TINJAUAN PUSTAKA
dengan pantai, yang terkurung oleh daratan dan atau organisasi maupun
negara atas laut, yuridiksi negara dan hak-hak negara atas perairan tersebut.
lingkungan yang terbatas ini telah disadari pentingnya hukum laut bagi
hukum laut (publik) Indonesia jauh lebih pesat. Bahkan dapat dikatakan
sebelumnya.
13
Dalam beberapa puluh tahun belakangan ini sejak dicetuskannya
telah terjadi berupa bertambahnya kekuasaan negara atas laut hingga 200 mil
dari pantai,2 bertambahnya wewenang negara tepi (riparian state) atas lalu
1
Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia (Edisi Revisi),
PT Refika Aditama, Bandung, 2014, h. 192.
2
Suryo Sakti Hadiwijoyo, Aspek Hukum Wilayah Negara Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2012,
h. 47.
3
Mochtar Kusumaatmadja, “Hukum Laut Internasional”, Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Kehakiman Penerbit Binacipta, Bandung, 1986, h. 12.
14
internasional baru (new international order) yang lebih adil dan berimbang.
Itu sebabnya maka tata hukum laut internasional akan merupakan suatu
laut internasional publik tidak bisa sama sekali dipisahkan dari apa yang telah
ada dan terjadi sebelumnya. Perkembangan yang kini sedang terjadi di bidang
sejarah, laut terbukti telah mempunyai pelbagai fungsi, antara lain sebagai:
4. Tempat pertempuran-pertempuran;
4
Chairul Anwar, Hukum Internasional “Horizon Baru Hukum Laut Internasional” (Konvensi
Hukum Laut 1982), Djambatan, Jakarta, 1989, h. 1.
15
Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), maka
dan galian yang berharga di dasar laut dan usaha-usaha mengambil sumber
daya alam.5
Bertitik tolak dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa laut dapat
5
Hasyim Djalal, “Perjuangan Indonesia Di Bidang Hukum Laut”, Badan Pembinaan Hukum
Nasional Departemen Kehakiman Penerbit Binacipta, Bandung, 1979, h. 1.
6
Mazen Adi, The Application of the Law of the Sea and the Covention on the Mediterranean Sea,
United Nations-Nippon Foundation Fellow 2008 – 2009, Division For Ocean Affairs and The Law of
the Sea, Office of Legal Affairs, The United Nation, New York, 2009, h. 7.
16
Seiring waktu, telah diterima bahwa negara-negara pantai berhak
untuk mengklaim kedaulatan dan yurisdiksi atas laut yang berdekatan dan
dasar laut. Klaim ini telah dibuat untuk berbagai keperluan. Faktor keamanan
saat ini.
a. Res Communis, yang menyatakan bahwa laut itu adalah milik semua
karena itu tidak dapat diambil atau dimiliki oleh masing-masing negara;
b. Res Nulius, yang menyatakan bahwa laut itu tidak ada yang memiliki,
dan karena itu dapat diambil dan dimiliki oleh masing-masing negara.
Di laut berlaku “first come first serve” mereka yang datang lebih dahulu
7
Hasyim Djalal, “Perjuangan Indonesia Di Bidang Hukum Laut”, Op.Cit., h. 11.
17
Pertumbuhan dan perkembangan kedua doktrin tersebut diawali
yang bebas dari gangguan bajak-bajak laut, sehingga semua orang dapat
oleh pihak Imperium Roma. Pemikiran hukum bangsa Romawi terhadap laut
didasarkan atas doktrin res communis omnium (hak bersama seluruh umat
manusia), yang memandang penggunaan laut bebas atau terbuka bagi setiap
tersebut di atas, tampak bahwa embrio kebebasan di laut lepas sebagai prinsip
bangsa-bangsa. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa doktrin ini dalam sejarah
tanda yang menunjukkan bahwa dalam pandangan orang Romawi laut itu
dapat dimiliki, di mana dalam zaman itu hak penduduk pantai untuk
8
Mochtar Kusumaatmadja, “Hukum Laut Internasional”, Op.Cit., h. 3.
9
Hasyim Djalal, “Perjuangan Indonesia Di Bidang Hukum Laut”, Op.Cit., h.12.
18
kerajaan dan negara atas laut yang berdekatan dengan pantainya didasarkan
Menurut konsepsi res nulius, laut bisa dimiliki apabila yang berhasrat
Tengah yang masing-masing merdeka dan berdiri sendiri yang satu lepas dari
Romawi sendiri telah berakhir, akan tetapi pemilikan lautan oleh negara-
disekitar tepi Laut Tengah masing-masing menuntut sebagian dari laut yang
Kebutuhan untuk memberikan dasar teoritis bagi klaim kedaulatan atas laut
10
Mochtar Kusumaatmadja, “Hukum Laut Internasional”, Op. Cit., h. 4.
11
Ibid., h. 5.
19
oleh negara-negara ini antara lain menimbulkan beberapa teori yang
dikemukakan oleh Bartolus dan Baldus, dua ahli hukum terkemuka di abad
pertengahan.12
a. Bartolus
dan di luar itu berupa bagian laut yang bebas dari kekuasaan dan
atas laut yang klasik dalam Laut Teritorial (Wilayah) dan Laut Lepas.
b. Baldus
yakni:
- Pemakaian laut;
adalah pembagian seluruh laut dan samudera dunia ini di dalam dua bagian
dengan batasnya garis meridian 100 leagues (kira-kira 400 mil laut) sebelah
12
Ibid., h. 6.
13
Ibid., h.7.
20
barat Azores. Sebelah barat dari meridian tersebut (yang mencakup
a. Mare Liberum
terbit ditahun 1609. Buku ini yang beranak judul (subtitle) “on the right
of the Dutch to sail to the East Indies” (tentang hak orang Belanda untuk
14
Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia(Edisi
Revisi), Op.Cit., h. 4.
15
Mochtar Kusumaatmadja, “Hukum Laut Internasional”, Op.Cit., h.8.
21
berlayar ke Hindia Timur) ditulis oleh Grotius sebagai pembelaan hak
orang Belanda atau orang lain selain orang Portugis dan Spanyol untuk
mengarungi lautan.
Dalam tahun yang sama (1609) raja James I dari Inggris telah
tujukan pada orang Portugis dan Spanyol yang telah menutup laut-laut
tertentu bagi pelayaran oleh orang lain dan tidak terhadap pembatasan
dalam buku “De Iure Praedae” dan akhirnya dalam “De Iure Belli ac
bahwa laut terbuka untuk siapapun juga karena tidak ada yang
memilikinya.
22
Sebagaimana diketahui sekarang buku “Mare Liberum” semula
yang merampas kapal-kapal bangsa lain yang melayari laut dan samudera
menangkap ikan di laut yang menurut dia harus terbuka untuk siapapun
didasarkan alasan bahwa laut itu merupakan suatu sumber kekayaan laut
b. Mare Clausum
laut bebas pada waktu itu. Kemajuan yang dibuat berdasarkan teori
16
Ibid., h. 12-14.
23
“Mare Liberium” hanya dalam satu hal, yaitu kebebasan pelayaran
Clausum: the Right and Dominion In the Sea (1636). Menurut Sheldon,
atas lautan, dan karena itu melalui prescription itu dapat dimiliki.
Sifatnya yang cair tak menyebabkan laut tidak dapat dimiliki, karena
sungai dan perairan di sepanjang pantai yang cair diakui dapat dimiliki.17
dihindarkannya persoalan dapat atau tidaknya laut itu dimiliki, suatu segi
17
Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia(Edisi
Revisi), Op.Cit., h. 6.
18
Mochtar Kusumaatmadja, “Hukum Laut Internasional”, Op.Cit., h. 19.
