Anda di halaman 1dari 12

Deklarasi Djuanda

Deklarasi Djuanda yang dicetuskan pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri
Indonesia pada saat itu, Djuanda Kartawidjaja, adalah deklarasi yang menyatakan kepada
dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan
Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI.
Sebelum deklarasi Djuanda, wilayah negara Republik Indonesia mengacu pada Ordonansi
Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeen en Maritieme Kringen Ordonantie 1939
(TZMKO 1939). Dalam peraturan zaman Hindia Belanda ini, pulau-pulau di wilayah
Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di
sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Ini berarti kapal asing boleh dengan bebas melayari
laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut.
Deklarasi Djuanda menyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip-prinsip negara kepulauan
(Archipelagic State) yang pada saat itu mendapat pertentangan besar dari beberapa negara,
sehingga laut-laut antarpulau pun merupakan wilayah Republik Indonesia dan bukan kawasan
bebas. Deklarasi Djuanda selanjutnya diresmikan menjadi UU No.4/PRP/1960 tentang
Perairan Indonesia. Akibatnya luas wilayah Republik Indonesia berganda 2,5 kali lipat dari
2.027.087 km menjadi 5.193.250 km dengan pengecualian Irian Jaya yang walaupun
wilayah Indonesia tapi waktu itu belum diakui secara internasional.
Berdasarkan perhitungan 196 garis batas lurus (straight baselines) dari titik pulau terluar
( kecuali Irian Jaya ), terciptalah garis maya batas mengelilingi RI sepanjang 8.069,8 mil
laut[1].
Setelah melalui perjuangan yang penjang, deklarasi ini pada tahun 1982 akhirnya dapat
diterima dan ditetapkan dalam konvensi hukum laut PBB ke-III Tahun 1982 (United Nations
Convention On The Law of The Sea/UNCLOS 1982). Selanjutnya delarasi ini dipertegas
kembali dengan UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 bahwa
Indonesia adalah negara kepulauan.
Pada tahun 1999, Presiden Abdurrahman Wahid mencanangkan tanggal 13 Desember sebagai
Hari Nusantara.[2] Penetapan hari ini dipertegas oleh Presiden Megawati dengan
menerbitkan Keputusan Presiden RI Nomor 126 Tahun 2001 tentang Hari Nusantara,
sehingga tanggal 13 Desember resmi menjadi hari perayaan nasional tidak libur.
Isi dari Deklarasi Juanda yang ditulis pada 13 Desember 1957, menyatakan:
1. Bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan yang mempunyai corak
tersendiri
2. Bahwa sejak dahulu kala kepulauan nusantara ini sudah merupakan satu kesatuan
3. Ketentuan ordonansi 1939 tentang Ordonansi, dapat memecah belah keutuhan
wilayah Indonesia dari deklarasi tersebut mengandung suatu tujuan :

1. Untuk mewujudkan bentuk wilayah Kesatuan Republik Indonesia yang utuh


dan bulat
2. Untuk menentukan batas-batas wilayah NKRI, sesuai dengan azas negara
Kepulauan
3. Untuk mengatur lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin keamanan
dan keselamatan NKRI

TZMKO (Territorial Zee en Maritime Krigen Ordonansi)


