Anda di halaman 1dari 12

DIARE AKUT

Disusun Oleh:

Lavenia Wilar

711331121036

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN MANADO

JURUSAN SARJANA TERAPAN GIZI DAN DIETETIKA

2023
A. Definisi Penyakit
1. Diare atau penyakit diare (Diarrheal disease) berasal dari bahasa Yunani
yaitu “diarroi” yang berarti mengalir terus, merupakan keadaan abnormal dari
pengeluaran tinja yang terlalu frekuen (Yatsuyanagi, 2002).
2. Diare adalah peningkatan pengeluaran tinja dengan konsistensi lebih lunak
atau lebih cair dari biasanya, dan terjadi paling sedikit 3 kali dalam 24 jam.
Sementara untuk bayi dan anak-anak, diare didefinisikan sebagai pengeluaran
tinja >10 g/kg/24 jam, sedangkan rata-rata pengeluaran tinja normal bayi
sebesar 5-10 g/kg/ 24 jam (Juffrie, 2010).
3. Menurut Simadibrata (2006) diare adalah buang air besar (defekasi) dengan
tinja berbentuk cair atau setengah cair (setengah padat), kandungan air tinja
lebih banyak dari biasanya lebih dari 200 gram atau 200 ml/24 jam.
4. Menurut World Health Organization (WHO), penyakit diare adalah suatu
penyakit yang ditandai dengan perubahan bentuk dan konsistensi tinja yang
lembek sampai mencair dan bertambahnya frekuensi buang air besar yang
lebih dari biasa, yaitu 3 kali atau lebih dalam sehari yang mungkin dapat
disertai dengan muntah atau tinja yang berdarah. Penyakit ini paling sering
dijumpai pada anak balita, terutama pada 3 tahun pertama kehidupan, dimana
seorang anak bisa mengalami 1-3 episode diare berat (Simatupang, 2004).
5. Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, diare diartikan sebagai buang air
besar yang tidak normal atau bentuk tinja yang encer dengan frekuensi lebih
banyak dari biasanya. Neonatus dinyatakan diare bila frekuensi buang air
besar sudah lebih dari 4 kali, sedangkan untuk bayi berumur lebih dari 1 bulan
dan anak, frekuensinya lebih dari 3 kali (Simatupang, 2004)
6. Diare akut ialah diare yang terjadi secara mendadak pada bayi dan anak yang
sebelumnya sehat. Ditinjau dari segi patofisiologis, penyebab diare akut dapat
dibagi menjadi dua golongan, yaitu diare sekresi dan diare osmotik. Diare
sekresi disebabkan oleh virus/kuman, hiperistaltik usus halus dan defisiensi
imun. Diare osmotik disebabkan oleh malabsorpsi makanan, kurang energi
protein, dan bayi berat badan lahir rendah (Suandi, 2012).
B. Diagnosa (Medis)

