Anda di halaman 1dari 4

Kelompok 4

1. Niken Nur Rohmah (19)


2. Nilam Asih Setiana (20)
3. Nur Azliani Zanuba (21)
4. Nurqomariyah S (22)
5. Nurul Fauziyah (23)
6. Rizka Wahyuni (24)

A. Konsepsi kewilayahan deklarasi djuanda

Deklarasi Djuanda merupakan perjuangan bangsa Indonesia untuk


memperjuangkan batas wilayah laut, sehingga wilayah Indonesia merupakan suatu
kesatuan yang utuh dilihat dari berbagai aspek, yaitu aspek politik, sosial budaya, dan
pertahanan keamanan. Deklarasi Djuanda pertama kali diucapkan oleh Ir. Djuanda
Kartawidjaja pada tanggal 13 Desember 1957. Djuanda Kartawidjaja sendiri
merupakan Perdana Menteri yang diangkat oleh Presiden Soekarno menggantikan Ali
Sastroamidjojo. Latar belakang Deklarasi Djuanda sendiri adalah akibat peraturan
warisan dari pemerintah kolonial Belanda mengenai hukum laut Indonesia yaitu
Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie 1939 (Staatsblad 1939 No. 422)
atau yang biasa disingkat dengan Ordonantie 1939. Ordonantie 1939 menetapkan
bahwa jarak laut teritorial bagi tiap pulau di Nusantara adalah tiga mil. Peraturan ini
memunculkan ‘kantong-kantong’ lautan bebas di tengah-tengah wilayah Indonesia
yang membuat kapal-kapal asing dapat berlayar secara bebas termasuk kapal-kapal
perang. Kapal-kapal Belanda dapat dengan bebas menjelajahi perairan laut di antara
pulau-pulau di Indonesia sesuai dengan hukum laut internasional yang berlaku saat
itu. Indonesia tidak memiliki hak untuk melarangnya ditambah kekuatan Angkatan
Laut Indonesia tidak sekuat Belanda. Keberadaan laut-laut bebas di antara pulau-
pulau di Indonesia ini terlihat janggal. Bagaimana wilayah suatu Negara yang
berdaulat dipisahkan oleh laut-laut bebas antara pulau-pulaunya. Oleh karena itu
muncullah ide untuk memperbaharui Ordonantie (hukum laut)1939.

Ide untuk mengubah hukum laut Indonesia muncul pertama kali pada tahun
1956. Ide itu muncul karena adanya desakan dari Departemen Keamanan Republik
Indonesia untuk memperbaharui hukum laut yang lama (ordonantie 1939) karena
membahayakan kepentingan Indonesia. Pada tanggal 17 Oktober 1956, Perdana
Menteri Ali Sastroamidjojo menyetujui ide pembaharuan hukum laut Indonesia. Hal
ini diwujudkan dengan pembentukan panitia interdepartemental yang bertugas
merancang undang-undang mengenai wilayah perairan Indonesia dan lingkungan
maritim berdasarkan keputusan Perdana Menteri No.400/P.M./1956. Panitia ini
diketuai oleh Kolonel Pirngadi. Panitia yang diketuai Pirngadi berhasil menyelesaikan
rancangan undang-undang wilayah perairan Indonesia dan lingkungan maritim yang
baru selama 14 bulan.[1] Pada dasarnya, rancangan undang-undang itu masih
mengikuti ordonantie 1939, namun perbedaannya adalah bahwa laut teritorial
Indonesia ditetapkan dari 3 mil menjadi 12 mil. Sebelum rancangan undang-undang
ini disetujui, kabinet Ali Sastroamidjojo bubar dan digantikan oleh kabinet Djuanda.
Sejalan dengan ketegangan yang terjadi antara Belanda dan RI, kabinet Djuanda lebih
banyak memberi perhatian untuk menemukan sarana yang dapat memperkuat posisi
Indonesia dalam melawan Belanda yang lebih unggul. Untuk itu pada tanggal 1
Agustus 1957, Ir. Djuanda mengangkat Mochtar Kusumaatmadja untuk mencari dasar
hukum guna mengamankan keutuhan wilayah Indonesia. Akhirnya, Mochtar
Kusumaatmadja memberikan ide mengenai “asas archipelago” yang telah ditetapkan
oleh Mahkamah Internasional 3 pada 1951 seperti yang telah dipertimbangkan oleh
rancangan undang-undang sebelumnya yang tidak dijalankan dalam hukum laut
Indonesia. Sebagai alternatif terhadap rancangan undang-undang itu, disusunlah “asas
negara kepulauan”. Dengan menggunakan “asas archipelago” sebagai dasar hukum
laut Indonesia, maka Indonesia akan menjadi negara kepulauan atau “Archipelagic
State” yang merupakan suatu eksperimen radikal dalam sejarah hukum laut dan
hukum tata negara di dunia.

