Anda di halaman 1dari 10

GERD

Disusun Oleh:

Ni Wayan Oktavia

711331121041

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN MANADO

JURUSAN SARJANA TERAPAN GIZI DAN DIETETIKA

2023
A. Definisi Penyakit
Penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesophageal Reflux Disease/GERD)
didefinisikan sebagai suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan
lambung ke dalam esofagus yang menimbulkan berbagai gejala yang mengganggu
(troublesome) di esofagus maupun ekstra esofagus dan atau komplikasi (Susanto,
2002).
Pada orang normal, refluks ini terjadi pada posisi tegak sewaktu habis makan.
Karena sikap posisi tegak tadi dibantu oleh adanya kontraksi peristaltik primer, isi
lambung yang mengalir masuk ke esofagus segera dikembalikan ke lambung. Refluks
sejenak ini tidak merusak mukosa esofagus dan tidak menimbulkan keluhan atau
gejala. Oleh karena itu, dinamakan refluks fisiologis. Keadaan ini baru dikatakan
patologis, bila refluks terjadi berulang-ulang yang menyebabkan esofagus distal
terkena pengaruh isi lambung untuk waktu yang lama. Istilah esofagitis refluks berarti
kerusakan esofagus akibat refluks cairan lambung, seperti erosi dan ulserasi epitel
skuamosa esofagus (Susanto, 2002).
Beberapa penyebab terjadinya GERD meliputi :
1.         Menurunnya tonus LES (Lower Esophageal Sphincter)
2.         Bersihan asam dari lumen esofagus menurun
3.         Ketahanan epitel esofagus menurun
4.         Bahan refluksat mengenai dinding esofagus yaitu Ph <2, adanya pepsin, garam
empedu, HCL.
5.         Kelainan pada lambung
6.         Infeksi H. Pylori dengan corpus predominan gastritis
7.         Non acid refluks (refluks gas) menyebabkan hipersensitivitas
8.         Alergi makanan atau tidak bisa menerima makanan juga membuat refluks
9.         Mengkonsumsi makanan berasam, coklat, minuman berkafein dan berkarbonat,
alkohol, merokok, dan obat-obatan yang bertentangan dengan fungsi esophageal
sphincter bagian bawah termasuk yang memiliki efek antikolinergik (seperti beberapa
antihistamin), penghambat saluran kalsium, progesteron, dan nitrat.
10.     Kelaianan anatomi, seperti penyempitan kerongkongan (Yusuf, 2009).

