MENGETAHUI
PEMBIMBING PENDIDIKAN
NIP:
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
GERD (Gastroesofageal Reflux Disease) adalah suatu penyakit yang jarang
terdiagnosis oleh dokter di Indonesia karena bila belum menimbulkan keluhan yang berat
seperti refluks esofagitis dokter belum bisa mendiagnosa. Refluks gastroesofagus adalah
masuknya isi lambung ke dalam esofagus yang terjadi secara intermiten pada orang,
terutama setelah makan (Asroel, 2002).
GERD adalah penyakit organ esofagus yang banyak ditemukan di negara Barat.
Berbagai survei menunjukkan bahwa 20-40% populasi dewasa menderita heartburn (rasa
panas membakar di daerah retrosternal), suatu keluhan klasik GERD. Di Indonesia,
penyakit ini sepintas tidak banyak ditemukan. Hanya sebagaian kecil pasien GERD datang
berobat pada dokter karena pada umumnya keluhannya ringan dan menghilang setelah
diobati sendiri dengan antasida. Dengan demikian hanya kasus yang berat dan disertai
kelainan endoskopi dan berbagai macam komplikasinya yang datang berobat ke dokter
(Djajapranata, 2001).
B. Tujuan
1. Mengetahui dan memahami definisi, etiologi, patofisiologi, tanda dan gejala,
pemeriksaan penunjang, terapi, dan komplikasi dari GERD.
2. Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan pada pasien GERD.
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI
Pada orang normal, refluks ini terjadi pada posisi tegak sewaktu habis makan.
Karena sikap posisi tegak tadi dibantu oleh adanya kontraksi peristaltik primer, isi
lambung yang mengalir masuk ke esofagus segera dikembalikan ke lambung. Refluks
sejenak ini tidak merusak mukosa esofagus dan tidak menimbulkan keluhan atau gejala.
Oleh karena itu, dinamakan refluks fisiologis. Keadaan ini baru dikatakan patologis,
bila refluks terjadi berulang-ulang yang menyebabkan esofagus distal terkena pengaruh isi
lambung untuk waktu yang lama. Istilah esofagitis refluks berarti kerusakan esofagus
akibat refluks cairan lambung, seperti erosi dan ulserasi epitel skuamosa esofagus
(Susanto, 2002).
B. ETIOLOGI
C. PATOFISIOLOGI
Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high pressure
zone) yang dihasilkan oleh kontraksi Lower esophageal sphincter. Pada individu normal,
pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat terjadinya aliran antegrad yang terjadi
pada saat menelan, atau aliran retrograd yang terjadi pada saat sendawa atau muntah.
Aliran balik dari gaster ke esophagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak
ada atau sangat rendah (<3 mmHg) (Aru, 2009).
Terjadinya aliran balik / refluks pada penyakit GERD diakibatkan oleh gangguan
motilitas / pergerakan esofagus bagian ujung bawah. Pada bagian ujung ini terdapat otot
pengatur (sfingter) disebut LES, yang fungsinya mengatur arah aliran pergerakan isi
saluran cerna dalam satu arah dari atas ke bawah menuju usus besar. Pada GERDakan
terjadi relaksasi spontan otot tersebut atau penurunan kekuatan otot tersebut, sehingga
dapat terjadi arus balik atau refluks cairan atau asam lambung, dari bawah ke atas ataupun
sebaliknya (Hadi, 2002).
a. Pemisah antirefluks
Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES. Menurunnya tonus
LES dapat menyebabkan timbulnya refluks retrograde pada saat terjadinya
peningkatan tekanan intraabdomen. Sebagian besar pasien GERD ternyata
mempunyai tonus LES yang normal. Faktor-faktor yang dapat menurunkan tonus LES
adalah adanya hiatus hernia, panjang LES (makin pendek LES, makin rendah
tonusnya), obat-obatan (misal antikolinergik, beta adrenergik), dan faktor hormonal.
