OLEH :
DARJATI
210104021
terdiagnosis oleh dokter di Indonesia karena bila belum menimbulkan keluhan yang
gastroesofagus adalah masuknya isi lambung ke dalam esofagus yang terjadi secara
2013).
GERD adalah kembalinya isi lambung kedalam esofagus dengan cara pasif yang
sambungan esofagus dengan, atau pengosongan isi lambung yang lambat (Arief
Mansjoer, 2015)
Jadi, GERD merupakan suatu keadaan patologis akibat maksuknya isi lambung ke
esofagus yang biasa terjadi setelah makan dan dapat terjadi pada posisi tegak oleh
4. Bahan refluksat mengenai dinding esofagus yaitu Ph <2. adanya pepsin, garam
empedu, HCL.
Manifestasi klinis GERD dapat berupa gejala yang tipikal (esofagus) dan gejala atipikal
1. Heart Burn, yaitu sensasi terbakar di daerah retrosternal. Gejala heartburn adalah
gejala tersering
2. Regurgitasi, yaitu kondisi dimana material lambung terasa di faring. Kemudian mulut
3. Disfagia. Biasanya terjadi oleh karena komplikasi berupa striktur (Yusuf, 2009) Gejala
Atipikal:
2. Suara serak
3. Pneumonia
4. Fibrosis paru
5. Bronkiektasis
Gejala lain:
2. Anemia
D. PATOFISIOLOGI
Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high pressure
zone) yang dihasilkan oleh kontraksi Lower esophageal sphincter. Pada individu normal,
pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat terjadinya aliran antegrad yang terjadi
pada saat menelan, atau aliran retrograd yang terjadi pada saat sendawa atau muntah.
Aliran balik dari gaster ke esophagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak
motilitas/pergerakan esofagus bagian ujung bawah. Pada bagian ujung ini terdapat otot
pengatur (sfingter) disebut LES, yang fungsinya mengatur arah aliran pergerakan isi
saluran cerna dalam satu arah dari atas ke bawah menuju usus besar. Pada GERD akan
terjadi relaksasi spontan otot tersebut atau penurunan kekuatan otot tersebut, sehingga
dapat terjadi arus balik atau refluks cairan atau asam lambung, dari bawah ke atas
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Endoskopi
Dewasa ini endoskopi merupakan pemeriksaan pertama yang dipilih oleh evaluasi
pasien dengan dugaan PRGE. Namun harus diingat bahwa PRGE tidak selalu disertai
kerusakan mukosa yang dapat dilihat secara mikroskopik dan dalam keadaan ini
merupakan biopsi. Endoskopi menetapkan tempat asal perdarahan. striktur, dan berguna
2. Radiologi
terutama pada kasus esofagitis ringan. Di samping itu hanya sekitar 25 % pasien PRGE
menunjukkan refluks barium secara spontan pada pemeriksaan fluoroskopi. Pada keadaan
yang lebih berat, gambar radiologi dapat berupa penebalan dinding dan lipatan mukosa,
3. Tes Provokatif
terhadap asam. Pemeriksaan ini dengan menggunakan HCL 0,1 % yang dialirkan ke
esofagus. Tes Bernstein yang negatif tidak memiliki arti diagnostik dan tidak bisa
menyingkirkan nyeri asal esofagus. Kepekaan tes perkusi asam untuk nyeni dada asal
b. Tes Edrofonium
Tes farmakologis ini menggunakan obat endrofonium yang disuntikan intravena. Dengan
dosis 80 µg/kg berat badan untuk menentukan adanya komponen nyeri motorik yang
dapat dilihat dan rekaman gerak peristaltik esofagus secara manometrik untuk
RGE. pH dibawah 4 pada jarak 5 cm diatas SEB dianggap diagnostik untuk RGE. Cara
lain untuk memastikan hubungan nyeri dada dengan RGE adalah menggunakan alat yang
mencatat secara terus menerus selama 24 jam pH intra esofagus dan tekanan manometrik
esofagus. Selama rekaman pasien dapat memeberi tanda serangan dada yang dialaminya,
esofagus. Dewasa ini tes tersebut dianggap sebagai gold standar untuk memastikan
adanya PRGE.
6. Pemeriksaaan Esofagogram
Pemeriksaan ini dapat menemukan kelainan berupa penebalan lipatan mukosa esofagus,
Diagnosis ini menggunakan PPI dosis ganda selama 1-2 minggu pada pasien yang diduga
menderita GERD. Tes positif bila 75% keluhan hilang selama satu minggu. Tes ini
8. Manometri esophagus
Tes ini untuk menilai pengobatan sebelum dan sesudah pemberian tempi pada pasien
9. Histopatologi
Pemeriksaan untuk menilai adanya metaplasia, displasia atau keganasan. Tetapi bukan
F. PENATALAKSANAAN
Pada prinsipnya, penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi gaya hidup, terapi
medikamentosa, terapi bedah serta akhir-akhir ini mulai dilakukan terapi endoskopik.
timbulnya komplikasi.
Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu bagian dari penatalaksanaan GERD,
namun bukan merupakan pengobatan primer. Walaupun belum ada studi yang dapat
kepala pada saat tidur serta menghindari makan sebelum tidur dengan tujuan untuk
meningkatkan bersihan asam selama tidur serta mencegah refluks asam dari lambung
mengurangi konsumsi lemak serta mengurangi jumlah makanan yang dimakan karena
keduanya dapat menimbulkan distensi lambung, menurunkan berat badan pada pasien
dan minuman bersoda karena dapat menstimulasi sekresi asam, jikan memungkinkan
2. Terapi medikamentosa
GERD ini. Dimulai dengan dasar pola pikir bahwa sampai saat ini GERD merupakan
atau termasuk dalam kategori gangguan motilitas saluran cerna bagian atas. Namun
dalam perkembangannya sampai saat ini terbukti bahwa terapi supresi asam lebih
motilitas.
