Anda di halaman 1dari 3

Nama : Ayu Putri Handayani

NPM : 2121013
MK : Pendidikan Kewarganegaraan
Dosen Pengampu : Andriana Sofiarini, M.Pd

Tanggal 13 Desember 1957, Perdana Menteri Djuanda mengumumkan bahwa wilayah Indonesia itu
sebagai satu kesatuan. Apa latar belakangnya?

Lahirnya konsepsi wawasan nusantara bermula dari Perdana Menteri Ir. H. Djuanda Kartawidjaja
yang pada tanggal 13 Desember 1957 mengeluarkan deklarasi yang selanjutnya dikenal sebagai
Deklarasi Djuanda. Isi deklarasi tersebut sebagai berikut:
"Bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau- pulau yang termasuk
Negara Indonesia dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar
daripada wilayah daratan Negara Indonesia dan dengan demikian bagian daripada perairan pedalaman
atau nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak Negara Indonesia. Lalu lintas yang damai di
perairan pedalaman ini bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan sekedar tidak bertentangan
dengan/mengganggu kedaulatan dan keselamatan Negara Indonesia. Penentuan batas landas lautan
teritorial (yang lebarnya 12 mil)diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung yang terluar
pada pulau-pulau Negara Indonesia. Ketentuan-ketentuan tersebut di atas akan diatur selekas-lekasnya
dengan Undang-Undang
Isi pokok deklarasi ini adalah bahwa lebar laut teritorial Indonesia 12 mil yang dihitung dari
garis yang menghubungkan pulau terluar Indonesia. Dengan garis teritorial yang baru ini wilayah
Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah. Laut di antara pulau bukan lagi sebagai pemisah, karena
tidak lagi laut bebas, tetapi sebagai penghubung pulau.

Deklarasi Djuanda merupakan perjuangan bangsa Indonesia untuk memperjuangkan batas


wilayah laut, sehingga wilayah Indonesia merupakan suatu kesatuan yang utuh dilihat dari berbagai
aspek, yaitu aspek politik, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Deklarasi Djuanda pertama kali
diucapkan oleh Ir. Djuanda Kartawidjaja pada tanggal 13 Desember 1957. Djuanda Kartawidjaja
sendiri merupakan Perdana Menteri yang diangkat oleh Presiden Soekarno menggantikan Ali
Sastroamidjojo. Latar belakang Deklarasi Djuanda sendiri adalah akibat peraturan warisan dari
pemerintah kolonial Belanda mengenai hukum laut Indonesia yaitu Territoriale Zee en Maritieme
Kringen Ordonnantie 1939 (Staatsblad 1939 No. 422) atau yang biasa disingkat dengan Ordonantie
1939.

Ordonantie 1939 menetapkan bahwa jarak laut teritorial bagi tiap pulau di Nusantara adalah tiga
mil. Peraturan ini memunculkan ‘kantong-kantong’ lautan bebas di tengah-tengah wilayah Indonesia
yang membuat kapal-kapal asing dapat berlayar secara bebas termasuk kapal-kapal perang. Kapal-
kapal Belanda dapat dengan bebas menjelajahi perairan laut di antara pulau-pulau di Indonesia sesuai
dengan hukum laut internasional yang berlaku saat itu. Indonesia tidak memiliki hak untuk
melarangnya ditambah kekuatan Angkatan Laut Indonesia tidak sekuat Belanda. Keberadaan laut-laut
bebas di antara pulau-pulau di Indonesia ini terlihat janggal. Bagaimana wilayah suatu Negara yang
berdaulat dipisahkan oleh laut-laut bebas antara pulau-pulaunya. Oleh karena itu muncullah ide untuk
memperbaharui Ordonantie (hukum laut)1939.

Ide untuk mengubah hukum laut Indonesia muncul pertama kali pada tahun 1956. Ide itu muncul
karena adanya desakan dari Departemen Keamanan Republik Indonesia untuk memperbaharui hukum
laut yang lama (ordonantie 1939) karena membahayakan kepentingan Indonesia. Pada tanggal 17
Oktober 1956, Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo menyetujui ide pembaharuan hukum laut
Indonesia. Hal ini diwujudkan dengan pembentukan panitia interdepartemental yang bertugas
merancang undang-undang mengenai wilayah perairan Indonesia dan lingkungan maritim berdasarkan
keputusan Perdana Menteri No.400/P.M./1956. Panitia ini diketuai oleh Kolonel Pirngadi. Panitia
yang diketuai Pirngadi berhasil menyelesaikan rancangan undang-undang wilayah perairan Indonesia
dan lingkungan maritim yang baru selama 14 bulan.

