Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

GERD (GASTROESOPHAGEAL REFLUX DISEASE)

RUMAH SAKIT ISLAM BANJARNEGARA

OLEH :

DARJATI

210104021

PRAKTIK PROFESI NERS STASE KEPERAWATAN ANAK


UNIVERSITAS HARAPAN BANGSA PURWOKERTO
TAHUN 2021
A. DEFINISI GERD

GERD (Gastroesofageal Reflux Disease) adalah suatu penyakit yang jarang

terdiagnosis oleh dokter di Indonesia karena bila belum menimbulkan keluhan yang

berat seperti refluks esofagitis dokter belum bisa mendiagnosa Refluks

gastroesofagus adalah masuknya isi lambung ke dalam esofagus yang terjadi secara

intermiten pada orang, terutama setelah makan (Asroel, 2014).

Penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesophageal Reflux Disease/GERD)

didefinisikan sebagai suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan

lambung ke dalam esofagus yang menimbulkan berbagai gejala yang menggangga

(troublesome) di esofagus maupun ekstra esofagus dan atau komplikasi (Susanto,

2013).

GERD adalah kembalinya isi lambung kedalam esofagus dengan cara pasif yang

disebabkan oleh hipotoni spingter esophagus bagian bawah, posisi abnormal

sambungan esofagus dengan, atau pengosongan isi lambung yang lambat (Arief

Mansjoer, 2015)

Jadi, GERD merupakan suatu keadaan patologis akibat maksuknya isi lambung ke

esofagus yang biasa terjadi setelah makan dan dapat terjadi pada posisi tegak oleh

adanya konstraksi peristaltik primer lambung.


B. ETIOLOGI

Beberapa penyebab terjadinya GERD meliputi:

1. Menurunnya tonus LEBLower Esophageal Sphincter)

2. Bersihan asam dari lumen esofagus menurun

3. Ketahanan epitel esofagus menurun

4. Bahan refluksat mengenai dinding esofagus yaitu Ph <2. adanya pepsin, garam

empedu, HCL.

5. Kelainan pada lambung

6. Infeksi H. Pylori dengan corpus predominan gastritis

7. Non acid refluks (refluks gas) menyebabkan hipersensitivitas

C. TANDA DAN GEJALA

Manifestasi klinis GERD dapat berupa gejala yang tipikal (esofagus) dan gejala atipikal

(ekstraesofagus). Gejala GERD 70% merupakan tipikal, yaitu:

1. Heart Burn, yaitu sensasi terbakar di daerah retrosternal. Gejala heartburn adalah

gejala tersering

2. Regurgitasi, yaitu kondisi dimana material lambung terasa di faring. Kemudian mulut

terasa asam dan pahit.

3. Disfagia. Biasanya terjadi oleh karena komplikasi berupa striktur (Yusuf, 2009) Gejala

Atipikal:

1. Batuk kronik dan kadang wheezing

2. Suara serak
3. Pneumonia

4. Fibrosis paru

5. Bronkiektasis

6. Nyeri dada nonkardiak (Yusuf, 2009).

Gejala lain:

1. Penurunan berat badan

2. Anemia

3. Hematemesis atau melena

4. Odinofagia (Bestari, 2011).

D. PATOFISIOLOGI

Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high pressure

zone) yang dihasilkan oleh kontraksi Lower esophageal sphincter. Pada individu normal,

pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat terjadinya aliran antegrad yang terjadi

pada saat menelan, atau aliran retrograd yang terjadi pada saat sendawa atau muntah.

Aliran balik dari gaster ke esophagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak

ada atau sangat rendah (<3 mmHg).

Terjadinya aliran balik/refluks pada penyakit GERD diakibatkan oleh gangguan

motilitas/pergerakan esofagus bagian ujung bawah. Pada bagian ujung ini terdapat otot

pengatur (sfingter) disebut LES, yang fungsinya mengatur arah aliran pergerakan isi

saluran cerna dalam satu arah dari atas ke bawah menuju usus besar. Pada GERD akan

terjadi relaksasi spontan otot tersebut atau penurunan kekuatan otot tersebut, sehingga
dapat terjadi arus balik atau refluks cairan atau asam lambung, dari bawah ke atas

ataupun sebaliknya (Hadi, 2011).

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Endoskopi

Dewasa ini endoskopi merupakan pemeriksaan pertama yang dipilih oleh evaluasi

pasien dengan dugaan PRGE. Namun harus diingat bahwa PRGE tidak selalu disertai

kerusakan mukosa yang dapat dilihat secara mikroskopik dan dalam keadaan ini

merupakan biopsi. Endoskopi menetapkan tempat asal perdarahan. striktur, dan berguna

pula untuk pengobatan (dilatasi endoskopi).

