HUKUM LAUT
INDONESIA
Pengantar
Prof.Dr.dr.Idrus A.Paturusi
MARCEL HENDRAPATI
SM NOOR
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS
HASANUDDIN
MAKASSAR
2009
1
KATA PENGANTAR
Buku dengan judul Prinsip-Prinsip Hukum Laut Indonesia ( Jilid I) terinspirasi
(inspired) oleh makalah saya sebagaii Rektor Universitas Hasanuddin yang berjudul
PENINGKATAN KEWASPADAAN NASIONAL BERBAGAI KOMPONEN
BANGSA DALAM RANGKA MEMPERKUAT NKRI SEBAGAI NEGARA
KEPULAUAN, di mana makalh ini telah dipresentasikan dalam sebuah seminar yang
diselenggarakan di Ruang Pola Kantor Gubernur Propinsi Sulawesi Selatan pada tanggal
14 Agustus 2007. Seminar yang terselenggara atas kerjasama pihak MABES TNI AL
dengan Departemen Dalam Negeri RI dilaksanakan dalam rangka peresmian KRI
Makassar 590 yang pada saat peresmiannya saya mdendapat undangan untuk
menghadirinya.
Dalam menyusun makalah dengan judul tersebut di atas, saya menugaskan kepada
dua orang staf dosen Fakultas Hukum Unhas (sdr Marcel Hendrapati dan SM Noor)
dalam membantu merumuskan pemikiran saya terkait dengan materi makalah saya
tersebut.
Diterbitkannya buku dengan judul Prinsip-Prinsip Hukum Laut Indonesia saya
sambut dengan gembira sebab materi-materinya sangat aktual dan relevan dewasa ini,
yaitu menyangkut berbagai materi dari hukum laut yang sudah terkodifikasi dalam
Konvensi PBB mengenai Hukum Laut 1982 (United Nations Convention on the Law of
the Sea in 1982) dan telah berlaku secara efektif sejak 16 November 1994 dan sudah
menjadi hukum positif Indonesia berdasarkan Undang-Undang No.17 Tahun 1985 dan
untuk sebagian telah diimplementasikan melalui pelbagai peraturan perundang-undangan
nasional sesuai dengan kebutuhan bangsa dan negara. Di samping itu kegembiraan saya
dalam hubungan dengan terbitnya buku ini didasarkan atas alasan bahwa buku yang
berjudul Prinsip-Prinsip Hukum Laut Indonesia terkait dengan Pola Ilmiah Pokok
(PIP) Universitas Hasanuddin yang merupakan orientasi pemikiran strategis dalam
pendidikan di Universitas ini bagi pengembangan Tri Darmanya (aspek pengajaran atau
pembelajaran, aspek pengembangan dan penelitian ilmiah serta aspek pengabdian pada
masyarakat) berdasarkan kompetensi spesifik yang dimiliki suatu perguruan tinggi.
Ditetapkannya Ilmu-Ilmu Kelautan (Marine Sciences) sebagai PIP Unhas sejak tahun
1975 dan masih sangat relevan hingga dewasa ini didasarkan atas pemikiran-pemikiran
mendasar yang terkait dengan keadaan lingkungan Daerah Sulawesi Selatan tempat di
mana Unhas berdomisili, sejarah kehidupan masyarakat luas serta kebudayaannya yang
tidak dapat dipisahkan dari aspek kebaharian. Referensi seperti itu. dapat dikatakan masih
langka dalam kepusatakaan hukum di negeri kita sebagai negeri bahari.
Atas dasar pemikiran ini maka terbitnya buku ini dapat dilihat sebagai sebuah
kepustakaan atau referensi dalam bidang hukum laut masih sangat dinantikan oleh
berbagai kalangan baik dari kalangan kampus maupun dari luar kampus.
Buku ini kiranya dapat memberikan manfaat baik bagi mereka yang berkeinginan
untuk mendalami disiplin Ilmu Hukum Laut maupun bagi mereka yang bekerja selaku
aparat penegak hukum di laut, para pengacara, jaksa dan hakim dan siapapun yang ingin
menjadi pemerhati.
Atas nama seluruh Civitas Academica Universitas Hasanuddin, saya selaku Rektor
Universitas Hasanuddin menyampaikan penghargaan kepada pemrakarsa penerbitan buku
ini, khususnya kepada penulis yang sudah berupaya menyebarluaskan perkembanganperkembangan terbaru dalam bidang Hukum Laut yang terjadi pada tingkat global,
regional, nasional dan lokal.
Berikut ini disisipkan makalah yang pernah saya presentasekan dalam Seminar
yang diselenggarakan atas kerjasama Departemen Dalam Negeri RI dengan pihak TNI
Angkatan Laut RI sebagai tindak lanjut atas peresmian Kapal KRI Makassar 590 pada
awal Agustus 2007.
PENINGKATAN KEWASPADAAN NASIONAL KOMPONEN BANGSA DAN
KESADARAN KEBANGSAAN DALAM RANGKA PENGUATAN NEGARA
KESATUAN REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN
Idrus A. Paturusi
Latar Belakang
Pulau Sipadan dan Ligitan yang merupakan warisan dari Pemerintah Hindia Belanda
karena kedua pulau terluar ini tercantum secara jelas melalui Peta yang menindaklanjuti
Perjanjian yang berhasil ditandatangani oleh Inggeris dan Belanda pada tahun 1891 (J.G.
Starke, Introduction To International Law, 1984, Hlm.152-153). Peta wilayah Hindia
Belanda yang di dalamnya termasuk Pulau Sipadan-Ligitan telah diserahkan kepada
Pemerintah Inggeris dan disimpan oleh Departemen Luar Negerinya sehingga
sesungguhnya Pemerintah Inggeris yang menjadi Pemerintah Kolonial Malaysia sudah
mengakui kalau kedua pulau tersebut adalah milik Belanda yang berarti pula milik
Indonesia. Namun demikian sejak tahun 2003 lalu kedua pulau terluar itu tinggal menjadi
kenangan karena Mahkamah Internasional memutuskan bahwa kedua pulau yang sejak
lama dipersengketakan oleh Indonesia dan Malaysia yang kini dipimpin oleh PM
Abdullah Ahmad Badawi dinyatakan menjadi negara pemilik atas kedua pulau terluar
dengan alasan bahwa negeri ini berhasil baik dalam menjamin pelestarian lingkungan
maupun terutama dalam melaksanakan apa yang dinamakan pendudukan atau
pengendalian efektif (effective occupation) atas kedua pulau yang telah berlangsung sejak
tahun 1930 (Harian Kompas 6 Juli 2003, Hlm.1).Pulau Miangas yang dahulu bernama
Pulau Palmas adalah salah satu pulau terluar RI di Propinsi Sulawesi Utara dan
berbatasan langsung dengan negara tetangga Philipina. Hak kepemilikan Indonesia atas
Pulau Palmas tidak dapat dipisahkan dari hak kepemilikan dan kedaulatan Pemerintah
Hindia Belanda atas pulau yang pernah dipersengketakan dengan pihak AS yang menjadi
negara kolonial atas wilayah kepulauan Philipina pada tahun 1906. Hak kepemilikan
Hindia Belanda atas Pulau Palmas didasarkan atas keputusan Mahkamah Arbitrase
Permanen yang menyatakan bahwa Belanda terbukti telah menjalankan kedaulatan
teritorialnya secara terus menerus tanpa mendapatkan kecaman dan tantangan dari
negara-negara lain atas Pulau tersebut. Pelaksanaan kedaulatan territorial ini dapat
dibuktikan dengan diadakannya perjanjian atau kontrak antara Pemerintah Hindia
Belanda dengan para raja dari Pulau Palmas pada tahun 1677 sehingga pulau yang
sebelumnya terisolasi lalu menjadi terbuka dan masyarakatnya dapat menjalin hubungan
dagang
dengan
perusahaan
Inggeris
di
India.
Kasus lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan memberikan pelajaran sangat berharga kepada
semua komponen bangsa karena kedua pulau warisan Hindia Belanda ternyata dibiarkan
saja dalam keadaan terlantar karena tidak punya kemauan dan kemampuan untuk
melakukan pengendalian atas pulau tersebut dan hal ini berarti komponen bangsa kurang
atau tidak memiliki kewaspadaan nasional, terutama kewaspadaan nasional untuk
memelihara dan meningkatkan kesadaran kebangsaan sehingga dengan relative mudah
beralih ke tangan negara lain, sementara negara tetangga tentu telah menyelidiki dan
mempelajari tingkat kewaspadaan nasional dari berbagai komponen bangsa dan
kesadaran kebangsaan yang dimiliki oleh masyarakat yang mendiami Pulau SipadanLigitan yang sampai tahun 2003 masih merupakan pulau-pulau terluar Indonesia. Di
samping kita tidak menjalankan pengendalian efektif atas Pulau Sipadan-Ligitan,
demikian komponen bangsa tidak mempunyai kewaspadaan nasional dalam bidang
politik serta pertahanan dan keamanan, juga masyarakat yang tinggal di pulau-pulau
terluar tidak memiliki perasaan nasionalime, padahal bagaimanapun juga mereka adalah
bagian dari bangsa Indonesia. Pada waktu yang sama negara lain termasuk negara
tetangga dengan dalih atau alasan tertentu melakukan berbagai upaya guna
mempengaruhi dan bahkan meruntuhkan kewaspadaan nasional dari komponen bangsa
serta kesadaran kebangsaan sehingga membawa dampak negative atas keutuhan
territorial NKRI sebagai Negara Kepulauan. Dengan demikian lepasnya kedua pulau
tersebut dari pangkuan Ibu Pertiwi bukan semata-mata kesalahan negeri tetangga kita,
melainkan kesalahan dari berbagai komponen bangsa yang lalai dan tidak memiliki
kewaspadaan nasional, termasuk kewaspadaan dalam memelihara dan meningkatkan
kesadaran kebangsaan dari masyarakat yang tinggal di Pulau Sipadan-Ligitan yang
pernah menjadi pulau terluar Indonesia sehingga kasus lepasnya kedua pulau ini kepada
negara lain berdasarkan putusan Mahkamah Internasional tahun 2003 lalu seharusnya
tidak terulang kembali pada masa-masa mendatang demi keutuhan wilayah NKRI sebagai
Negara Kepulauan.
Pulau Palmas
Walaupun Pulau Palmas atau Pulau Miangas adalah milik Hindia Belanda
berdasarkan putusan Arbitrasi Internasional dalam kasus persengketaan Pulau Palmas
antara AS dan Belanda dan dengan begitu menjadi milik Indonesia, namun pulau terluar
di ujung Propinsi Sulawesi Utara menyimpan kerawanan yang memerlukan adanya
kewaspadaan nasional, mengharuskan diambilnya langkah-langkah untuk memelihara
serta meningkatkan rasa nasionalisme masyarakat yang berada di Pulau Miangas.
Kerawanan ini terjadi akibat kurangnya kewaspadaan nasional dari berbagai komponen
bangsa yang ada di negeri ini serta terkikisnya perasaan kebangsaan masyarakat setempat
terutama dalam bidang sosial budaya. Dari segi sosial budaya masyarakat atau penduduk
yang berdiam di daerah perbatasan kedua negara mempunyai hubungan kekerabatan lebih
kuat dibandingkan dengan mereka yang tidak berdiam di Pulau Miangas. Selain adanya
hubungan keluarga antarpenduduk yang bertempat tinggal di pulau terluar Indonesia dan
pulau terluar Philipina yang tidak mungkin diingkari, penduduk Indonesia di Pulau
Miangas umumnya hanya bisa berkomunikasi dalam bahasa asli Philipina, yaitu bahasa
Tagalog, sedangkan bahasa Indonesia yang sebenarnya menjadi bahasa persatuan dan
kesatuan jarang dipergunakan sebagai alat komunikasi sehingga menimbulkan
kerawanan-kerawanan yang harus mendapatkan perhatian dan penanganan dari berbagai
komponen bangsa. Hal ini dapat dilakukan dengan memelihara serta meningkatkan
kewaspadaan nasional dari komponen bangsa baik yang berada di pusat maupun di
daerah secara keseluruhan dan mengambil berbagai langkah dalam mengantisipasi serta
menanggulangi fenomena menurunnya atau bahkan hilangnya kesadaran kebangsaan
masyarakat yang berdiam di Pulau Miangas sebagai pulau terluar sebab pengingkaran
atau pelecehan terhadap peningkatan kewaspadaan nasional maupun kesadaran
kebangsaan ini dapat membawa implikasi di bidang pertahanan dan keamanan serta
mengancam keutuhan wilayah NKRI sebagai negara yang menganut prinsip Negara
Kepulauan.
Ambalat
Klaim Malaysia terhadap wilayah perairan di sekitar blok Ambalat dan Ambalat
Timur di Laut Sulawesi (Jurisdictionary, Volume 1 Nomor 2, April 2005, hlm.15-17) pada
tahun 2005 dengan berpedoman pada putusan Mahkamah Internasional yang
memenangkan negeri yang pernah lama diperintah oleh Mahathir Muhammad
menyangkut kepemilikan atas Pulau Sipadan-Ligitan adalah suatu peristiwa yang cukup
menyakitkan karena hal ini menunjukkan kurangnya kewaspadaan nasional bangsa ini
(untuk tidak menyatakan tidak adanya samasekali kewaspadaan nasional) dalam
mencegah dan mengantisipasi terjadinya klaim territorial seperti itu. Kurangnya kehatihatian atau kewaspadaan dari berbagai komponen bangsa terkait dengan perairan nasional
di sekitar blok perminyakan serta adanya kelalaian dalam menciptakan dan memelihara
perasaan nasionalisme masyarakat di Pulau Marore dan Marampit dan Pulau Sebatik
yang letaknya sangat berdekatan dengan blok Ambalat dan Ambalat Timur di Laut
Sulawesi memberikan kontribusi yang tidak kecil atas kegagalan kita dalam mencegah
dan mengantipasi klaim teritorial negara tetangga atas perairan di sekitar kedua blok
pertambangan yang sudah puluhan tahun menjadi wilayah pertambangan nasional
Indonesia mengingat perairan di sekitar Ambalat dan Ambalat Timur mempunyai status
hukum sebagai bagian dari perairan kepulauan kita sehingga kalau hal ini dibiarkan dapat
mengganggu keutuhan territorial NKRI sebagai Negara Kepulauan.
Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas, maka untuk tidak terulangnya kasus-kasus teritorial
yang baru dikemukakan diperlukan adanya langkah-langkah dalam meningkatkan
kewaspadaan nasional dari semua komponen bangsa di berbagai bidang maupun
kesadaran kebangsaan dari masyarakat pulau-pulau terluar. Untuk mencegah dan
mengantisipasi kemungkinan munculnya kasus Sipadan-Ligitan jilid II yaitu jatuhnya
wilayah kedaulatan RI ke tangan negara lain, juga untuk menghindari dan menanggulangi
timbulnya klaim negara tetangga atas sebagian wilayah perairan yang berpotensi untuk
berakhir pada berkurangnya wilayah perairan nasional kita seperti kasus klaim Malaysia
atas sebagian perairan di Laut Sulawesi, dan selanjutnya untuk mengatasi kemungkinan
timbulnya kasus yang mirip dengan kasus masyarakat yang berdiam di Pulau Miangas,
maka semua komponen bangsa harus bersatu padu dalam memelihara, meningkatkan dan
memantapkan kewaspadaan nasional di berbagai bidang serta membantu, mendorong dan
menanamkan kesadaran kebangsaan pada masyarakat pulau-pulau terluar pada khususnya
demi keutuhan NKRI sebagai Negara Kepulauan. Tanpa kebersamaan dalam memelihara
dan meningkatkan kewaspadaan nasional oleh berbagai komponen bangsa maupun tanpa
kebersamaan dalam menanamkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat termasuk
yang mendiami daerah perbatasan atau pulau-pulau terluar mengenai pentingnya
memiliki perasaan nasionalisme akan menyebabkan terganggunya keamanan dan
stabilitas nasional dan pada akhirnya akan berimbas pada keutuhan territorial NKRI
sebagai Negara Kepulauan. Pertanyaannya adalah pertama, sejauh mana pengaturan
hukum mengenai peningkatan kewaspadaan nasional komponen bangsa serta kesadaran
kebangsaan dalam rangka memperkuat NKRI sebagai Negara Kepulauan; kedua,
langkah-langkah apa yang telah dan masih harus dilakukan untuk memelihara dan
meningkatkan kewaspadaan nasional serta kesadaran mengenai pentingnya arti
kebangsaan atau nasionalisme demi penguatan NKRI sebagai suatu negeri kepulauan
yang diperjuangkan sejak tahun 1957 atau negeri yang menganut konsepsi Benua
Maritim Indonesia.
PIP Unhas
Memperhatikan tema Lokakarya Nasional II Tahun 2007 yang diselenggarakan
atas kerjasama antara Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Departemen
Dalam Negeri dan TNI AL dengan tema Ketahanan Nasional Masyarakat di PulauPulau Terluar melalui Peningkatan Kewaspadaan Nasional, demikian pula dengan
beberapa sub temanya sebagaimana tertera di dalam Term of Reference dari Panitia
Lokakarya ini, maka kami berkesimpulan bahwa ruang lingkup materi Lokakarya ini
umumnya akan menitikberatkan pada penguasaan Ilmu-Ilmu Kelautan (Marine Sciences).
Universitas Hasanuddin sejak tahun 1975 telah menetapkan pilihannya pada Ilmu yang
multidisipliner ini sebagai orientasi pemikiran strategis atau sebagai Pola Ilmiah Pokok
(PIP) berdasarkan kompetensi yang dimilikinya, tetapi sebagaimana diketahui penetapan
Ilmu-Ilmu Kelautan (yang di dalamnya termasuk disiplin Ilmu Hukum Laut) sebagai Pola
Ilmiah Pokok dilakukan melalui pemikiran-pemikiran mendasar yang dikaitkan dengan
keadaan lingkungan wilayah Sulawesi, terutama Sulawesi Selatan yang dikelilingi
wilayah laut, kebudayaan dan sejarah kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan sebagai
masyarakat bahari tempat di mana Universitas ini berdomisili. Presiden RI (Soeharto)
pada saat Dies Natalis UNHAS ke-25 pada tahun 1981 memberikan dukungan strategis
atas pilihan Ilmu-Ilmu Kelautan sebagai PIP. Beliau antara lain menyatakan bahwa
UNHAS mempunyai kedudukan yang khas dalam pengembangan studi ilmu-ilmu
kelautan sebab secara geografis terletak di belahan Timur Nusantara yang luas wilayah
lautnya. Usaha Universitas Hasanuddin untuk mengkhususkan diri dalam pengembangan
studi ini harus terus dilanjutkan. Studi Ilmu Kelautan ini sangat penting bagi Indonesia
sebagai Negara Kepulauan sebab kenyataan menunjukkan bahwa lautan di wilayah
Indonesia yang luas dan kaya itu sebagian besar belum diolah. Adalah wajar dan bahkan
seharusnya jika Universitas Hasanuddin, tidak hanya memikirkan, tetapi memegang
peranan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang ini (Kerangka
Kebijakan Pengembangan Pola Ilmiah Pokok UNHAS, 1999, Hlm.2).
Pembahasan Masalah
Permasalahan pertama dapat dikatakan menyangkut dasar-dasar hukum yang
melandasi hak dan kewajiban dari semua komponen bangsa baik dalam usaha
meningkatkan kewaspadaan nasional serta kesadaran kebangsaan demi menjaga
kedaulatan atau keutuhan wilayah NKRI sebagai Negara Kepulauan. Undang-Undang
Dasar 1945 (amandemen IV) dalam pasal 1 menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah
Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Negara Indonesia adalah negara hukum.
Pasal 25A UUD 1945 menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan
hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang. Presiden menyatakan keadaan bahaya.
Syarat-syarat dan akibatnya ditetapkan dengan undang-undang (pasal 12). Selanjutnya
dalam pasal 30 UUD 1945 ditegaskan bahwa tiap-tiap warganegara berhak dan wajib ikut
serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. Usaha pertahanan dan keamanan
negara dilaksanakan melalui system pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh
Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara RI sebagai kekuatan utama dan rakyat
sebagai kekuatan pendukung. Tentara Nasional Indonesia terdiri dari Angkatan Darat,
Angkatan Laut dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan,
melindungi dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. Kepolisian Negara RI
sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas
melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan hukum. Selanjutnya
UUD 1945 menegaskan bahwa Bendera Negara Indonesia ialah Sang Merah Putih (Pasal
35). Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia (Pasal 36). Lambang Negara ialah Garuda
Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika (Pasal 36A). Lagu Kebangsaan ialah
Indonesia Raya (Pasal 36B). Pasal-pasal UUD 1945 ini pada prinsipnya mengamanatkan
bahwa semua komponen bangsa mempunyai kewajiban konstitusional untuk tetap
menjaga dan mempertahankan Negara Republik Indonesia yang berbentuk NKRI yang
didasarkan atas kemerdekaan, kedaulatan dan keutuhan wilayah RI dari Sabang sampai
Merauke sebab Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dibangun dengan susah payah
oleh The Founding Fathers serta diilhami melalui Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dan
berpuncak pada saat Proklamasi 17 Agustus 1945 harus merupakan sesuatu yang bersifat
final serta tidak bisa lagi dijadikan sebagai obyek tawar menawar oleh siapapun.
Kewajiban konstitusional yang demikian sakral ini hanya dapat diemban dan
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya jika seluruh komponen bangsa yang meliputi
mereka yang memegang dan menjalankan kekuasaan pemerintahan, kekuasaan
pertahanan dan keamanan serta penegakan hukum maupun mereka yang berada di luar
kekuasaan apapun senantiasa memiliki dan memelihara kewaspadaaan nasional serta
kesadaran kebangsaan yang tinggi dalam berbagai bidang. Semuanya harus bersatupadu
untuk mengemban dan melaksanakan tanggungjawab konstitusional dalam menjaga dan
memperkuat kedaulatan dan keutuhan NKRI sebagai Negara Kepulauan dengan
melakukan langkah-langkah untuk memelihara dan meningkatkan kewaspadaan nasional
dan kesadaran kebangsaan komponen bangsa secara menyeluruh karena hal ini
merupakan warisan yang sangat berharga yang dipersembahkan oleh para Founding
Fathers sehingga kendati harus terus diperjuangkan secara terus menerus dalam
menghadapi ancaman separatisme di beberapa daerah konflik namun bagaimanapun
harus dipertahankan sebagai harga mati yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Kedaulatan dan keutuhan teritorial NKRI yang harus dijaga dengan melaksanakan
tanggungjawab konstitusional dalam meningkatkan kewaspadaan nasional semua
komponen bangsa di berbagai bidang, termasuk kesadaran kebangsaan masyarakat
terutama masyarakat di pulau-pulau terluar dalam wilayah NKRI untuk memiliki,
memelihara dan meningkatkan kesadaran kebangsaannya tidak hanya tertera melalui
UUD 1945, tetapi juga secara tersirat dapat diketemukan melalui Ketetapan MPR RI
Nomor IV Tahun 1973 (Ketetapan MPR RI No.1 Tahun 2003 mengenai Peninjauan
terhadap materi dan status hukum Ketetapan MPRS dan MPR RI Tahun 1960 s.d. Tahun
2002) yang menetapkan Wawasan Nusantara sebagai konsepsi kesatuan wilayah, bangsa
dan negara yang memandang Indonesia sebagai suatu kesatuan yang meliputi tanah
(darat) dan air (laut) secara tak terpisahkan (inseparable). Wawasan Nusantara sebagai
suatu wawasan kesatuan bangsa dan negara meliputi segala bidang kehidupan (politik,
ekonomi, sosial, budaya serta pertahanan dan keamanan. Penetapan Wawasan Nusantara
melalui TAP MPR Nomor IV Tahun 1973 pada hakekatnya merupakan pengukuhan dari
apa yang dinamakan Konsepsi Nusantara yang untuk pertama kalinya dicetuskan melalui
Deklarasi Juanda 13 Desember 1957 (Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut
Internasional, 1978, Hlm.203-204). Selanjutnya prinsip-prinsipnya dituangkan di dalam
Undang-Undang Nomor 4/ Prp.1960 serta diperkuat dan dikembangkan melalui berbagai
peraturan perundang-undangan lain seperti Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985
mengenai pengesahan RI atas KHL 1982 (Lembaran Negara RI Tahun 1985 Nomor 76,
TLN RI Nomor 3319) yang di dalammya memuat pengakuan masyarakat internasional
terhadap Indonesia sebagai Negara Kepulauan (Archipelagic State), Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1983 mengenai Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1996 (yang mengganti dan mencabut berlakunya Undang-Undang
Nomor 4/ Prp. Tahun 1960) mengenai wilayah perairan Indonesia, demikian pula dengan
berbagai peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996, seperti
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 mengenai Perikanan, Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah No.61 Tahun 1998
mengenai Daftar koordinat geografis titik-titik garis pangkal kepulauan Indonesia di Laut
Natuna, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 mengenai Daftar Koordinat
Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia, Peraturan Pemerintah No.37
Tahun 2002 mengenai ALKI, Peraturan Pemerintah No.36 Tahun 2002 mengenai Hak
Lintas Damai, Peraturan Presiden RI Nomor 78 Tahun 2005 mengenai Pengelolaan
Pulau-Pulau Kecil Terluar (Jakarta, 29 Desember 2005) yang keseluruhannya begitu
signifikan bagi kedaulatan dan keutuhan NKRI sebagai Negara Kepulauan sehingga
harus dijaga dan dilindungi dengan meningkatkan kewaspadaan nasional dan kesadaran
kebangsaan semua komponen bangsa tanpa kecuali. Demikian uraian menyangkut dasardasar hukum yang melandasi perlunya meningkatkan kewaspadaan nasional dan
kesadaran kebangsaan semua komponen bangsa dalam memperkuat NKRI sebagai
Negara Kepulauan terbesar di dunia.
di bidang sosial, ekonomi, budaya, hukum, sumber daya manusia, pertahanan dan
keamanan. Demikian pula bahwa pulau-pulau kecil terluar Indonesia memiliki nilai
strategis sebagai titik dasar dari garis pangkal kepulauan Indonesia dalam penetapan
wilayah perairan Indonesia, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan Landas Kontinennya.
Bertolak dari pertimbangan ini, maka pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dilakukan
dengan tujuan a) menjaga keutuhan wilayah NKRI, keamanan nasional, pertahanan
negara dan bangsa serta menciptakan stabilitas kawasan b) memanfaatkan sumber daya
alam dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) c)
memberdayakan masyarakat dalam rangka peningkatan kesejahteraan Untuk
mempertegas efektivitas pelaksanaan kedaulatan di wilayah perbatasan, maka perlu
dilakukan: 1) pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dilakukan secara terpadu antara
Pemerintah (Pusat) dan Pemerintah Daerah, 2) pengelolaan sebagaimana dimaksud.pada
ayat 1 meliputi bidang-bidang : a) sumber daya alam dan lingkungan hidup, b)
infrastruktur dan perhubungan, c) pembinaan wilayah, d) pertahanan dan keamanan, e)
ekonomi, sosial dan budaya.. Rangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu terkait
dengan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar harus dilihat sebagai manifestasi atau
perwujudan dari apa yang dinamakan pengendalian yang efektif (effective occupation)
sebagaimana dijalankan oleh Malaysia atas Sipadan-Ligitan dan rangkaian kegiatan
terpadu dengan bidang-bidang yang dikemukakan di dalam Perpres tersebut harus
dijalankan secara berdaya guna dan berhasil guna serta harus dilihat sebagai bagian dari
kewaspadaan nasional dan kesadaran kebangsaan dari semua komponen bangsa dalam
rangka memelihara dan mempertahankan keutuhan wilayah NKRI sebagai negara
kepulauan. Dengan demikian paradigma perlindungan keutuhan wilayah NKRI sebagai
negara kepulauan tidak hanya tercermin di dalam penetapan batas-batas wilayah melalui
penetapan garis pangkal lurus kepulauan, tetapi juga dan terutama sekali paradigma
tersebut seharusnya menjadi sesuatu yang nyata dan operasional melalui kegiatankegiatan kongkrit yang dilakukan secara terpadu serta memberikan manfaat maksimal
bagi kesejahteraan masyarakat sehingga kemungkinan lepasnya pulau-pulau terluar
seperti dalam kasus Pulau Sipadan-Ligitan tidak perlu dikhawatirkan dan dirisaukan
sepanjang semua komponen bangsa bersatu dengan memberikan yang terbaik bagi
peningkatan kewaspadaan nasional serta kesadaran kebangsaan demi memperkuat NKRI
sebagai negara kepulauan.
Alur-Alur Laut (Sealanes)
Selain dari penetapan batas-batas wilayah melalui penetapan daftar koordinat
geografis titik-titik garis pangkal kepulauan Indonesia ataupun melalui penetapan peta di
kemudian hari menyangkut garis pangkal kepulauan, maka langkah-langkah lain sebagai
bagian dari kewaspadaan nasional yang telah dilakukan oleh Pemerintah sebagai
komponen utama bangsa ini adalah membuat peta mengenai alur-alur laut kepulauan
(Archipelagic Sealanes) maupun jalur pemisah lalu lintas (Traffic Separation Scheme).
Penetapan alur-alur laut kepulauan (Archipelagic Sealanes) dalam rangka lintas pelayaran
kapal-kapal asing di laut territorial dan perairan kepulauan Indonesia (sepanjang
pengetahuan kami) telah dinyatakan melalui sebuah Rancangan Peraturan Pemerintah
Tahun 1998 (DISKUMAL, Penyuluhan Hukum Nomor 1.12 dan Nomor 1.13 Oktober
1998, Hlm.1-4) yang kemudian telah menjadi Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 2002
10
11
kedaulatan dan yurisdiksi RI. Semuanya ini kiranya harus mendapat perhatian untuk
dilaksanakan sebagai upaya penegakan hukum dalam meningkatkan kewaspadaan
nasional serta kesadaran kebangsaan dalam rangka memperkuat NKRI sebagai negara
kepulauan
Kesimpulan
1. Keutuhan territorial NKRI sebagai Negara Kepulauan harus senantiasa dipelihara
dan diperkuat eksistensinya dengan meningkatkan kewaspadaan nasional serta
kesadaran kebangsaan dari semua komponen bangsa karena hal ini harus
ditempatkan sebagai warisan sangat suci yang dipersembahkan oleh para
Founding Fathers kepada generasi-generasi bangsa ini sepanjang masa sesuai
dengan amanat konstitusi, Ketetapan MPR maupun berbagai peraturan
perundangan yang mengamanatkan perlunya dilakukan tindakan-tindakan atau
langkah-langkah dalam meningkatkan kewaspadaan nasional dan kesadaran
kebangsaan demi menjaga kedaulatan serta keutuhan territorial Indonesia yang
berlandaskan pada Sumpah Pemuda, nilai-nilai Proklamasi serta wawasan
nusantara.
2. Pemetaan batas-batas wilayah NKRI melalui penetapan peta garis pangkal lurus
kepulauan Indonesia harus segera dideklarasikan dengan memperhatikan berbagai
perjanjian garis batas maritime yang masih berlaku tanpa perlu lagi menunggu
perundingan-perundingan bilateral dengan beberapa negara tetangga untuk
bagian-bagian laut tertentu yang masih bermasalah sebab sampai kapanpun kita
tidak mungkin dapat mendeklarasikan penetapan peta garis pangkal kepulauan
hanya dengan menggantungkan diri pada keberhasilan dalam menuntaskan
berbagai garis batas maritime yang masih tersisa. Pendeklarasian Peta batas-batas
wilayah RI melalui pendeklarasian peta garis pangkal kepulauan ini juga harus
dipandang sebagai tindakan atau langkah nyata dalam meningkatkan
kewaspadaan nasional serta kesadaram kebangsaan semua komponen bangsa
dalam rangka memelihara dan mempertahankan keutuhan territorial NKRI
sebagai negara kepulauan. Selanjutnya penetapan ketiga ALKI (ALKI-IA dan IB,
ALKI- II, ALKI- IIIA, IIIB dan IIIC) yang telah disetujui oleh Organisasi Maritim
Internasional dan telah dinyatakan melalui peta-peta navigasi yang dilengkapi
dengan simbol-simbol alur-alur laut harus dapat diimplementasikan guna
mengamankan wilayah perairan Indonesia. Untuk efektivitas pelaksanaan
pelayaran kapal-kapal asing yang tidak mengancam kedaulatan dan keutuhan
territorial NKRI, maka harus segera disediakan kapal-kapal patroli dalam jumlah
dan kualitas yang memadai, personel-personel yang tangguh maupun peralatan
radar deteksi dini guna meningkatkan kemampuan penegakan hukum (Law
Enforcement) dalam mengamankan wilayah perairan dari berbagai macam
ancaman dan pelanggaran. Semuanya ini harus dipandang sebagai langkah nyata
dalam meningkatkan kewaspadaan nasional serta kesadaran kebangsaan dalam
12
.-
NIP. 130682291
13
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .i
ABSTRAK ii
KATA PENGANTAR.. iii
DAFTAR ISI. iv
BAB I
.
