Anda di halaman 1dari 11

Deklarasi Djuanda

1. Deklarasi Djuanda

Konvensi Hukum Laut ██ menyetujui ██ menandatangani, tetapi belum menyetujui


Deklarasi Djuanda yang dicetuskan pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri
Indonesia pada saat itu, Djuanda Kartawidjaja, adalah deklarasi yang menyatakan kepada dunia
bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia
menjadi satu kesatuan wilayah NKRI.
Sebelum deklarasi Djuanda, wilayah negara Republik Indonesia mengacu pada Ordonansi
Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO
1939). Dalam peraturan jaman Hindia Belanda ini, pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan
oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil dari
garis pantai. Ini berarti kapal asing boleh dengan bebas melayari laut yang memisahkan pulau-
pulau tersebut.
Deklarasi Djuanda menyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip-prinsip negara kepulauan
(Archipelagic State) yang pada saat itu mendapat pertentangan besar dari beberapa negara,
sehingga laut-laut antarpulau pun merupakan wilayah Republik Indonesia dan bukan kawasan
bebas. Deklarasi Djuanda selanjutnya diresmikan menjadi UU No.4/PRP/1960 tentang Perairan
Indonesia. Akibatnya luas wilayah Republik Indonesia berganda 2,5 kali lipat dari 2.027.087 km²
menjadi 5.193.250 km². Dengan perhitungan 196 garis batas lurus (straight baselines) dari titik
pulau terluar, terciptalah garis maya batas mengelilingi RI sepanjang 8.069,8 mil laut.
Setelah melalui perjuangan yang penjang, deklarasi ini pada tahun 1982 akhirnya dapat diterima
dan ditetapkan dalam konvensi hukum laut PBB ke-III Tahun 1982 (United Nations Convention
On The Law of The Sea/UNCLOS 1982). Selanjutnya delarasi ini dipertegas kembali dengan
UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah negara
kepulauan.
Pada tahun 1999, Presiden Soeharto mencanangkan tanggal 13 Desember sebagai Hari
Nusantara. Penetapan hari ini dipertegas dengan terbitnya Keputusan Presiden RI Nomor 126
Tahun 2001, sehingga tanggal 13 Desember resmi menjadi hari perayaan nasional.
2. Wawasan Nusantara
Latar belakang dan proses terbentuknya wawasan nusantara setiap bangsa
Salah satu persyaratan mutlak harus dimiliki oleh sebuah negara adalah wilayah kedaulatan, di
samping rakyat dan pemerintahan yang diakui. Konsep dasar wilayah negara kepulauan telah
diletakkan melalui Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957. Deklarasi tersebut memiliki nilai
sangat strategis bagi bangsa Indonesia, karena telah melahirkan konsep Wawasan Nusantara
yang menyatukan wilayah Indonesia. Laut Nusantara bukan lagi sebagai pemisah, akan tetapi
sebagai pemersatu bangsa Indonesia yang disikapi sebagai wilayah kedaulatan mutlak Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Ada bangsa yang secara eksplisit mempunyai cara bagaimana ia memandang tanah airnya
beserta lingkungannya. Cara pandang itu biasa dinamakan wawasan nasional. Sebagai contoh,
Inggris dengan pandangan nasionalnya berbunyi: "Brittain rules the waves". Ini berarti tanah
Inggris bukan hanya sebatas pulaunya, tetapi juga lautnya.
Tetapi cukup banyak juga negara yang tidak mempunyai wawasan, seperti: Thailand, Perancis,
Myanmar dan sebagainya. Indonesia wawasan nasionalnya adalah wawasan nusantara yang