24
Kurang lebih seratus tahun setelah terbitnya “Mare Liberum”
dengan suatu ukuran lebar yang tidak terlalu besar. Untuk ini ia
penguasaan laut dari darat, berupa suatu kaidah tembakan meriam yang
jalur laut territorial menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari wilayah
dua laut yang dipelopori oleh Pontanus dan selesailah “perang buku”
4. Jarak tembakan meriam dan asal-usul kaidah lebar laut territorial 3 (tiga)
mil
Sudah menjadi anggapan umum bahwa kaidah lebar laut tiga mil
yang pernah dianggap sebagai suatu ukuran lebar laut territorial yang
berlaku umum berasal dari kaidah tembakan meriam. Akan tetapi penelitian
19
Ibid., h. 20.
25
yang diadakan beberapa waktu yang lalu telah mengemukakan beberapa
Untuk lebih jelasnya baik apabila kita teliti sejarah penetapan lebar
laut teritorial ini setelah konsepsi laut wilayah ini lahir dengan membagi dua
laut dalam dua bagian yakni laut wilayah (territorial) yang berada di bawah
Dalam awal masa sejarah hukum laut ada beberapa ukuran yang
terpenting adalah (1) ukuran tembakan meriam, (2) ukuran pandangan mata,
dan (3) ukuran "marine league". Baru jauh kemudian muncul ukuran 3 mil
laut yang untuk waktu yang cukup lama dianggap ukuran lebar laut teritorial
mengira bahwa ukuran tembakan meriam inilah yang merupakan asal mula
dari kaidah laut territorial tiga mil, yakni suatu jalur laut yang terbentang
sepanjang pantai dan lebarnya tiga mil terhitung dari garis pasang surut.
tembakan meriam ini dan hubungannya dengan kaidah lebar laut tiga mil.
pertama kalinya disebut dalam sengketa antara Negeri Belanda dan Inggris
dalam nota wakil inggris, Gerbier di Brussel kepada Rajanya yang menulis
20
Ibid.
26
antara bahwa "............ orang Belanda tidak dapat mengakui Paduka Yang
meriam".21
di atas lekas sekali menjadi suatu teori yang diterima secara umum oleh
ahli-ahli hukum internasional antara lain Surland, Moser dan Vattel. Lebih
tembakan meriam dalam ukuran jarak yang konkrit, yang pertama kali
dilakukan oleh Galiani, seorang penulis Italia yang dalam bukunya "Dei
meriam dengan kaidah 3 mil adalah penulis Italia Domenico Anzuni yang
dei principii del dirrito marittimo dell’ Europa”, yang diterjemahkan dalam
3 mil laut yang dipelopori oleh Galiani dan Anzuni dalam abad ke-18, ini
meriam dan kaidah tiga mil lebar laut teritorial disebut sebagai dua alternatif
yang identik (sama benar) dan dapat dipertukarkan satu sama lainnya,
21
Ibid., h. 21.
22
Ibid., h. 22.
27
diantara penulis-penulis hukum internasional kemudian timbul
laut teritorial dalam abad ke-19 dan ke-20, sebagian besar menganut
sebagian besar daripada penulis ini hanya mengutip dan mengulang penulis-
pendapat yang menyamakan dalil tembakan meriam dengan kaidah tiga mil
1. Kewarganegaraan (Nationality);
28
3. Tanggungjawab negara untuk kerugian yang ditimbulkan dalam
(Responsibility of State).
dibahas di dalam Konferensi Den Haag tahun 1930 tentang Laut Teritorial.
negara memiliki kedaulatan atas suatu jalur laut yang dinamakan laut
teritorial.23
yang untuk pertama kalinya diadakan tahun 1899 pada waktu diadakannya
23
Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia(Edisi
Revisi), Op.Cit., h. 7.
29
Konferensi Kodifikasi tahun 1907 menghasilkan Konvensi-Konvensi
24
Mochtar Kusumaatmadja, “Hukum Laut Internasional”, Op.Cit., h. 54.
25
Proclamation No. 2667, “Policy of the United States with Respect to the Natural Resources of
the Subsoil and Sea Bed of the Continental Shelf”, 28 Sept. 1945, 10 Fed. Reg. 12,305 (1945); 3
CFR, 1943-1948 Compt., p.67.
30
by the United States and the State concerned in accordance with
equitable principles. The character as high seas of the waters
above the continental shelf and the right to their free and
unimpeded navigation are in no way thus affected.
Dengan proklamasi Presiden Truman tahun 1945 di atas dimulailah
suatu perkembangan dalam hukum laut masa kini yang didasarkan atas
Serikat ini bertujuan mencadangkan kekayaan alam pada dasar laut dan
atas minyak bumi dan barang tambang lain mengingat kebutuhan dunia
jangka panjang akan sumber minyak bumi dan barang tambang lainnya.
kekayaan alam yang terdapat dalam dasar laut (seabed) dan tanah bawah
(subsoil) dataran kontinen yang teratur, yang dengan kemajuan teknik yang
alamiah atas wilayah daratan dan bagaimana pun juga usaha-usaha untuk
31
sama dan perlindungan dari pantai. Dengan demikian maka demi keamanan
(sub marine area) yang luasnya 750.000 mil persegi yang di tutup oleh air
laut lepas. Proklamasi ini juga tidak bermaksud untuk memperluas batas-
26
Ibid.
32
Dari bunyi teks proklamasi Truman yang dikutip di atas dan
mencadangkan kekayaan mineral yang terdapat dalam dasar laut dan tanah
Serikat untuk mengambil kekayaan alam dari dasar laut yang berbatasan
kedaulatan atau yurisdiksi penuh tetap terbatas pada laut teritorial 3 mil.
hukum laut yang dihadiri oleh wakil-wakil dari 86 negara. Daftar negara
27
Mochtar Kusumaatmadja, “Hukum Laut Internasional”, Op.Cit., h. 109.
33
yang diadakan di Jenewa pada tahun 1958 ini suatu kejadian yang penting
resolusi Majelis Umum PBB No. 1105 (XI) tanggal 21 Februari 1957.
konferensi harus membahas hukum laut tidak hanya dari sudut hukum,
28
UN General Assembly, Official Records, 11th session, plenary meeting 658th, February 21, 1957.
Res. 1105 (XI), p. 54.
34
Pembahasan atas persoalan-persoalan atau pertanyaan pre-liminer ini
Hukum Laut Jenewa tahun 1958 dalam menunaikan tugasnya harus kita
Kontinen).
Agendanya ialah tentang masalah lebar laut teritorial dan zona tambahan
perikanan. Berbagai usul dikemukakan seperti enam mil plus enam mil
(Kanada), enam mil laut teritorial dikombinasikan dengan dua belas mil
29
Mochtar Kusumaatmadja, “Hukum Laut Internasional”, Op.Cit., h. 128.
35
zona perikanan (Amerika Serikat), namun kesemuanya mengalami
mengenai Seabed)
Committe of the Peaceful Uses of the Seabed and Ocean Floor beyond the
Seabed Committe yang lahir sebagai hasil atas inisiatif Malta pada tahun
Konferensi Hukum Laut yang diadakan pada tahun 1973. Konferensi ini
resources of the seabed and ocean floor and the subsoil beyond
30
Chairul Anwar, Hukum Internasional “Horizon Baru Hukum Laut Internasional” (Konvensi
Hukum Laut 1982), Op.Cit., h. 5.
36
d. Territorial Sea, termasuk masalah lebar laut teritorial dan masalah
selat internasional;
6. United Nations Convention on the Law of the Sea III (UNCLOS III) 10
Desember 1982. Konvensi hukum laut dengan hasil gemilang ini yang
ditandatangani oleh 119 negara pada hari pertama konvensi ini terbuka
(Constitution for the Ocean) oleh Presiden dari Konferensi Hukum Laut
PBB III. Terdiri dari 17 Bagian (Parts) dan 9 Annex, konvensi ini antara
31
Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia (Edisi
Revisi), Op.Cit.,
h. 11.
37
menyelenggarakan fungsi-fungsi untuk realisasi tujuan-tujuan tertentu dari
konvensi ini.
mempelajari Peaceful Uses of the Sea-bed and Ocean Floor di luar batas-
tahun 1994.