BAB II
BAB III
BAB IV
KESELAMATAN PELAYARAN
IV. 1. Berbagai Macam Lintas Layar di dalam Wilayah Perairan
Indonesia.
IV. 2. Analisis Perbandingan di antara Berbagai Lintas Layar
IV. 3. Hukum Tentang Kelayakan Kapal (Seaworthiness of Ship)
IV. 4. Standardisasi Pengamanan Kapal dan Fasilitas Pelabuhan
(International Ship And Port Facility Security Code atau di
singkat ISPS Code)
BAB V
KESIMPULAN
LAMPIRAN
15
16
suatu kompetensi yang harus dibangun, dipelihara serta dikembangkan dengan harapan
dapat memberikan nuansa spesifik bagi Universitas ini dalam rangka melakukan
kerjasama intensif dengan lembaga pendidikan tinggi lain serta instansi lain baik milik
Pemerintah ataupun swasta. Ditetapkannya Ilmu-Ilmu Kelautan sebagai PIP Universitas
ini didasarkan atas kesepakatan yang dicapai melalui berbagai pertemuan ilmiah yang
puncaknya terjadi pada Seminar Administrasi UNHAS di Kabupaten Soppeng pada tahun
1975. Kesepakatan tersebut kemudian dikukuhkan melalui Rapat Senat UNHAS dan
selanjutnya dituangkan ke dalam Surat Keputusan Rektor UNHAS No.1149/UP-UH/1975
tangga 27 Desember 1975.
Salah satu tonggak penting dalam perjalanan sejarah pengembangan PIP
UNHAS adalah adanya dukungan strategis yang diucapkan sendiri oleh Presiden RI
(Presiden Soeharto) ketika Universitas ini merayakan Dies Natalisnya yang ke-25 pada
bulan September 1981 (Kerangka Kebijakan Pengembangan PIP UNHAS, hlm.2). Beliau
mengatakan antara lain Universitas Hasanuddin mempunyai kedudukan yang khas dalam
pengembangan studi ilmu-ilmu kelautan karena letak geografis Universitas ini berada di
belahan Timur Nusantara yang luas wilayah lautnya. Karena itu saya minta agar usaha
Universitas Hasanuddin untuk mengkhususkan diri dalam pengembangan studi ini
diteruskan dan tidak boleh berhenti. Kenyataan menunjukkan bahwa lautan di wilayah
Indonesia yang luas dan kaya itu sebagian terbesar belum diolah. Adalah wajar dan
bahkan sudah seharusnya jika Universitas Hasanuddin tidak hanya memikirkan, tetapi
memegang peranan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang ini.
Tonggak penting lainnya adalah pembentukan Program Studi Ilmu dan
Teknologi Kelautan sebagai jurusan yang ditempatkan pada Fakultas Peternakan
Univertsitas ini pada tahun 1988 di mana pembentukan program studi tersebut dilakukan
berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi No.19/Dikti/Kep/
1988 tanggal 16 Juni 1988. Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan merupakan
embrio dan cikal bakal bagi terbentuknya Fakultas Ilmu dan Teknologi Kelautan. Jurusan
Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan maupun Jurusan Program Studi Ilmu
Perikanan pada akhirnya ditetapkan sebagai bagian dari sebuah Fakultas yang disebut
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan pada tahun 1996 yang penetapannya didasarkan
atas Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.036/O/1996 tanggal 29
Januari 1996. Keberadaan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan merupakan salah satu
langkah maju dalam pengembangan PIP UNHAS, tetapi sekaligus mendorong timbulnya
ketidakpuasan pada beberapa kelompok civitas academica, terutama dari kalangan
Fakultas MIPA dan Fakultas Teknik Semoga ketidakpuasan dan gejolak yang pernah
terjadi dalam hubungan dengan eksistensi Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan sudah
teratasi dan hal ini hanya dapat dilakukan melalui dialog di antara pihak-pihak yang
berkepentingan guna menemukan solusi terbaik dari kemelut memalukan yang pernah
kronis dan berlarut-larut. Solusi terbaik hanya dapat diwujudkan dengan mempergunakan
pendekatan win-win solution di mana tidak ada pihak yang kalah, tidak ada pihak yang
menang sebab semua menang sehingga Ilmu-Ilmu Kelautan yang dicanangkan sebagai
PIP Universitas ini benar-benar dapat berkembang dan memberi manfaat serta kontribusi
positif bagi pembangunan nasional pada umumnya dan pembangunan masyarakat
Sulawesi Selatan pada khususnya dalam rangka mencapai dan meningkatkan
kesejahteraan terutama bagi rakyat Sulawesi Selatan yang sama-sama kita cintai.
17
18
masa depan Republik ini. Hal ini diperkuat oleh posisi Universitas Hasanuddin
yang secara geografis terletak di Kawasan Timur Indonesia yang memiliki
wilayah laut yang jauh lebih luas dibandingkan dengan wilayah daratannya dan
secara budaya terletak di lingkungan masyarakat bahari dengan latar belakang
sejarah dan budaya bahari yang kental.
5. Faktor terakhir yang juga tak kalah pentingnya adalah apa yang dinamakan
dengan Agenda 21 yang antara lain mencanangkan sekian banyak azas atau
prinsip yang perlu diimplementasikan oleh negara-negara di seluruh dunia dalam
menghadapi berbagai tantangan yang demikian berat dalam millenium III. Salah
satu azas yang dimaksud adalah azas pelestarian lingkungan termasuk di
dalamnya pelestarian lingkungan laut serta pembangunan yang berkelanjutan
yang dengan sendirinya menempatkan Ilmu-Ilmu Kelautan (termasuk di dalamnya
Hukum Laut) tetap memiliki relevansi untuk terus dikaji dan dikembangkan
dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat Indonesia pada umumnya
dan masyarakat Sulawesi Selatan pada khususnya.
.
I. 4.. Visi dan Misi dari PIP Universitas Hasanuddin, Tujuan dan Pendekatan
Secara sederhana dan singkat dapat dikatakan bahwa pengelolaan sumber
daya kelautan hanya dapat dilakukan dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan
teknologi maju karena potensi sumber daya tersebut sulit dijangkau dengan hanya
mengandalkan teknologi sederhana. Penerapan dan pengenalan iptek seyogyanya
tidak dalam wujud kelembagaan asing yang dicangkokkan ke dalam system budaya
masyarakat, tetapi harus sesuai dengan nilai dan karakteristik budaya masyarakat
setempat. Visi Pola Ilmiah Pokok Unhas dapat dirumuskan sebagai berikut, yakni
Unhas sebagai pusat pengembangan budaya bahari yang bercirikan kemandirian
dalam konteks kesadaran interkoneksitas universal (Kerangka Kebijakan
Pengembangan PIP Unhas, Hlm.10 - 13).
Seiring dengan visi tersebut, maka misi PIP Unhas dapat dirumuskan dalam
bentuk sebagai berikut :
a. menghasilkan alumni yang mempunyai wawasan ke-Unhas-an dalam berbagai
disiplin ilmu dan strata pendidikan, terutama yang berkaitan dengan ilmu dan
teknologi kelautan;
b. mengembangkan ilmu dan teknologi yang berkaitan dengan pengelolaan sumber
daya kelautan;
c. mempromosikan dan mendorong proses terwujudnya masyarakat bahari yang
berkualitas, sejahtera dan berorientasi kepada prestasi.
Wawasan ke-Unhas-an mengandung pengertian bahwa setiap lulusan Unhas memiliki
jiwa dan potensi kemandirian dan senantiasa memiliki dan memelihara komitmen
terhadap pengembangan budaya bahari.
Sejalan dengan visi dan misi tersebut di atas, maka tujuan pegembangan PIP
Unhas adalah sebagai berikut :
19
20
21
22
23
mengelilingi setiap pulau atau bagian pulau Indonesia yang lebarnya hanya 3 mil laut
(Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Hlm.187.)
Karena masing-masing pulau ataupun bagian pulau mempunyai laut
territorial sendiri-sendiri dengan lebar hanya sejauh 3 mil laut terhitung dari garis air
rendah pada setiap pulau atau bagian pulau, maka hal ini mengakibatkan terbentuknya
ruangan-ruangan dan kantung-kantung laut bebas atau perairan internasional antara
satu pulau atau bagian pulau dengan pulau lain atau bagian pulau lainnya sehingga
membawa dampak yang sangat negatif dan merugikan bagi kedaulatan serta keutuhan
territorial kita.
Dampak yang begitu merugikan akibat pengaturan hukum kolonial
(TZMKO) yang bernafaskan kebebasan di laut (freedom of the seas) harus dihentikan
atau diatasi melalui pengaturan hukum nasional. Hal ini telah dirintis sejak
Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, lahirnya UUD 1945 pada18 Agustus
1945 yang di dalamnya terdapat Aturan Peralihan (Pasal II) dan disusul dengan
terbitnya Deklarasi Juanda pada 13 Desember 1957 yang merupakan Pengumuman
Pemerintah mengenai wilayah perairan Indonesia. Deklarasi ini menyatakan bahwa
segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau
bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara RI, tanpa memandang luas atau
lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara RI dan
dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah
kedaulatan mutlak dari Negara RI. Lalu lintas yang damai di perairan pedalaman ini
bagi kapal asing terjamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan kedaulatan
dan keselamatan Indonesia. Penentuan batas laut territorial yang lebarnya 12 mil yang
diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik-titik terluar pada pulau-pulau
Negara RI akan ditentukan dengan Undang-undang.
Pernyataan Pemerintah tentang wilayah perairan Indonesia pada 13
Desember tahun 1957 dilakukan berdasarkan beberapa pertimbangan (Mochar
Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, 1978, Hlm. 187).
1. bahwa bentuk geografi RI sebagai suatu Negara kepulauan yang terdiri dari
beribu-ribu pulau mempunyai sifat dan corak tersendiri sehingga memerlukan
pengaturan tersendiri;
2. bahwa demi kesatuan wilayah (territorial) Negara RI, semua kepulauan serta laut
yang terletak di antaranya harus dianggap sebagai satu kesatuan yang bulat;
3. bahwa penetapan batas-batas laut territorial yang diwarisi dari Pemerintah
kolonial sebagaimana tercantum di dalam Territoriale Zee en Maritieme
Kriengen Ordonnantie 1939 pasal 1 ayat 1 tidak sesuai lagi dengan kepentingan
keselamatan dan keamanan Negara RI;
4. bahwa setiap Negara berdaulat berhak dan berkewajiban untuk mengambil
tindakan-tindakan yang dipandangnya perlu untuk melindungi keutuhan dan
keselamatan negaranya.
Pengaturan perairan Indonesia yang dasar-dasarnya telah ditetapkan dalam
Deklarasi Juanda 13 Desember 1957 kemudian ditetapkan menjadi UndangUndang dengan menggunakan prosedur Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang. Adapun isi dari Perpu yang diundangkan berlakunya pada 18 Februari
1960 dan kemudian lebih dikenal dengan Undang-Undang No.4/ Prp.1960 adalah
24
25
yang bersifat spesifik atau kapal-kapal jenis khusus (kapal penelitian, kapal nelayan,
kapal perang dan kapal pemerintah yang bukan kapal niaga).
Pengertian lalu lintas damai sebagaimana diatur di dalam Peraturan Pemerintah
No.8 Tahun 1962 adalah pelayaran untuk maksud damai yang melintasi laut wilayah dan
perairan pedalaman Indonesia dari laut bebas ke suatu pelabuhan Indonesia dan
sebaliknya dan dari laut bebas ke laut bebas. Lalu lintas kapal asing dianggap damai
selama tidak bertentangan dengan keamanan, ketertiban umum, kepentingan dan atau
tidak mengganggu perdamaian Negara RI. Lalu lintas damai kapal asing dianjurkan untuk
melalui alur-alur yang dicantumkan dalam buku-buku kepanduan bahari yang berlaku
dalam dunia pelayaran. Berhenti, membuang sauh atau jangkar kapal dan atau mondar
mandir tanpa alasan yang sah di perairan Indonesia tidak termasuk dalam pengertian lalu
lintas damai menurut peraturan pemerintah ini. Juga terdapat ketentuan mengenai
larangan bagi kapal asing untuk melewati atau melintasi bagian-bagian tertentu dari
perairan pedalaman untuk sementara waktu apabila hal ini dianggap perlu untuk
menjamin kedaulatan dan keselamatan Negara. Kapal asing yang akan melakukan riset
ilmiah di perairan Indonesia disyaratkan untuk meminta izin dari Presiden RI. Kapal
perang asing yang akan melintasi perairan Indonesia harus terlebih dahulu
menyampaikan pemberitahuan atau notifikasi kepada Menteri/KSAL. Kapal selam
(submarine) harus berlayar di atas permukaan laut selama melintasi perairan Indonesia
dan dengan demikian juga harus mengibarkan benderanya yang tentu dimaksudkan untuk
mengetahui dan mengidentifikasi Negara yang merupakan Negara bendera (Flag State).
Dalam Peraturan Pemerintah tersebut ada ketentuan tentang alur-alur pelayaran. Apabila
alur-alur ini sudah ditetapkan oleh Kepala Staf Angkatan Laut, maka kapal perang dan
kapal pemerintah yang bukan kapal niaga serta kapal nelayan atau kapal ikan harus
melalui alur-alur tersebut. Kapal perang asing yang lewat di alur-alur pelayaran tidak
perlu memenuhi syarat notifikasi yang berlaku bagi lintas damai di perairan nusantara.
Karena alur-alur pelayaran itu belum ditetapkan pada waktu itu, maka dalam praktek
kapal perang umumnya melaksanakan kewajiban pemberitahuan ketika melintasi perairan
nusantara.
Juga diatur ketentuan mengenai kewajiban bagi kapal nelayan asing yang sering
melanggar ketentuan PP No.8 Tahun 1962 yang antara lain mewajibkan kapal tersebut
meletakkan dan menyimpan alat tangkapnya di bawah palkah kapal. Akan tetapi
ketentuan itu seakan-akan menjadi huruf mati karena banyaknya kapal ikan asing yang
ditangkap, tetapi kemudian dilepaskan. Kalau sampai ke pengadilan kasus-kasus
pencurian ikan (illegal fishing), kapal asing yang terlibat pada umumnya
dibebaskan..Kendati pengadilan menghukumnya, kebanyakan hukumannya sangat ringan
sehingga kerugian yang begitu besar akibat pencurian ikan di perairan nusantara harus
ditanggung oleh bangsa dan Negara.
Untuk mengakomodasi perkembangan hukum laut pada tahun 1960-an terkait
dengan berlakunya Konvensi Geneva 1958 mengenai hukum laut (Konvensi mengenai
laut territorial dan jalur tambahan, Konvensi mengenai laut bebas, Konvensi mengenai
perikanan dan perlindungan kekayaan hayati di laut bebas,.dan Konvensi mengenai
landas kontinen), maka pada tanggal 17 Februari 1969 Pemerintah Indonesia
mengeluarkan Pengumuman Pemerintah tentang Landas Kontinen Indonesia yang
memuat pokok-pokok sebagai berikut (Mochtar kusumatmadja, Bunga Rampai Hukum
Laut, Penerbit Binacipta,1978, Hlm. 37 38) :.
26
1. Segala sumber kekayaan mineral dan sumber kekayaan alam non hayati lainnya,
termasuk organisme-organisme hidup yang merupakan jenis sedentair, yang
terdapat di landas kontinen Indonesia adalah merupakan asset atau milik dari
bangsa dan negara RI dan dengan demikian tunduk di bawah yurisdiksinya yang
bersifat eksklusif. Pengertian landas kontinen Indonesia adalah dasar laut dan
tanah di bawahnya yang berada di luar laut teritorial Indonesia, tetapi berbatasan
dengannya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 4 Prp Tahun 1960,
hingga suatu batas kedalaman 200 meter dari permukaan laut atau melebihi batas
kedalaman tersebut sepanjang kemampuan teknologi Indonesia masih
memungkinkan penggalian dan pengusahaannya.
2. Pemerintah Indonesia bersedia menyelesaikan soal garis batas landas kontinen
dengan Negara tetangga melalui perundingan.
3. Jika tidak ada perjanjian garis batas, maka batas landas kontinen Indonesia adalah
suatu garis yang ditarik di tengah-tengah antara pulau terluar Indonesia dengan
titik terluar wilayah Negara tetangga.
4. Ketentuan-ketentuan tersebut di atas tidak akan mempengaruhi sifat serta status
daripada perairan di atas landas kontinen Indonesia sebagai laut lepas, demikian
pula ruang udara di atasnya yang tetap berstatus sebagai ruang udara
internasional.
Bagian ketiga dari Pengumuman Pemerintah tersebut memperlihatkan adanya keterkaitan
antara konsepsi landas kontinen Indonesia dengan konsepsi nusantara. Arti nyata
konsepsi landas kontinen Indonesia sebagaimana diatur di dalam Pengumuman tersebut
adalah bertambahnya lagi luas daerah di bawah permukaan laut (submarine areas) dengan
jumlah yang tidak sedikit untuk dapat mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya
alam yang terdapat di landas kontinen Indonesia. Pengumuman Pemerintah tahun 1969
ini lahir atas dorongan kebutuhan untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber
daya mineral yang terdapat di daerah-daerah di bawah permukaan laut, terutama di Laut
Cina Selatan di luar batas-batas perairan Indonesia. Karena Indonesia dikelilingi oleh
Negara-negara tetangga yang mempunyai hak yang sama atas landas kontinen yang sama,
maka pemerintah RI perlu menyelesaikan masalah garis batas landas kontinen dengan
Negara-negara tetangga sebelum ditemukan deposit atau cadangan minyak dan gas bumi
di landas kontinennya. Untuk maksud itu lalu dibentuk Team Teknis Landas Kontinen
pada Departemen Pertambangan yang ditugaskan terutama untuk menyelesaikan masalah
garis batas landas kontinen dengan Negara-negara tetangga. Misalnya perjanjian garis
batas landas kontinen antara RI dengan Malaysia tahun 1969 menyangkut garis batas
landas kontinen di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan; perjanjian antara RI dengan
Thailand tahun 1971 mengenai garis batas landas kontinen di Selat Malaka bagian Utara
dan di Laut Andaman; perjanjian antara RI, Thailand dan Malaysia pada tahun 1971
mengenai garis batas landas kontinen di Selat Malaka bagian Utara; perjanjian antara RI
dengan Australia tentang penetapan garis batas dasar laut tertentu (Laut Arafura dan
Daerah Utara Irian Jaya dan Papua Nugini) tahun 1973; perjanjian antara RI dengan
Australia tahun 1973 mengenai penetapan garis batas daerah-daerah dasar laut tertentu
(Selatan Pulau Tanimbar dan Pulau Timor); perjanjian antara RI dengan India mengenai
penetapan garis batas landas kontinen tahun 1974. Semuanya ini merupakan hasil kerja
dari Departemen Pertambangan, terutama Team Teknis Landas Kontinen yang dibentuk
oleh Departemen tersebut.
27
28
29
dilakukan di ZEE Indonesia, soal gantirugi, masalah penegakan hukum, ketentuan pidana
dan lain-lainnya (lihat Undang-Undang No. 5 Tahun 1983). Undang-Undang ini
kemudian ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksanaan yang berupa Peraturan
Pemerintah No. 15 Tahun 1984 yang mengatur tentang pengelolaan sumber daya alam
hayati di ZEE Indonesia. Sumber daya alam hayati yang istilah populernya adalah ikan
tidak mengenal batas-batas wilayah Negara sesuai dengan sifat-sifat alaminya. Namun
sejalan dengan praktek Negara-negara yang telah dikembangkan oleh masyarakat
internasional serta ketentuan-ketentuan hukum laut internasional yang melandasi
Undang-undang No.5 Tahun 1983 tersebut, maka sumber daya alam hayati yang terdapat
di daerah ZEE Indonesia adalah milik Republik Indonesia walaupun dalam
pengelolaannya masih harus memperhatikan ketentuan-ketentuan hukum internasional,
misalnya kewajiban RI untuk menetapkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (Total
Allowable Catch), besarnya kemampuan tangkap dari usaha-usaha perikanan Indonesia
(Capacity to Harvest), langkah-langkah untuk pelaksanaan konservasi serta kesediaan
Indonesia untuk memberikan kesempatan kepada usaha perikanan asing untuk ikut serta
memanfaatkan ZEE Indonesia sepanjang jumlah tangkapan yang diperbolehkan belum
sepenuhnya dimanfaatkan melalui usaha-usaha perikanan Indonesia.
Dari segi kepentingan pembangunan nasional, khususnya di sub sektor perikanan, maka
sumber daya alam hayati di ZEE Indonesia memiliki dua fungsi penting, yaitu sebagai
potensi yang dapat dimanfaatkan secara langsung melalui kegiatan penangkapan ikan
serta sebagai pendukung sumber daya alam hayati di perairan Indonesia. Mengingat
fungsinya yang demikian penting, maka pemanfaatannya perlu diarahkan secara tepat,
terarah dan bijaksana. Hal ini berkaitan pula dengan sifat sumber daya alam hayati yang
tidak tak terbatas. Demikian antara lain dasar pemikiran yang melatarbelakangi terbitnya
Peraturan Pemerintah RI No. 15 Tahun 1984 tentang pengelolaan sumber daya alam
hayati di ZEE Indonesia (lihat Lembaran negara RI Tahun 1984 Nomor 23).
Perkembangan berikutnya dalam hukum laut RI adalah diundangkannya
Undang-Undang Perikanan Indonesia, yakni Undang-Undang RI No. 9 Tahun 1985
tentang Perikanan. Di dalamnya antara lain diatur mengenai beberapa istilah disertai
dengan batasan atau pengertiannya, seperti misalnya istilah perikanan yang artinya semua
kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan.
Sedang sumber daya ikan adalah semua jenis ikan termasuk biota perairan lainnya.
Pengelolaan sumber daya ikan adalah semua upaya yang bertujuan agar sumber daya ikan
dapat dimanfaatkan secara optimal dan berlangsung terus menerus. Pemanfaatan sumber
daya ikan adalah kegiatan penangkapan ikan dan atau pembudidayaan ikan. Demikian
antara lain berbagai istilah yang mengemuka dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1985
sebab masih banyak lagi istilah yang tidak perlu diulangi (lihat pasal 1 Undang-Undang
ini). Selanjutnya dalam pasal 2 dikemukakan bahwa wilayah perikanan RI meliputi
perairan Indonesia (laut territorial, perairan kepulauan, perairan pedalaman), sungai,
danau, waduk, rawa dan genangan air lainnya di dalam wilayah RI, maupun perairan
zona ekonomi eksklusif Indonesia. Undang-undang No.9 Tahun 1985 juga mengatur
tentang pengelolaan sumber daya ikan dalam wilayah perikanan RI yang ditujukan bagi
tercapainya manfaat maksimal bagi bangsa Indonesia, dan untuk mencapai hal ini
Pemerintah melaksanakan pengelolaan sumber daya ikan secara terpadu dan terarah
dengan melestarikan sumber daya ikan beserta lingkungannya bagi kesejahteraan dan
kemakmuran bangsa Indonesia. Dalam melaksanakan pengelolaan sumber daya ikan,
30
31
pembudidayaan ikan, dan lingkungan sumber daya ikan secara optimal; i) menjamin
kelestarian sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan dan tata ruang.. Selanjutnya
mengenai ruang lingkup berlakunya Undang-Undang Perikanan yang baru adalah bahwa
Undang-Undang ini berlaku untuk a) setiap orang, baik warganegara Indonesia maupun
warganegara asing, badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing, yang
melakukan kegiatan perikanan di wilayah pengelolaan perikanan RI; b) setiap kapal
perikanan berbendera Indonesia dan kapal perikanan berbendera asing yang melakukan
kegiatan perikanan di wilayah pengelolaan perikanan RI; c) setiap kapal perikanan
berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan di luar wilayah pengelolaan
perikanan RI; d) setiap kapal perikanan berbendera Indonesia yang melakukan
penangkapan ikan , baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dalam bentuk kerjasama
dengan pihak asing. Selanjutnya untuk penangkapan ikan dan atau pembudidayaan ikan
maka wilayah pengelolaan perikanan RI meliputi perairan Indonesia, ZEE Indonesia,
sungai, danau, waduk, rawa dan genangan air lainnya yang dapat diusahakan serta lahan
pembudidayaan ikan yang potensial di wilayah RI. Pengelolaan perikanan di luar wilayah
pengelolaan perikanan RI sebagaimana di maksud di atas diselenggarakan berdasarkan
peraturan perundang-undangan, persyaratan dan atau standar internasional yang diterima
secara umum. Demikian antara lain beberapa ketentuan penting yang terdapat dalam
Undang-undang No. 31 Tahun 2004.
Pada bulan Desember 1985 Pemerintah RI mengesahkan atau meratifikasi
Konvensi Hukum Laut 1982 dengan mengundangkan Undang-Undang No.17 Tahun 1985
sehingga sejak waktu itu Konvensi Hukum Laut yang dihasilkan melalui konferensi yang
diprakarsai PBB sejak tahun 1973 hingga tahun 1982 Konvensi tersebut telah menjadi
hukum positif Indonesia. Melalui Undang-Undang No.17 Tahun 1985, maka Konvensi
yang isinya bersifat komprehensif dan sekaligus menyatakan tidak berlakunya lagi
Konvensi Geneva 1958 mengenai Hukum Laut, telah menjadi hukum positif kita.
Walaupun KHL 1982 belum berlaku secara efektif pada waktu itu atau belum come into
force, namun bagi Indonesia sendiri Konvensi itu telah berlaku secara individual sejak
lahirnya Undang-Undang No. 17 Tahun 1985.. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 308
ayat 2 KHL 1982 yang menyatakan bahwa bagi setiap negara yang meratifikasi atau
menyatakan aksesi pada konvensi ini setelah pendepositan piagam ratifikasi atau aksesi,
Konvensi mulai berlaku pada hari ketiga puluh setelah saat pendepositan piagam
ratifikasi atau aksesinya, dengan tunduk pada ketentuan ayat 1. Ayat 1 pasal yang sama
(pasal 308, ayat 1) menyatakan bahwa Konvensi ini mulai berlaku 12 bulan setelah
tanggal pendepositan piagam ratifikasi atau aksesi yang ke-60. Demikian kendati KHL
1982 belum berlaku secara internasional pada tahun 1985 sebab ketika itu jumlah
ratifikasi yang dibutuhkan belum memenuhi persyaratan, namun bagi Indonesia sendiri
Konvensi tersebut telah berlaku secara individual. KHL baru berlaku secara internasional
atau secara umum pada tanggal 16 November 1994, sebab satu tahun sebelumnya yakni
pada tanggal 16 November 1993, Guyana menjadi negara yang ke-60 dalam meratifikasi
KHL 1982 dan mendepositkan piagam ratifikasinya pada Sekjen PBB.
Selanjutnya Pemerintah RI menindaklanjuti Undang-Undang No.17 Tahun 1985
mengenai pengesahan RI terhadap KHL 1982, dengan mengundangkan Undang-Undang
No. 6 Tahun 1996 mengenai Perairan Indonesia. Undang-Undang ini selain mencabut
berlakunya Undang-Undang No. 4/ Prp. Tahun 1960, juga pada dasarnya UndangUndang ini menguatkan kembali dasar-dasar pengaturan wilayah perairan Indonesia
32
33
34
6. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 4 dan ayat 5 tidak berlaku terhadap
penangkapan ikan oleh nelayan kecil (penangkapan ikan tradisional).
7. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, ayat 3, ayat 4 dan ayat
5 diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.
Dengan mencermati ketentuan pasal 18 dari Undang-Undang Otonomi Daerah (UU
No.32 Tahun 2004, dapat disimpulkan bahwa setiap Daerah Tingkat I atau Provinsi
dalam wilayah NKRI hanya memiliki hak pengelolaan atas wilayah laut, dalam hal ini
hak untuk mengelola untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam
yang terdapat dalam wilayah laut yang menjadi kewenangannya. Hal ini juga berlaku
bagi setiap Daerah Tingkat II (Kotamadya dan atau Kabupaten) yang terdapat dalam
setiap Provinsi juga memiliki hak pengelolaan sumber daya alam yang terdapat dalam
masing-masing wilayah kewenangannya. Secara khusus untuk pengelolaan sumber
daya alam yang nterdapat di dasar laut serta tanah di bawahnya (seabed and subsoil)
dari wilayah laut yang menjadi kewenangannya, maka daerah yang bersangkutan
Pusat, namun pengaturan bagi hasil harus diatur dalam suatu peraturan perundangundangan. Kewenangan Daerah dalam mengelola sumber daya alam meliputi
berbagai kewenangan seperti kewenangan untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi
dan membuat peraturan administratif termasuk masalah perizinan, kewenangan
mengatur tata ruang, kewenangan dalam bidang penegakan hukum atas peraturan
yang dikeluarkan oleh daerah atau atas peraturan yang dilimpahkan oleh Pusat kepada
Daerah. Selanjutnya wilayah laut yang menjadi kewenangan daerah provinsi,
khususnya hak pengelolaannya itu ditetapkan sampai sejauh 12 mil laut terhitung dari
garis pangkal di sepanjang pantai dari wilayah provinsi yang bersangkutan. Karena di
dalam setiap provinsi terdapat beberapa kabupaten dan atau kotamadya, maka setiap
daerah kabupaten ataupun kotamadya memperoleh hak pengelolaan sampai sejauh 4
dengan demikian sesungguhnya hak pengelolaan bagi setiap provinsi itu terhitung
dari batas 4 mil hingga 12 mil laut. Selanjutnya dalam hal wilayah laut antara dua
provinsi bersifat tumpang tindih (overlapping) sebab bagian wilayah laut yang berada
di antara dua provinsi mempunyai lebar kurang dari 24 mil laut, maka hal seperti ini
berpotensi untuk menimbulkan persoalan garis batas wilayah laut di antara dua daerah
provinsi yang bersangkutan. Untuk mengantisipasi benih persengketaan menyangkut
garis batas wilayah laut yang menjadi kewenangannya, maka Undang-Undang No.32
Tahun 2004 menetapkan apa yang disebut garis tengah (median line) atau garis sama
jarak (equidistance line) sebagai acuan atau pedoman bagi kedua provinsi untuk
menyelesaikannya melalui perundingan guna mencapai kesepakatan. Ketika sudah
terjadi kesepakatan antardua provinsi, maka masing-masing kabupaten atau
kotamadya mendapatkan sepertiganya. yaitu sepertiga dari wilayah kewenangan
masing-masing provinsi. Walaupun batas-batas kewenangan dari setiap provinsi
maupun kabupaten dan atau kotamadya telah ditentukan, namun hal ini tidak berlaku
dan tidak boleh dijalankan terhadap nelayan kecil dari suatu daerah sehingga suatu
provinsi tidak boleh melarang nelayan kecil yang berasal dari provinsi lain. Demikian
pula suatu kabupaten atau kotamadya tidak boleh melarang nelayan kecil yang berasal
dari kabupaten lain yang ada di dalam provinsi yang sama, d emikian pula sebaliknya
Secara yuridis kewilayahan Undang-Undang Pemerintahan Daerah (UndangUndang No. 32 Tahun 2004) tidak membawa pengaruh ataupun perubahan
terhadap wilayah perairan Indonesia sebagaimana ditetapkan dalam Undang-
35
Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Wilayah perairan yang
ditetapkan oleh masing-masing propinsi maupun wilayah perairan yang diklaim
oleh masing-masing kabupaten ataupun kota di dalam suatu propinsi tetap
berstatus sebagai wilayah perairan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagai negara kepulauan. Akan tetapi ditinjau dari segi pemanfaatan sumber daya
kelautan, Undang-Undang No.32 Tahun 2004 memberi kewenangan yang luas
dan nyata kepada Daerah untuk melaksanakan eksplorasi, eksploitasi, konservasi
dan pengelolaan sumber daya kelautan di wilayah kewenangannya, namun
disertai dengan kewajiban untuk memelihara kelestarian lingkungan, kewajiban
untuk berpartisipasi dalam memelihara keamanan dan kewajiban daerah untuk
berpartisipasi dalam mempertahankan kedaulatan negara. Pemberian kewenangan
kepada Daerah untuk mengelola sumber daya kelautan serta kewenangankewenangan lain yang diberikan kepada masing-masing daerah sebagaimana
diatur di dalam pasal 18 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tidak akan
menghapuskan komitmen Pemerintah RI dalam melaksanakan hak dan
kewajibannya sesuai dengan apa yang ditentukan dalam berbagai konvensi
internasional, seperti Konvensi Hukum Laut 1982, Konvensi mengenai
Keselamatan Jiwa di Laut, Konvensi mengenai Pencegahaan Tubrukan Kapal,
ketentuan-ketentuan dari IMO mengenai standardisasi keamanan kapal dan
pelabuhan (ISPS Code) dan konvensi-konvensi internasional lainnya yang telah
mengikat RI. .
