perang yang secara operasional biasanya disertai dengan perlindungan atau

pengawalan dari udara (air cover) oleh pesawat udara militer, akan muncul

permasalahan tentang wewenang Organisasi Maritim Internasional maupun

Organisasi Penerbangan Sipil Internasional.79

Permasalahan lainnya adalah Konvensi Hukum Laut 1982 tidak

menetapkan hak dan kewajiban negara pantai/negara kepulauan dan negara-

negara lainnya berkaitan dengan kegiatan pesawat udara asing di alur-alur laut

kepulauan, misalnya bagaimana kalau ada kegiatan lintas udara asing di alur-

alur laut kepulauan yang dapat menimbulkan gangguan bagi negara yang

bersangkutan, pengangkutan bahan berbahaya nuklir oleh kapal asing.

Bagaimana apabila kebetulan pada jalur alur-alur laut kepulauan tersebut tiba-

tiba perlu dikembangkan usaha untuk kepentingan ekonomi, yaitu pengeboran

minyak, perikanan, industri agro di laut dan lain-lain. Menjadi permasalahan

apakah negara kepulauan dapat menetapkan larangan dilakukannya pelbagai

kegiatan tersebut di atas, dan hal ini akan dibahas dalam praktik Indonesia.

79
Etty R. Agoes, “Upaya Diplomatik Indonesia dalam Penetapan Alur-Alur Laut Kepulauan
Indonesia (ALKI)”, Jurnal Hukum Internasional, Volume 6 Nomor 3 April 2009, h. 357-358.

82
Hal lain yang patut diperhatikan adalah mengenai pengertian tentang

lintas alur kepulauan yang dijelaskan dalam Pasal 53 ayat 3 sebagai

pelaksanaan hak pelayaran dan penerbangan dalam cara normal semata-mata

untuk tujuan transit yang terus menerus dan secepat mungkin serta tidak

terhalang antara satu bagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif dan

bagian lain dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif.

Berbeda dengan lintas transit yang merupakan pelaksanaan kebebasan

pelayaran dan penerbangan (freedom of navigation and overflight), lintas alur

kepulauan diartikan sebagai pelaksanaan hak pelayaran dan penerbangan

dalam cara normal (rights of navigation and overflight in the normay mode).

Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa meskipun tidak sebebas seperti lintas

transit, lintas alur laut kepulauan tidak terlalu terbatas seperti lintas damai,

atau berada di antara kedua jenis hak lintas tersebut.80

Menurut ayat 4 bahwa alur-alur laut kepulauan dan rute penerbangan

di atas alur-alur laut kepulauan tersebut digunakan untuk melintasi perairan

kepulauan dan laut teritorial yang berdampingan, termasuk semua rute yang

biasa digunakan untuk pelayaran internasional dan penerbangan melalui atau

di atas perairan kepulauan. Berdasarkan ketentuan ayat 5 bahwa alur-alur laut

dan rute penerbangan tersebut ditentukan oleh rangkaian garis sumbu yang

bersambungan mulai dari tempat masuk rute hingga keluar melalui perairan

kepulauan dan laut teritorial yang berdampingan. Kapal dan pesawat udara

asing dalam melaksanakan lintas alur kepulauan, selama melintas tidak boleh

menyimpang lebih dari 25 (dua puluh lima) mil laut ke kedua sisi dari garis

80
Ibid., h. 359.

83
sumbu alur laut kepulauan dengan ketentuan bahwa kapal dan pesawat udara

tersebut tidak boleh berlayar atau terbang dekat ke pantai kurang dari 10%

(sepuluh per seratus) jarak antara titik-titik terdekat pada pulau-pulau yang

berbatasan dengan alur laut kepuluan tersebut.

Untuk menunjang pelaksanaan lintas alur kepulauan, negara

kepulauan berdasarkan ketentuan Pasal 53 ayat 6 dan 7 mempunyai

wewenang untuk:

1. Menetapkan skema pemisah lalu lintas untuk keperluan lintas kapal

yang aman melalui jalur yang sempit di dalam alur-alur laut tersebut;

dan

2. Apabila keadaan menghendaki, mengganti alur-alur laut kepulauan

dan skema pemisah lalu lintas yang telah ditetapkan sebelumnya

dengan alur laut dan skema pemisah lalu lintas yang lain.

Sekalipun negara kepulauan mempunyai pelbagai wewenang tersebut

di atas, namun ia juga dibebani dengan kewajiban untuk:

1. Memilih alur-alur laut dan skema pemisah lalu lintas yang sesuai

dengan peraturan-peraturan internasional yang diterima secara umum

(ayat 8);

2. Mengajukan usul alur-alur laut dan skema pemisah lalu lintas kepada

organisasi internasional yang berwenang untuk mencapai

kesepakatan bersama (ayat 9); dan

3. Mengumumkan peta-peta secara jelas menunjukkan letak poros atau

sumbu alur-alur laut kepulauan dan skema pemisah lalu lintas yang

ditetapkannya (ayat 10). Apabila semua persyaratan tersebut telah

84
terpenuhi, maka negara kepulauan dapat mewajibkan setiap kapal dan

pesawat udara asing untuk menggunakan alur-alur laut kepulauan dan

skema pemisah lalu lintas tersebut.81

Menurut ketentuan Pasal 53 ayat 12 bahwa apabila negara kepulauan

tidak menetapkan alur-alur laut kepulauan dan rute penerbangan demikian,

maka kapal dan pesawat udara asing tetap dapat melaksanakan haknya dengan

menggunakan rute-rute yang biasa digunakan untuk pelayaran internasional.