32
Chairul Anwar, Hukum Internasional “Horizon Baru Hukum Laut Internasional” (Konvensi
Hukum Laut 1982), Op.Cit., h. 7.
38
Ada pun ketentuan-ketentuan yang merupakan perkembangan
progresif dalam Konvensi Hukum Laut 1982 adalah selat yang digunakan
pengelolaan dan konservasi sumber daya hayati di laut lepas, pulau, laut
Pasal 64 ayat 1 Konvensi ini sudah tidak efektif dalam mengatur masalah
konservasi dan pengelolan jenis ikan yang beruaya terbatas dan jenis ikan
laut lepas dan ketentuan-ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982 yang terkait
33
Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia (Edisi
Revisi), Op.Cit., h. 13.
39
yang mengakibatkan persediaan sumber-sumber daya ikan yang terus
Management Measures by Fishing Vessels on the High Seas (the 1993 FAO
Ikan 1995).
yang telah berhasil disusun adalah the 1995 FAO Code of Conduct for
dan the 2001 FAO International Plan of Action to Deter, Prevent and
kegiatan penangkapan ikan yang melanggar hukum, tidak diatur dan tidak
40
dilaporkan).34 Suatu uraian tentang perkembangan hukum laut internasional
pada hukum laut. Sebagai suatu bentuk dari hukum laut yang paling dini
yang dipakai di laut di Eropa. Di Laut Tengah “Lex Rhodia” atau Hukum
merupakan aturan pokok lautan untuk daerah Atlantik. Sea Code of Wisby
34
Ibid., h. 14.
41
Bab (Rolles d'Oleron), sedangkan bagian keduanya “Ordonancie”
dari Belanda, yang tercermin dalam karangan Grotius tahun 1609 yang
berjudul “mare liberum”. Pada abad ke-17 Raja James I dari Inggris
atas lautan.
legalistik dalam empat bagian, yaitu (1) perairan pedalaman, (2) laut
teritorial, (3) zona tambahan, (4) laut lepas. Terlihat dalam perkembangan
35
Chairul Anwar, Hukum Internasional “Horizon Baru Hukum Laut Internasional” (Konvensi
Hukum Laut 1982), Op.Cit., h. 1.
42
pengaturan tentang “landas kontinen” dalam UNCLOS I dan regim baru
Bangsa.
Konferensi tidak mencapai kata sepakat tentang batas luar dari laut teritorial
dan hak menangkap ikan dari negara-negara pantai pada zona tambahan.
antaranya ada yang menginginkan lebar laut teritorial 3 mil (20 negara), ada
pula yang menghendaki 6 mil laut teritorial (12 negara), serta negara-negara
Liga Bangsa-Bangsa.
dibicarakan oleh Sixth Committee dari Majelis Umum PBB pada akhir tahun
43
1976. Demikianlah Konferensi PBB II tentang hukum laut berlangsung di
1958, yang dihadiri oleh 700 delegasi dari 86 negara. (UNCLOS I) Sebagai
hukum laut yang telah disiapkan oleh International Law Commission, dan
tentang hukum laut. Konferensi terbagi atas empat Komite serta untuk
keputusan tentang hal-hal mendasar diperlukan suara dua pertiga dari yang
Komite Satu
laut teritorial dan jalur tambahan (teritorial sea and contiguous zone).
di dalam Komite Satu ini, antara lain Kanada mengusulkan 6 mil laut
mengajukan 6 mil laut teritorial dan 6 mil zona perikanan. Usul lainnya
ialah yang mengusulkan 12 mil lebar laut teritorial oleh negara Mexico,
mil, mereka dapat melakukan claim atas zona perikanan ekslusif sampai 12
mil.
36
Ibid., h. 3.
44
untuk menetapkan lebar laut teritorial dan jalur tambahan. Majelis Umum
Komite Dua
Komite Dua yang bertugas membicarakan laut lepas (the high seas),
masalah yang banyak berkaitan dengan kebebasan di laut lepas yang oleh
1. Kebebasan pelayaran;
Lepas 1958.
Komite Tiga
1. Definisi;
45
5. kepentingan khusus dari negara pantai pada perairan lepas pantai;
konservasi;
Komite Empat
meliputi test nuklir di laut lepas, polusi laut lepas oleh bahan-bahan radio
46
berlangsung dari tanggal 17 Maret 1960 sampai dengan 26 April 1960.
Agendanya ialah tentang masalah lebar laut teritorial dan zona tambahan
perikanan. Berbagai usul dikemukakan seperti enam mil plus enam mil
(Kanada), enam mil laut territorial dikombinasikan dengan dua belas mil
dalam perjalanan sejarah dunia mencapai puncaknya pada abad ke-20 ini.
dunia membutuhkan suatu pengaturan dan tatanan hukum laut yang lebih
sempurna.
menyeluruh, yaitu:
47
(2) Konferensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1958 (The U.N.
(3) Konferensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1960 (The U.N.
(2) Konvensi tentang Laut Lepas (The Convention on The High Seas);
Shelf);
PBB tentang hukum laut, yang disetujui di Montego Bay, Jamaica tanggal
10 Desember 1982. Konvensi hukum laut dengan hasil gemilang ini yang
ditandatangani oleh 119 negara pada hari pertama konvensi ini terbuka
(Constitution for the Ocean) oleh Presiden dari Konferensi Hukum Laut
PBB III. Terdiri dari 17 Bagian (Parts) dan 9 Annex, konvensi antara lain
48
di ruang udara di atas laut, navigasi, perlindungan dan pemeliharaan
Laut 1982, pertama-tama kita perlu merujuk pada Konferensi Liga Bangsa-
1. Kewarganegaraan (nationality);
(responsibility of states).38
delapan persoalaan yang bertalian erat dengan laut teritorial, yaitu: (1) garis
pangkal laut teritorial; (2) teluk; (3) pelabuhan; (4) dermaga; (5) pulau; (6)
selat; (7) lintas kapal perang melalui selat; dan (8) penutupan laut teritorial
37
Ibid., h. 7.
38
Mochtar Kusumaatmadja, “Hukum Laut Internasional”, Op.Cit., h. 54.
49
pada muara sungai.39 Dalam hubungannya dengan persoalan pulau tersebut,
mempunyai laut teritorialnya. Dalam pada itu, definisi pulau yang dimuat
dalam Pasal 10 ayat 1 Konvensi Hukum Laut Jenewa I 1958 mengenai Laut
Rumusan yang sama mengenai definisi pulau ini diberikan oleh Pasal
39
Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia (Edisi
Revisi), Op.Cit.,
h. 218.
40
Candidate Number: 8031, “Islands and Their Capacity to Generate Maritime Zones Case law
Romania v. Ukraine”, Thesis, Faculty of Law, University of Oslo, 2008, h. 7.
41
I Wayan Parthiana, Landas Kontinen dalam Hukum Laut Internasional, Mandar Maju, Bandung,
2005, h. 38.
42
Article 121 para. (1) United Nations Convention on the Law of the Sea 1982.
50
“An island is a naturally-formed area of land, surrounded by
water, which is above water at high-tide”.
daratan yang dibentuk secara alamiah yang dikelilingi oleh air dan yang ada
Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan
2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi )beserta kesatuan ekosistemnya. Pulau-
ialah tidak memiliki luas area yang besar (kecil), sehingga daripada itu untuk
43
Pasal 1 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah No. 62 Tahun 2010 tentang pemanfaatan Pulau-
Pulau Kecil Terluar.