disingkat wasantara. Wasantara ialah cara pandang bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 tentang diri dan lingkungannya dalam eksistensinya yang sarwa
nusantara dan penekanannya dalam mengekspresikan diri sebagai bangsa Indonesia di tengah-
tengah lingkungannya yang sarwa nusantara itu. Unsur-unsur dasar wasantara itu ialah: wadah
(contour atau organisasi), isi, dan tata laku. Dari wadah dan isi wasantara itu, tampak adanya
bidang-bidang usaha untuk mencapai kesatuan dan keserasian dalam bidang-bidang:
Satu kesatuan wilayah
Satu kesatuan bangsa
Satu kesatuan budaya
Satu kesatuan ekonomi
Satu kesatuan hankam.
Jelaslah disini bahwa wasantara adalah pengejawantahan falsafah Pancasila dan UUD 1945
dalam wadah negara Republik Indonesia. Kelengkapan dan keutuhan pelaksanaan wasantara
akan terwujud dalam terselenggaranya ketahanan nasional Indonesia yang senantiasa harus
ditingkatkan sesuai dengan tuntutan zaman. Ketahanan nasional itu akan dapat meningkat jika
ada pembangunan yang meningkat, dalam "koridor" wasantara.
Konsep geopolitik dan geostrategi
Bila diperhatikan lebih jauh kepulauan Indonesia yang duapertiga wilayahnya adalah laut
membentang ke utara dengan pusatnya di pulau Jawa membentuk gambaran kipas. Sebagai satu
kesatuan negara kepulauan, secara konseptual, geopolitik Indonesia dituangkan dalam salah satu
doktrin nasional yang disebut Wawasan Nusantara dan politik luar negeri bebas aktif. ,
sedangkan geostrategi Indonesia diwujudkan melalui konsep Ketahanan Nasional yang
bertumbuh pada perwujudan kesatuan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan
keamanan. Dengan mengacu pada kondisi geografi bercirikan maritim, maka diperlukan strategi
besar (grand strategy) maritim sejalan dengan doktrin pertahanan defensif aktif dan fakta bahwa
bagian terluar wilayah yang harus dipertahankan adalah laut. Implementasi dari strategi maritim
adalah mewujudkan kekuatan maritim (maritime power) yang dapat menjamin kedaulatan dan
integritas wilayah dari berbagai ancaman.
Wawasan nusantara sebagai geopolitik Indonesia
Nusantara (archipelagic) dipahami sebagai konsep kewilayahan nasional dengan penekanan
bahwa wilayah negara Indonesia terdiri dari pulau-pulau yang dihubungkan oleh laut. Laut yang
menghubungkan dan mempersatukan pulau-pulau yang tersebar di seantero khatulistiwa.
Sedangkan Wawasan Nusantara adalah konsep politik bangsa Indonesia yang memandang
Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah, meliputi tanah (darat), air (laut) termasuk dasar laut
dan tanah di bawahnya dan udara di atasnya secara tidak terpisahkan, yang menyatukan bangsa
dan negara secara utuh menyeluruh mencakup segenap bidang kehidupan nasional yang meliputi
aspek politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam. Wawasan Nusantara sebagai konsepsi politik
dan kenegaraan yang merupakan manifestasi pemikiran politik bangsa Indonesia telah ditegaskan
dalam GBHN dengan Tap. MPR No.IV tahun 1973. Penetapan ini merupakan tahapan akhir
perkembangan konsepsi negara kepulauan yang telah diperjuangkan sejak Dekrarasi Juanda
tanggal 13 Desember 1957.
Pengertian dan hakekat wawasan nusantara
Wawasan Nusantara adalah cara pandang Bangsa Indonesia terhadap rakyat, bangsa dan wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi darat, laut dan udara di atasnya sebagai satu
kesatuan Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya dan Pertahanan Keamanan.

