Anda di halaman 1dari 3

Nama : Claudia V.

G Arifin
Nim : 21602098
MK : Hukum Kesehatan

STUDI KASUS DOKTER SETYANINGRUM

1. Pengadilan Negeri Pati di dalam Keputusan P.N. Pati No.8/1980/Pid.B./Pn.Pt tanggal 2


September 1981 memutuskan bahwa dokter Setyaningrum bersalah melakukan
kejahatan tersebut pada pasal 359 KUHP yakni karena kealpaannya menyebabkan orang
lain meninggal dunia dan menghukum terdakwa dengan hukuman penjara 3 bulan
dengan masa percobaan 10 bulan.

2. a. Menimbulkan pro dan kontra atas masuknya hukum dalam dunia kedokteran. Pada
saat itu banyak dokter yang “takut” untuk melakukan tindakan medis. Dokter lebih
banyak berhati-hati dengan apa yang diperbuat terhadap pasiennya. Bagi golongan yang
pro, hukum itu perlu untuk membatasi sejauh mana kewenangan dokter. Fungsi hukum
kesehatan bagi dunia kedokteran yaitu untuk memberikan kepastian dan perlindungan
hukum bagi pemberi maupun penerima pelayanan kesehatan. Bagi golongan yang
kontra, hukum kesehatan/kedokteran tidak perlu mengatur bagaimana dokter harus
berbuat, cukup ada peraturan internal di dalam kedokteran sendiri. Para dokter juga
mengerti kewenangan yang harus dia perbuat.
b. Perubahan pola hubungan pasien dan tenaga kesehatan dari
paternalistik menjadi partnership. Paternalistik adalah pola hubungan yang bersifat
vertikal seperti hubungan orang tua dengan anak. Analogi yang dapat dikatakan bahwa
tidak mungkin orang tua mencelakakan anaknya, pasti orang tua memberikan yang
terbaik untuk anaknya. Hubungan ini terjadi sebelum tahun 1980-an. Karakteristik dari
pola hubungan pasien dan tenaga kesehatan yang bersifat paternalistik antara lain:
c. Menimbulkan sifat pasrah dari pasien. Dokter sangat dominan (superioristik). Apa
yang dikatakan dokter adalah sebuah “undang- undang”. Pasien sangat percaya dengan
apa yang dikatakan oleh dokter, tidak ada bantahan sedikitpun.Tingkat kepercayaan
pasien terhadap dokter sangat tinggi.
d. Komunikasi verbal sangat intens menimbulkan ikatan batin yang kuat antara
dokter/tenaga kesehatan dengan pasien. Dokter sangat mengenal pasien baik riwayat
penyakit, maupun dapat dikatan mengenai hal-hal “pribadi”.
e. Pasien tidak sadar akan hak-haknya terutama hak untuk mendapatkan informasi dan
hak untuk mendapatkan second opinion. Pasien merasa segan untuk menanyakan
informasi yang diperlukan kepada dokter.
f. Teknologi kedokteran belum berkembang
g. Pasien tidak pernah meminta haknya, yang muncul hanya kewajiban, misalnya pasien
mematuhi apa yang dikatak oleh dokter dan membayar biaya kesehatan.
h. Tenaga kesehatan/dokter tidak pernah dianggap bersalah. Tidak ada gugat
menggugat. Hal ini disebabkan karena faktor pendidikan pada saat itu. Rata-rata
pendidikan masyarakat masih rendah.
i. Partnership adalah pola hubungan yang bersifat horizontal. Pasien dianggap sebagai
rekan kerja dokter. Hubungan ini terjadi tahun 1979- sekarang. Karakteristik dari pola
hubungan pasien dan tenaga kesehatan yang bersifat partnership antara lain: Dokter
tidak lagi dominan. Kedudukan dokter dan pasien sejajar. Pasien dianggap sebagai
rekan kerja dokter. Pasien menjadi sangat kritis terhadap tindakan medis yang dilakukan
dokter. Bantahan sering terjadi jika dirasa ada kekeliruan yang dibuat oleh tenaga
kesehatan/dokter.
j. Komunikasi verbal tidak intens antara dokter dan pasien. Dokter merasa tidak punya
waktu yang cukup untuk berbincang-bincang dengan pasiennya, sehingga pasien hanya
bertanya seperlunya.
k. Pasien dan Tenaga kesehatam/dokter mengenal dan menghormati hak dan kewajiban
para pihak.
l. Teknologi kedokteran berkembang dengan pesat
m. Tenaga kesehatan/dokter merupakan seorang profesional yang dapat diminta
bertanggung jawab jika melakukan kesalahan terutama pada kasus malapraktik. Ada
gugat menggugat antara pasien dengan dokter.
3. Rumah sakit dilarang menolak memberikan Tindakan medis terhadap pasien dalam
keadaan darurat, hal tersebut diatur pada Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang berbunyi:
“Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun
swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka.”

4. Berdasarkan Pasal 46 UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, yang menentukan
bahwa rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang
ditimbulkan atas kelalaian tenaga kesehatan di rumah sakit.

Anda mungkin juga menyukai