II. 4. Dewan Kelautan Indonesia (Keputusan Presiden RI No. 21 Tahun 2007)
Terbentuknya Dewan Kelautan Indonesia sebagaimana diatur dalam Keputusan
Presiden RI No. 21 Tahun 2007 dilandasi dengan beberapa pertimbangan :
a. bahwa dengan berlakunya Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa
tentang Hukum Laut Tahun 1982, diperlukan langkah-langkah
penanganan yang menyeluruh dan terpadu dalam rangka lebih
meningkatkan pemanfaatan, pelestarian, perlindungan laut,
dan pengelolaan wilayah laut nasional secara terpadu, serasi,
efektif, dan efisien;
b. bahwa kebijakan publik di bidang kelautan merupakan
kebijakan yang meliputi berbagai bidang pemerintahan,
sehingga memerlukan keterpaduan dalam perumusan kebijakan
kelautan tersebut sejak awal;
c. bahwa dalam rangka keterpaduan perumusan kebijakan
kelautan telah dibentuk Dewan Maritim Indonesia dengan
Keputusan Presiden Nomor 161 Tahun 1999;
d. bahwa nomenklatur atau istilah atau penamaan Dewan Maritim Indonesia memiliki
pengertian yang terbatas sehingga tidak sesuai dengan cakupan
tugas dan fungsi yang dimiliki oleh Dewan tersebut;
e. bahwa sehubungan dengan hal-hal sebagaimana dimaksud
pada huruf a sampai dengan huruf d, memandang perlu untuk
mengubah Dewan Maritim Indonesia menjadi Dewan Kelautan
Indonesia dengan Keputusan Presiden;
36
37
1983, Hlm.19; Rene-Jean Dupuy, The Law of the Sea, Oceana Publications Inc. Dobbs
Ferry, N.Y., A.W. Sijthoff Leiden, 1974, p.3 6).
Istilah negara pantai (Coastal State) sesungguhnya mempunyai pengertian yang luas
sebab negara pantai dapat dimaknai sebagai negara pantai yang normal (normal coastal
state); negara pantai dapat pula diartikan sebagai negara kepulauan (archipelagic state),
dan dapat pula diartikan sebagai negara yang secara geografis kurang beruntung
(geographically disadvantaged state). Suatu negara disebut negara pantai normal (normal
coastal state) bilamana negara itu mempunyai wilayah daratan atau kontinen yang seluruh
atau sebagiannya dikelilingi dengan laut di sekitarnya. Suatu negara disebut sebagai
negara yang secara geografis kurang beruntung, bilamana negara tersebut karena keadaan
geografisnya pada umumnya kurang menguntungkan sehingga negara tersebut tidak
dapat mengklaim jalur-jalur laut sampai batas maksimal yang diperkenankan atau
ditentukan. Suatu Negara dinamakan Negara Kepulauan (Archipelagic State), apabila
wilayahnya terdiri dari satu kepulauan atau lebih dan dapat mencakup pulau-pulau lain.
Negara RI adalah Negara Kepulauan atau dikualifikasi sebagai Negara Kepulauan karena
wilayah Indonesia terdiri dari satu kepulauan atau lebih dan dapat mencakup pulau-pulau
lain. Ada kepulauan Maluku, ada kepulauan Riau, kepulauan Bangka Belitung, kepulauan
Nusa Tenggara, kepulauan Sangir Talaud, kepulauan Taka Bonerate, kepulauan Natuna
dan beraneka ragam banyaknya kepulauan yang dimiliki negeri tercinta. Selain daripada
berbagai macam kepulauan yang dimiliki, terdapat juga pulau-pulau lain seperti pulau
Sumatera, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Papua atau Irian Jaya yang dimiliki negeri ini.
Selanjutnya pengertian kepulauan (archipelago) adalah gugusan atau kumpulan pulaupulau, termasuk bagian-bagian pulau, perairan di antara pulau-pulau tersebut, serta
bentuk-bentuk alamiah lainnya yang semuanya ini membentuk suatu kesatuan geografi,
ekonomi dan politik yang hakiki, atau yang secara historis dianggap demikian.
Sebagai Negara Kepulauan (Archipelagic State), maka Indonesia dapat mengklaim
dan menetapkan berbagai jalur laut atau zonasi pengaturan lautnya seperti perairan
kepulauan, perairan pedalaman, laut territorial, jalur tambahan, zona ekonomi eksklusif
maupun landas kontinen. Perairan kepulauan Indonesia adalah bagian-bagian laut yang
berada pada sisi dalam dari garis pangkal kepulauan (archipelagic baselines) atau garis
pangkal lurus kepulauan (straight archipelagic baselines). Akan tetapi garis pangkal lurus
kepulauan yang memagari perairan kepulauan atau yang di dalamnya terdapat perairan
kepulauan tidak mungkin dapat berdiri sendiri tanpa dukungan garis-garis pangkal
lainnya sehingga bagaimanapun garis pangkal lurus kepulauan harus selalu dipergunakan
secara silih berganti dengan garis pangkal biasa, garis pangkal lurus dan garis penutup
pada teluk, muara sungai, kuala, terusan asalkan saja terletak pada pulau terluar serta
lebar mulutnya tidak melebihi 24 mil laut, serta garis penutup pada perairan pelabuhan
yang terletak pada pulau terluar Indonesia. Pengertian perairan kepulauan seperti itu
dapat disimpulkan dari ketentuan pasal-pasal dari Undang-Undang mengenai Perairan
Indonesia yang berpedoman pada Undang-Undang No. 17 Tahun 1985 atau KHL 1982.
Namun kalau diperhatikan Peraturan Pelaksanaan dari Undang-Undang No. 6 Tahun
1996, dalam hal ini Peraturan Pemerintah RI No. 38 Tahun 2002 ditegaskan bahwa
Pemerintah RI dapat menarik garis pangkal kepulauan dan dalam menarik garis pangkal
kepulauan, dapat dipergunakan garis pangkal lurus kepulauan, garis pangkal biasa, garis
pangkal lurus, garis penutup pada teluk, garis penutup pada muara sungai, terusan, kuala,
dan garis penutup pada pelabuhan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perairan
38
kepulauan itu merupakan bagian-bagian laut yang berada pada sisi dalam dari garis
pangkal kepulauan yang penarikannya harus dilakukan dengan mempergunakan garis
pangkal lurus kepulauan yang tentu saja dalam prakteknya harus dipergunakan secara
silih berganti dengan garis pangkal biasa, garis pangkal lurus serta berbagai garis penutup
(closing lines) (lihat Lembaran Negara RI Tahun 2002 Nomor 72).
Di dalam perairan kepulauan, Indonesia dapat menetapkan bagian-bagian laut
tertentu sebagai perairan pedalaman (internal waters) dengan membuat dan menarik garis
lurus ataupun garis penutup pada teluk, muara sungai, pelabuhan dan seterusnya. Perairan
atau bagian-bagian perairan yang terletak pada sisi luar dari garis lurus ataupun dari garis
penutup tersebut mempunyai status sebagai perairan kepulauan atau dengan lain
perkataan dapat dikualifikasi sebagai perairan kepulauan. Sedangkan bagian-bagian
perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis lurus ataupun garis penutup tersebut
seperti perairan teluk, sungai, terusan, kuala maupun perairan pelabuhan (dengan catatan
tidak terletak pada pulau-pulau terluar) dapat dikualifikasi sebagai perairan pedalaman.
Laut territorial atau laut wilayah Indonesia adalah jalur laut atau bagian laut yang
terletak pada sisi luar dari garis pangkal lurus kepulauan (garis pangkal kepulauan)
dengan lebar maksimal 12 mil laut dihitung atau diukur dari garis pangkal lurus
kepulauan (garis pangkal kepulauan). Dengan demikian laut wilayah dari Indonesia
sebagai Negara Kepulauan mengelilingi seluruh wilayah kepulauannya justru karena
secara geografis laut wilayahnya terletak pada bagian luar dari garis pangkal lurus
kepulauan di mana garis seperti ini harus dipergunakan secara silih berganti dengan
berbagai garis pangkal lainnya. Status hukum dari ketiga macam jalur laut yang telah
disebutkan di atas adalah sangat jelas, di mana semuanya ini adalah merupakan wilayah
kedaulatan Indonesia sehingga kedaulatan ini mencakup baik wilayah perairan atau badan
air (water column), ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya (seabed and
subsoil) maupun sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Hal yang sangat
penting untuk diketahui adalah bahwa dalam hal laut territorial RI tidak menimbulkan
permasalahan batas atau garis batas laut territorial dengan negara-negara tetangga, maka
Indonesia bisa menetapkannya sampai batas maksimal sejauh 12 mil dari garis pangkal
kepulauan, tetapi bilamana laut territorial RI tumpang tindih dengan laut territorial dari
negara-negara tetangga, maka harus diselesaikan melalui perundingan bagi tercapainya
garis batas laut territorial yang dapat disepakati oleh masing-masing negara. Kenyataan
memperlihatkan bahwa sampai sekarang RI belum mencapai kesepakatan mengenai garis
batas laut territorial dengan 3 negara, yakni dengan Timor Leste, Singapura dan Malaysia.
Kalau diperhatikan terdapat sekitar 40 persen garis batas laut territorial Indonesia yang
belum dapat diakui oleh ketiga negara tersebut, sebagaimana halnya kita tidak dapat
mengakui penetapan garis batas laut teritorial dari ketiga negeri tetangga kita. Akan tetapi
pada akhir bulan Januari tahun 2009 telah disepakati oleh Indonesia dan Singapura
mengenai garis batas maritim di Selat Malaka-Singapura antara segmen Barat dari
wilayah Singapura.dengan wilayah RI di Pulau Nipah sehingga perjanjian terakhir ini
telah melengkapi perjanjian garis batas maritim tahun 1973.
39
Penjelasan : Perjanjian Garis Batas Maritim yang telah ditandatangani pada bulan
Februari 2009 antara RI-Singapura pada Segmen Barat yang terdapat pada bagian Utara
Pulau Nipah. Sebelumnya memang sudah ada perjanjian garis batas maritim antara
kedua negara di Selat Malaka, yaitu antara wilayah daratan Singapura dengan wilayah RI
di Kepulauan Riau pada tahun 1973, namun perjanjian ini belum tuntas karena bagian
Barat dari Kepulauan Riau (termasuk Pulau Nipah) belum bisa diperjanjiakan pada waktu
itu. Perundingan di antara kedua negara terkait dengan bagian laut yang belum disepakati
sudah berlangsung lama, terutama sejak tahun 2005. Pada akhir bulan Januari lalu Kepala
Negara RI Presiden Susilo Bambang Yudoyono bersama Perdana Menteri Singapura Lee
Hsien Long berhasil mencapai kesepakatan mengenai garis batas maritim pada bagian
yang belum terselesaikan, yaitu pada segmen Barat yang terdapat di Utara Pulau Nipah.
Pada bulan Februari Perjanjian Garis Batas Maritim di Selat Malaka dengan Pulau Nipah
dipakai sebagai titik pangkal ditandatangani oleh kedua Menteri Luar Negeri. Dengan
penandatanganan ini, maka terdapat kepastian bagi kedua negara baik dari segi
geoekonomi maupun geopolitik, ada kepastian mengenai sampai dimana batas kedaulatan
40
serta yurisdiksi bagi masing-masing negara, demikian pula ada kepastian soal sampai di
mana masing-masing negara dapat menjalankan kegiatan-kegiatan ekonominya di
wilayah laut di Selat Malaka.
Garis batas laut territorial antara RI dengan Malaysia yang belum terselesaikan
berada di tiga wilayah, yaitu di Selat Malaka garis batas maritime atau garis batas laut
territorial panjangnya sekitar 17 mil laut, di Tanjung Datuk (Kalimantan Barat) sepanjang
12 mil laut, di Pulau Sebatik (Kalimantan Timur) sepanjang 18 mil laut garis batas laut
territorial yang belum dapat disepakati bersama antara RI dengan Malaysia, walaupun
untuk beberapa titik di Selat Malaka sudah ada kesepakatan berdasarkan perjanjian garis
batas laut territorial pada tahun 1971 yang sudah diratifikasi dengan Undang-Undang No.
2 Tahun 1971. Sedangkan dengan negeri Timor Leste, Pemerintah RI belum dapat
mengakui dan menerima garis batas maritime atau garis batas laut territorial yang
panjangnya lebih dari 100 mil laut yang ditetapkan secara sepihak oleh Pemerintah negeri
Timor Leste. Pemerintah dari negara kecil yang pernah menjadi Provinsi RI ke-27 telah
secara berani membuat pernyataan sepihak menyangkut garis batas laut teritorialnya yang
jauhnya sampai mencapai 100 mil laut terhitung dari Celah Timor (Timor Gap), padahal
sebagaimana diketahui perjanjian Celah Timor (Timor Gap Treaty) yang merupakan
perjanjian kerjasama pengembangan antara RI-Australia tahun 1989 telah berakhir.
Nasmun Pemerintah Timor Leste ternyata mau memanfaatkan garis-garis dari Celah
Timor sebagai pijakan dan titik tolak dalam mengklaim laut teritorialnya sejauh 100 mil
laut. Tindakan sepihak ini harus dilawan oleh Pemerintah RI sebab apabila dibiarkan akan
mengakibatkan sebagian dari perairan kepulauan serta laut teritorial RI yang berada
disekitar Laut Timor dapat jatuh ke dalam penguasaan negara Timor Leste. Kita harus
mempertahankan kedaulatan dan keutuhan teritorial kita guna menjamin martabat
(dignity) dari bangsa dan negara. Jangan sampai kita dipecundangi oleh bekas provinsi
yang telah memisahkan diri dari NKRI pada tahun 1999..
Selanjutnya Indonesia juga dapat menetapkan bagian-bagian laut tertentu sebagai zona
ekonomi eksklusif serta landas kontinennya. Apabila perairan kepulauan, perairan
pedalaman dan laut territorial Indonesia telah ditetapkan berdasarkan Undang-Undang
No. 6 Tahun 1996 serta berbagai peraturan perundangan lainnya seperti PP No.38 Tahun
2002, maka ZEE Indonesia sejak dini telah ditetapkan melalui Undang-Undang No. 5
Tahun 1983 yang berpedoman pada KHL 1982 tentang Zona Ekonomi Eksklusif..
Sedangkan untuk Landas Kontinennya masih diatur berdasarkan Undang-Undang No.1
Tahun 1973 mengenai Landas Kontinen Indonesia yang ternyata berpedoman pada
Konvensi Hukum Laut Geneva 1958 mengenai Landas Kontinen (Continental Shelf)
khususnya mengenai pengertian atau definisinya sehingga hal ini sudah tidak sesuai
dengan perkembangan hukum laut dewasa ini. Oleh karena itu Undang-Undang No.1
Tahun 1973 terutama menyangkut batasan soal Landas Kontinen Indonesia harus segera
ditinjau kembali untuk dilakukan perubahan sesuai dengan ketentuan pasal 76 Konvensi
41
42
secara nyata pada penelitian yang dijalankan pihak ketiga di ZEE dan bukan oleh negara
pantai itu sendiri (Barbara Kwiatkowska, Hlm. 4). .
ZEE Indonesia adalah jalur laut yang berbatasan dengan dan berada di
luar laut territorialnya, yang lebarnya 200 mil laut diukur dari garis pangkal yang
dipakai untuk menetapkan lebar laut territorialnya. Demikian jalur laut yang
dinamakan ZEE Indonesia selain mengelilingi batas luar laut territorial, juga
mengelilingi wilayah kepulauan Indonesia karena perairan ZEE Indonesia berada
di luar garis pangkal laut territorial yang dalam hubungan ini dinyatakan sebagai
garis pangkal lurus kepulauan (garis pangkal kepulauan) Indonesia. Karena
Indonesia memiliki hak-hak berdaulat (souvereign rights) untuk mengeksplorasi,
mengeksploitasi, melindungi dan mengelola sumber daya alam yang terdapat di
ZEE nya, maka sumber daya ini adalah merupakan milik bangsa dan negara
Indonesia yang perlu dimanfaatkan secara optimal bagi peningkatan kesejahteraan
rakyat. Indonesia juga memiliki yurisdiksi terkait dengan pembangunan dan
pemanfaatan pulau-pulau buatan, instalasi dan bangunan, termasuk yurisdiksi
yang terkait dengan masalah bea dan cukai, fiscal, keimigrasian, kesehatan dan
keselamatan pelayaran, yurisdiksi yang berkaitan dengan penelitian ilmiah
kelautan, yurisdiksi dalam hal pelestarian lingkungan laut di ZEE Indonesia.
Permasalahan besar yang dihadapi Indonesia terkait dengan ZEE ini adalah bahwa
sekitar 70 persen garis batas ZEE Indonesia belum mendapat pengakuan dari
beberapa negara tetangga. Kesepakatan garis batas ZEE Indonesia baru tercapai
dengan Australia dan Papua Niugini. Akan tetapi antara Indonesia dengan negaranegara tetangga seperti Timor Leste, Palau, Filipina, Vietnam, Thailand dan India,
hingga saat ini belum dapat dicapai kesepakatan dalam bentuk perjanjian
mengenai garis batas ZEE di daerah perbatasan masing-masing negara. Menurut
Sobar Sutisna (yang menjabat sebagai Kepala Pusat Pemetaan Batas Wilayah
Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional) di antara perundingan batas
wilayah dengan enam negara tetangga penetapan batas wilayah paling cepat dapat
terealisasi dengan Filipina sebab negara itu telah menyatakan kesediaannya untuk
menyelesaikan perundingan penetapan batas wilayah di laut Sulawesi yang telah
dimulai sejak tahun 1994. Sedangkan penetapan batas wilayah dengan negeri
Palau belum dapat dilakukan karena RI belum mempunyai hubungan diplomatic
dengan negeri kecil di Samudera Pasifik walaupun saat ini pihak perunding dari
Indonesia menunggu persetujuan dari DPR untuk membuka hubungan diplomatic
dengan Palau. Demikian hal-hal konkret yang sedang dialami RI dalam
hubungannya dengan penetapan batas-batas maritime terutama batas-batas ZEE
Indonesia dengan negara-negara tetangga.
Landas Kontinen Indonesia adalah dasar laut dan tanah di bawahnya dari
daerah-daerah di bawah permukaan laut (submarine areas) yang merupakan
kelanjutan alamiah dari wilayah daratan (natural prolongation of its continent)
yang berada di luar laut territorial Indonesia, tetapi berbatasan dengannya
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 4/ Prp. Tahun 1960, sampai pada
suatu batas kedalaman 200 meter dari permukaan laut atau melebihi batas
kedalaman 200 meter (beyond that limit) sejauh kemampuan teknologi Indonesia
masih memungkinkan untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya
alam yang terdapat di sana. Pengertian atau batasan landas kontinen sebagaimana
43
diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1973 jelas mengacu pada Konvensi
Geneva 1958 tentang landas kontinen dan sudah seharusnya segera dicabut
setelah berlakunya KHL 1982. Berdasarkan ketentuan pasal 76 KHL 1982, maka
landas kontinen (Continental Shelf) diartikan sebagai dasar laut dan tanah di
bawahnya dari wilayah-wilayah di bawah permukaan laut yang merupakan
kelanjutan alamiah dari wilayah daratan negara pantai yang bersangkutan, yang
berada di luar laut territorial, tetapi berbatasan dengannya, sampai batas terluar
dari tepian kontinen (outer edge of the continental margin) atau dalam hal tepian
kontinen negara itu tidak mencapai jarak 200 mil, maka dasar laut dan tanah di
bawahnya dapat ditetapkan hingga jarak 200 mil laut terhitung dari garis pangkal
dari mana lebar laut teritorialnya diukur. Hal ini berarti KHL 1982 memberikan
kesempatan kepada negara pantai untuk menggunakan criteria atau ukuran yang
menguntungkan. Pengertian landas kontinen ini sangat penting untuk menentukan
sejauh mana hak-hak berdaulat suatu negara pantai di landas kontinennya,
terutama sejauh mana negara tersebut dapat melakukan eksplorasi dan eksploitasi
sumber daya alam yang terdapat di sana. Pengertian landas kontinen Indonesia
sudah seharusnya disesuaikan dengan pengertian landas kontinen pada umumnya
sebagaimana ditetapkan dalam pasal 76 KHL 1982 sehingga Undang-Undang RI
mengenai Landas Kontinen Indonesia (Undang-Undang No. 1 Tahun 1973)
khususnya ketentuan pasal 1 mengenai definisi landas kontinen RI harus segera
dicabut untuk disesuaikan dengan perkembangan hukum laut masa kini
sebagaimana diatur di dalam pasal 76 KHL 1982.
Untuk memahami pengertian landas kontinen (Continental Shelf)
berdasarkan Pasal 1 Konvensi Geneva 1958 maupun berdasarkan Konvensi
Hukum Laut 1982, maka di bawah ini dipaparkan gambar dan konfigurasi
sederhana mengenai landas kontinen dalam pengertian yuridis. Pengertian ini
sangat penting (very essential) dalam menentukan hak-hak berdaulat serta
yurisdiksi negara pantai di landas kontinen. Dari pengertian landas kontinen
sebagaimana diatur dalam psal 1 Konvensi Geneva 1958, dapat disimpulkan
bahwa ada dua ukuran atau kriteria yang digunakan dalam menetapkan hak-hak
berdaulat dan yurisdiksi negara pantai di landas kontinen, yaitu : 1) kriteria
kedalaman 200 meter. Artinya kalau negara pantai tidak memiliki kemampuan
teknologi untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam yang
terdapat di sana, maka hak-hak berdaulat dan yurisdiksinya hanya sampai di titik
dasar laut dengan kedalaman 200 meter terhitung dari permukaan laut. Dengan
demikian muncul kriteria kedua; 2) kriteria melebihi batas kedalaman 200 meter
(beyond that limit), sejauh kemampuan tekonologi dari negara pantai masih
memungkinkan untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam di
dasar laut dan tanah di bawahnya dengan kedalaman tanpa batas dari permukaan
laut. Kriteria ini disebut pula dengan istilah technical exploitability. Kriteria
hak-hak berdaulat di landas kontinen yang tersimpul dari batasan pengertiannya
sangat tidak adil sebab hanya menguntungkan negara-negara maju dan merugikan
negara-negara berkembang pada waktu itu sehingga kriteria dan pengertian seperti
ini telah diganti melalui ketentuan pasal 76 Konvensi Hukum Laut 1982.
Dari pengertiannya dapat ditarik adanya beberapa kriteria dalam
menentukan hak-hak berdaulat dan yurisdiksi negara pantai di landas kontinen,
44
yaitu : 1) kriteria jarak yang menyatakan bahwa dasar laut serta tanah di
bawahnya itu sampai pada apa yang dinamakan ujung luar dari tepian kontinen
(the outer edge of the continental margin). Apabila landas kontinen dari negara
pantai yang bersangkutan begitu luas dan tidak tumpang tindih dengan landas
kontinen dari negara-negara tetangganya, maka hak-hak berdaulat dan
yurisdiksinya dapat mencapai ratusan mil dan bahkan ribuan mil dari garis
pangkal sesuai dengan lokasi dari titik terluar dari tepian kontinen. Walaupun dari
segi geologis jarak antara garis pangkal hingga lokasi ujung terluar dari tepian
kontinen (the outer edge of the continental margin) dapat mencapai ratusan
bahkan ribuan mil, namun dari segi yuridisnya hal ini sudah dibatasi sebab pasal
76 KHL 1982 menetapkan bahwa dasar laut dan tanah di bawahnya harus dibatasi
sampai 350 mil laut terhitung dari garis pangkal. Pembatasan ini bertujuan untuk
mewujudkan keadilan dalam masyarakat internasional sebab ada negara-negara
yang tidak berpantai atau dikelilingi oleh daratan, padahal mereka juga berhak
memperoleh manfaat yang berasal dari laut.yang sebenarnya merupakan warisan
bersama umat manusia (common heritage of mankind)..
Ada juga ketentuan-ketentuan lain seperti hak-hak-hak berdaulat atas sumber daya alam
terutama mineral-mineral, minyak dan gas bumi, berbagai yurisdiksi RI di landas
kontinennya termasuk masalah pulau buatan, instalasi dan bangunan, penelitian ilmiah
kelautan, perlindungan dan pelestarian lingkungan laut, penentuan garis batas landas
kontinen Indonesia di wilayah perbatasan dan lain-lainnya dari segi substansinya masih
dapat dipertahankan, namun dari segi redaksi atau rumusannya perlu disesuaikan dengan
rumusan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KHL 1982.
Dibandingkan dengan Konvensi Geneva 1958 tentang Landas Kontinen yang
mempergunakan ukuran kedalaman 200 meter maupun ukuran technological
exploitability yang sangat kabur, maka KHL 1982 mempergunakan criteria yang jelas
berupa ukuran jarak sampai ujung terluar dari tepian kontinennya, ataupun bilamana
landas kontinennya pendek bisa ditetapkan sampai jarak 200 mil laut dari garis pangkal
laut territorial yang semuanya ini dimaksudkan untuk menentukan sampai di mana batasbatas hak berdaulat dan yurisdiksi negara pantai dalam mengeksplorasi dan
mengeksploitasi sumber daya alam berupa mineral-mineral dan sumber kekayaan non
hayati lainnya yang terdapat di sana. Dengan demikian RI harus melakukan perubahan
terhadap Undang-Undang yang lama (Undang-Undang No. 1 Tahun 1973) serta
menggantinya dengan peraturan perundangan baru yang sesuai dengan semangat dan
ketentuan KHL 1982 terkait dengan batasan landas kontinen dalam menentukan hak-hak
berdaulat dan yurisdiksi Indonesia di landas kontinennya sendiri sebab bagaimanapun
KHL 1982 sangat menguntungkan negara-negara pantai khususnya RI dalam
kedudukannya sebagai negeri kepulauan. Dalam hubungan ini perlu juga diperhatikan
dalam hal landas kontinen Indonesia tidak menimbulkan masalah garis batas dengan
negara-negara tetangga, maka landas kontinen Indonesia dapat ditetapkan sampai batas
maksimal, yaitu sampai ujung terluar dari tepian kontinennya (namun hal ini sudah
dibatasi sampai jarak 350 mil laut dari garis pangkal) atau sampai jarak 200 mil laut dari
45
garis pangkal dalam hal tepian kontinen Indonesia tidak mencapai jarak 200 mil laut.
Namun bilamana tumpang tindih (overlapping) garis batas landas kontinen antara RI
dengan beberapa negara tetangga, maka harus diselesaikan melalui perundingan untuk
mencapai kesepakatan. Kenyataan menunjukkan bahwa sekitar 30 persen garis batas
landas kontinen Indonesia belum disepakati dengan beberapa negara tetangga, seperti
dengan negeri Timor Leste yang dulu pernah menjadi propinsi RI ke-27, dengan negara
Palau serta negara Filipina.
III.2. Penarikan Berbagai Macam Garis Pangkal
Jalur-jalur laut yang dapat diklaim sesuai ketentuan-ketentuan yang ada
hanya dapat terwujud dengan senantiasa berpatokan pada garis pangkal. Sebagai negara
kepulauan, RI dapat menarik garis pangkal kepulauan (archipelgic baselines). Dalam
menarik garis pangkal kepulauan, Indonesia dapat mempergunakan berbagai metode atau
cara penarikan garis pangkal. Peraturan Pemerintah RI No.38 Tahun 2002 yang
merupakan salah satu peraturan pelaksanaan yang menindaklanjuti dan mengelaborasi
Undang-Undang No.6 Tahun 1996 yang terkait dengan ketentuan mengenai garis
pangkal. Peraturan Pemerintah tersebut menetapkan bahwa RI dapat menarik garis
pangkal kepulauan dan dalam menarik garis pangkal kepulauan dapat dipergunakan garis
pangkal lurus kepulauan, garis pangkal biasa, garis pangkal lurus, garis penutup pada
teluk, muara sungai, terusan, kuala dan garis penutup pada pelabuhan. Garis pangkal
kepulauan, khususnya garis pangkal lurus kepulauan bukan merupakan garis yang dapat
berdiri sendiri tanpa dukungan dari garis-garis pangkal lainnya karena secara praktis garis
pangkal lurus kepulauan hanya dapat dipergunakan secara silih berganti dengan garis
pangkal biasa, garis pangkal lurus, garis penutup pada teluk, sungai, terusan, kuala dan
garis penutup pada pelabuhan di mana teluk, sungai dan lain-lainnya secara geografis
dapat terletak baik pada bagian dalam maupun pada bagian luar dari pulau-pulau terluar
Indonesia.
Apa yang dimaksud dengan garis pangkal biasa, garis pangkal lurus, garis
pangkal lurus kepulauan ? KHL 1982, Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 dan Peraturan
Pemerintah No.38 Tahun 2002 mengemukakan sebagai berikut.
Garis pangkal biasa (normal baselines) adalah garis-garis air terendah di sepanjang pantai
pada waktu air sedang surut sehingga dengan demikian mengikuti segala lekuk liku
(bentuk-bentuk morfologi) dari pantai suatu negara. Pada mulut atau muara sungai, teluk
yang lebar mulutnya tidak melebihi 24 mil laut, dan pada pelabuhan, maka harus
diperhatikan bahwa garis air terendah itu dapat ditarik sebagai suatu garis lurus. Garis air
terendah yang ditarik sebagai garis lurus (straight lines) pada perairan di sekitar muara
sungai, perairan di teluk yang lebar mulutnya tidak lebih dari 24 mil laut serta pada
perairan pelabuhan bilamana sungai, teluk dan pelabuhan itu tidak berada pada pulaupulau terluar. Akan tetapi bilamana keberadaannya atau letak geografisnya berada pada
pulau-pulau terluar, maka garis air terendah pada muara sungai, teluk yang lebar
mulutnya tidak lebih dari 24 mil laut maupun pada pelabuhan, dapat ditarik sebagai suatu
garis penutup (closing lines). Pada dasarnya garis pangkal biasa lazimnya dipergunakan
oleh negara yang dikualifikasi sebagai negara pantai normal (normal coastal state),
seperti Malaysia, Korea Utara, Korea Selatan, RRC, AS, Australia dan banyak negara
46
pantai biasa lainnya yang wilayahnya berupa sebuah daratan atau kontinen semata-mata
walaupun tidak tertutup kemungkinan memiliki satu pulau kecil atau lebih yang mungkin
secara geografis berada jauh dari wilayahnya..