B. Diagnosa (Medis)

1.    Endoskopi
Dewasa ini endoskopi merupakan pemeriksaan pertama yang dipilih oleh
evaluasi pasien dengan dugaan PRGE. Namun harus diingat bahwa PRGE tidak
selalu disertai kerusakan mukosa yang dapat dilihat secara mikroskopik dan dalam
keadaan ini merupakan biopsi. Endoskopi menetapkan tempat asal perdarahan,
striktur, dan berguna pula untuk pengobatan (dilatasi endoskopi).
2.    Radiologi
Pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali tidak menunjukkan kelainan,
terutama pada kasus esofagitis ringan. Di samping itu hanya sekitar 25 % pasien
PRGE menunjukkan refluks barium secara spontan pada pemeriksaan fluoroskopi.
Pada keadaan yang lebih berat, gambar radiologi dapat berupa penebalan dinding dan
lipatan mukosa, tukak, atau penyempitan lumen.
3.    Tes Provokatif
a.       Tes Perfusi Asam (Bernstein) untuk mengevaluasi kepekaan mukosa
esofagus terhadap asam. Pemeriksaan ini dengan menggunakan HCL 0,1 %
yang dialirkan ke esofagus. Tes Bernstein yang negatif tidak memiliki arti
diagnostik dan tidak bisa menyingkirkan nyeri asal esofagus. Kepekaan tes
perkusi asam untuk nyeri dada asal esofagus menurut kepustakaan berkisar
antara 80-90%.
b.      Tes Edrofonium
Tes farmakologis ini menggunakan obat endrofonium yang disuntikan
intravena. Dengan dosis 80 µg/kg berat badan untuk menentukan adanya
komponen nyeri motorik yang dapat dilihat dari rekaman gerak peristaltik
esofagus secara manometrik untuk memastikan nyeri dada asal esofagus.
4.    Pengukuran pH dan tekanan esofagus
Pengukuran pH pada esofagus bagian bawah dapat memastikan ada tidaknya
RGE, pH dibawah 4 pada jarak 5 cm diatas SEB dianggap diagnostik untuk RGE.
Cara lain untuk memastikan hubungan nyeri dada dengan RGE adalah menggunakan
alat yang mencatat secara terus menerus selama 24 jam pH intra esofagus dan tekanan
manometrik esofagus. Selama rekaman pasien dapat memeberi tanda serangan dada
yang dialaminya, sehingga dapat dilihat hubungan antara serangan dan pH
esofagus/gangguan motorik esofagus. Dewasa ini tes tersebut dianggap sebagai gold
standar untuk memastikan adanya PRGE.
5.    Tes Gastro-Esophageal Scintigraphy
Tes ini menggunakan bahan radio isotop untuk penilaian pengosongan
esofagus dan sifatnya non invasif (Djajapranata, 2001).
6.    Pemeriksaaan Esofagogram
Pemeriksaan ini dapat menemukan kelainan berupa penebalan lipatan mukosa
esofagus, erosi, dan striktur.
7.    Tes PPI
Diagnosis ini menggunakan PPI dosis ganda selama 1-2 minggu pada pasien
yang diduga menderita GERD. Tes positif bila 75% keluhan hilang selama satu
minggu. Tes ini mempunyai sensitivitas 75%.
8.    Manometri esofagus
Tes ini untuk menilai pengobatan sebelum dan sesudah pemberian terapi pada
pasien NERD. Pemeriksaan ini juga untuk menilai gangguan peristaltik/motilitas
esofagus.                      
9.    Histopatologi
Pemeriksaan untuk menilai adanya metaplasia, displasia atau keganasan.
Tetapi bukan untuk memastikan NERD (Yusuf, 2009).

C. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis GERD dapat berupa gejala yang tipikal (esofagus) dan gejala
atipikal (ekstraesofagus). Gejala GERD 70 % merupakan tipikal, yaitu :
1.    Heart Burn, yaitu sensasi terbakar di daerah retrosternal. Gejala heartburn adalah
gejala tersering.
2.    Regurgitasi, yaitu kondisi dimana material lambung terasa di faring. Kemudian mulut
terasa asam dan pahit.
3.    Disfagia. Biasanya terjadi oleh karena komplikasi berupa striktur (Yusuf, 2009)
Gejala Atipikal :
1.      Batuk kronik dan kadang wheezing
2.      Suara serak
3.      Pneumonia
4.      Fibrosis paru
5.      Bronkiektasis
6.      Nyeri dada nonkardiak (Yusuf, 2009).
Gejala lain :
1.      Penurunan berat badan
2.      Anemia
3.      Hematemesis atau melena
4.      Odinofagia (Bestari, 2011).