Sebelum keluarnya Deklarasi Djuanda, wilayah Indonesia didasarkan pada Territoriale Zee en
Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939) atau dikenal dengan nama Ordonansi 1939,
sebuah peraturan buatan pemerintah Hindia Belanda. Isi Ordonansi tersebut pada intinya adalah
penentuan lebar laut lebar 3 mil laut dengan cara menarik garis pangkal berdasarkan garis air pasang
surut atau countour pulau/darat. Konsekuensi dari peraturan itu adalah terdapat lau-laut bebas atau
laut internasional yang dapat membahayakan kepentingan Indonesia sebagai negara kesatuan.Sebagai
contoh, di antara Pulau Jawa dan Kalimantan, terdapat laut internasional karena Ordonansi 1939
menyatakan bahwa wilayah laut Indonesia adalah tiga mil diukur dari garis rendah pantai di masing-
masing pulau.

Pada dasarnya, rancangan undang-undang itu masih mengikuti ordonantie 1939, namun
perbedaannya adalah bahwa laut teritorial Indonesia ditetapkan dari 3 mil menjadi 12 mil. Sebelum
rancangan undang-undang ini disetujui, kabinet Ali Sastroamidjojo bubar dan digantikan oleh kabinet
Djuanda. Sejalan dengan ketegangan yang terjadi antara Belanda dan RI, kabinet Djuanda lebih
banyak memberi perhatian untuk menemukan sarana yang dapat memperkuat posisi Indonesia dalam
melawan Belanda yang lebih unggul. Untuk itu pada tanggal 1 Agustus 1957, Ir. Djuanda mengangkat
Mochtar Kusumaatmadja untuk mencari dasar hukum guna mengamankan keutuhan wilayah
Indonesia. Akhirnya, Mochtar Kusumaatmadja memberikan ide mengenai “Asas Archipelago” yang
telah ditetapkan oleh Mahkamah Internasional 3 pada 1951 seperti yang telah dipertimbangkan oleh
rancangan undang-undang sebelumnya yang tidak dijalankan dalam hukum laut Indonesia. Sebagai
alternatif terhadap rancangan undang-undang itu, disusunlah “asas negara kepulauan”. Dengan
menggunakan “Asas Archipelago” sebagai dasar hukum laut Indonesia, maka Indonesia akan menjadi
negara kepulauan atau “Archipelagic State” yang merupakan suatu eksperimen radikal dalam sejarah
hukum laut dan hukum tata negara di dunia.

Pada tanggal 13 Desember 1957, panitia rancangan undang-undang laut teritorial dan lingkungan
maritim dipanggil Djuanda di Pejambon, Jakarta. Ketuanya Pirngadi dan Mochtar Kusumaatmadja
kemudian menjelaskan peta Indonesia yang sudah menggunakan konsep laut yang baru sebagai
wilayah teritorial Indonesia bukan hanya 3 mil atau 12 mil dari garis air rendah. Hasil rapat kabinet
kemudian memutuskan konsep yang menyatakan bahwa “segala perairan disekililing dan diantara
pulau-pulau di Indonesia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari daratan dan berada dibawah
kedaulatan Indonesia” diterima sebagai hasil rapat. Kemudian keputusan ini diumumkan Djuanda,
yang kemudian dikenal dengan deklarasi Djuanda, yang memiliki arti yang penting bagi perjuangan
bangsa Indonesia untuk meningkatkan pembangunan dan memantapkan kesatuan nasionalnya.
Dengan demikian wilayah laut Indonesia dihitung 12 mil dari garis-garis dasar yang menghubungkan
titik-titik terluar dari pulau-pulau Indonesia yang terluar, dengan demikian luas territorial Indonesia
berkembang dari dua juta km2 menjadi lima juta km.