Pada saat bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, wilayah Indonesia
merupakan wilayah kepulauan yang sebelumnya merupakan wilayah kekuasaan Hindia
Belanda (tidak tercantum pada Undang-undang Dasar RI tahun 1945; UUD-45) dimana
pulau-pulau di wilayah ini dipisahkan oleh laut di sekelilingnya sesuai ketentuan TZMKO
1939. Ini berarti kapal asing dengan leluasa dapat melayari laut yang mengelilingi atau
yang memisahkan pulau-pulau tersebut.
Atas dasar ketentuan peralihan dalam Undang-undang Dasar 1945 (UUD-45), maka
ketentuan yang erat terkait dengan masalah wilayah RI adalah Territorial Zee en Maritime
Krigen Ordonansi tahun 1939 (TZMKO-39). Maka sesuai dengan ketentuan yang berlaku
pada TZMKO-39, negara RI terdiri dari pulau-pulau besar dan kecil yang satu sama lain
dipisahkan oleh laut dan/atau selat di sekelilingnya, lihat ilustrasinya dalam Peta 1. Hal
ini jelas tidak menguntungkan Indonesia. Ini berarti kapal asing pada waktu itu dapat
dengan leluasa melayari laut atau selat yang mengelilingi atau disekitar pulau-pulau kita
hingga tiga mil-laut mendekati pantai. Hal itu jelas mengancam eksistensi keutuhan
wilayah negara RI dipandang dari sudut mana pun. Ketentuan TZMKO-1939 tersebut
dirasa sangat merugikan negara RI yang baru berdiri pada saat itu, karena Indonesia
hanya memiliki laut wilayah sejauh 3 mil-laut saja, sehingga antara pulau-pulau Indonesia
yang berjumlah 13.000 lebih menjadi terpisah-pisahkan oleh laut dan selat karenanya.
Pada tanggal 13 Desember 1957 pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan deklarasi,
yang kemudian dikenal dengan Deklarasi Djuanda, menyatakan bahwa laut antar pulau
tidak terpisahkan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Laut antar pulau
merupakan laut penghubung, sehingga laut di antara pulau-pulau merupakan satu
kesatuan dengan pulau-pulau tersebut. Batas laut wilayah (territorial) Indonesia adalah 12
mil-laut dari garis pantai kearah laut lepas, dan Indonesia mempunyai kewenangan untuk
mengelola daerah kedaulatannya yang mempunyai batas wilayah 12 mil dari garis pantai
tersebut. Hal ini dipertegas dengan UU RI No. 4/Prp. tahun 1960 tentang Perairan
Indonesia. Secara implisit UU ini menyatakan klaim kedaulatan atas pulau-pulau terluar
Indonesia dan sekali gus klaim atas laut wilayah (laut territorial) Indonesia.
Pada tanggal 17 Februari 1969 dikeluarkan Pengumuman Pemerintah (Deklarasi) tentang
Landas Kontinen Indonesia yang kemudian dipertegas dengan UU RI No. 1 tahun 1973.
Laut di atas landas kontinen ini merupakan laut zone ekonomi eksklusif (ZEE)/laut
internasional dengan batas sejauh 200 mil-laut dari garis pantai yang dapat dimanfaatkan
Indonesia. Selama era ini, khususnya mulai 1969 hingga satu decade, Pemerintah RI
gencar melakukan perundingan-perundingan batas baik batas-batas darat, maupun batasbatas maritime, baik secara bilateral maupun trilateral. Setelah keputusan politik pada
tahun 1973 tersebut di atas, dalam kurun waktu 1974 hingga akhir tahun 1998, terdapat
perubahan politik dan hasil diplomasi politik yang substansial dan berhubungan dengan
batas-batas maritime NKRI. Yaitu (i) adanya pernyataan politik rakyat Timor-Timur, yang
dibiarkan/ditinggalkan oleh pemerintah penjajahan Portugal, untuk berintegrasi dengan