Pada tanggal 13 Desember 1957, panitia rancangan undang-undang laut teritorial dan
lingkungan maritim dipanggil Djuanda di Pejambon, Jakarta. ketuanya Pirngadi dan
Mochtar Kusumaatmadja kemudian menjelaskan peta Indonesia yang sudah
menggunakan konsep laut yang baru sebagai wilayah teritorial Indonesia bukan hanya
3 mil atau 12 mil dari garis air rendah. Hasil rapat kabinet kemudian memutuskan
konsep yang menyatakan bahwa “segala perairan disekililing dan diantara pulau-pulau
di Indonesia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari daratan dan berada
dibawah kedaulatan Indonesia” diterima sebagai hasil rapat. Kemudian keputusan ini
diumumkan Djuanda, yang kemudian dikenal dengan deklarasi Djuanda, yang
memiliki arti yang penting bagi perjuangan bangsa Indonesia untuk meningkatkan
pembangunan dan memantapkan kesatuan nasionalnya. Dengan demikian wilayah
laut Indonesia dihitung 12 mil dari garis-garis dasar yang menghubungkan titik-titik
terluar dari pulau-pulau Indonesia yang terluar, dengan demikian luas territorial
Indonesia berkembang dari dua juta km2 menjadi lima juta km. Meskipun Deklarasi
Djuanda belum diakui secara internasional, namun oleh pemerintah Indonesia,
deklarasi ini disahkan melalui keputusan Undang-Undang/ Prp No. 4/1960, bulan
Februari 1960. Undang-undang ini kemudian diperkuat dengan Keputusan presiden
no. 103/1963 yang menetapkan seluruh perairan nusantara Indonesia sebagai satu
lingkungan laut yang berada di bawah pengamanan Angkatan laut RI. Pengesaha
deklarasi Djuanda ini menimbulkan kecaman dari dunia Internasional, namun
Indonesia tetap bersikukuh bahwa deklarasi Djuanda merupakan solusi yang terbaik
untuk menjaga keutuhan laut Indonesia dan dipergunakan untuk kemamkmuran rakyat
Indonesia. Perjuangan ditempuh bangsa Indonesia untuk mendapatkan pengakuan
terhadap deklarasi Djuanda dengan mengikuti konferensi hukum laut yang diadakan
oleh PBB dalam UNCLOS I (United Nations Conference on the Law of Sea), di
Jenewa, Swiss pada tahun 1958. Pada tahun 1960 Indonesia mulai mengajukan
deklarasi Djuanda di UNCLOS II. Perjuangan tersebut belum berhasil. Namun
Pemerintah berusaha menciptakan landasan hukum yang kuat bagi deklarasi Djuanda
pada tanggal 18 Februari 1960. Meskipun pada awalnya deklarasi Djuanda banyak
ditentang oleh beberapa negara.

Baru pada konferensi Hukum laut PBB ke 3 (UNCLOS III), deklarasi Djuanda
kemudian diakui dalam konvensi hukum laut PBB di Montego Bay (Jamaika) pada
tanggal 10 Desember 1982. Indonesia kemudian meratifikasinya dalam undang-
undang No. 17/1985 pada tanggal 31 Desember 1985. Pada akhirnya deklarasi
Djuanda diakui oleh PBB sejak diucapkan oleh Perdana Menteri Ir. Djuanda, namun
baru diakui dunia internasional sejak 16 November 1994 setelah 60 negara
meratifikasinya.

