Anda di halaman 1dari 21

REFERAT

GASTROESOPHAGEAL REFLUX DISEASE (GERD)

Oleh :
drg. Swarantika Aulia Rarasati
160121210008

Pembimbing :
dr. Andriana Purnama, Sp.B-KBD, FINACS

BAGIAN BEDAH DIGESTIVE


BAGIAN/SMF ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
RS DR. HASAN SADIKIN BANDUNG
2022
1

Referat
Divisi : Bedah Digestive

Disusun oleh : Swarantika Aulia Rarasati, drg.

Pembimbing : dr. Andriana Purnama, Sp.B-KBD, FINACS

GASTROESOPHAGEAL REFLUX DISEASE (GERD)

A. Definisi

Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) merupakan kelainan

saluran cerna bagian atas yang disebabkan oleh refluks gastroesofagus

patologik yang frekuensinya cukup tinggi di negara maju. Di Indonesia

penyakit ini sering tidak terdiagnosis oleh dokter bila belum

menimbulkan keluhan yang berat, seperti refluks esofagitis.1,2

Refluks gastroesofagus adalah peristiwa masuknya isi lambung ke

dalam esofagus yang terjadi secara intermiten pada setiap orang,

terutama setelah makan. Refluks yang terjadi tanpa menimbulkan gejala

dan perubahan histologik mukosa esofagus, disebut refluks

gastroesofagus fisiologik. Bila refluks terjadi berulang-ulang, sehingga

timbul gejala dan komplikasi, disebut refluks gastroesofagus patologik

atau penyakit refluks gastroesofagus, suatu istilah yang meliputi refluks

esofagitis dan refluks simtomatis. Pada refluks esofagitis terjadi

perubahan histologik, sedangkan refluks simtomatis menimbulkan gejala

tanpa perubahan histologik dinding esofagus.3


2

B. Etiologi

Saat ini, tidak ada penyebab yang diketahui untuk menjelaskan

perkembangan GERD. Selama bertahun-tahun, beberapa faktor risiko

telah diidentifikasi dan terlibat dalam patogenesis GERD. Kelainan

motorik seperti dismotilitas esofagus yang menyebabkan gangguan klirens

asam esofagus, gangguan tonus sfingter esofagus bagian bawah (LES),

relaksasi LES sementara, dan pengosongan lambung yang tertunda

termasuk dalam penyebab GERD .4

Faktor anatomi seperti adanya hernia hiatal atau peningkatan tekanan

intra-abdomen, seperti yang terlihat pada obesitas berhubungan dengan

peningkatan risiko GERD.4 Hernia hiatal terjadi ketika bagian atas lambung

bergerak ke dalam rongga dada melalui lubang kecil yang ada di

diafragma (hiatus diafragma). Diafragma adalah otot yang memisahkan

rongga perut dengan rongga dada. Banyak orang dengan hernia hiatal

tidak memiliki masalah GERD. Namun, adanya hernia hiatal akan berisiko

lebih besar untuk mengalami pengembalian isi lambung lebih mudah ke

esofagus.

Sebuah meta-analisis oleh Hampel H et al. menyimpulkan bahwa

obesitas dikaitkan dengan peningkatan risiko gejala GERD, esofagitis

erosif, dan karsinoma esofagus.5 Studi ProGERD oleh Malfertheiner, et al.

mengevaluasi faktor prediktif untuk penyakit refluks erosif pada lebih dari

6000 pasien GERD dan mencatat bahwa rasio ganjil untuk penyakit erosif
3

meningkat dengan indeks massa tubuh (BMI).6 Beberapa faktor risiko lain

telah dikaitkan secara independen dengan perkembangan gejala GERD

yang meliputi usia ≥50 tahun, status sosial ekonomi rendah, penggunaan

tembakau, konsumsi alkohol berlebihan, gangguan jaringan ikat,

kehamilan, supinasi postprandial, dan kelas obat yang berbeda termasuk

antikolinergik. obat-obatan, benzodiazepin, penggunaan NSAID atau

aspirin, nitrogliserin, albuterol, penghambat saluran kalsium, antidepresan,

dan glukagon.