NKRI pada tahun 1974 melalui deklarasi bersama, dan (ii) diakuinya eksistensi negara RI
sebagai negara kepulauan oleh masyarakat dunia melalui Konvensi PBB tentang Hukum
Laut tahun 1982, dan (iii) diundangkannya perubahan daftar titik-titik dasar garis pangkal
Indonesia disekitar laut Natuna pada tahun 1998. Menindak lanjuti kemauan politik
rakyat Timor-Timur tahun 1974 tersebut, maka pada tahun 1978 melalui Ketetapan MPR
No. VI tahun 1978 dinyatakan lah Timor-Timur berintegrasi dengan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, sebagai Provinsi yang ke-27. Keputusan/Ketetapan tersebut dengan
sendirinya mempengaruhi keadaan batas-batas wilayah maritime Indonesia disekitar
pulau Timor dan laut Timor.
Usaha memperjuangan wawasan nusantara melalui diplomasi politik di tingkat dunia
akhirnya membuahkan hasil pada Konvensi PBB tentang Hukum Laut di Wina pada
tahun 1982, atau dikenal dengan sebutan UNCLOS-82. Berdasarkan ketentuan UNCLOS82 tersebut Indonesia diakui oleh dunia sebagai sebuah negara kepulauan (archipelagic
state). Indonesia telah mengikatkan diri terhadap ketentuan UNCLOS-82 sejak tahun
1985, yaitu melalui UU RI No. 17/1985 tentang Ratifikasi UNCLOS-82. Secara
internasional ketentuan UNCLOS-82 dinyatakan efektif berlaku sejak 16 Nopember
1994. Menindak lanjuti hal ini, Indonesia kemudian melakukan perubahan terhadap UU
RI No. 4/Prp.1960 melalui penetapan UU RI No. 6/1996 tentang Perairan Indonesia, serta
menetapkan formasi titik-titik dasar (base points) baru di kepulauan Natuna sehingga
sesuai dengan ketentuan UNCLOS-82 melalui PP No. 61 tahun 1998, sehingga
tertutuplah kantong Natuna, maka dengan sendirinya juga mengubah batas-batas laut
territorial dan laut yurisdiksi Indonesia. Keputusan-keputusan politik di atas jelas telah
memantapkan fondasi bagi penentuan batas-batas maritime Indonesia. Selain
memantapkan fondasi bagi penentuan batas-batas maritime NKRI, pada tahun 1998 juga
ditandai dengan adanya kesepakatan bilateral antara Indonesia dengan Australia tentang
batas-batas ZEE diantara kedua negara.
BATAS-BATAS MARITIM DI ERA DEMOKRATISASI INDONESIA
Seperti dijelaskan tadi, keputusan-keputusan politik di atas telah memantapkan fondasi
bagi penentuan batas-batas maritime Indonesia. Akan tetapi perjuangan menyelesaikan
batas-batas maritime NKRI belum lah selesai dan nampaknya masih akan berjalan
panjang. Memasuki era demokratisasi baru di Indonesia yang dimulai sejak akhir tahun
1998, ternyata juga ada kaitannya dengan perkembangan peta batas-batas maritim NKRI.
Dalam kurun waktu dari akhir tahun 1998 sampai saat ini, dapat dicatat peta perubahan
batas-batas maritime Indonesia yang secara dominan ditandai dengan: (i) hasil jajak
pendapat (referendum) rakyat di Timor-Timur pada tahun 1999 yang berakhir dengan
terbentuknya negara baru Republik Demokratik Timor-Leste (RDTL), (ii) ditetapkannya
Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2002 (PP No. 38/2002) bulan Juli 2002, dan (iii)
diputuskannya status kepemilikan pulau-pulau Sipadan dan Ligitan menjadi milik
Malaysia oleh Mahkamah Internasional (ICJ) di Den Haag pada 17 Desember 2002.
Hasil jajak pendapat (referendum) rakyat Timor-Timur tahun 1999 menghasilkan
keputusan politik berdirinya negara RDTL memberikan pekerjaan rumah (PR) baru untuk
penyelesaian batas-batas negara baik di darat maupun di laut (maritime). Beberapa titik
dasar garis pangkal kepulauan harus ditetapkan untuk melengkapi daftar koordinat
geografis titik-titik dasar garis pangkal kepulauan Indonesia yang ada dalam lampiran PP
No. 38/2002. Selain batas-batas darat dan laut antara RI dengan RDTL, harus pula
ditetapkan kembali beberapa titik batas maritime (ZEE dan landas kontinen) yang telah
disepakati bersama antara Indonesia dengan Australia beberapa tahun yang lalu, secara
trilateral.
Ditetapkannya PP No. 38/2002, pada bulan Juli 2002, ternyata masih harus diperbaiki,
selain karena adanya garis-garis pangkal yang terputus, juga karena adanya keputusan ICJ