D. Patofisiologi Klinis

Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high pressure
zone) yang dihasilkan oleh kontraksi Lower esophageal sphincter. Pada individu
normal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat terjadinya aliran antegrad
yang terjadi pada saat menelan, atau aliran retrograd yang terjadi pada saat sendawa
atau muntah. Aliran balik dari gaster ke esophagus melalui LES hanya terjadi apabila
tonus LES tidak ada atau sangat rendah (<3 mmHg) (Aru, 2009).
Terjadinya aliran balik / refluks pada penyakit GERD diakibatkan oleh gangguan
motilitas / pergerakan esofagus bagian ujung bawah. Pada bagian ujung ini terdapat
otot pengatur (sfingter) disebut LES, yang fungsinya mengatur arah aliran pergerakan
isi saluran cerna dalam satu arah dari atas ke bawah menuju usus besar. Pada GERD
akan terjadi relaksasi spontan otot tersebut atau penurunan kekuatan otot tersebut,
sehingga dapat terjadi arus balik atau refluks cairan atau asam lambung, dari bawah
ke atas ataupun sebaliknya (Hadi, 2002).
Patogenesis terjadinya GERD menyangkut keseimbangan antara faktor defensif
dari esophagus dan faktor efensif dari bahan reflukstat. Yang termasuk faktor defensif
esophagus, adalah pemisah antirefluks, bersihan asam dari lumen esophagus, dan
ketahanan ephitelial esophagus. Sedangkan yang termasuk faktor ofensif adalah
sekresi gastrik dan daya pilorik.
a.       Pemisah antirefluks
Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES. Menurunnya tonus LES
dapat menyebabkan timbulnya refluks retrograde pada saat terjadinya peningkatan
tekanan intraabdomen. Sebagian besar pasien GERD ternyata mempunyai tonus LES
yang normal. Faktor-faktor yang dapat menurunkan tonus LES adalah adanya hiatus
hernia, panjang LES (makin pendek LES, makin rendah tonusnya), obat-obatan
(misal antikolinergik, beta adrenergik), dan faktor hormonal. Selama kehamilan,
peningkatan kadar progesteron dapat menurunkan tonus LES.
b.      Bersihan asam dari lumen esophagus
Faktor-faktor yang berperan dalam bersihan asam dari esophagus adalah gravitasi,
peristaltik, eksrkresi air liur, dan bikarbonat. Setelah terjadi refluks sebagian besar
bahan refluksat akan kembali ke lambung dengan dorongan peristaltik yang
dirangsang oleh proses menelan.
c.       Ketahanan epithelial esophagus
Berbeda dengan lambung dan duodenum, esophagus tidak memiliki lapisan mukus
yang melindungi mukosa esophagus. Mekanisme ketahanan ephitelial esophagus
terdiri dari :
1.      Membran sel
2.      Batas intraseluler (intracellular junction) yang membatasi difusi H+  ke
jaringan esophagus
3.      Aliran darah esophagus yang mensuplai nutrien, oksigen, dan bikarbonat,
serta mengeluarkan ion H+ dan CO2
4.      Sel-sel esophagus memiliki kemampuan untuk mentransport ion H+ .
Episode refluks bervariasi tergantung kandungan isinya, volume, lamanya,
dan hubungannya dengan makan. Pada proses terjadinya refluks, sfingter
esofagus bawah dalam keadaan relaksasi atau melemah oleh peningkatan
tekanan intra abdominal sehingga terbentuk rongga diantara esofagus dan
lambung. Isi lambung mengalir atau terdorong kuat ke dalam esofagus. Jika
isi lambung mencapai esofagus bagian proksimal dan sfingter esofagus atas
berkontraksi, maka isi lambung tersebut tetap berada di esofagus dan
peristaltik akan mengembalikannya ke dalam lambung. Jika sfingter esofagus
atas relaksasi sebagai respon terhadap distensi esofagus maka isi lambung
akan masuk ke faring, laring, mulut atau nasofaring (Hadi, 2002).

E. Pentalaksanaan Diet

a. Tujuan diet

Tujuan diberikannya diet lambung diantarannya menetralkan kelebihan asam


lambung dengan memberikan makanan yang adekuat dan tidak merangsang.

b. Prinsip diet

Makanan yang diperbolehkan untuk diet gastritis diantaranya yaitu nasi, nasi
tim, bubur roti gandum, makaroni, jagung, kentang, ubi, talas, havermout, dan sereal
(sumber karbohidrat yang kaya akan serat).
Sumber protein yang diperbolehkan untuk dikonsumsi diantaranya daging
tanpa lemak, ayam tanpa kulit, ikan, putih telur, susu rendah lemak, tempe, tahu dan
kacang hijau.