51
Pulau Kecil Terluar adalah pulau dengan luas areal kurang atau sama
dengan 2000 km2 (dua ribu kilomenter persegi) yang memiliki titik-titik dasar
pulau, baiknya kita lebih mengenal apa yg dimaksud dengan “pulau alami”
dan “pulau buatan”. Dalam uraian berikut akan dijelaskan kategori dalam
paling tidak ada 7 karakteristik tradisional yang harus dipenuhi oleh suatu
pulau, yaitu:
52
sedangkan Pasal 121 Konvensi Hukum Laut 1982 memuat kriteria nomor 1,
dikenal dalam ketentuan Konvensi Hukum Laut Jenewa I 1958 dan Konvensi
Hal ini berarti bahwa keenam kriteria yang ditetapkan dalam Konvensi
internasional untuk menentukan suatu pulau. Dalam uraian berikut ini akan
disebutkan di atas.45
manusia.
pulau menurut Pasal 121 ayat 1 Konvensi Hukum Laut 1982 (kursip
45
Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia (Edisi
Revisi), Op.Cit.,
h. 221.
53
peneliti) berarti bahwa kriteria pulau ini tidak mencakup pulau buatan
doktrin yang dianut bahwa laut teritorial tidak dapat dibentuk oleh
Pasal 121 Konvensi Hukum Laut 1982. Menurut pakar hukum laut
which are included by treaty law as legal terms, namely islands and low-
menurut Pasal 121 Konvensi Hukum Laut 1982. Hanya saja ketentuan
Kodifikasi Den Haag Tahun 1930 maupun Pasal 10 (1) Konvensi Hukum
Laut Jenewa I 1958 mengenai Laut Teritorial dan Jalur Tambahan tidak
ukuran pulau sebagai salah satu syarat untuk menentukan status pulau
54
penuh. Dalam kaitan ini menarik pendapat McDougal dan Burke yang
menyatakan bahwa apabila ada wilayah daratan yang cukup luas, maka
daerah yang didiami secara tetap oleh rakyat itu besar atau kecil. Dapat
saja wilayah yang berupa pulau (kursip peneliti) tersebut hanya terdiri
dari satu kota saja, sebagaimana halnya dengan suatu negara kota. Tidak
Unsur wilayah dan unsur rakyat tidak ada batas tertentu, baik
hanya 26 Km2. Negeri kecil ini disebut dengan negara „mini‟, „mikro‟,
Hukum Laut 1982 yang tidak menetapkan syarat mengenai ukuran besar
atau kecilnya suatu pulau. Ketentuan pasal inilah yang mengikat negara-
persyaratan suatu pulau harus dikelilingi oleh air. Apabila sebuah pulau
46
Ibid., h. 223.
55
tersambung ke daratan dengan tanah tandus atau melalui pembangunan
dam, maka tanah tandus tersebut tidak dianggap sebagai sebuah pulau.
tidak terpisahkan dari garis pantai, yang dapat dipergunakan oleh Negara
pulau harus berada di atas permukaan air baik pada waktu air pasang
maupun pada waktu air surut. Berdasarkan hal itu, maka perbedaan
antara pulau dan bagian daratan yang hanya timbul di atas permukaan air
di waktu pasang surut menjadi penting. Karena hanya pulau yang tetap
Laut tahun 1958 di Jenewa. Hal ini berarti bahwa kriteria tersebut bukan
(1) Konvensi Hukum Laut Jenewa I 1958 mengenai Laut Teritorial dan
Jalur Tambahan. Hal yang penting adalah wilayah yang layak didiami
56
kehidupan manusia atau memiliki kehidupan ekonomi yang mandiri
sesuai dengan ketentuan Pasal 121 ayat 3 Konvensi Hukum Laut 1982.
pulau terkait dengan kriteria pulau apakah dapat didiami atau tidak oleh
manusia. Karena banyak pulau kecil yang terisolasi dan pulau tandus
merupakan batu karang yang sangat kecil dengan ketinggian 70 kaki dan
yang terisolasi yang jaraknya 226 mil laut dari daratan terdekat, yaitu
batu karang tersebut selain tidak dapat dihuni oleh manusia, juga tidak
Kondisi ini hanya berlaku untuk daerah ini dan belum tentu berlaku
57
hidup di bidang ekonomi di suatu pulau, laut dan sumber daya alamnya
buatan" dari "pulau alami" dalam ketentuan hukum laut, adalah satu-satunya
hasil atau efek dari aktivitas manusia. Itu bisa menjadi bagian dari tanah,
ditumpuk atau dikeraskan, atau bisa juga berupa konstruksi (terbuat dari
beton, logam, plastik atau kaca). Tidak ada kasus yang berpengaruh pada
situasi hukumnya.
instalasi atau struktur, upaya definisi semacam itu bisa sama, mengingat
komponen yang ada dari definisi pulau. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa "pulau buatan adalah konstruksi buatan manusia atau bagian dari tanah
yang berada di laut dan dikelilingi oleh air, yang berada di atas air pada saat
air pasang dan keduanya dipasang pada atau dipasang di dasar laut atau
dipasang secara permanen, atau dipasang di dasar laut, juga konstruksi yang
juga harus terletak di dan dikelilingi oleh laut, dan tetap berada di atas
permukaan laut pada saat air pasang. Konstruksi yang tidak dikelilingi oleh
47
Ibid., h. 225.
58
air merupakan bagian dari fasilitas pelabuhan atau pelabuhan dan, jika gagal
tetap berada di atas permukaan laut, maka hal itu dianggap sebagai
alami".48
pertanyaan apakah pulau itu adalah pulau yang permanen, atau unit
laut;
peralatan lainnya).
48
Pasal 11 dari Konvensi Hukum Laut 1982 mengatakan bahwa pekerjaan pelabuhan permanen
terluar yang merupakan bagian integral dari sistem pelabuhan dianggap sebagai bagian dari
pantai, berisi sebuah kalimat tambahan yang mengatakan bahwa instalasi lepas pantai dan pulau
buatan tidak boleh dipertimbangkan. sebagai pelabuhan permanen.
59
Klasifikasi ini sangat penting dalam menentukan siapa yang memiliki
arti sebenarnya, tetapi juga termasuk setiap instalasi lainnya untuk maksud
eksplorasi dan eksploitasi zona ekonomi eksklusif serta setiap instalasi yang
yang tidak digunakan lagi harus dibongkar, pulau-pulau buatan tidak boleh
didirikan pada alur laut yang diakui dan sangat penting bagi pelayaran
49
Albert W. Koers, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut (Suatu Ringkasan),
Konsorium Ilmu Hukum, Dep. Pendidikan dan Kebudayaan, Nederlandse Raad voor Juridische
Samenwerking met Indonesie, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1991, h. 41.
50
Article 60 para. (2) United Nations Convention on the Law of the Sea 1982.
51
Article 60 para. (3) and (7) United Nations Convention on the Law of the Sea 1982.
60
ditetapkan berdasarkan standar internasional, dan kecuali untuk situasi
batas laut teritorial, ZEE maupun landas kontinen.54 Dalam kasus pelanggaran
zona keamanan di dalam zona ekonomi atau landas kontinen, Negara pantai
Di UNCLOS III, zona aman dan hak pengejaran yang seketika adalah
subyek diskusi yang kuat karena dua pendekatan menemukan diri mereka
terjadi di pulau atau instalasi. Usulan ini dibuang, fakta bahwa pulau-pulau
mengatakan bahwa semua instalasi dan struktur yang telah banyak atau habis
52
Article 60 para. (4) and (5) United Nations Convention on the Law of the Sea 1982.
53
Article 60 para. (6) United Nations Convention on the Law of the Sea 1982.
54
Article 60 para. (8) United Nations Convention on the Law of the Sea 1982.
55
Article 111 United Nations Convention on the Law of the Sea 1982.