Meskipun Deklarasi Djuanda belum diakui secara internasional, namun oleh pemerintah
Indonesia, deklarasi ini disahkan melalui keputusan Undang-Undang/ Prp No. 4/1960, bulan Februari
1960. Undang-undang ini kemudian diperkuat dengan Keputusan presiden no. 103/1963 yang
menetapkan seluruh perairan nusantara Indonesia sebagai satu lingkungan laut yang berada di bawah
pengamanan Angkatan laut RI. Pengesaha deklarasi Djuanda ini menimbulkan kecaman dari dunia
Internasional, namun Indonesia tetap bersikukuh bahwa deklarasi Djuanda merupakan solusi yang
terbaik untuk menjaga keutuhan laut Indonesia dan dipergunakan untuk kemamkmuran rakyat
Indonesia. Perjuangan ditempuh bangsa Indonesia untuk mendapatkan pengakuan terhadap deklarasi
Djuanda dengan mengikuti konferensi hukum laut yang diadakan oleh PBB dalam UNCLOS I
(United Nations Conference on the Law of Sea), di Jenewa, Swiss pada tahun 1958. Pada tahun 1960
Indonesia mulai mengajukan deklarasi Djuanda di UNCLOS II. Perjuangan tersebut belum berhasil.
Namun Pemerintah berusaha menciptakan landasan hukum yang kuat bagi deklarasi Djuanda pada
tanggal 18 Februari 1960. Meskipun pada awalnya deklarasi Djuanda banyak ditentang oleh beberapa
negara.

Baru pada konferensi Hukum laut PBB ke 3 (UNCLOS III), deklarasi Djuanda kemudian diakui
dalam konvensi hukum laut PBB di Montego Bay (Jamaika) pada tanggal 10 Desember 1982.
Indonesia kemudian meratifikasinya dalam undang-undang No. 17/1985 pada tanggal 31 Desember
1985. Pada akhirnya deklarasi Djuanda diakui oleh PBB sejak diucapkan oleh Perdana Menteri Ir.
Djuanda, namun baru diakui dunia internasional sejak 16 November 1994 setelah 60 negara
meratifikasinya.

Tak dapat dipungkiri, Deklarasi Djuanda membutuhkan perjalanan panjang sebelum diakui oleh
dunia. Berbagai penentangan dari negara adidaya, Amerika Serikat, serta Negara Australia menjadi
rintangan yang harus dihadapi. Beruntung, perjuangan diplomasi ini tetap diteruskan oleh Dr Hasyim
Djalal dan Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja. Hingga akhirnya, Deklarasi Djuanda diakui dan
ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut PBB atau United Nation Convention on Law of the Sea
(UNCLOS) tahun 1982.

Dengan diresmikannya Deklarasi Djuanda dalam UU No.4/PRP/1960 tentang Perairan


Indonesia, wilayah RI menjadi 2,5 kali lipat menjadi 5.193.250 km² dengan pengecualian Irian Jaya
yang saat itu belum diakui secara Internasional. Didasarkan perhitungan 196 garis batas lurus atau
straight baselines dari titik pulau terluar, terciptalah garis batas maya yang mengelilingi RI sepanjang
8.069,8 mil laut.

Dengan adanya Deklarasi Djuanda, Indonesia memiliki kedaulatan untuk mengelola dan menjaga
keamanan seluruh wilayah kelautan. Dampak lain yang dirasakan adalah penambahan luas wilayah
laut Indonesia yang awalnya 2.027.087 km², meningkat 2,5 kali lipat menjadi 5.193.250 km². Bagi
negara asing, Deklarasi Djuanda membuat kapal-kapal yang biasanya mencari ikan di perairan
Indonesia tidak dapat melakukan mobilisasi secara bebas karena seluruh sumber daya laut telah
menjadi milik Indonesia. Lebih lanjut, dampak Deklarasi Djuanda secara internasional bahkan
mengubah peraturan batas laut secara internasional.

Awalnya, Deklarasi Djuanda tidak dapat diterima secara internasional. Deklarasi ini
dikhawatirkan oleh sejumlah negara tetangga akan membatasi pergerakan akses perairan ke daerah
penangkapan ikan.Indonesia juga dikecam karena telah berpotensi mengganggu mobilitas perairan
internasional. Selain itu, Indonesia dianggap telah melanggar TZMKO 1939 terkait batas wilayah
laut.Agar kedaulatan mutlak atas perairan negara diakui, Indonesia terus mengupayakan adanya
peraturan perairan baru melalui forum-forum internasional.Perjuangan Indonesia berhasil.
Melalui Konvensi Hukum Laut PBB di Montego Bay, Jamaika, kedaulatan Indonesia sebagai
negara kepulauan dan peraturan tentang batas laut diakui dunia. Selanjutnya, Indonesia meneguhkan
konvensi tersebut melalui Undang-Undang nomor 17 tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi PBB
tentang Hukum Laut.

Anda mungkin juga menyukai