C. Epidemiologi

GERD adalah salah satu gangguan pencernaan yang paling umum,

dengan prevalensi sekitar 20% orang dewasa di budaya barat. Tinjauan

sistematis oleh El-Serag et al. memperkirakan prevalensi GERD di AS

antara 18,1% hingga 27,8%. Berdasarkan 16 studi epidemiologi

lain yang telah dilakukan, prevalensi GERD di Amerika Utara

18,1%–27,8%, Amerika Selatan 23,0%, Eropa 2,5%–7,8%, Australia

11,6%, Timur Tengah 8,7%–33,1%, dan Asia 2,5%–7,8%. Data ini

menunjukkan bahwa kejadian GERD di Asia adalah yang terendah dari

negara-negara lain di dunia.7

Prevalensi GERD sedikit lebih tinggi pada pria dibandingkan

wanita[14]. Sebuah studi meta-analisis besar oleh Eusebi et al.

memperkirakan kumpulan prevalensi gejala GERD sedikit lebih tinggi

pada wanita dibandingkan dengan pria 16,7% -18,6% vs. 15,4% - 17,4%.8
4

Wanita dengan gejala GERD lebih cenderung mengalami Non-

erosive reflux disease (NERD) dibandingkan pria yang lebih cenderung

mengalami esofagitis erosive.9

D. Patofisiologi

Patofisiologi GERD adalah multifaktorial dan paling tepat

dijelaskan oleh berbagai mekanisme yang terlibat, termasuk pengaruh

fungsi sfingter esofagus bagian bawah, adanya hernia hiatal,

pertahanan mukosa esofagus terhadap refluks, dan motilitas esofagus.

 Gangguan Fungsi Lower Esophageal Sphincter (LES) dan

Transient Lower Esophageal Sphincter Relaxations (TLSRs)

LES adalah segmen otot polos berkontraksi sepanjang 3-4 cm yang

terletak di esophagogastric junction (EGJ) dan bersama dengan

diafragma krural membentuk penghalang EGJ fisiologis, yang

mencegah migrasi kembali isi lambung yang asam ke esofagus.10 Pada

individu yang sehat, LES mempertahankan zona tekanan tinggi di atas

tekanan intragastrik dengan relaksasi LES sementara yang terjadi

secara fisiologis sebagai respons terhadap makanan yang memfasilitasi

perjalanan makanan ke dalam lambung. Pasien dengan gejala GERD

mungkin sering mengalami transient LES relaxations (TLSRs) yang

tidak dipicu oleh menelan, sehingga melebihi tekanan intragastrik lebih

dari tekanan LES yang memungkinkan refluks isi lambung ke

kerongkongan.11 Mekanisme pasti dari peningkatan relaksasi transien


5

tidak diketahui, tetapi TLESR bertanggung jawab atas 48-73% gejala

GERD[19]. LES dan TLSR dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti

penggunaan alkohol, merokok, kafein, kehamilan, obat-obatan tertentu

seperti nitrat, dan penghambat saluran kalsium.11

Gambar 1. Patofisiologi GERD karena Gangguan Fungsi Lower Esophageal Sphincter (LES) dan Transient
Lower Esophageal Sphincter Relaxations (TLSRs)

