Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH HUKUM LAUT INTERNASIONAL

ZONA TAMBAHAN

OLEH
KELOMPOK 5:
TANISA ATILA (1503101010134)
LAILA AMNA (1503101010138)
HUSNUL AWWALINA (1503101010141)
DESI AYU NINGSIH (1503101010144)
RIZKINA MEWAHNI (1503101010146)
MURSALIN (1503101010156)

KELAS: C
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH
2017
ZONA TAMBAHAN

A. Perkembangan Konsepsi Zona Tambahan


Zona tambahan (contiguous zone) secara tradisional adalah bagian dari laut lepas,
tetapi negara dapat melakukan fungsi-fungsi tertentu di dalam zona tersebut.
Menurut Brierly masalah lebar laut teritorial menjadi soal yang kompleks dengan
diajukannya suatu klaim tambahan, yaitu yursidiksi di dalam “contiguous zone”, yaitu
zona dari laut lepas yang bersambungan dengan laut teritorial. Kemudian terlihat
bahwa konsepsi zona tambahan semakin menarik didalam Konverensi Kodefikasi
1930, Konverensi Geneva Tahun 1958 dan 1960 serta didalam UNCLOS III.
Menurut ketentuan umum hukum internasional, negara-negara tidak memiliki
yurisdiksi douane terhadap kapal-kapal asing di laut lepas. Pengecualian terhadap hal
ini hanyalah dapat dilaksanakan menurut perjanjian internasional. Namun Inggris
dalam abad ke-18 memperkenalkan Hovering Acts yang membenarkan penangkapan
penyelundupan di laut lepas pada jarak berbagai mil dan menurut Brierly Hovering
Acts telah memusingkan Spanyol yang hanya mengadakan klaim selebar 6 mil.
Kegagalan Konverensi Kodefikasi Den Haag Tahun 1930, menyebabkan konsepsi
zona tambahan ini (yang biasanya dikaitkan dengan laut teritorial) selanjutnya di
tentukan sendiri-sendiri oleh negara-negara bersangkutan menurut kepentingan
mereka masing-masig.
Di dalam artikel dari Harvard Research in International Law Tahun 1929, disebutkan
bahwa pelayaran di laut lepas adalah bebas untuk semua negara. Namun pada laut
lepas yang bersambung dengan laut perbatasan, negara dapat mengambil langkah-
langkah yang di perlukan untuk penerapan peraturan-peraturan douane, pelayaran,
kesehatan dan kepolisian dibawah wilayah negaranya atau laut teritorialnya atau
untuk keperluan proteksi yang sangat diperlukan.
B. Konsepsi Zona Tambahan Yang di Kaitkan dengan Laut Lepas
Konsepsi Zona Tambahan yang dikaitkan dengan laut lepas, masih terlihat dalam
konvensi tentang laut teritorial 1958, dimana pasal 24 dari konvensi tersebut
menunjuk kepada pengawasan negara pantai terhadap zona dari laut lepas yang
bersambung dengan laut teritorial.
Article 24
Ina zone of the high seas contiguous to its territorial sea, the coastal state may
exercise the control necessary to: etc, etc, ......... Di lain pihak apa yang dimaksudkan
dengan "laut lepas" ditentukan oleh pasal 1 dari Convention on The High Seas 1958,
yang menyatakan bahwa laut lepas berarti bagian dari taut yang tidak termasuk di
dalam laut teritorial dan perairan pendalaman dari suatu negara.

Article 1
The term "high seas" means all parts of the sea that are not included in the territorial
sea or in internal waters of a state.
C. KONSEPSI ZONA TAMBAHAN MENURUT KONVENSI HUKUM LAUT 1982
Di dalam Konvensi Hukum Laut 1982, terlihat perubahan pandangan mengenai
konsepsi Zona tambahan ini, yaitu di mana Zona tambahan tidak lagi dipandang
sebagai zona laut lepas.
Pasal 33 dari Konvensi baru ini menyatakan bahwa di dalam zona yang
bersambung dengan laut teritorial yang disebut sebagai Zona tambahan, negara pantai
dapat melakukan pengawasan yang diperlukan untuk mencegah pelanggaran terhadap
peraturan douane, pajak, imigrasi dan kesehatan pada laut teritorialnya dan
menghukum pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tersebut di atas yang dilakukan
di dalam laut teritorialnya.
Kemudian ditentukan oleh Konvensi baru ini bahwa zona tambahan tidak
boleh melebihi jarak 24 mil dari garis pangkal, dari tempat lebar laut teritorial diukur.

D. ZONA DOUANE DAN FISKAL


Yurisdiksi negara pantai pada zona douane dan fiskal telah lama dikenal oleh hukum
kebiasaan internasional.
Inggris dengan “Hovering Acts" telah mempraktekkan zona douane/ fiskal ini
terhadap kapal-kapal asing pada permulaan ahad ke-l8 dan abad ke-19. Amerika
Serikat rnengikuti sistern perundang-undangan Inggris ini dan sejak tahun 1790
melarang berbagai aktivitas di dalam jarak 12 mil dari pantai sebagai pelaksanaan
penerapan peraturan douane. Di dalam Anti Smuggling Act or 1935 di Amerika
Serikat di muat ketentuan-ketentuan tentang diperkenalkannya wilayah operasi
douane yang terutama ditujukan terhadap penyelundupan minuman keras oleh kapal-
kapal negara-negara yang tidak mempunyai perjanjian internasional tentang minuman
keras dengan Amerika Serikat.
Untuk rnengurangi ketegangan-ketegangan dalam wilayah operasi douane ini,
biasanya oleh negara-negara bersangkutan diadakan perjanjian-perjanjian
internasional tertentu.