Untuk mempermudah pemahaman mengenai garis pangkal biasa (normal baselines),
maka di bawah ini dibentangkan gambar mengenai garis seperti itu.
Selanjutnya garis pangkal lurus (straight baselines) adalah garis air terendah
yang menghubungkan titik-titik pangkal berupa titik-titik terluar yang terdapat pada
pantai daratan utama (mainland) suatu negara atau pantai pada gugusan pulau yang
berada di depannya (daratan utama). Garis pangkal lurus hanya dapat diterapkan oleh
negara yang memiliki daratan utama, namun garis pantainya berliku-liku tajam pada
daratan utama tersebut. Selain memiliki daratan utama yang pantainya berliku-liku tajam,
negara tersebut juga memiliki deretan atau gugusan pulau-pulau yang letaknya
berdekatan dengan pantai daratan utama. Negara tersebut juga memiliki apa yang
dinamakan delta maupun kondisi alam lainnya yang menyebabkan garis pantainya sangat
tidak menentu, seperti terdapatnya apa yang dinamakan fyord baik pada daratan utama
maupun pada deretan dan gugusan pulau di dekatnya. Negara dengan kondisi geografis
seperti itulah yang dapat menggunakan dan menerapkan garis-garis pangkal lurus di
mana perairan yang terdapat atau berada pada sisi dalam dari garis-garis pangkal lurus itu
adalah merupakan perairan pedalaman (internal waters), sementara perairan yang terletak
pada sisi luar dari garis-garis pangkal lurus itu adalah merupakan jalur laut territorial
yang lebarnya maksimal 12 mil laut yang dihitung atau diukur dari garis-garis pangkal
lurus. Namun demikian garis pangkal lurus bukan sesuatu yang dapat berdiri sendiri
47
karena bagaimanapun garis pangkal ini harus dipergunakan secara silih berganti dengan
garis pangkal normal yang disebut juga garis air terendah atau garis air surut. Di samping
persyaratan tadi, maka untuk dapat menerapkan garis pangkal lurus, maka negara dengan
kondisi geografis seperti itu harus memiliki kepentingan ekonomi yang bersifat khusus
atau spesifik di mana kepentingan ekonominya atas perairan yang terbentuk berdasarkan
garis pangkal lurus adalah merupakan suatu kenyataan serta sesuatu yang sangat
signifikan yang secara jelas dapat dibuktikan melalui praktek yang telah berlangsung
lama. Persyaratan berikutnya adalah bahwa garis pangkal lurus tersebut tidak boleh
menyimpang terlalu jauh dari arah umum pantai negara yang bersangkutan. Akhirnya
garis pangkal lurus tidak boleh ditarik dari elevasi surut (low tide elevation) maupun
menuju ke elevasi surut, yang artinya elevasi surut itu tidak boleh digunakan sebagai titik
pangkal atau titik terluar terkecuali elevasi surut itu telah memiliki mercu suar atau
instalasi serupa yang secara permanent terus menerus berada di atas permukaan air laut.
Negara yang pertama kali menerapkan garis pangkal lurus adalah negeri Norwegia karena
wilayahnya secara geografis terdiri dari daratan utama yang pantainya sangat berliku-liku
tajam (terdapat anak-anak laut, fyord etc) serta di dekat daratan utama bertebaran
gugusan pulau-pulau. Penduduk Norwegia menggantungkan hidupnya pada kegiatan
penangkapan ikan pada perairan di sekitar wilayah daratan serta deretan pulau-pulau di
depannya, di mana hal ini sudah berlangsung lama secara turun menurun sehingga bagi
Norwegia wilayah perairan tersebut memiliki kepentingan ekonomi yang bersifat
istimewa. Faktor-faktor inilah yang mendorong Norwegia sehingga mengeluarkan suatu
peraturan yang dinamakan sebuah dekrit dari Raja Norwegia (the Royal Decree) pada
tahun 1935 yang menetapkan wilayah perairannya sebagai wilayah perikanan di laut
territorial serta perairan pedalaman, di mana terbentuknya wilayah perairan ini didasarkan
atas penerapan garis pangkal lurus yang merupakan garis-garis air terendah yang
menghubungkan titik-titik terluar yang terdapat pada pantai daratan utama maupun pada
gugusan pulau yang berdekatan dengan daratan utama tersebut. Negara yang memiliki
elevasi surut berkewajiban untuk membangun mercu suar atau semacam instalasi di atas
elevasi surut tersebut yang tujuannya di samping untuk menunjukkan atau membuktikan
kepemilikannya atas elevasi surut, juga terutama untuk menjamin keselamatan pelayaran
bagi kapal-kapal yang melewati atau melintasi perairan di sekitar elevasi surut, dengan
demikian mercu suar atau instalasi tersebut mempunyai fungsi sebagai tanda peringatan
(warning signals) bagi para pemakai laut agar berhati-hati ketika melintasi perairan di
sekitar elevasi surut sebab perairan yang berada di sekitar atau di sekeliling elevasi surut
itu adalah merupakan perairan yang sangat dangkal atau perairan di mana terdapat
karang-karang kering sehingga dapat membahayakan keselamatan berlayar. Apa yang
dinamakan elevasi surut tentu berbeda dengan apa yang dinamakan pulau (natural island).
Walaupun di antara keduanya terdapat persamaan di mana keduanya baik pulau maupun
elevasi surut adalah merupakan wilayah daratan yang terbentuk secara alamiah, namun
sebuah pulau senantiasa berada di atas permukaan air laut kendati air laut sedang
mengalami gejala atau peristiwa pasang yang setinggi-tingginya (lihat pasal 121
Konvensi Hukum Laut 1982). Sedangkan apa yang disebut elevasi surut hanya bisa
muncul di atas permukaan air laut ketika air laut itu sedang surut, tetapi ketika air laut itu
sedang mengalami pasang yang setinggi-tingginya, elevasi surut tersebut pasti tenggelam
sehingga tidak kelihatan di atas permukaan air laut dan dengan demikian bisa berbahaya
bagi keselamatan pelayaran. Untuk mencegah ataupun mengurangi timbulnya bahaya
48
bagi keselamatan berlayar, maka negara yang memiliki elevasi surut ( semacam
gundukan tanah ataupun batu karang di daerah lepas pantai mempunyai kewajiban untuk
memasang (install) mercu suar atau instalasi di atas elevasi surut tersebut yang tujuannya
terutama untuk melindungi keselamatan pelayaran, di samping untuk membuktikan atau
menunjukkan status hukum dari elevasi surut tadi (low tide elevation).
Di bawah ini dipaparkan gambar mengenai garis pangkal lurus (straight baselines).
49
wilayah perairan di sekitar Pulau Sumatera ataupun di sekitar Pulau Jawa dengan luas
wilayah daratan Pulau Sumatera ataupun wilayah daratan Pulau Jawa adalah sekitar satu
berbanding satu. Akan tetapi ketika kita mencermati Kepulauan Maluku (Provinsi
Maluku dan Provinsi Maluku Utara) serta wilayah perairan di sekitarnya, maka luas
wilayah perairannya dengan luas wilayah daratannya perbandingannya dapat mencapai
sembilan berbanding satu.
Selanjutnya terdapat beberapa pembatasan dalam menerapkan garis pangkal
lurus kepulauan. Pertama, setiap garis pangkal lurus kepulauan dapat mempunyai
kepanjangan maksimal 100 mil laut, dengan demikian panjangnya bisa kurang dari 100
mil laut, tetapi tidak boleh melebihi 100 mil laut. Namun ketentuan mengenai
pembatasan setiap garis pangkal lurus kepulauan ini masih disertai dengan suatu
pengecualian yang menyatakan dari jumlah keseluruhan garis-garis pangkal lurus
kepulauan yang terbentuk, 3 persen di antaranya dimungkinkan untuk mencapai
kepanjangan maksimum hingga 125 mil laut. Dengan berpatokan pada ketentuan
Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002 mengenai Daftar Koordinat Geografis TitikTitik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia, maka terdapat 166 titik pangkal yang dapat
digunakan dalam menetapkan garis pangkal lurus kepulauan Indonesia. Sebanyak 3
persen dari jumlah seluruh garis pangkal lurus kepulauan yang ada panjangnya
dimungkinkan sampai maksimal 125 mil laut. Pembatasan berikutnya adalah bahwa
garis-garis pangkal lurus kepulauan tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari konfigurasi
umum kepulauan tersebut, yang menurut hemat kami pengertiannya sama dengan tidak
boleh menyimpang terlalu jauh dari arah pantai dari kepulauan maupun dari pulau-pulau
pada umumnya. Dengan mencermati estimasi keseluruhan garis-garis pangkal kepulauan
Indonesia yang menyatukan wilayah kepulauan serta wilayah perairan (dengan catatan
apabila kita menetapkan peta mengenai garis pangkal kepulauan Indonesia), maka
kelihatan sekali garis-garis pangkal kepulauan Indonesia secara terpadu memperlihatkan
konfigurasi yang mirip atau menyerupai seekor kuda lumping yang terkenal dalam seni
budaya Jawa sehingga memenuhi ketentuan yang menyatakan garis pangkal lurus
kepulauan tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari konfigurasi umum kepulauan RI.
Selanjutnya dinyatakan bahwa garis pangkal lurus kepulauan tidak boleh ditarik ke dan
dari elevasi surut dan dengan begitu elevasi surut (low tide elevation) seperti misalnya
karang kering (drying reef) atau atoll yang umumnya hanya tampak dan kelihatan ketika
air laut sedang surut, tidak dapat dipakai sebagai titik pangkal seandainya terletak di
sekitar pulau terluar. Namun demikian elevasi surut yang secara geografis berada di
sekitar pulau terluar bisa saja digunakan sebagai titik pangkal asal saja di atas elevasi
surut tadi telah dibangun dan dipasang mercu suar atau instalasi serupa yang secara terus
menerus berada di atas permukaan laut sehingga tidak membahayakan keselamatan
berlayar. Di samping itu elevasi surut tersebut dapat digunakan sebagai titik pangkal
bilamana seluruh atau sebagian dari elevasi surut itu terletak dalam jarak yang tidak
melebihi lebar laut territorial yang diukur atau dihitung dari pulau terdekatnya.
Pembatasan lain yang harus menjadi perhatian dalam menerapkan garis pangkal lurus
kepulauan adalah bahwa garis pangkal lurus kepulauan tidak boleh ditarik sedemikian
rupa sehingga memotong perairan laut territorial negara lain dari laut lepas atau zona
ekonomi eksklusif. Dengan mencermati perairan kepulauan di sekitar Kepulauan Natuna
sebagai wilayah perairan RI yang terletak antara Semenanjung Barat Malaysia dengan
Semenanjung Timurnya, laut territorial Malaysia pada kedua semenanjung tersebut
50
51
52
BAB IV. Pengaturan Hukum Mengenai Lintas Layar di Wilayah Perairan Indonesia
dan Keselamatan Pelayaran
53
pasal 45 (lintas damai di Selat yang digunakan untuk pelayaran internasional), pasal 52
(lintas damai di perairan kepulauan) dan pasal 53 (lintas alur laut kepulauan) di dalam
sebuah Rancangan Peraturan Pemerintah yang ditetapkan pada tahun 1998, tetapi
berlakunya pada tahun 2002 berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 37 Tahun 2002
yang mengatur mengenai Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) serta adanya 19
persyaratan yang harus dipenuhi kapal asing yang melewati Alur Laut Kepulauan
Indonesia (ALKI). Akan tetapi sebelum dibentangkan ke-19 persyaratan berdasarkan
Peraturan Pelaksanaan dari Undang-Undang No. 6 Tahun 1996, perlu dijelaskan apa
sebenarnya yang dimaksud dengan hak lintas transit (the right of transit passage)
berdasarkan ketentuan pasal 38 KHL 1982 dan apa yang dimaksud dengan hak lintas
alur-alur laut kepulauan (the right of archipelagic sealanes passage) berdasarkan
ketentuan pasal 53 KHL 1982. Hak lintas transit berlaku di Selat yang digunakan untuk
pelayaran internasional (Straits Used for International Navigation), yaitu bagian laut yang
terletak di antara dan menghubungkan satu bagian dari ZEE atau laut lepas dengan bagian
lain dari ZEE atau laut lepas. Selat tersebut merupakan bagian dari laut territorial yang
dimiliki bukan oleh satu negara saja, melainkan oleh beberapa negara. Pada selat seperti
itu segala jenis kapal dan pesawat udara asing diperkenankan untuk melaksanakan hak
lintas transit. Hak lintas transit berarti pelaksanaan kebebasan pelayaran dan penerbangan
berdasarkan bab ini (bab III mengenai Selat yang digunakan untuk pelayaran
internasional) untuk tujuan transit yang terus menerus, langsung dan secepat mungkin
antara satu bagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif dan bagian laut lepas dan zona
ekonomi eksklusif lainnya. Namun demikian persyaratan transit secara terus menerus,
langsung dan secepat mungkin tidak menutup kemungkinan bagi lintas melalui selat
untuk tujuan memasuki, meninggalkan atau kembali dari suatu negara yang berbatasan
dengan selat itu, dengan tunduk pada syarat-syarat masuk negara itu. Oleh karena itu
setiap kegiatan yang bukan merupakan pelaksanaan hak lintas transit melalui suatu selat
tetap tunduk pada ketentuan-ketentuan lain Konvensi ini. Demikian gambaran makro
mengenai hak lintas transit yang berlakunya di Selat yang digunakan untuk Pelayaran
Internasional. Selanjutnya mengenai hak lintas alur-alur laut kepulauan ditentukan di
dalam pasal 53 KHL 1982. Suatu negara kepulauan dapat menentukan alur-alur laut dan
rute penerbangan di atasnya, yang cocok digunakan untuk lintas kapal dan pesawat udara
asing yang terus menerus, langsung dan secepat mungkin melalui atau di atas perairan
kepulauannya dan laut territorial yang berdampingan dengannya. Semua kapal dan
pesawat udara menikmati hak lintas alur laut kepulauan di dalam alur laut dan rute
penerbangan di atasnya. Hak Lintas alur laut kepulauan (the right of archipelagic sealanes
passage) berarti pelaksanaan hak pelayaran dan penerbangan sesuai dengan ketentuanketentuan konvensi ini dalam cara yang normal (normal mode) semata-mata untuk
melakukan transit yang terus menerus, langsung dan secepat mungkin serta tidak
terhalang antara satu bagian laut lepas atau ZEE dan bagian laut lepas atau ZEE lainnya.
Demikian ketentuan pasal 53 KHL 1982. Sedang pasal 52 KHL 1982 menyatakan bahwa
dengan tunduk pada ketentuan pasal 53 dan tanpa mengurangi arti ketentuan pasal 50,
kapal semua negara menikmati hak lintas damai melalui perairan kepulauan sesuai
dengan ketentuan dalam Bab II, Bagian 3.
IV.2. Analisis Perbandingan dari Berbagai Macam Lintas Layar
54
Untuk dapat memahami secara baik dan benar pengertian ketiga macam lintas pelayaran
di wilayah perairan suatu negara, terutama di wilayah perairan RI, maka perlu diadakan
perbandingan di antara ketiganya yang memperlihatkan adanya persamaan-persamaan
serta perbedaan-perbedaan antara rezim hukum hak lintas damai di satu pihak dengan
rezim hukum hak lintas alur laut kepulauan dan rezim hukum hak lintas transit di lain
pihak.
Adapun kesamaan-kesamaannya adalah sebagai berikut. Pertama, Ketiga macam rezim
lintas pelayaran menetapkan adanya kewajiban bagi setiap kapal asing dalam segala
jenisnya untuk mematuhi peraturan-peraturan hukum nasional dari negara pantai, dalam
hal ini peraturan hukum Indonesia serta peraturan hukum internasional yang dapat
diberlakukan di dalam wilayah perairannya, termasuk peraturan hukum keselamatan
pelayaran seperti SOLAS Convention dan COLREG Regulation. Kewajiban seperti ini
akan menjadi jelas apabila kita membahas kesembilan belas persyaratan yang harus
dipenuhi oleh kapal dan pesawat udara asing yang melintasi wilayah perairan RI
sebagaimana diatur di dalam Peraturan Pemerintah RI tanggal 5 Desember Tahun 1998
yang mulai berlaku tanggal 5 Juni 1999. Itu persamaan pertama. Kedua, ketiga macam
rezim lintas pelayaran juga menetapkan adanya kewajiban bagi kapal asing dalam semua
jenisnya untuk melakukan navigasi secara terus menerus dan cepat (continuous and
expeditious). Akan tetapi kewajiban seperti ini tidak berarti bahwa kapal asing yang
melewati wilayah perairan Indonesia samasekali tidak boleh berhenti atau membuang
jangkar. Kapal asing boleh saja berhenti dan membuang jangkar sepanjang hal tersebut
berkaitan dengan navigasi yang lazim atau perlu dilakukan karena force majeure atau
mengalami kesulitan atau guna memberikan pertolongan kepada orang, kapal atau
pesawat udara yang berada dalam bahaya atau mengalami kesulitan. Walaupun pada
dasarnya kapal asing tidak diperkenankan untuk berhenti dan membuang jangkar, namun
dalam keadaan-keadaan tertentu kapal tersebut boleh saja melakukannya asal saja
dilakukan dalam keadaan terpaksa, seperti kapal tersebut mengalami kesulitan teknis
berupa gangguan pada mesin kapal, atau kapal harus berhenti dan membuang jangkar
karena kapal tersebut harus memberikan bantuan kemanusiaan kepada orang, kapal,
pesawat udara yang sedang mengalami musibah di tengah-tengah laut dalam wilayah
perairan Indonesia. Ketiga, Ketiga macam rezim lintas pelayaran itu menetapkan adanya
kewajiban bagi kapal asing dalam segala jenisnya yang melewati atau melintasi wilayah
perairan Indonesia untuk menggunakan atau mengikuti alur-alur laut yang telah
ditetapkan maupun jalur pemisah lalu lintas yang telah ditentukan oleh Pemerintah RI.
Terdapat tiga macam alur-alur laut kepulauan (ALKI) yang telah dipersiapkan sejak
tahun 1995 melalui rapat kerja nasional yang dihadiri oleh wakil departemen-departemen
dan lembaga-lembaga terkait yang menghasilkan konsep ALKI Utara-Selatan yang pada
dasarnya sama dengan konsep ALKI yang dihasilkan melalui Forum Strategi Angkatan
Laut tahun 1991. Ketiga konsep ALKI Utara-Selatan yang telah ditetapkan adalah 1)
ALKI I yang mempunyai dua cabang di Utara, dimulai dari Laut Cina Selatan atau Laut
Natuna, lalu ke Selat Karimata, lalu ke Laut Jawa, ke Selat Sunda, lalu menuju ke
Samudera Hindia. 2) ALKI II dimulai dari Laut Sulawesi, lalu ke Selat Makassar, lalu ke
Selat Lombok, lalu menuju ke Samudera Hindia. 3) ALKI III yang mempunyai 3 jalur
atau cabang di Selatan. Dengan begitu ada ALKI III A, ada ALKI III B dan ada ALKI III
C. dimulai dari Samudera Pasifik, lalu ke Laut Maluku, lalu ke Laut Seram, lalu ke Laut
55
Banda, lalu ke Selat Ombai, lalu menuju ke Laut Sawu (ALKI III A), atau menuju Laut
Timor (ALKI III B),atau menuju Laut Arafura (ALKI III C). Ketiga konsep ALKI yang
dihasilkan tadi dan juga tentunya apa yang disebut Skema Pemisah Lalu Lintas (Traffic
Separation Scheme) kemudian diserahkan dan diajukan kepada Organisasi Maritime
Internasional untuk mendapatkan persetujuannya. Setelah IMO melalui Komite
Keselamatan Maritim (Maritime Safety Committee) melakukan persidangan sebanyak 3
kali (MSC 67 IMO tanggal 2 -6 Desember 1996; MSC 43 IMO tanggal 14 18 Juli
1997; MSC -69 IMO tanggal 11 - 20 Mei 1998), maka pada tanggal 19 Mei 1998 Konsep
ALKI yang telah diajukan oleh Pemerintah RI telah diadopsi oleh MSC 69 IMO.
Masing-Masing ALKI mempunyai pintu masuk (entry point di sebelah Utara di luar laut
territorial Indonesia dan juga mempunyai pintu keluar (exit point) di sebelah Selatan di
luar laut territorial Indonesia, demikian pula sebaliknya masing-masing ALKI
mempunyai pintu masuk di sebelah Selatan dan pintu keluar di sebelah Utara, di mana
keberadaan pintu masuk dan pintu keluar sangat ditentukan oleh keberadaan dari suatu
kapal asing yang akan melintasi wilayah perairan RI. Sesuai ketentuan yang ada setiap
ALKI harus dibuat melalui pendekatan garis sumbu (axis lines approach) yang
memberikan gambaran mengenai adanya garis-garis sumbu atau maya yang sifatnya
sambung menyambung tanpa terputus-putus yang dimulai dari Utara sampai ke Selatan
atau sebaliknya dari Selatan hingga ke Utara dengan melintasi laut territorial dan perairan
kepulauan Indonesia. Melalui pendekatan garis sumbu tersebut ALKI dapat diasumsikan
sebagai sebuah lorong atau koridor kendati sesungguhnya tidak demikian yang secara
imaginative seakan-akan lebarnya maksimal 25 mil laut yang dapat digunakan dan
diikuti oleh kapal asing ketika melintasi wilayah perairan Indonesia di mana kapal asing
tidak boleh menyimpang melebihi batas 25 mil laut baik pada sisi kiri maupun sisi kanan
dari jalur lintasannya serta kapal tersebut tidak boleh mendekati pantai dari pulau-pulau
yang terdekat dengan alur-alur laut atau jalur lintasannya. Keempat, Indonesia sebagai
negara pantai dan negara kepulauan mempunyai kewajiban untuk tidak menghalanghalangi lintas pelayaran yang dilakukan kapal asing karena pada azasnya ketiga macam
lintas pelayaran merupakan hak untuk melakukan navigasi secara terus menerus dan
cepat dan tidak terhalang kecuali aparat hukum dan keamanan mempunyai alasan kuat
untuk menghalang-halanginya seperti melakukan pelanggaran atas peraturan-peraturan
hukum yang berlaku di dalam wilayah perairan RI seperti pencurian ikan,
penyelundupan, pencemaran lingkungan laut, pelanggaran aturan keselamatan pelayaran
dan lain-lainnya. Di samping itu negara RI berkewajiban untuk menyampaikan
pemberitahuan pada waktunya mengenai adanya bahaya-bahaya yang terdapat di dalam
wilayahnya. Kewajiban-kewajiban seperti itu sebagaimana terdapat dalam KHL 1982 dan
Undang-Undang No.6 Tahun 1996 sesungguhnya merupakan penegasan kembali dari
kaidah hukum kebiasaan internasional yang telah mendapat pengukuhan dari Mahkamah
Internasional berdasarkan keputusannya terkait kasus Selat Corfu (the Corfu Channel
Case) antara Inggeris dan Albania pada tahun 1949 (L.C. Green, International Law
Through The Cases, 1978, p.228-237). Demikian persamaan-persamaan di antara ketiga
macam lintas pelayaran. Sedangkan perbedaan-perbedaannya dapat dipaparkan sebagai
berikut. Pertama, rezim hukum lintas damai (innocent passage) menetapkan adanya
kewajiban bagi kapal selam (submarine) untuk muncul di atas permukaan air laut serta
menunjukkan bendera kebangsaannya pada waktu melintasi wilayah perairan Indonesia.
Kewajiban bagi kapal selam untuk muncul di atas permukaan air laut dan
56
memperlihatkan bendera negaranya tidak berlaku bagi kapal selam yang melintasi
wilayah perairan Indonesia berdasarkan rezim hak lintas transit ataupun hak lintas aluralur kepulauan sehingga kapal selam tetap dapat menyelam sebagaimana lazimnya (in
normal mode) sesuai dengan karakteristik dari kapal selam maupun kendaraan bawah air
lainnya (underwater vehicle). Kedua, Hak lintas damai hanya dapat dinikmati oleh kapal
asing dalam segala jenisnya sebab rezim hukum lintas damai hanya berlaku di dalam
wilayah perairan, termasuk di wilayah perairan RI. Pesawat udara asing yang melakukan
penerbangan melalui rute-rute udara di atas wilayah perairan Indonesia dapat
melakukannya berdasarkan persetujuan atau perizinan dari otoritas yang berwenang dan
tidak berdasarkan hak lintas damai sebab hak ini hanya berlaku bagi kapal asing dan tidak
bagi pesawat udara asing. Sebaliknya hak lintas transit dan hak lintas alur laut kepulauan
selain dapat dinikmati oleh kapal asing dalam segala jenisnya, juga dapat dinikmati oleh
pesawat udara asing di mana pesawat ini dapat menerbangi rute-rute udara yang berada di
atas alur laut kepulauan Indonesia. Pesawat udara termasuk pesawat militer yang berada
di atas sebuah kapal induk yang sedang melintasi wilayah perairan di dalam alur laut
kepulauan Indonesia dapat melakukan penerbangan secara bebas tanpa meminta
persetujuan atau izin dari Pemerintah RI ditinjau dari segi penafsiran teoretis atas rezim
lintas transit ataupun rezim lintas alur laut kepulauan berdasarkan KHL 1982. Hal ini
berarti bahwa apa yang ditentukan di dalam KHL 1982 dan Undang-Undang No. 6 Tahun
1996 mengenai wilayah perairan Indonesia, yakni adanya kebebasan melakukan
pelayaran dan penerbangan di Alur Laut Kepulauan Indonesia sudah tidak sejalan dengan
ketentuan Konvensi Chicago 1944 yang telah menjadi hukum positif Indonesia yang pada
prinsipnya menekankan bahwa penerbangan pesawat udara asing melalui ruang udara
termasuk yang berada di atas ALKI hanya dapat dilakukan berdasarkan persetujuan atau
izin dari RI sebagai negara kolong. Namun demikian kedua ketentuan tersebut tidak perlu
dipertentangkan sebab keduanya dapat berjalan berdasarkan azas yang di dalam Ilmu
Hukum disebut azas lex specialis derogat legi generali, yang berarti hukum khusus
(KHL !982 atau Undang-Undang No. 6 Tahun 1996) mengesampingkan hukum umum
(Konvensi Chicago) ataupun berdasarkan azas lex posterior derogat legi priori, yang
berarti hukum yang dibuat kemudian dapat mengesampingkan hukum yang dibuat
sebelumnya. Namun demikian pengaturan KHL 1982 dan Undang-Undang No. 6 Tahun
1996 dalam kaitan dengan hak lintas alur laut kepulauan bagi kapal asing khususnya
kapal perang serta pesawat udara asing telah diimplementasikan melalui Peraturan
Pemerintah Tahun Nomor 37 Tahun 2002 mengenai Alur-Alur Laut Kepulauan Indonesia
(ALKI) yang memuat 19 persyaratan melalui ALKI. Salah satu persyaratan yang
disebutkan di dalam PP tersebut menyatakan bahwa kapal perang asing dan pesawat
terbang militer asing dilarang melakukan latihan perang-perangan. Kapal perang asing
dan pesawat terbang asing yang merupakan unit-unit kapal perang asing, juga kapal yang
menggunakan tenaga nuklir diharapkan untuk melakukan pemberitahuan kepada
Pemerintah RI dalam hal ini Panglima TNI terlebih dahulu. Perlunya ada pemberitahuan
terlebih dahulu oleh kapal-kapal seperti itu mempunyai tujuan untuk menjamin
kepentingan keselamatan pelayaran serta untuk mengambil tindakan permulaan yang
diperbolehkan jika terjadi sesuatu yang tidak menguntungkan. Akhirnya perbedaan
ketiga, rezim hukum lintas damai memperkenankan negara RI untuk melakukan
penangguhan terhadap pelayaran kapal asing di wilayah perairannya, sementara rezim
hukum lintas transit dan lintas alur laut kepulauan tidak memperkenankan Indonesia
57
untuk melakukan tindakan penangguhan seperti itu. Kalau dalam konteks hak lintas
damai penangguhan itu perlu dilakukan, maka harus diperhatikan syarat-syarat berikut
ini. Pertama, tindakan penangguhan itu hanya dapat dilakukan pada bagian-bagian
tertentu dari wilayah perairan RI. Kedua, tindakan penangguhan itu hanya dapat
dilakukan untuk sementara waktu. Ketiga, tindakan tersebut dilakukan di samping untuk
membuktikan kedaulatan Indonesia di wilayah perairannya, juga untuk menjamin
keselamatan pelayaran bagi kapal asing. Keempat, tindakan tersebut hanya dapat berlaku
efektif setelah diadakan pengumuman yang sewajarnya. Dalam pengertian praktis
tindakan penangguhan (suspension) tersebut dilakukan dengan menutup untuk sementara
waktu bagian-bagian laut yang biasa digunakan oleh kapal asing dalam segala jenisnya.
Pemerintah RI tidak sekedar menutup bagian-bagian laut tertentu saja sebab kalau ini
yang terjadi berarti Pemerintah menghambat dan menghalangi hak kapal asing untuk
melintasi wilayah perairan, padahal ini samasekali dilarang terkecuali kapal asing
melakukan pelanggaran hukum. Dengan demikian Pemerintah atau otoritas terkait
mempunyai kewajiban untuk menyediakan bagian-bagian laut lainnya sebagai alternative
yang dapat digunakan sehingga kapal asing tetap dapat menikmati haknya dalam
melintasi wilayah perairan Indonesia dengan mengikuti alur laut kepulauan yang telah
ditentukan.
Selanjutnya dalam memahami secara baik dan benar soal implementasi atau penerapan
atas ketiga macam lintas pelayaran yang memiliki persamaan-persamaan (di samping
perbedaan-perbedaannya) sehingga sering tidak dapat dipisahkan satu sama lain di dalam
wilayah perairan Indonesia, maka perlu sekali dipaparkan apa yang sebelumnya pernah
disinggung mengenai adanya sembilan belas persyaratan yang harus ditaati oleh kapal
58
dan pesawat udara asing yang melaksanakan hak lintas alur laut kepulauan Indonesia
(Penyuluhan Hukum ALKI, Dinas Pembinaan Hukum TN I AL, MABES TNI AL
Cilangkap, Jakarta, 1998, Hlm.2-3).
1. Kapal-kapal yang berada di ALKI tidak akan mengganggu kedaulatan
(souvereignty), keutuhan territorial (territorial integrity) atau kemerdekaan
(independence) dan persatuan nasional Indonesia (national union of Indonesia).
Kapal-kapal yang dimaksud tentu semua jenis kapal (kapal dagang, kapal perang,
kapal berbendera RI ataupun kapal asing dan lain-lain) tidak akan melaksanakan
setiap kegiatan yang bertentangan dengan azas-azas hukum internasional
sebagaimana ditetapkan di dalam Piagam PBB.
2. Pesawat terbang (tentu saja yang dimaksud disini pesawat terbang dalam segala
jenisnya baik itu pesawat sipil maupun pesawat militer) dalam melaksanakan hak
lintas alur laut kepulauan tidak diperbolehkan untuk melakukan penerbangan di
luar alur-alur laut (di atas atau dengan pengecualian Rezim Organisasi
Penerbangan Sipil Internasional/ Regime ICAO) dan pesawat terbang tersebut
tidak akan terbang terlalu dekat dengan pulau-pulau atau daratan di dalam wilayah
territorial Indonesia, termasuk daerah di dalam ALKI. Penerbangan disertai
dengan maneuver pesawat militer AS yang terjadi beberapa tahun lalu di ruang
udara diatas Pulau Bawean (Propinsi Jawa Timur) di samping melakukan
penerbangan tanpa persetujuan dari dan tanpa pemberitahuan kepada Pemerintah
RI, juga melakukan penerbangan di luar alur-alur laut kepulauan serta mendekati
pantai pulau Bawean dalam wilayah kedaulatan sehingga mengancam dan
membahayakan kedaulatan serta keutuhan territorial NKRI.