 Hiatus hernia

Hernia hiatal sering dikaitkan dengan GERD dan dapat muncul secara

mandiri tanpa menimbulkan gejala apa pun. Meskipun demikian,

adanya hernia hiatus memainkan peran penting dalam patogenesis

GERD karena menghambat fungsi LES.12 Patty dkk. melaporkan

bahwa pasien dengan GERD yang terbukti dengan atau tanpa hernia

hiatus kecil memiliki kelainan fungsi LES dan pembersihan asam yang

serupa. Namun, pasien dengan hernia hiatus besar tercatat memiliki

LES yang lebih pendek dan lebih lemah yang mengakibatkan

peningkatan episode refluks. Hal ini menunjukkan bahwa derajat


6

esofagitis lebih buruk pada pasien dengan hernia hiatus besar.13 Sebuah

studi yang mengevaluasi hubungan antara hernia hiatus dan refluks

esofagitis oleh Ott et al. menunjukkan adanya hernia hiatal pada 94%

pasien dengan refluks esofagitis.14

 Gangguan pertahanan mukosa esofagus terhadap refluks lambung

Mukosa esofagus terdiri dari berbagai konstituen struktural dan

fungsional yang berfungsi sebagai penghalang pertahanan pelindung

terhadap zat luminal yang dihadapi GERD.15 Penghalang defensif ini

dapat ditembus oleh paparan refluks yang berkepanjangan, yang terdiri

dari kandungan asam lambung (asam klorida dan pepsin) dan

kandungan basa duodenum (garam empedu dan enzim pankreas) yang

menyebabkan kerusakan mukosa. Pengaruh gastroparesis pada GERD

tidak diketahui. Dipercayai bahwa pengosongan lambung yang

tertunda berkontribusi pada gejala GERD karena distensi lambung dan

peningkatan paparan refluks lambung.15

 Peristaltik esofagus yang rusak

Biasanya, isi lambung asam yang mencapai kerongkongan dibersihkan

oleh peristaltik esofagus yang sering dan dinetralkan oleh bikarbonat

saliva.10,15 Dalam studi prospektif oleh Diener et al., 21% pasien

dengan GERD tercatat mengalami gangguan peristaltik esofagus yang

menyebabkan penurunan pembersihan refluks lambung yang

mengakibatkan gejala refluks parah dan kerusakan mukosa.16


7

E. Histopatologi

Epitel skuamosa esofagus berfungsi sebagai penghalang

pertahanan pelindung terhadap migrasi retrograde refluks. Gangguan

pertahanan epitel ini merupakan fenomena umum pada GERD dan

NERD.17 Gambaran histopatologis GERD tidak unik untuk kondisi

ini karena kriteria biopsi minimal untuk diagnosis dan berbagai

sensitivitas dan spesifisitas dalam diagnosis.17 Faktanya, diagnosis

histopatologis GERD dibuat berdasarkan serangkaian temuan

mikroskopis yang mencakup fitur-fitur peradangan, hiperplasia sel

basal, pemanjangan papila, dan dilatasi ruang antar sel.

Gambar 2. Histopatologi GERD.18


8

Gambar 3. Histopatologi GERD.18

F. Manifestasi Klinis

Presentasi klinis khas GERD adalah heartburn dan regurgitasi.

Namun, GERD juga dapat muncul dengan berbagai gejala lain yang

meliputi disfagia, odinofagia, bersendawa, nyeri epigastrium, dan

mual.19 Heartburn didefinisikan sebagai sensasi terbakar retrosternal

atau ketidaknyamanan yang dapat menjalar ke leher dan biasanya

terjadi setelah menelan makanan atau ketika dalam posisi berbaring. 20

Regurgitasi adalah migrasi retrograde isi lambung yang bersifat asam

ke dalam mulut atau hipofaring.20 Presentasi GERD dianggap atipikal

ketika pasien datang dengan gejala ekstraesofagus seperti nyeri dada,

batuk kronis, asma, radang tenggorokan, erosi gigi, disfonia, dan

suara serak, dan sensasi globus.3,4

Manifestasi klinis lain GERD adalah kembung, mual, cepat

kenyang, bersendawa, hipersalivasi, disfagia hingga odinofagia.

Disfagia umumnya akibat striktur atau keganasan Barrett’s


9

esophagus, sedangkan odinofagia atau rasa sakit saat menelan

umumnya akibat ulserasi berat atau pada kasus infeksi. Nyeri dada

non-kardiak, batuk kronik, asma, dan laringitis merupakan gejala

ekstraesofageal penderita GERD.

G. Diagnosis

Diagnosis GERD tidak tepat karena tidak ada tes gold standard yang

tersedia. Diagnosis GERD dibuat semata-mata berdasarkan gejala yang

muncul atau dalam kombinasi dengan faktor lain seperti respons terhadap

terapi antisekresi, esofagogastroduodenoskopi, dan pemantauan refluks

rawat jalan.

 Percobaan penghambat pompa proton (PPI).

GERD dapat diduga didiagnosis pada kebanyakan pasien dengan gejala

khas mulas dan regurgitasi.20 Kecuali jika tidak ada gejala alarm terkait

yang meliputi disfagia, odinofagia, anemia, penurunan berat badan, dan

hematemesis, sebagian besar pasien dapat dimulai dengan terapi medis

empiris dengan inhibitor pompa proton (PPI) tanpa penyelidikan lebih

lanjut dengan respons terhadap pengobatan yang memastikan diagnosis

GERD.20 Namun, sebuah meta-analisis menerbitkan literatur oleh Numans

et al. membantah keakuratan strategi diagnostik uji coba PPI empiris ini.21

 Esofagogastroduodenoskopi (EGD)

Pasien dengan gejala GERD tipikal yang terkait dengan salah satu gejala

harus dievaluasi dengan EGD untuk menyingkirkan komplikasi GERD, di


10

antaranya termasuk esofagitis erosif, esofagus Barrett, striktur esofagus,

dan adenokarsinoma esofagus atau mengesampingkan penyakit tukak

lambung. Biopsi esofagus distal tidak secara rutin direkomendasikan untuk

membuat diagnosis GERD sesuai pedoman American College of

Gastroenterology (ACG) saat ini.20 Pasien dengan indeks kecurigaan tinggi

untuk penyakit arteri koroner yang menunjukkan gejala GERD harus

menjalani evaluasi untuk penyakit kardiovaskular yang mendasarinya.