tentang status kepemilikan pulau-pulau Sipadan dan Ligitan sebagai milik Malaysia.
Rangkaian garis pangkal yang terputus adalah disekitar selat Leti, selat Wetar, selat
Ombai dan laut Sawu dikarenakan status negara RDTL yang semula merupakan bagian
dari NKRI. Selain adanya keputusan-keputusan politik dan ketetapan mahkamah
internasional di atas, terdapat usaha komisi teknis batas landas kontinen bersama antara
pemerintah Indonesia dengan pemerintah Vietnam untuk delimitasi batas-batas landas
kontinen di laut China Selatan, yang pada tahun 2003 telah mencapai kesepakatan
bersama. Namun demikian kesepakatan tersebut masih harus ditindak lanjuti dengan
proses legislasi berupa ratifikasi.
Penentuan batas laut yang dianut Indonesia adalah regim hukum perbatasan International
di laut sesuai ketentuan UNCLOS-82, dimana Indonesia memiliki regim Negara
Kepulauan (Archipelagic State regime). Termasuk dalam regim tersebut adalah regim titik
pangkal dan garis pangkal, regim laut territorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif
(ZEE), dan landas kontinen. Sebagai konsekwensinya Indonesia harus menyediakan
ALKI sesuai dengan ketentuan regim alur laut kepulauan. Disamping itu untuk laut yang
berhadapan dengan negara tetangga yang jaraknya kurang dari ketentuan batas minimal,
terdapat regim median line maupun regim equity in benefits. Selain regim-regim batas
maritime, Indonesia juga memiliki regim-regim batas darat dengan tiga negara tetangga.
BATAS-BATAS LAUT DAERAH OTONOM
Era Otonomi Daerah dimulai pada tahun 1999, yaitu dengan diundangkannya paket
Undang-undang Otonomi Daerah berupa UU RI No. 22 tahun 1999 dan UU RI No. 25
tahun 1999. Didalam kerangka otonomi daerah ini, dikenal azas desentralisasi tugas dan
kewenangan Pemerintahan secara lebih luas dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah
Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota. Adakah hubungannya dengan peta batas maritime
Negara RI, jelas tidak ada. Akan tetapi ada hal baru dalam system pengelolaan wilayah
maritime Indonesia, dimana Pemerintah Daerah memiliki/diberikan kewenangan
pengelolaan di wilayah laut sesuai dengan ketentuan Pasal 3 dan Pasal 10 ayat (3) UU RI
No. 22/1999. Ketentuan mana tidak pernah dikenal sebelumnya didalam UU RI No.
5/1974 tentan Pemerintah Daerah.
PERLUNYA SISTEM TERPADU BAGI PENGELOLAAN MASALAH BATAS NKRI
Perubahan (amandemen) terakhir Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945 (UUD-45), Bab IXA, tentang Wilayah Negara pada Pasal 25A menyatakan: Negara
Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara
dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal ini jelas menyebutkan bentuk negara Indonesia adalah Negara Kesatuan Republik
(Unity Republic) yang berwujud negara kepulauan (archipelagic state). Konvensi PBB
tentang Hukum Laut Internasional tahun 1982 (UNCLOS 82), Bab IV, Pasal 46
mendefinisikan negara kepulauan sebagai berikut:
(a) archipelagic State means a State constituted wholly by one or archipelagos and may
include other islands;
(b) archipelago means a group of islands, including parts of islands, interconnecting
waters and other natural features are so closely interrelated that such islands, waters and
other features form an intrinsic geographical, economic and political entity, or which
historically have been regarded as such.
Negara kepulauan berciri Nusantara mempunyai arti Negara kepulauan yang terletak di
antara dua benua dan dua samudera; yang dimaksud dengan dua benua adalah Benua Asia
dan Benua Australia dan yang dimaksud dengan dua samudera adalah Samudera Hindia
dan Samudera Pasifik. Dalam pernyataan sebuah negara kepulauan yang berciri
Nusantara dan berbentuk negara kesatuan republik ini baru menunjukkan dimana lokasi
geografis negara kesatuan yang berbentuk republik yang bernama Negara Republik

Indonesia. Kemudian, dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan


dengan undang-undang mempunyai makna bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) yang merupakan Negara Kepulauan itu masih harus menetapkan batas-batas dan
hak-haknya, yaitu batas dan hak kedaulatan dan yurisdiksi lainnya di darat, di laut, dan di
ruang udara.
NKRI merupakan negara kepulauan yang secara internasional telah diakui dunia, maka
batas-batas wilayahnya di laut harus mengacu kepada ketentuan dalam Konvensi
Persatuan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut Internasional tahun 1982 (United Nations
Convention on the Law of the Sea 1982; UNCLOS-82). Indonesia menjadi para pihak
yang terikat dengan Konvensi tersebut karena telah meratifikasinya dengan UndangUndang RI No. 17 tahun 1985 (UU No. 17/1985). Atas ketentuan UNCLOS-82 tersebut,
batas-batas maritime yang harus ditetapkan oleh RI adalah batas laut territorial dan batas
zona tambahannya (contiguous zone), batas zona ekonomi ekslusif (ZEE), serta batas
landas kontinennya. Hak dan wewenang didalam batas laut teritorial, akan berbeda
dengan hak dan wewenang di dalam batas ZEE dan hingga batas landas kontinen,
sehingga pengaturannya lebih lanjut hendaknya ditetapkan dengan undang-undang.
Read more: http://agung-theraider.blogspot.com/2012/02/tzmko-territorial-zee-enmaritime.html#ixzz2PMDuUDX4

Latar Belakang Timbulnya Dasar Hukum NKRI


Menilik sejarah, negara Indonesia yang cukup dikenal wilayahnya merupakan
kumpulan dari pulau-pulau besar dan kecil, dalam praktek ketatanegaraannya telah
memperlakukan ketentuan selebar 12 mil laut. Dimana pada tanggal 13 Desember
1957 pemerintah RI mengeluarkan pernyataan yang dikenal Deklarasi H. Djuanda.
Dikeluarkannya deklarasi ini dimakhsudkan untuk menyatukan wilayah daratan yang
terpecah-pecah sehingga deklarasi akan menutup adanya lautan bebas yang berada
di antara pulau-pulau wilayah daratan.
Adapun pertimbangan-pertimbangan yang mendorong pemerintah RI sebagai suatu
negara kepulauan sehingga mengeluarkan pernyataan mengenai wilayah perairan
Indonesia adalah :
1. Bahwa bentuk Geografi Indonesia yang berwujud negara kepulauan, yang
terdiri atas 13.000 lebih pulau-pulau besar dan kecil yang tersebar di lautan.
2. Demi untuk kesatuan wilayah negara RI, agar semua kepulauan dan perairan
( selat ) yang diantaranya merupakan kesatuan yang utuh dan tidak dapat