Penyelesaian Batas Maritim NKRI


Oleh JOENIL KAHAR
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0104/03/0801.htm
DALAM suatu negara, wilayah adalah salah satu unsur utama, selain dari dua unsur lainnya,
yaitu rakyat dan pemerintah. Oleh karena itu, adanya wilayah dalam suatu negara ditetapkan
dengan peraturan perundang-undangan. Suatu negara yang punya sistem pemerintahan negara
yang beberapa kewenangannya dilaksanakan oleh pemerintah daerah, wilayah pemerintahan
daerah juga ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam UUD 1945 yang asli tidak tercatum pasal mengenai "Wilayah Negara Republik
Indonesia". Namun demikian, pada umumnya kita sepakat bahwa ketika para pendiri negara ini
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, wilayah negara
Republik Indonesia punya cakupan wilayah Hindia Belanda. Oleh karena itu, wilayah negara
Republik Indonesia merupakan wilayah yang mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939,
yaitu Teriroriale Zeen en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939), pulau-pulau di
wilayah ini dipisahkan oleh laut di sekelilingnya. Dalam ordonansi ini setiap pulau hanya punya
laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Ini berarti kapal asing dengan leluasa dapat
melayari laut yang mengelilingi atau yang memisahkan pulau-pulau tersebut.
Pemerintah Indonesia menyadari bahwa sebagai kesatuan wilayah Indonesia hal ini sangat
merugikan bangsa Indonesia sehingga pada tanggal 13 Desember 1957 Pemerintah Indonesia
yang waktu itu dipimpin oleh Ir. Djuanda mengeluarkan pengumuman pemerintah yang dikenal
dengan Deklarasi Djuanda yang menyatakan bahwa negara Republik Indonesia merupakan
negara kepulauan (Archipelagic State). Pada dasarnya konsep deklarasi ini menyatakan bahwa
semua laut/perairan di antara pulau-pulau Indonesia tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) karena laut antarpulau merupakan laut penghubung dan satu
kesatuan dengan pulau-pulau tersebut.
Batas wilayah negara Indonesia adalah 12 mil dari garis pantai pulau-pulau terluar. Indonesia
punya wewenang untuk mengelola daerah kedaulatannya yang punya batas wilayah 12 mil dari
garis pantai pulau-pulau terluar tersebut. Termasuk kewenangan ini ruang udara di atasnya, dasar
laut (sea bed) dan tanah di bawah dasar laut (sub soil), serta semua sumber daya maritim baik
yang hidup maupun yang tidak. Tanggal 13 Desember 1957 ini kemudian menjadi tonggak
sejarah Kelautan Indonesia yang kemudian dikenal dengan Wawasan Nusantara. Deklarasi ini
diratifikasi melalui UU No. 4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia.
Bangsa Indonesia patut bangga karena berasal dari Deklarasi Djuanda tersebut, sebagian besar
hasil perjuangan bangsa Indonesia mengenai hukum laut internasional tercantum dalam
Konvensi PBB tentang Hukum Laut yang dikenal dengan United Nations Convension on the
Law of the Sea (UNCLOS) yang ketiga tahun 1982 yang selanjutnya disebut Hukum Laut
(Hukla) 1982. Pemerintah Indonesia meratifikasi HUKLA 1982 dengan Undang-Undang No. 17
Tahun 1985.
Upaya mencantumkan Wilayah Negara Republik Indonesia dalam UUD 1945 diawali dari
perubahan kedua dan terus berlanjut sampai pada perubahan keempat UUD 1945. Maka, dalam
Bab IX A tentang Wilayah Negara pada Pasal 25A tercantum Negara Kesatuan Republik
Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-
batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.
"Negara kepulauan berciri Nusantara" punya arti bahwa negara kepulauan yang dimaksud
terletak di antara dua benua dan dua samudra, Benua Asia dan Australia, serta Samudra Hindia
dan Pasifik. Jadi, pernyataan "sebuah negara kepulauan yang beciri Nusantara dan berbentuk
negara kesatuan dan republik" sudah menunjukkan di mana lokasi geografis negara kesatuan
yang berbentuk republik itu yang lengkapnya disebut Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selanjutnya dalam pasal tersebut dinyatakan "dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya
ditetapkan dengan undang-undang". Pernyataan ini punya makna bahwa NKRI yang merupakan
negara kepulauan wajib menetapkan batas teritorial wilayahnya baik wilayah darat dan laut.
Batas dan hak wilayah laut menurut Hukla 1982
Karena NKRI merupakan negara kepulauan, batas di wilayah laut mengacu kepada UNCLOS
82/HUKLA 82 yang telah diratifikasi dengan UU No. 17 Tahun 1985. Oleh karena itu, Indonesia
harus mengkaji dan menetapkan antara lain batas laut teritorial, batas zona tambahan (contiguous
zone), batas zona ekonomi ekslusiv (ZEE), batas landas kontinen (continental shelf).
Hak-hak, kewajiban, dan wewenang di dalam batas teritorial wilayah laut NKRI akan berbeda
dengan hak-hak dan wewenang di luar batas teritorial, tetapi terletak di dalam batas ZEE dan
batas landas kontinen. Berdasarkan Hukla, batas laut teritorial sejauh maksimum 12 mil laut dari
garis pantai, sedangkan garis pantai didefinisikan sebagai muka laut terendah. Jika dua negara
bertetangga punya jarak antara garis pantainya kurang dari 24 mil laut, batas teritorial antardua
negara tersebut adalah garis median. Garis median yaitu garis yang punya jarak yang sama