C.3. Indonesia Sebagai Negara Kepulauan

C.3.1. Peraturan Perundang-undangan Mengenai Perairan Nasional

Indonesia

Potensi wilayah pesisir dan lautan Indonesia dipandang dari segi

fisik, terdiri dari Perairan Kepulauan seluas 2,8 juta km2, Laut Teritorial

seluas 0,3 juta km2, luas ZEE sekitar 3,0 juta km2, panjang garis pantai lebih

dari 81.000 km dan jumlah pulau 17.504 pulau. Dalam mengelola potensi

laut, kiranya dapat dibedakan tiga jenis laut yang penting bagi Indonesia,

yaitu:

(1) Laut yang merupakan "wilayah Indonesia" dan yang berada di bawah

"kedaulatan Indonesia". Yang termasuk ke dalam kategori ini adalah

perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut teritorial;

(2) Laut yang merupakan kewenangan Indonesia di mana Indonesia

mempunyai hak-hak berdaulat atas sumber daya alamnya serta

kewenangan untuk mengatur hal-hal tertentu, yaitu jalur tambahan,

zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen serta;

81
Ibid., h. 360.

85
(3) Laut yang merupakan kepentingan Indonesia, di mana keterkaitan

Indonesia cukup erat walaupun Indonesia tidak mempunyai

kedaulatan kewilayahan atau pun kewenangan dan hak-hak berdaulat

atas laut tersebut. Yang termasuk ke dalam kategori ini adalah laut

lepas dan kawasan dasar laut internasional.82

Kepentingan nasional yang diperjuangkan dan sangat penting

adalah pengakuan dalam UN Convention on the Law of the Sea terhadap

konsep Negara Kepulauan (Archipelagic State). Berdasarkan konsep tersebut,

laut tidak lagi menjadi alat pemisah pulau-pulau besar Indonesia. Ide yang

secara sepihak dideklarasikan oleh mantan Perdana Menteri Djuanda sebagai

wawasan nusantara pada tahun 1957 kini diakui oleh masyarakat

internasional. Secara internal ada sejumlah kewajiban yang harus dilakukan

oleh suatu negara setelah turut serta dalam perjanjian internasional. Indonesia

harus menerjemahkan atau mentransformasikan kewajiban dalam perjanjian

internasional ke dalam hukum nasional.

Praktik Indonesia dalam implementasi Konvensi Hukum Laut 1982

mencerminkan pola pikir dualisme yang umumnya dianut oleh Departemen

Kehakiman pada waktu itu. Undang-Undang No. 17 Tahun 1985 dianggap

bukan merupakan undang-undang dalam arti material (substantif) melainkan

hanya penetapan (prosedural), sehingga masih dibutuhkan suatu undang-

undang lain yang mentransformasikan norma konvensi ke dalam hukum

nasional, yaitu Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 yang pada hakikatnya

sebagian besar merupakan penulisan kembali (copypaste) pasal-pasal dalam


82
Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia (Edisi
Revisi), Op.Cit.,
h. 51.

86
Konvensi Hukum Laut 1982. Undang-Undang inilah yang mencabut Undang-

Undang No. 4 Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia.83

C.3.2. Peraturan Perundang-undangan Mengenai Penarikan Garis

Pangkal Kepulauan Indonesia

Penarikan garis pangkal kepulauan Indonesia diatur dalam Undang-

Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, Peraturan Pemerintah

No. 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis

Pangkal Kepulauan Indonesia dan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2008

tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002 tentang

Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.

Sebelum sampai pada pembahasan mengenai penetapan garis

pangkal, perlu diuraikan terlebih dahulu latar belakang lahirnya Undang-

Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Pertimbangan-

pertimbangan yang mendorong Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan

undang-undang tersebut adalah:

(1) Bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan cara pandang bangsa

Indonesia, Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada

tanggal 17 Agustus 1945, sebagai negara kepulauan dengan Deklarasi

tanggal 13 Desember 1957 dan Undang-Undang Nomor 4 Prp. Tahun

1960 tentang Perairan Indonesia telah menetapkan wilayah perairan

Negara Republik Indonesia;

(2) Bahwa bangsa Indonesia telah berhasil memperjuangkan konsepsi

negara kepulauan dengan dimuatnya ketentuan mengenai asas dan

83
Damos Dumoli Agusman, “Hukum Perjanjian Internasional: Kajian Teori dan Praktik Indonesia”,
Penerbit PT Refika Aditama, 2010, h. 106.

87
rezim hukum negara kepulauan dalam Bab IV Konvensi Hukum Laut

1982 yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 17

Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the

Law of the Sea;

(3) Bahwa pengaturan hukum negara kepulauan yang ditetapkan dalam

Undang-Undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan

Indonesia sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan rezim hukum

negara kepulauan sebagaimana dimuat dalam Bab IV Konvensi

tersebut pada huruf b;

(4) Bahwa sehubungan dengan itu, serta untuk memantapkan landasan

hukum yang mengatur wilayah perairan Indonesia, kedaulatan,

yurisdiksi, hak dan kewajiban serta kegiatan di perairan Indonesia

dalam pembangunan nasional berdasarkan Wawasan Nusantara,

maka perlu mencabut Undang-Undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960

tentang Perairan Indonesia dan mengganti dengan undang-undang

yang baru.

Bahwa pertimbangan yang menjadi dasar tindakan tersebut adalah

segi sejarah dan cara pandang bangsa Indonesia yang merupakan aspek yang

penting sekali daripada dikeluarkannya undang-undang mengenai Perairan

Indonesia. Keberhasilan Indonesia dalam memperjuangkan konsepsi negara

kepulauan dengan dimuatnya ketentuan mengenai asas dan rezim hukum

negara kepulauan dalam Bab IV Konvensi Hukum Laut 1982 juga merupakan

aspek penting lainnya. Selain dari kedua hal itu, ketentuan-ketentuan Undang-

88
Undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia sudah tidak

sesuai lagi dengan Bab IV Konvensi tersebut.

Dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 6 Tahun 1996

disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Negara Kepulauan adalah negara

yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup

pulau-pulau lain. Pasal 1 ayat 3 menetapkan bahwa kepulauan adalah suatu

gugusan pulau, termasuk bagian pulau, dan perairan di antara pulau-pulau

tersebut dan wujud alamiah lainnya yang hubungannya satu sama lain

demikian eratnya, sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya

merupakan suatu kesatuan geografi, ekonomi dan politik yang hakiki, atau

yang secara historis dianggap demikian.

Ketentuan-ketentuan di atas dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 2

yang menyatakan bahwa:

(1) Negara Republik Indonesia adalah Negara Kepulauan;

(2) Segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-

pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara

Republik Indonesia, dengan tidak memperhitungkan luas atau

lebarnya merupakan bagian integral dari wilayah daratan Negara

Republik Indonesia sehingga merupakan bagian dari perairan

Indonesia yang berada di bawah kedaulatan Negara Republik

Indonesia.

Nampak bahwa pengertian negara kepulauan Indonesia sesuai

dengan ketentuan Pasal 46 Konvensi Hukum Laut 1982. Dalam pembahasan

selanjutnya terlihat ketentuan-ketentuan lain yang diatur dalam peraturan

89
perundang-undangan nasional Indonesia tidak jauh beda dengan Konvensi

Hukum Laut 1982 karena pada dasarnya peraturan perundang-undangan

merupakan jiplakan dari Konvensi.

Pasal 3 ayat 1 menetapkan bahwa Perairan Indonesia meliputi laut

teritorial Indonesia, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman. Batasan

yang diberikan oleh ayat 4 Perairan Pedalaman Indonesia adalah semua

perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah dari pantai-pantai

indonesia, termasuk ke dalamnya semua bagian dari perairan yang terletak

pada sisi darat dari suatu garis penutup.

Dalam ayat 3 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Perairan

Kepulauan Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam

garis pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya

dari pantai. Berdasarkan ayat 2 Laut Teritorial Indonesia adalah jalur laut

selebar 12 (dua belas) mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan

Indonesia.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat 2 dan Pasal 49 ayat 2

Konvensi Hukum Laut 1982, Pasal 4 menentukan bahwa di perairan

Indonesia tersebut, Indonesia mempunyai kedaulatan penuh yang meliputi

perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial serta dasar laut dan

tanah di bawahnya termasuk sumber daya alam yang tekandung di dalamnya.

Yang dimaksud dengan sumber daya alam, khususnya sumber daya

ikan, yang langkah-langkah pengelolaan, konservasi dan pemanfaatannya

harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum internasional. Meskipun

perumusan ketentuan mengenai kedaulatan dalam Undang-Undang No. 6

90
Tahun 1996 sesuai dengan Konvensi Hukum Laut 1982, namun secara umum

dapat dikatakan pengaturan mengenai pengelolaan sumber daya ikan tidak

tercermin dalam ketentuan pasal-pasal dari undang-undang ini. Pengaturan

mengenai perikanan yang terkait dengan Undang-Undang No. 6 Tahun 1996

mengacu pada Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

Apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 4 Undang-Undang No. 6

Tahun 1996, dan berlakunya Konvensi Hukum Laut tahun 1982 yang

diratifikasi melalui Undang-Undang No. 17 Tahun 1985, maka salah satu

prioritas utama bagi Indonesia sebagai negara kepulauan dalam rangka

mengimplementasikan Konvensi tersebut adalah penetapan batas maritim

dengan negara-negara tetangga. Selain diamanatkan oleh Konvensi, Undang-

Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia juga mengatur tentang

perlunya secara jelas menetapkan batas-batas wilayah perairan Indonesia dan

zona maritim lainnya, termasuk batas-batas yang berkaitan dengan negara-

negara tetangga.84 Ketentuan tersebut di atas terdapat dalam Pasal 9 yang

menyebutkan bahwa:

(1) Tanpa mengurangi ketentuan Pasal 4, Pemerintah Indonesia

menghormati persetujuan dan perjanjian yang ada dengan negara lain

yang menyangkut bagian perairan yang merupakan perairan

kepulauannya;

(2) Syarat dan ketentuan bagi pelaksanaan dan kegiatan sebagaimana

dimaksud dalam ayat 1 termasuk sifat, ruang lingkup, dan daerah

berlakunya hak dan kegiatan dimaksud, atas permintaan dari salah


84
Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia (Edisi
Revisi), Op.Cit.,
h. 55.

91
satu negara yang bersangkutan, harus diatur dengan pesetujuan

bilateral.

Ada pun persetujuan bilateral di atas adalah persetujuan mengenai

batas laut. Dalam hal batas laut ini, paling tidak ada 4 komponen, yaitu, 1)

Batas Teritorial, di mana Indonesia memiliki kedaulatan; 2) Batas

Yurisdiksional, artinya Indonesia tidak mempunyai perbatasan wilayah tetapi

Indonesia mempunyai kewenangan-kewenangan tertentu; 3) Batas Zona

Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan 4) Batas Landas Kontinen.