E. BATASAN-BATASAN UNTUK MENCEGAH NEGARA PANTAI TIDAK


MENYAMAKAN ZONA TAMBAHAN DENGAN LAUT TERITORIAL
Guna mencegah negara pantai tidak menyamakan Zona Tambahan dengan Laut
Teritorial, Brownlie mengemukakan pandangan Sir Gerald Fitmaurice tentang pasal
24 ayat 1 dari Konvensi Laut Teritorial Dan Zona Tambahan 1958, mengenai
kekuasaan pengawasan negara pantai di mana dikatakan bahwa yang dilaksanakan
negara pantai ialah suatu pengawasan dan bukan suatu yurisdiksi untuk:
a. mencegah pelanggaran peraturan douane, fiskal, imigrasi dan kesehatan di
dalam laut teritorial negara tersebut.
b. menghukum pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tersebut di atas yang
dilakukan pada laut teritorial negara tersebut.

Maksud dari pasal 24 ayat 1 di atas ialah untuk menghindari agar pelanggaran-
pelanggaran tidak dilakukan, dan bahwa kekuasaan negara pantai dapat
dibedakan,'yaitu kekuasaan mencegah hanya dapat dilakukan atas kapal-kapal yang
akan masuk dan kekuasaan menghukum diterapkan terhadap kapal-kapal yang akan
meninggalkan zona tarnbahan.

Dalam melaksanakan kekuasaan pengawasan, apakah sebenarnya yang dapat


dilaksanakan negara-negara pantai terhadap kapal yang datang? Dapatkah penahanan
dilakukan? jawaban dalarn hal ini adalah negatif, dan pemeriiksaan yang diperlukan
seharusnya dilakukan pada waktu kapal masih berada pada Zona tambahan.

Batasan.batasan tersebut diperlukan untuk rnencegah negara pantai tidak


menyamakan Zona Tarnbahan dangan Laut Teritorial. Adapun konsepsi tentang Zona
Tarnbahan terlihat jelas dalam kasus berikut ini:

The Grace and Ruby

United States. District Court, District of Massachusetts 1922, 283 F.475.

Tuntutan denda terhadap Grace and Ruby dalam penyelundupan minuman keras yang
melanggar Prohibition Act, 41 Stat. 305 clan Rev, Stat. # 2872, 2874, tentang
larangan penyerahan di malam hari di wilayah Amerika Serikat barang-barang yang
dibawa dari luar negeri.

Grace and Ruby adalah kapal Inggris yang terdaftar di Yarmouth, Nova Scotia,
dengan komandan bernama Ross. warga negara Inggris.

Kapal ini berlayar dari kepulauan Bahamas, Hindia Barat Inggris menuju St.
John N.B. dengan muatan minuman keras yang dimiliki sebagian oleh seseorang
bernama Sullivan, dari Salem, Massachusetts, yang berada di atas kapal tersebut.

Dari Bahamas kapal ini menuju langsung ke suatu tempat kira-kira 6 mil di
luar Gloucester, Massachusetts, di mana Sullivan diturunkan ke darat dan kapal
tersebut selalu berada dalam jarak tiga mil dari daratan. Dua hari kemudian Sullivan
datang ke kapal di dalam motor-boat Wilkin II, kemudian membawa ke pantai
sebagian dari muatan kapal. Kira-kira sebanyak 8.000 botol minuman keras
diturunkan dari Grace and Ruby ke motor boat serta dibawa ke darat pada malam hari.
Tiga orang awak kapal bersama Sullivan masuk ke dalam Wilkin II, dan sebuah kapal
kecil milik kapal ditarik, yang diperkirakan digunakan untuk mendaratkan minuman
keras atau untuk digunakan awak kapal kembali ke kapalnya.

Percobaan untuk mendaratkan minuman keras tersebut diketahui oleh petugas-


petugas douane serta Wilkin II dan muatannya ditangkap, Keesokan harinya kapal
douane bersenjata Tampa, diperintahkan untuk mencari Grace and Ruby dan
menyeretnya ke pelabuhan. Dua hari kemudian tanggal 23 Februari 1922 Grace and
Ruby ditemukan, yang mengadakan perlawanan namun dipatahkan oleh pamer
kekuatan senjata oleh Tampa, yang menyeretnya ke pelabuhan Boston. Pada saat
Grace and Ruby ditangkap, kapal tersebut berada kira-kira empat mil dari pulau
terdekat. Setelah kapal tersebut dibawa ke Boston, di ajukan suatu tuntutan denda,
surat penahanan dikeluarkan dan kapal tersebut ditempatkan di bawah pengawasan
United States Marshall.

Pernilik kapal tersebut, sarna sekali tidak dapat rnenerima penangkapan


kapalnya.