3. Pesawat terbang sipil asing yang melalui ALKI harus mengikuti aturan-aturan
penerbangan sipil internasional sebagaimana ditetapkan oleh Organisasi
Penerbangan Sipil Internasional (International Civil Aviation Organization)
seperti misalnya The Chicago Convention tahun 1944.
4. Kapal perang asing dan pesawat terbang militer asing ketika sedang melewati
alur-alur laut, tidak diperbolehkan melakukan latihan perang-perangan. Larangan
seperti ini tentu terkait masalah pertahanan dan keamanan negara, masalah
kedaulatan serta keutuhan territorial NKRI. Dengan demikan insiden udara di atas
Pulau Bawean oleh pesawat militer AS yang melakukan maneuver tanpa
persetujuan dari Panglima TNI (seakan-akan mengadakan latihan perangperangan) yang terjadi beberapa tahun sebelumnya sesungguhnya merupakan
pelanggaran atas kedaulatan dan keutuhan territorial NKRI sekalipun pihak AS
merasa tidak terikat terhadap KHL 1982 karena negeri Paman Sam ini belum
meratifikasinya hingga saat ini. Namun alasan ini tidak dapat
dipertanggungjawabkan dilihat dari sudut Piagam PBB yang mewajibkan AS
untuk menghormati kedaulatan dan keutuhan territorial setiap negara berdaulat,
apalagi AS berstatus sebagai anggota tetap dari Dewan Keamanan yang
mempunyai tanggungjawab utama dalam memelihara perdamaian serta keamanan
internasional..
5. Kapal perang asing dan pesawat terbang asing yang merupakan satuan-satuan atau
unit-unit kapal perang asing, di samping kapal-kapal yang menggunakan tenaga
nuklir, yang sedang melewati alur laut, diharapkan untuk memberitahukan kepada
Pemerintah RI (yaitu Panglima Angkatan Bersenjata RI atau Panglima TNI)
59
60
Landas Kontinen Indonesia yang masih berlaku hingga sekarang, setiap instalasi
atau bangunan khususnya instalasi pertambangan minyak dan gas bumi yang
didirikan di Landas Kontinen harus memiliki apa yang disebut daerah terlarang
(prohibited area) dan daerah terbatas (restricted area). Daerah terlarang lebarnya
tidak boleh melebihi 500 meter yang dihitung dari setiap titik terluar pada
instalasi, kapal-kapal dan atau alat-alat lainnya yang terdapat di Landas Kontinen
dan atau di atasnya, sedangkan daerah terbatas lebarnya tidak boleh melebihi
1.250 meter terhitung dari titik-titik terluar dari daerah terlarang itu, di mana
kapal-kapal pihak ketiga dilarang membuang atau membongkar jangkar. Kapalkapal harus berlayar secara terus menerus dalam radius antara 500 meter dengan
1.250 meter di sekeliling instalasi, kapal maupun alat-alat lainnya. Kapal asing
dan pesawat terbang asing tidak boleh memasuki daerah terlarang atau daerah
aman yang radiusnya maksimal 500 meter terhitung dari titik-titik terluar dari
instalasi dengan segala perlengkapannya sebab daerah aman ini ditetapkan
sebagai daerah pabean di mana berlaku semua peraturan hukum RI. Kapal asing
dan pesawat terbang asing hanya bisa melintasi daerah terbatas dengan radius
1.250 meter terhitung dari titik-titik terluar dari instalasi serta segala
perlengkapannya.
9. Kapal-kapal ikan asing harus tetap menyimpan peralatan penangkapan ikan
sewaktu transit, dan dilarang melaksanakan kegiatan penangkapan ikan ketika
melakukan transit di wilayah perairan Indonesia.
10. Kapal-kapal yang melintas transit di perairan alur-alur laut harus berhati-hati dan
harus menggunakan peraturan system keselamatan navigasi internasional serta
dapat menunjukkan kemampuannya sebagaimana yang dimiliki oleh kapal
setempat maupun nelayan dan pelaut setempat.
11. Setiap kapal yang melintasi wilayah perairan Indonesia dilarang membuang
benda-benda sisa beracun atau benda berbahaya termasuk sampah di perairan
Indonesia. Wilayah perairan RI tidak boleh dijadikan sebagai tempat pembuangan
limbah baik limbah yang mengandung racun atau zat-zat berbahaya lainnya
karena Pemerintah dapat menerapkan peraturan perundang-undangan yang
mengatur masalah lingkungan hidup (Undang-Undang No. 27 Tahun 2003
mengenai Lingkungan Hidup ) yang di dalamnya memuat soal sanksi pidana dan
perdata dalam bentuk tuntutan gantirugi terhadap mereka yang terlibat dalam
tindakan pencemaran maupun perusakan lingkungan hidup termasuk lingkungan
laut serta sumber daya alam yang terdapat di dalamnya.
12. Dengan berpedoman pada berbagai peraturan perundangan soal lingkungan hidup,
maka setiap kapal dilarang untuk melakukan pembersihan tangki-tangki kapal
atau mengotori wilayah perairan Indonesia ketika melintasi wilayah perairan RI.
Sebagaimana diketahui terdapat berbagai macam sumber yang menyebabkan
terjadinya pencemaran laut. Ada yang berasal dari sumber di laut itu sendiri dan
ada yang berasal dari daratan. Pencemaran yang berasal dari sumber di laut itu
sendiri dapat meliputi sumber pencemaran yang berasal dari kapal dan ada yang
berasal dari instalasi minyak. Sumber pencemaran yang berasal dari kapal bisa
mencakup berbagai factor, seperti kecelakaan kapal (kapal pecah, kapal kandas,
tubrukan kapal), kebocoran kapal, pembuangan minyak serta air tangki
61
62
atau material berbahaya lain, kapal ikan asing dan termasuk kapal perang asing
yang melintas di perairan Indonesia dari perairan ZEE atau laut lepas atau dari
perairan ZEE menuju ke perairan laut lepas dan melintasi perairan Indonesia
hanya diizinkan melintas melalui alur-alur laut yang telah ditentukan.
Semua alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) yang telah ditetapkan oleh
Pemerintah RI dan telah diterima oleh Organisasi Maritime Internasional (The
International Maritime Organization) terbuka bagi semua kapal baik kapal yang
berbendera Indonesia maupun berbendera asing serta kapal jenis apapun yang
ingin melintasi wilayah perairan RI secara cepat dan terus menerus berdasarkan
hak lintas alur laut kepulauan (the right of archipelagic sealanes passage)
sebagaimana diatur dalam KHL 1982. Kapal perang (warship), kapal yang
membawa barang berbahaya dan kapal penangkap ikan asing yang melintasi
perairan Indonesia untuk tujuan transit dari suatu bagian ZEE Indonesia atau laut
bebas menuju ke bagian lain dari ZEE Indonesia atau laut bebas dianjurkan untuk
melewati ALKI, apakah ALKI I, ALKI II ataukah ALKI III. Selanjutnya perlu
mendapat perhatian bahwa kegiatan pelayaran kapal asing melalui wilayah
perairan RI lainnya yang berada di luar ALKI tetap diperkenankan, dengan tetap
tunduk kepada atau mematuhi ketentuan-ketentuan mengenai hak lintas damai
(The Right of Innocent Passage) sebagaimana diatur di dalam KHL 1982 serta
peraturan perundang-undangan Indonesia yang berlaku seperti Undang-Undang
No.6 Tahun 1996 mengenai Perairan Indonesia, Undang-Undang No.31 Tahun
2004 mengenai Perikanan, Undang-Undang No.32 Tahun 2004 mengenai
Otonomi Daerah, Undang-Undang mengenai Pelayaran, Undang-Undang
mengenai Lingkungan Hidup, Undang-Undang mengenai Kepabeanan, UndangUndang Keimigrasian, Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang bidang
Perekonomian, Undang-Undang Penyiaran, Undang-Undang mengenai
Pertahanan dan Keamanan Nasional dan segala macam peraturan perundangan
yang berlaku dalam wilayah RI termasuk pula peraturan perundangan yang
menyangkut keselamatan pelayaran(Keppres No.203 Tahun 1966 yang
meratifikasi Konvensi SOLAS serta Keppres No.107 Tahun 1968 yang
meratifikasi Konvensi COLREG atau International Regulation for the Prevention
of Collisions at Sea atau Pengaturan Internasional mengenai pencegahan tubrukan
di laut) (Mochtar Kusumaatmadja, Bunga Rampai Hukum Laut, 1978, Hlm. 217)
dengan catatan bahwa kedua konvensi internasional ini telah berkali-kali
mengalami perubahan dan perbaikan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat
internasional guna menjamin dan meningkatkan perlindungan keselamatan
pelayaran.
63
64
wilayahnya, serta syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh kapal itu dalam mendapatkan
hak untuk mengibarkan bendera dari negara yang bersangkutan. Akan tetapi ketentuan
pasal itu membatasi hak dan kewenangan negara tersebut sebab di dalam pasal tersebut
dinyatakan bahwa harus terdapat hubungan asli (genuine link) antara negara dengan
kapal, terutama negara itu harus dapat menjalankan yurisdiksi dan pengawasannya secara
efektif dalam masalah administrative, teknik dan sosial terhadap kapal yang mengibarkan
benderanya. Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan hubungan asli (genuine link) atau
ukuran-ukuran apa yang dapat digunakan untuk menentukan ada tidaknya hubungan asli
antara suatu negara dengan kapal, samasekali tidak dijelaskan dalam Konvensi Geneva
1958 mengenai laut bebas sehingga dengan demikian adalah tidak jelas apa akibatnya
atau konsekuensinya bilamana antara suatu kapal dengan negara yang nasionalitasnya
dibawa oleh kapal tersebut tidak ada suatu hubungan asli (R.R. Churchill and A.V. Lowe,
Hlm 181-183). Itulah sebabnya mengapa dalam praktek negara-negara persyaratan
mengenai hubungan asli tidak menimbulkan kewajiban hukum dan tidak mengikat
negara-negara sehingga tidak sedikit negara-negara yang tidak mematuhi ketentuan soal
hubungan asli (genuine link) atau dengan kata lain ketentuan ini menjadi huruf mati
dalam praktek negara-negara. Walaupun sejumlah negara seperti Inggeris, AS, Norwegia
dan Perancis mensyaratkan di dalam hukum nasionalnya adanya hubungan asli antara
negara dengan kapal dengan menyatakan bahwa para pemilik kapal dan atau awak kapal
baik keseluruhan maupun sebagian harus memiliki nasionalitas dari negara yang
bersangkutan, namun ternyata negara-negara lain (terutama negara-negara miskin dari
kawasan Afrika dan Karibia) tidak menetapkan persyaratan seperti itu di dalam hukum
nasionalnya karena tidak satupun dari kelompok terakhir ini yang menjadi peserta pada
Konvensi Geneva 1958 mengenai Laut Lepas. Kelompok negara-negara yang tidak
mensyaratkan adanya hubungan asli antara negara dengan kapal umumnya dikenal
dengan istilah negara-negara Flag of Convenience States atau Open Registry States.
Hal ini disebabkan karena negara-negara tersebut mengizinkan pemilik kapal asing untuk
mendaftarkan kapalnya di dalam wilayah negara-negara tersebut dan mengizinkan
pemilik kapal untuk mempergunakan benderanya walaupun antara pemilik kapal dengan
salah satu dari kelompok negara-negara tersebut tidak terdapat hubungan asli atau tidak
memperlihatkan adanya suatu hubungan yang bersifat substansial. Di lain sisi banyak
pemilik kapal yang berasal dari negara-negara maju seperti AS, Yunani, Jepang dan Hong
Kong merasa tertarik untuk meregistrasi kapalnya di negara-negara yang dinamakan Flag
of Convenience atau Open Registry States karena selain alasan tidak disyaratkannya
mengenai hubungan asli atau tidak diperlukan adanya hubungan asli, juga disebabkan
negara-negara itu menetapkan biaya dan pajak yang sangat rendah bagi pemilik kapal
apabila mendaftarkan kapalnya di negara-negara tersebut, persyaratan penempatan awak
kapal yang cukup meringankan bagi pemilik kapal serta gaji yang sangat rendah sehingga
dengan demikian biaya operasional yang dikeluarkan oleh pemilik kapal dapat ditekan
sekecil mungkin dan pada akhirnya dapat memberikan keuntungan signifikan bagi
pemilik kapal. Negara-negara seperti Liberia, Somalia, Siprus, Panama dan lain-lainnya
dapat dikualifikasi ke dalam kelompok negara-negara yang disebut Flag of
Convenience atau Open Registry States karena peraturan-peraturan hukumnya tidak
mensyaratkan adanya hubungan asli antara pemilik kapal atau operator kapal dengan
negara yang bersangkutan dan juga peraturan hukum negara-negara itu dianggap lunak
dalam menetapkan syarat-syarat penempatan awak kapal, di samping keringanan
65
66
disebabkan karena sistem hukum yang berlaku di atas suatu kapal adalah sistem hukum
dari negara bendera dan dengan demikian bendera PBB tidak dapat dipersamakan dengan
bendera dari suatu negara. Kendati Komisi Hukum Internasional melakukan pendekatan
negative, namun pasal 7 dari Konvensi Geneva 1958 mengenai Laut Bebas yang
merupakan kesepakatan dari negara-negara peserta konferensi menyatakan bahwa
ketentuan-ketentuan konvensi tidak mempengaruhi atau mengurangi persoalan kapal
yang dipergunakan untuk melaksanakan tugas resmi dari suatu organisasi internasional
dengan mengibarkan bendera organisasi itu. Ketentuan pasal 7 itu sesungguhnya tidak
jelas sehingga dapat menimbulkan permasalahan. Pasal 93 KHL 1982 sangat mirip
dengan pasal 7 Konvensi Geneva 1958 mengenai Laut Bebas, tetapi KHL 1982 terutama
ketentuan pasal 93 membatasi pengertian organisasi antarpemerintah hanya pada PBB,
badan-badan khusus dari PBB dan Organisasi Tenaga Atom Internasional. Sulit dipahami
mengapa pasal 93 KHL 1982 membatasi pengertian organisasi antarpemerintah atau
organisasi internasional hanya pada PBB, badan-badan khusus PBB serta IAEA
(International Atomic Energy Agency), padahal dewasa ini ternyata sudah bermunculan
berbagai organisasi internasional lain yang sangat maju seperti misalnya Uni Eropa yang
sebentar lagi akan memiliki sebuah konstitusi yang mengikat semua negara anggotanya
sehingga dapat menimbulkan masalah hukum sebab bendera organisasi itu dapat
dikibarkan oleh kapal-kapal, apalagi organisasi tersebut dapat menjadi peserta pada KHL
1982.24)
Pada akhirnya harus dicatat bahwa kapal yang mengibarkan dua bendera atau
lebih dianggap tidak memiliki nasionalitas. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 6 Konvensi
Geneva 1958 mengenai Laut Bebas dan pasal 92 KHL 1982. Perumusan ketentuan baik
di dalam Konvensi Geneva 1958 maupun KHL 1982 dengan cara seperti itu agaknya
berlebihan sehingga menurut hemat kami sebaiknya disederhanakan saja dengan
menyatakan bahwa setiap kapal yang memiliki dan mengibarkan lebih dari satu macam
bendera harus disamakan dengan tidak memiliki bendera. Dengan demikian kalau kapal
itu dianggap tidak memiliki bendera, kapal tersebut tidak mempunyai nasionalitas
apapun. Konsekuensinya adalah di samping tidak memiliki hak navigasi atau hak
berlayar di berbagai jalur laut dari negara pantai dan juga di laut bebas atau perairan
internasional, kapal yang bersangkutan juga tidak mempunyai hak untuk mendapatkan
perlindungan diplomatic dari negara manapun. Tidak ada satu negarapun yang dapat
dituntut pertanggungjawabannya dalam kaitan dengan kapal yang memiliki lebih dari
satu macam bendera. Hanya kapal yang memiliki dan mengibarkan satu bendera dan
tidak lebih dari satu bendera saja yang diakui memiliki nasionalitas dari negara bendera
sehingga dengan demikian kapal tersebut dapat menikmati hak-hak berlayar, hak atas
perlindungan diplomatic dari negara bendera yang memiliki yurisdiksi dan
tanggungjawab terkait dengan kapal tersebut.
Kapal asing mempunyai hak navigasi di dalam berbagai jalur laut dari negara RI
dan juga di perairan internasional, sebagaimana halnya kapal Indonesia atau yang
berbendera Indonesia memiliki hak navigasi di wilayah perairan negara lain maupun di
perairan laut bebas. Di perairan pedalaman seperti perairan teluk, sungai dan pelabuhan
Indonesia, kapal asing biasanya tidak menikmati hak navigasi kecuali ada perjanjian
seperti misalnya perjanjian persahabatan, perjanjian perdagangan dan perjanjian dalam
bidang pelayaran yang memungkinkan adanya hak akses ke perairan pedalaman terutama
hak akses ke pelabuhan RI. Selanjutnya di perairan kepulauan dan laut teritorial
67
Indonesia, kapal asing menikmati hak navigasi dalam bentuk hak lintas damai, hak lintas
transit (khusus di Selat Malaka sebagai Selat yang digunakan untuk pelayaran
internasional) dan hak lintas alur laut kepulauan. Sebagaimana telah dikemukakan di atas,
dalam kaitan hak lintas damai di laut territorial dan perairan kepulauan, Indonesia dapat
melakukan tindakan penangguhan berdasarkan syarat-syarat tertentu atas kapal asing
yang berlayar di wilayah perairannya. Akan tetapi kapal asing yang berlayar di Selat yang
dipergunakan untuk pelayaran internasional (Straits Used For International Navigation)
juga dalam konteks hak lintas damai (the right of innocent passage) tidak bisa
ditangguhkan mungkin karena pelaksanaan hak lintas damai di Selat seperti itu sama saja
dengan pelaksanaan hak lintas transit (the right of transit passage) yang tidak mungkin
bisa ditangguhkan oleh negara-negara tepi termasuk Indonesia. Di luar laut territorial
seperti di jalur tambahan (Contiguous Zone) Indonesia, kapal asing menikmati kebebasan
navigasi dan dengan begitu negara bendera mempunyai yurisdiksi yang bersifat eksklusif
atas kapal itu. Namun demikian kebebasan navigasi yang dinikmati kapal asing serta
yurisdiksi eksklusif dari negara bendera disertai dengan pembatasan tertentu, di mana
Indonesia mempunyai hak untuk melakukan pengawasan yang memang dibutuhkan untuk
mencegah dan menghukum terjadinya pelanggaran kapal asing terhadap peraturan
perundang-undangan dalam bidang-bidang bea cukai, fiscal, keimigrasian dan sanitasi
(lihat pasal 33 KHL 1982/ Undang-Undang No.17 Tahun 1985). Aparat hukum Indonesia
berwenang untuk menangkap dan menahan kapal yang dicurigai dan diduga kuat terlibat
dalam pelanggaran terhadap satu atau lebih ketentuan dari peraturan perundangan yang
berlaku. Aparatnya juga berwenang untuk naik ke atas kapal untuk melakukan
pemeriksaan dan apabila terbukti terjadi pelanggaran, maka aparat hukum dapat menahan
kapal dan personel yang terlibat, melakukan penyidikan, penuntutan dan peradilan
terhadap mereka yang tersangkut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Selanjutnya di perairan ZEE Indonesia atau perairan di atas landas
kontinennya kapal asing memiliki kebebasan berlayar (freedom of navigation) karena
perairan ZEE atau perairan di atas landas kontinen Indonesia tetap berstatus sebagai
perairan laut bebas atau perairan internasional. Kapal asing berkewajiban untuk
menghormati zona-zona keselamatan (safety zones) di sekeliling pulau buatan atau
instalasi yang berdasarkan peraturan perundang-undangan Indonesia diimplementasikan
sebagai zona terbatas (restricted zones) dan zona terlarang (prohibited zones) pada setiap
instalasi pertambangan (Undang-Undang No. 1 Tahun 1973, Undang-UndangNo. 5 Tahun
1983). Akan tetapi RI berkewajiban untuk tidak mendirikan pulau buatan dan instalasi
yang dapat mengganggu penggunaan alur-alur laut yang diakui esensial untuk pelayaran
internasional (Pasal 5 ayat 3 dan ayat 6 Konvensi Geneva 1958 mengenai laut territorial
dan jalur tambahan, juga pasal 60 ayat 6 dan ayat 7 serta pasal 80 KHL 1982).
Sebagaimana halnya di perairan ZEE atau perairan di atas landas kontinen Indonesia
yang tetap mempunyai kedudukan sebagai perairan internasional, maka kapal asing dan
kapal Indonesia juga mempunyai kebebasan untuk berlayar di perairan laut bebas, yaitu
di perairan yang berada di luar ZEE atau di luar perairan di atas landas kontinen
Indonesia, misalnya saja di Samudera Pasifik, Samudera Hindia atau laut Cina Selatan
etc. Namun kapal Indonesia ataupun kapal asing harus memperhatikan dengan sepatutnya
kepentingan negara lain yang telah menjalankan berbagai kegiatan di perairan laut bebas
tersebut (Pasal 2 Konvensi Geneva 1958 mengenai laut bebas dan pasal 87 ayat 2 KHL
1982). Pada akhirnya di manapun kapal itu berada (kapal asing ataupun kapal yang
68
berbendera Indonesia), entah berada di wilayah perairan RI, entah di wilayah perairan
negara lain maupun di perairan laut bebas atau perairan internasional, mempunyai
kewajiban untuk mentaati segala ketentuan yang terkait dengan masalah lingkungan laut
maupun masalah keselamatan pelayaran atau keselamatan perkapalan (safety of
shipping).
Untuk menjamin kepentingan pemilik kapal, kepentingan pelaut maupun
kepentingan masyarakat pada umumnya, maka kegiatan pengangkutan atau transportasi
penumpang dan barang harus dilakukan dengan cara yang sangat aman sehingga dapat
dicegah atau setidak-tidaknya dapat diperkecil timbulnya musibah atau kecelakaan di
tengah-tengah laut, seperti misalnya kapal tenggelam, kapal kandas ataupun kapal
bertabrakan. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, maka Konvensi Geneva 1958
mengenai Laut Bebas (pasal 10) menetapkan bahwa setiap negara berkewajiban
mengambil langkah-langkah atau tindakan-tindakan yang bertujuan untuk menjamin
keselamatan kapalnya di laut. Tindakan-tindakan yang bisa dilakukan oleh negara
bendera meliputi masalah komunikasi, pencegahan tubrukan, persyaratan yang harus
dipenuhi oleh setiap awak kapal, masalah konstruksi kapal, masalah perlengkapan kapal
maupun masalah kelayakan kapal secara umum untuk berlayar di laut. Tindakan-tindakan
dari negara bendera dalam hubungan dengan kapal yang menggunakan dan mengibarkan
benderanya harus sesuai dengan standar internasional yang telah diterima secara umum.
KHL 1982 melalui pasal 94 pada dasarnya memuat ketentuan yang sama dengan pasal 10
Konvensi Geneva 1958 mengenai laut bebas. Akan tetapi KHL 1982 menetapkan secara
terperinci kewajiban dari negara bendera (Flag State), yaitu negara bendera mempunyai
kewajiban untuk selalu memeriksa secara teratur masalah kelayakan kapal, kewajiban
untuk menjamin kualifikasi awak kapal sehingga setiap personel di atas kapal benarbenar memenuhi persyaratan sebagai awak kapal, juga kewajiban untuk mengadakan
penyelidikan terhadap korban kecelakaan kapal (shipping casualties). Bahwa Konvensi
Geneva 1958 dan KHL 1982 menekankan adanya standar internasional yang harus
diperhatikan dalam menetapkan tindakan-tindakan bagi keselamatan kapal di laut itu
tentu harus dilihat dari kebutuhan praktis sebab walaupun setiap negara, dalam hal ini
setiap negara bendera secara teoritis memiliki kebebasan untuk membuat dan
menerapkan peraturan hukumnya sendiri misalnya mengenai masalah kelayakan kapal
dan masalah kualifikasi awak kapal terhadap kapal yang mengibarkan benderanya dan
juga (secara terbatas) terhadap kapal asing yang memasuki pelabuhan atau laut
teritorialnya, namun dengan aturan yang begitu beranekaragam dari masing-masing
negara dan malahan mungkin bertentangan satu sama lain, apabila diterapkan tentu saja
dapat menimbulkan semacam anarki atau kekacauan dalam dunia pelayaran internasional.
Dengan latar belakang seperti itulah, masyarakat internasional memerlukan dan
membutuhkan adanya keseragaman standarisasi internasional dalam rangka menjamin
serta meningkatkan keselamatan perkapalan (the Safety of Shipping). Standarisasi yang
seragam ini dapat ditemukan dalam sejumlah konvensi internasional yang pada umumnya
merupakan hasil karya dari Organisasi Maritim Internasional. Standarisasi keselamatan
perkapalan sebagaimana terdapat di dalam berbagai perjanjian meliputi empat masalah
utama, yakni pertama, masalah kelayakan kapal (the seaworthiness of ship); kedua,
masalah pencegahan tubrukan serta trayek kapal (the prevention of collision and the ship
routeing); ketiga, masalah standar penempatan awak kapal (the standard for the manning
of ship); keempat, masalah penetapan alat bantu navigasi (the establishment of
69
navigational aids). Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa bukan hanya keempat hal
tersebut yang dijadikan sebagai pilar bagi keselamatan kapal di laut, melainkan juga
negara-negara seharusnya menerapkan standarisasi keamanan bagi kapal yang
mengibarkan benderanya maupun standarisasi keamanan bagi pelabuhan internasional
sebagaimana diatur di dalam ISPS Code (International Ship and Port Facilities Security
Code) yang telah diadopsi oleh Organisasi Maritim Internasional pada tahun 2002 dan
kemudian telah berlaku sejak tahun 2004 lalu.
Sebelum dibahas ISPS Code atau system pengamanan kapal dan pelabuhan atau
fasilitas pelabuhan internasional, maka berikut ini dibentangkan beberapa konvensi
internasional penting yang mengatur masalah kelaikan kapal untuk berlayar di tengahtengah laut. Pertama, apa yang dinamakan Konvensi SOLAS tahun 1974 (the
International Convention for the Safety of Life at Sea). Konvensi ini dapat dianggap
sebagai konvensi terakhir yang menggantikan konvensi-konvensi SOLAS sebelumnya, di
mana konvensi SOLAS pertama dibuat dalam kaitan dengan peristiwa tenggelamnya
kapal Titanic di lepas pantai Newfoundland (AS). Konvensi SOLAS memuat sejumlah
aturan yang sifatnya kompleks dengan menetapkan standar-standar yang berkaitan
dengan konstruksi kapal, tindakan pengamanan kapal dan segala isinya dari bahaya
kebakaran(fire-safety measures), permohonan bantuan bagi orang dan atau kapal yang
akan tenggelam (life-saving appliances), alat perlengkapan navigasi yang harus dibawa di
atas kapal dan aspek-aspek lain dari keselamatan navigasi, barang berbahaya yang dapat
dibawa serta aturan khusus mengenai kapal nuklir atau kapal yang bertenaga nuklir.
Standar-standar menyangkut berbagai aspek keselamatan navigasi yang berlaku di atas
kapal itu sendiri (aspek internal dari keselamatan navigasi) harus ditentukan oleh setiap
negara peserta Konvensi SOLAS dan berhubung karena RI telah meratifikasi Konvensi
SOLAS tahun 1960 (kini Konvensi SOLAS tahun 1974) berdasarkan Keputusan Presiden
No. 203 Tahun 1966 maka Indonesia berkewajiban untuk menetapkan berbagai standar
keselamatan navigasi yang berlaku di atas kapal yang berbendera Indonesia. Pelaksanaan
standar keselamatan navigasi sebagaimana diatur di dalam SOLAS Convention pada
prinsipnya terletak di tangan Indonesia sebagai negara bendera (flag state). Namun
demikian ada kalanya negara pantai atau negara pelabuhan (Port State), yaitu negara yang
pelabuhannya didatangi atau disinggahi oleh kapal Indonesia dapat juga melaksanakan
standar keselamatan navigasi dalam pengertian negara pelabuhan dapat melakukan
pengawasan sejauh mana kapal berbendera Indonesia telah mematuhi standar
keselamatan navigasi yang ditentukan dalam Konvensi mengenai Keselamatan Jiwa di
Laut. Demikian pula sebaliknya dengan kapal asing yang memasuki pelabuhan RI, maka
Indonesia sebagai negara pelabuhan melalui aparat hukumnya dapat melakukan
pengawasan mengenai sejauh mana kapal asing tersebut telah mentaati standar
keselamatan navigasi sebagaimana ditetapkan di dalam SOLAS Convention. Sebagai
Negara pelabuhan, Indonesia mempunyai hak untuk memeriksa apakah kapal asing yang
berada di salah satu pelabuhan Indonesia membawa sertifikat atau dokumen sah
mengenai hal-hal yang disyaratkan atau diwajibkan oleh Konvensi. Apabila ada alasan
yang sangat meyakinkan di mana kondisi kapal maupun alat perlengkapannya
sesungguhnya tidak sesuai dengan hal-hal yang ditentukan dalam setiap sertifikat atau
dokumen tadi, atau di mana sebuah sertifikat atau dokumen telah kadaluarsa, atau di
mana kapal atau alat perlengkapannya tidak memenuhi ketentuan Regulation 11 (Bab I)
dari Konvensi SOLAS tahun 1974 (kondisi kapal maupun alat perlengkapannya harus
70
dalam kondisi terawat dan terpelihara setelah survei dilakukan) dan dengan demikian
apabila kondisi kapal serta alat perlengkapannya ternyata tidak terpelihara sebagaimana
mestinya, padahal sebenarnya telah disurvei sebelumnya, maka pihak berwenang dari
Indonesia selaku negara pelabuhan dapat mengambil langkah-langkah atau tindakantindakan dengan melarang kapal tersebut berlayar, melarang kapal tersebut meninggalkan
pelabuhan serta memerintahkan kapal itu untuk masuk ke dalam galangan kapal untuk
mendapatkan perawatan sebagaimana mestinya.