(equidistance) dengan garis pantai dari negara bertetangga tersebut. Sementara itu, yang
dimaksud dengan panjang 1 mil laut sama dengan 1852 meter. Dalam wilayah laut teritorial
berlaku hak-hak dan kewajiban dalam wilayah kedaulatan NKRI.
Batas laut teritorial diukur berdasarkan garis pangkal yang menghubungkan titik-titik dasar
bertempat di pantai terluar dari pulau-pulau terluar wilayah NKRI. Pengukuran ini merupakan
aspek teknis yang dilakukan oleh tenaga ahli geodesi yang mengerti tentang aspek legal dari
penetapan batas. Jadi, dalam penetapan batas sangat diperlukan keterpaduan aspek teknis dan
legal. Untuk mendukung hal itu, sangat diperlukan informasi kewilayahan NKRI seperti
informasi pulau-pulau terluar beserta nama-namanya.
Dapat dipahami bahwa UUD 1945 (asli) yang dikeluarkan setelah proklamasi kemerdekaan
belumlah sempurna, seperti belum tercantumnya wilayah negara. Kira-kira lima tahun bangsa
Indonesia berjuang mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan sehingga tahun
1950 mulailah bangsa Indonesia menata negara dengan sistem pemerintahan yang disepakati
pada waktu itu. Setelah tujuh tahun bangsa hidup dalam penataan negara secara normal,
berdampingan, sejajar, dan sama tinggi dengan negara-negara lain barulah satu tonggak sejarah
tentang wilayah negara diumumkan, yaitu pada tanggal 13 Desember 1957. Setelah 46 tahun
Deklarasi Djuanda itu sudah sejauh mana Indonesia dapat menyelesaikan batas-batas di laut
terutama batas laut teritorial.
Dinamika penetapan batas wilayah negara
Dinamika penetapan batas wilayah negara perlu kita simak. Deklarasi Djuanda diratifikasi
melalui UU No. 4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia. Dalam UU ini dicantumkan koordinat
geografis titik-titik dasar pantai terluar dari pulau terluar di wilayah negara. Pulau-pulau Sipadan
(kl. 10,4 ha) dan Ligitan (kl. 7,9 ha) tidak termasuk daftar pulau terluar. Pada tanggal 8 Agustus
1996 diterbitkan UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang isinya sangat umum,
yaitu menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan Hukla 82 (yang telah diratifikasi dengan UU
No. 17 Tahun 1985 dan menyatakan bahwa UU No. 4/PRP/1960 tentang Perairan tidak berlaku
lagi. Daftar koordinat titik-titik dasar pantai terluar dari pulau terluar tidak tercantum dalam UU
No. 6 Tahun 1996 ini.
Jadi, secara legal, wilayah negara menjadi tidak jelas. Pada tanggal 16 Juni 1998 dikeluarkan
Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 1998 tentang Koordinat Geografis Titik Dasar Kepulauan di
Laut Nusantara. Dengan menganggap bahwa semua titik pangkal lengkap dengan koordinat
geografisnya yang tercantum pada Undang-Undang No. 4/PRP/1960 masih berlaku, artinya
semangat Deklarasi Djuanda yang menjiwai UU No. 4/PRP/1960, PP No. 61 Tahun 1998 ini
adalah upaya bangsa Indonesia menutup kantong Natuna yang masih terdapat dalam UU No.
4/PRP/1960. Pada tanggal 28 Juni 2002 keluar PP No. 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat
Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Dalam PP No. 38/2002 ini
dicantumkan titik pangkal di Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Dengan keluarnya keputusan
Mahkamah Internasional tentang kasus Sipadan dan Ligitan, PP No. 38/2002 ini perlu dicabut
dan segera diganti dengan yang baru.
Hal mengenai wilayah negara tercantum pada UUD 1945 pada perubahan kedua UUD 1945 Bab
IX A pasal 25E yang ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR tahun 2000 yang kemudian berubah
menjadi pasal 25 A pada perubahan keempat UUD 1945 yang ditetapkan dalam Sidang Tahunan
MPR Tahun 2002 yang bunyinya sudah disampaikan di awal tulisan ini.
Peran perguruan tinggi
Dengan inisiatif para pakar penetapan batas dari Universitas Padjadjaran (Unpad) dari aspek
legal dan dari Institut Teknologi Bandung (ITB) dari aspek teknis pada awal tahun 2003 dibentuk
Forum Kajian Kewilayahan NKRI. Pada tanggal 15 Februari 2003 forum ini menyelenggarakan
Diskusi Panel bertema "Reaktualisasi Wawasan Nusantara Dalam Persektif Kesatuan Wilayah
Negara Republik Indonesia" di Unpad yang dengan sponsor utama Lembaga Penelitian Unpad.
Sebagai lanjutannya pada tanggal 15 Desember 2003, dalam rangka 46 tahun Deklarasi Djuanda
diselenggarakan workshop dengan tema "Status, Realisasi, dan Permasalahan Penataan Batas
Maritim Indonesia dengan Negara Tetangga, Kasus Batas RI-Singapura" yang
penyelengaraannya berdasarkan kerja sama antara Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan
Masyarakat (LPPM) ITB dengan Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional
(Bakosurtanal). Pertemuan yang diselenggarakan di Unpad dan ITB pada awal dan akhir tahun
2003 ini menyatakan perlunya kejelasan dalam masalah kelembagaan dalam penetapan batas
wilayah negara. Penetapan batas wilayah negara adalah kerja sama antara Departeman Dalam
Negeri, Departemen Pertahanan, TNI, Bakosurtanal, dan departemen lainnya yang terkait.
Semoga dengan tetap dalam semangat Deklarasi Djuanda penetapan batas-batas maritim
kepulauan Indonesia segera terselesaikan.