Sebaliknya, pasien dengan nyeri dada nonkardiak diduga karena GERD

harus memiliki penilaian diagnostik dengan pemantauan EGD dan pH

sebelum memulai PPI.22 Pedoman ACG saat ini merekomendasikan untuk

tidak skrining infeksi Helicobacter pylori pada pasien dengan gejala

GERD.20

 Studi radiografi

Studi radiografi seperti radiografi barium dapat mendeteksi esofagitis

sedang hingga berat, striktur esofagus, hernia hiatus, dan tumor. Namun,

peran mereka dalam evaluasi GERD terbatas dan tidak boleh dilakukan

untuk mendiagnosis GERD.20

 Pemantauan refluks esofagus rawat jalan

GERD yang refrakter secara medis semakin umum, dan pasien sering

mendapatkan evaluasi endoskopi yang normal karena PPI sangat efektif

dalam menyembuhkan esofagitis yang disebabkan oleh refluks.

Pemantauan refluks esofagus rawat jalan dapat menilai korelasi gejala

dengan paparan asam abnormal. Hal ini ditunjukkan pada GERD yang
11

refrakter secara medis dan pada pasien dengan gejala ekstraesofagus yang

mencurigakan GERD. Pemantauan refluks ambulatori (pH atau dalam

kombinasi dengan impedansi) menggunakan kegunaan kapsul pH telemetri

atau kateter transnasal. Tes ini adalah satu-satunya tes yang tersedia yang

mendeteksi pajanan asam patologis, frekuensi episode refluks, dan korelasi

gejala dengan episode refluks. Pedoman praktik saat ini

merekomendasikan pemantauan pH rawat jalan wajib pra operasi pada

pasien tanpa bukti esofagitis erosif.20

H. Diagnosis Banding

 Coronary artery disease


 Achalasia
 Eosinophilic esophagitis (EoE)
 Non-ulcer dyspepsia
 Rumination syndrome
 Esophageal diverticula
 Gastroparesis
 Esophageal and gastric neoplasm
 Peptic ulcer disease (PUD)

I. Penatalaksanaan

Pengobatan penderita GERD terdiri dari:

a. Tahap I

Bertujuan untuk mengurangi refluks, menetralisasi bahan refluks,

memperbaiki barrier anti refluks dan mempercepat proses pembersihan

esofagus dengan cara :

1. Posisi kepala atau ranjang ditinggikan (6-8 inci)


12

2. Diet dengan menghindari makanan tertentu seperti makanan berlemak,

berbumbu, asam, coklat, alkohol, dll.

3. Menurunkan berat badan bagi penderita yang gemuk

4. Jangan makan terlalu kenyang

5. Jangan segera tidur setelah makan dan menghindari makan malam

terlambat

6. Jangan merokok dan menghindari obat-obat yang dapat menurunkan SEB

seperti kafein, aspirin, teofilin, dll.15,20

b. Tahap II

Menggunakan obat-obatan, seperti :

1. Obat prokinetik yang bersifat mempercepat peristaltik dan meninggikan

tekanan SEB, misalnya Metoklopramid : 0,1 mg/kgBB 2x sehari sebelum

makan dan sebelum tidur dan Betanekol : 0,1 mg/kgBB 2x sehari sebelum

makan dan sebelum tidur.

2. Obat anti-sekretorik untuk mengurangi keasaman lambung dan

menurunkan jumlah sekresi asam lambung, umumnya menggunakan

antagonis reseptor H2 seperti Ranitidin : 2 mg/kgBB 2x/hari, Famotidin :

20 mg 2x/hari atau 40 mg sebelum tidur (dewasa), dan jenis penghambat

pompa ion hidrogen sepertiOmeprazole: 20 mg 1-2x/hari untuk dewasa

dan 0,7 mg/kgBB/hari untuk anak.