61
B.3. Fungsi Pulau dalam Penentuan Wilayah Laut
Pertanyaan yang terkait dengan hak pulau untuk memiliki ruang laut
perairan yang merupakan wilayah suatu negara. Ini berarti bahwa, di samping
wilayahnya ada pula bagian perairan yang berada di luar wilayahnya atau
tidak tunduk pada kedaulatan negara. Perairan seperti ini contohnya adalah
laut lepas (high sea). Tidak semua negara di dunia ini memiliki wilayah
oleh wilayah daratan negara lain. Negara-negara seperti ini dikenal dengan
sebutan negara tak berpantai atau negara buntu (land lock states). Seperti
misalnya negara Afganistan, Laos, Nepal, dan Bhutan di Asia, negara Afrika
Tengah, Uganda, Niger, dan Chad di Afrika, negara Swiss, Austria, Hungaria
62
Wilayah Perairan atau Perairan Teritorial (Territorial Waters) Indonesia
Pedalaman (Inland Waters) terdiri atas Laut Pedalaman (Internal Sea) dan
dasar laut dan tanah di bawahnya termasuk sumber kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya.59
Laut Teritorial (territorial sea) adalah bagian laut atau jalur laut yang
terletak pada sisi luar dari garis pangkal (base line) dan sebelah luarnya
dibatasi oleh garis atau batas luar (outer limit). Yang dimaksud dengan garis
pangkal adalah garis yang ditarik pada pantai pada waktu air laut surut.
Ditetapkannya pada waktu air laut surut disebabkan oleh karena garis air laut
surut adalah merupakan batas antara daratan dan perairan (laut). Garis
56
Pasal 1 butir 4 dan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan
Indonesia.
57
Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
58
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
59
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
63
tersebut merupakan titik-titik atau garis pertemuan antara daratan dengan air
laut.
yang ditarik dari pantai pada saat air laut surut dengan mengikut lekukan-
lekukan pantai. Dengan demikian, arah dari Garis Pangkal Normal sejajar
mengukur lebar laut teritorial, ditarik garis tegak lurus dari garis pangkal
negara.
Titik-titik atau garis pada bagian luar itulah yang disebut dengan
garis luar atau batas luar (outer limit) laut teritorial. Garis luar atau batas
luar ini merupakan garis yang selalu sejajar dengan garis pangkal, karena
ditarik pada titik-titik yang ada pada garis pangkal secara tegak lurus ke
pangkal ini merupakan garis pangkal normal (Normal Base Line) tertua.
64
Gambar 1.1 Normal Base Line
pangkal yang ditarik di pantai pada saat air laut surut, dengan
sebab itu metode ini disebut juga dengan Garis Pangkal Lurus Ujung ke
Lurus dilakukan pada pantai-pantai yang berliku atau jika di depan pantai
(Straight Base Line) digunakan sebagai salah satu garis pangkal yang
60
Pasal 4-5 Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958 (UNCLOS I).
61
Article 7 United Nations Convention on the Law of the Sea 1982.
65
dapat diterapkan dalam pengukuran lebar laut teritorial selain Garis
sebagai berikut:
(a) Penarikan Garis Pangkal Lurus (Straight Base Line) tidak boleh
(b) Bagian-bagian laut yang terletak pada sisi dalam dari Garis
66
dapat ditundukkan pada rezim perairan pedalaman (internal
water);
(c) Garis Pangkal Lurus (Straight Base Line) tidak boleh ditarik dari
(d) Garis Pangkal Lurus (Straight Base Line) tidak boleh diterapkan
teritorial negara lain dari laut lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif
(ZEE).
Tahun 1982 (UNCLOS 1982), yang secara tegas tertuang dalam Pasal
untuk menghubungkan titik terluar dari pulau terluar dan karang, dalam
sebuah kepulauan.
62
Elevasi Surut (Low Tide Elevation) adalah bagian dasar laut yang tampak di permukaan air laut
pada saat air laut surut, tetapi tidak tampak (berada di bawah permukaan air laut) pada saat air
laut pasang atau normal.
63
I Made Andi Arsana, Batas Maritim Antarnegara (Sebuah Tinjauan Teknis dan Yuridis), Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta, 2007, h. 16.
67
Dalam implementasinya, penggunaan Garis Pangkal Kepulauan
Garis Pangkal Lurus (Straight Base Line). Dalam arti suatu negara
Base Line) dapat saja menggunakan Garis Pangkal Normal (Normal Base
68
Dalam konteks Indonesia sebagai negara kepulauan, Laut
Teritorial merupakan Jalur Laut yang terletak pada sisi luar dari garis
pangkal dan di sebelah luar dibatasi oleh garis atau batas luar (outer
limit) atau jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut yang diukur dari garis
dalam Pasal 5 ayat (2) dijelaskan bahwa apabila Garis Pangkal Lurus
Indonesia.65 Lebih lanjut melalui Pasal 5 ayat (4) dinyatakan bahwa Garis
Pangkal Lurus Kepulauan tidak boleh melebihi 100 (seratus) mil laut,
64
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
65
Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
69
B.3.2. Perairan Kepulauan (Archipelagic Water)
yang tidak dimiliki oleh semua negara pantai, namun hanya dimiliki oleh
atasnya, dalam dasar laut di bawahnya, di bawah tanah dan juga atas
70
Seperti halnya di Perairan Pedalaman dan Laut Teritorial, di Perairan
Kepulauan juga berlaku Hak Lintas Damai (right of the innocent passage)
bagi kapal niaga asing. Namun demikian, apabila berkaitan dengan aspek
pengecualian.
perairan yang terletak pada sisi Garis Pangkal Lurus Kepulauan tanpa
Indonesia yaitu perairan yang terletak pada sisi dalam dari Garis Pangkal
secara tegak lurus selebar 12 mil, kecuali bagian perairan yang berada di sisi
dalam dari Garis-Garis Penutup (closing line). Berkaitan dengan hak lintas
Indonesia.
pangkal lurus dari ujung ke ujung. Dengan penerapan garis pangkal lurus ini
pada pantai yang berliku-liku atau pada pantai yang di depannya terdapat
pulau atau gugusan pulau, maka akan mengakibatkan adanya bagian perairan
67
Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
71
atau laut yang terletak di sebelah dalam dari garis pangkal lurus tersebut.
wilayah negara. Pada perairan pedalaman inipun juga diakui adanya hak lintas
sisi dalam dari garis pangkal lurus. Perairan Pedalaman Indonesia adalah
semua perairan yang terletak pada sisi darat dari Garis Pangkal air terendah
perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu Garis Penutup.68 Di dalam
Indonesia dapat menarik Garis-garis Penutup pada mulut sungai, kula, teluk,
anak laut dan pelabuhan.69 Lain daripada itu, Parthiana menyatakan bahwa
Perairan Pedalaman Indonesia adalah semua perairan pada sisi dalam Garis
Pangkal Normal. Apabila pada pantai yang garis pangkalnya hanya diterapkan
Garis Pangkal Normal, maka tidak akan terdapat Laut Pedalaman, yang ada
hanyalah Perairan Darat, yaitu bagian perairan yang terletak di sebelah dalam
Jadi secara garis besar, Perairan Pedalaman terdiri atas: Pertama, Laut
Pedalaman yaitu bagian laut yang terletak pada sisi dalam dari garis pangkal
lurus dan sisi luar dari bekas garis pangkal normal. Kedua, Perairan Darat
yaitu bagian perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis pangkal normal
68
Pasal 3 ayat (4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
69
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
70
I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Op.Cit., h. 139.
72
maupun bekas garis pangkal normal. Perairan darat ini bisa terdiri atas
perairan sungai, danau, terusan, waduk, dan perairan pada pelabuhan. Ketiga,
Perairan Kepulauan (archipelagic water) yaitu perairan yang terletak pada sisi
dalam dari garis pangkal kepulauan. Perairan Kepulauan ini khusus bagi
sampai dengan Pasal 54 Konvensi Hukum Laut 1982.71 Seperti halnya Laut
Teritorial, pada Perairan Pedalaman (internal water) ini juga diakui adanya
Hak Lintas Damai (right of the innocent passage) bagi kapal-kapal niaga
asing.
71
Simela Victor Muhamad, Batas Wilayah Negara Dalam Perspektif Hukum Internasional, dalam
Batas Wilayah dan Situasi Perbatasan Indonesia: Ancaman Terhadap Integritas Teritorial, Tiga
Putra Utama, Jakarta, 2004,
h. 31-32.