Selanjutnya pada tahun 1978 Organisasi Maritim Internasional mengesahkan
sebuah Protokol Konvensi SOLAS yang menyangkut keselamatan kapal tangker serta
pencegahan polusi. Protokol yang mulai berlaku sejak tahun 1981 mewajibkan semua
kapal yang melampaui ukuran tertentu untuk mempergunakan apa yang disebut inert gas
system atau system gas yang sifatnya lembam, juga adanya kewajiban kapal untuk
mempergunakan radar tambahan maupun alat kemudi darurat. Melalui protocol tersebut
dilakukan perbaikan prosedur pemeriksaan kapal serta sertifikasi kapal. Selain daripada
Konvensi SOLAS, maka terdapat lagi beberapa konvensi IMO lainnya yang berkaitan
dengan masalah kelayakan kapal. Misalnya saja ada Konvensi Internasional mengenai
Garis Batas Muatan (the International Convention on the Load Lines) tahun 1966 yang
mengatur mengenai larangan untuk membawa muatan secara berlebihan. Kapal tidak
boleh membawa muatan berlebihan melampaui kapasitas dan daya muat maksimalnya
sebab hal ini sering menyebabkan timbulnya kecelakaan kapal. Kapal hanya
diperkenankan membawa muatan sesuai dengan kapasitas dan daya muat maksimal kapal
itu. Pelaksanaan Konvensi tersebut (Convention on the Load Lines tahun 1966)
sebagaimana Konvensi SOLAS tetap berada di tangan Negara Bendera, akan tetapi
negara pelabuhan juga kadang-kadang dapat melaksanakannya dengan mengawasi sejauh
mana kapal asing yang memasuki pelabuhannya telah mematuhi kewajiban untuk
membawa muatan tanpa melebihi kapasitas maksimal kapal tersebut. Sebagai negara
pelabuhan Indonesia dapat melakukan pengawasan atas kapal asing yang masuk dan
singgah di salah satu pelabuhan dalam wilayah perairan Indonesia untuk memeriksa
apakah kapal asing tersebut tidak membawa muatan yang berlebih-lebihan. Sebuah kapal
membawa muatan berlebihan dapat diketahui dari bagian luar kapal itu di mana tanda
garis yang terdapat di sekeliling lambung dan badan kapal sudah tidak kelihatan dan
sudah berada di bawah permukaan air, setidak-tidaknya garis dengan warna tertentu yang
mengelilingi bagian luar dari badan kapal telah sejajar dengan permukaan laut. Kalau hal
seperti ini terjadi, maka otoritas terkait dapat menahan dan memeriksa kapal yang
bersangkutan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Ada juga perjanjian tentang
kapal penumpang khusus pada tahun 1971 (The 1971 Agreement on Special Trade
Passanger Ships) bersama-sama dengan Protokolnya tahun 1973, mengatur tentang
keselamatan kapal yang mengangkut penumpang serta tempat tidur dalam jumlah besar,
seperti bisnis pariwisata, sementara ada juga perjanjian internasional mengenai
keselamatan kapal ikan pada tahun 1977 (The 1977 International Convention for the
Safety of Fishing Vessels) yang menetapkan peraturan-peraturan mengenai konstruksi
dan perlengkapan kapal ikan. Sebagai tambahan atau di samping konvensi-konvensi
tersebut di atas, Organisasi Maritim Internasional mengadopsi pula sejumlah
rekomendasi berupa aturan-aturan praktis yang berkaitan dengan kelayakan kapal,
misalnya saja apa yang disebut Codes for the Construction and Equipment of Ships
Carrying Dangerous Chemicals in Bulk (aturan-aturan tentang konstruksi dan
71
perlengkapan kapal pengangkut bahan kimia dalam jumlah besar tahun 1971) maupun
Codes for the Construction and Equipment of Ships carrying Liquefied Gases in Bulk
(aturan-aturan tentang konstruksi dan perlengkapan kapal pengangkut gas cair dalam
jumlah besar) tahun 1975. Aturan-aturan ini umumnya disahkan dalam bentuk resolusi
yang berisi rekomendasi dari Majelis IMO sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum
yang mengikat. Namun demikian aturan-aturan ini telah diterima secara luas dan
beberapa negara telah menuangkan dan memasukkan aturan-aturan itu ke dalam
peraturan perundang-undangan nasionalnya, misalnya sudah cukup banyak negara yang
telah menerapkan apa yang disebut the Bulk Chemicals Code di dalam peraturan
perundangan nasionalnya.
Selain masalah kelayakan kapal untuk berlayar di laut, maka jaminan keselamatan
pelayaran juga ditentukan oleh masalah pencegahan tubrukan dan penetapan rute atau
trayek kapal (Collision avoidance and ships routeing). Sebagaimana halnya dengan
konvensi-konvensi SOLAS, maka ada berbagai regulasi untuk mencegah tubrukan di
laut. Peraturan-peraturan yang dilampirkan pada the International Regulations for
Preventing Collisions at Sea tahun 1972 pada prinsipnya bersangkut paut dengan perilaku
atau tindakan serta pergerakan suatu kapal dalam hubungan dengan kapal-kapal lainnya,
terutama ketika kemampuan kapal untuk memandang atau melihat mengalami penurunan
dalam rangka menghindari terjadinya tubrukan dengan kapal lain. Selain soal tindakan
dan gerakan kapal dalam usaha mencegah tubrukan, Regulasi Internasional tahun 1972
juga menetapkan standar yang bersifat umum dalam hubungan dengan tanda-tanda atau
signal-signal baik yang bisa didengar maupun dilihat (sound and light signals). Walaupun
Konvensi tahun 1972 tidak menegaskan mengenai akibat-akibat hukumnya menyangkut
hubungan antara pelanggaran regulasi tersebut serta tanggungjawab perdata (civil
liability) akibat timbulnya tubrukan (pelanggaran terhadap peraturan Konvensi 1972 tidak
harus menimbulkan masalah tanggungjawab perdata, pelanggaran itu biasanya dianggap
sebagai suatu pelanggaran menurut hukum pidana dari negara bendera yang menjadi
negara peserta Konvensi. Namun penuntutan atas pelanggaran tersebut jarang dilakukan
karena dalam banyak kasus kebijakan untuk menuntut ataupun tidak menuntut berada di
tangan nakhoda kapal. Berdasarkan ketentuan pasal 21 ayat 4 dan pasal 39 ayat 2 KHL
1982 kapal yang menjalankan hak lintas damai melalui laut territorial atau hak lintas
transit melalui selat yang dipergunakan untuk pelayaran internasional harus mematuhi
regulasi tersebut tanpa memperhatikan apakah negara bendera atau negara pantai adalah
merupakan negara peserta Konvensi tahun 1972.
Salah satu sarana penting untuk mengurangi risiko terjadinya tubrukan
antarkapal adalah dengan memanfaatkan jalur pemisah lalu lintas (traffic separation
scheme) untuk memisahkan pelayaran kapal di bagian-bagian laut yang padat (shipping
in congested areas) menjadi jalur satu arah semata-mata (into one-way only lanes).
Contoh awal mengenai jalur pemisah lalu lintas dapat ditemukan dalam perjanjian soal
penentuan rute yang dilakukan secara suka rela oleh para pemilik kapal yang
menjalankan kegiatan perdagangan pada rute-rute tertentu misalnya saja di Laut Cina
pada abad ke-19. Kini IMO telah menetapkannya sebagai jalur pemisah lalu lintas yang
sudah direkomendasi sejak tahun 1967. Pada awalnya kepatuhan atas jalur-jalur yang
direkomendasi IMO bersifat suka rela; negara bendera tidak diharuskan untuk
memerintahkan kapal yang mengibarkan benderanya agar mengikuti jalur-jalur tersebut.
Namun sejak berlakunya the Collision Regulation Convention tahun 1977 kepatuhan
72
negara bendera tidak lagi bersifat suka rela, tetapi sudah merupakan keharusan sehingga
semua negara peserta Konvensi tadi mempunyai kewajiban untuk memerintahkan kapal
yang mengibarkan benderanya agar mengikuti jalur pemisah lalu lintas yang telah
ditentukan IMO. Dengan diintrodusirnya apa yang dinamakan jalur pemisah lalu lintas
(the Traffic Separation Scheme) adalah sesuatu yang dianggap dapat
dipertanggungjawabkan demi untuk mengurangi jumlah tubrukan di laut pada umumnya,
misalnya saja di perairan Barat Daya Eropa di mana ada banyak jalur pemisah lalu lintas,
sehingga jumlah tubrukan mengalami penurunan dari 156 dalam masa atau periode tahun
1956 1961 menjadi hanya 45 tubrukan antara tahun 1976 1981 (lihat R>R> Churchill
and A.V. Lowe, the Law of the Sea, 1983, hlm. 185 189).
Walaupun IMO diakui sebagai satu-satunya badan internasional yang berwenang
untuk menentukan jalur pemisah lalu lintas (Traffic Separation Scheme atau disingkat
TSS), negara pantai juga memiliki beberapa kewenangan dalam bidang ini. Pasal 21 KHL
1982 pada dasarnya mempunyai pendekatan yang sama seperti pasal 17 Konvensi
Geneva 1958 tentang laut territorial yang menyatakan bahwa di laut teritorialnya negara
pantai dapat memberlakukan dan menerapkan peraturan-peraturan yang berhubungan
dengan navigasi kapal asing yang melaksanakan hak lintas damai, tetapi dalam KHL
1982 ditambahkan bahwa negara pantai yang menentukan TSS di laut territorial harus
memperhitungkan atau memperhatikan setiap rekomendasi IMO serta factor-faktor
lainnya, seperti karakter khusus dari kapal-kapal tertentu maupun kepadatan lalu lintas di
laut (Pasal 22 KHL 1982). IMO sendiri menyarankan negara pantai yang mau
menetapkan system penentuan rute atau trayek (routeing systems) di laut territorial agar
supaya menetapkan atau mendesain system trayek tersebut sesuai dengan criteria IMO
menyangkut TSS serta menyerahkannya kepada IMO untuk mendapat pengesahan.
Negara pantai dapat menjalankan tindakan penegakan hukum (enforcement jurisdiction)
terhadap kapal asing yang melanggar TSS yang telah ditentukan (Pasal 27 KHL 1982).
Dalam prakteknya tindakan penegakan hukum biasanya terbatas pada tindakan aparat
yang meminta agar kapal tersebut kembali mematuhi TSS. Namun kalau pelanggaran
TSS oleh kapal asing itu cukup serius, maka aparat hukum negara pantai dapat
melaporkannya kepada otoritas negara bendera. Bilamana kapal yang melakukan
pelanggaran itu memasuki salah satu pelabuhan negara pantai, kapal tersebut dapat
dituntut. Di Selat yang tunduk pada rezim hukum lintas transit atau dinamakan Selat yang
digunakan untuk pelayaran internasional, kewenangan negara pantai lebih terbatas karena
walaupun negara pantai masih dapat menentukan TSS, namun TSS yang diusulkan
kepada IMO harus sesuai dengan peraturan internasional yang telah diterima secara luas
(must conform to generally accepted international regulations) serta harus diserahkan
kepada IMO dengan maksud untuk memperoleh pengesahan sebelum TSS tersebut
ditetapkan oleh negara pantai (Pasal 41 KHL 1982). Sejauh mana negara pantai dapat
melakukan tindakan penegakan hukum terkait dengan pelanggaran TSS oleh kapal asing
di Selat yang dikategorikan sebagai Selat yang digunakan untuk pelayaran internasional
adalah suatu masalah yang bersifat kontroversial.
Tampaknya management lalu lintas laut (marine traffic management) pada masa
mendatang akan melampaui pengelolaan TSS itu sendiri sehingga lebih bersifat
komprehensif, meskipun pengelolaan lalu lintas laut tidak mungkin mencapai tingkat
presisi atau kecanggihan (precision or sophistication) management seperti yang dimiliki
oleh air traffic control. Dalam kaitan ini IMO telah melakukan berbagai tindakan :
73
misalnya saja baik di Selat Baltik maupun Selat Malaka IMO merekomendasi langkahlangkah dalam hubungan dengan management lalu lintas laut seperti membatasi
kecepatan kapal atau kapal diharuskan untuk membatasi kecepatannya ketika memasuki
wilayah perairan suatu negara pantai, kapal diwajibkan untuk melaporkan posisinya serta
diwajibkan untuk menggunakan kapal pandu (the use of pilots). IMO juga mewajibkan
kapal asing untuk melaporkan posisinya kepada otoritas terkait dari negara pantai yang
bersangkutan apabila kapal mengalami kesulitan yang mungkin dapat menyebabkan
terjadinya pencemaran.
Mengenai standar penempatan awak kapal (Crewing standards) dapat
dikemukakan bahwa salah satu penyebab utama timbulnya musibah perkapalan (shipping
accidents) terletak pada awak kapal yang tidak terlatih atau tidak memenuhi kualifikasi
yang baik sehingga untuk mengurangi timbulnya kecelakaan di laut kualitas dari awak
kapal harus dibenahi. Konvensi SOLAS tahun 1974 menegaskan bahwa semua kapal
harus memiliki awak kapal yang dapat bekerja secara memadai dan efisien (sufficiently
and efficiently, sedangkan menurut ILO Convention No.147 tahun 1976 menyangkut
Standar Minimum di Kapal Dagang, setiap negara peserta harus menjamin bahwa para
pelaut yang bekerja di kapal yang terdaftar di wilayahnya seharusnya memenuhi
kualifikasi dan seharusnya terlatih untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya (pasal 2
e). Demikian pula ketentuan pasal 94 ayat 4 KHL 1982 menentukan bahwa negara
bendera harus menjamin agar setiap kapal yang mengibarkan benderanya harus
dijalankan oleh seorang nakoda (master) serta para petugas dengan kualifikasi yang
tepat dan agar awak kapalnya sudah tepat atau layak dalam hal kualifikasi serta
jumlahnya sesuai dengan tipe kapal, ukuran, mesin serta perlengkapan kapal tersebut. The
International Convention on Standards of Training, Certification and Watchkeeping for
Seafarers (The STCW Convention yang diadopsi oleh IMO tahun 1978 memberi
ketentuan yang lebih tegas dibandingkan dengan Konvensi SOLAS dan Konvensi ILO
karena The STCW Convention mewajibkan adanya persyaratan minimum bagi sertifikasi
nakoda kapal dan petugas-petugas lainnya serta menentukan prinsip-prinsip dasar fr
keeping navigational and engineering watches. Penerapan atau pelaksanaan ketentuanketentuan Konvensi STCW terutama berada di tangan negara bendera (the Flag State),
meskipun negara pelabuhan (the Port State) mempunyai wewenang pengawasan dalam
bidang-bidang tertentu guna memeriksa kalau para pelaut yang berdasarkan konvensi itu
harus disertifikasi benar-benar sudah disertifikasi (pasal X) dan bahwa standar awak
kapal harus dibenahi secara signifikan sehingga dapat mengurangi jumlah musibah
perkapalan (shipping accidents).
Persyaratan-persyaratan kerja bagi awak kapal diatur di dalam sejumlah besar
konvensi-konvensi ILO yang menyempurnakan the International Seafarers Code. Di
antara konvensi-konvensi ini maka yang paling penting adalah Convention concerning
Wages, Hours of Work on Board Ship and Manning (No. 109 (1958) yang merupakan
revisi atas konvensi-konvensi yang lebih awal), Convention concerning Crew
Accomodation on Board Ship (No. 92 (1949), yang diperlengkapi dengan konvensi
No.133 (1970), dan Convention concerning Continuity of Employment of Seafarers
(No.145 (1976). ILO juga mengadopsi sejumlah rekomendasi tidak mengikat tentang
syarat-syarat kerja bagi pelaut, yakni the Social Conditions and Safety (Seafarers)
recommendation, 1958 (No.108). Di samping itu Konvensi ILO No.147 yang disebut di
atas mensyaratkan negara-negara pesertanya menetapkan bagi kapal-kapalnya dan
74
memaksakan (enforce) standar keselamatan secara efektif, aturan jaminan sosial (social
security measures) serta persyaratan-persyaratan kerja di atas kapal yang sama
(equivalent) dengan ketentuan-ketentuan berbagai konvensi ILO yang disebut dalam
lampiran konvensi.
Menyangkut penetapan alat bantu navigasi (navigational aids) seperti mercu suar
(lighthouses), kapal suar (lightships), alat pelampung (buoys) dan radar beacons,
semuanya ini sangat penting bagi keselamatan pelayaran (the safety of shipping).
Konvensi SOLAS mengharuskan negara-negara peserta untuk mengatur penetapan atau
pengadaan (establishment) dan pemeliharaan (maintenance) sarana bantu navigasi, yang
mencakup radio beacons dan alat Bantu elektronik apabila menurut pendapatnya
dibenarkan dari segi volume lalu lintas kapal serta diharuskan dari segi tingkatan risiko,
dan mengharuskan negara-negara peserta untuk mengatur informasi yang berkaitan
dengan alat Bantu navigasi yang diperlukan. Perlu juga diketahui bahwa berdasarkan
Konvensi Geneva 1958 mengenai Laut Teritorial dan Jalur Tambahan maupun KHL
1982, setiap negara pantai wajib mengumumkan dengan sepatutnya setiap bahaya
navigasi yang diketahui berada di dalam laut teritorialnya. Biaya pemasangan serta
pemeliharaan alat bantu navigasi (navigational aids) biasanya hanya ditanggung oleh
negara pantai dan negara ini tidak berhak meminta sumbangan atau kontribusi dari kapalkapal yang berlayar melalui laut teritorialnya. Akan tetapi ada satu atau dua contoh di
mana negara-negara mengadakan kesepakatan untuk membagi biaya-biaya navigational
aids, perjanjian internasional pada tahun 1962 mengenai the maintenance of certain lights
di Laut Merah. Berdasarkan ketentuan pasal 43 KHL 1982 negara-negara yang berada di
tepian selat yang tunduk pada lintas transit (transit passage) dan negara-negara pengguna
selat harus bekerjasama dalam pengadaan sarana bantu navigasi serta alat bantu
keselamatan lainnya yang diperlukan di selat tersebut, meskipun samasekali tidak
dinyatakan mengenai bagaimana biaya-biaya tersebut harus ditanggung. Mengenai
pembagian biaya pengadaan dan pemeliharaan alat bantu navigasi umumnya dialokasikan
berdasarkan pengaturan-pengaturan setempat.
IV.4. Ketentuan Pengamanan Kapal dan Pelabuhan (The International Ship and
Port Facilities Security Code)
Ketentuan-ketentuan ISPS Code sudah diadopsi oleh Organisasi Maritim
Internasional pada tanggal 12 Desember 2002 dan telah diratifikasi oleh sebagian besar
negara-negara anggotanya, termasuk di dalamnya Republik Indonesia serta diharapkan
ketentuan-ketentuan dari ISPS ini dapat segera diimplementasikan oleh masing-masing
negara. Sesuai dengan ketentuan ISPS, maka paling lambat atau batas akhir untuk
memberlakukan secara efektif ketentuan-ketentuan ISPS ini adalah pada tanggal 1Juli
2004 dengan persyaratan bahwa tidak ada keberatan yang diajukan dari sebagian besar
anggotanya sampai dengan permulaan Januari 2004. ( From Wikipedia, the Free
Encyclopedia, www.google.com.)
Selanjutnya dalam ketentuan-ketentuan ISPS ini terdapat prinsip-prinsip pokok
yang dapat dikemukakan sebagai berikut. Materi ISPS Code merupakan penyempurnaan
dan amandemen atas ketentuan-ketentuan internasional mengenai keselamatan jiwa di
laut yang selama ini dikenal dengan sebutan The Convention for the Safety of Life at Sea
75
1974 (SOLAS Convention 1974/ 1988) tentang pengaturan keamanan minimum bagi
kapal, pelabuhan serta badan-badan pemerintah (government agencies). Dengan
tanggungjawab bagi pemerintah, perusahaan perkapalan (shipping company), personel di
atas kapal (shipboard personnel) maupun personel pelabuhan dan fasilitasnya (port/
facility personnel untuk mendeteksi kemungkinan adanya ancaman keamanan serta
mengambil tindakan-tindakan atau langkah-langkah preventif (preventive measures)
dalam menghadapi insiden keamanan yang dapat menggangu kapal atau fasilitas-fasilitas
pelabuhan yang digunakan dalam pelayaran internasional.
Isi daripada ISPS Code adalah terdiri dari sejarah atau latarbelakang historis terciptanya
ISPS Code, ruang lingkupnya, persyaratan-persyaratannya serta implementas ketentuanketentuan ISPS Code dalam hukum nasional (national implementation). Ketentuanketentuannya telah digunakan oleh negara-negara sebagai pedoman bagi kapal dagang
dan kapal penumpang di seluruh dunia. ISPS Code diciptakan oleh masyarakat
internasional untuk menghadapi meningkatnya berbagai ancaman atas keamanan yang
dewasa ini dapat terjadi kapan saja serta di mana saja, terutama ancaman terhadap
keselamatan kapal-kapal dan fasilitas pelabuhan di seluruh dunia, di mana hal ini dipicu
oleh tragedi yang terjadi di AS pada 11 September 2001 (9/11 atau peristiwa nine
eleventh).. Dengan lain perkataan perkembangan dan implementasinya semakin
dipercepat guna menjawab tragedi yang terjadi pada 11 September 2001 serta pemboman
kapal tanker Perancis yang bernama Limburg. Namun sebelum kejadian tragis ini terjadi,
maka ISPS Code ini dibentuk atau dirumuskan sebagai response dari masyarakat
internasional terhadap peristiwa pembajakan kapal pesiar Italia (the Italian Cruise Ship)
yang bernama Achille Lauro pada tanggal 7 Oktober 1985 dan mengakibatkan
terbunuhnya para sandera orang Yahudi Amerika. The US Coast Guard sebagai badan
utama di dalam Delegasi AS pada IMO mendesak negara-negara ter perlunya diambil
langkah-langkah pengamanan. ISPS Code diisepakati pada pertemuan yang diadakan
oleh 108 negara-negara yang menandatangani Konvensi SOLAS di London pada bulan
Desember 2002. Langkah-langkah atau aturan-aturan yang telah disepakati berdasarkan
ISPS Code tersebut telah diberlakukan pada 1 Juli 2004.
Selanjutnya mengenai ruang lingkupnya (Scope) dapat dikemukakan bahwa ISPS /Code
adalah sebuah dokumen yang terdiri dari dua bagian yang menyatukan persyaratanpersyaratan minimum bagi keamanan kapal serta pelabuhan. Bagian A dari Code itu
mengatur persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi atau diwajibkan (mandatory
requirements), sementara Bagian B mengatur petunjuk atau pedoman (guidance) yang
dapat dipergunakan dalam mengimplementasikan ketentuan-ketentuan ISPS Code. ISPS
Code adalah upaya untuk menciptakan suatu perlindungan keamanan yang lebih pasti dan
sistematis bagi kapal barang atau kapal kargo serta kapal penumpang dengan kecepatan
tinggi yang melayani jalur pelayaran internasional (ships on international voyages) yang
berukuran 500 gross ton atau di atasnya. (Wikipedia, The Free Encyclopedia,
www.google.com).Di samping kapal-kapal seperti itu, maka upaya perlindungan
keamanan sebagai kerangka dari ISPS Code juga ditujukan bagi unit instalasi pengeboran
yang memanfaatkan fasilitas pelabuhan serta fasilitas pelabuhan yang melayani kapalkapal on international voyages).
Adapun tujuan utama dari ISPS Code adalah : 1) mendeteksi ancaman keamanan serta
menerapkan langkah-langkah keamanan. 2) menetapkan peran serta tanggungjawab
menyangkut keamanan maritim bagi pemerintah, pemerintah setempat (local
76
administration), perusahaan industri perkapalan dan pelabuhan baik pada tingkat nasional
maupun internasional. 3) memeriksa dan mengumumkan informasi yang terkait dengan
keamanan ( to collate and promulgate security related information) 4) menentukan
metode penilaian keamanan (security assessments) agar supaya dapat ditetapkan rencana
serta prosedur dalam melakukan reaksi atas berubahnya level-level keamanan.
Selanjutnya tentang persyaratan-persyaratan (requirements) yang terdapat dalam ISPS
Code, maka Code ini tidak mengatur secara terperinci langkah-langkah spesifik yang
harus diambil oleh masing-masing pelabuhan maupun kapal guna menjamin keselamatan
dari fasilitas-fasilitas tersebut dalam melawan atau menghadapi terorisme karena fasilitasfasilitas seperti itu mempunyai banyak tipe dan ukuran yang beraneka ragam. Sebagai
gantinya maka ISPS Code menetapkan secara garis besar suatu kerangka standar dalam
mengevaluasi adanya risiko yang memungkinkan pemerintah untuk mengatasi perubahan
ancaman keamanan disertai berubahnya kerawanan bagi kapal maupun fasilitas-fasilitas
pelabuhan. Adapun standar persyaratan yang harus dipenuhi oleh setiap kapal terdiri dari
rencana pengamanan kapal (ships security plans), petugas keamanan kapal (ship security
officers), petugas keamanan perusahaan (company security officers) serta alat
perlengkapan tertentu yang harus ada di atas kapal (certain onboard equipments).
Demikian mengenai persyaratan-persyaratan standar keamanan menyangkut kapal yang
melakukan pelayaran internasional. Sedangkan mengenai fasilitas pelabuhan (port
facilities), maka persyaratan-persyaratan standarnya mencakup rencana pengamanan
fasilitas pelabuhan (port facility security plans), petugas keamanan fasilitas pelabuhan
(port facility security officers), alat perlengkapan keamanan yang sudah ditentukan
(certain security equipment). Di samping itu, masih ada lagi persyaratan-persyaratan yang
berlaku atau harus dipenuhi baik oleh kapal maupun pelabuhan, yaitu 1) memantau serta
mengawasi akses atau jalan masuk menuju pelabuhan (monitoring and controlling
access); 2) memantau kegiatan orang serta kargo (monitoring the activities of people and
cargo; 3) jaminan yang memadai dalam hal komunikasi keamanan (ensuring security
communications are readily available).
Dengan demikian kapal-kapal yang melayani trayek pelayaran internasional itu harus
merencanakan dan melengkapi pengamanan dirinya secara maksimal baik berupa petugas
keamanan serta alat perlengkapannya sehingga mampu menangkal semua ancaman dan
serangan teroris. Dalam hal ini kapal harus memiliki serta membawa system peralatan
pemberitahuan dini, mempersiapkan jaringan komunikasi yang handal, peralatan deteksi
terhadap adanya ancaman serangan teroris maupun ancaman lainnya. ISPS Code juga
memberikan keleluasaan dan kebebasan yang lebih besar kepada kapal-kapal seperti itu
untuk mempertahankan dirinya dalam menghadapi ancaman ataupun serangan fisik yang
dilakukan oleh sekelompok penjahat selama pelayaran. Oleh karena itu kapal-kapal
tersebut mempunyai kewenangan untuk mempergunakan segala macam cara untuk
melawan serangan, termasuk melakukan pergerakan kapal dan menggunakan peralatan
pengamanan yang ada di atas kapal secara maksimal..
Kajian IMO menyebutkan bahwa ada beberapa factor yang mendorong
meningkatnya aksi kejahatan terhadap kapal dagang dan kapal penumpang dalam
beberapa tahun terakhir ini. Faktor-faktor itu antara lain adalah kapal yang digunakan
para pelaku kejahatan di laut semakin lama semakin tinggi kecepatannya sehingga
mereka dengan mudah dapat melakukan pengejaran terhadap kapal-kapal dagang dan
penumpang maupun target sejenisnya. Selanjutnya factor lain yang menyebabkan
77
78
beberapa negara karena kegiatan menjaga keamanan umumnya dikenal sebagai pekerjaan
para preman. Kapal penumpang dan kapal pesiar yang menurut tipenya memiliki jumlah
awak yang besar dan staf keamanan tertentu yang biasanya tidak memiliki kesabaran
dalam menghadapi persoalan (suffer from te problem). Inilah antara lain kesulitan dalam
menerapkan ketentuan-ketentuan ISPS Code.
Indonesia sebagai salah satu negara anggota IMO yang telah meratifikasi ISPS
Code mempunyai kewajiban yang sama untuk mengimplementasikan ketentuanketentuannya. Pemerintah RI secara intensif sementara mempersiapkan beberapa kegiatan
awal yang sifatnya mendasar sejak pertengahan tahun 2003. Mengadakan sosialisasi
dengan masyarakat maritim, melakukan pemilihan fasilitas pelabuhan dalam usaha
menerapkan ketentuan-ketentuan ISPS Code, menyiapkan organisasi keamanan (security
organization atau recognized security organization), mendeklarasikan penerapan ISPS
Code. Mengingat batas waktu yang tersedia sangat sempit sampai 1 Juli 2004, sementara
kewajiban yang harus dipenuhi masih sangat banyak, maka sebaiknya Pemerintah RI
perlu mempercepat langkah dan menentukan skala prioritas terutama dalam menentukan
pemilihan pelabuhan yang disertifikasi.. Hal ini dikhawatirkan, waktu yang tersedia tidak
akan mencukupi untuk mensertifikasi semua pelabuhan internasional yang jumlahnya
sekitar 141 pelabuhan yang ada di Indonesia.
Beberapa tugas pokok lainnya yang harus dikerjakan oleh Pemerintah adalah
menentukan tingkat keamanan (security level) di setiap pelabuhan. Hal ini sangat
diperhitungkan karena akan di[pergunakan sebagai referensi bagi kapal-kapal pelayaran
internasional yang singgah di suatu pelabuhan. ISPS Code menetapkan adanya tiga tahap
tingkat keamanan dari suatu pelabuhan. Tingkat keamanan pertama adalah tingkat
keamanan yang mengharuskan untuk melakukan tindakan pencegahan keamanan secara
minimal dan terus menerus. Kemudian tingkat keamanan kedua adalah tingkat keamanan
yang memerlukan tambahan tindakan pencegahan keamanan.sebagai akibat
meningkatnya suatu risiko insiden keamanan. Selanjutnya tingkat atau level keamanan
ketiga adalah tingkat keamanan yang memerlukan tindakan pencegahan spesifik dalam
kurun waktu terbatas ketika terjadi suatu insiden keamanan.
Pemerintah harus memperhatikan dan mempertimbangkan aspek keamanan di setiap
pelabuhan, antara lain derajat ancaman dari skala terendah sampai skala tertinggi dengan
melihat potensi terjadinya suatu insiden keamanan atau serangan teroris di suatu
pelabuhan. Penilaian yang dimaksud tidak hanya terhadap sisi darat dari pelabuhan, tetapi
juga terhadap wilayah perairan pelabuhan, termasuk daerah berlabuh serta perairan
pedalaman (Gatot Widakdo, ISPS Code Bukan Sekadar Secarik Kertas Sertifikasi. Akan
tetapi harus diakui bahwa kondisi keamanan pelabuhan-pelabuhan di Indonesia secara
keseluruhan harus diakui sangat mengkhawatirkan dan sangat berpotensi terjadinya
insiden keamanan terhadap kapal maupun fasilitas vital dari pelabuhan. Hal ini
disebabkan karena masih sangat kurangnya jumlah dan kualitas peralatan keamanan,
prosedur keamanan yang belum baku, beragamnya instansi keamanan yang bertugas di
pelabuhan sehingga sering menyebabkan tumpang tindih kewenangan, dan setiap orang
dapat dengan mudah memasuki kawasan pelabuhan bahkan sampai ke atas kapal tanpa
terdeteksi. Ketika seorang wartawan dari Harian Kompas mencoba masuk ke sejumlah
fasilitas pelabuhan di Pelabuhan Tanjung Priok dengan mempergunakan mobil, ternyata
hal ini tidak sulit dilakukan memasuki areal pelabuhan yang merupakan areal terbatas.
Hal ini menunjukkan bahwa pelabuhan Tanjung Priok sangat rawan terhadap ancaman
79
80
berorientasi kejar tayang tanpa memperhatikan kualitas dan dampak yang bakal timbul
dari kebijakan yang bakal dihasilkannya. Dengan lain perkataan pemberian sertifikat
ISPS Code kepada pengusaha kaya dan pelabuhan jangan hanya sekedar sebuah sertifikat
formal semata-mata tanpa disertai kualitas yang dipersyaratkan.
81
hanya memuat satu pasal mengenai soal harta karun, yaitu pasal 149, tidak
mengemukakan apa yang dimaksud dengan harta karun atau benda-benda purbakala dan
bersejarah. Pasal ini hanya menyatakan semua benda-benda purbakala dan benda-benda
yang memiliki nilai sejarah yang ditemukan di kawasan harus dipelihara atau digunakan
untuk kemanfaatan umat manusia sebagai suatu keseluruhan, dengan memperhatikan
secara khusus hak-hak yang didahulukan dari negara asal, atau negara asal-kebudayaan,
atau negara asal-kesejarahan dan asal-kepurbakalaan. Demikian ketentuan pasal 149 KHL
1982 hanya menyinggung soal harta karun yang terdapat di kawasan (Area), yaitu di
dasar laut dan tanah di bawahnya yang berada di luar batas-batas yurisdiksi nasional
suatu negara atau di luar batas-batas landas kontinen suatu negara pantai.Di samping itu
sesuai asal tersebut, harta karun tersebut mempunyai nilai-nilai kepurbakalaan dan
histories (archaelogical and historical objects) sehingga dengan demikian ketentuan pasal
tersebut hanya memberikan pengertian yang sifatnya umum terhadap harta karun.