Pemeriksaan Laboratorium yang dapat dilakukan pada diare adalah sebagai


berikut :
a. Volume Feses
Jika cairan diare tidak terdapat lekosit atau eritrosit, infeksi enteric atau
imfalasi sedikit kemungkinannya sebagai penyebab diare. Feses 24 jam harus
dikumpulkan untuk mengukur output harian. Sekali diare harus dicatat (>250
ml/day), kemudian perlu juga ditentukan apakah terjadi steatore atau diare
tanpa malabsorbsi lemak.
b. Mengukur Berat dan Kuantitatif fecal fat pada feses 24 jam
Jika berat feses >300/g24jam mengkonfirmasikan adanya diare. Berat lebih
dari 1000-1500 gr mengesankan proses sektori. Jika fecal fat lebih dari
10g/24h menunjukkan proses malabsorbstif.
c. Lemak Feses
Sekresi lemak feses harian < 6g/hari. Untuk menetapkan suatu steatore,
lemak feses kualitatif dapat menolong yaitu >100 bercak merak orange per ½
lapang pandang dari sample noda sudan adalah positif. False negatif dapat
terjadi jika pasien diet rendah lemak. Test standard untuk mengumpulkan
feses selama 72 jam biasanya dilakukan pada tahap akhir. Eksresi yang
banyak dari lemak dapat disebabkan malabsorbsi mukosa intestinal sekunder
atau insufisiensi pancreas.
d. Osmolalitas Feses
Diperlukan dalam evaluasi untuk menentukan diare osmotic atau diare
sekretori. Elekrolit feses Na,K dan Osmolalitas harus diperiksa. Osmolalitas
feses normal adalah –290 mosm. Osmotic gap feses adalah 290 mosm
dikurangi 2 kali konsentrasi elektrolit faeces (Na&K) dimana nilai normalnya
<50 mosm. Anion organic yang tidak dapat diukur, metabolit karbohidrat
primer (asetat,propionat dan butirat) yang bernilai untuk anion gap, terjadi
dari degradasi bakteri terhadap karbohidrat di kolon kedalam asam lemak
rantai pendek. Selanjutnya bakteri fecal mendegradasi yang terkumpul dalam
suatu tempat. Jika feses bertahan beberapa jam sebelum osmolalitas
diperiksa, osmotic gap seperti tinggi. Diare dengan normal atau osmotic gap
yang rendah biasanya menunjukkan diare sekretori. Sebalinya osmotic gap
tinggi menunjukkan suatu diare osmotic.
e. Pemeriksaan parasit atau telur pada feses
Untuk menunjukkan adanya Giardia E Histolitika pada pemeriksaan rutin.
Cristosporidium dan cyclospora yang dideteksi dengan modifikasi noda
asam.
f. Pemeriksaan darah
Pada diare inflamasi ditemukan lekositosis, LED yang meningkat dan
hipoproteinemia. Albumin dan globulin rendah akan mengesankansuatu
protein losing enteropathy akibat inflamasi intestinal. Skrining awal
CBC,protrombin time, kalsium dan karotin akan menunjukkan abnormalitas
absorbsi. Fe,VitB12, asam folat dan vitamin yang larut dalam lemak (ADK).
Pemeriksaan darah tepi menjadi penunjuk defak absorbsi lemak pada stadium
luminal, apakah pada mukosa, atau hasil dari obstruksi limfatik postmukosa.
Protombin time,karotin dan kolesterol mungkin turun tetapi Fe,folat dan
albumin mengkin sekali rendaah jika penyakit adalah mukosa primer dan
normal jika malabsorbsi akibat penyakit mukosa atau obstruksi limfatik.
g. Tes Laboratorium lainnya
Pada pasien yang diduga sekretori maka dapat diperiksa seperti serum VIP
(VIPoma), gastrin (Zollinger-Ellison Syndrome), calcitonin (medullary
thyroid carcinoma), cortisol (Addison’s disease), anda urinary 5-HIAA
(carcinoid syndrome).
h. Diare Factitia
Phenolptalein laxatives dapat dideteksi dengan alkalinisasi feses dengan
NaOH yang kan berubah warna menjadi merah. Skrining laksatif feses
terhadap penyebab lain dapat dilakukan pemeriksaan analisa feses lainnya.
Diantaranya Mg,SO4 dan PO4 dapat mendeteksi katartik osmotic seperti
MgSO4,mgcitrat Na2 SO4 dan Na2 PO4.
C. Manifestasi Klinis

Menurut Suriadi (2001), manifestasi klinis diare yaitu :


1. Sering buang air besar dengan konsistensi tinja cair atau encer
2. Kram perut
3. Demam
4. Mual
5. Muntah
6. Kembung
7. Anoreksia
8. Lemah
9. Pucat
10. Urin output menurun (oliguria, anuria)
11. Turgor kulit menurun sampai jelek
12. Ubun-ubun / fontanela cekung
13. Kelopak mata cekung
14. Membran mukosa kering
D. Patofisiologi Klinis