73
C. Konsep Negara Kepulauan menurut Hukum Laut
Internasional
C.1. Pengertian Negara Kepulauan (Archipelagic State)
kepulauan, status hukum perairan kepulauan, hak lintas damai dan hak lintas
alur-alur kepulauan.72
(a) Negara kepulauan adalah negara yang seluruhnya terdiri dari satu
(b) Kepulauan adalah suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau, dan
geografi, ekonomi dan politik yang hakiki, atau yang secara historis
dianggap demikian.
72
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, “Pengantar Hukum Internasional”, Pusat Studi
Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan Bekerjasama dengan Penerbit P.T. ALUMNI
Bandung, 2003, h. 178.
74
pengertiannya sebagai suatu konsepsi geografis. Ke dalam pengertian pulau
secara yuridis, Pasal 121 ayat 1 Konvensi mengartikan pulau adalah suatu
daratan yang dibentuk secara alamiah yang dikelilingi oleh air dan yang ada
di atas permukaan air pada air pasang. Lebih lanjut, ayat 2 menetapkan bahwa
setiap pulau, kecuali kalau pulau itu merupakan karang-karang yang tidak
kontinennya sendiri.
Papua Nugini, Solomon Islands, Saint Vincent and the Grenadines, Sao Tome
73
Etty R. Agoes, “ Praktik Negara-Negara Atas Konsepsi Negara Kepulauan”, Jurnal Hukum
Internasional, Volume 1 Nomor 3 April 2004, h. 455-456.
75
kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar dan
antara wilayah laut dan wilayah darat, termasuk pulau karang adalah 1:1
sampai 9:1. Dalam ayat 2 ditegaskan bahwa panjang garis pangkal lurus
kepulauan tidak boleh melebihi 100 (seratus) mil laut, kecuali bahwa 3% (tiga
per seratus) dari jumlah keseluruhan garis-garis pangkal dapat melebihi 100
mil laut hingga suatu kepanjangan maksimum 125 (seratus dua puluh lima)
mil laut.
dari ujung ke ujung. Syarat pertama adalah bahwa garis-garis pangkal lurus
demikian tidak boleh menyimpang terlalu banyak dari arah umum pantai (ayat
3).
antara dua pulau atau bagian daratan yang hanya timbul di atas permukaan air
di waktu pasang surut atau elevasi surut (low-tide elevations), kecuali apabila
yang setiap waktu ada di atas permukaan air dan penarikan garis-garis lurus
dari elevasi ini atau apabila elevasi surut tersebut terletak seluruhnya atau
sebagian pada suatu jarak yang tidak melebihi lebar laut teritorial dari pulau
berlaku untuk penarikan garis pangkal lurus, namun penggunaan elevasi surut
74
Mochtar Kusumaatmadja, “Hukum Laut Internasional”, Op. Cit., h. 131-132.
76
sebagai titik pangkal dikenakan persyaratan letak atau jarak yang harus
kurang dari atau tidak melebihi laut teritorial, diukur dari pulau terdekat.75
teritorial negara lain dengan laut lepas atau zona ekonomi eksklusif (ayat 5).
lurus kepulauan terhadap negara tetangga yang berdekatan termuat dalam ayat
6 yang berbunyi:
laut teritorial negara tetangga. Dampak lain bagi negara tetangga yang
putusnya komunikasi melalui laut antara dua bagian wilayah dari suatu negara
tetangga terdekat, atau hapusnya hak-hak dan kepentingan sah lainnya yang
secara tradisional telah dilaksanakan oleh negara tersebut di bagian laut yang
75
Etty R. Agoes, “ Praktik Negara-Negara Atas Konsepsi Negara Kepulauan”, Jurnal Hukum
Internasional,
Op., Cit., h. 447.
76
Ibid., h. 448.
77
Selanjutnya, ayat 8 menyatakan bahwa hasil penarikan garis-garis
pangkal tersebut harus digambarkan dalam peta, atau sebagai gantinya dapat
dibuat daftar dari titik-titik koordinat geografis yang secara tegas memerinci
datum geodetik. Peta tersebut harus dibuat dengan skala atau skala-skala yang
koordinat geografis demikian serta menyerahkan satu salinan peta atau daftar
teritorial.
menurut Pasal 47 di atas akan merupakan titik awal atau garis pangkal untuk
pengukuran lebar laut teritorial, zona tambahan, ZEE dan landas kontinen
garis-garis pangkal lurus kepulauan memiliki fungsi yang sama dengan garis-
batas perairan pedalaman sesuai dengan Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11.
ketentuan yang mengatur tentang garis batas antar negara. Dalam ketentuan di
78
atas garis batas yang dimaksud adalah suatu garis penutup (closing line)
sebagaimana yang berlaku untuk mulut sungai, teluk dan pelabuhan yang
bahwa:
(2) Kedaulatan ini selain meliputi ruang udara di atas perairan kepulauan,
juga dasar laut dan tanah di bawahnya dan sumber daya alam yang
(4) Rezim hak lintas alur-alur laut kepulauan tidak akan mempengaruhi
dan ruang udara di atas perairan kepulauan, dasar laut dan tanah di
lurus dimana status hukum dari perairan yang tertutup oleh garis pangkal
77
Ibid., h. 450-452.
79
kepulauan perairan yang tertutup oleh garis-garis pangkal tersebut akan
kepulauan merupakan suatu konsep yang sui generis, yang menurut Pasal 49
laut teritorial karena diakuinya lintas damai bagi kapal-kapal asing. Yang
harus diimbangi dengan pengakuan atas hak-hak negara lain. Berbeda dengan
hak perikanan tradisional dan juga kegiatan-kegiatan lainnya yang sah dari
kepulauannya.
kabel laut yang ada yang dipasang oleh negara lain, dan mengijinkan
78
Ibid., h. 448.
80
Ketiga, negara kepulauan menurut Pasal 52 ayat 1 wajib menghormati
hak lintas damai kapal-kapal dari semua negara untuk melewati perairan
menghormati hak lintas alur laut kepulauan bagi semua jenis kapal dan
yang satu dengan yang lainnya, dan hanya berlaku setelah dilakukan
pengumuman;
pesawat udara asing jenis apa pun melalui atau di atas perairan
81
penetapan rule penerbangan. Hal ini sudah barang tentu harus dikaitkan
mutandis bagi lintas alur laut kepulauan, dimana berlaku kewajiban bagi
hak lintas penerbangan bagi pesawat udara di atas alur-alur kepulauan ini
pengawalan dari udara (air cover) oleh pesawat udara militer, akan muncul
negara lainnya berkaitan dengan kegiatan pesawat udara asing di alur-alur laut
kepulauan, misalnya bagaimana kalau ada kegiatan lintas udara asing di alur-
alur laut kepulauan yang dapat menimbulkan gangguan bagi negara yang
Bagaimana apabila kebetulan pada jalur alur-alur laut kepulauan tersebut tiba-
kegiatan tersebut di atas, dan hal ini akan dibahas dalam praktik Indonesia.
79
Etty R. Agoes, “Upaya Diplomatik Indonesia dalam Penetapan Alur-Alur Laut Kepulauan
Indonesia (ALKI)”, Jurnal Hukum Internasional, Volume 6 Nomor 3 April 2009, h. 357-358.
82
Hal lain yang patut diperhatikan adalah mengenai pengertian tentang
untuk tujuan transit yang terus menerus dan secepat mungkin serta tidak
terhalang antara satu bagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif dan
dalam cara normal (rights of navigation and overflight in the normay mode).
Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa meskipun tidak sebebas seperti lintas
transit, lintas alur laut kepulauan tidak terlalu terbatas seperti lintas damai,
kepulauan dan laut teritorial yang berdampingan, termasuk semua rute yang
dan rute penerbangan tersebut ditentukan oleh rangkaian garis sumbu yang
bersambungan mulai dari tempat masuk rute hingga keluar melalui perairan
kepulauan dan laut teritorial yang berdampingan. Kapal dan pesawat udara
asing dalam melaksanakan lintas alur kepulauan, selama melintas tidak boleh
menyimpang lebih dari 25 (dua puluh lima) mil laut ke kedua sisi dari garis
80
Ibid., h. 359.