dipisahkan antara pulau yang satu dengan pulau yang lainnya, atau antara
pulau dengan perairannya.
3. Bahwa penetapan batas perairan wilayah sebagai menurut Teritoriale Zee en
Mariteme Kringen Ordonampie 1939 yang dimuat dalam Staatsblad 1939 no
442 pasal 1 ayat (1 ) sudah tidak cocok lagi dengan kepentingan Indonesia
setelah merdeka
4. Bahwa Indonesia setelah berdaulat sebagai suatu negara yang merdeka,
mempunyai hak sepenuhnya dan berkewajiban untuk mengatur segala
sesuatunya,

demi

untuk

keamanan

dan

keselamatan

negara

serta

bangsanya.
Ketentuan-ketentuan yang mengatur hak laut Indonesia
Republik Indonesia merupaka negara kepulauan yang berwawasan Nusantara.
Secara Geografis, keberadaan pulau-pulau yang tersebar di wilayah Indonesia
sangat startegis. Karena berdasarkan pulau-pulau tersebut batas negara ditentukan.
Telah diketahui bahwa dalam membentuk suatu negara, wilayah merupakan salah
satu unsur utama selain tiga unsur lainnya, yaitu rakyat, pemerintahan dan
kedulatan. Oleh karena itu adanya wilayah dalam suatu negara ditetapkan dengan
peraturan perundang-undangan begitu pula dengan Indonesia. Dalam UUD 1945
yang asli tidak tercantum pasal mengenai wilayah NKRI. Namun demikian pada
umumnya telah disepakati bahwa ketika para pendiri negara ini memprokalmasikan
kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, wilayah negara RI ini
mencakup wilayah Hindia-Belanda. Oleh karena itu, wilayah negara RI merupakan
wilayah yang mengacu pada Ordansi Hindia-Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zee en
Mariteme Kringen Orelonantie 1939 ( Tzmku 1939 ), pulau-pulau di wilayah ini
dipisahkan untuk laut disekelilingnya. Dalam Ordonansi/peraturan ini setiap pulau
memiliki laut disekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Hal ini berarti kapal asing
dengan leluasa dapat melayari laut yang mengelilingi atau yang memisahkan pulaupulau tersebut. Peraturan ini diusulkan oleh seorang penulis Italia Galliani. Ia
mengusulkan 3 mil sebagai batas perairan netral.
Dinamika Hak Laut Indonesia
Pemerintah Indonesia menyadari bahwa sebagai kesatuan wilayah Indonesia hal ini
dirasa sangat merugikan bangsa Indonesia sehingga pada tanggal 13 Desember

1957, saat pemerintahan Indonesia dipimpin oleh Ir. Djuanda mengeluarkan


pengumuman pemerintah yang dikanal dengan Deklarasi Djuanda yang menyatakan
bahwa Negara Republik Indonesia merupakan negara kepulauan ( Archipelagie
State ). Pada dasarnya konsep deklarasi ini menyatakan bahwa semua laut atau
perairan diantara pulau-pulau Indonesia tidak terpisahkan dari negara Kesatuan
Republik Indonesia ( NKRI ) karena laut antar pulau merupakan laut penghubung
dan satu kesatuan dengan pualu-pulau tersebut.
Adapun pertimbangan-pertimbangan yang mendorong perombakan batasan wilayah
NKRI sebagai berikut :
1.

Bahwa bentuk Geografi Indonesia yang berwujud negara kepulauan, yang terdiri
atas 13.000 lebih pulau-pulau besar dan kecil yang tersebar di lautan.

2.

Demi untuk kesatuan wilayah NKRI, agar semua kepulauan dan perairan ( selat )
yang ada diantaranya merupakan kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan
antara pulau yang satu dengan yang lainnya atau antar pulau dengan perairannya.

3. Bahwa penetapan batas perairan wilayah sebagaimana menurut Teritoriale Zee en


Mariteme Kringen Orelonantie 1939 yang dimuat di dalam Staatsblad 1939 no 442
pasal 1 ayat ( 1 ) sudah tidak cocok dengan kepentingan Indonesia setelah
merdeka.
4.