Selama kehamilan, peningkatan kadar progesteron dapat menurunkan tonus LES.
1. Membran sel
2. Batas intraseluler (intracellular junction) yang membatasi difusi H+ ke jaringan
esophagus
3. Aliran darah esophagus yang mensuplai nutrien, oksigen, dan bikarbonat, serta
mengeluarkan ion H+ dan CO2
4. Sel-sel esophagus memiliki kemampuan untuk mentransport ion H+ .
Manifestasi klinis GERD dapat berupa gejala yang tipikal (esofagus) dan gejala
atipikal (ekstraesofagus). Gejala GERD 70 % merupakan tipikal, yaitu :
1. Heart Burn, yaitu sensasi terbakar di daerah retrosternal. Gejala heartburn adalah
gejala tersering.
2. Regurgitasi, yaitu kondisi dimana material lambung terasa di faring. Kemudian mulut
terasa asam dan pahit.
3. Disfagia. Biasanya terjadi oleh karena komplikasi berupa striktur (Yusuf, 2009)
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan standar baku
untuk diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break di esophagus (esofagitis
refluks). Jika tidak ditemukan mucosal break pada pemeriksaan endoskopi saluran
cerna bagian atas pada pasien dengan gejala khas GERD, keadaan ini disebut non-
erosive reflux disease (NERD).
2. Esofagografi dengan barium
Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali
tidak menunjukkan kelainan, terutama pada kasus esofagitis ringan. Pada keadaan
yang lebih berat, gambar radiology dapat berupa penebalan dinding dan lipatan
mukosa, ulkus, atau penyempitan lumen. Walaupun pemeriksaan ini sangat tidak
sensitive untuk diagnosis GERD, namun pada keadaan tertentu pemeriksaan ini
mempunyai nilai lebih dari endoskopi, yaitu pada stenosis esophagus derajat ringan
akibat esofagitis peptic dengan gejala disfagia, dan pada hiatus hernia.
3. Monitoring pH 24 jam
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal
esophagus. Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan
mikroelektroda pH pada bagian distal esophagus. Pengukuran pH pada esophagus
bagian distal dapat memastikan ada tidaknya refluks gastroesofageal. pH dibawah 4
pada jarak 5 cm di atas LES dianggap diagnostik untuk refluks gastroesofageal.
4. Tes Perfusi Berstein
Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang transnasal dan
melakukan perfusi bagian distal esophagus dengan HCl 0,1 M dalam waktu kurang
dari 1 jam. Tes ini bersifat pelengkap terhadap monitoring pH 24 jam pada pasien-
pasien dengan gejala yang tidak khas. Bila larutan ini menimbulkan rasa nyeri dada
seperti yang biasanya dialami pasien, sedangkan larutan NaCl tidak menimbulkan
rasa nyeri, maka test ini dianggap positif. Test Bernstein yang negative tidak
menyingkirkan adanya nyeri yang berasal dari esophagus.
5. Manometri esofagus : mengukuran tekanan pada katup kerongkongan bawah
menunjukan kekuatannya dan dapat membedakan katup yang normal dari katup yang
berfungsi buruk kekuatan sphincter
F. KOMPLIKASI
1. Esofagus Barret, yaitu perubahan epitel skuamosa menjadi kolumner
metaplastik. Barrett esophagus disebabkan oleh gastro-esofagus penyakit refluks yang
memungkinkan isi perut untuk merusak sel-sel yang melapisi esophagus bagian bawah
2. Perdarahan saluran cerna akibat iritasi mukosa (selaput lendir).
3. Striktur esophagus. Striktur esofagus merupakan penyempitan lumen esofagus yang
dapat menyebabkan keluhan disfagia. Berdasarkan etiologinya, striktur esofagus
dibedakan menjadi striktur esofagus benigna dan maligna. Striktur esofagus benigna
disebabkan oleh GERD, zat korosif, web, radiasi, post anastomosis esofagus,
sedangkan striktur esofagus maligna disebabkan oleh keganasan baik dari dalam
maupun dari luar esofagus
4. Aspirasi yaitu masuknya cairan atau isi lambung ke dalam saluran nafas yang
menyebabkan sesak nafas.