Jenis sayuran yang diperbolehkan yaitu sayuran yang tidak menimbulkan gas
seperti bayam, buncis, labu kuning, labu siam, wortel, kacang panjang, tomat,
gambas, kangkung, kecipir, daun kenikir, ketimun, daun selada, dan taoge. Sayuran
yang dihindari diantaranya kol, kembang kol, lobak, sawi, nangka muda, dan sayuran
mentah yang apabila dikonsumsi akan mengakibatkan peningkatan asam lambung.

Buah-buahan yang diperbolehkan untuk dikonsumsi diantaranya jeruk, apel,


pepaya, melon, jambu, pisang, alpukat, belimbing, mangga. Buah buahan yang
banyak mengandung gas dan harus dihindari oleh penderita penyakit gastritis
diantaranya durian, nangka, cempedak, nanas, dan semua jenis buah-buahkan yang
diawetkan.

Makanan yang dianjurkan saat gastritis kambuh sebaiknya mengkonsumsi


makanan dalam bentuk lunak. Konsumsilah puding, bubur sumsum,biskuit yang
dicampur dengan susu hangat dan pisang dalam porsi sedikit tetapi sering.

c. Jenis diet

1. Makanan pedas , mengkonsumsi makanan pedas secara berlebihan akan


merangsang sistem pencernaan untuk berkontraksi. Akibatnya timbul rasa
panas dan nyeri di ulu hati yang disertai dengan mual dan muntah lebih lanjut
hal itu akan membuat seseorang berkurang nafsu makannya.
2. Makanan asam , makanan dengan cita rasa asam akan meningkatkan
keasaman saluran pencernaan dan memiliki efek iritasi jika dikonsumsi.
Akibatnya akan meningkatkan pengeluaran asam lambungcontoh makananny
yaitu jeruk, anggur, apel, tomat, strobery, cuka.
3. Makanan yang sulit dicerna, jenis makanan ini membuat lambung
membutuhkan waktu lama untuk mencernanya akibatnya isi lambung dan
asam lambung tinggal lama menyebabkan rasa panas di ulu hati dan
mengiritasi. Makanan yang sulit dicerna antara lain makanan yang digoreng ,
daging,keju.
4. Makanan yang mengandung gas, makanan yang mengandung gas
menyebabkan peningkatan tekanan dalam perut yang berujung pada terjadinya
reflux lambung. Makanan mengaandung gas yang harus dihindari antara lain
minuman bersoda, sawi, kol, nangka,pisang ambon, kedondong, buah yang
dikeringkan.

d. Syarat diet

1. Makanan dalam bentuk lunak dan mudah dicerna


2. Hindari makanan yang merangsang lambung seperti asam, pedas, keras,
terlalu panas atau dingin, porsi yang diberikan kecil yang diberikan sering
3. Cara pengolahannya direbus, dikukus, panggang dan tumis.
DAFTAR PUSTAKA
Aru, Sudoyo. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah Jilid I Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia.
Asroel, Harry. 2002. Penyakit Refluks Gastroesofagus. Universitas Sumatera Utara :
Fakultas Kedoketeran Bagian Tenggorokan Hidung dan Telinga.
Bestari, Muhammad Begawan. 2011. Penatalaksanaan Gastroesofageal Reflux Disease
(GERD). Divisi Gastroentero-Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran / RS Dr. Hasan Sadikin Bandung CDK
188 / vol. 38 no. 7 / November 2011.
Djajapranata, Indrawan. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga.
Jakarta : FKUI.
Sujono, Hadi.  2002. Gastroenterologi Edisi VII. Bandung: Penerbit PT Alumni.
Susanto, Agus dkk. 2002. Gambaran Klinis dan Endoskopi Penyakit Refluks
Gastroesofagus. Jakarta : FKUI.
Yusuf, Ismail. 2009. Diagnosis Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) Secara Klinis.
PPDS Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM Vol. 22, No.3, Edition September -
November 2009.

Anda mungkin juga menyukai