Hakirn Distrik Morton menyatakan:

Dari fakta-fakta yang ada ternyata bahwa Grace and Ruby terlibat dalam
penyelundupan muatan yang dilarang oleh pemerintah Amerika serikat; dan bahwa
kapal tersebut berlabuh di luar batas tiga mil dari pantai, tetapi masih di dalam batas
empat league (12 mil), dengan maksud menurunkan rnuatan ke pantai. Persoalannya
bukanlah apakah kapal tersebut telah ditangkap di luar batas tiga mil untuk suatu
pelanggaran yang telah dilakukannya. Laut lepas bukanlah wilayah negara rnanapun,
tidak ada suatu negara yang dapat menerapkan hukumnya di laut lepas, tempat ini
bebas untuk kapal-kapal dati semua negara. Tetapi janganlah disangka bahwa ini
berarati suatu negara sama sekali tidak berdaya terhadap kapal-kapal yang melakukan
pelanggaran hukum negara tersebut, dengan tetap tinggal di luar batas tiga mil. Hal ini
bukanlah suatu pernyataan hak menggeledah dan menangkap di laut lepas, tetapi
adalah pemakaian kekuasaan yang terbatas pada perairan yang bersambung dengan
pantai kita (Amerika Serikat) terhadap kapal yang telah melanggar hukum kita. Fakta
bahwa Grace and Ruby berada di luar batas tiga mil tidaklah mengakibatkan bahwa
penangkapan tersebut tidak sah dan berada di luar yurisdiksi si penangkap. Mengenai
penangkapan ini, garis antara laut teritorial dan laut lepas, tidaklah seperti batas antara
negara kita (Amerika Serikat) dengan kekuasaan asing. Menurut hemat saya, haruslah
terdapat suatu wilayah perairan tertentu yang dapat dipersoalkan yang bersambung ke
pantai kita. Berapa jauhnya kita dapat menggunakan kekuasaan kita menangkap kapal
asing yang telah melanggar hukum kita, hal ini diserahkan kepada departemen politik
dari pemerintah, dan bukanlah pengadilan yang menetapkannya.

Kemudian hal ini diprotes oleh Duta Besar Inggris kepada Menteri Luar
Negeri Anierika Serikat Hughes tanggal 30 Desember 1922, yang dijawab oleh
Menteri Luar Negeri Hughes tanggal 18 September 1923, yang menyatakan
kendatipun pertimbangan-pertimbangan yang diajukan dalam nota Inggris di atas,
bahwa telah dicapai suatu kesimpulan, di mana pemerintah Amerika Serikat tetap
pada pendiriannya semula, Yaitu kapal asing di luar batas tiga mil dapat ditangkap
apabila kedapaatan mempergunakan kapal kecil dalam kegiatan melawan hukum di
dalam batas tiga mil dari Amerika Serikat.

Rezim zona tambahan diatur dalam Konferensi Hukum Laut Jenewa 1958. Dalam konferensi
tersebut menghasilkan 4 konvensi, yaitu :

1. Konvensi I tentang Laut Teritorial dan Zona Tambahan


2. Konvensi II tentang Laut Lepas

3. Konvensi III tentang Perikanan dan Perlindungan Kekayaan Hayati Laut Lepas

4. Konvensi IV tentang Landas Kontinen

Menurut J.G Starke, zona tambahan adalah suatu jalur perairan yang berdekatan dengan batas
jalur maritim atau laut teritorial, tidak termasuk kedaulatan negara pantai, tetapi dalam zona
tersebut negara pantai dapat melaksanakan hak-hak pengawasan tertentu untuk mencegah
pelaggaran peraturan perundang-undangan saniter, bea cukai, fiskal, pajak dan imigrasi di
wilayah laut teritorialnya. Sepanjang 12 mil atau tidak melebihi 24 mil dari garis pangkal.

Zona tambahan didalam pasal 24 (1) UNCLOS III dinyatakan bahwa suatu zona dalam laut
lepas yang bersambungan dengan laut teritorial negara pantai tersebut dapat melaksanakan
pengawasannya yang dibutuhkan untuk:

1. Mencegah pelanggaran-pelanggaran perundang-undangannya yang berkenaan dengan


masalah bea cukai (customs), perpajakan (fiskal), keimigrasian (imigration), dan kesehatan
atau saniter.

2. Menghukum pelanggaran-pelanggaran atau peraturan-peraturan perundang-undangannya


tersebut di atas.

Didalam ayat 2 ditegaskan tentang lebar maksimum dari zona tambahan tidak boleh
melampaui dari 12 mil laut diukur dari garis pangkal. Hal ini berarti bahwa zona tambahan
itu hanya mempunyai arti bagi negara-negara yang mempunyai lebar laut teritorial kurang
dari 12 mil laut (ini menurut konvensi Hukum Laut Jenewa 1958), dan sudah tidak berlaku
lagi setelah adanya ketentuan baru dalam Konvensi Hukum Laut 1982. Menurut pasal 33 ayat
2 Konvensi Hukum Laut 1982, zona tambahan itu tidak boleh melebihi 24 mil laut, dari garis
pangkal dari mana lebar laut teritorial itu diukur. Berikut ini beberapa hal guna memperjelas
tentang letak zona tambahan itu:
- Pertama, Tempat atau garis dari mana lebar jalur tambahan itu harus diukur, tempat atau
garis itu adalah garis pangkal.

- Kedua, Lebar zona tambahan itu tidak boleh melebihi 24 mil laut, diukur dari garis pangkal.

- Ketiga, Oleh karena zona laut selebar 12 mil laut diukur dari garis pangkal adalah
merupakan laut teritorial, maka secara praktis lebar zona
tambahan itu adalah 12 mil (24-12) mil laut, itu diukur dari garis atau batas luar laut
territorial, dengan kata lain zona tambahan selalu terletak diluar dan berbatasan dengan laut
teritorial.