Visi Maritim Indonesia: Apa Masalahnya?


03 Agustus 2005 09:33:13
Sarwono Kusumaatmadja

KETIKA Republik Indonesia diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945, wilayah negara adalah
tinggalan Hindia Belanda, dan belum menjadi negara kepulauan. Menurut Territoriale Zee en
Maritieme Kringen Ordonantie 1939, maka batas laut teritorial Indonesia adalah 3 mil laut dari
pantai. Dengan demikian maka perairan antar pulau pada waktu itu adalah wilayah internasional.
Wilayah laut kita dengan rezim hukum laut seperti disebut di atas hanyalah seluas kira-kira
100.000 km2. Secara fisik pulau-pulau Indonesia dipisahkan oleh laut, walaupun secara kultur
konsep kewilayahan kita tidak membedakan penguasaan antara laut dan darat. Bangsa Indonesia
adalah satu-satunya bangsa di dunia yang menamakan wilayahnya sebagai tanah air.

Pada tanggal 13 Desember 1957 Pemerintah RI melalui deklarasi Perdana Menteri Ir. Djuanda
mengklaim seluruh perairan antar pulau di Indonesia sebagai wilayah nasional. Deklarasi di atas
yang kemudian dikenal sebagai Deklarasi Djuanda, adalah pernyataan jati diri sebagai negara
kepulauan, di mana laut menjadi penghubung antar pulau, bukan pemisah. Klaim ini bersamaan
dengan upaya memperpanjang batas laut teritorial menjadi 12 mil dari pantai, kemudian
diperjuangkan oleh Indonesia untuk mendapat pengakuan internasional di PBB, suatu perjuangan
panjang yang meliwati 3 rezim politik yang berbeda yaitu Demokrasi Liberal, Demokrasi
Terpimpin dan Orde Baru.

Kendati prinsip negara kepulauan mendapat tentangan dari negara-negara besar seperti Amerika
Serikat, akhirnya pada tahun 1982 lahirlah Konvensi kedua PBB tentang Hukum Laut (2nd
United Nations Convention on the Law of the Sea, disingkat UNCLOS) yang mengakui konsep
negara kepulauan, sekaligus juga mengakui konsep Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang
diperjuangkan oleh Chili dan negara-negara Amerika Latin lainnya. Setelah diratifikasi oleh 60
negara maka UNCLOS kemudian resmi berlaku pada tahun 1994. Berkat perjuangan yang gigih
dan memakan waktu, Indonesia mendapat pengakuan dunia atas tambahan wilayah nasional
sebesar 3,1 juta km2 wilayah perairan dari hanya 100.000 km2 warisan Hindia Belanda,
ditambah dengan 2,7 juta km2 Zone Ekonomi Eksklusif yaitu bagian perairan internasional
dimana Indonesia mempunyai hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber daya alam termasuk
yang ada di dasar laut dan di bawahnya.

Konsep Negara Kepulauan (Nusantara) memberikan kita anugerah yang luar biasa. Letak
geografis kita strategis, di antara dua benua dan dua samudra dimana paling tidak 70% angkutan
barang melalui laut dari Eropa, Timur Tengah dan Asia Selatan ke wilayah Pasifik, dan
sebaliknya, harus melalui perairan kita. Wilayah laut yang demikian luas dengan 17.500-an
pulau-pulau yang mayoritas kecil memberikan akses pada sumber daya alam seperti ikan,
terumbu karang dengan kekayaan biologi yang bernilai ekonomi tinggi, wilayah wisata bahari,
sumber energi terbarukan maupun minyak dan gas bumi, mineral langka dan juga media
perhubungan antar pulau yang sangat ekonomis.

Panjang pantai 81.000 km (kedua terpanjang di dunia setelah Canada ) merupakan wilayah
pesisir dengan ekosistem yang secara biologis sangat kaya dengan tingkat keanekaragaman
hayati yang tinggi. Secara metereologis, perairan nusantara menyimpan berbagai data metrologi
maritim yang amat vital dalam menentukan tingkat akurasi perkiraan iklim global. Di perairan
kita terdapat gejala alam yang dinamakan Arus Laut Indonesia (Arlindo) atau the Indonesian
throughflow yaitu arus laut besar yang permanen masuk ke perairan Nusantara dari samudra
Pasifik yang mempunyai pengaruh besar pada pola migrasi ikan pelagis dan pembiakannya dan
juga pengaruh besar pada iklim benua Australia.

SAYANGNYA keuntungan yang luar biasa di atas sebagai konsekuensi jati diri bangsa
nusantara tidak disertai dengan kesadaran dan kapasitas yang sepadan. Bangsa Indonesia masih
mengidap kerancuan identitas. Di satu pihak mempunyai persepsi kewilayahan tanah air, tetapi
memposisikan diri secara kultural sebagai bangsa agraris dengan puluhan juta petani miskin yang
tidak sanggup kita sejahterakan, sedangkan kegiatan industri modern sulit berkompetisi dengan
bangsa lain, antara lain karena budaya kerja yang berkultur agrarian konservatif, disamping
berbagai inefisiensi birokrasi dan korupsi. Industri pun kita bangun tidak berdasar pada
keunggulan kompetitif namun pada keunggulan komparatif, tanpa kedalaman struktur dan tanpa
masukan keilmuan dan teknologi yang kuat. Tradisi kepelautan kita dinyatakan dengan
kemampuan melayari Samudra Pasifik dengan kapal Pinisi Nusantara dan selamat sampai
Vancouver, tapi kapal yang sama pecah dan tenggelam menabrak karang di Kepulauan Seribu
dalam perjalanan lokal yang sederhana.