B. Konsepsi kesatuan menurut Mr. Soepomo


Negara ini lahir tidaklah semudah membalikkan tangan. Negara ini lahir dengan
adanya rasa kecintaan tanah air yang tumbuh dari para Founding Father. Sehingga pada
saat pembentukan dasar Negara maka Soepomo berkesempatan untuk menyampaikan
pemikiraanya dalam memberikan rumusan dasar Negara yang sekarang ini disebut
dengan pancasila. Pemikiran soepomo ini pun membawa beberapa nilai yang kemudian
disebut dengan tiga teori yang lahir dari pemikiran Negara integralistik ini terdiri atas :
1. Teori individualistic yang menekankan bahwa Negara adalah masyarakat hukum
yang disusun atas kontrak anatar seluruh individu dalam masyarakat demi menjamin
hak-hak individu di dalam masyarakat.
2. Teori pertentangan kelas atau teori golongan sebagaimana diajarkan oleh Karl
Marx, Engels dan Lenin. Dalam teori ini, negara merupakan alat dari suatu golongan
yang kuat untuk menindas golongan yang lemah.
3. Teori integralistik berarti negara tidak untuk menjamin kepentingan individu. Bukan
pula untuk kepentingan golongan tertentu, tetapi menjamin kepentingan masyarakat
seluruhya sebagai satu kesatuan yang integral.1
Pada saat itu terdapat lima hal yang dibawa oleh soepomo untuk menciptakan suatu
dasar Negara yang disebutnya dengan Negara Integralistik yang dinilai lebih sesuai
dengan semangat kekeluargaan. Sehingga melahirkan lima pokok pikiran terdiri atas
berikut :
1. Paham Negara Persatuan yang mana Negara Indonesia merupakan Negara dengan
banyak golongan maka diharpakan dengan totalitas dan intergralitas mampu
menyatukan semua golongan yang ada
2. Warga Negara hendaknya tunduk kepada Tuhan supaya ingat kepada Tuhan sesuai
dengan kepercayaan setiap golongannya.
3. Sistem Badan Permusyawaratan
4. Ekonomi Negara bersifat Kekeluargaan
5. Hubungan antar bangsa bersifat Asia Timur Raya
Sebelumnya Soepomo menjabarkan adanya tiga permasalahan yang harus diselesaikan
sebelumnya. Yang mana harus adanya pemilihan akan persatuan negara, negara serikat,
persekutan Negara. Berkaitan dengan hubungan antara Negara dan agama serta
pemilihan bentuk Negara yang tepat untuk Indonesia republic atau kerajaan. Untuk
menemukan jawaban dari permasalahan diatas maka kembali pada pandangan negaa
integralistik yang mana adanya persamaan antara para golongan tanpa pembedaan suku,
ras dan agama. Hal ini yang mampu di tonjolkan dalam pemikiran Soepomo yaitu ada
hak asasi manusia tanpa adanya diskriminasi. Ini lah yang menjadi keunggulan dari
konsep Negara integralistik. Namun di balik segala kelebihan yang dimiki oleh konsep
Negara integralistik ini ada kekurangan yang mengikutinya karena ternyata pemikiran
atas konsep Negara integralistik ini mengacu pada suatu Negara yang berideologikan
fasisme. Sehingga menimbulkan ada pendapat bahwa apa yang dibawa oleh Soepomo
akan konsepsi Negara integralistik sesuai dengan nilai-nilai dasar serta masyarakat
Indonesia. Namun dikarenakan adanya implikasi atas ideology yang sebelumnya
merujuk fasisme maka akan melahirkan suatu kewenangan yang otoriter didalam suatu
pemerintahan. Ini lah yang kemudian menjadi banyak perdebatan didalamnya baik
perdebatan antara Soepomo degan Soekarnmo, Moh.Yamin dan Hatta akan ideology
yang dibawa oleh Indonesia. 2 Hal ini membuat suatu pengaruh pada orde pemerintahan
di Indonesia sehingga membuat para akademisi mengungkapkan bahwa konsep negara
integralistik memang memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada negara,
khususnya kepala negara dalam kehidupan kenegaraan dan pemerintahan Indonesia.

Ternyata apa yang dibawa oleh Soepomo ini jauh menjadi lebih dominan dalam
pembahasan ideologi yang dibawakan oleh setiap tokoh yang akan menyampaikan
rumusan dasar Negara. Pemikiran Soepomo ini ternyata sejalan dengan apa yang
dibawakan oleh Soekarno pada saat itu yang ternyata mengacu pada nilai –nilai gotong
royong dan kekeluargaan. Dikarenkannya dominansi yang kuat atas ideology yang
dibawakan oleh Soepomo ini berimplikasi pada system pemerintahan selanjutnya.
Dalam melakukan penilaian terhadap konsepsi Negara integralis perlu diperhatikan
bahwa saat itu Soepomo memberikan masukan ini dikarenakan adanya suatu kecintaan
terhadap Negara agar tidak dijajah oleh Negara lain

Anda mungkin juga menyukai