Fungsi utama dari saluran cerna adalah menyiapkan makanan untuk keperluan
hidup sel, pembatasan sekresi empedu dari hepar dan pengeluaran sisa-sisa makanan
yang tidak dicerna. Fungsi tadi memerlukan berbagai proses fisiologi pencernaan
yang majemuk, aktivitas pencernaan itu dapat berupa : (Sommers,1994; Noerasid,
1999 cit Sinthamurniwaty 2006)
1. Proses masuknya makanan dari mulut kedalam usus.
2. Proses pengunyahan (mastication) : menghaluskan makanan secara
mengunyah dan mencampur.dengan enzim-enzim di rongga mulut
3. Proses penelanan makanan (diglution) : gerakan makanan dari mulut ke gaster
4. Pencernaan (digestion) : penghancuran makanan secara mekanik,
percampuran dan hidrolisa bahan makanan dengan enzim-enzim
5. Penyerapan makanan (absorption): perjalanan molekul makanan melalui
selaput lendir usus ke dalam. sirkulasi darah dan limfe.
6. Peristaltik: gerakan dinding usus secara ritmik berupa gelombang kontraksi
sehingga makanan bergerak dari lambung ke distal.
7. Berak (defecation) : pembuangan sisa makanan yang berupa tinja.
Dalam keadaan normal dimana saluran pencernaan berfungsi efektif akan
menghasilkan ampas tinja sebanyak 50-100 gr sehari dan mengandung air sebanyak
60-80%. Dalam saluran gastrointestinal cairan mengikuti secara pasif gerakan
bidireksional transmukosal atau longitudinal intraluminal bersama elektrolit dan zat
zat padat lainnya yang memiliki sifat aktif osmotik. Cairan yang berada dalam saluran
gastrointestinal terdiri dari cairan yang masuk secara per oral, saliva, sekresi
lambung, empedu, sekresi pankreas serta sekresi usus halus. Cairan tersebut diserap
usus halus, dan selanjutnya usus besar menyerap kembali cairan intestinal, sehingga
tersisa kurang lebih 50-100 gr sebagai tinja.
Motilitas usus halus mempunyai fungsi untuk :

● Menggerakan secara teratur bolus makanan dari lambung ke sekum

● Mencampur khim dengan enzim pankreas dan empedu

● Mencegah bakteri untuk berkembang biak.