2. Radiologi

Pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali tidak menunjukkan kelainan,

terutama pada kasus esofagitis ringan. Di samping itu hanya sekitar 25 % pasien PRGE

menunjukkan refluks barium secara spontan pada pemeriksaan fluoroskopi. Pada keadaan

yang lebih berat, gambar radiologi dapat berupa penebalan dinding dan lipatan mukosa,

tukak, atau penyempitan lumen.

3. Tes Provokatif

a. Tes Perfusi Asam ( Bemstein) untuk mengevaluasi kepekaan mukosa esofagus

terhadap asam. Pemeriksaan ini dengan menggunakan HCL 0,1 % yang dialirkan ke

esofagus. Tes Bernstein yang negatif tidak memiliki arti diagnostik dan tidak bisa
menyingkirkan nyeri asal esofagus. Kepekaan tes perkusi asam untuk nyeni dada asal

esofagus menurut kepustakaan berkisar antara 80-90%.

b. Tes Edrofonium

Tes farmakologis ini menggunakan obat endrofonium yang disuntikan intravena. Dengan

dosis 80 µg/kg berat badan untuk menentukan adanya komponen nyeri motorik yang

dapat dilihat dan rekaman gerak peristaltik esofagus secara manometrik untuk

memastikan nyeri dada asal esofagus.

4. Pengukuran pH dan tekanan esophagus

Pengukuran pH pada esofagus bagian bawah dapat memastikan ada tidaknya

RGE. pH dibawah 4 pada jarak 5 cm diatas SEB dianggap diagnostik untuk RGE. Cara

lain untuk memastikan hubungan nyeri dada dengan RGE adalah menggunakan alat yang

mencatat secara terus menerus selama 24 jam pH intra esofagus dan tekanan manometrik

esofagus. Selama rekaman pasien dapat memeberi tanda serangan dada yang dialaminya,

sehingga dapat dilihat hubungan antara serangan dan pH esofagus/gangguan motorik

esofagus. Dewasa ini tes tersebut dianggap sebagai gold standar untuk memastikan

adanya PRGE.

5. T es Gastro-Esophageal Scintigraphy Tes ini menggunakan bahan radio isotop untuk

penilaian pengosongan esofagus dan sifatnya non invasif (Djajapranata, 2001)

6. Pemeriksaaan Esofagogram

Pemeriksaan ini dapat menemukan kelainan berupa penebalan lipatan mukosa esofagus,

erosi, dan striktur.


7. Tes PPI

Diagnosis ini menggunakan PPI dosis ganda selama 1-2 minggu pada pasien yang diduga

menderita GERD. Tes positif bila 75% keluhan hilang selama satu minggu. Tes ini

mempunyai sensitivitas 75%.

8. Manometri esophagus

Tes ini untuk menilai pengobatan sebelum dan sesudah pemberian tempi pada pasien

NERD. Pemeriksaan ini juga untuk menilai gangguan peristaltik/motilitas esofagus.

9. Histopatologi

Pemeriksaan untuk menilai adanya metaplasia, displasia atau keganasan. Tetapi bukan

untuk memastikan NERD (Yusuf, 2009).

F. PENATALAKSANAAN

Pada prinsipnya, penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi gaya hidup, terapi

medikamentosa, terapi bedah serta akhir-akhir ini mulai dilakukan terapi endoskopik.

Target penatalaksanaan GERD adalah menyembuhkan lesi esophagus, menghilangkan

gejala/keluhan, mencegah kekambuhan, memperbaiki kualitas hidup, dan mencegah

timbulnya komplikasi.

1. Modifikasi gaya hidup

Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu bagian dari penatalaksanaan GERD,

namun bukan merupakan pengobatan primer. Walaupun belum ada studi yang dapat

memperlihatkan kemaknaannya, namun pada dasarnya usaha ini bertujuan untuk

mengurangi frekuensi refluks serta mencegah kekambuhan.


Hal-hal yang perlu dilakukan dalam modifikasi gaya hidup adalah meninggikan posisi

kepala pada saat tidur serta menghindari makan sebelum tidur dengan tujuan untuk

meningkatkan bersihan asam selama tidur serta mencegah refluks asam dari lambung

ke esophagus, berhenti merokok dan mengkonsumsi alkohol karena keduanya dapat

menurunkan tonus LES sehingga secara langsung mempengaruhi sel-sel epitel,

mengurangi konsumsi lemak serta mengurangi jumlah makanan yang dimakan karena

keduanya dapat menimbulkan distensi lambung, menurunkan berat badan pada pasien

kegemukan serta menghindari pakaian ketat sehingga dapat mengurangi tekanan

intraabdomen, menghindari makanan/minuman seperti coklat, teh, peppermint, kopi

dan minuman bersoda karena dapat menstimulasi sekresi asam, jikan memungkinkan

menghindari obat-obat yang dapat menurunkan tonus LES seperti antikolinergik,

teofilin. diazepam, opiate, antagonis kalsium, agonis beta adrenergic, progesterone.