3. Obat pelindung mukosa seperti Sukralfat: 0,5-1 g/dosis 2x sehari,

diberikansebagai campuran dalam 5-15 ml air.20,23

4. Antasida
13

Dosis 0,5-1 mg/kgBB 1-2 jam setelah makan atau sebelum tidur, untuk

menurun-kan refluks asam lambung ke esofagus.20,23

a. Tahap III

Pembedahan anti refluks pada kasus-kasus tertentu dengan indikasi

antara lain mal-nutrisi berat, PRGE persisten, dll. Operasi yang tersering

dilakukan yaitu fundo-plikasi Nissen, Hill dan Belsey.

Tujuan pengobatan GERD adalah untuk mengatasi gejala,

memperbaiki kerusakan mukosa, mencegah kekambuhan, dan mencegah

komplikasi. Berdasarkan Guidelines for the Diagnosis and Management of

Gastroesophageal Reflux Disease tahun 1995 dan revisi tahun 2013, terapi

GERD dapat dilakukan dengan20,24:

1. Treatment Guideline I: Lifestyle Modification

2. Treatment Guideline II: Patient Directed Therapy

3. Treatment Guideline III: Acid Suppression

4. Treatment Guideline IV: Promotility Therapy

5. Treatment Guideline V: Maintenance Therapy

6. Treatment Guideline VI: Surgery Therapy

7. Treatment Guideline VII: Refractory

GERD Secara garis besar, prinsip terapi GERD di pusat pelayanan

kesehatan primer berdasarkan Guidelines for the Diagnosis and

Management of Gastroesophageal Reflux Disease adalah dengan

melakukan modifikasi gaya hidup dan terapi medikamentosa GERD.

Modifikasi gaya hidup, merupakan pengaturan pola hidup yang dapat


14

dilakukan dengan18,20:

1. Menurunkan berat badan bila penderita obesitas atau menjaga

berat badan sesuai dengan IMT ideal

2. Meninggikan kepala ± 15-20 cm/ menjaga kepala agar tetap

elevasi saat posisi berbaring

3. Makan malam paling lambat 2 – 3 jam sebelum tidur

4. Menghindari makanan yang dapat merangsang GERD seperti

cokelat, minuman mengandung kafein, alkohol, dan makanan

berlemak - asam - pedas

Terapi medikamentosa merupakan terapi menggunakan obat-

obatan. PPI merupakan salah satu obat untuk terapi GERD yang memiliki

keefektifan serupa dengan terapi pembedahan. Jika dibandingkan dengan

obat lain, PPI terbukti paling efektif mengatasi gejala serta

menyembuhkan lesi esofagitis Yang termasuk obat-obat golongan PPI

adalah omeprazole 20 mg, pantoprazole 40 mg, lansoprazole 30 mg,

esomeprazole 40 mg, dan rabeprazole 20 mg. PPI dosis tunggal umumnya

diberikan pada pagi hari sebelum makan pagi. Sedangkan dosis ganda

diberikan pagi hari sebelum makan pagi dan malam hari sebelum makan

malam. Menurut Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks

Gastroesofageal di Indonesia tahun 2013, terapi GERD dilakukan pada

pasien terduga GERD yang mendapat skor GERD-Q > 8 dan tanpa tanda

alarm.20

Penggunaan PPI sebagai terapi inisial GERD menurut Guidelines


15

for the Diagnosis and Management of Gastroesophageal Reflux Disease

dan Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks

Gastroesofageal di Indonesia adalah dosis tunggal selama 8 minggu.