- Keempat, Pada zona tambahan, negara pantai hanya memiliki yurisdiksi yang terbats
seperti yang ditegaskan dalam pasal 33 ayat 1 Konvensi Hukla 1982. Hal ini tentu saja
berbeda dengan laut teritorial dimana negara pantai di laut teritorial memiliki kedaulatan
sepenuhnya dan hanya dibatasi oleh hak lintas damai.
Sampai saat ini Indonesia belum mengumumkan zona tambahannya maupun memiliki
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penetapan batas terluar, maupun
tentang penetapan garis batas pada zona tambahan yang tumpang tindih atau yang berbatasan
dengan zona tambahan negara lain. Badan Pembinaan Hukum Nasional dari Departemen
Kehakiman dan HAM pernah melakukan pengkajian dan menghasilkan suatu naskah
akademik dan RUU tentang Zona Tambahan, namun sampai saat ini belum menjadi Undang-
Undang.

Menurut ketentuan Pasal 47 ayat 8 dan 9 dari UNCLOS, garis-garis pangkal yang telah
ditetapkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan tersebut harus dicantumkan dalam peta atau
peta-peta dengan skala atau skala-skala yang memadai untuk menegaskan posisinya. Sebagai
gantinya dapat dibuat daftar koordinat geografis titik-titik yang secara jelas memerinci datum
geodetik.

Wilayah laut Indonesia dibagi menjadi 3 bagian yakni laut teritorial sejauh 12 mil, Zona
Tambahan sejauh 24 mil dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sejauh 200 mil, untuk
melindungi hak berdaulat atas kekayaan dan yuridiksi yang dimiliki oleh Indonesia terhadap
wilayah perairannya maka dibutuhkan suatu peraturan, dalam hal ini peraturan yang
mengatur tentang Zona Tambahan, yang mana Indonesia mempunyai Yuridiksi pengawasan
di Zona Tambahan untuk mencegah dan menindak pelanggaran Bea Cukai, Imigrasi, Fiskal
dan saniter. Zona Tambahan Indonesia adalah perairan yang berdampingan dengan Laut
Teritorial Indonesia yang dapat diukur selebar 24 mil laut dari Garis Pangkal Lurus
Kepulauan.

Pendapat pakar hukum laut, Hasyim Djalal, mengenai Zona Tambahan (contiguous
zone) adalah sepanjang yang berkaitan dengan batas contiguous zone, belum ada satupun
batas yang ditetapkan dengan Negara-negara tetangga. Malah Indonesia sampai sekarang
belum lagi mengundangkan ketentuannya mengenai zona ini. Walaupun seluruh Negara
tetangga Indonesia telah mengundangkannya. Disinilah kelalaian Indonesia yang sangat
menonjol. Karena itu sangat penting bagi Indonesia untuk menetapkan ketentuan perundang-
undangan mengenai ketentuan contiguous zone ini dan kemudian merundingkan batas-
batasnya dengan Negara-negara terkait, khususnya dengan Thailand, Malaysia, Philipina, dan
Australia.

Beberapa alternatif penyusunan pengaturan hukum di Zona Tambahan, yakni alternatif


pertama dibuatkan undang-undang tersendiri mengenai Zona Tambahan Indonesia, alternatif
kedua menyempurnakan RUU tentang Kelautan dengan menambahkan pengaturan-
pengaturan hukum tentang Zona Tambahan Indonesia, alternatif ketiga menyempurnakan
Undang-undang Nomor 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dengan
menambahkan pengaturan hukum tentang Zona Tambahan Indonesia, alternatif keempat
menyempurnakan Undang-undang di bidang-bidang Kepabeanan (Bea Cukai), Imigrasi,
Perpajakan (fiskal), saniter (kesehatan/karantina) dan cagar budaya, dengan menambahkan
pengaturan hukum tentang Zona Tambahan Indonesia, dan alternatif yang kelima
menyempurnakan Undang-undang nomor 6 tahun 1996 tentang perairan Indonesia dengan
menambahkan pengaturan hukum tentang Zona Tambahan Indonesia.
Alternatif yang paling tepat adalah alternatif kelima yakni menyempurnakan Undang-undang
nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia dengan menambahkan pengaturan hukum
tentang Zona Tambahan Indonesia, dengan alasan judul pengaturan dalam UNCLOS 1982
adalah: “TERRITORIAL SEA AND CONTIGUOUS ZONE” maka lebih praktis
menyempurnakan Undang-undang nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia dengan
menambahkan pengaturan hukum tentang Zona Tambahan Indonesia. Konsep pengaturan
hukum di Zona Tambahan Indonesia, yang dibagi kedalam 4 pasal, yaitu:

- Pasal 1 ayat (1) di zona yang berbatasan denga Laut Teritorial Indonesia, selanjutnya
disebut Zona Tambahan Indonesia, Aparat Penegak Hukum yang berwenang, dapat
melakukan pengawasan yang perlu untuk :
a. Mencegah pelanggaran atas peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan,
ke fiskalan, keimigrasian, dan kekarantinaan dalam wilayah darat atau wilayah
perairan Indonesia
b. Menindak pelanggaran atas peraturan perundang-undangan tersebut dalam huruf a
yang dilakukan di dalam wilayah atau laut teritorial Indonesia.
Ayat (2) zona tambahan tidak dapat melebihi 24 mil laut diukur dari garis pangkal
untuk mengatur lebar Laut Teritorial.
- Pasal 2 pengangkatan benda purbakala atau benda sejarah dari zona tambahan
Indonesia hanya dapat dilakukan dengan ijin pemerintah.
- Pasal 3 ayat (1) dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 2, pengangkatan dan
pemanfaatan kerangka kapal, benda berharga atau muatan kapal yang tenggelam
(BMKT) dari zona tambahan, hanya dapat dilakukan dengan ijin pemerintah. Ayat (2)
kerangka kapal atau barang berharga asal muatan kapal yang tenggelam sebagaimana
yang dimaksud pada ayat (1), yang dalam waktu 30 (tiga puluh) tahun setelah
tenggelam tidak diangkat dari dasar laut, dianggap telah ditinggalkan oleh pemiliknya,
dan oleh karena itu menjadi milik Negara.
- Pasal 4 berisi sanksi atas pelanggaran hukum yang berlaku di wilayah Negara
Republik Indonesia berlaku terhadap pelanggaran hukum atas ketentuan-ketentuan di
zona tambahan Indonesia.

Ada 2 hal yang belum diatur dan membutuhkan peraturan perundang-undangan yakni Zona
Tambahan dan Landas Kontinen. Sebaiknya pengaturan hukum zona tambahan dimasukkan
kedalam RUU Kelautan yang sedang berjalan di DPR, hal ini dimaksudkan agar pengaturan
hukum zona tambahan dapat berjalan dengan menghemat waktu dan biaya, dibandingkan
dengan harus membuat UU sendiri. Banyak pendapat lebih condong untuk memasukan
pengaturan hukum zona tambahan kedalam UU ZEE atau RUU kelautan.

Sebagai kesimpulan, mengerucut kepada dua alternatif yakni menyempurnakan RUU


Kelautan atau merevisi UU nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.

Agar kesepakatan penentuan penambahan pengaturan hukum tentang Zona Tambahan


Indonesia dari 2 alternatif terpilih (RUU Kelautan atau UU No.6 th. 1996 tentang Perairan
Indonesia), perlu dicermati berdasarkan azas efektif dan efisien serta target yang harus
dicapai pada akhir 2010, mengingat masih terjadinya perdebatan cukup “alot” dari
kementerian dan Institusi terkait mengenai tindak lanjut RUU Kelautan. Selanjutnya, perlu
juga di perhatikan peraturan2 yang sudah ada di seluruh kementerian atau lembaga serta
institusi terkait agar tidak terjadi tumpang tindih, tidak bertentangan namun menambah
kewenangan

KASUS- KASUS

Kapal Cina Terus Berlayar Dekat Pulau Sengketa

Penjaga Pantai mengatakan kapal-kapal Cina itu berlayar di zona tambahan pada pukul 10
pagi hari ini.

Penjaga Pantai Jepang menyatakan tengah mengawasi tiga kapal pengawas maritim Cina
yang berlayar tepat di luar perairan Jepang di lepas pantai Kepulauan Senkaku.

Jepang menguasai Kepulauan Senkaku yang terletak di Laut Cina Timur, yang juga diklaim
oleh Cina dan Taiwan.

Penjaga Pantai mengatakan kapal-kapal Cina itu berlayar di zona tambahan pada pukul 10
pagi hari ini. Kapal-kapal itu berada sekitar 40 kilometer di lepas pantai Pulau Kubashima,
salah satu pulau di kepulauan itu.

Kemarin, tiga kapal pengawas maritim Cina juga sempat dipergoki di dalam perairan Jepang.
Mereka terus berlayar di zona tambahan setelah meninggalkan perairan Jepang.

Sejak Jepang menasionalisasi Kepulauan Senkaku di bulan September, kapal-kapal Cina


dikerahkan ke perairan teritorial Jepang. Menurut Penjaga Pantai Jepang, ketiga kapal Cina
tersebut telah keluar dari zona tambahan sekitar pukul 1:30 siang waktu Jepang.(nug)

Meninjau Ulang Posisi Indonesia di Laut China Selatan

Laut China Selatan mungkin termasuk kawasan sengketa kedaulatan dan hak berdaulat yang
paling rumit dalam sejarah modern. Karena kerumitannya, untuk pertama kalinya ASEAN
gagal mencapai satu konsensus dalam salah satu pertemuannya tahun ini. Asalan utamanya
adalah ketidakberhasilan anggota ASEAN mencapai kata sepakat dalam menyikapi isu Laut
China Selatan. Selain itu, Amerika Serikat, dengan terang-terangan menunjukkan
kepeduliannya dengan kedatangan Hilary Clinton ke Asia beberapa kali untuk menyampaikan
sikap dan pandangan Amerika Serikat.