2. Terapi medikamentosa

Terdapat berbagai tahap perkembangan terapi medikamentosa pada penatalaksanaan

GERD ini. Dimulai dengan dasar pola pikir bahwa sampai saat ini GERD merupakan

atau termasuk dalam kategori gangguan motilitas saluran cerna bagian atas. Namun

dalam perkembangannya sampai saat ini terbukti bahwa terapi supresi asam lebih

efektif daripada pemberian obat-obat prokinetik untuk memperbaiki gangguan

motilitas.

Terdapat dua alur pendekatan terapi medikamentosa, yaitu step up dan step down.

Pada pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat-obat yang tergolong kurang

kuat dalam menekan sekresi asam (antagonis reseptor H2) atau golongan prokinetik,

bila gagal diberikan obat golongan penekan sekresi asam yang lebih kuat dengan
masa terapi lebih lama (penghambat pompa proton/PPI). Sedangkan pada pendekatan

step down pengobatan dimulai dengan PPI dan setelah berhasil dapat dilanjutkan

dengan terapi pemeliharaan dengan menggunakan dosis yang lebih rendah atau

antagonis reseptor H2 atau prokinetik atau bahkan antacid.

Dari berbagai studi, dilaporkan bahwa pendekatan terapi step down ternyata lebih

ekonomis (dalam segi biaya yang dikeluarkan oleh pasien) dibandingkan dengan

pendekatan terapi step up. Menurut Genval Statement (1999) serta Konsensus Asia

Pasifik tentang penatalaksanaan GERD (2003) telah disepakati bahwa terapi lini

pertama untuk GERD adalah golongan PPI dan digunakan pendekatan terapi step

down. Pada umumnya studi pengobatan memperlihatkan hasil tingkat kesembuhan

diatas 80% dalam waktu 6-8 minggu. Untuk selanjutnya dapat diteruskan dengan

terapi pemeliharaan (maintenance therapy) atau bahkan terapi "bila perlu" (on-

demand therapy) yaitu pemberian obat obatan selama beberapa hari sampai dua

minggu jika ada kekambuhan sampai gejala hilang.

Pada berbagai penelitian terbukti bahwa respons perbaikan gejala menandakan

adanya respons perbaikan lesi organiknya (perbaikan esofagitisnya). Hal ini

tampaknya lebih praktis bagi pasien dan cukup efektif dalam mengatasi gejala pada

tatalaksana GERD. Berikut adalah obat-obatan yang dapat digunakan dalam terapi

medikamentosa GERD:

- Antasid. Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan gejala

GERD tetapi tidak menyembuhkan lesi esofagitis. Selain sebagai buffer terhadap

HCI, obat ini dapat memperkuat tekanan sfingter esophagus bagian bawah.

Kelemahan obat golongan ini adalah rasanya kurang menyenangkan, dapat


menimbulkan diare terutama yang mengandung magnesium serta konstipasi terutama

antasid yang mengandung aluminium, penggunaannya sangat terbatas pada pasien

dengan gangguan fungsi ginjal.

- Antagonis reseptor H2. Yang termasuk dalam golongan obat ini adalah simetidin,

ranitidine, famotidin, dan nizatidin. Sebagai penekan sekresi asam, golongan obat ini

efektif dalam pengobatan penyakit refluks gastroesofageal jika diberikan dosis 2 kali

lebih tinggi dan dosis untuk terapi ulkus. Golongan obat ini hanya efektif pada

pengobatan esofagitis derajat ringan sampai sedang serta tanpa komplikasi.

- Obat-obatan prokinetik. Secara teoritis, obat ini paling sesuai untuk pengobatan

GERD karena penyakit ini lebih condong kearah gangguan motilitas. Namun, pada

prakteknya, pengobatan GERD sangat bergantung pada penekanan sekresi asam.

- Metoklopramid. Obat ini bekerja sebagai antagonis reseptor dopamine.

Efektivitasnya rendah dalam mengurangi gejala serta tidak berperan dalam

penyembuhan lesi di esophagus kecuali dalam kombinasi dengan antagonis reseptor

H2 atau penghambat pompa proton. Karena melalui sawar darah otak, maka dapat

timbul efek terhadap susunan saraf pusat berupa mengantuk, pusing, agitasi, tremor,

dan diskinesia.

