Anda di halaman 1dari 5

Malinda Helsa

200200251

Tugas Pertemuan 2
1.Prinsip hukum Internasional
1. Prinsip larangan mengancam atau menggunakan kekerasan (refrain of the threat and
use of force Principle)
Contoh ; Negara tidak boleh menggunakan ancaman atau kekerasan kepada negara lain saat
ingin mendapatkan sesuatu misalnya memperebutkan wilayah , negara tersebut tidak boleh
langsung menggunakan cara yang tidak sah dimata hukum, jalan penengah bagi masalah
tersebut adalah membawa kasus kepada Mahkamah Internasional salah satu kasus yang
pernah melalui Mahkamah Internasional adalah Sengketa Sipadan dan Ligitan
2. Penentuan nasib sendiri (self determination)
Contooh ;Prinsip ini merupakan hak bagi suatu bangsa untuk menentukan bentuk
pemerintahnya sendiri misalnya negara indonesia , Negara Indonesia memilih bentuk
pemerintahan, Presiden, bukan merupakan campur tangan dari negara lain.
3. Prinsip penghormatan universal dan penghormatan terhadap hak asasi manusia
(respecting for human rights) dan kebebasan dasar manusia bagi semua orang (fundamental
freedom).
Contoh ; Semua manusia memiliki Hak Asasi yang melekat padadirinya, sebagai manusia
lainnya harus saling mejaga hak asasi tersebut tidak bisa bertindak sesukanya, misalnya kita
tidak bisa membunuh atau menyakiti orang antar negara karena kita tidak suka dengan sistem
yang ada dalam negara mereka, tentu karena itu bukan menjadi tanggung jawab kita kita
tidak berbuat sesuai apa keinginan kita karena setiap manusia memiliki hak untuk dilindungi
dan memiliki kebebasan yang sama-sama perlu kita hormati.
Tugas Pertemuan 4
Jelaskan dan deskripsikan apa yang dimaksud dengan peremptory norms
Dalam bahasa Latin, Jus Cogens berarti ‘hukum memaksa’. Jus Cogens disebut sebagai
norma-norma yang diakui oleh masyarakat internasional memiliki kedudukan tertinggi dalam
hukum internasional. jika ada peraturan hukum yang bertentangan dengan Jus Cogens, maka
peraturan hukum tersebut dianggap batal , pernyataan ini juga dapat ditemukan pada Pasal 53
Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 (VCLT), suatu perjanjian internasional akan
null and void ketika bertentangan dengan Jus Cogens (dalam konvensi ini disebut sebagai
peremptory norms, yaitu sebutan lain dari (Jus Cogens).
Tugas Pertemuan 7
1. Dalam hukum internasional ada5 cara memperoleh wilayah yaitu Penambahan
Wilayah (Accretion), Cessie, Okupasi atau pendudukan (Occupation), Preskripsi,
Aneksasi atau Penaklukan.
Bergabungnya Timor Timur menjadi bagian wilayah Indonesia sebagai provinsi ke-27 pada
tahun 1976 adalah melalui integrasi. Integrasi adalah penggabungan sebuah wilayah ke dalam
suatu negara yang biasanya negara yang akan diajak berintegrasi tersebut letaknya berdekatan
dengan wilayah yang akan berintegrasi tersebut.
Aneksasi adalah perolehan wilayah kedaulatan territorial lain dengan cara ditaklukkan atau
wilayah tersebut berada dalam posisi yang lebih rendah dibanding negara yang akan
menganeksasi. Sedangkan okupasi adalah pendudukan atau penegakkan kedaulatan atas
wilayah yang bukan di bawah wewenang negara lain (Terra Nullius). Ketika Portugis
meninggalkan Timor Timur hingga terjadi kekosongan hukum, Timor Timur
mendeklarasikan dirinya sebagai Republik Demokratik Timor Timur pada tanggal 28
November 1976 oleh FRETILIN secara sepihak sebagai salah satu partai politik yang
mendominasi di Timor Timur. Deklarasi kemerdakaan tersebut mengundang amarah dari
partai politik lain
Hingga akhirnya meminta Indonesia untuk mengambil alih Timor Timur. Pada tanggal 17
Juni 1976, wakil dari Timor Timur yang pro integrasi menyampaikan petisi kepada Presiden
RI dan DPR RI yang kemudian Timor Timur resmi menjadi provinsi ke-27 di Indonesia.
Proses integrasi Timor Timur ke dalam wilayah Indonesia tersebut secara resmi disahkan
melalui UU No. 7 Tahun 1976 tentang Pengesahan Penyatuan Timor-Timur Ke Dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pembentukan Provinsi Daerah Tingkat I Timor-
Timur.