Apabila gejala tidak membaik setelah terapi inisial selama 8 minggu atau

gejala terasa mengganggu di malam hari, terapi dapat dilanjutkan dengan

dosis ganda selama 4 – 8 minggu. Bila penderita mengalami kekambuhan,

terapi inisial dapat dimulai kembali dan dilanjutkan dengan terapi

maintenance.20

Terapi maintenance merupakan terapi dosis tunggal selama 5 – 14

hari untuk penderita yang memiliki gejala sisa GERD. Selain PPI, obat lain

dalam pengobatan GERD adalah antagonis reseptor H2, antasida, dan

prokinetik (antagonis dopamin dan antagonis reseptor serotonin). Antagonis

reseptor H2 dan antasida digunakan untuk mengatasi gejala refluks yang

ringan dan untuk terapi maintenance dikombinasi dengan PPI. Obat-obatan

yang termasuk ke dalam antagonis reseptor H2 adalah simetidin (1 x 800

mg atau 2 x 400 mg), ranitidin (2 x 150 mg), farmotidin (2 x 20 mg), dan

nizatidin (2 x 150 mg). Prokinetik merupakan golongan obat yang berfungsi

mempercepat proses pengosongan perut, sehingga mengurangi kesempatan

asam lambung untuk naik ke esofagus. Obat golongan prokinetik termasuk

domperidon (3 x 10 mg) dan metoklopramid (3 x 10 mg).20

J. Komplikasi

 Esofagitis erosif (EE)


16

EE ditandai dengan erosi atau ulkus pada mukosa esofagus. 19 xs. Derajat

esofagitis dinilai secara endoskopi menggunakan sistem klasifikasi

esofagitis Los Angeles, yang menggunakan sistem penilaian A, B, C, D

berdasarkan variabel yang mencakup panjang, lokasi, dan tingkat keparahan

kerusakan mukosa di esofagus secara melingkar.25

 Striktur esofagus

Iritasi asam kronis pada esofagus distal dapat menyebabkan jaringan

parut pada esofagus distal yang menyebabkan pembentukan striktur

peptikum. Pasien dapat datang dengan gejala disfagia esofagus atau impaksi

makanan. Pedoman ACG merekomendasikan pelebaran esofagus dan

melanjutkan terapi PPI untuk mencegah perlunya pelebaran berulang.20

 Esofagus Barrett

Komplikasi ini terjadi akibat paparan asam patologis kronis pada

mukosa esofagus distal. Ini mengarah pada perubahan histopatologi mukosa

esofagus distal, yang biasanya dilapisi oleh epitel skuamosa berlapis

menjadi epitel kolumnar metaplastik. Esofagus Barrett lebih sering terlihat

pada laki-laki Kaukasia di atas 50 tahun, obesitas, dan riwayat merokok dan

predisposisi perkembangan adenokarsinoma esofagus.19 Pedoman saat ini

merekomendasikan kinerja surveilans endoskopi periodik pada pasien

dengan diagnosis esofagus Barrett.26


17

DAFTAR PUSTAKA

1. Fass R, Frazier R. The role of dexlansoprazole modified-release in the

management of gastroesophageal reflux disease. Therap Adv

Gastroenterol. 2017 Feb;10(2):243-251. 

2. El-Serag HB, Sweet S, Winchester CC, Dent J. Update on the epidemiology

of gastro-oesophageal reflux disease: a systematic review. Gut. 2014

Jun;63(6):871-80.

3. Hom C, Vaezi MF. Extraesophageal manifestations of gastroesophageal

reflux disease. Gastroenterol Clin North Am. 2013 Mar;42(1):71-91.

4. Argyrou A, Legaki E, Koutserimpas C, Gazouli M, Papaconstantinou I,

Gkiokas G, Karamanolis G. Risk factors for gastroesophageal reflux disease

and analysis of genetic contributors. World J Clin Cases. 2018 Aug

16;6(8):176-182.

5. Hampel H, Abraham NS, El-Serag HB. Meta-analysis: obesity and the risk for

gastroesophageal reflux disease and its complications. Ann Intern Med. 2005

Aug 02;143(3):199-211. 

6. Malfertheiner P, Nocon M, Vieth M, Stolte M, Jaspersen D, Koelz HR, Labenz

J, Leodolter A, Lind T, Richter K, Willich SN. Evolution of gastro-oesophageal

reflux disease over 5 years under routine medical care--the ProGERD

study. Aliment Pharmacol Ther. 2012 Jan;35(1):154-64.

7. El-Serag, H. B., Sweet, S., Winchester, C. C., & Dent, J. (2014). Update on the

epidemiology of gastro-oesophageal reflux disease: a systematic review. Gut,

63(6), 871–880.

8. Eusebi LH, Ratnakumaran R, Yuan Y, Solaymani-Dodaran M, Bazzoli F, Ford


18

AC. Global prevalence of, and risk factors for, gastro-oesophageal reflux

symptoms: a meta-analysis. Gut. 2018 Mar;67(3):430-440.