Di zaman Bung Karno Angkatan Laut kita pernah menjadi keempat terbesar di dunia setelah
Amerika Serikat, Uni Soviet dan Iran. Tetapi kekuatan itu tidak riel dan hanya temporer karena
tidak dibangun atas kemampuan sendiri, namun karena bantuan Uni Soviet dalam kerangka
permainan geopolitik.

Selama itu, berbagai rencana di bidang kelautan dan kemaritiman dibuat dan dideklarasikan
namun kelembagaan kelautan, pembangunan perekonomian maritim dan pembangunan sumber
daya manusia tidak pernah dijadikan arus utama pembangunan nasional, yang didominasi oleh
persepsi dan kepentingan daratan semata. Dewan Kelautan Nasional memang dibuat tetapi
dengan mandat terbatas dan menduduki hirarki yang tidak signifikan dalam kelembagaan
pemerintahan.

Segala paradoks tadi terus menerus memunculkan gugatan demi gugatan yang makin nyaring
dari masyarakat kelautan kita yang kemudian menciptakan kelembagaan berupa Departemen
Kelautan dan Perikanan pada tahun 1999 dan juga Dewan Maritim Indonesia pada tahun yang
sama, dengan ruang lingkup tugas yang lebih luas dibandingkan dengan Dewan Kelautan
Nasional di zaman Orde Baru.

Mudah-mudahan era presidensi Susilo Bambang Yudhoyono merupakan titik balik menentukan
dalam kehidupan maritim kita. Melalui Inpres 5 tahun 2005 “asas cabotage” dihidupkan kembali.
[“asas cabotage” adalah prinsip hukum yang dianut oleh sebagian besar negara maritim dunia
yang menyatakan bahwa angkutan di dalam suatu negara hanya dapat diangkut oleh kapal yang
berbendera dari negara yang bersangkutan —Red]. Demikian juga otoritas moneter telah
menetapkan kapal sebagai benda yang boleh diagunkan. Kebijakan Kelautan (Ocean Policy)
sedang dalam penyusunan termasuk visi maritim didalamnya, seiring dengan langkah-langkah
konkrit lanjutan menyangkut industri strategis dan kelembagaan pelabuhan.

Perlu diterangkan bahwa antara istilah kelautan dan maritim harus dibedakan. Kelautan merujuk
kepada laut sebagai wilayah geopolitik maupun wilayah sumber daya alam, sedangkan maritim
merujuk pada kegiatan ekonomi yang terkait dengan perkapalan, baik armada niaga maupun
militer, serta kegiatan ekonomi yang berhubungan dengan itu seperti industri maritim dan
pelabuhan. Dengan demikian kebijakan kelautan merupakan dasar bagi kebijakan maritim
sebagai aspek aplikatifnya.

Terlepas dari rumusan final visi maritim Indonesia, ada beberapa hal yang perlu
dipertimbangkan. Antara lain, pertama, negara perlu mempunyai kebijakan kelautan yang jelas
dan bervisi ke depan karena menyangkut geopolitik bangsa dan dengan demikian berwawasan
global dan menyangkut pula kebijakan-kebijakan dasar tentang pengelolaan sumber daya alam di
samping sumber daya ekonomi pada umumnya. Demi daya saing bangsa kita perlu berangkat
dari keunggulan kompetitif yang bisa berbasis lokal.

Kedua, kebijakan kelautan adalah kebijakan negara kepulauan sehingga variabel keruangan
harus lengkap, tidak hanya monodimensional laut. Konsep tri-matra (darat-laut-udara), karena
kemajuan ilmu dan teknologi serta peningkatan kesadaran lingkungan hidup menjadi tidak
lengkap untuk sekarang dan masa depan. Yang lebih mengena adalah variabel multi-matra (darat
termasuk pegunungan; permukaan air dari mata air di hulu sampai permukaan laut; kolom air di
sungai, danau maupun laut; pesisir; dasar laut; bawah dasar laut; atmosfir; stratosfir dan angkasa
luar), jumlahnya 9 matra. Sejak Presiden Soeharto meluncurkan satelit Palapa pada dekade 1970-
an sebenarnya kita telah masuk ke era ruang angkasa, tidak sekedar tri-matra, demikian juga
sekarang ketika kita mulai merentang kabel telekomunikasi bawah laut, masuk ke matra dasar
laut. Tetapi tetap saja kita menggunakan tri-matra sebagai acuan keruangan, mungkin karena
terlanjur menjadi manusia penghafal.

Sesuai kemampuan untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan publik yang lebih
kompleks, serta kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi tentunya variabel keruangan
bisa dikembangkan. Dengan demikian kebijakan kelautan bukanlah pengganti kebijakan masa
lampau yang terkesan kuat dominan berorientasi daratan.