Indonesia adalah salah satu negara yang secara geografis berada di dekat Laut China Selatan.
Banyak pihak berspekulasi atau menganalisis posisi dan peran Indonesia terkait sengketa di
Laut China Selatan. Ada yang berpendapat bahwa Indonesia tidak ada kaitannya dengan Laut
China Selatan ada juga yang melihat Indonesia tidak bisa melepaskan diri dari kerumitan di
kawasan tersebut. Tulisan ini membahas posisi Indonesia dalam gonjang-ganjing Laut China
Selatan serta peran yang mungkin dilakukan untuk mengatasi sengketa tersebut.
Laut China Selatan adalah kawasan laut semi tertutup atau semi-enclosed sea yang dikelilingi
oleh China, Vietnam, Malaysia, Singapura, Indonesia, Brunei Filipina dan Taiwan (lihat
Gambar 1). Karena dilingkupi atau hampir ditutup oleh daratan berbagai negara, kewenangan
atas Laut China Selatan menjadi rumit dengan adanya kompetisi. Permasalahan utama adalah
kedaulatan atas pulau-pulau kecil di Laut China Selatan yang masih disengketakan. Negara-
negara di sekitar Laut China Selatan mengklaim kepemilikan atas berbagai pulau kecil yang
ada di sana dan sampai kini tidak berhasil mencapai kesepakatan. Selain itu, karena menurut
hukum laut internasional pulau bisa menguasai laut maka sengketa tidak berhenti pada
wilayah daratan tetapi merambah kawasan laut. Potensi sumberdaya hayati dan non hayati di
kawasan tersebut tentu saja menjadi alasan sengketa kian pelik. Singkatnya, situasi di Laut
China Selatan menjadi semakin rumit.

Gambar 1 Kawasan laut setengah tertutup – Laut China Selatan

Klaim atas wilayah darat dan laut di Laut China Selatan disampaikan secara eksplisit
misalnya oleh China yang mengeluarkan peta pada tahun 1947. Peta tersebut memuat garis
putus-putus yang melingkupi hampir seluruh kawasan Laut China Selatan. Dalam
perkembangannya garis klaim itu dikenal dengan nine-dashed line karena merupakan
sembilan segmen garis putus-putus. China mengajukan klaim ini berdasarkan pada prinsip
“historic waters” atau perairan yang konon menurut sejarah China merupakan bagian dari
wilayah atau yurisdiksi China. Klaim ini tidak diakui oleh negara-negara di kawasan,
termasuk Indonesia.

Sementara itu, negara lain juga mengklaim pulau-pulau kecil di Laut China Selatan. Vietnam,
misalnya, mengklaim dan menduduki Spratly Island dengan mendirikan tempat tinggal,
lapangan udara dan tugu. Filipina juga mengklaim sekelompok pulau yang disebutnya
Kalayaan Island Group (KIG) dan telah beraktivitas di sana. Malaysia dan Brunei, misalnya,
mengklaim sebuah terumbu bernama Louisa Reef di sebelah utara Brunei. Kelompok pulau
lain yang menjadi sengketa misalnya Spratly, Paracel dan Pratas. Indonesia di satu sisi tidak
mengklaim satupun pulau yang disengketakan di Laut China Selatan. Meski demikian,
Indonesia memiliki kedaulatan yang sudah diakui dunia internasional atas kelompok
Kepulauan Natuna yang memang berada di bagian baratdaya Laut China Selatan. Karena
kedaulatannya atas Kepulauan Natuna, Indonesia juga berhak atas kawasan laut yang
lebarnya diukur dari garis pangkal di Natuna sesuai dengan ketentuan hukum internasional.
Akibatnya, Indonesia juga berhak atas kawasan maritim (laut teritorial, zona tambahan, zone
ekonomi eksklusif (ZEE), dan landas kontinen) di Laut China Selatan.

Hak Indonesia atas kawasan laut ini membuat Indonesia perlu berbagi laut dengan
tetangganya di Laut China Selatan karena tetangga lain juga memiliki hak yang sama. Batas
dasar laut (landas kontinen) sudah ditetapkan (didelimitasi) dengan Malaysia (1969) dan
Vietnam (2003) seperti terlihat pada Gambar 2. Memang Indonesia hanya menganggap dua
negara tersebut sebagai tetangga yang memerlukan delimitasi maritim di Laut China Selatan.
Meski batas dasar laut sudah ditetapkan, batas perairan (ZEE) belum disepakati oleh
Indonesia, Malaysia dan Vietnam di Laut China Selatan. Sementara itu, Indonesia sendiri
sudah mengusulkan batas ZEE secara sepihak dan memerlukan perundingan dengan Malaysia
dan Vietnam. Mungkin ada yang bertanya, mengapa batas dasar laut berbeda dengan batas
perairan? Mengapa tidak dibuat sama? Memang demikianlah hukum laut internasional
mengaturnya. Dalam bahasa hukum, rejim yang mengatur keduanya berbeda. Lihat Gambar

Dalam bahasa sederhana, dasar laut antara Indonesia, Malaysia dan Vietnam sudah dibagi
tetapi kewenangan akan air di atasnya belum disepakati. Jikapun ada pembagian perairan, itu
merupakan usulan sepihak, bukan kesepakatan. Menilik fakta ini, jelas Indonesia memiliki
urusan di Laut China Selatan yaitu menetapkan batas maritim dengan Malaysia dan Vietnam.
Selain itu, jika mengacu pada klaim nine-dashed line China tahun 1947, ada kemungkinan
adanya tumpang tindih klaim maritim antara Indonesia dengan China di Laut China Selatan.
Analisis geospasial teknis yang penulis lakukan menunjukkan adanya kemungkinan kawasan
tumpang tindih ini. Meski demikian, ketelitian analisis ini bisa dipertanyakan karena
kenyataannya China memang tidak pernah menyampaikan koordinat klaimnya di Laut China
Selatan. Selain itu, klaim China in berupa garis putus-putus sehingga kawasan yang
dilingkupi oleh klaim tersebut tidak bisa ditentukan secara akurat. Analisis tersebut
menggunakan asumsi bahwa klaim China berupa garis utuh hasil penyambungan (interpolasi)
garis putus-putus nine-dashed line (lihat Gambar 2).