9. Kim SY, Jung HK, Lim J, Kim TO, Choe AR, Tae CH, Shim KN, Moon CM,

Kim SE, Jung SA. Gender Specific Differences in Prevalence and Risk Factors

for Gastro-Esophageal Reflux Disease. J Korean Med Sci. 2019 Jun

02;34(21):e158.

10. Savarino E, Bredenoord AJ, Fox M, Pandolfino JE, Roman S, Gyawali CP.,

International Working Group for Disorders of Gastrointestinal Motility and

Function. Expert consensus document: Advances in the physiological

assessment and diagnosis of GERD. Nat Rev Gastroenterol Hepatol. 2017

Nov;14(11):665-676.

11. De Giorgi F, Palmiero M, Esposito I, Mosca F, Cuomo R. Pathophysiology of

gastro-oesophageal reflux disease. Acta Otorhinolaryngol Ital. 2006

Oct;26(5):241-6. 

12. Kahrilas PJ, Lin S, Chen J, Manka M. The effect of hiatus hernia on gastro-

oesophageal junction pressure. Gut. 1999 Apr;44(4):476-82.

13. Patti MG, Goldberg HI, Arcerito M, Bortolasi L, Tong J, Way LW. Hiatal

hernia size affects lower esophageal sphincter function, esophageal acid

exposure, and the degree of mucosal injury. Am J Surg. 1996 Jan;171(1):182-6.

14. Ott DJ, Gelfand DW, Chen YM, Wu WC, Munitz HA. Predictive relationship

of hiatal hernia to reflux esophagitis. Gastrointest Radiol. 1985;10(4):317-20.

15. Diener U, Patti MG, Molena D, Fisichella PM, Way LW. Esophageal

dysmotility and gastroesophageal reflux disease. J Gastrointest Surg. 2001 May-

Jun;5(3):260-5.

16. Richter J. Do we know the cause of reflux disease? Eur J Gastroenterol


19

Hepatol. 1999 Jun;11 Suppl 1:S3-9.

17. Kandulski A, Weigt J, Caro C, Jechorek D, Wex T, Malfertheiner P.

Esophageal intraluminal baseline impedance differentiates gastroesophageal

reflux disease from functional heartburn. Clin Gastroenterol Hepatol. 2015

Jun;13(6):1075-81. 

18. Schneider NI, Langner C (2015) The Status of Histopathology in the Diagnosis

of Gastroesophageal Reflux Disease – Time for Reappraisal?. J Gastrointest Dig

Syst 5:355.

19. Sandhu DS, Fass R. Current Trends in the Management of Gastroesophageal

Reflux Disease. Gut Liver. 2018 Jan 15;12(1):7-16.

20. Kellerman R, Kintanar T. Gastroesophageal Reflux Disease. Prim Care. 2017

Dec;44(4):561-573.

21. Numans ME, Lau J, de Wit NJ, Bonis PA. Short-term treatment with proton-

pump inhibitors as a test for gastroesophageal reflux disease: a meta-analysis of

diagnostic test characteristics. Ann Intern Med. 2004 Apr 06;140(7):518-27.

22. Hirano I, Richter JE., Practice Parameters Committee of the American College

of Gastroenterology. ACG practice guidelines: esophageal reflux testing. Am J

Gastroenterol. 2007 Mar;102(3):668-85.

23. Zhang JX, Ji MY, Song J, Lei HB, Qiu S, Wang J, Ai MH, Wang J, Lv XG,

Yang ZR, Dong WG. Proton pump inhibitor for non-erosive reflux disease: a

meta-analysis. World J Gastroenterol. 2013 Dec 07;19(45):8408-19.

24. Khan M, Santana J, Donnellan C, Preston C, Moayyedi P. Medical treatments in

the short term management of reflux oesophagitis. Cochrane Database Syst

Rev. 2007 Apr 18;(2):CD003244. 

25. Lundell LR, Dent J, Bennett JR, Blum AL, Armstrong D, Galmiche JP, Johnson
20

F, Hongo M, Richter JE, Spechler SJ, Tytgat GN, Wallin L. Endoscopic

assessment of oesophagitis: clinical and functional correlates and further

validation of the Los Angeles classification. Gut. 1999 Aug;45(2):172-80. 

26. Wang KK, Sampliner RE., Practice Parameters Committee of the American

College of Gastroenterology. Updated guidelines 2008 for the diagnosis,

surveillance and therapy of Barrett's esophagus. Am J Gastroenterol. 2008

Mar;103(3):788-97. 

Anda mungkin juga menyukai