Bahwa Indonesia setelah berdaulat sebagai suatu negara yang mrdeka,


mempunyai hak sepenuhnya dan berkewajiban untuk mengatur segala sesuatunya,
demi untuk keamanan dan keselamatan negara serta bangsanya.
Deklarasi Djuanda ini disahkan melalui UU no 4 / PRT / 1960 tenyang perairan
Indonesia dan menjadi tonggak Sejarah kelautan Indonesia yang kemudian dikenal
dengan Wawasan Nusantara, yang merupakan konsepsi kewilayahan.
Dari Deklarasi Djuanda ini, maka sebagian besar hasil perjuangan bangsa Indonesia
mengenai hukum laut Internasional tercantum dalam konfrensi PBB tentang hukum
laut yang dikenal dengan United Nation Conferention on The Law of The Sea
(Unclos) III tahun 1982 yang selanjutnya disebut hukum laut (Hukla) 1982.
pemerintahan Indonesia merasifikan Hukla 1982 dengan UU no 17 tahun 1985.
Upaya mencantumkan wilayah NKRI dalam UU 1945 diawali dari perubahan ke dua
dan terus berlanjut sampai pada pasal 25 A tercantum NKRI adalah sebuah negara
kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan haknya
ditetapkan dengan UU.

Berdasarkan Hukla, batas laut teritorial sejauh maksimum 12 mil dari laut dari garis
pantai, sedangkan garis pantai didefinisikan sebagai muka laut terendah. Jika dua
negara bertetangga mempunyai jarak antara pantainya kurang dari 24 mil laut ( 1 mil
laut = 1852 m ), batas teritorial antara 2 negara tersebut adalah Median.
Adapun aturan hukum tentang wilayah laut ( perairan ) yang relevan dengan
beberapa ketentuan UUD 1945
1. Ketentuan-ketentuan UUDS 1945 dan ketetapan MPR yang diimplementasikan :
1.1. Pembukaan UUD 1945 alenia IV
1.2. UUD 1945 pasal 1 ayat ( 1 )
1.3. UUD 1945 pasal 30 ayat ( 1 )
1.4. Ketetapan MPR no II / MPR / 1983
2. Peraturan perundang-undangan tentang wilayah laut ( perairan ) yang
mengimplementasikannya
2.1. Undang-undang no 4 PRP tahun 1960 tentang perairan Indonesia

( Wawasan

Nusantra )
2.2. Peraturan pemerintah no 8 tahun 1962 tentang lalu lintas laut damai kendaraan air
asing dalam perairan Indonesia.
2.3. Keputusan Presiden RI no 16 tahun 1971, tentang pemberian izin berlayar bagi
segala kegiatan kendaraan asing dalam wilayah perairan Indonesia.
2.4. UU no 1 tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia
2.5. UU no 5 tahun 1983, tentang Zona Ekonomi Ekslkusif Indonesia
2.6. Peraturan Pemerintah no 15 tahun 1984 tentang pengolahan SDA hayati di Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia
2.7. UU no 20 tahun 1982, tentang ketentuan-ketentuan pokok pertahanan keamanan
NKRI
Persetujuan Pemenrintah Indonesia dengan berapa negara dalam penetapan garis
batas Kontinen
Persetujuan pemerintahan Indonesia dengan beberapa negara yang berbatasan
tidak lepas dengan hak dan kewajiban persetujuan yang telah dilakukan mengatur
masalah Landasan Kontinen dua negara atau lebih berbentuk peraturan
perundangan mempunyai konsekuensi untuk dilaksanakan, terjadinya pelanggaran
perbatasan berarti kemungkinan ketegangan akan timbul, oleh sebab itu disajikan
batas-batas wilayah sehingga garis batas Landas Kontinen antara :