Faktor-faktor fisiologi yang menyebabkan diare sangat erat hubungannya satu


dengan lainnya. Misalnya bertambahnya cairan pada intraluminal akan menyebabkan
terangsangnya usus secara mekanis, sehingga meningkatkan gerakan peristaltik usus
dan akan mempercepat waktu lintas khim dalam usus. Keadaan ini akan
memperpendek waktu sentuhan khim dengan selaput lendir usus, sehingga
penyerapan air, elektrolit dan zat lain akan mengalami gangguan.
Berdasarkan gangguan fungsi fisiologis saluran cerna dan macam penyebab
dari diare, maka patofisiologi diare dapat dibagi dalam 3 macam kelainan pokok yang
berupa :
a. Kelainan gerakan transmukosal air dan elektrolit (karena toksin)
Gangguan reabsorpsi pada sebagian kecil usus halus sudah dapat
menyebabkan diare, misalnya pada kejadian infeksi. Faktor lain yang juga
cukup penting dalam diare adalah empedu. Ada 4 macam garam empedu
yang terdapat di dalam cairan empedu yang keluar dari kandung empedu.
Dehidroksilasi asam dioksikholik akan menyebabkan sekresi cairan di
jejunum dan kolon, serta akan menghambat absorpsi cairan di dalam kolon.
Ini terjadi karena adanya sentuhan asam dioksikholik secara langsung pada
permukaan mukosa usus. Diduga bakteri mikroflora usus turut memegang
peranan dalam pembentukan asam dioksi kholik tersebut. Hormon-hormon
saluran cerna diduga juga dapat mempengaruhi absorpsi air pada mukosa.
usus manusia, antara lain adalah: gastrin, sekretin, kholesistokinin dan
glukogen. Suatu perubahan PH cairan usus juga. dapat menyebabkan
terjadinya diare, seperti terjadi pada Sindroma Zollinger Ellison atau pada
Jejunitis.
b. Kelainan cepat laju bolus makanan didalam lumen usus (invasive diarrhea)
Suatu proses absorpsi dapat berlangsung sempurna dan normal bila bolus
makanan tercampur baik dengan enzim-enzim saluran cerna dan. berada
dalam keadaan yang cukup tercerna. Juga waktu sentuhan yang adekuat
antara khim dan permukaan mukosa usus halus diperlukan untuk absorpsi
yang normal. Permukaan mukosa usus halus kemampuannya berfungsi
sangat kompensatif, ini terbukti pada penderita yang masih dapat hidup
setelah reseksi usus, walaupun waktu lintas menjadi sangat singkat.
Motilitas usus merupakan faktor yang berperanan penting dalam ketahanan
local mukosa usus. Hipomotilitas dan stasis dapat menyebabkan mikro
organisme berkembang biak secara berlebihan (tumbuh lampau atau
overgrowth) yang kemudian dapat merusak mukosa usus, menimbulkan
gangguan digesti dan absorpsi, yang kemudian menimbulkan diare.
Hipermotilitas dapat terjadi karena rangsangan hormon prostaglandin,
gastrin, pankreosimin; dalam hal ini dapat memberikan efek langsung
sebagai diare. Selain itu hipermotilitas juga dapat terjadi karena pengaruh
enterotoksin staphilococcus maupun kholera atau karena ulkus mikro yang
invasif o1eh Shigella atau Salmonella.Selain uraian di atas haruslah diingat
bahwa hubungan antara aktivitas otot polos usus,gerakan isi lumen usus dan
absorpsi mukosa usus merupakan suatu mekanisme yang sangat kompleks.
c. Kelainan tekanan osmotik dalam lumen usus (virus).
Dalam beberapa keadaan tertentu setiap pembebanan usus yang melebihi
kapasitas dari pencernaan dan absorpsinya akan menimbulkan diare.
Adanya malabsorpsi dari hidrat arang, lemak dan zat putih telur akan
menimbulkan kenaikan daya tekanan osmotik intra luminal, sehingga akan
dapat menimbulkan gangguan absorpsi air. Malabsorpsi hidrat arang pada
umumnya sebagai malabsorpsi laktosa yang terjadi karena defesiensi enzim
laktase. Dalam hal ini laktosa yang terdapat dalam susu tidak sempurna
mengalami hidrolisis dan kurang di absorpsi oleh usus halus. Kemudian
bakteri-bakteri dalam usus besar memecah laktosa menjadi monosakharida
dan fermentasi seterusnya menjadi gugusan asam organik dengan rantai
atom karbon yang lebih pendek yang terdiri atas 2-4 atom karbon. Molekul-
molekul inilah yang secara aktif dapat menahan air dalam lumen kolon
hingga terjadi diare. Defisiensi laktase sekunder atau dalam pengertian yang
lebih luas sebagai defisiensi disakharidase (meliputi sukrase, maltase,
isomaltase dan trehalase) dapat terjadi pada setiap kelainan pada mukosa
usus halus. Hal tersebut dapat terjadi karena enzim-enzim tadi terdapat pada
brush border epitel mukosa usus. Asam-asam lemak berantai panjang tidak
dapat menyebabkan tingginya tekanan osmotik dalam lumen usus karena
asam ini tidak larut dalam air.
E. Penatalaksanaan Nutrisi

a. Tujuan Tatalaksana diet pada anak dengan diare akut bertujuan memenuhi
kebutuhan zat gizi tanpa memperberat kerja saluran cerna dan mencegah serta
mengurangi resiko dehidrasi (Asosiasi Dietesien Indonesia, Ikatan Dokter Anak
Indonesaia dan Persatuan Ahli Gizi Indonesia, 2015).

b. Prinsip Prinsip diet yang diperlukan pada anak dengan diare akut : (Suandi, 2012)
1) Pasien segera diberikan makanan oral setelah rehidrasi atau keadaan telah
memungkinkan, sedapat mungkin dilakukan dalam 24 jam pertama. Pemberian
makanan secara dini penting 27 untuk mengurangi perubahan keseimbangan protein
kalori sekecil mungkin.

2) Makanan cukup energi dan protein. Bila terjadi gizi kurang dapat diberikan diet
energi tinggi 25% dari kebutuhan normalnya dan tinggi protein.