5. Esofagitis yaitu radang esophagus. Hal ini disebabkan karena isi lambung yang keluar
adalah asam lambung. Dimana asam ini akan merusak mukosa esophagus dan
memberikan gejala klinis.
G. TERAPI
Terapi GERD ditujukan untuk mengurangi atau menghilangkan gejala-gejala pasien,
mengurangi frekuensi atau kekambuhan dan durasi refluks esofageal, mempercepat
penyembuhan mukosa yang terluka, dan mencegah berkembangnya komplikasi. Terapi
diarahkan pada peningkatan mekanisme pertahanan yang mencegah refluks dan atau
mengurangi faktor-faktor yang memperburuk agresifitas refluks atau kerusakan mukosa.
1. Modifikasi Gaya Hidup
a. Tidak merokok
b. Tempat tidur bagian kepala ditinggikan
c. Tidak minum alkohol
d. Diet rendah lemak
e. Hindari mengangkat barang berat
f. Penurunan berat badan pada pasien gemuk
g. Jangan makan terlalu kenyang
h. Hindari pakaian yang ketat, terutama di daerah pinggang
2. Terapi Endoskopik.
Terapi ini masih terus dikembangkan. Contohnya adalah
radiofrekuensi, endoscopic suturing, dan endoscopic emplatation. Radiofrekuensi
adalah dengan memanaskangastroesophageal junction. Tujuan dari jenis terapi ini
adalah untuk mengurangi penggunaan obat, meningkatkan kualitas hidup, dan
mengurangi reflux.
3. Terapi medika mentosa. Sampai pada saat ini dasar yang digunakan untuk terapi ini
adalah supresi pengeluaran asam lambung.
H. PATHWAY
GERD
RESIKO ASPIRASI
Rangsang Medola
Respon peradangan lokal Refluk ke Air way
Oblongata
Intake Menurun
A. PENGKAJIAN
1. Keluhan utama
a. Keluhan pirosis (nyeri dengan sensasi terbakar pada esophagus)
b. Dispepsia atau indigesti (makanan tidak terurai menjadi serpihan kecil atau
molekul sehingga sulit digerakkan ke sepanjang saluran pencernaan.
c. Disfagia (gangguan menelan). Tentukan berapa lama keluhan muncul dan apakah
disertai dengan penurunan berat badan.
d. Odinofagia (nyeri saat menelan)
e. Regugirtasi (aliran balik). Keluhan material esophagus masuk ke dalam jalan
napas.
2. Pengkajian psikologis
Sering didapatkan kecemasan akan kondisi yang dialami. Perawat juga
mengkaji factor yang dapat menurunkan atau menambah keluhan. Kaji mengenai
pengetahuan pasien bagaimana cara pasien untuk menurunkan keluhan, apakah dengan
mengobati sendiri atau meminta pertolongan kesehatan.
3. Tanda-tanda vital
Meliputi pemeriksaan :
a. Tekanan darah : sebaiknya diperiksa dalam posisi yang berbeda, kajitekanan nadi,
dan kondisi patologis.
b. Respiratory rate
B. DIAGNOSA
1. Risiko aspirasi berhubungan dengan hambatan menelan, penurunan refluks laring dan
glotis terhadap cairan refluks.
2. Defisit volume cairan berhubungan dengan pemasukan yang kurang, mual dan
muntah / pengeluaran yang berlebihan.
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia, mual, muntah.
4. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi lapisan esofagus.
5. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan refluks cairan ke laring dan
tenggorokan.