1. Pemerintahan Indonesia dengan pemerintahan Malaysia


Persetujuan ke dua negara tersebut bagi pemerintahan Indonesia yang telah
disahkan secara konstitusionil diwujudkan dalam bentuk keputusan Presiden yaitu
Keputusan Presiden RI no 89 tahun 1969 menetapkan, mengesahkan persetujuan
antara pemerintah RI dengan pemerintah Indonesia tentang penetapan garis batas
landas kontinen antara ke dua negara yang di tanda tangani para delegasi masingmasing di Kuala Lumpur pada tanggal 17 Agustus 1969.
2. Pemerintah Indonesia dengan pemerintah Malaysia dan Kerajaan Thauland
Hasil persetujuan delegasi-delegasi RI dengan Malaysia dan Kerajaan Thailand di
tanda tangani di Kuala Lumpur tanggal 21 Desember 1971 dan oleh pemerintah
Indonesia secara Konstitusional di tuangkan dalam bentuk Keputusan Presiden
pada 11 Maret 1972, yaitu Keputusan Presiden no 20 tahun 1972 tentang
pengesahan persetujuan antara pemerintah RI, pemerintah Malaysia dan Kerajaan
Thailand dalam penetapan garis-garis batas Kontinen di bagian utara selat Malaka.
3. Pemerintah RI dengan Pemerintah Thailand.
Hasil persetujuan antara pemerintahan RI dengan pemerintahan kerjaan Thailand
membicarakan batas landas kontinen dua negara dibagian selat Malaka dan di laut
Andaman, untuk memisahkan bagian kedaulatan ke dua negara di bagian wilayah
Kontinennya dan di tanda tangani di Bangkok pada tanggal 17 Desember 1971 dan
oleh pemerintahan RI disahkan dalam bentuk keputusan Presiden yang ditetapkan
pada tanggal 11 Maret 1972, yaitu keputusan presiden no 21 tahun 1972.
4. Pemerintah RI dengan pemerintah Filipina.
Sistem yang dianut Filipina dalam penetapan batas landas kontinennya adalah
sistem yang sama dengan yang dianut oleh Indonesia yakni Middle Line atau
Ekuedistant, baik Indonesia maupun Filipina kedua nya adalah negara kepulauan.
Pada bulan Mei 1979 Filipina mengumumkan ZEE 200 milnya, dengan terjadinya
penetapan batas tersebut oleh masing-masing pihak dan diukur dari garis-garis
pangkal

darimana

diukur

laut

teritorial

masing-masing

yang

mengelilingi

kepulauannya, maka di baigian selatan Filipina ( selatan Mindanau ) dan bagian


utara Indonesia ( Laut Sulawesi dan Sangir Talaud ).
5. Pemerintah RI dan pemerintah Vietnam
Vietnam telah mengeluarkan pernyataan mengenai wilayah perairannya pada
tanggal 12 Mie 1977 dan menetapkan UU Maritimnya pada bulan Januari 1980.
Dalam UU tersebut ditetapkan bahwa wilayah maritim Virtnam adalah sejauh 200 mil

laut dengan perincian 12 mil laut Teritorial, 2 mil wilayah menyangga dan selebihnya
ZEE. Menurut Guy Sacerdotti dalam tulisannya tahun 1980 menyebutkan bahwa
pihak Indonesia berpendirian bahwa tidak ada wilayah yang tumpang tindih dengan
pihak Vietnam.
6. Pemerintah RI dengan pemerintah Papua Nugini
Kedua negara sudah membicarakan sebelumnya pada bulan Mei 1978 yang
menegaskan bahwa perjanjian-perjanjian dahulu tetap mempunyai daya laku dan
akan diadakan persetujuan final mengenai penetapan ke dua negara, juga dalam
pernyataan bersana tersebut disebutkan bahwa tindakan-tndakan yang diambil oleh
pihak Papua Nugini untuk menetapkan Zona perikanan 200 mil serta kebijakannya
dalam pergolakan sumber-sumber daya hayati dalam zona tersebut diakui.
Konsepsi Wawasan Nusantara menjelma menjadi pasal-pasal Konvensi Hukum
Laut
Konsepsi penguasaan lautan oleh negara atau pulau yang didekatnya (dikelilingi)
seperti yang termaktub di dalam ordinasi tersebut pada hakikatnya berasal dari
adanya kecenderungan pengaruh oleh salah satu diantara dua konsepsi dasar
tentang lautan yang berkembang sejak abad XVII.
Adapun dua konsepsi yang dimakhsud adalah :

Res Nullius : yang menyatakan bahwa lautan itu tidak ada yang memiliki, karena itu negara atau
bangsa yang berdekatan boleh memilikinya.

Res Comunis : yang menyatakan bahwa lautan itu adalah milik bersama, karena itu tidak boleh
dimiliki oleh negara atau bangsa manapun. Dalam hal ini Rezim hukum laut yang
dimakhsudkan ternyata cenderung terpengaruh oleh konsepsi dasar Res Nulius
meskipun terbatas (3 mil laut).
Konsepsi negara kepulauan yang di dalam UNCLOS I dan UNCLOS II tidak
memperoleh dukungan berarti dari negara-negara kepulauan, keduanya berubah ke
dalam dekade-dekade berikutnya. Dengan diterimanya konsepsi negara kepulauan
di dalam konvensi hukum laut 1982 dan mengundangkannya di dalam UU no 4 PRP
tahun 1960.
Kanada menyatakan bahwa setelah konvensi baru ini diterima bulan April, Konsepsi
negara kepulauan ini merupakan kemajuan yang penting yang telah dicapai oleh
UNCLOS II. Fiji menyatakan bahwa mereka telah membakukan konsepsi ini di
dalam perundang-undangan mereka. Filipina menyatakan bahwa fakta, Konvensi