3) Pemberian ASI diutamakn pada bayi. Pada anak yang mendapat susu formula
dapat diberikan selang-seling dengan oralit sehingga terjadi ppengenceran laktosa
dalam perut. Biila diare bertambah parah, pikirkan kemungkinan terjadinya
intoleransi terhadap laktosa sehingga susu formula bebas laktosa dapat dianjurkan
selama kira-kira 2-3 minggu, selanjutnya dapat di coba ke susu formula yang biasa
dipakai sebelumnya. Susu formula diberikan sedikit demi sedikit dan sering, di antara
pemberian susu formula dapat diberikan makanan yang bermanfaat untuk
memfermentasi, pH susu menjadi rendah sehingga dapat menghambat pertumbuhan
bakteri dalam usus. Pemberian susu formula diencerkan dalam jangka waktu yang
lama hendaknya dicegah karena dapat meningkatkan air pada feses. Pada bayi yang
berusia kurang dari 6 bulan yang diberi susu formula hendaknya diberi susu formula
pada takaran penuh setelah rehidrasi oral tercapai dalam 24 jam.
4) Pemberian cairan dan elektronik sesuai dengan kebutuhan menurut berat badan dan
umur.

5) Pemberian vitamin dan mineral dalam jumlah yang cukup.

6) Maknan yang diberikan tidak merangsang (bumbu tajam, tidak menimbulkan gas
dan rendah serat).

7) Makanan diberikan bertahap mulai dengan yang mudah dicerna ke bentuk yang
sesuai umur dan keadaan penyakit.

8) Makanan diberikan dalam porsi kecil dengan frekuensi sering.

9) Khusus untuk penderita diare karena melabsorpsi, makanan yang diberikan


disesuaikan dengan penyebabnya : a) Malabsorpsi lemak (berikan trigliserida rantai
menengah). b) Intoleransi laktosa (berikan makanan rendah atau bebas laktosa). c)
Panmalabsorpsi (berikan makanan rendah laktosa atau disakarida lain, glukosa
polimer, trigliserida rantai menengah dan protein hidrolisat yang bersifat isomolar
dan hipoalergis).

c. Syarat Syarat diet diare pada anak tanpa dehidrasi atau setelah redehidrasi adalah
sebagai berikut : (Asosiasi Dietesien Indonesia, Ikatan Dokter Anak Indonesaia dan
Persatuan Ahli Gizi Indonesia, 2015).

1) Energi normal sesuai dengan kebutuhan berdasarkan BB ideal sesuai tinggi badan
aktual. Diet sesuai usia anak di samping pemberian cairan ORS rumatan.

2) Protein 10-15% total energi.

3) Lemak 25-30% total energi.

4) Karbohidrat 50-60% total energi.

5) Kebutuhan vitamin dan mineral sesuai dengan AKG.

6) Bila terjadi hipoglikemi berikan makanan tinggi kalium.


7) Suplemen mineral Zn diberikan minimal 14 hari.

8) Porsi kecil dengan frekuensi sering (minimal 6 kali per hari).

9) Volume kecil bertahap sesuai kemampuan.

10) Pemberian secara oral, enteral, parenteral atau kombinasi sesuai kemampuan dan
kondisi klinis.

11) Sesudah episod diare, energi semakin meningkat sesuai toleransi anak

12) Hindari: Jus buah kemasan atau minuman yang mengandung gas.
DAFTAR PUSTAKA
1. AIDS info net. 2008. Diarrhea. Diakses pada www.aidsinfonet.org
2. Avikar, Anupkumar, dkk. 2008. Role of Escherichia coli in acute diarrhoea
in tribal preschool children of central India. Journal Compilation
Paediatric and Perinatal Epidemiology, No. 22, 40–46.
3. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
2008. Buku Saku Petugas Kesehatan LINTAS DIARE. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI.
4. Doengoes, M.E., 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta.
5. Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second
Edition. New Jersey: Upper Saddle River
6. Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC)
Second Edition. New Jersey: Upper Saddle River
7. Mubarak, W. I., B.A. Santoso., K. Rozikin., and S.Patonah. 2006. Ilmu
Keperawatan komunitas 2: Teori & Aplikasi dalam Praktik dengan
Pendekatan Asuhan Keperawatan Komunitas, Gerontik, dan Keluarga.
Jakarta: Sagung Seto.
8. Purwo Sudarmo S., Gama H., Hadinegoro S. 2002. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Anak: Infeksi dan Penyakit Tropis. Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
9. Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-
2006. Jakarta: Prima Medika
10. Sudoyo, Aru, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.
11. LAPORAN PENDAHULUAN DIARE. Diakses pada
http://lpkeperawatan.blogspot.com/2013/12/laporan-pendahuluan-
diare.html#.VDN6qWeL3Mw

Anda mungkin juga menyukai