Terdapat dua alur pendekatan terapi medikamentosa, yaitu step up dan step down.
Pada pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat-obat yang tergolong kurang
kuat dalam menekan sekresi asam (antagonis reseptor H2) atau golongan prokinetik,
bila gagal diberikan obat golongan penekan sekresi asam yang lebih kuat dengan
masa terapi lebih lama (penghambat pompa proton/PPI). Sedangkan pada pendekatan
step down pengobatan dimulai dengan PPI dan setelah berhasil dapat dilanjutkan
dengan terapi pemeliharaan dengan menggunakan dosis yang lebih rendah atau
Dari berbagai studi, dilaporkan bahwa pendekatan terapi step down ternyata lebih
ekonomis (dalam segi biaya yang dikeluarkan oleh pasien) dibandingkan dengan
pendekatan terapi step up. Menurut Genval Statement (1999) serta Konsensus Asia
Pasifik tentang penatalaksanaan GERD (2003) telah disepakati bahwa terapi lini
pertama untuk GERD adalah golongan PPI dan digunakan pendekatan terapi step
diatas 80% dalam waktu 6-8 minggu. Untuk selanjutnya dapat diteruskan dengan
terapi pemeliharaan (maintenance therapy) atau bahkan terapi "bila perlu" (on-
demand therapy) yaitu pemberian obat obatan selama beberapa hari sampai dua
tampaknya lebih praktis bagi pasien dan cukup efektif dalam mengatasi gejala pada
tatalaksana GERD. Berikut adalah obat-obatan yang dapat digunakan dalam terapi
medikamentosa GERD:
- Antasid. Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan gejala
GERD tetapi tidak menyembuhkan lesi esofagitis. Selain sebagai buffer terhadap
HCI, obat ini dapat memperkuat tekanan sfingter esophagus bagian bawah.
- Antagonis reseptor H2. Yang termasuk dalam golongan obat ini adalah simetidin,
ranitidine, famotidin, dan nizatidin. Sebagai penekan sekresi asam, golongan obat ini
efektif dalam pengobatan penyakit refluks gastroesofageal jika diberikan dosis 2 kali
lebih tinggi dan dosis untuk terapi ulkus. Golongan obat ini hanya efektif pada
- Obat-obatan prokinetik. Secara teoritis, obat ini paling sesuai untuk pengobatan
GERD karena penyakit ini lebih condong kearah gangguan motilitas. Namun, pada
H2 atau penghambat pompa proton. Karena melalui sawar darah otak, maka dapat
timbul efek terhadap susunan saraf pusat berupa mengantuk, pusing, agitasi, tremor,
dan diskinesia.
- Domperidon. Golongan obat ini adalah antagonis reseptor dopamine dengan efek
samping yang lebih jarang disbanding metoklopramid karena tidak melalui sawar
lesi esophageal belum banyak dilaporkan, golongan obat ini diketahui dapat
dengan domperidon.
penekan sekresi asam, obat ini tidak memiliki efek langsung terhadap asam lambung.
Obat ini bekerja dengan cara meningkatkan pertahanan mukosa esophagus, sebagai
buffer terhadap HCI di eesofagus serta dapat mengikat pepsin dan garam empedu.
Golongan obat ini cukup aman diberikan karena bekerja secara topikal (sitoproteksi).
- Penghambat pompa proton (Proton Pump Inhhibitor PPI). Golongan obat ini
bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan mempengaruhi enzim H, K
ATP-ase yang dianggap sebagai tahap akhir proses pembentukan asam lambung.
Obat-obatan ini sangat efektif dalam menghilangkan keluhan serta penyembuhan lesi
esophagus, bahkan pada esofagitis erosive derajat berat serta yang refrakter dengan
golongan antagonis reseptor H2. Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu
esofagitisnya.
atau gejala yang tidak menunjukkan perbaikan dengan pengobatan apapun. Namun
4. Terapi endoskopi
Walaupun laporannya masih terbatas serta msih dalam konteks penelitian. akhir-akhir
esophagus bagian distal, sehingga lumen esophagus bagian distal menjadi lebih kecil.
G. PATHWAY
H. FOKUS PENGKAJIAN
Data Subjektif :
Data Objektif :
I. DIAGNOSA KEPERAWATAN
J. FOKUS INTERVENSI
Aru, Sudoyo. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah Jilid I Edisi IV. Jakarta Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia.
Asroel, Harry. 2002. Penyakit Refluks Gastroesofagus. Universitas Sumatera Utara: Fakultas
Kedokteran Bagian Tenggorokan Hidung dan Telinga.
Bestari, Muhammad Begawan. 2011. Penatalaksanaan Gastroesofageal Reflux Disease (GERD).
Divisi Gastroentero-Hepatologi. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Padjadjaran/RS Dr. Hasan Sadikin Bandung CDK 188/vol. 38 no. 7/
November 2011.
Djajapranata, Indrawan. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga. Jakarta:
FKUI. Sujono, Hadi. 2002. Gastroenterologi Edisi VII. Bandung: Penerbit PT Alumni.
Susanto, Agus dkk. 2002. Gambaran Klinis dan Endoskopi Penyakit Refluks Gastroesofagus.
Jakarta: FKUI.
Yusuf, Ismail, 2009, Diagnosis Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) Secara Klinis, PPDS
Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM Vol. 22, No.3, Edition September - November 2009