mengakui kedaulatan dari negara kepulauan atas perairan kepulauannya dan udara
diatas landasan tanah di bawah, merupakan pertimbangan yang sangat menentukan
untuk Konvensi ini.
Indonesia telah meratafisir Konvensi hukum laut 1982 dengan UU no 17 tahun 1985
tentang pengesahan United Nation Convention On the Law of The Sea yang
diundangkan pada tanggal 31 Desember 1985.
Penjelasan UU no 17 tahun 1985 antara lain memuat sebagai berikut : Bagi bangsa
dan negara RI, Konvensi ini mempunyai arti yang penting karena untuk pertama
kalinya asas negara kepulauan yang selama 25 tahun secara terus menerus
diperjuangkan oleh Indonesia telah berhasil memperoleh pengakuan resmi
masyarakat Internasional.
Pengakuan resmi asas negara kepulauan ini merupakan hal yang penting dalam
rangka mewujudkan satu kesatuan wilayah sesuai dengan deklarasi Djuanda 13
Desember 1957, dan Wawasan Nusantara sebagaimana termakhtub dalam
ketetapan MPR tentang GBHN yang menjadi dasar bagi perwujudan kepulauan
Indonesia sebagai satu kesatuan politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan
keamanan
Konsepsi Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan semangat persatuan dan kesatuan
wilayah nusantara serta memberikan kesejahteraan bangsa, maka pemerintah
Indonesia pada tanggal 21 Maret 1980, mengumumkan Deklarasi Zona Ekonomi
Eksklusif ( ZEE I ).
Yang dimakhsud Zona Ekonomi Eksklusif adalah jalur laut di luar laut wilayah
Indonesia sejauh 200 mil laut dari garis pangkal atau garis dasar. Pengumuman
deklarasi ZEE I berdasarkan Perpu no 4 tahun 1960 tentang perairan Indonesia.
Konsepsi ZEE Indonesia didasarkan oleh faktor-faktor :
1. Semakin terbatasnya persediaan ikan
Bertambahnya jumlah penduduk akn meningkatkan permintaan ikan untuk baha
makan. Sedangkan hasil perikanan dunia akan berada di bawah tingkat permintaan.
Sehingga melalui ZEE ini, Indonesia dapat melindungi sumber-sumber daya hayati
yang ada di laut.
2. Pembangunan nasional Indonesia.

Dalam usaha pembangunan nasional Indonesia, sumber daya alam yang terdapat di
laut sampai ke batas 200 mil dari garis-garis pangkal, dapat dimanfaatkan bagi
peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan bangsa. Sumber daya Alam Ini
merupakan modal dasar pembangunan guna mencapai kesejahteraan seluruh
rakyat Indonesia di semua bidang kehidupan sesuai dengan UUD 1945.
3. Zona Ekonomi Eksklusif sebagai Rezim hukum Internasional
Di sini berarti bahwa ZEE I telah menjadi bagian dari hukum internasional
kebiasaan. Setelah Indonesia merdeka tetapi sebelum terjadinya pembaharuan
hukum atas laut wilayah negara RI masih mendasarkan diri kepada TZMKO 1939,
yang menetapkan bahwa perairan daerah jajahan Hindia-Belanda wilayah lautnya
meliputi sejauh 3 mil laut yang diukur dari garis dasar, dan ditentukan pada waktu air
surut dari masing-masing pulau, selain itu didasarkan pada aturan peralihan pasal 2
UUD 1945, pasal 192 Konstitusi RIS dan pasal 1942 UUDS.
Tetapi kemudian aturan menurut TZMKO 1939 dirubah oleh UU no PRP tahun 1960
dengan menetapkan batas wilayah laut adalah sejauh 12 mil yang ditentukan dari
pulau yang palig luar ke pulau yang terluar lainnya, maka UU tersebut berati
mengimplementasikan beberapa ketetntuan UUD, yaitu :
a. Alinea ke 4 pembukaan UUD 1945 yang berbunyi :
. . . . . . .Membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia. . . . . .

dan

seterunya
b. Pasal 1 ayat ( 1 ) UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara Indonesia adalah
negara kesatuan yang berbentuk Republik
Dengan demikian maka negara kepulauan Indonesia merupakan negara kesatuan
baik dilihat dari segi Yuridis maupun dari segi kenyataan dengan laut (Perairan)
berfungsi sebagai sarana penghubung untuk pulau yang satu dengan lainnya (bukan
sebagai sarana pemisah).

Anda mungkin juga menyukai