83
sumbu alur laut kepulauan dengan ketentuan bahwa kapal dan pesawat udara
tersebut tidak boleh berlayar atau terbang dekat ke pantai kurang dari 10%
(sepuluh per seratus) jarak antara titik-titik terdekat pada pulau-pulau yang
wewenang untuk:
yang aman melalui jalur yang sempit di dalam alur-alur laut tersebut;
dan
dengan alur laut dan skema pemisah lalu lintas yang lain.
1. Memilih alur-alur laut dan skema pemisah lalu lintas yang sesuai
(ayat 8);
2. Mengajukan usul alur-alur laut dan skema pemisah lalu lintas kepada
sumbu alur-alur laut kepulauan dan skema pemisah lalu lintas yang
84
terpenuhi, maka negara kepulauan dapat mewajibkan setiap kapal dan
maka kapal dan pesawat udara asing tetap dapat melaksanakan haknya dengan
Indonesia
fisik, terdiri dari Perairan Kepulauan seluas 2,8 juta km2, Laut Teritorial
seluas 0,3 juta km2, luas ZEE sekitar 3,0 juta km2, panjang garis pantai lebih
dari 81.000 km dan jumlah pulau 17.504 pulau. Dalam mengelola potensi
laut, kiranya dapat dibedakan tiga jenis laut yang penting bagi Indonesia,
yaitu:
(1) Laut yang merupakan "wilayah Indonesia" dan yang berada di bawah
81
Ibid., h. 360.
85
(3) Laut yang merupakan kepentingan Indonesia, di mana keterkaitan
atas laut tersebut. Yang termasuk ke dalam kategori ini adalah laut
laut tidak lagi menjadi alat pemisah pulau-pulau besar Indonesia. Ide yang
oleh suatu negara setelah turut serta dalam perjanjian internasional. Indonesia
86
Konvensi Hukum Laut 1982. Undang-Undang inilah yang mencabut Undang-
83
Damos Dumoli Agusman, “Hukum Perjanjian Internasional: Kajian Teori dan Praktik Indonesia”,
Penerbit PT Refika Aditama, 2010, h. 106.
87
rezim hukum negara kepulauan dalam Bab IV Konvensi Hukum Laut
yang baru.
segi sejarah dan cara pandang bangsa Indonesia yang merupakan aspek yang
negara kepulauan dalam Bab IV Konvensi Hukum Laut 1982 juga merupakan
aspek penting lainnya. Selain dari kedua hal itu, ketentuan-ketentuan Undang-
88
Undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia sudah tidak
yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup
tersebut dan wujud alamiah lainnya yang hubungannya satu sama lain
merupakan suatu kesatuan geografi, ekonomi dan politik yang hakiki, atau
Indonesia.
89
perundang-undangan nasional Indonesia tidak jauh beda dengan Konvensi
perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah dari pantai-pantai
Kepulauan Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam
dari pantai. Berdasarkan ayat 2 Laut Teritorial Indonesia adalah jalur laut
selebar 12 (dua belas) mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan
Indonesia.
perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial serta dasar laut dan
90
Tahun 1996 sesuai dengan Konvensi Hukum Laut 1982, namun secara umum
Tahun 1996, dan berlakunya Konvensi Hukum Laut tahun 1982 yang
Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia juga mengatur tentang
menyebutkan bahwa:
kepulauannya;
91
satu negara yang bersangkutan, harus diatur dengan pesetujuan
bilateral.
batas laut. Dalam hal batas laut ini, paling tidak ada 4 komponen, yaitu, 1)
Maritim yang mengatur berbagai zona yakni batas laut teritorial, batas landas
kontinen dan batas zona ekonomi eksklusif (ZEE) dengan tujuh negara
Palau, dan Timor Leste. Hal ini disebabkan karena Filipina baru
menyelesaikan survei titik dasar sebagai negara kepulauan pada akhir tahun
Palau, dan Timor Leste adalah negara baru yang lahir secara resmi pada tahun
2000. Dalam kaitan tiga negara ini, Indonesia tengah berunding dengan
Filipina, dan akan segera membuka hubungan diplomatik dengan Palau serta
masih ada segmen batas maritim yang belum diselesaikan dengan Malaysia,
85
Arif Havas Oegroseno, “ Status Hukum Pulau-Pulau Terluar Indonesia”, Jurnal Hukum
Internasional, Volume 6 Nomor 3 April 2009, h. 312-313.
92
Belum ditetapkannya batas laut teritorial Indonesia dengan
undangan mengenai hak lintas damai melalui laut teritorial dan perairan
kepulauan Indonesia.
hukum kegiatan pemanfaatan sumber daya alam laut. Penetapan batas maritim
Teritorial Indonesia yang dapat diukur selebar 24 mil dari Garis Pangkal
Lurus Kepulauan. Sepanjang yang berkaitan dengan batas jalur tambahan ini,
belum ada satupun batas yang ditetapkan oleh Indonesia dengan negara-
93
mengundangkan jalur tambahan ini, meskipun negara-negara tetangganya
garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat 1. Ayat
dalam ayat 1 tidak dapat digunakan, maka digunakan garis pangkal biasa atau
sebagaimana tersurat dalam ayat 2 adalah garis air rendah sepanjang pantai.
termuat dalam ayat 7, yang menyatakan bahwa garis pangkal lurus adalah
garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis pangkal yang
ketentuan Pasal 47 ayat 1 Konvensi Hukum Laut 1982, panjang garis pangkal
lurus kepulauan Indonesia tersebut, menurut ayat 4 tidak boleh melebihi 100
(seratus) mil laut, kecuali bahwa 3% (tiga per seratus) dari jumlah
94
keseluruhan garis-garis pangkal dapat melebihi 100 mil laut hingga suatu
sebagai lokasi penetapan titik dasar penarikan garis pangkal dan titik dasar
maka sebenarnya peran pulau-pulau terluar bersifat statis. Hal ini disebabkan
perundingan, yakni apakah garisnya lebih ke atas atau ke bawah, apakah lebih
ke kiri atau ke kanan, apakah ada lekukan tertentu, atau tidak, sangat
tergantung kepada hal-hal lain yang sifatnya lebih makro seperti panjang
pantai, arah pantai, bentuk pantai, geologi dasar, lokasi sumber daya alam di
syarat tersebut adalah garis pangkal lurus sebagaimana dimaksud dalam ayat
3 tidak boleh ditarik dari dan ke di antara elevasi surut, kecuali apabila di
atasnya telah didirikan mercusuar atau instalasi serupa yang secara permanen
berada di atas permukaan air atau apabila elevasi surut tersebut terletak
seluruhnya atau sebagian pada suatu jarak yang tidak melebihi lebar laut
86
Ibid., h. 313.
95
Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.87 Pasal 2 ayat 1 Peraturan
garis pangkal kepulauan untuk menetapkan lebar laut teritorial. Dalam ayat 2
biasa; c) garis pangkal lurus; d) garis penutup teluk; e) garis penutup muara
garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rendah pada
titik terluar pulau terluar, dan karang kering terluar yang satu dengan titik
terluar pada garis air rendah pada titik terluar pulau terluar, karang kering
perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan tersebut
di atas adalah perairan kepulauan dan perairan yang terletak pada sisi luar
87
Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis
Pangkal Kepulauan Indonesia.