2.Pulau Palmas terletak antara tapal-batas dua negara, yaitu antara Indonesia-Filipina.
Miangas, pulau ini pernah dipersengketakan antara dua negara yaitu Amerika Serikat (yang
kala itu masih menjajah Filipina) dengan Kerajaan Belanda (yang juga menjajah kepulauan
Nusantara atau Hindia Belanda).

Karena tidak mendapatkan mufakat , sengketa tentang status kepemilikan Pulau Miangas ini
berakhir di Mahkamah Arbitrase Internasional. Pada tanggal 4 april 1928, Hakim Dr. Max
Hubert, arbitrator tunggal Mahkamah Arbitrase Internasional, menyatakan bahwa Miangas
adalah bagian dari wilayah Hindia Belanda. Oleh karena itu, Pulau Miangas berarti menjadi
milik kerajaan Belanda.

Pasca kemerdekaan masing-masing kedua negara (Republik Indonesia dan Filipina),


keputusan Arbitrase Internasional tentang pulau Miangas tetap dipegang teguh, baik oleh
Indonesia maupun Filipina. Pengakuan ini diperjelas lebih lanjut di dalam perjanjian Lintas
Batas (Border Crossing Agreement) antara Indonesia dan Filipina yang ditandatangani pada
tahun 1956.

Di dalam perjanjian ini, kedua negara mengakui bahwa Pulau Miangas merupakan pos lintas
batas di pihak Indonesia. Keputusan Arbitrasi Internasional ini diperkuat oleh hasil penelitian
dari 2 orang pakar hukum internasional, yaitu Willem Johan Bernard Versfelt dan Daniel-
Eramus Khan.
3.Fisheries Case ;

Pada beberapa abad lalu, nelayan - nelayan Inggris melakukan serbuan di perairan
yang berdekatan dengan pantai Norwegia. Namun karena adanya complain oleh Kerjaan
Norwegia, aktivitas yang dilakukan nelayan - nelayan Inggris itu sempat terhenti.,Pada tahun
1906 aktivitas tersebut kembali dilaksanakan, dengan menggunakan kapal pukat yang lebih
canggih. Insiden pertama terjadi pada tahun 1911, ketika sebuah pukat yang dimiliki oleh
Inggris ditangkap dan dihukum oleh Norwegia karena telah melanggar peraturan yang
dibuatmengenai daerah perbatasan 27 Juli 1933 Pemerintah Kerajaan Inggris mengirim
sebuah memorandum yang ditujukan untuk Pemerintah Norwegia yang mengenai keluhan
tentang luas laut teritorial serta pemanfaatannya oleh Norwegia. Namun pemerintah
Norwegia berpendapat bahwa mereka berwenang dan telah memberikan dasar batas yang
dibenarkan.Dekrit Norwegia pada tahun 1953 mengenai batat wilayah zona perikanan (laut
territorial) Inggris menyetujui zona tersebut .

Pemerintah Norwegiamembatasi wilayahnya di bagian utara (bagian utara dari lngkaran


kutub utara) yangdilindungi undang ± undang bagi warga negaranya. Membatasi zona
perikanan Norwegia(laut territorial) Pada 16 September 1948 Norwegia menjelaskan kepada
Kerajaan Inggris bahwa merekatidak dapat melakukan perjanjian tersebut. Inggris
memberikan jawaban bahwa batas - batas zona perikanan yang ditetapkan dalam Dekrit 1935
tidak sesuai dengan hukuminternasional dan menolaknya sebagai mana berlaku bagi kapal
nelayan Inggris. Sejak 16 September 1948 Norwegia mengganggu kapal nelayan Inggris
yang melakukan pemancingan di dalam garis batas 1935. Inggris mengklaim kerugian yang
diakibatkanoleh gangguan Norwegia tersebut Permasalahan hukum : Penetapan batas
perikanan ekslusif yang diterapkan oleh Norwegia dalam Royal Decreeditahun 1935 menurut
hukum Internasional yang digugat oleh Inggris bukanlah lebar jalur wilayah Norwegia
sebesar 4 mil akan tetapi cara penetapan batas perikanan ekslusif yang diterapkan oleh
Norwegia dengan cara penarikan garis pangkal lurus yangmenghubungkan titik-titik terluar
pada pantai Norwegia dan melalui deretan pulaudipantai