Terlepas dari apa yang dinyatakan melalui pasal 149 KHL 1982, maka bagaimanapun
pengertian harta karun dengan berbagai istilahnya harus dibatasi pengertiannya pada
harta karun dari laut sehingga pada prinsipnya dapat dimaknai sebagai benda-benda yang
berasal dari kapal-kapal yang tenggelam di dasar laut, yang untuk sebagian dianggap
mempunyai nilai sejarah dan budaya. Demikian dalam konteks hukum laut pengertian
harta karun ini diberikan pembatasan, yakni benda-benda yang dimaksud itu pada
prinsipnya harus berasal dari kapal-kapal yang tenggelam di dasar laut sejak lama dan
benda-benda tersebut untuk sebagian tentu saja memiliki nilai arkeologis, cultural dan
histories dan untuk sebagian juga memiliki nilai ekonomi. Oleh karena itu adalah wajar
apabila timbul berbagai macam istilah mengenai soal harta karun, seperti benda-benda
arkeologis, benda-benda cagar budaya ataupun benda-benda berharga yang untuk
sebagian mempunyai nilai ekonomi yang sangat tinggi. Menurut Safri Burhanuddin,
benda-benda berharga asal muatan kapal tenggelam yang berumur ratusan tahun bahkan
ribuan tahun, memiliki nilai ekonomi dan budaya yang tinggi, populer dikenal sebagai
harta karun dari laut. Harta karun ini merupakan salah satu potensi sumber daya non
hayati laut yang belum dikelola secara maksimal, apabila dibandingkan dengan potensi
bahan galian seperti minyak dan gas bumi dan mineral serta agregat bahan bangunan
yang telah dikelola dengan baik. Benda berharga atau harta karun yan dimaksud dapat
berbentuk material, seperti keramik, emas, perak atau batu permata maupun artefak
lainnya, atau berbentun non material, seperti pengetahuan mengenai sejarah masa lampau
baik kebudayaan maupun teknologi yang telah berkembang pada masa tersebut, misalnya
teknologi pembuatan kapal, keramik dan peralatan sehari-hari ( lihat Safri Burhanuddin,
Kewenangan Daerah Dalam Eksploitasi Sumber Daya Non Hayati, Loka Karya Regional
Pulau Sulawesi, Desentralisasi Pengelolaan Wilayah Laut, Tahun 2000, Hlm. 7).
V.2. Status Hukum Harta Karun
Selanjutnya karena harta karun yang dimaksud adalah harta karun yang terdapat di laut,
terutama yang berasal dari kapal-kapal yang sudah tenggelam dan berada di dasar laut
sejak puluhan bahkan ratusan tahun lalu, maka yang menjadi permasalahan adalah
bagaimana status hukum dari harta karun itu. Masalah ini tentu saja dapat dirumuskan
dengan menyatakan sejauh mana suatu negara memiliki hak atas harta karun tersebut.
KHL 1982 hanya memuat satu-satunya ketentuan pasal, yaitu pasal 149, namun pasal ini
82
hanya menyebut soal harta karun yang terdapat di Area atau Kawasan atau dasar
samudera dalam atau dasar laut internasional, yaitu dasar laut dan tanah di bawahnya di
luar batas-batas landas kontinen dari negara pantai. Oleh karena itu permasalahan
mengenai sejauh mana suatu negara pantai (coastal state) mempunyai hak untuk
mengeksplorasi dan mengeksploitasi serta memanfaatkan harta karun sangat tergantung
pada permasalahan di mana lokasi harta karun tersebut atau di mana lokasi penemuan
kapal-kapal yang di dalamnya memuat harta karun tersebut. Dengan demikian
permasalahan itu harus dikembalikan pada bagaimana status hukum dari wilayah perairan
yang dasar lautnya menjadi titik lokasi ditemukannya harta karun tadi sekalipun KHL
1982 tidak mengatur hal ini secara tegas. Oleh karena itu apabila harta karun itu
ditemukan atau setidak-tidaknya diketahui berada di dasar laut dari wilayah perairan yang
tunduk di bawah kedaulatan negara, seperti perairan pedalaman, laut territorial dan
perairan kepulauan, maka dapat dikatakan bahwa di bagian-bagian laut ini segala
sesuatunya ermasuk harta karun dapat dianggap menjadi milik dari negara pantai yang
bersangkutan. Kemudian apabila harta karun itu ditemukan atau diketahui berada di dasar
laut dari zona tambahan (Contiguous Zone), maka negara pantai dianggap memiliki hak
untuk mengatur segala kegiatan yang terkait dengan harta karun tersebut sesuai dengan
fungsi dari zona tambahan sebagai jalur untuk melindungi wilayah negara pantai dari
berbagai macam ancaman dan gangguan terhadap kepentingan negara pantai dalam
bidang-bidang tertentu (seperti bea cukai, fiscal, kesehatan dan keimigrasian).
Selanjutnya apabila harta karun atau kapal yang di dalamnya memuat harta karun berada
di dasar laut dari landas kontinen atau dari zona ekonmi eksklusif, maka dapat
dikemukakan bahwa negara pantai memang mempunyai hak yang sifatnya terbatas atas
bagian-bagian laut ini. Hak negara pantai di bagian-bagian laut ini terbatas pada
pemanfaatan sumber daya alam baik hayati maupun non hayati. Akan tetapi karena harta
karun tidak dapat dianggap sebagai sumber daya alam (natural resources), maka dapat
dikatakan bahwa negara pantai yang bersangkutan sama sekali tidak memiliki hak apapun
terhadap harta karun tersebut kendati ada juga kalangan tertentu yang berpendapat harta
karun yang terdapat di dasar laut termasuk dasar laut dari zona ekonomi eksklusif dan
landas kontinen dapat juga dikategorikan sebagai sumber daya alam non hayati (non
living resources) sehingga memungkinkan negara pantai yang bersangkutan untuk
mengeksplorasi dan mengeksploitasinya.
V.3. Pengaturan Hukum Nasional Indonesia mengenai Pemanfaatan Harta Karun
Masalah selanjutnya terkait dengan soal harta karun di laut adalah sejauh manakah
pengaturan hukumnya dalam hukum nasional Indonesia ? Dapat dikemukakan secara
umum pengaturan hukum mengenai harta karun yang terdapat di dasar laut dari wilayah
perairan Indonesia didasarkan pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tentang BendaBenda Cagar Budaya yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan benda-benda cagar
budaya. Di samping itu dalam kaitan dengan Otonomi Daerah, terutama soal kewenangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/
Kotamadya) dalam mengelola harta karun yang terdapat di dasar laut dari wilayah
perairan Indonesia, maka perlu dikemukakan soal pengaturannya dalam Undang-Undang
No. 32 Tahun 2004 (sebelumnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999) serta Peraturan
83
84
85
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, maka dapatlah kiranya ditarik berbagai
butir kesimpulan berikut ini :
1)Faktor keadaan lingkungan Sulawesi Selatan yang dikelilingi wilayah laut yang cukup
luas, kemudian budaya bahari masyarakatnya dan sejarah kehidupan mereka yang secara
turun menurun umumnya bergantung pada kegiatan di laut, semuanya ini
melatarbelakangi serta berkontribusi terhadap penetapan Ilmu-Ilmu Kelautan (Marine
Sciences) sebagai Pola Ilmiah Pokok (PIP).Universitas Hasanuddin yang merupakan
orientasi pengembangan yang bersifat strategis yang sejauh mungkin mencakup setiap
disiplin ilmu (termasuk di dalamnya ilmu-ilmu hukum laut). Penetapan dan
pengembangan ilmu-ilmu hukum laut sebagai bagian dari ilmu-ilmu kelautan selain
pernah mendapat dukungan strategis dari Presiden Soeharto pada tahun 1981, juga tetap
memiliki aktualitas serta relevansi jika dikaitkan dengan berbagai fenomena baik yang
berlngsung secara global, regional maupun lokal. Sesuai dengan visi PIP Unhas, yakni
sebagai pusat pengembangan budaya bahari, maka misinya antara lain adalah
mengembangkan iptek yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya kelautan. Dalam
hubungan ini Fakultas Hukum Unhas seharusnya dapat mengembangkan dan
memanfaatkan ilmu-ilmu hukum laut menyangkut pengelolaan sumber daya kelautan.
2)Pemanfaatan dan pengembangan ilmu-ilmu hukum laut sebagai salah satu penjabaran
dari visi PIP Unhas tentu saja mensyaratkan adanya pemahaman dan penguasaan yang
baik atas berbagai kebijakan, konsep, prinsip maupun peraturan-peraturan hukum laut
Indonesia. Dalam konteksi ini berbagai azas dan ketentuan hukum laut Indonesia yang
dalam banyak hal tidak dapat dipisahkan dari hukum laut internasional telah dipaparkan
secara terperinci, mulai dari pembahasan tentang negara kepulauan (Archipelagic State)
yang menjadi pilar bagi NKRI dan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, maka
penerapan garis pangkal kepulauan (archipelagic baselines) adalah merupakan conditio
sine qua non atau syarat mutlak dalam mewujudkan NKRI sebagai suatu negara
kepulauan.
3) Melalui penerapan garis pangkal kepulauan yang intinya adalah garis pangkal lurus
kepulauan yang dipergunakan secara silih berganti dengan garis pangkal normal (normal
baselines), garis pangkal lurus (straight baselines) dan garis penutup (pada pelabuhan,
sungai dan teluk yang lebar mulutnya maksimal 24 mil laut asalkan terletak pada pulaupulau terluar), maka dapat ditetapkan berbagai macam jalur laut baik yang berada di
bawah kedaulatan dan yurisdiksi penuh (laut teritorial dan perairan kepulauan) maupun
yang berada di bawah yurisdiksi di bidang-bidang tertentu (jalur tambahan), serta yang
berada di bawah hak-hak berdaulat (ZEE dan landas kontinen). Semuanya ini (bahkan
jalur laut bebas) dapat dimanfaatkan dan dikembangkan baik oleh Indonesia sebagai
negara pantai dan sekaligus sebagai negara kepulauan maupun oleh negara-negara lain
untuk berbagai keperluan serta kepentingan sesuai dengan status hukum dari masingmasing jalur laut tersebut.
4)Terkait dengan penulisan buku dengan judul Prinsip-Prinsip Hukum Laut Indonesia,
maka Pemanfaatan dan pengembangan jalur-jalur laut Indonesia terutama laut teritorial
86
serta perairan kepulauan yang merupakan bagian integral dari wilayah kedaulatan negara
kiranya untuk sementara dan untuk kepentingan penulisan bersama inidapat didekati dari
dimensi kepentingan navigasi untuk kapal asing dalam segala jenisnya. Berbagai prinsip
harus diperhatikan oleh kapal asing dalam menjalankan kepentingannya dari segi
navigasi sebagaimana ditentukan dalam KHL 1982, Undang-Undang No.6 Tahun 1996
mengenai wilayah perairan Indonesia, Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 2003 mengenai
Alur-Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) dan berbagai peraturan perundangan
lainnya karena kepentingan pelayarannya dapat berjalan baik berdasarkan prinsip lintas
damai (innocent passage), prinsip lintas transit (transit passage) dan prinsip lintas aluralur laut kepulauan (archipelagic sealanes passage) yang selain memiliki perbedaan, juga
mengandung banyak persamaan. Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 2003 merupakan
peraturan pelaksanaan dari prinsip hukum lintas damai, lintas transit dan lintas alur laut
kepulauan Indonesia menetapkan berbagai macam persyaratan yang harus diperhatikan
dan ditaati oleh kapal asing ketika melewati atau melintasi wilayah perairan
Indonesia..Seluruh persyaratan itu menitikberatkan dan menekankan hak dan
tanggungjawab dari kapal asing dan atau pesawat udara asing (termasuk negara bendera
atau negara registrasi) untuk menghormati kedaulatan (souvereignty) serta keutuhan
teritorial (territorial integrity) NKRI sebagai negara kepulauan. Dari sisi lain Indonesia
terikat untuk mengakui dan menghormati hak dan kebebasan kapal asing dan atau
pesawat udara asing untuk melintasi wilayah perairan serta ruang udara di atasnya dengan
mengikuti alur-alur laut kepulauan (ALKI I, II, III dengan berbagai variasinya) ataupun
alur-alur laut di luarnya sesuai dengan tujuan kapal asing dalam melakukan lintas di
wilayah perairan Indonesia.
5)Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 2002 yang disusun berdasarkan
persetujuan dari IMO (International Maritime Organization), maka telah ditetapkan
adanya tiga macam ALKI dengan beberapa variasinya (ALKI I, ALKI IA, ALKI II, ALKI
IIIA, IIIB, IIIC, IIID, IIIE), yang pintu masuk (entry point) dan pintu keluar (exit point)
masing-masing bisa terletak di bagian Utara atau Selatan dari wilayah perairan Indonesia
tergantung pada kapal asing dan atau pesawat udara asing akan melintas entah dari salah
satu pintu masuk di bagian Utara ataukah di bagian Selatan. Ketika kapal asing berlayar
dari laut Cina Selatan atau laut Natuna, melintasi Selat Karimata, laut Jawa, Selat Sunda
dan terus ke Samudera Hindia (ALKI I), demikian pula sebaliknya tanpa melakukan
perhentian di suatu pelabuhan, maka pelayaran seperti ini dikualifikasi sebagai lintas aluralur laut kepulauan. Ketika kapal yang bersangkutan berhenti dan singgah di suatu
pelabuhan ataupun meninggalkan pelabuhan dengan atau tanpa mengikuti ALKI, maka
pelayaran seperti ini dikualifikasi sebagai lintas damai. Ketika kapal asing itu melintasi
Selat Malaka dan Singapura menuju ke Samudera Hindia, maka pelayarannya dinamakan
lintas transit. Namun pelayaran kapal asing baik berdasarkan prinsip lintas damai maupun
lintas alur laut kepulauan dan lintas transit Selat yang digunakan untuk pelayaran
internasional (Straits used for international navigation) tetap harus mematuhi persyaratanpersyaratan yang telah ditentukan. ALKI dapat dianggap sebagai sebuah lorong atau
koridor bagi kapal untuk melakukan penyimpangan (deviation) lebih dari 25 mil laut
pada sisi kiri dan kanan dari alur-alur laut yang digunakan, tidak boleh mendekati pantai
pulau terdekat yang berada di dalam ALKI maupun di luarnya. .
6)Kapal yang melakukan lintas pelayaran melalui alur-alur laut baik alur-alur laut
kepulauan maupun di luarnya harus senantiasa berhati-hati dan menerapkan syarat-syarat
87
88
DAFTAR PUSTAKA
Barbara Kwiatkowska, The 200 Mile Exclusive Economic Zone In The New Law Of
The Sea, Martinus Nijhoff Publishers, London, 1989
Baharuddin Lopa, Beberapa Aspek Hukum Laut dan Perikanan Termasuk Koperasi
Perikanan di Eropa, Timur Tengah dan Indonesia, Intisari, Ujungpandang.
Clive R. Symmons, The Maritime Zones Of Islands In International Law, Martinus
Nijhoff, 1979.
Eko Maulana Ali Suroso, Penentuan Garis Pangkal Kepulauan di Indonesia, Agustus
1996
Hasjim Djalal, Politik Luar Negeri Indonesia Dalam Dasawarsa 1990, Centre For
Strategic and International Studies, Jakarta, 1997
Hasjim Djalal, Konvensi Hukum Laut 1982 Dalam Kurun Waktu 10 Tahun Setelah
Keberlakuannya dan Issue-Issue Baru Ocean Governance, Yogyakarta, 13 15 desember
2004
I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit Mandar Maju/ 1990/
Bandung
Komar Kantaatmadja, Gantirugi Internasional Pencemaran Minyak Di Laut, Penerbit
Alumni/ 1981/ Bandung
L.C. Green, International Law Through The Cases, Fourth Edition, 1978, The Varswell
Company Limited, Toronto, Canada
Mochtar Kusumaatmadja, Bunga Rampai Hukum Laut, Penerbit Binacipta, Bandung,
1978.
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Penerbit Binacipta, Bandung, 1978
89
90
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Dewan Kelautan
Indonesia
LAMPIRAN
I. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 6 TAHUN 1996
TENTANG
PERAIRAN INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan cara pandang bangsa Indonesia, Negara Republik Indonesia
yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, sebagai negara kepulauan dengan Deklarasi
tanggal 13 Desember 1957 dan Undang- undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia
telah menetapkan wilayah perairan Negara Republik Indonesia;
b. bahwa bangsa Indonesia telah berhasil memperjuangkan konsepsi hukum negara kepulauan dengan
dimuatnya ketentuan mengenai asas dan rezim hukum negara kepulauan dalam Bab IV Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut yang telah diratifikasi dengan Undang-undang
Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea
(Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut);
c. bahwa pengaturan hukum negara kepulauan yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 4 Prp.
Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan rezim hukum
negara kepulauan sebagaimana dimuat dalam Bab IV Kon-vensi tersebut pada huruf b;
d. bahwa sehubungan dengan itu, serta untuk memantapkan landasan hukum yang mengatur wilayah
perairan Indonesia, kedaulatan, yurisdiksi, hak dan kewajiban serta kegiatan di perairan Indonesia
dalam rangka pembangunan nasional berdasarkan Wawasan Nusantara, maka perlu mencabut
Undangundang
Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia dan mengganti dengan Undang-undang
yang baru;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of
the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut) (Lembaran Negara Tahun 1985
Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3319);
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PERAIRAN INDONESIA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Negara Kepulauan adalah negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat
mencakup pulau-pulau lain.
91
2. Pulau adalah daerah daratan yang terbentuk secara alamiah di-kelilingi oleh air dan yang berada di atas
permukaan air pada waktu air pasang.
3. Kepulauan adalah suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau, dan perairan di antara pulau-pulau
tersebut, dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lain demikian eratnya sehingga
pulau-pulau, perairan, dan wujud alamiah lainnya itu merupakan satu kesatuan geografi, ekonomi,
pertahanan keamanan, dan politik yang hakiki, atau yang secara historis dianggap sebagai demikian.
4. Perairan Indonesia adalah laut teritorial Indonesia beserta perairan kepulauan dan perairan
pedalamannya.
5. Garis air rendah adalah garis air yang bersifat tetap di suatu tempat tertentu yang menggambarkan
kedudukan permukaan air laut pada surut yang terendah.
6. Elevasi surut adalah daerah daratan yang terbentuk secara alamiah yang dikelilingi dan berada di atas
permukaan laut pada waktu air surut, tetapi berada di bawah permukaan laut pada waktu air pasang.
7. Teluk adalah suatu lekukan jelas yang penetrasinya berbanding sedemikian rupa dengan lebar
mulutnya sehingga mengandung per-airan tertutup yang lebih dari sekedar suatu lengkungan pantai
semata-mata, tetapi suatu lekukan tidak merupakan suatu teluk kecuali apabila luasnya adalah seluas
atau lebih luas daripada luas setengah lingkaran yang garis tengahnya ditarik melintasi mulut lekukan
tersebut.
8. Alur laut kepulauan adalah alur laut yang dilalui oleh kapal atau pesawat udara asing di atas alur laut
tersebut, untuk melaksanakan pelayaran dan penerbangan dengan cara normal semata-mata untuk
transit yang terus-menerus, langsung dan secepat mungkin serta tidak terhalang melalui atau di atas
perairan kepulauan dan laut teritorial yang berdampingan antara satu bagian laut lepas atau Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia dan bagian laut lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia lainnya.
9. Konvensi adalah United Nations Convention on the Law of the Sea Tahun 1982, sebagaimana telah
diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations
Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut).
Pasal 2
(1) Negara Republik Indonesia adalah Negara Kepulauan.
(2) Segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pu-lau-pulau atau bagian pulau-pulau
yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memperhitungkan luas atau lebarnya
merupakan bagian integral dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia sehingga merupakan
bagian dari perairan Indonesia yang berada di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia.
BAB II
WILAYAH PERAIRAN INDONESIA
Pasal 3
(1) Wilayah Perairan Indonesia meliputi laut teritorial Indonesia, perairan kepulauan, dan perairan
pedalaman.
(2) Laut Teritorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut yang diukur dari garis
pangkal kepulauan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
(3) Perairan Kepulauan Indonesia adalah semua perairan yang ter-letak pada sisi dalam garis pangkal lurus
kepulauan tanpa mem-perhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai.
(4) Perairan Pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang ter-letak pada sisi darat dari garis air rendah
dari pantai-pantai Indo-nesia, termasuk ke dalamnya semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi
darat dari suatu garis penutup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
Pasal 4
Kedaulatan Negara Republik Indonesia di perairan Indonesia meliputi laut teritorial, perairan kepulauan,
dan perairan pedalaman serta ruang udara di atas laut teritorial, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman
serta dasar laut dan tanah di bawahnya termasuk sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Pasal 5
(1) Garis pangkal kepulauan Indonesia ditarik dengan menggunakan garis pangkal lurus kepulauan.
(2) Dalam hal garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat digunakan,
maka digunakan garis pang-kal biasa atau garis pangkal lurus.
(3) Garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah garis -garis lurus yang
menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rendah pulau-pulau dan karang- karang kering terluar
dari kepulauan Indonesia.
(4) Panjang garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak boleh melebihi 100
(seratus) mil laut, kecuali bahwa 3% (tiga per seratus) dari jumlah keseluruhan garis -garis pangkal
92
yang mengelilingi kepulauan Indonesia dapat melebihi kepanjangan tersebut, hingga suatu
kepanjangan maksimum 125 (seratus dua puluh lima) mil laut.
(5) Garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak boleh ditarik dari dan ke
elevasi surut, kecuali apabila di atasnya telah dibangun mercu suar atau instalasi serupa yang se-cara
permanen berada di atas permukaan laut atau apabila elevasi surut tersebut terletak seluruhnya atau
sebagian pada suatu jarak yang tidak melebihi lebar laut teritorial dari pulau yang terdekat.
(6) Garis pangkal biasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah garis air rendah sepanjang pantai.
(7) Garis pangkal lurus sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah garis lurus yang menghubungkan
titik-titik terluar pada garis pantai yang menjorok jauh dan menikung ke daratan atau deretan pulau
yang terdapat di dekat sepanjang pantai.
Pasal 6
(1) Garis pangkal kepulauan Indonesia yang ditarik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dicantumkan
dalam peta dengan skala atau skala-skala yang memadai untuk menegaskan posisinya, atau dapat pula
dibuat daftar titik-titik koordinat geografis yang secara jelas memerinci datum geodetik.
(2) Peta dengan skala atau skala-skala yang memadai yang menggambarkan wilayah perairan Indonesia
atau daftar titik-titik koordinat geografis dari garis -garis pangkal kepulauan Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Pemerintah Indonesia mengumumkan sebagaimana mestinya peta dengan skala atau skala-skala yang
memadai atau daftar titik-titik koordinat geografis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) serta
mendepositkan salinan daftar titik-titik koordinat geografis tersebut pada Sekretariat Jenderal
Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pasal 7
(1) Di dalam perairan kepulauan, untuk penetapan batas perairan pedalaman, Pemerintah Indonesia dapat
menarik garis -garis penutup pada mulut sungai, kuala, teluk, anak laut, dan pelabuhan.
(2) Perairan pedalaman terdiri atas :
a. laut pedalaman; dan
b. perairan darat.
(3) Laut pedalaman sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a adalah bagian laut yang terletak pada
sisi darat dari garis penutup, pada sisi laut dari garis air rendah.
(4) Perairan darat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b adalah segala perairan yang terletak pada
sisi darat dari garis air rendah, kecuali pada mulut sungai perairan darat adalah segala perairan yang
terletak pada sisi darat dari garis penutup mulut sungai.
Pasal 8
Batas luar laut teritorial Indonesia diukur dari garis pangkal yang ditarik sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
Pasal 9
(1) Tanpa mengurangi ketentuan Pasal 4, Pemerintah Indonesia menghormati persetujuan dan perjanjian
yang ada dengan negara lain yang menyangkut bagian perairan yang merupakan perairan
kepulauannya.
(2) Syarat dan ketentuan bagi pelaksanaan hak dan kegiatan sebagai-mana dimaksud dalam ayat (1)
termasuk sifat, ruang lingkup, dan daerah berlakunya hak dan kegiatan tersebut, atas permintaan dari
salah satu negara yang bersangkutan, harus diatur dengan per-setujuan bilateral.
(3) Hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak boleh dialihkan atau dibagi kepada negara ketiga atau
warga negaranya.
(4) Kabel telekomunikasi bawah laut yang telah dipasang oleh negara atau badan hukum asing yang
melintasi perairan Indonesia tanpa memasuki daratan tetap dihormati.
(5) Pemerintah Indonesia mengizinkan pemeliharaan dan penggantian kabel-kabel sebagaimana dimaksud
dalam ayat (4) setelah diterima-nya pemberitahuan sebagaimana mestinya mengenai letak dan maksud
untuk memperbaiki dan mengganti kabel-kabel tersebut.
Pasal 10
(1) Dalam hal pantai Indonesia letaknya berhadapan atau berdampingan dengan negara lain, kecuali ada
persetujuan yang sebaliknya, garis batas laut teritorial antara Indonesia dengan negara tersebut adalah
garis tengah yang titik-titiknya sama jaraknya dari titik- titik ter-dekat pada garis pangkal dari mana
lebar laut teritorial masing-masing negara diukur.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku apabila terdapat alasan hak historis atau
keadaan khusus lain yang menyebabkan perlunya menetapkan batas laut teritorial antara kedua negara
93
94
(2) Segala jenis kapal dan pesawat udara negara asing, baik negara pantai maupun negara tak berpantai,
menikmati hak lintas alur laut kepulauan melalui perairan kepulauan Indonesia, antara satu bagian dari
laut lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dengan bagian laut lepas atau Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia lainnya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai hak dan kewajiban kapal dan pesawat udara negara asing yang
melaksanakan hak lintas alur laut kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
(1) Pemerintah Indonesia menentukan alur laut, termasuk rute pener-bangan di atasnya, yang cocok
digunakan untuk pelaksanaan hak lintas alur laut kepulauan oleh kapal dan pesawat udara asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan juga dapat menetapkan skema pemisah lalu lintas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 untuk keperluan lintas kapal yang aman melalui alur laut.
(2) Alur laut dan rute penerbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditentukan dengan suatu
rangkaian garis sumbu yang bersam-bungan mulai dari tempat masuk rute hingga tempat ke luar
melalui perairan kepulauan dan laut teritorial yang berhimpitan dengannya.
(3) Apabila diperlukan, setelah diadakan pengumuman sebagaimana mestinya, alur laut dan skema
pemisah lalu lintas yang telah ditetapkan sebelumnya dapat diganti dengan alur laut dan skema pemisah
lalu lintas lainnya.
(4) Dalam menentukan atau mengganti alur laut atau skema pemisah lalu lintas, Pemerintah Indonesia
harus mengajukan usul kepada organisasi internasional yang berwenang untuk mencapai kesepa-katan
bersama.
(5) Pemerintah menentukan sumbu-sumbu alur laut dan skema pemisah lalu lintas dan menetapkannya
pada peta-peta yang diumumkan.
(6) Kapal asing yang melakukan lintas alur laut kepulauan harus me-matuhi alur-alur laut dan skema
pemisah lalu lintas yang telah ditetapkan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai alur laut dan skema pemisah lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diatur dengan Peratur-an Pemerintah.
Bagian Ketiga
Hak Lintas Transit
Pasal 20
(1) Semua kapal dan pesawat udara asing mempunyai kebebasan pelayaran dan penerbangan semata- mata
untuk tujuan transit yang terus-menerus, langsung dan secepat mungkin melalui laut teritorial
Indonesia di selat antara satu bagian laut lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan bagian laut
lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia lainnya.
(2) Hak lintas transit dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Konvensi, hukum internasional lainnya, dan
atau peraturan perundang- undangan yang berlaku.
Pasal 21
(1) Apabila diperlukan dengan memperhatikan keselamatan navigasi, Pemerintah Indonesia dapat
menetapkan alur laut dan skema pemisah lalu lintas untuk pelayaran di lintas transit sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan alur laut dan skema pemisah lalu lintas transit
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Hak Akses dan Komunikasi
Pasal 22
(1) Apabila suatu bagian dari perairan kepulauan Indonesia terletak di antara dua bagian wilayah suatu
negara tetangga yang langsung berdampingan, Indonesia menghormati hak-hak yang ada dan kepentingankepentingan sah lainnya yang dilaksanakan secara tradi-sional oleh negara yang
bersangkutan di perairan tersebut melalui suatu perjanjian bilateral.
(2) Pemerintah Indonesia menghormati pemasangan kabel laut dan mengizinkan pemeliharaan dan
penggantian kabel yang sudah ada dengan pemberitahuan terlebih dahulu sebagaimana mestinya.
BAB IV
PEMANFAATAN, PENGELOLAAN, PERLINDUNGAN,
DAN PELESTARIAN LINGKUNGAN PERAIRAN INDONESIA
Pasal 23
(1) Pemanfaatan, pengelolaan, perlindungan, dan pelestarian lingkung-an perairan Indonesia dilakukan
95
berdasarkan peraturan perundang- undangan nasional yang berlaku dan hukum internasional.
(2) Administrasi dan yurisdiksi, perlindungan, dan pelestarian ling-kungan perairan Indonesia
dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku.
(3) Apabila diperlukan untuk meningkatkan pemanfaatan, pengelolaan, perlindungan, dan pelestarian
lingkungan perairan Indonesia seba-gaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibentuk suatu badan
koordinasi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
BAB V
PENEGAKAN KEDAULATAN DAN HUKUM
DI PERAIRAN INDONESIA
Pasal 24
(1) Penegakan kedaulatan dan hukum di perairan Indonesia, ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di
bawahnya termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta sanksi atas pelang-garannya,
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Konvensi hukum internasional lainnya, dan peraturan
perundang-undangan yang ber-laku.
(2) Yurisdiksi dalam penegakan kedaulatan dan hukum terhadap kapal asing yang sedang melintasi laut
teritorial dan perairan kepulauan Indonesia dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Konvensi, hukum
internasional lainnya, dan peraturan perundang- undangan yang berlaku.
(3) Apabila diperlukan, untuk pelaksanaan penegakan hukum sebagai-mana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) dapat dibentuk suatu badan koordinasi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 25
(1) Selama Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) belum ditetapkan, maka
pada Undang-undang ini dilam-pirkan peta ilustratif dengan skala atau skala-skala yang menggambarkan
wilayah perairan Indonesia atau daftar titik-titik koordinat geografis dari garis -garis pangkal
kepulauan Indonesia.
(2) Peraturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia tetap
berlaku sepanjang tidak berten-tangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan Undangundang
ini.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 26
Dengan berlakunya Undang-udang ini, Undang-undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1942)
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 27
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 8 Agustus 1996
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 8 Agustus 1996
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
MOERDIONO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1996 NOMOR 73
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 6 TAHUN 1996
TENTANG
96
PERAIRAN INDONESIA
UMUM
Berdasarkan fakta sejarah dan cara pandang bangsa Indonesia bahwa Negara Republik Indonesia yang
diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, secara geografis adalah negara kepulauan. Oleh sebab itu,
pada tanggal 13 Desember 1957 Pemerintah Republik Indonesia mengumumkan suatu pernyataan
(deklarasi) menge-nai Wilayah Perairan Indonesia yang berbunyi sebagai berikut :
"Bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk Negara
Indonesia dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah
daratan Negara Indonesia dan dengan demikian bagian daripada perairan pedalaman atau nasional yang
berada di bawah kedaulatan mutlak Negara Indonesia.
Lalu lintas yang damai di perairan pedalaman ini bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan sekedar tidak
bertentangan dengan/mengganggu kedaulatan dan kese-lamatan Negara Indonesia.
Penentuan batas landas lautan teritorial (yang lebarnya 12 mil) diukur dari garis yang menghubungkan
titik-titik ujung yang terluar pada pulau-pulau Negara Indonesia.
Ketentuan-ketentuan tersebut di atas akan diatur selekas-lekasnya dengan Undang-undang".