- Domperidon. Golongan obat ini adalah antagonis reseptor dopamine dengan efek

samping yang lebih jarang disbanding metoklopramid karena tidak melalui sawar

darah otak. Walaupun efektivitasnya dalam mengurangi keluhan dan penyembuhan

lesi esophageal belum banyak dilaporkan, golongan obat ini diketahui dapat

meningkatkan tonus LES serta mempercepat pengosongan lambung.


- Cisapride. Sebagai suatu antagonis reseptor 5 HT4, obat ini dapat mempercepat

pengosongan lambung serta meningkatkan tekanan tonus LES. Efektivitasnya dalam

menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi esophagus lebih baik dibandingkan

dengan domperidon.

- Sukralfat (Aluminium hidroksida sukrosa oktasulfat). Berbeda dengan antasid dan

penekan sekresi asam, obat ini tidak memiliki efek langsung terhadap asam lambung.

Obat ini bekerja dengan cara meningkatkan pertahanan mukosa esophagus, sebagai

buffer terhadap HCI di eesofagus serta dapat mengikat pepsin dan garam empedu.

Golongan obat ini cukup aman diberikan karena bekerja secara topikal (sitoproteksi).

- Penghambat pompa proton (Proton Pump Inhhibitor PPI). Golongan obat ini

merupakan drug of choice dalam pengobatan GERD. Golongan obat-obatan ini

bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan mempengaruhi enzim H, K

ATP-ase yang dianggap sebagai tahap akhir proses pembentukan asam lambung.

Obat-obatan ini sangat efektif dalam menghilangkan keluhan serta penyembuhan lesi

esophagus, bahkan pada esofagitis erosive derajat berat serta yang refrakter dengan

golongan antagonis reseptor H2. Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu

(terapi inisial) yang dapat dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan (maintenance

therapy) selama 4 bulan atau on-demand therapy, tergantung dari derajat

esofagitisnya.

3. Pembedahan dapat mengurangi peradangan berat, perdarahan, penyempitan. tukak

atau gejala yang tidak menunjukkan perbaikan dengan pengobatan apapun. Namun

tindakan pembedahan jarang dilakukan.

4. Terapi endoskopi
Walaupun laporannya masih terbatas serta msih dalam konteks penelitian. akhir-akhir

ini mulai dikembangkan pilihan terapi endoskopi pada GERD yaitu:

a. Penggunaan energi radiofrekuensi

b. Plikasi gastric endoluminal

c. Implantasi endoskopis, yaitu dengan menyuntikkan zat implan di bawah mukosa

esophagus bagian distal, sehingga lumen esophagus bagian distal menjadi lebih kecil.
G. PATHWAY
H. FOKUS PENGKAJIAN

Data Subjektif :

1. Pasien mengatakan nyeri pada bagian abdomen

2. Pasien mengatakan mual dan badannya lemas

Data Objektif :

1. Pasien tampak meringis dan memegangi perutnya

2. Pasien tampak lemah dan terlihat mual saat makan

I. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis

2. Nausea berhubungan dengan distensi lambung

J. FOKUS INTERVENSI

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis

- Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri

- Identifikasi skala nyeri

- Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri

- Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup

- Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri

2. Nausea berhubungan dengan iritasi lambung

- Identifikasi isyarat nonverbal ketidaknyamanan

- Identifikasi dampak mual terhadap kualitas hidup


- Anjurkan istirahat dan tidur yang cukup

- Kolaborasi pemberian antiemetik, jika perlu


DAFTAR PUSTAKA

Aru, Sudoyo. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah Jilid I Edisi IV. Jakarta Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia.
Asroel, Harry. 2002. Penyakit Refluks Gastroesofagus. Universitas Sumatera Utara: Fakultas
Kedokteran Bagian Tenggorokan Hidung dan Telinga.
Bestari, Muhammad Begawan. 2011. Penatalaksanaan Gastroesofageal Reflux Disease (GERD).
Divisi Gastroentero-Hepatologi. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Padjadjaran/RS Dr. Hasan Sadikin Bandung CDK 188/vol. 38 no. 7/
November 2011.

Djajapranata, Indrawan. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga. Jakarta:
FKUI. Sujono, Hadi. 2002. Gastroenterologi Edisi VII. Bandung: Penerbit PT Alumni.
Susanto, Agus dkk. 2002. Gambaran Klinis dan Endoskopi Penyakit Refluks Gastroesofagus.
Jakarta: FKUI.
Yusuf, Ismail, 2009, Diagnosis Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) Secara Klinis, PPDS
Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM Vol. 22, No.3, Edition September - November 2009

Anda mungkin juga menyukai