Perlu dicatat bahwa Indonesia telah memiliki 15 Perjanjian Batas

Maritim yang mengatur berbagai zona yakni batas laut teritorial, batas landas

kontinen dan batas zona ekonomi eksklusif (ZEE) dengan tujuh negara

tetangga Indonesia belum mempunyai batas dengan 3 negara yakni Filipina,

Palau, dan Timor Leste. Hal ini disebabkan karena Filipina baru

menyelesaikan survei titik dasar sebagai negara kepulauan pada akhir tahun

2002, sedangkan Indonesia tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan

Palau, dan Timor Leste adalah negara baru yang lahir secara resmi pada tahun

2000. Dalam kaitan tiga negara ini, Indonesia tengah berunding dengan

Filipina, dan akan segera membuka hubungan diplomatik dengan Palau serta

menyepakati dimulainya perundingan batas maritim dengan Timor Leste

setelah perundingan semua segmen batas darat diselesaikan.85 Di samping itu,

masih ada segmen batas maritim yang belum diselesaikan dengan Malaysia,

dan Singapura misalnya di Selat Singapura dan perairan Tanjung Berakit.

85
Arif Havas Oegroseno, “ Status Hukum Pulau-Pulau Terluar Indonesia”, Jurnal Hukum
Internasional, Volume 6 Nomor 3 April 2009, h. 312-313.

92
Belum ditetapkannya batas laut teritorial Indonesia dengan

beberapa negara tetangga, khususnya Malaysia dan Singapura telah

menimbulkan sengketa perbatasan dan pelbagai kerawanan serta masalah-

masalah keamanan, sehingga perlu segera ditetapkan. Masalah-masalah

tersebut akan diuraikan dalam pembahasan mengenai peraturan perundang-

undangan mengenai hak lintas damai melalui laut teritorial dan perairan

kepulauan Indonesia.

Penetapan batas maritim dengan negara-negara tetangga tersebut

pada dasarnya diperlukan untuk memberikan kepastian hukum tentang

wilayah, batas kedaulatan, dan hak-hak berdaulat Republik Indonesia,

memudahkan kegiatan penegakan hukum di laut, serta menjamin kepastian

hukum kegiatan pemanfaatan sumber daya alam laut. Penetapan batas maritim

ini juga mempunyai fungsi sebagai penegasan kepemilikan pulau-pulau kecil

terluar Republik Indonesia, karena Indonesia menggunakan pulau-pulau kecil

terluar tersebut sebagai penentuan batas laut teritorial, zona ekonomi

eksklusif, dan landas kontinen Indonesia. Yang dimaksud dengan pulau-pulau

kecil terluar adalah pulau-pulau kecil terdepan dalam wilayah Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

Pulau-pulau kecil terluar juga digunakan untuk menentukan Jalur

Tambahan Indonesia, yaitu perairan yang berdampingan dengan Laut

Teritorial Indonesia yang dapat diukur selebar 24 mil dari Garis Pangkal

Lurus Kepulauan. Sepanjang yang berkaitan dengan batas jalur tambahan ini,

belum ada satupun batas yang ditetapkan oleh Indonesia dengan negara-

negara tetangga. Indonesia sampai sekarang belum lagi mengumumkan dan

93
mengundangkan jalur tambahan ini, meskipun negara-negara tetangganya

seperti Thailand, Malaysia, Filipina, dan Australia telah mengundangkannya.

Karena itu sangat penting bagi Indonesia untuk menetapkan peraturan

perundang-undangan mengenai jalur tambahan ini dan merundingkan batas-

batasnya dengan negara-negara tetangga tersebut.

Selanjutnya, Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 mengatur cara

penarikan garis pangkal lurus kepulauan Indonesia dengan menggunakan

garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat 1. Ayat

2 menyatakan bahwa apabila garis pangkal lurus kepulauan seperti tersurat

dalam ayat 1 tidak dapat digunakan, maka digunakan garis pangkal biasa atau

garis pangkal lurus. Berdasarkan ketentuan ayat 6, garis pangkal biasa

sebagaimana tersurat dalam ayat 2 adalah garis air rendah sepanjang pantai.

Pengaturan mengenai garis pangkal lurus seperti dimaksud dalam ayat 2

termuat dalam ayat 7, yang menyatakan bahwa garis pangkal lurus adalah

garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis pangkal yang

menjorok jauh dan menikung.

Menurut ketentuan ayat 3 garis pangkal lurus kepulauan

sebagaimana ditetapkan dalam ayat 1 adalah garis-garis lurus yang

menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rendah pulau-pulau dan

karang-karang kering terluar dari kepulauan Indonesia. Sesuai dengan

ketentuan Pasal 47 ayat 1 Konvensi Hukum Laut 1982, panjang garis pangkal

lurus kepulauan Indonesia tersebut, menurut ayat 4 tidak boleh melebihi 100

(seratus) mil laut, kecuali bahwa 3% (tiga per seratus) dari jumlah

94
keseluruhan garis-garis pangkal dapat melebihi 100 mil laut hingga suatu

kepanjangan maksimum 125 (seratus dua puluh lima) mil laut.

Dalam perundingan batas maritim peran pulau-pulau terluar adalah

sebagai lokasi penetapan titik dasar penarikan garis pangkal dan titik dasar

proyeksi klaim wilayah ke laut. Setelah penentuan titik-titik ini dilakukan,

maka sebenarnya peran pulau-pulau terluar bersifat statis. Hal ini disebabkan

karena berbagai aspek yang mempengaruhi pergerakan garis batas dalam

perundingan, yakni apakah garisnya lebih ke atas atau ke bawah, apakah lebih

ke kiri atau ke kanan, apakah ada lekukan tertentu, atau tidak, sangat

tergantung kepada hal-hal lain yang sifatnya lebih makro seperti panjang

pantai, arah pantai, bentuk pantai, geologi dasar, lokasi sumber daya alam di

dasar laut, lokasi ikan dan lain sebagainya.86

Ayat 5 memuat syarat yang harus diperhatikan di dalam

menggunakan penarikan garis pangkal lurus kepulauan Indonesia. Ada pun

syarat tersebut adalah garis pangkal lurus sebagaimana dimaksud dalam ayat

3 tidak boleh ditarik dari dan ke di antara elevasi surut, kecuali apabila di

atasnya telah didirikan mercusuar atau instalasi serupa yang secara permanen

berada di atas permukaan air atau apabila elevasi surut tersebut terletak

seluruhnya atau sebagian pada suatu jarak yang tidak melebihi lebar laut

teritorial dari pulau yang terdekat.

