Ide untuk mengubah hukum laut Indonesia muncul pertama kali pada tahun
1956. Ide itu muncul karena adanya desakan dari Departemen Keamanan Republik
Indonesia untuk memperbaharui hukum laut yang lama (ordonantie 1939) karena
membahayakan kepentingan Indonesia. Pada tanggal 17 Oktober 1956, Perdana
Menteri Ali Sastroamidjojo menyetujui ide pembaharuan hukum laut Indonesia. Hal
ini diwujudkan dengan pembentukan panitia interdepartemental yang bertugas
merancang undang-undang mengenai wilayah perairan Indonesia dan lingkungan
maritim berdasarkan keputusan Perdana Menteri No.400/P.M./1956. Panitia ini
diketuai oleh Kolonel Pirngadi. Panitia yang diketuai Pirngadi berhasil menyelesaikan
rancangan undang-undang wilayah perairan Indonesia dan lingkungan maritim yang
baru selama 14 bulan.[1] Pada dasarnya, rancangan undang-undang itu masih
mengikuti ordonantie 1939, namun perbedaannya adalah bahwa laut teritorial
Indonesia ditetapkan dari 3 mil menjadi 12 mil. Sebelum rancangan undang-undang
ini disetujui, kabinet Ali Sastroamidjojo bubar dan digantikan oleh kabinet Djuanda.
Sejalan dengan ketegangan yang terjadi antara Belanda dan RI, kabinet Djuanda lebih
banyak memberi perhatian untuk menemukan sarana yang dapat memperkuat posisi
Indonesia dalam melawan Belanda yang lebih unggul. Untuk itu pada tanggal 1
Agustus 1957, Ir. Djuanda mengangkat Mochtar Kusumaatmadja untuk mencari dasar
hukum guna mengamankan keutuhan wilayah Indonesia. Akhirnya, Mochtar
Kusumaatmadja memberikan ide mengenai “asas archipelago” yang telah ditetapkan
oleh Mahkamah Internasional 3 pada 1951 seperti yang telah dipertimbangkan oleh
rancangan undang-undang sebelumnya yang tidak dijalankan dalam hukum laut
Indonesia. Sebagai alternatif terhadap rancangan undang-undang itu, disusunlah “asas
negara kepulauan”. Dengan menggunakan “asas archipelago” sebagai dasar hukum
laut Indonesia, maka Indonesia akan menjadi negara kepulauan atau “Archipelagic
State” yang merupakan suatu eksperimen radikal dalam sejarah hukum laut dan
hukum tata negara di dunia.
Pada tanggal 13 Desember 1957, panitia rancangan undang-undang laut teritorial dan
lingkungan maritim dipanggil Djuanda di Pejambon, Jakarta. ketuanya Pirngadi dan
Mochtar Kusumaatmadja kemudian menjelaskan peta Indonesia yang sudah
menggunakan konsep laut yang baru sebagai wilayah teritorial Indonesia bukan hanya
3 mil atau 12 mil dari garis air rendah. Hasil rapat kabinet kemudian memutuskan
konsep yang menyatakan bahwa “segala perairan disekililing dan diantara pulau-pulau
di Indonesia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari daratan dan berada
dibawah kedaulatan Indonesia” diterima sebagai hasil rapat. Kemudian keputusan ini
diumumkan Djuanda, yang kemudian dikenal dengan deklarasi Djuanda, yang
memiliki arti yang penting bagi perjuangan bangsa Indonesia untuk meningkatkan
pembangunan dan memantapkan kesatuan nasionalnya. Dengan demikian wilayah
laut Indonesia dihitung 12 mil dari garis-garis dasar yang menghubungkan titik-titik
terluar dari pulau-pulau Indonesia yang terluar, dengan demikian luas territorial
Indonesia berkembang dari dua juta km2 menjadi lima juta km. Meskipun Deklarasi
Djuanda belum diakui secara internasional, namun oleh pemerintah Indonesia,
deklarasi ini disahkan melalui keputusan Undang-Undang/ Prp No. 4/1960, bulan
Februari 1960. Undang-undang ini kemudian diperkuat dengan Keputusan presiden
no. 103/1963 yang menetapkan seluruh perairan nusantara Indonesia sebagai satu
lingkungan laut yang berada di bawah pengamanan Angkatan laut RI. Pengesaha
deklarasi Djuanda ini menimbulkan kecaman dari dunia Internasional, namun
Indonesia tetap bersikukuh bahwa deklarasi Djuanda merupakan solusi yang terbaik
untuk menjaga keutuhan laut Indonesia dan dipergunakan untuk kemamkmuran rakyat
Indonesia. Perjuangan ditempuh bangsa Indonesia untuk mendapatkan pengakuan
terhadap deklarasi Djuanda dengan mengikuti konferensi hukum laut yang diadakan
oleh PBB dalam UNCLOS I (United Nations Conference on the Law of Sea), di
Jenewa, Swiss pada tahun 1958. Pada tahun 1960 Indonesia mulai mengajukan
deklarasi Djuanda di UNCLOS II. Perjuangan tersebut belum berhasil. Namun
Pemerintah berusaha menciptakan landasan hukum yang kuat bagi deklarasi Djuanda
pada tanggal 18 Februari 1960. Meskipun pada awalnya deklarasi Djuanda banyak
ditentang oleh beberapa negara.
Baru pada konferensi Hukum laut PBB ke 3 (UNCLOS III), deklarasi Djuanda
kemudian diakui dalam konvensi hukum laut PBB di Montego Bay (Jamaika) pada
tanggal 10 Desember 1982. Indonesia kemudian meratifikasinya dalam undang-
undang No. 17/1985 pada tanggal 31 Desember 1985. Pada akhirnya deklarasi
Djuanda diakui oleh PBB sejak diucapkan oleh Perdana Menteri Ir. Djuanda, namun
baru diakui dunia internasional sejak 16 November 1994 setelah 60 negara
meratifikasinya.
Ternyata apa yang dibawa oleh Soepomo ini jauh menjadi lebih dominan dalam
pembahasan ideologi yang dibawakan oleh setiap tokoh yang akan menyampaikan
rumusan dasar Negara. Pemikiran Soepomo ini ternyata sejalan dengan apa yang
dibawakan oleh Soekarno pada saat itu yang ternyata mengacu pada nilai –nilai gotong
royong dan kekeluargaan. Dikarenkannya dominansi yang kuat atas ideology yang
dibawakan oleh Soepomo ini berimplikasi pada system pemerintahan selanjutnya.
Dalam melakukan penilaian terhadap konsepsi Negara integralis perlu diperhatikan
bahwa saat itu Soepomo memberikan masukan ini dikarenakan adanya suatu kecintaan
terhadap Negara agar tidak dijajah oleh Negara lain