Untuk menentukan ada tidaknya tumpang tindih klaim antara Indonesia dan China di Laut
China Selatan diperlukan adanya klarifikasi klaim oleh China. Perlu diingat juga bahwa
Indonesia tidak mengakui klaim China yang ditampilkan dalam nine-dashed line. Dalam
salah satu pernyataannya tahun 2009 kepada PBB, Indonesia menegaskan bahwa klaim China
itu tidak memiliki dasar internasional dan merupakan pelanggaran terhadap konvensi PBB
tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS).

Kesimpulannya, Indonesia memang tidak terlibat dalam sengketa kedaulatan atas wilayah
daratan (pulau/karang) di Laut China Selatan. Sebagai pihak netral, Indonesia bisa tetap
menjalankan perannya untuk memediasi pihak-pihak bersengketa, jika memang diharapkan.
Tentu saja Indonesia tidak bisa melakukan intervensi aktif karena kedaulatan adalah
persoalan sensitif dan menjadi urusan internal pihak-pihak yang bersengketa. Sebagai salah
satu kekuatan utama di kawasan, Indonesia bisa menunjukkan niat baik dengan membuka diri
sebagai bagian dari solusi, bukan bagian dari masalah.

Meski tidak terlibat dalam sengketa wilayah daratan, bukan berarti Indonesia tidak terlibat
sama sekali dalam kerumitan isu Laut China Selatan. Yang pasti, Indonesia memiliki
pekerjaan rumah untuk berbagi laut (ZEE) dengan Malaysia dan Vietnam di kawasan
baratdaya Laut China Selatan. Selain itu, perilaku China yang semakin agresif akan klaimnya
di Laut China Selatan mungkin mengharuskan Indonesia meninjau kembali posisinya terkait
interaksi maritim dengan China. Apakah China adalah tetangga Indonesia yang memerlukan
batas maritim? Itu adalah pertanyaan yang wajib dicari jawabannya.
KESIMPULAN

Konvensi Jenewa 1958 yang membahas tentang Laut Territorial dan Jalur Tambahan
meneguhkan beberapa azas tentang laut territorial yang telah berkembang sejak lahirnya
hukum laut internasional dan memperoleh perumusannya yang jelas dalam konferensi
kodifikasi Den Haag tahun 1930.

Dalam beberapa hal, Konvensi ini memuat ketentuan-ketentuan yang merupakan


perkembangan baru dalam hukum laut internasional publik. Yang terpenting diantaranya
adalah ketentuan-ketentuan dalam pasal 3, 4, dan 5 mengenai penarikan garis pangkal.

Pasal 1: menyatakan bahwa laut teritorial yang merupakan suatu jalur yang terletak
disepanjang pantai suatu negara berada dibawah kedaulatan negara.

Pasal 2: menyatakan bahwa kedaulatan negara atas laut teritorial hanya meliputi juga ruang
udara diatasnya dan dasar laut serta tanah dibawah dasar laut.

Pasal 3: memuat ketentuan mengenai garis pasang surut (low water mark) sebagai garis
pangkal biasa (“normal” base-line)

Pasal 4: mengatur garis pangkal lurus dari ujung ke ujung (straight base-lines) sebagai cara
penarikan garis pangkal yang dapat dilakukan dalam keadaan-keadaan tertentu.. Dalam
penjabarannya, ayat (1) menetapkan dalam hal-hal mana dapat dipergunakan sistem
penarikan garis pangkal lurus, yakni:

1. Ditempat-tempat dimana pantai banyak liku-liku tajam atau laut masuk jauh kedalam.

2. Apabila terdapat deretan pulau yang letaknya tak jauh dari pantai.

Ayat selanjutnya (2, 3, dan 5) memuat syarat-syarat yang harus diperhatikan di dalam
menggunakan penarikan garis pangkal menurut sistem garis pangkal lurus dari ujung ke
ujung.

Syarat pertama adalah bahwa garis-garis lurus tidak boleh menyimpang terlalu banyak
dari arah umum daripada pantai dan bahwa bagian laut yang terletak pada sisi dalam (sisi
darat) garis-garis demikian harus cukup dekat pada wilayah daratan untuk dapat diatur oleh
rezim perairan pedalaman, (ayat 2).

Syarat kedua adalah bahwa garis-garis lurus tidak boleh diantara dua pulau atau
bagian daratan yang hanya timbul diatas permukaan air diwaktu pasang surut (low-tide
elevations) kecuali apabila diatasnya telah didirikan mercusuar-mercusuar atau instalasi-
instalasi serupayang setiap waktu ada diatas permukaan air (ayat 3).

Syarat ketiga adalah bahwa penarikan garis pangkal tidak boleh dilakukan sedemikian
rupa hingga memutuskan hubungan laut wilayah negara lain dengan laut lepas. (ayat 5).

Ayat 4 dapat dianggap sebagai tambahan pada ketentuan ayat 1 mengenai penetapan
garis lurus sebagai garis pangkal. Ayat ini menetapkan bahwa dalam menetapkan garis
pangkal lurus demikian dapat diperhatikan kebutuhan-kebutuhan istimewa yang bersifat
ekonomis daripada suatu daerah yang dapat dibuktikan dengan kebiasaan-kebiasaan dan
kebutuhan yang telah berlangsung lama.