Garis pangkal kepulauan diatur lebih lanjut oleh Pasal 3 Peraturan

Pemerintah No. 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-

86
Ibid., h. 313.

95
Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.87 Pasal 2 ayat 1 Peraturan

Pemerintah No. 38 Tahun 2002 ini menyatakan bahwa Pemerintah menarik

garis pangkal kepulauan untuk menetapkan lebar laut teritorial. Dalam ayat 2

ditetapkan bahwa penarikan garis pangkal kepulauan tersebut dilakukan

dengan menggunakan: a) garis pangkal lurus kepulauan; b) garis pangkal

biasa; c) garis pangkal lurus; d) garis penutup teluk; e) garis penutup muara

sungai, terusan dan kuala; dan f) garis penutup pada pelabuhan.

Dari pelbagai cara penarikan garis pangkal kepulauan di atas dapat

dikemukan di sini bahwa, pertama, ketentuan mengenai garis pangkal lurus

kepulauan terdapat dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002.

Dalam Pasal 3 ayat 1 ditentukan bahwa garis pangkal lurus kepulauan

merupakan garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut

teritorial, di antara pulau-pulau terluar, dan karang kering terluar kepulauan

Indonesia. Garis pangkal lurus kepulauan tersebut, menurut ayat 2 merupakan

garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rendah pada

titik terluar pulau terluar, dan karang kering terluar yang satu dengan titik

terluar pada garis air rendah pada titik terluar pulau terluar, karang kering

terluar yang lainnya yang berdampingan. Dalam ayat 6 ditegaskan bahwa

perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan tersebut

di atas adalah perairan kepulauan dan perairan yang terletak pada sisi luar

garis pangkal lurus kepulauan adalah laut teritorial.

Bertalian dengan syarat penarikan garis pangkal lurus kepulauan

Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat 4 Undang-Undang No. 6

87
Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis
Pangkal Kepulauan Indonesia.

96
Tahun 1996, maka ketentuan ayat 3 pada hakekatnya tetap sama. Hal penting

diutarakan di sini adalah ketentuan ayat 4 yang menetapkan tentang syarat

mengenai penarikan garis pangkal kepulauan tersebut di atas dilakukan

dengan tidak terlalu jauh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan.

Berdasarkan ayat 5, penarikan garis pangkal lurus kepulauan

seperti tersurat dalam ayat 2 di atas dapat dilakukan dengan memanfaatkan

titik-titik terluar pada garis air rendah pada setiap elevasi surut yang di

atasnya terdapat mercusuar atau instalasi serupa yang secara permanen berada

di atas permukaan air atau apabila elevasi surut yang sebagian atau seluruhnya

terletak seluruhnya atau sebagian pada suatu jarak yang tidak melebihi lebar

laut teritorial dari garis air rendah pulau terdekat.

Kedua, Pasal 4 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002

tentang penarikan garis pangkal biasa menyatakan bahwa garis pangkal biasa

digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial dalam hal bentuk geografis

pantai suatu pulau terluar menunjukkan bentuk yang normal. Pengecualian

terhadap ketentuan ini diatur dalam Pasal 5, 6, 7 dan 8. Menurut ayat 2, garis

pangkal biasa tersebut adalah garis air rendah sepanjang pantai yang

ditetapkan berdasarkan Datum Hidrografis yang berlaku.

Sebagaimana diatur dalam ayat 3, garis pangkal biasa berupa garis

air rendah pada sisi atol atau karang-karang tersebut yang terjauh ke arah laut

yang juga dapat digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial, pada pulau

terluar yang terletak pada atol atau pada pulau terluar yang mempunyai

karang-karang di sekitarnya. Dalam ayat 5 ditetapkan bahwa perairan yang

terletak pada sisi dalam garis pangkal biasa tersebut di atas adalah perairan

97
pedalaman dan perairan yang terletak pada sisi luar garis pangkal biasa

tersebut adalah laut teritorial.

Ketiga, Pasal 5 Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002 mengatur

cara penarikan garis pangkal lurus. Pasal 5 ayat 1 menetapkan bahwa garis

pangkal lurus digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial pada pantai di

mana terdapat lekukan pantai yang tajam. Garis pangkal lurus tersebut,

menurut ayat 2 adalah garis lurus yang ditarik antara titik-titik terluar pada

garis air rendah yang menonjol dan berseberangan di mulut lekukan pantai

tersebut.

Berdasarkan ayat 3 garis pangkal lurus digunakan untuk mengukur

lebar laut teritorial pada pantai di mana terdapat delta atau kondisi alamiah

lainnya. Garis pangkal lurus yang dimaksud ayat 3 ini, sesuai dengan ayat 4,

adalah garis lurus yang ditarik antara titik-titik terluar pada garis air rendah

yang menjorok paling jauh ke arah laut pada delta atau kondisi alamiah

lainnya tersebut.

Menurut ayat 5 perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal

lurus seperti tersurat dalam ayat 1 dan ayat 3 di atas adalah perairan

pedalaman dan perairan yang terletak pada sisi luar garis pangkal lurus

tersebut adalah laut teritorial.

Dalam konteks nasional, Indonesia masih perlu menetapkan

Perairan Pedalamannya di dalam Perairan Kepulauan melalui apa yang oleh

Konvensi Hukum Laut 1982 disebutkan sebagai closing lines. Sampai

sekarang, Indonesia belum lagi menetapkan Perairan Pedalaman tersebut.