Preha Vihera Case


Dalam sengketa perebutan Kuil Preah Vihear antara Negara Kamboja dan
Thailand Sengketa ini sebenarnya sudah mendapat putusan dari International Court of Justice
(ICJ) atau Mahkamah Internasional pada tahun 1962 silam. Setelah keluarnya putusan dari
Mahkamah Internasional tersebut kedua belah pihak tidak melakukan protes keberatan atau
penolak keputusan tersebut, sehingga dapat disimpulkan bahwa kedua pihak telah sepakat
dengan putusan dari Mahkamah Internasional di Den Haag.
Namun konflik kembali mencuat setelah Kamboja mengajukan kawasan kuil
menjadi warisan dunia kepada The United Nations Educational, Scientific and Cultural
Organization (UNESCO), ternyata usulan tersebut disambut baik dengan penetapan
UNESCO tentang kawasan Kuil Preah Vihear yang menjadi salah satu World Herritage
atau warisan dunia pada tahun 2008. Dari hasil penetapan UNESCO negara Thailand
menentang hal tersebut dan mengeklaim bahwa kawasan kuil tersebut adalah milik
negara Thailand, sedangkan Kamboja dengan tegas mengeklaim bahwa kawasan kuil tersebut
milik mereka Dalam putusannya yang terbaru, Mahkamah menegaskan bahwa Kuil Preah
Vihear merupakan tempat relijius dan budaya yang sangat penting bagi masyarakat di region
tersebut. Mahkamah menyatakan berdasarkan Pasal 6 World Heritage Convention, dua belah
pihak –baik Kamboja dan Thailand- harus bekerja sama dengan masyarakat internasional
untuk melindungi warisan dunia itu. Selain itu, dua negara ini juga berkewajiban “untuk tidak
mengambil langkah-langkah yang dapat merusak kuil itu secara langsung maupun tidak
langsung”.

Sipadan dan Ligitan


Penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh Indonesia dan Malaysia dalam
menentukan kedaulatan di Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan suatu cara penyelesaian
sengketa secara damai, dengan cara Indonesia dan Malaysia memilih Mahkamah
Internasional untuk menyelesaikan sengketa ini, dalam dasar hukum di dalam penyelesaian
sengketa ini adalah pasal 2 ayat 3 dan pasal 33 Piagam PBB.
Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan bisa terjadi di karenakan ketidakjelasan garis
perbatasan yang dibuat oleh Belanda dan Inggris yang merupakan negara pendahulu dari
Indonesia dan Malaysia di perairan timur Pulau Borneo, sehingga pada saat Indonesia dan
Malaysia berunding untuk menentukan garis perbatasan kedua negara di Pulau Borneo,
masalah ini muncul karena kedua pihak saling mengklaim kedaulatan atas Pulau Sipadan dan
Ligitan. Berbagai pertemuan bilateral dilakukan oleh kedua negara dalam upaya melakukan
pemecahan atas sengketa ini namun sengketa ini tidak dapat diselesaikan, sehingga kedua
negara sepakat untuk menyerahkan penyelesaian sengketa ini kepada Mahkamah
Internasional.
Berbagai macam argumentasi dan bukti yuridis dikemukakan kedua pihak dalam
persidangan di Mahkamah Internasional, dan pada akhirnya Mahkamah Internasional
memutuskan bahwa kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan milik Malaysia
atas dasar prinsip okupasi, dimana Malaysia dan Inggris sebagai negara pendahulu lebih
banyak melaksanakan efektifitas di Pulau Sipadan dan Ligitan.
Pulau Batuh Puteh Case
Sengketa yang terjadi antara Malaysia dan Singapura atas Pulau Batu Puteh (Pedra
Branca) dimulai ketika Singapura mengajukan protes terhadap Malaysia pada tahun 1980 atas
peta yang dikeluarkan oleh Malaysia. Singapura menambah klaimnya pada tahun 1993,
Singapura mengklaim Middle Rocks dan South Ledge adalah milik singapura.
Dalam penyelesaian masalah ini Singapura dan Malaysia sepakat menempuh jalur litigasi ke
Mahkamah Internasional pada tahun 2003.Malaysia dan sinagpura sama-sama memiliki
argumen untuk mempertahankan pulau tersebut
Singapura menganggap adanya mercusuar yang dikelola adalah indikasi adanya
pengelolaan efektif dari pihak Singapura. Malaysia menganggap bahwa Pulau Batu Puteh
(Pedra Branca) adalah bagian dari kedaulatannya, sedangkan Singapura yang membangun
dan mengelola mercusuar tidaklah menghapus kedaulatan Malaysia. Singapura memperkuat
klaim tersebut berdasarkan pada surat yang ditulis dan dikirim oleh Pejabat Sekretaris Negara
Johor yang tidak mengklaim atas kepemilikan Pulau Batu Puteh (Pedra Branca).
Keberadaan Mahkamah Internasional merupakan salah satu cara penyelesaian
sengketa yang terjadi antar negara terkait dengan perbatasan, kepemilikan pulau. Dengan
bukti-bukti yang dikemukakan oleh Malaysia dan Singapura atas kepemilikan Pulau Batu
Puteh, lalu kemudian diputuskan oleh 16 hakim (14 memilih Singapura dan 4 memilih
Malaysia) bahwa kepemilikan atas Pulau Batu Puteh (Pedra Branca) adalah milik Singapura
dan Middle Rocks diberikan kepada Malaysia. Pada awalnya, mahkamah internasional
mengakui kepemilikan atas Pulau Batu Puteh adalah milik Malaysia, tapi Singapura bisa
menunjukkan bukti surat yang ditulis dan dikirim Pejabat Sekretaris Kesultanan Johor,
sehingga membuat para hakim menentukan kepemilikan atas pulau Batu Puteh menjadi milik
Singapura.