Ketiga, hirarki ruang juga perlu ditentukan, yaitu ruang di mana kita berdaulat penuh, ruang di
mana kita punya hak berdaulat, dan ruang di mana kita perlu punya pengaruh baik eksklusif
maupun melalui kerjasama politik, ekonomi dan pertahanan.

Keempat, pemerintah perlu menuntaskan seluruh kewajiban yang tercantum dalam UNCLOS,
karena penting artinya bagi effektifitas kedaulatan kita. Adalah ironis bahwa Indonesia sebagai
pelopor konsep negara kepulauan lantas nantinya tertinggal dalam pengamanan kedaulatan
wilayahnya. Sekiranya hal ini terjadi maka posisi kita secara geopolitik akan lemah, serta
memicu berbagai sengketa di wilayah laut yang sulit kita atasi, apalagi dengan kekuatan militer
maritim yang demikian kecil. Peristiwa Sipadan/Ligitan dan peristiwa Ambalat merupakan
peringatan dini terhadap kemungkinan masalah lebih besar di kemudian hari.

Kelima, kalau semua hal di atas sudah jelas arahnya, maka visi maritim dapat dibangun dan
kekuatan maritim dapat dibangkitkan sepadan dengan tuntutan geopolitik bangsa dan sesuai
dengan persepsi keruangan kita dan juga persepsi tentang keunggulan kompetitif baik yang
berbasis sumber daya alam, budaya, ilmu pengetahuan maupun geografi. Kebijakan perkapalan,
pelabuhan, transportasi antar matra, prioritas kegiatan ekonomi, pembangunan angkatan
bersenjata (militer dan polisi), kebijakan fiskal, kebijakan investasi, kebijakan enersi, kebijakan
dirgantara, kebijakan pembangunan daerah dan kawasan serta tatanan kelembagaan dan
kebijakan pembangunan sumber daya manusia merupakan turunan dari visi maritim dan visi
maritim juga adalah turunan dari kebijakan kelautan.

SETELAH semua itu selesai dan dirumuskan secara baik, kita mempunyai soal berikut, yaitu
mewujudkannya dalam implementasi. Banyak hal yang mempengaruhi implementasi visi dan
kebijakan maritim namun akar masalahnya berada dalam budaya agraris tradisional yang kita
warisi.

Masyarakat agraris tradisional di pedalaman cenderung statis, introvert dan feodal. Berlainan
dengan budaya pesisir yang lebih terbuka dan egaliter serta biasa memanfatkan pengaruh luar
karena interaksi niaga antar bangsa. Komunitas pesisir menjadi lemah di masa lampau karena
tidak adanya persepsi bersama menghadapi merkantilisme Eropa sehingga kerajaan-kerajaan
pesisir hancur ditaklukkan, menghadapi tekanan dari kolonialisme dan juga serangan dari
pedalaman. Dengan demikian budaya yang dominan adalah budaya agraris tradisional, yang
antara lain ditandai sampai sekarang oleh kebiasaan mayoritas anak-anak menggambar gunung,
sawah dan matahari dan nyaris tidak penah menggambar pemandangan pantai dan laut.

Mentalitas yang demikian tercermin pada orientasi pendidikan kita, yang cenderung melatih
orang untuk menghafal (statis), dengan ketaatan di luar batas pada guru (feodal) dan kebiasaan
guru untuk tidak terbuka dan tidak murah hati dalam mentransfer ilmu (introvert). Dengan kultur
demikian sulit bagi bangsa kita untuk berubah maju atas kehendak sendiri. Perubahan selalu
terjadi karena pengaruh eksternal yang tak tertahankan. Seringkali yang ditiru hanyalah tampak
luarnya bukan esensinya.

Visi dan program maritim hanya bisa sukses secara berkelanjutan jika terdapat basis kultur yang
terbuka, egaliter, haus pengetahuan dan menyukai tantangan perubahan. Pada jangka pendeknya
program maritim bisa berjalan dengan merekrut kalangan pengambil keputusan dan para pelaku
utama dari kalangan yang mempunyai kultur itu. Bisa juga dengan mengundang investasi asing
dari pihak yang lebih maju dalam hal di mana tidak terdapat kemampuan modal dan pengetahuan
dalam bidang-bidang tertentu. Tetapi pada jangka panjangnya yang diperlukan adalah perubahan
orientasi pendidikan, ke arah rasionalitas ilmu pengetahuan dan teknologi, kesadaran akan
sumber-sumber keunggulan kompetitif, kepekaaan budaya, kedalaman budi pekerti dan
penanaman sifat menyikapi tantangan perubahan secara positif.