Padahal Pasal 12 ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002

98
menetapkan bahwa ketentuan mengenai penetapan Perairan Pedalaman

tersebut akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah tersendiri.

Indonesia sudah menetapkan 183 titik-titik pangkal sebagai basis menarik

garis-garis pangkal/garis-garis dasar bagi Perairan Kepulauannya dan

penetapan tersebut masih harus disampaikan ke Sekretariat PBB di New

York, sekaligus dengan batas Laut Teritorial 12 mil dari garis-garis pangkal

tersebut.

Sementara itu, cara-cara lain dalam penarikan garis pangkal

kepulauan juga terdapat dalam Pasal 6 yang mengatur garis penutup teluk,

Pasal 7 tentang garis penutup muara sungai, terusan, dan kuala, dan Pasal 8

yang menetapkan garis penutup pelabuhan.

Dalam perkembangannya, Pemerintah Indonesia telah

mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2008 tentang Perubahan

Atas Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat

Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Pertimbangan

dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2008 adalah Keputusan

Mahkamah Internasional mengenai kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau

Ligitan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan Provinsi Timor

Timur telah menjadi negara tersendiri.

Kedua hal tersebut mempunyai implikasi hukum terhadap

koordinat geografis titik-titik garis pangkal kepulauan dalam Peraturan

Pemerintah No. 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-

Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.

99
Dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2008

dinyatakan bahwa beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No. 38

Tahun 2002 diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 1 ayat 9 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

"Satu mil laut adalah 1.852 meter."

2. Di antara ayat 1 dan ayat 2 disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat 1a

sehingga Pasal 11 berbunyi sebagai berikut:

(1) Pemerintah melakukan pembaharuan secara rutin untuk

memperbaiki dan melengkapi kekurangan-kekurangan dalam

penetapan Koordinat Geografis Titik-Titik Terluar untuk menarik

Garis Pangkal Kepulauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3,

Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7 dan Pasal 8.

(1a) Pembaharuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilaksanakan

oleh instansi pemerintah yang menyelenggarakan tugas di bidang

survei dan pemetaan, di bawah koordinasi kementerian yang

membidangi Politik, hukum dan keamanan.

(2) Apabila di kemudian hari ternyata terdapat pulau-pulau terluar,

atol, karang kering terluar, elevasi surut terluar, muara sungai,

terusan atau kuala dan pelabuhan, yang dapat digunakan untuk

penetapan titik-titik terluar dari Garis Pangkal Kepulauan, maka

diadakan perubahan.

(3) Apabila di kemudian hari Koordinat Geografis Titik-Titik Terluar,

pulau-pulau terluar, atol, karang kering terluar, elevasi surut

100
terluar, muara sungai, terusan atau kuala dan pelabuhan, maka

diadakan penyesuaian.88

Hak lintas alur-alur laut kepulauan melalui perairan kepulauan

Indonesia juga diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang No. 6 Tahun 1996.

Dalam pasal ini ditetapkan bahwa Pemerintah menentukan alur-alur laut

termasuk rute penerbangan di atasnya yang cocok digunakan untuk

pelaksanaan lintas alur laut kepulauan tersebut dengan menentukan sumbu-

sumbunya yang dicantumkan pada peta-peta laut yang diumumkan.89 Untuk

melaksanakan ketentuan Pasal 19 Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 ini telah

dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2002 tentang Hak dan

Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam Melaksanakan Hak Lintas

Alur Kepulauan Melalui Alur Laut Kepulauan yang Ditetapkan.90

Perlu dicermati bahwa Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2002

memuat ketentuan-ketentuan yang harus ditaati dan dihindari oleh kapal dan

pesawat udara asing yang melaksanakan hak lintas alur kepulauan melalui

alur laut kepulauan yang ditetapkan. Selanjutnya, harus diperhatikan juga

ketentuan mengenai penetapan alur laut kepulauan yang dapat digunakan

untuk hak lintas alur kepulauan sebagaimana termuat dalam Pasal 11.

Menurut Pasal 11 bahwa terdapat 3 (tiga) alur laut kepulauan yang dapat

dipergunakan untuk melaksanakan hak lintas alur kepulauan.

88
Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah No. 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal
Kepulauan Indonesia.
89
Pasal 19 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
90
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat
Udara Asing dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Kepulauan Melalui Alur Laut Kepulauan yang
Ditetapkan.

101
Pertama, Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I sebagaimana

ditetapkan dalam ayat 1, yang garis sumbunya merupakan garis yang

menghubungkan titik-titik penghubung 1-1 sampai dengan 1-15, dapat

dipergunakan untuk melaksanakan hak lintas alur kepulauan untuk pelayaran

dari Laut Cina Selatan ke Samudera Hindia atau sebaliknya, melintasi Laut

Natuna, Selat Karimata, Laut Jawa, dan Selat Sunda.

Kedua, Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) II yang ditetapkan

dalam ayat 3, yang garis sumbunya merupakan garis yang menghubungkan

titik-titik penghubung II-I sampai dengan II-8, dapat dipergunakan untuk

melaksanakan hak lintas alur kepulauan untuk pelayaran dari Laut Sulawesi

ke Samudera Hindia atau sebaliknya, melintasi Selat Makassar, Laut Flores,

dan Selat Lombok.

Ketiga, Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) III A seperti

ditetapkan dalam ayat 4, yang garis sumbunya merupakan garis yang

menghubungkan titik-titik penghubung IIIA-1 sampai dengan IIIA-13, dapat

dipergunakan untuk melaksanakan hak lintas alur kepulauan untuk pelayaran

dari samudera lain ke Samudera Hindia atau sebaliknya, melintasi Laut

Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai dan Laut Sawu.