Ketentuan dalam ayat 1 yang menyatakan”……., ditempat-tempat dimana, dan


seterusnya….,” menunjukan bahwa sistem garis pangkal lurus adalah cara penarikan garis
pangkal istimewa yang dapat dipergunakan oleh suatu negara. Sifat istimewa daripada garis
pangkal lurus tampak dengan lebih jelas apabila kita hubungkan ayat (1) ini dengan pasal 3
yang menyatakan garis pasang surut sebagai garis pangkal biasa (normal base-line).
Ketentuan ini berarti suatu negara dapat emnggunakannya disebagian pantainya yang
memenuhi syarat-syarat ayat (1).

Sebagaimana diketahui keputusan-keputusan Konvensi I mengenai garis pangkal


lurus ini didasarkan atas keputusan Mahkamah Internasional tanggal 28 Desember 1951
dalam perkara Sengketa Perikanan antara Inggris dan Norwegia (Anglo-Norwegian Fisheries
Case).

Dengan dimuatnya ketentuan mengenai penarikan garis pangkal lurus ini dalam
konvensi mengenai “Laut Territorial dan Zona Tambahan”, maka isi keputusan Mahkamah
Internasional tersebut yang berdasarkan pada pasal 59”…………, tidak mengikat kecuali
terhadap pihak-pihak yang bersengketa dan berkenaan dengan perkara yang bersangkutan”,
kini telah diakui menjadi suatu cara penarikan garis pangkal yang – dengan syarat-syarat
tertentu – berlaku umum.

Mengenai zona tambahan, menentukan bahwa negara pantai dalam zona tersebut bisa
melaksanakan pengawasan yang diperlukan guna mencegah pelanggaran undang-undang
menyangkut bea cukai, fiskal, imigrasi, dan saniter dalam wilayahnya, namun tidak boleh
lebih dari 24 mil laut. Artinya, untuk zona tambahan, jaraknya diperluas selebar 12 mil laut
diukur dari batas laut teritorial.

Sebagaimana pernah disebutkan diatas, suatu negara mempunyai kedaulatan yang


penuh dalam perairan teritorialnya dan dapat menyelenggarakan serta menjalankan tindakan-
tindakan seperlunya untuk menjamin antara lain:

a. Pertahanan keselamatan negara terhadap gangguan/ serangan dari luar;

b. Pengawasan atas keluar masuknya orang asing (imigrasi);

c. Penyelenggaraan peraturan fiskal (bea dan cukai);

d. Pekerjaan dilapangan kesehatan (karantina);

e. Kepentingan perikanan

f. Pertambangan dan hasil-hasil alam lainnya.

Oleh karena itu, penentuan lebar laut 3 mil yang tercantum dalam “Territoriale Zee en
Maritieme Kringen Ordonantie tahun 1939” yang dalam pasal 1 ayat 1 a.l. menyatakan
bahwa “laut territorial Indonesia itu lebarnya 3 mil diukur dari garis air rendah
(laagwaterlijn) daripada pulau-pulau dan bagian pulau yang merupakan bagian dari wilayah
daratan (grondgebied) dari Indonesia………..” dirasakan tidak sesuai lagi dengan keadaan
sekarang dan dirasakan sudah tidak cukup lagi untuk menjamin dengan sebaik-baiknya
kepentingan rakyat dan negara Indonesia yang biasanya diselenggarakan dalam batas lautan
territorial suatu negara. Oleh karena itu, pada tahun 1996 pemerintah RI mengeluarkan UU
No 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia sebagai tindak lanjut dari kesepakatan
UNCLOS III/1982 yang menetapkan batas laut teritorial seluas 12 mil laut.

Bila yang dimaksud dengan ”Jalur Tambahan” adalah suatu daerah laut yang
berdekatan dengan laut wilayah, yang lebarnya tidak lebih dari 24 mil laut dihitung dari garis
dasar, dari mana lebar laut wilayah diukur. Dengan adanya lebar perairan yang kurang dari 24
mil laut yang membatasi wilayah RI dengan Malaysia, dengan Singapura serta dengan
Philipina, maka dengan perairan-perairan tertentu negara kita tidak memiliki ”Jalur
Tambahan”.

Pada jalur tambahan tersebut, NKRI mempunyai kewenangan-kewenangan tertentu


untuk :

1. Mencegah pelanggaran atas peraturan-peraturan hukum tentang ke-Bea-an,


perpajakan (fiskal), imirasi, maupun ”sanitary”, yang berlaku di wilayah atau laut
wilayah RI.

2. Menindak pelanggaran atas peraturan-peraturan hukum tersebut diatas yang


dilakukan di wilayah atau laut wilayah RI.
DAFTAR PUSTAKA

Kusumaatmadja, Mochtar. 1978. Hukum Laut Internasional. Bandung : Binacipta.

Mauna, Boer. 2005. Hukum Internasional. Bandung : PT Alumni.

Sodik, M. Dikdik. 2011. Hukum Laut Internasional & Pengaturannya di


Indonesia. Bandung : PT.REfika Aditama.

Internet :

http://wikipedia/Konvensi_Perserikatan_Bangsa_Bangsa_tentang_Hukum_Laut.com

http://SHNEWS.CO/mare_clausum_mare_liberum.com

http://www.vadoc.wordpress.com

http://www.ristek.go.id

http://www.sklanews.com

Anda mungkin juga menyukai