Untuk menggambarkan betapa kita tidak siap menanggapi perubahan adalah tiadanya antisipasi
terhadap kemungkinan rencana Thailand untuk membuat kanal di semenanjung Kra, yang
pembangunannya bisa selesai kurang dari 10 tahun. Sekarang Thailand sedang berpikir keras
apakah mereka akan melanjutkan rencana tersebut. Sekiranya mereka membuatnya, adanya kanal
tersebut tentu amat mengurangi volume transportasi laut yang melalui perairan nusantara.

Sepintas lalu Singapura akan terpukul. Tetapi jangan lupa bahwa Singapura selalu merencanakan
dirinya berada di depan peristiwa. Mereka tidak perlu hanya mempertahankan keunggulannya
sebagai pusat pelayanan perhubungan laut. Mereka berencana menjadikan Singapura sebagai
pusat budaya dan pusat jasa bernilai tinggi sehingga corak ekonominya akan lebih canggih dan
kehidupannya lebih menarik, bukan seperti Singapura sekarang yang amat tertib, effisien tapi
membosankan.

Menteri Luar Negeri Singapura di masa lalu, Rajaratnam pernah mengatakan bahwa “Kami di
Singapura harus selalu berusaha maju setengah langkah melebihi negara-negara tetangga kami'”
Para ahli geografi ekonomi dapat memperkirakan ke arah mana pusat pertumbuhan ekonomi
regional Pasifik bergerak sekiranya kanal Kra menjadi kenyataan, tapi rasanya tidak pernah
terdengar apakah kita mempunyai skenario tertentu.

Pembangunan kanal Kra belum tentu merugikan Indonesia selama kita membangun kekuatan
ekonomi maritim sejalan dengan dinamika perubahan. Sekiranya kita pintar menjalin
interdependensi ekonomi antar wilayah dan selama kita lebih tergantung satu sama lain di antara
kita, lebih kuat dari ketergantungan eksternal, maka keutuhan bangsa dan negara akan senantiasa
terjamin.

Dengan kekayaan sumber daya alam yang juga sekaligus unik, sekiranya kita punya komitmen
kuat untuk membangun ekonomi berdaya saing, kita bisa menciptakan pasaran dalam negeri
yang besar dengan jumlah orang yang nantinya melebihi 250 juta, serta masih punya peluang
berperan dalam ekonomi global. Masalahnya, sudahkah kita berpikir dan bergerak ke sana?

SAAT ini kita kedatangan tamu dari India yaitu kapal induk Angkatan Laut India INS Virat
sebagai tamu TNI AL. Berlainan dengan TNI AL yang puncak kebesarannya di tahun 1960-an
didongkrak oleh bantuan Uni Soviet dalam rangka geopolitik, kekuatan militer India sepenuhnya
lahir dari kemampuan industri srategiknya yang sudah lama dibangun sejak awal
kemerdekaannya.

AL India dibesarkan supaya “Kekuatan angkatan laut kami sepadan dengan kemajuan-kemajuan
pesat India di bidang ekonomi”, demikian kira-kira bunyi pernyataan Panglima Armada Timur
India. Bisa diduga bahwa India melalui AL-nya bermaksud menjadikan Lautan Hindia sebagai
wilayah pengaruhnya, mungkin tidak sendirian, tetapi bersama-sama dengan Amerika Serikat.
Indikasi ini terlihat dari sikap lunak Amerika Serikat terhadap pengembangan teknologi nuklir
India.

Dari contoh India kita mendapat penegasan akan keharusan memperkuat bukan saja armada
niaga sesuai “asas cabotage”, tetapi juga memperkuat TNI AL karena di samping menyandang
fungsi pertahanan, di manapun juga angkatan laut mempunyai fungsi memproyeksikan kehadiran
negara dan fungsi diplomasi, terlebih lagi karena status kita sebagai negara kepulauan
mengharuskan kehadiran negara di wilayah perbatasan laut yang begitu luas.

Indonesia berada ditengah kehadiran negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Australia,
India dan Cina yang walaupun bukan negara kepulauan, namun sudah punya visi dan kebijakan
maritim, serta negara kecil seperti Singapura yang akan meraup keuntungan ekonomi dari
perkembangan itu, dan Thailand yang juga melakukan hal yang sama.

Jadi apa yang menjadi masalah bagi visi maritim Indonesia? Masalahnya adalah bahwa kita
harus menuntaskan jati diri bangsa sebagai penghuni negara kepulauan, dan perlu mempunyai
visi dan strategi yang cerdas dan kreatif untuk keluar dari paradigma agraris tradisional ke arah
paradigma maritim yang rasional dan berwawasan global. Bukan karena ingin menjadi negara
superpower tetapi demi kesejahteraan rakyat dan harga diri serta keamanan bangsa.

Bukan beralih ke laut karena sudah terlalu banyak problem di darat seperti pengurasan sumber
daya alam dan involusi pertanian, namun karena ingin mengintegrasikan sumber daya terestial
dengan sumber daya perairan untuk mencapai nilai ekonomi tertinggi.

Anda mungkin juga menyukai