Atas dasar uraian di atas, nampak bahwa secara internasional,

Indonesia telah berhasil menetapkan aksis (sumbu) dari tiga Alur Kepulauan

Indonesia melalui perairan Nusantara (perairan kepulauan) dan laut

teritorialnya yang bersangkutan, setelah mengadakan konsultasi-konsultasi

yang intensif dengan negara-negara maritim dan Organisasi Maritim

102
Internasional di London. Indonesia belum lagi menentukan sikap mengenai

penetapan ALKI-ALKI lainnya melalui perairan Nusantara Indonesia yang

dipakai buat pelayaran internasional, khususnya dalam rute timur-barat

melalui Laut Jawa dan Laut Flores. Pelbagai pelanggaran perlu dikaitkan

dengan permasalahan yang diutarakan sebelumnya, karena ketiadaan

ketentuan dalam Konvensi Hukum Laut 1982 menetapkan hak dan kewajiban

negara kepulauan terhadap kegiatan pesawat udara dan kapal asing di alur-

alur laut kepulauan.91

Selain itu, Pasal 11 ayat 1 Undang-Undang No. 6 Tahun 1996

menyatakan bahwa kapal semua negara, baik negara pantai maupun negara

tak berpantai, menikmati hak lintas damai melalui laut teritorial dan perairan

kepulauan. Ketentuan ayat 2 (a) mendefinisikan lintas sebagai navigasi

melalui laut teritorial dan perairan kepulauan Indonesia untuk keperluan

melintasi laut tersebut tanpa memasuki perairan pedalaman atau berlabuh di

tengah laut atau fasilitas pelabuhan di luar perairan pedalaman. Pengertian

lintas menurut ayat 2 (b) meliputi pula navigasi melalui laut teritorial dan

perairan kepulauan Indonesia untuk keperluan berlalu ke atau dari perairan

pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di tengah laut atau fasilitas

pelabuhan tersebut. Akan tetapi ayat 3 mensyaratkan bahwa lintas damai

tersebut harus terus menerus, langsung serta secepat mungkin, mencakup

berhenti atau buang jangkar sepanjang hal tersebut berkaitan dengan navigasi

yang normal, atau perlu dilakukan karena keadaan memaksa, mengalami

91
Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia (Edisi
Revisi), Op.Cit., h. 67.

103
kesulitan, memberi pertolongan kepada orang, kapal atau pesawat udara yang

berada dalam bahaya atau kesulitan.

Nampak bahwa ketentuan-ketentuan di atas merupakan penulisan

kembali Pasal 18 Konvensi Hukum Laut 1982 dengan memasukkan pula

perairan kepulauan Indonesia sebagai laut yang dapat dilayari secara damai

oleh kapal-kapal asing. Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 11 Undang-

Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, pada tanggal 28 Juni

2002, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 36

Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal Asing Dalam Melaksanakan

Lintas Damai Melalui Perairan Indonesia.92 Menurut Pasal 1 ayat 2 dan 3

Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2002 bahwa pengertian hak lintas damai

(innocent passage) bagi kapal-kapal asing melalui laut teritorial dan perairan

kepulauan Indonesia ini merujuk kepada pengertian lintas dan lintas damai

dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.

Sehubungan dengan selat yang digunakan untuk pelayaran

internasional, perlu dicatat ketentuan dalam Undang-Undang No. 6 Tahun

1996. Pasal 20 ayat 1 Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 memuat ketentuan

bahwa semua kapal dan pesawat udara asing mempunyai kebebasan pelayaran

dan penerbangan semata-mata untuk tujuan transit yang terus menerus,

langsung dan secepat mungkin melalui laut teritorial Indonesia di selat antara

satu bagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia dan

bagian dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia lainnya.

92
Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal Asing Dalam
Melaksanakan Lintas Damai Melalui Perairan Indonesia.

104
Banyak kasus yang menunjukkan bahwa belum ditetapkannya

batas laut teritorial Indonesia dengan Malaysia dan Singapura dan telah

menimbulkan masalah-masalah keamanan di laut teritorial Indonesia. Untuk

mengatasi pelbagai kasus di atas, maka perlu segera ditetapkan batas maritim

Indonesia di bagian-bagian laut tertentu dari laut teritorialnya dengan

Malaysia dan Singapura. Penyelesaian masalah-masalah keamanan ini harus

benar-benar menjadi prioritas dari pemerintah, sebab kasus di atas terjadi pula

di ALKI. Sebagai negara kepulauan dan negara tepi Selat Malaka, Indonesia

harus menjaga keamanan dan keselamatan di perairan nasional dan di selat

tersebut.

D. Pengaturan Indonesia tentang Pulau-Pulau Kecil Terluar

Kondisi geografis Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai

negara kepulauan (archipelagic state) yang memiliki 17.504 pulau,93 membentang

dari Sabang hingga Merauke serta dari Miangas hingga Dana Rote dengan 111

Pulau Pulau Kecil Terluar (PPKT),94 diantaranya terdapat 12 (dua belas) pulau

kecil terluar yang memiliki nilai sangat strategis karena batas negara ditentukan

dari titik terluar pulau ini. Pulau-pulau ini sangat rawan baik ditinjau dari sisi

keamanan maupun keberadaan fisik geografisnya dikarenakan hilang karena

adanya ancaman baik secara politis maupun secara fisik. 95

93
Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia (Edisi
Revisi), Op.Cit., h. 51.
94
Pasal 1 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penetapan Pulau-
Pulau Kecil Terluar.
95
Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia (Edisi
Revisi), Op.Cit., h. 228.