96
Tahun 1996, maka ketentuan ayat 3 pada hakekatnya tetap sama. Hal penting
titik-titik terluar pada garis air rendah pada setiap elevasi surut yang di
atasnya terdapat mercusuar atau instalasi serupa yang secara permanen berada
di atas permukaan air atau apabila elevasi surut yang sebagian atau seluruhnya
terletak seluruhnya atau sebagian pada suatu jarak yang tidak melebihi lebar
tentang penarikan garis pangkal biasa menyatakan bahwa garis pangkal biasa
digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial dalam hal bentuk geografis
terhadap ketentuan ini diatur dalam Pasal 5, 6, 7 dan 8. Menurut ayat 2, garis
pangkal biasa tersebut adalah garis air rendah sepanjang pantai yang
air rendah pada sisi atol atau karang-karang tersebut yang terjauh ke arah laut
yang juga dapat digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial, pada pulau
terluar yang terletak pada atol atau pada pulau terluar yang mempunyai
terletak pada sisi dalam garis pangkal biasa tersebut di atas adalah perairan
97
pedalaman dan perairan yang terletak pada sisi luar garis pangkal biasa
cara penarikan garis pangkal lurus. Pasal 5 ayat 1 menetapkan bahwa garis
pangkal lurus digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial pada pantai di
mana terdapat lekukan pantai yang tajam. Garis pangkal lurus tersebut,
menurut ayat 2 adalah garis lurus yang ditarik antara titik-titik terluar pada
garis air rendah yang menonjol dan berseberangan di mulut lekukan pantai
tersebut.
lebar laut teritorial pada pantai di mana terdapat delta atau kondisi alamiah
lainnya. Garis pangkal lurus yang dimaksud ayat 3 ini, sesuai dengan ayat 4,
adalah garis lurus yang ditarik antara titik-titik terluar pada garis air rendah
yang menjorok paling jauh ke arah laut pada delta atau kondisi alamiah
lainnya tersebut.
Menurut ayat 5 perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal
lurus seperti tersurat dalam ayat 1 dan ayat 3 di atas adalah perairan
pedalaman dan perairan yang terletak pada sisi luar garis pangkal lurus
98
menetapkan bahwa ketentuan mengenai penetapan Perairan Pedalaman
York, sekaligus dengan batas Laut Teritorial 12 mil dari garis-garis pangkal
tersebut.
kepulauan juga terdapat dalam Pasal 6 yang mengatur garis penutup teluk,
Pasal 7 tentang garis penutup muara sungai, terusan, dan kuala, dan Pasal 8
Ligitan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan Provinsi Timor
99
Dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2008
diadakan perubahan.
100
terluar, muara sungai, terusan atau kuala dan pelabuhan, maka
diadakan penyesuaian.88
Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam Melaksanakan Hak Lintas
memuat ketentuan-ketentuan yang harus ditaati dan dihindari oleh kapal dan
pesawat udara asing yang melaksanakan hak lintas alur kepulauan melalui
untuk hak lintas alur kepulauan sebagaimana termuat dalam Pasal 11.
Menurut Pasal 11 bahwa terdapat 3 (tiga) alur laut kepulauan yang dapat
88
Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah No. 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal
Kepulauan Indonesia.
89
Pasal 19 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
90
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat
Udara Asing dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Kepulauan Melalui Alur Laut Kepulauan yang
Ditetapkan.
101
Pertama, Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I sebagaimana
dari Laut Cina Selatan ke Samudera Hindia atau sebaliknya, melintasi Laut
melaksanakan hak lintas alur kepulauan untuk pelayaran dari Laut Sulawesi
Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai dan Laut Sawu.
Indonesia telah berhasil menetapkan aksis (sumbu) dari tiga Alur Kepulauan
102
Internasional di London. Indonesia belum lagi menentukan sikap mengenai
melalui Laut Jawa dan Laut Flores. Pelbagai pelanggaran perlu dikaitkan
ketentuan dalam Konvensi Hukum Laut 1982 menetapkan hak dan kewajiban
negara kepulauan terhadap kegiatan pesawat udara dan kapal asing di alur-
menyatakan bahwa kapal semua negara, baik negara pantai maupun negara
tak berpantai, menikmati hak lintas damai melalui laut teritorial dan perairan
lintas menurut ayat 2 (b) meliputi pula navigasi melalui laut teritorial dan
berhenti atau buang jangkar sepanjang hal tersebut berkaitan dengan navigasi
91
Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia (Edisi
Revisi), Op.Cit., h. 67.
103
kesulitan, memberi pertolongan kepada orang, kapal atau pesawat udara yang
perairan kepulauan Indonesia sebagai laut yang dapat dilayari secara damai
Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, pada tanggal 28 Juni
Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal Asing Dalam Melaksanakan
Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2002 bahwa pengertian hak lintas damai
(innocent passage) bagi kapal-kapal asing melalui laut teritorial dan perairan
kepulauan Indonesia ini merujuk kepada pengertian lintas dan lintas damai
bahwa semua kapal dan pesawat udara asing mempunyai kebebasan pelayaran
langsung dan secepat mungkin melalui laut teritorial Indonesia di selat antara
satu bagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia dan
bagian dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia lainnya.
92
Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal Asing Dalam
Melaksanakan Lintas Damai Melalui Perairan Indonesia.
104
Banyak kasus yang menunjukkan bahwa belum ditetapkannya
batas laut teritorial Indonesia dengan Malaysia dan Singapura dan telah
mengatasi pelbagai kasus di atas, maka perlu segera ditetapkan batas maritim
benar-benar menjadi prioritas dari pemerintah, sebab kasus di atas terjadi pula
di ALKI. Sebagai negara kepulauan dan negara tepi Selat Malaka, Indonesia
tersebut.
dari Sabang hingga Merauke serta dari Miangas hingga Dana Rote dengan 111
Pulau Pulau Kecil Terluar (PPKT),94 diantaranya terdapat 12 (dua belas) pulau
kecil terluar yang memiliki nilai sangat strategis karena batas negara ditentukan
dari titik terluar pulau ini. Pulau-pulau ini sangat rawan baik ditinjau dari sisi
93
Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia (Edisi
Revisi), Op.Cit., h. 51.
94
Pasal 1 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penetapan Pulau-
Pulau Kecil Terluar.
95
Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia (Edisi
Revisi), Op.Cit., h. 228.
105
Di sisi lain didalam pengelolaan PPKT, pemerintah telah berupaya juga
Indonesia No. 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar; dan
Terluar.
bidang, yaitu: sumber daya alam dan lingkungan hidup, infrastruktur dan
sosial, dan budaya.96 Pemerintah telah membentuk Tim Kerja Peraturan Presisden
96
Ibid., h. 229.
106
terluar. Perpres ini mengamanatkan pembentukan Tim Koordinasi dengan tugas
sosial, dan budaya; sedangkan Tim Kerja II membidangi wilayah, pertahanan, dan
maupun potensi ekonomi. Untuk itu pentingnya sistem informasi dan peta spasial
dari pulau-pulau kecil secara detail. Terkait dengan hal di atas, UU RI No. 27
Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tentunya
pemerintah daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan
97
Pasal 6-8 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Pulau-Pulau Kecil Terluar.
98
Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia (Edisi
Revisi), Opcit.,
h. 231.
107
PP No. 62 Tahun 2010 mengamanatkan juga prinsip dalam Pemanfaatan
penempatan pos pertahanan, pos keamanan, dan/atau pos lain; penempatan aparat
dalam bentuk: usaha kelautan dan perikanan; ekowisata bahari; pendidikan dan
Kecil Terluar juga menetapkan 111 (seratus sebelas) Pulau sebagai Pulau-Pulau
daftar yang terdiri dari nama pulau, nama lain pulau, perairan, koordinat titik
terluar, titik dasar dan petunjuk jenis garis pangkal, dan provinsi.
108
kecil yang merupakan bagian penting dari Negara kepulauan. Dalam Peraturan
Presiden No. 78 Tahun 2005 yang kini diperkuat Undang-Undang No. 27 Tahun
2007 disebutkan bahwa Indonesia memiliki banyak pulau kecil yang strategis
secara posisi maupun fungsi ekonomi. Maka pulau-pulau terluar yang termasuk
dalam wilayah Indonesia sebenarnya adalah titik krusial dalam keutuhan wilayah
menentukan sejauh mana luas laut teritorial. Kehilangan kedaulatan atas satu saja
pulau terluar bagi Indonesia artinya juga mengurangi luas laut teritorial kita.
109