C. INTERVENSI
Perencanaan
No. Diagnosa Rasional
Kriteria Hasil Intervensi
2. Buat jadwal
Definisi: intake nutrisi Status hasil: 2. Setelah tindakan
masukan tiap jam.
tidak cukup untuk pembagian, kapasitas gaster
Peningkatan berat Anjurkan mengukur
keperluan metabolisme menurun kurang dari 50 ml,
badan sesuai dengan cairan/makanan dan
tubuh sehingga perlu makan
tujuan skala 4 minum sedikit demi
sedikit/sering.
sedikit atau makan secara
perlahan.
Tidak ada tanda-tanda
malnutrisi skala 4
3. Beritahu pasien 3. Menurunkan
untuk duduk saat kemungkinan aspirasi.
Tidak ada penurunan makan/minum.
berat badan yang
berarti skala 4
4. Tekankan
4. Makan berlebihan dapat
pentingnya menyadari
mengakibatkan mual dan
kenyang dan
muntah
menghentikan masukan.
Mengidentifikasi
skala nutrisi skala 4
Mampu mengontrol
nyeri (tahu penyebab
3. Pemberian informasi
nyeri, mampu 3. Berikan informasi
yang berulang dapat
menggunakan tehnik tentang nyeri seperti
mengurangi rasa kecemasan
nonfarmakologiuntuk penyebab nyeri, berapa
pasien terhadap rasa nyerinya.
mengurangi nyeri, lama nyeri akan
mencari bantuan) berkurang, dan antisipasi
ketidaknyamanan
prosedur.
Melaporkan bahwa
nyeri berkurang
dengan menggunakan
manajemen nyeri 4. Meningkatkan relaksasi,
4. Ajarkan tentang
memfokuskan kembali
teknik nonfarmakologi
perhatian dan meningkatkan
seperti teknik relaksasi
Mampu mengenali kemampuan koping.
nafas dalam, distraksi
nyeri (skala,
intensitas, frekuensi dan kompres
dan tanda hangat/dingin.
5 Bersihan jalan nafas tidak Setelah dilakukan 1. Posisikan pasien 1. Peninggian kepala tempat
efektif berhubungan tindakan keperawatan untuk memaksimalkan tidur mempermudah fungsi
dengan refluks cairan ke selama ......x 24 jam ventilasi pernapasan dengan
laring dan tenggorokan klien dapat menggunakan gravitasi.
menunjukkan kriteria
2. Fisioterapi dada dapat
hasil: 2. Lakukan fisioterapi
mengeluarkan sisa sekret
dada jika perlu
yang masih tertinggal.
Status hasil:
3. Atur intake untuk
jalan nafas yang paten 3. Keseimbangan akan
cairan mengoptimalkan
(tidak tercekik, irama stabil apabila antara
keseimbangan.
nafas dan pola nafas pemasukan dan pengeluaran
dalam rentang diatur
normal) skala 4
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
B. SARAN
1. Individu yang mengalami keluhan-keluhan refluks gastroesofagus perlu mencari
pengobatan sedini mungkin sehingga keluhan berat dan komplikasi dapat dicegah.
2. Bagi tenaga kesehatan maupun tenaga pengajar perlu memberikan sumbangsih
penelitian maupun referensi mengenai penyakit Gastroesophageal Reflux
Disease(GERD) mengingat sedikit dijumpai referensi penunjang mengenai penyakit
ini.
3. Makalah ini dapat digunakan sebagai penunjang mahasiswa keperawatan ketika
praktik di klinik dan sebaiknya perlu disempurnakan lagi dengan referensi yang
terbaru.
DAFTAR PUSTAKA
Aru, Sudoyo. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah Jilid I Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia.
Asroel, Harry. 2002. Penyakit Refluks Gastroesofagus. Universitas Sumatera Utara : Fakultas
Kedoketeran Bagian Tenggorokan Hidung dan Telinga.
Djajapranata, Indrawan. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga. Jakarta :
FKUI.
Susanto, Agus dkk. 2002. Gambaran Klinis dan Endoskopi Penyakit Refluks Gastroesofagus.
Jakarta : FKUI.