105
Di sisi lain didalam pengelolaan PPKT, pemerintah telah berupaya juga

untuk mengatur dan menetapkan dasar-dasar peraturan perundangan dan beberapa

instrumen diantaranya adalah: Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 tentang

Perairan Indonesia; Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;

Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir, Dan

Pulau-Pulau Kecil; Undang-Undang No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara;

Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan

Pemerintah No. 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik

Garis Pangkal Kepulauan Indonesia; Peraturan Pemerintah No. 62 Tahun 2010

tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar; Peraturan Presiden Republik

Indonesia No. 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar; dan

Keputusan Presiden No. 6 Tahun 2017 tentang Penetapan Pulau-Pulau Kecil

Terluar.

Pengelolaan PPKT bertujuan untuk menjaga keutuhan wilayah, keamanan

dan pertahanan negara, pemanfaatan sumberdaya alam, dan pemberdayaan

masyarakat setempat dengan prinsip wawasan nusantara, berkelanjutan, terpadu

dan berbasis masyarakat. Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar meliputi 5 (lima)

bidang, yaitu: sumber daya alam dan lingkungan hidup, infrastruktur dan

perhubungan, pembinaan wilayah, pertahanan dan keamanan serta ekonomi,

sosial, dan budaya.96 Pemerintah telah membentuk Tim Kerja Peraturan Presisden

78 Tahun 2005 untuk pengelolaan pulau-pulau kecil terluar.

Perpres 78 Tahun 2005 merupakan salah satu instrumen peraturan

perundang-undangan pemerintah untuk mengelola keberadaan pulau-pulau kecil

96
Ibid., h. 229.

106
terluar. Perpres ini mengamanatkan pembentukan Tim Koordinasi dengan tugas

mengkoordinasika dan merekomendasikan penetapan rencana dan pelaksanaan

pengelolaan pulau-pulau kecil terluar serta melakukan monitoring dan evaluasi

pelaksanaan pengelolaan pulau-pulau kecil. Sesuai dengan Perpres ini,

pengorganisasian pelaksanaan pengelolaan PPKT dan menghindari tumpang

tindih kewenangan ditetapkan 2 (dua) Tim Kerja. Tim Kerja I membidangi

sumberdaya alam, lingkungan hidup, infrastruktur dan perhubungan, ekonomi,

sosial, dan budaya; sedangkan Tim Kerja II membidangi wilayah, pertahanan, dan

keamanan; serta Sekretariat Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar. Di dalam

penyelenggaraan sehari-hari Tim Koordinasi dibantu oleh Tim Kerja yang

dikoordinasikan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan.97

Indonesia memiliki banyak pulau kecil yang strategis secara posisi

maupun potensi ekonomi. Untuk itu pentingnya sistem informasi dan peta spasial

dari pulau-pulau kecil secara detail. Terkait dengan hal di atas, UU RI No. 27

Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tentunya

sudah mengakomodasi konsep ekosistem. Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-

pulau kecil mencakup perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian

sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil antarsektor, antarpemerintah dan

pemerintah daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan

dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 98

97
Pasal 6-8 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Pulau-Pulau Kecil Terluar.
98
Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia (Edisi
Revisi), Opcit.,
h. 231.

107
PP No. 62 Tahun 2010 mengamanatkan juga prinsip dalam Pemanfaatan

Pulau-Pulau Kecil Terluar bertujuan untuk pertahanan dan keamanan;

kesejahteraan masyarakat; dan/atau pelestarian lingkungan.

Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar untuk pertahanan dan keamanan

dalam bentuk: akselerasi proses penyelesaian batas wilayah negara dilaut;

penempatan pos pertahanan, pos keamanan, dan/atau pos lain; penempatan aparat

Tentara Nasional Indonesia dan/atau Kepolisian Negara Republik Indonesia;

penempatan bangunan simbol negara dan/atau tanda batas negara; penempatan

sarana bantu navigasi pelayaran; dan/ataupengembangan potensi maritim lainnya.

Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar untuk kesejahteraan masyarakat

dalam bentuk: usaha kelautan dan perikanan; ekowisata bahari; pendidikan dan

penelitian; pertanian subsisten; penempatan sarana dan prasarana sosial ekonomi;

dan/atau industri jasa maritim.

Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar untuk pelestarian lingkungan

dilaksanakan dengan penetapan PPKT sebagai kawasan yang dilindungi.

Keputusan Presiden No. 6 Tahun 2017 tentang Penetapan Pulau-Pulau

Kecil Terluar juga menetapkan 111 (seratus sebelas) Pulau sebagai Pulau-Pulau

Kecil Terluar. Pulau-Pulau Kecil Terluar sebagaimana dimaksud disusun dalam

daftar yang terdiri dari nama pulau, nama lain pulau, perairan, koordinat titik

terluar, titik dasar dan petunjuk jenis garis pangkal, dan provinsi.

Indonesia sebagai negara kepulauan kondisi ini mengindikasikan bahwa

Indonesia adalah bangsa bahari. Sebagai bangsa baharí, masyarakat seharusnya

memiliki pemahaman yang memadai terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau

108
kecil yang merupakan bagian penting dari Negara kepulauan. Dalam Peraturan

Presiden No. 78 Tahun 2005 yang kini diperkuat Undang-Undang No. 27 Tahun

2007 disebutkan bahwa Indonesia memiliki banyak pulau kecil yang strategis

secara posisi maupun fungsi ekonomi. Maka pulau-pulau terluar yang termasuk

dalam wilayah Indonesia sebenarnya adalah titik krusial dalam keutuhan wilayah

NKRI, sebab pulau-pulau terluar telah menjadi titik-titik pangkal dalam

menentukan sejauh mana luas laut teritorial. Kehilangan kedaulatan atas satu saja

pulau terluar bagi Indonesia artinya juga mengurangi luas laut teritorial kita.

109

Anda mungkin juga menyukai