Western Sahara Case


Maroko adalah sebuah negara yang termasuk dalam kawasan
Timur Tengah. Namun, Maroko telah menyimpan konflik selama lebih dari 30 tahun
dengan Sahara Barat. Sahara Barat yang luasnya sama dengan Inggris terletak di barat
laut benua Afrika Ketika zaman penjajahan itu, Spanyol mendapatkan wilayah Sahara Barat
dan melakukan kolonisasi di Sahara Barat. Namun, saat itu Spanyol sebagai negara Eropa
yang paling lemah, sehingga Spanyol hanya mendapatkan separuh dari wilayah
Sahara Barat, sedangkan Perancis mendapatkan Maroko, Mauritania, dan Aljazair
yang berada di sekitar Sahara Barat.
Sahara Barat memiliki banyak sumber-sumber
mineral termasuk fosfat dan bijih besi, wilayah ini pun merupakan salah satu lahan
perikanan terbaik di dunia sehingga spanyol pun mendapatkan keuntungan ketika
menguasai Sahara Barat. Karena kolonialisme yang dilakukan oleh Spanyol, maka kelompok
yang mendukung kemerdekaan di Sahara barat pada tahun 1973 mendirikan gerakan
Polisario sebagai gerakan pembebasan Sahara Barat yang bertujuan untuk
memperjuangkan kemerdekaan kawasan Sahara Barat dari koloni Spanyol.
Mahkamah Internasional mengemukakan bahwa terdapat ikatan historis antara
wilayah Sahara Barat dengan Mauritania maupun Maroko tetapi hal tersebut tidak
dapat dikatakan sebagai sebuah bentuk kedaulatan territorial di western sahara antara
maroko ataupun Mauritania Sahara Barat bukanlah merupakan wilayah terra nullius 13
(tidak dimiliki siapapun) karena telah ada organisasi sosial dan politik yang diwakili
oleh para kepala suku yang memegang kendali atas wilayah tersebut.
Sahara dapat dikatakan merupakan wilayah bebas dimana tidak terdapat
kedaulatan sendiri maupun badan hukum di wilayah tersebut. Sehingga Sahara Barat
memilki hak untuk menentukan nasibnya sendiri (self determination). Hal ini sesuai
dengan Resolusi MU No. 1514(XV) dan juga merupakan suatu prinsip hukum umum
(ius cogens) dalam hukum internasional.

Anda mungkin juga menyukai