Deklarasi tanggal 13 Desember 1957 tersebut, mengandung makna bahwa Negara Indonesia adalah satu
kesatuan yang meliputi tanah (daratan) dan air (lautan) secara tidak terpisahkan sebagai "Negara
Kepulauan".
Negara kepulauan tersebut, kemudian diberikan landasan hukum dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Deklarasi tersebut
mengakibatkan suatu perubahan mendasar dalam struktur kewilayahan Negara Republik Indonesia karena
laut tidak lagi dianggap sebagai pemisah pulau-pulau, tetapi pemersatu yang menjadikan kese-luruhannya
suatu kesatuan yang utuh.
Deklarasi yang diumumkan pada saat perjuangan bangsa Indonesia mengembalikan Irian Barat ke dalam
wilayah kedaulatan Negara Republik Indonesia juga banyak menghadapi kesulitan, antara lain karena
perairan Indonesia di sekitar Irian Barat masih dianggap sebagai perairan internasional yang bebas
dimanfaatkan oleh siapa saja.
Selain alasan terhadap ancaman pertahanan-keamanan, tindakan Pemerintah ini didasarkan pula bahwa
bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta ruang udara di atasnya diperuntukkan bagi
kemakmuran dan kesejahteraan bangsa. Kebijaksanaan tersebut juga ingin memberikan bentuk nyata
kepada kesatuan dalam keanekaragaman (Bhinneka Tunggal Ika) yang menjadi semboyan bangsa
Indonesia.
Baik Deklarasi tanggal 13 Desember 1957 maupun Undang- undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang
Perairan Indonesia dilandasi oleh Wawasan Nusantara, yang kemudian sesuai dengan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Nomor II/MPR/1983 ditetapkan sebagai wawasan dalam mencapai pembangunan
nasional yang mencakup perwujudan nusantara sebagai satu kesatuan politik, ekonomi, sosial-budaya, dan
pertahanan-keamanan.
Sejak diumumkannya Deklarasi tanggal 13 Desemb er 1957 Pemerintah Indonesia terus memperjuangkan
agar konsepsi hukum negara kepulauan diterima dan diakui masyarakat internasional. Perjuangan tersebut
akhirnya telah menghasilkan pengaku-an masyarakat internasional secara universal (semesta) yaitu dengan
diterimanya pengaturan mengenai asas dan rezim hukum negara kepulauan (Archipelagic State) dalam Bab
IV Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982. Konvensi tersebut telah
diratifikasi oleh Pemerintah dengan Undang- undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United
Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut).
Perubahan kedudukan Negara Republik Indonesia sebagai negara kepulauan membawa implikasi yang
sangat luas tidak saja terhadap kepentingan nasional, tetapi juga terhadap kepentingan internasional di
perairan Indonesia. Pengakuan dunia internasional terhadap asas negara kepulauan sebagai penjelmaan
aspirasi bangsa Indonesia, membawa konsekuensi bahwa Indonesia juga harus menghormati hak-hak
masyarakat internasional di perairan yang kini menjadi perairan nasional, terutama hak lintas damai dan
hak lintas alur laut kepulauan bagi kapal-kapal asing.
Setelah masyarakat dunia yakin bahwa dengan tindakannya ini Indonesia tidak ber-maksud mengurangi
hak- hak dunia pelayaran yang sah dan tercapai suatu keseim-bangan antara keinginan Indonesia untuk
mengamankan keutuhan wilayahnya dan menguasai sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
di satu pihak, dan kepentingan dunia pelayaran internasional di pihak lain, asas negara kepulauan ini
akhirnya diterima dunia internasional.
Ditinjau dari segi ketatanegaraan, Deklarasi tanggal 13 Desember 1957 dan Undang-undang Nomor 4 Prp.
97
Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia merupakan tonggak sejarah dalam perkembangan ketatanegaraan
Indonesia bahwa negara Republik Indonesia sebagai negara kepulauan yang kemudian diakui oleh dunia
internasional dengan dimuatnya asas dan rezim hukum negara kepulauan dalam BAB IV Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982.
Ketentuan mengenai asas dan rezim hukum negara kepulauan dalam Konvensi ter-sebut mengandung
berbagai pengembangan dari konsepsi negara kepulauan sebagai-mana diatur dalam Undang-undang
Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Salah satu pengembangan tersebut adalah dengan
diakuinya garis pangkal lurus kepulauan, di samping garis pangkal biasa dan garis pangkal lurus sebagai
cara pengukuran garis pangkal kepulauan Indonesia. Berdasarkan cara pengukuran tersebut, maka dalam
wilayah perairan Indonesia terdapat lebih kurang 17.508 pulau yang berada di bawah kedaulatan Negara
Republik Indonesia.
Dengan demikian, alasan yang mendorong bangsa Indonesia untuk mencetuskan asas negara kepulauan
kemudian mengundangkannya, sampai saat ini masih tetap relevan. Akan tetapi dengan berkembangnya
berbagai kepentingan dan kegiatan di perairan Indonesia, maka kepentingan nasional dan internasional di
perairan Indonesia perlu ditata, diamankan dan dikembangkan secara terarah dan bijaksana sesuai dengan
tujuan pembangunan nasional.
Selain kepentingan pertahanan-keamanan, persatuan- kesatuan, dan ekonomi, juga perlindungan
lingkungan terhadap bahaya pencemaran dan pelestariannya serta kepentingan pengelolaan dan
pemanfaatan di perairan Indonesia, dirasakan semakin mendesak.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Undang- undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan
Indonesia perlu dicabut dan diganti dengan undang-undang yang baru, karena sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan rezim hukum negara kepulauan sebagaimana dimuat dalam BAB IV Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Ketentuan ayat ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa Negara Republik Indonesia menganut asas
negara kepulauan sebagaimana dimaksud dalam Deklarasi tanggal 13 Desember 1957, dan merupakan
penerapan dari Pasal 46 huruf a Konvensi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Sebagai negara kepulauan, untuk menentukan garis pangkal kepulauan Indonesia pada prinsipnya
dipergunakan garis pangkal lurus kepulauan.
Ayat (2)
Tidak dapat dipergunakannya garis pangkal lurus kepulauan disebabkan kondisi geografis atau keadaan
pantai dan pulau sedemikian rupa, maka di-pergunakan garis pangkal biasa atau garis pangkal lurus.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Dapat tidaknya garis pangkal lurus kepulauan ditarik dari dan ke titik ter-luar pada garis air rendah dari
suatu elevasi surut tergantung dari dua syarat, yaitu:
a. bahwa elevasi surut tersebut terletak pada suatu jarak dari suatu pulau terdekat tidak lebih dari 12 (dua
belas) mil laut; atau
b. pada elevasi surut tersebut terdapat bangunan tetap, misalnya mercu suar.
Ketentuan ini merupakan penerapan dari Pasal 13 dan Pasal 47 ayat (4) Konvensi.
Ayat (6)
98
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
- Yang dimaksud dengan "peta dengan skala atau skala-skala yang memadai" adalah peta laut
(hidrografi) dengan skala besar yang dipilih yang memadai penggunaannya bagi penyelenggaraan
penegakan kedaulatan dan hukum.
- Yang dimaksud dengan "titik-titik koordinat geografis" adalah titik-titik yang ditetapkan dengan
lintang dan bujur geografis.
- Yang dimaksud dengan "datum geodetik" adalah referensi matematik yang dipergunakan sebagai dasar
pengukuran titik-titik pangkal dari garis -garis pangkal wilayah negara kepulauan, yang ditetapkan oleh
Pemerintah Indonesia.
Ayat (2)
Peta dengan skala atau skala-skala yang memadai yang menggambarkan wilayah perairan Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ayat ini, merupakan peta dengan skala besar yang dibuat oleh
lembaga Pemerintah yang berwenang di bidang pemetaan hidro-oseanografi. Pembuatan peta di-lakukan
secara berlanjut sesuai dengan perubahan, baik perubahan kondisi geografis yang disebabkan oleh peristiwa
alam maupun perubahan berdasar-kan Konvensi, perjanjian, atau persetujuan dengan negara tetangga.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
- Yang dimaksud dengan "kuala" adalah suatu perairan yang berada di mu lut sungai, yang untuk
kepentingan tertentu tunduk pada rezim ter-tentu yang biasanya dipergunakan untuk wilayah
kehidupan ikan.
- Yang dimaksud dengan "anak laut" adalah bagian dari laut yang terletak dalam suatu lekukan yang
jelas yang mengandung perairan yang tertutup dan yang secara historis merupakan bagian dari wilayah
Indonesia.
Ayat (2)
Dalam keadaan tertentu perairan pedalaman dapat terdiri dari laut pedalaman dan perairan darat. Hal ini
terjadi apabila ditarik garis penutup yang perairannya tidak berjatuhan sama dengan garis air rendah.
Misalnya di teluk yang perairannya cukup luas sehingga ada bagian laut terletak pada sisi darat garis
penutup. Khusus untuk mulut sungai agak sukar untuk memisahkan bagian air yang terletak pada sisi darat
dari garis air rendah dari bagian air yang terletak pada garis lurus yang menutup mulut sungai, sehingga
seluruh perairan yang terletak di sisi darat dari garis penutup harus dianggap sebagai perairan darat.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Meskipun Indonesia mempunyai kedaulatan penuh di perairan kepulauan-nya, tetapi Indonesia mempunyai
kewajiban untuk menghormati perjanjian-perjanjian atau persetujuan-persetujuan yang dibuat dengan
negara- negara lain tentang penggunaan secara sah bagian-bagian dari perairan kepulau-annya untuk
pelaksanaan hak perikanan tradisional, hak akses dan komu -nikasi negara tetangga yang langsung
berdampingan, pemasangan, pemeli-haraan, dan penggantian kabel-kabel di dasar laut oleh negara-negara
lain.
Ketentuan ini merupakan penerapan dari Pasal 51 ayat (1) dan ayat (2) Konvensi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
99
Cukup jelas
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan "pemberitahuan sebagaimana mestinya" adalah pemberitahuan resmi secara tertulis
yang dilakukan oleh pemilik kabel melalui saluran diplomatik kepada Pemerintah Indonesia disertai
penjelasan antara lain mengenai letak, perkiraan waktu penyelesaian, peralatan yang digunakan, jenis
perbaikan yang dilakukan, dan maksud perbaikan atau penggantian kabel-kabel, sebelum dilakukan
kegiatan tersebut.
Pasal 10
Di laut teritorial tertentu, Indonesia tidak dapat menetapkan laut teritorialnya secara penuh sampai dengan
jarak 12 (dua belas) mil laut dari garis pangkal lurus kepulauan karena laut teritorialnya tumpang tindih
dengan negara- negara tetangga yang letak pantai-pantainya berhadapan atau berdampingan. Untuk
menetapkan
garis batas laut teritorial demikian maka akan ditarik garis tengah yang diukur sama jauh
dari titik-titik pangkal pada garis pangkal dari mana lebar laut teritorial masing-masing diukur.
Apabila terdapat hal-hal khusus seperti adanya hak-hak historis atau adanya kondisi geografis khusus
seperti bentuk pantai atau adanya pulau, maka garis batas laut teritorial tersebut akan ditetapkan melalui
perundingan untuk mencapai suatu kesepakatan.
Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "menikmati hak lintas damai" adalah hak yang diperuntukkan bagi setiap kapal
asing untuk melaksanakan pelayaran pada lintas damai sesuai dengan ketentuan Konvensi, hukum
internasional lain-nya, dan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (2)
- Yang dimaksud dengan "lintas" adalah semua pelayaran dari :
a. laut lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia melalui laut teritorial atau perairan kepulauan
Indonesia menuju ke laut lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia tanpa memasuki perairan
pedalaman; atau
b. laut lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ke atau dari perairan pedalaman atau singgah di
tempat berlabuh di tengah laut atau fasilitas pelabuhan tersebut.
Ketentuan ini merupakan penerapan dari Pasal 18 ayat (1) Konvensi.
- Yang dimaksud dengan "navigasi" adalah proses mengarahkan gerak kapal dari satu titik ke titik lain
dengan lancar dan dapat menghindari bahaya dan atau rintangan pelayaran agar dapat menyelesaikan
perja-lanan dengan selamat dan sesuai dengan jadwal
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "kegiatan yang dilarang oleh Konvensi" adalah kegiatan sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 19 ayat (2) yaitu:
a. setiap ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuh-an wilayah atau kemerdekaan
politik negara pantai,atau dengan cara lain apapun yang merupakan pelanggaran asas hukum
internasional sebagai-mana tercantum dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa;
b. setiap latihan atau praktek senjata apapun;
c. setiap perbuatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi yang merugikan bagi pertahanan atau
keamanan negara pantai;
d. setiap perbuatan propaganda yang bertujuan mempengaruhi pertahanan atau keamanan negara pantai;
e. peluncuran, pendaratan, atau penerimaan setiap pesawat udara;
f. peluncuran, pendaratan, atau penerimaan setiap peralatan dan perleng-kapan militer;
g. bongkar atau muat setiap komoditi, mata uang atau orang secara berten-tangan dengan peraturan
perundang-undangan bea cukai,fiskal, imigrasi, atau saniter negara pantai;
h. setiap perbuatan pencemaran dengan sengaja dan parah yang berten-tangan dengan Konvensi;
i. setiap kegiatan perikanan;
j. kegiatan riset atau survei;
k. setiap perbuatan yang bertujuan mengganggu setiap sistem komunikasi atau setiap fasilitas atau
100
101
yang hanya ada apabila sedang digunakan. Alur ini ditentukan dengan menetapkan titik-titik sumbu atau
poros untuk menentukan lebar alur laut kepulauan yang dapat digunakan. Ketentuan ini merupakan
penerapan dari Pasal 53 ayat (5) Konvensi.
Ayat (3)
Untuk menegakkan kedaulatan dan keamanan negara serta dengan memper-hatikan keselamatan pelayaran,
apabila diperlukan, Pemerintah Indonesia dapat sewaktu-waktu mengganti alur laut dan skema pemisah lalu
lintas yang telah ditetapkan. Penggantian alur-alur laut dan skema pemisah lalu lintas ini harus diumumkan
secara wajar, misalnya dalam bentuk pengumuman kepada para pelaut (notice to mariners).
Ketentuan ini merupakan penerapan dari Pasal 53 ayat (7) Konvensi.
Ayat (4)
Di laut teritorial dan perairan kepulauan Indonesia mempunyai kedaulatan penuh. Oleh karena itu
pengajuan usul untuk menentukan atau mengganti alur laut atau skema pemisah dimaksudkan semata-mata
untuk meminta pertimbangan dari segi keselamatan pelayaran. Organisasi internasional yang dimaksud
adalah International Maritime Organization (IMO).
Ketentuan ini merupakan penerapan dari Pasal 53 ayat (9) Konvensi.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Kecuali dengan izin Pemerintah Indonesia, kapal dan pesawat udara asing yang berlayar atau terbang di
luar alur-alur laut kepulauan yang telah di-tetapkan dianggap tidak melaksanakan hak lintas alur kepulauan.
Apabila kapal tersebut berlayar juga di luar alur-alur laut yang telah ditetapkan untuk lintas damai,
dianggap melakukan pelanggaran terhadap ketentuan ini.
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Hak lintas transit dalam Undang-undang ini adalah hak lintas transit di Selat Malaka dan di Selat
Singapura.
Yang dimaksud dengan "ketentuan Konvensi" adalah hak lintas transit sebagaimana ditentukan antara lain
dalam Pasal 39 Konvensi yaitu:
a. lewat dengan cepat melalui atau di atas selat;
b. menghindarkan diri dari ancaman atau penggunaan kekerasan apapun terhadap kedaulatan, keutuhan
wilayah atau kemerdekaan politik negara Indonesia atau dengan cara apapun yang melanggar asas-asas
Hukum Internasional yang tercantum dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa;
c. menghindarkan diri dari kegiatan apapun selain transit secara terus-menerus, langsung dan secepat
mungkin dalam cara normal kecuali diperlukan karena "force majeure" atau karena gangguan navigasi;
dan
d. memenuhi ketentuan internasional tentang :
1) keselamatan pelayaran di laut;
2) pencegahan, pengurangan, dan pengendalian pencemaran yang berasal dari kapal;
3) keselamatan penerbangan sesuai peraturan udara yang ditetapkan oleh Organisasi Penerbangan
Sipil Internasional (International Civil Aviation Organization); dan
4) memonitor frekuensi radio yang ditunjuk.
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Hak akses dan komunikasi yang dimaksudkan adalah hak akses dan komunikasi sebagaimana telah diatur
dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1983 tentang Pengesahan atas Treaty between Malaysia and
Indonesia relating to the Legal Regime of the Archipelagic State and Rights of Malaysia in the Teritorial
Sea, Archipelagic Waters and the Territory of Indonesia lying between East and West Malaysia (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 7, Tam-bahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3248).
Pasal 23
Ayat (1)
102
Yang dimaksud dengan "peraturan perundang-undangan nasional yang ber-laku", misalnya Undang-undang
Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup dan
Undangundang
Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta
peraturan perundang-undangan dari pelbagai konvensi atau perjanjian internasional lainnya.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "administrasi dan yurisdiksi" adalah administrasi dalam rangka pelaksanaan
yurisdiksi yang dilakukan oleh instansi yang terkait dengan masalah lingkungan perairan Indonesia.
Misalnya mengenai penetapan Baku Mutu Lingkungan atau Analisis Dampak Lingkungan yang dilakukan
oleh Kantor Menteri Negara Ling-kungan Hidup, maka mengenai administrasi tersebut antara lain
mengenai persyaratan-persyaratan yang berkaitan dengan Baku Mutu Lingkungan atau Analisis Dampak
Lingkungan tersebut.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Pelaksanaan penegakan kedaulatan dan hukum di perairan Indonesia, ruang udara di atasnya, dasar laut dan
tanah di bawahnya serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dilakukan untuk memelihara
keutuhan wilayah perairan Indonesia serta menjaga dan melindungi kepentingan nasional di laut. Sanksi
atas pelanggaran kedaulatan dan hukum di perairan Indonesia, antara lain dapat dilakukan dengan
memperingatkan kapal asing yang bersangkutan untuk segera meninggalkan perairan Indonesia.
Ayat (2)
Yurisdiksi terhadap kapal asing dapat mengenai yurisdiksi pidana, perdata, atau yurisdiksi lainnya.
Mengenai yurisdiksi pidana dan perdata antara lain berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 27
dan Pasal 28 Konvensi, hukum internasional lainnya, dan atau peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 27 ayat (1) Konvensi menyatakaan bahwa yurisdiksi kriminal negara pantai tidak dapat dilaksanakan
di atas kapal asing yang sedang melintasi laut teritorial untuk menangkap siapapun atau untuk mengadakan
penyidikan yang bertalian dengan kejahatan apapun yang dilakukan di atas kapal selama lintas demikian,
kecuali :
a. apabila akibat kejahatan itu dirasakan di negara pantai;
b. apabila kejahatan itu termasuk jenis yang mengganggu kedamaian negara tersebut atau ketertiban laut
wilayah;
c. apabila telah diminta bantuan penguasa setempat oleh nahkoda kapal atau oleh wakil diplomatik atau
pejabat konsuler negara bendera; atau
d. apabila tindakan demikian diperlukan untuk menumpas perdagangan gelap narkotika atau bahan
psikotropika.
Selanjutnya Pasal 28 Konvensi menyatakan bahwa yurisdiksi perdata tidak dapat dilakukan terhadap kapal
asing atau orang yang berada di atasnya, kecuali :
a. hanya apabila berkenaan dengan kewajiban atau tanggung jawab ganti rugi yang diterima atau yang
dipikul oleh kapal itu sendiri dalam mela-kukan atau untuk maksud perjalanannya melalui perairan
Indonesia; atau
b. untuk melaksanakan eksekusi atau penangkapan sesuai dengan undang-undang yang berlaku dengan
tujuan atau guna keperluan proses perdata terhadap suatu kapal asing yang berada atau melintasi laut
teritorial atau perairan kepulauan setelah meninggalkan perairan pedalaman. Yang dimaksud dengan
"yurisdiksi lainnya" misalnya yurisdiksi administra-tif.
Ayat (3)
Ketentuan dalam ayat (1) dan ayat (2) mengatur mengenai penegakan kedaulatan dan hukum di perairan
Indonesia, namun karena mengenai pene-gakan kedaulatan telah diatur secara tegas dalam Undang-undang
Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik
Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1988, maka yang perlu
dikoordinasikan hanya mengenai pelaksanaan penegakan hukum.
Penegakan hukum dilaksanakan oleh instansi terkait, antara lain Tentara Nasional Indonesia Angkatan
Laut, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Departemen Perhubungan, Departemen Pertanian,
Departemen Keuangan, dan Departemen Kehakiman, sesuai dengan wewenang masing-masing instansi
tersebut dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan nasional maupun hukum internasional.
103
Pasal 25
Ayat (1)
Peta ilustratif yang dilampirkan dalam Undang-undang ini mempunyai sifat sementara sampai
ditetapkannya Peraturan Pemerintah tentang peta dengan skala atau skala-skala yang memadai yang
menggambarkan wilayah per-airan Indonesia atau daftar titik-titik koordinat geografis dari garis -garis
pangkal kepulauan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2).
Pelampiran peta ilustratif dalam Undang-undang ini dilakukan dengan per-timbangan bahwa pembuatan
peta dengan skala atau skala-skala yang me-madai atau daftar titik-titik koordinat geografis dari garis -garis
pangkal kepulauan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) memer-lukan waktu yang
cukup lama. Oleh sebab itu, demi kepastian hukum dalam Undang-undang ini dilampirkan peta ilustratif
wilayah perairan Indonesia. Dalam hal terdapat batas wilayah tertentu di perairan Indonesia masih dalam
perundingan dengan negara tetangga, maka batas wilayah tertentu tersebut akan diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Pemerintah berdasarkan hasil perundingan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3647
Kutipan : MEDIA ELEKTRONIK SEKRETARIAT NEGARA TAHUN 1996
Mengingat ...
Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1973
Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
2994);
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981
Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3209);
4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1983 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3260);
5. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan
United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut) (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 76, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3319);
6. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3319);
7. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 98,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3493);
8. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996
Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3647);
9. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3699);
10. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4168);
11. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002
Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4169);
105
Pasal 11
Segala pembiayaan yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas dan
fungsi Dewan Kelautan Indonesia dibebankan pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Departemen Kelautan dan Perikanan
dan sumber-sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang - undangan.
Pasal 12 ...
9
Pasal 12
Dengan berlakunya Keputusan Presiden ini, pelaksanaan tugas Pewan
Maritim Indonesia dilanjutkan oleh Dewan Kelautan Indonesia.
Pasal 13
Pada saat Keputusan Presiden ini mulai berlaku, semua peraturan
pelaksanaan dari Keputusan Presiden Nomor 161 Tahun 1999 tentang
Dewan Maritim Indonesia tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan ketentuan dalam Keputusan Presiden ini.
Pasal 14
Pada saat Keputusan Presiden ini mulai berlaku, Keputusan Presiden
Nomor 161 Tahun 1999 tentang Dewan Maritim Indonesia dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 15
Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 September 2007
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi Sekretaris Kabinet
Bidang Hukum
ttd.
Dr. M. Iman Santoso
109
ISPS Code being applied in Southampton, England, with signs prohibiting access to areas
next to ships.
The cruise ship Sea Princess leaving Southampton harbor; fences are visible on the right,
which prevent access to the ship under the ISPS Code.
The International Ship and Port Facility Security (ISPS) Code is an amendment to the
Safety of Life at Sea (SOLAS) Convention (1974/1988) on minimium security
arrangements for ships, ports and government agencies. Having come into force in 2004,
it prescribes responsibilities to governments, shipping companies, shipboard personnel,
and port/facility personnel to "detect security threats and take preventative measures
against security incidents affecting ships or port facilities used in international trade."[1]
110
Contents
[hide]
1 History
2 Scope
3 Requirements
4 National implementation
o 4.1 United States
5 Difficulties
6 See also
7 References
8 External links
[edit] History
The ISPS Code was instituted as part of the international community's response to the
hijacking of the Italian cruise ship Achille Lauro on October 7, 1985 during which event
a Jewish-American disabled passenger was killed. Development and implementation
were speeded up drasticly in reaction to the September 11, 2001 attacks and the bombing
of the French oil tanker Limburg. The U.S. Coast Guard, as the lead agency in the United
States delegation to the International Maritime Organization (IMO), advocated for the
measure.[2] The Code was agreed at a meeting of the 108 signatories to the SOLAS
convention in London in December 2002. The measures agreed under the Code were
brought into force on July 1, 2004.
[edit] Scope
The Code is a two-part document describing minimum requirements for security of ships
and ports. Part A provides mandatory requirements. Part B provides guidance for
implementation.
The ISPS Code applies to ships on international voyages (including passenger ships,
cargo ships of gross tonnage (GT) of 500 tons and upwards, and mobile offshore drilling
units) and the port facilities serving such ships.[3]
The main objectives of the ISPS Code are:
111
[edit] Requirements
The Code does not specify specific measures that each port and ship must take to ensure
the safety of the facility against terrorism because of the many different types and sizes of
these facilities. Instead it outlines "a standardized, consistent framework for evaluating
risk, enabling governments to offset changes in threat with changes in vulnerability for
ships and port facilities."
For ships the framework includes requirements for:
In addition the requirements for ships and for port facilities include:
[edit] Difficulties
The ISPS code has been difficult for some ships to implement, particularly cargo vessels
with small crews undergoing cargo operations. Designating a crewmember to be
112
continually at the entrance to the vessel whilst undergoing cargo operations leaves less
crew available for other work. In some cases this could lead to dangerously low levels of
crewmembers attending a hazardous operation. Hiring shore-based personnel to perform
guard duties can alleviate this problem, but may not be possible in some countries where
it is not unknown for security guards to be criminals. Passenger vessels and cruise ships
typically have a much larger crew including designated security staff and do not suffer
from this problem.
[edit] References
1. ^ ISPS Code, Part A, 1.2.1
2. ^ World Cruise - Maximum Security - Cruise Ships Secure from Terrorist Threats
3. ^ ISPS Code, Part A, 3.1
Printer-friendly version
The
International Maritime Organization (IMO) has as an
integral part of its mandate the duty to make travel and
transport by sea as safe as possible.
In the wake of the tragic events of 11 September 2001 in
the United States of America, the then IMO SecretaryGeneral Mr. William A. O'Neil consulted on the need to
review the measures already adopted by IMO to combat
acts of violence and crime at sea. The 22nd Assembly of
IMO, which met at the Organization's London
headquarters from 19-30 November 2001, agreed to
hold a Conference on Maritime Security in December
2002, to adopt new regulations to enhance ship and port
security and avert shipping from becoming a target of
international terrorism.
This decision followed the adoption of Assembly Resolution
A.924(22) put forward by Secretary-General William O'Neil on
"Review of measures and procedures to prevent acts of
terrorism which threaten the security of passengers and crews
and the safety of ships".
The resolution calls for a review of the existing international
legal and technical measures to prevent and suppress terrorist
acts against ships at sea and in port and improve security
113
aboard and ashore. The aim is to reduce risks to passengers, crews and port personnel on board
ships and in port areas and to the vessels and their cargoes.
An Intersessional Working Group on Maritime Security, which met from 11 to 15 February,
produced a series of recommendations which were further elaborated by the May 2002 meeting
of the Maritime Safety Committee (MSC 75) as well as other IMO bodies. A second ISWG was
held in September 2002, and the MSC met again for its 76th session in December 2002,
concurrently with the Diplomatic conference on Maritime Security which adopted the new
measures to enhance maritime security.
The Conference, held at the IMO London headquarters from 9 to 13 December, was of crucial
significance not only to the international maritime community but the world community as a whole,
given the pivotal role shipping plays in the conduct of world trade.
The Conference was attended by 108 Contracting Governments to the 1974 SOLAS Convention,
observers from two IMO Member States and observers from the two IMO Associate Members.
United Nations specialized agencies, intergovernmental organizations and non-governmental
international organizations also sent observers to the Conference.
The Conference adopted a number of amendments to the 1974 Safety of Life at Sea Convention
(SOLAS), the most far-reaching of which enshrines the new International Ship and Port Facility
Security Code (ISPS Code). The Code contains detailed security-related requirements for
Governments, port authorities and shipping companies in a mandatory section (Part A), together
with a series of guidelines about how to meet these requirements in a second, non-mandatory
section (Part B). The Conference also adopted a series of resolutions designed to add weight to
the amendments, encourage the application of the measures to ships and port facilities not
covered by the Code and pave the way for future work on the subject. See More...
-IV.
114
4.
115
memanfaatkan
berkelanjutan;
sumber
daya
alam
dalam
rangka
pembangunan
yang
116
Pasal 3
Prinsip pengelolaan pulau-pulau kecil terluar adalah:
a. Wawasan nusantara;
b. Berkelanjutan;
c. Berbasis masyarakat.
Pasal 4
Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah.
BAB III
PENGELOLAAN
Pasal 5
(1) Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dilakukan secara terpadu antara Pemerintah
dan Pemerintah Daerah.
(2) Pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi bidang-bidang :
a. sumberdaya alam dan lingkungan hidup;
b. infrastruktur dan perhubungan;
c. pembinaan wilayah;
d. pertahanan dan keamanan;
e. ekonomi, sosial, dan budaya.
(3) Pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB IV
KELEMBAGAAN
Pasal 6
(1) Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dikoordinasikan oleh Tim Koordinasi
Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar, yang selanjutnya disebut Tim Koordinasi.
(2) Susunan keanggotaan Tim Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
dari :
117
118
119
(3) Sekretariat secara ex-officio dilaksanakan oleh unit kerja struktural di lingkungan
Departemen Kelautan dan Perikanan yang menangani pengelolaan pulau-pulau
kecil terluar.
(4) Ketua Sekretariat ditunjuk oleh Menteri Kelautan dan Perikanan.
BAB V
PEMBIAYAAN
Pasal 11
Pembiayaan yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas Tim Koordinasi dibebankan
kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
BAB VI
PENUTUP
Pasal 12
Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 29 Desember 2005
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG
YUDHOYONO
120
121
2) ALKI cabang IA : Rute untuk pelayaran dari Selat Singapura melintasi Laut Natuna,
Selat Karimata, Laut Jawa dan Selat Sunda ke Samudera Hindia atau sebaliknya, atau
melintasi Laut Natuna ke Laut Cina Selatan atau sebaliknya.
3) ALKI II : Rute untuk pelayaran dari Laut Sulawesi melintasi Selat Makassar, Laut
Flores dan Selat Lombok ke Samudera Hindia atau sebaliknya.
4) ALKI IIIA : Rute untuk pelayaran dari Samudera Pasifik melintasi Laut Maluku, Laut
Seram, Laut Banda, Selat Ombai dan Laut Sawu sebelah Barat Pulau Sawu ke Samudera
Hindia atau sebaliknya.
5) ALKI Cabang IIIB : Rute untuk pelayaran dari Samudera Pasifik melintasi Laut
Maluku, Laut Seram, Laut Banda dan Selat Leti ke Laut Timor atau sebaliknya.
6) ALKI Cabang IIIC : Rute untuk pelayaran dari Samudera Pasifik melintasi Laut
Maluku, Laut Seram dan Laut Banda ke Laut Arafura atau sebaliknya.
7) ALKI Cabang IIID : Rute untuk pelayaran dari Samudera Pasifik melintasi Laut
Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai dan Laut Sawu sebelah Timur Pulau
Sawu ke Samudera Hindia atau sebaliknya.
8) ALKI Cabang IIIE : Rute untuk pelayaran dari Laut Sulawesi melintasi Laut Maluku,
Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai dan Laut Sawu sebelah Barat Pulau Sawu atau
Laut Sawu sebelah Timur Pulau Sawu ke Samudera Hindia atau sebaliknya, atau
melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Leti dan Laut Timor ke Samudera
Hindia atau sebaliknya, atau Laut Seram dan Laut Banda ke Laut Arafura atau
sebaliknya.
122
123